Disusun Oleh:
ZATA YUMNA/P07124117038
2019
LEMBAR PENGESAHAN
Tanggal :
Mengesahkan,
1.
2.
Mengetahui
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Laporan Studi Kasus
Continuity of Care ini. Penulisan Laporan Studi Kasus Continuity of Care ini
bertujuan untuk memenuhi Tugas Individu Prodi DIII Kebidanan. Terwujud atas
bimbingan, pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu dan pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada :
` Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Sebelumnya penulis mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata dan penulis memohon kritik, saran dan
masukan kepada para pembaca agar dapat menjadi bahan perbaikan Laporan
Studi Kasus Continuity of Care.
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................
ABSTRAK .........................................................................................................
3.1.5 Pendokumentasian......................................................................................
4.1 Kesimpulan
..................................................................................................................... 57
4.2 Saran
................................................................................................................................
58
4.2.1 BagiLahanPraktik
................................................................................................... 58
4.2.2 BagiLahanInstitusiPendidikan
............................................................................... 59
4.2.3 BagiPenulis
............................................................................................................ 59
xii
DAFTAR REFERENSI
..................................................................................................... 60
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asuhan Continuity of Care (COC) merupakan asuhan secara
berkesinambungan dari hamil sampai dengan Keluarga Berencana (KB)
sebagai upaya penurunan AKI & AKB. Kematian ibu dan bayi merupakan
ukuran terpenting dalam menilai indikator keberhasilan pelayananan kesehatan
di Indonesia, namun pada kenyataannya ada juga persalinan yang mengalami
komplikasi sehingga mengakibatkan kematian ibu dan bayi (Maryuani,
2011;105). Angka kematian ibu (AKI) adalah jumlah kematian selama
kehamilan atau dalam periode 42 hari setelah berakhirnya kehamilan, akibat
semua sebab yang terkait dengan atau diperberat oleh kehamilan atau
penanganannya, tetapi bukan disebabkan oleh kecelakaan atau cedera (WHO,
2014). Angka kematian Bayi (AKB) adalah angka probabilitas untuk meninggal
di umur antara lahir dan 1 tahun dalam 1000 kelahiran hidup.
Tiga penyebab utama kematian ibu adalah pendarahan 40-60%, pre
eklamsi/eklamsi 20-30% dan infeksi 20- 30%. Salah satu penyebab infeksi
adalah kejadian ketuban pecah dini yang tidak segera mendapatkan
penanganan (DepKes RI, 2016).
Infeksi yang banyak dialami oleh ibu sebagian besar merupakan
akibat dari adanya komplikasi/penyulit kehamilan, seperti febris,
korioamnionitis, infeksi saluran kemih, sebanyak 65% karena KPD yang
banyak menimbulkan infeksi pada ibu dan bayi. Kematian ibu yang
disebabkan oleh infeksi yaitu sebanyak 11%, Ketuban Pecah Dini
merupakan salah satu penyebab infeksi (Dinamika Kesehatan, Vol. 7 No. 1 Juli
2016).
Insiden KPD di Indonesia berkisar 4,5% sampai 7,6% dari seluruh
kehamilan, sedangkan di luar negeri insiden KPD antara 6% sampai 12% (Sari
Pediatri, Vol. 14, No.5, 2013). Ketuban pecah dini (KPD) adalah keadaan
pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Bila Ketuban Pecah Dini terjadi
sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut Ketuban Pecah Dini pada
kehamilan prematur. Dalam keadaan normal 8-10 % perempuan hamil aterm
akan mengalami Ketuban Pecah Dini (Saifuddin, 2014). Dari penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Nilufar dkk, 2009, didapatkan 33% insiden
terjadinya asfiksia pada KPD yang lama, berbeda secara signifikan dengan
tanpa asfiksia 6,7%.
Faktor predisposisi terjadinya KPD menurut Saifuddin (2014) yaitu
riwayat ketuban pecah dini pada kehamilan sebelumnya, infeksi traktus
genital, usia ibu ≤ 20 tahun, perdarahan antepartum, merokok, pekerjaan dan
hubungan seksual. Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini
bergantung pada usia kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal maupun
neonatal, persalinan prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat,
deformitas janin, meningkatnya insiden seksio sesarea, atau gagalnya
persalinan normal yang dalam kasus ini pecahnya ketuban menjadi
oligohidranion yang menekan tali pusat sehingga terjadi asfiksia atau
hipoksia.
Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan
yang bersifat menyeluruh dan bermutu kepada ibu dan bayi dalam lingkup
kebidanan yaitu melakukan asuhan kebidanan secara berkesinambungan
(continuity of care). Hal ini merupakan rencana strategis menteri kesehatan dari
salah satu prioritas pembangunan kesehatan pada tahun 2010-2014 adalah
peningkatan kesehatan ibu, bayi, balita dan Keluarga Berencana (KB)
(Kemenkes, 2010).
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan kebidanan berkesinambungan (continuity of
care) sejak kehamilan trimester III, persalinan, nifas, BBL/neonatus, dan KB
pada Ny. V usia 25 tahun Primigravida dengan KPD di Puskesmas
Gondokusuman I?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memberikan asuhan kebidanan secara berkesinambungan (continuity of
care) pada Ny. V usia 25 tahun primigravida dengan KPD sejak
kehamilan trimester III, persalinan, nifas, BBL/neonatus dan KB di
wilayah Puskesmas Gondokusuman I.
2. Tujuan Khusus
a. Memberikan asuhan kebidanan kehamilan trimester III pada Ny. V
usia 25 tahun primigravida mulai usia kehamilan 34+3 minggu.
b. Memberikan asuhan kebidanan persalinan pada Ny. V usia 25 tahun
dengan KPD
c. Memberikan asuhan kebidanan BBL/neonatus pada By. Ny. V usia
25 tahun.
d. Memberikan asuhan kebidanan nifas pada Ny. V usia 25 tahun .
e. Memberikan asuhan kebidanan kontrasepsi pada Ny. V usia 25
tahun.
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Untuk pengembangan ilmu dan penerapan asuhan kebidanan
secara continuity of care pada ibu hamil trimester III, bersalin, nifas,
neonatus, dan KB.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi klien
Ibu mendapatkan asuhan yang berkesinambungan sehingga dapat
menanggulangi keluhan pada masa kehamilan trimester III,
mengidentifikasi tanda-tanda persalinan agar tidak terjadi keterlambatan
pertolongan persalinan, persiapan masa nifas, perawatan bayi dan KB.
b. Bagi bidan pelaksana
Bidan dapat memantau dan mengetahui perkembangan serta
hambatan yang terdapat di masyarakat
c. Bagi institusi
Dapat menambah dokumentasi bagi institusi dan dapat digunakan
sebagai bahan pustaka dan sarana belajar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Asuhan Berkesinambungan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
97 Tahun 2014 Pasal 4 menyebutkan bahwa Pelayanan Kesehatan Masa
Sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa Sesudah Melahirkan,
Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan
Seksual diselenggarakan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif yang dilaksanakan secara menyeluruh terpadu dan
berkesinambungan.
2. Kehamilan
a. Pengertian
Kehamilan Didefinisikan Sebagai Fertilisasi atau penyatuan dari
spermatozoa dan ovum dan dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Bila
dihitung dari saat fertilisasi hingga lahirnya bayi, kehamilan normal akan
berlangsung dalam waktu 40 minggu atau 10 bulan lunar atau 9 bulan menurut
kalender internasional. Kehamilan terbagi dalam 3 trimester, di mana trimester
kesatu berlangsung dalam 12 minggu, trimester kedua 15 minggu (minggu ke-
13 hingga ke-27), dan trimester ketiga 13 minggu (minggu ke-28 hingga ke-
40) (Prawirohardjo, 2010).
b. Fisiologi Kehamilan pada ibu hamil TM III
1) Vagina dan vulva
Mengalami peregangan pada waktu persalinan dengan meningkatnya
ketebalan mukosa, mengendornya jaringan ikat, dan hipertropi sel otot
polos.
2) Uterus
Uterus akan terus membesar dalam rongga pelvis dan seiring
perkembangannya uterus akan menyentuh dinding abdomen mendorong
usus ke samping dan ke atas, hingga menyentuh hati.
Panjang fundus uteri pada usia kehamilan 28 minggu adalah 25 cm,
pada usia kehamilan 32 minggu panjangnya 27 cm, dan usia kehamilan 36
minggu, panjangnya 30 cm. Perubahan konsentrasi hormonal yang
mempengaruhi rahim, yaitu estrogen dan progesteron menyebabkan
progesteron memgalami penurunan dan menimbulkan kontraksi rahim
yang disebut Braxton Hicks. Terjadinya kontraksi Braxton Hicks merupakan
ketidak nyamanan umum, tidak dirasakan nyeri dan terjadi bersamaan di
seluruh rahim (Manuaba, 2012).
b. Lokia
Lokia adalah istilah untuk secret dari uterus yang keluar melalui vagina
selama puerperium. Karena perubahan warnanya, nama deskriptif lokia
berubah yaitu lokia rubra, serosa, atau alba. Lokia rubra berwarna
merah, ini adalah lokia pertama yang mulai keluar segera setelah
pelahiran dan terus berlanjut selama dua hingga tiga hari pertama
pascapartum. Lokia rubra terutama mengandung darah dan jaringan
desidua. Lokia serosa mulai terjadi sebagai bentuk yang lebih pucat dari
lokia rubra, merah muda. Lokia ini berhenti sekitar tujuh hingga delapan
hari kemudian dengan warna merah muda, kuning, atau putih hingga
transisi menjadi lokia alba. Lokia serosa terutama mengandung cairan
serosa, jaringan desidua, leukosit, dan eritrosit. Lokia alba mulai terjadi
sekitar hari kesepuluh pascapartum dan hilang sekitar periode dua hingga
empat minggu.
c. Vagina dan perineum
Segera setelah pelahiran, vagina tetap terbuka lebar, setelah satu
hingga dua hari, tonus otot vagina kembali, celah vagina tidak lebar
dan vagina tidak lagi edema. Sekarang vagina menjadi berdinding
lunak, lebih besar dari biasanya, dan umumnya longgar. Ukurannya
menurun dengan kembalinya rugae vagina sekitar minggu ketiga
pascapartum.
d. Payudara
Laktasi dimulai pada semua wanita dengan perubahan hormone saat
melahirkan. Apakah wanita memilih menyusui atau tidak, ia dapat
mengalami kongesti payudara selama beberapa hari pertama
pascapartum karena tubuhnya mempertiapkan untuk memberikan nutrisi
kepada bayi. Wanita yang menyusui berespon terhadap stimulus bayi yang
disusui akan terus melepaskan hormon dan stimulasi alveoli yang
memproduksi susu. Pengkajian payudara pada periode awal
pascapartum meliputi penampilan dan integritas puting susu, memar
atau iritasi jaringan payudara, adanya kolostrum, apakah payudara
terisi air susu, dan adanya sumbatan duktus, kongesti, dan tanda-tanda
mastitis potensial (Varney, dkk, 2008).
e. Asuhan Ibu Selama Nifas
Anjurkan ibu untuk melakukan kontrol nifas setidaknya 4 kali yaitu 6 sampai
8 jam setelah bersalin, 6 hari setelah persalinan, 2 minggu setelah
persalinan, dan 6 minggu setelah persalinan. Periksa tekanan darah,
perdarahan pervaginam, kondisi perineum, tanda infeksi, kontraksi
uterus, tinggi fundus, dan temperatur secara rutin. Nilai fungsi
berkemih, fungsi cerna, dan penyembuhan luka. Tanya ibu mengenai
suasana emosinya, bagaimana dukungan yang didapatkan dari
keluarga, pasangan, dan masyarakat untuk perawatan bayinya.
Meminta ibu untuk segera menghubungi tenaga kesehatan bila
menemukan salah satu dari tanda bahaya ibu nifas yaitu perdarahan
berlebih, sekret vagina berbau, demam, nyeri perut berat, kelelahan
atau sesak, bengkak di tangan, wajah, tungkai, sakit kepala atau
pendangan kabur, nyeri payudara, pembengkakan payudara, luka atau
perdarahan puting. Ibu juga perlu diberikan informasi tentang
kebersihan diri, istirahat, mobilisasi dan latihan, gizi ibu nifas, menyusui
dan perawatan payudara, dan kontrasepsi KB (Kemenkes RI, 2013).
5. Bayi Baru Lahir
Semua bayi baru lahir harus menjalani minimal dua kali
pemeriksaan fisik sebelum dipulangkan dari rumah bersalin. Pemeriksaan
pertama adalah pemeriksaan penapisan yang dilakukan pada saat
kelahiran, pemeriksaan kedua yang lebih komprehensif. Apabila bayi baru
lahir dipulangkan setelah rawat inap singkat (6-12 jam), kebanyakan bidan
lebih memilih untuk melihat bayi baru lahir setelah hari ketiga hingga
kelima setelah kelahiran. Apabila bayi berada di rumah sakit selama 48
jam, kunjungan pertama dapat ditunda sampai bayi berusia 10 hingga 14 hari.
Tujuan kunjungan ini ialah melakukan pemeriksaan ulang pada bayi baru lahir
dan meninjau penyuluhan dan pedoman antisipasi bersama orang tua.
Tujuan kunjungan anak sehat ada tiga, yaitu mengidentifikasi gejala
penyakit, merekomendasikan tindakan pemindaian, dan mendidik dan
mendukung orang tua (Varney, dkk, 2008).
a. Pengaturan Suhu
Bayi kehilangan panas melalui empat cara yaitu konduksi melalui
benda-benda padat yang kontak dengan kulit bayi. Konveksi yaitu
pendinginan melalui aliran udara di sekitar bayi. Evaporasi yaitu
kehilangan panas melalui penguapan air pada kulit bayi yang basah.
Radiasi melalui benda padat dekat bayi yang tidak berkontak secara
langsung dengan kulit bayi. Keadaan telanjang dan basah pada bayi
baru lahir menyebabkan bayi mudah kehilangan panas melalui empat cara
diatas. Kehilangan panas secra konduktif jarang terjadi kecuali jika
bayi diletakkan pada alas yang dingin (Prawirohardjo, 2010). Pastikan
bayi tetap hangat dan jangan mandikan bayi hingga 24 jam setelah
persalinan. Jaga kontak kulit antara ibu dan bayi serta tutupi kepala
bayi dengan topi.
b. Pemberian Salep Mata
Bayi baru lahir harus mendapatkan profilaksis mata terhadap infeksi
yang disebabkan oleh gonore atau klamidia. Pelindung mata terbaik
terhadap gonore dan klamidia ialah salep eritromisin 0,5%, yang
menyebar dari kantus dalam ke kantus luar mata. Irigasi mata setelah
pemberian salep eritromisin tidak perlu dilakukan.
c. Pemberian Vitamin K
Vitamin K secara rutin diberikan kepada bayi baru lahir untuk
mencagah penyakit hemoragi. Usus neonatus menyintesis vitamin K,
yang digunakan untuk mengaktifkan prekursor protein yang membuat
protein pembeku darah. manifestasi klinis penyakit hemoragi meliputi
perdarahan dari saluran cerna, kulit, dan area sirkumsisi. Vitamin K
diberikan secara intramuskular sebanyak 1 mg pada paha lateral bayi baru
lahir dengan berat badan lebih dari 2,5 kg. Vitamin ini bekerja dengan
cepat untuk mengaktifkan prekursor pembekuan darah. penggunaan
vitamin K pre oral tidak dianjurkan pada saat ini karena keefektifannya
diragukan.
d. Vaksin Hepatitis B
Semua bayi harus mendapatkan dosis pertama vaksin hepatitis B
segera setelah lahir dan sebelum dipulangkan dari rumah sakit. Dosis
pertama juga diberikan pada usia dua bulan jika ibu bayi memiliki
HbsAg-negatif. Hanya hepatitis B monovalen yang dapat digunakan
untuk dosis lahir. Vaksin monovalen atau vaksin kombinasi yang
mengandung Hep B dapat digunakan untuk melengkapi rangkaian
tersebut. Empat dosis vaksin diberikan jika dosis lahir diberikan. Vaksin
Hepatitis B diberikan untuk mencegah terserangnya bayi dari penyakit
Hepatitis B (Varney, dkk, 2008).
6. Kontrasepsi
Bagi wanita usia subur yang aktif secara seksual serta tidak
menggunakan kontrasepsi, angka kehamilan mendekati 90 persen dalam
satu tahun. Bagi wanita yang tidak menginginkan kehamilan, pengaturan
kesuburan dapat dilakukan saat ini dengan berbagai kontrasepsi yang
efektif. Tak satupun kontrasepsi yang sempurna tanpa efek samping atau
dikategorikan tanpa bahaya. Satu prinsip yang ditekankan adalah bahwa
kontrasepsi biasanya mempunyai risiko yang lebih sedikit daripada
kehamilan (Cunningham, dkk, 2013). Prinsip pelayanan kontrasepsi saat ini
adalah memberikan kemandirian pada ibu dan pasangan untuk memilih
metode yang diinginkan. Pemberi pelayanan berperan sebagai konselor dan
fasilitator. Menjalin komunikasi yang baik dengan ibu, menilai kebutuhan
dan kondisi ibu, memberikan informasi mengenai pilihan metode kontrasepsi
yang dapat digunakan ibu, membantu ibu menentukan pilihan, dan
menjelaskan secara lengkap mengenai metode kontrasepsi yang telah dipilih
ibu (Kemenkes RI, 2013).
Profil Kondom
Dengan kata lain, setiap hal yang berkaitan dengan seluruh aspek
perawatan kesehatan dapat digunakan dalam rencana perawatan kesehatan.
Sebuah rencana kesehatan harus menguntungkan kedua belah pihak, baik
bidan maupun ibu atau orang tua supaya dapat memberi perawatan
kesehatan yang efektif karena ibu atau orang tua adalah pihak yang
nantinya melaksanakan atau tidak melaksanakan rencana yang telah dibuat
bersama. Oleh karena itu, setiap tugas yang dilakukan pada setiap langkah
ditetapkan setelah dirumuskan dan didiskusikan bersama ibu atau orang
tua sekaligus sebagai upaya mengonfirmasi persetujuan klien. Semua
keputusan yang dibuat untuk mengembangkan rencana perawatan yang
menyeluruh harus mencerminkan rasional valid, yang didasarkan pada
pengetahuan teoretis terkait yang terkini dan tepat juga pada pemahaman
yang valid tentang apa yang ibu atau orang tua akan atau tidak akan
dilakukan. Rasional yang didasarkan pada asumsi tidak valid tentang
perilaku seseorang, pengetahuan teoritis yang keliru atau kurang, atau data
dasar yang tidak lengkap dianggap tidak valid dan menghasilkan
perawatan yang tidak lengkap dan tidak aman.
4. Kewenangan Bidan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28
tahun 2017 tentang izin dan penyelenggaraan praktik Bidan, kewenangan
yang dimiliki Bidan meliputi :
a. Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan;
1) Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan
yang telah teregistrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2) Praktik Kebidanan adalah kegiatan pemberian pelayanan yang
dilakukan oleh Bidan dalam bentuk asuhan kebidanan.
3) Surat Tanda Registrasi Bidan yang selanjutnya disingkat STRB adalah
bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah kepada Bidan yang telah
memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
4) Surat Izin Praktik Bidan yang selanjutnya disingkat SIPB adalah bukti
tertulis yang diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada
Bidan sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik
kebidanan.
5) Praktik Mandiri Bidan adalah tempat pelaksanaan rangkaian kegiatan
pelayanan kebidanan yang dilakukan oleh Bidan secara perorangan.
6) Instansi Pemberi Izin adalah instansi atau satuan kerja yang ditunjuk
oleh pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menerbitkan izin sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
b. Pasal 2
Dalam menjalankan Praktik Kebidanan, Bidan paling rendah memiliki
kualifikasi jenjang pendidikan diploma tiga kebidanan.
c. Pasal 15
1) Bidan dapat menjalankan Praktik Kebidanan secara mandiri dan/atau
bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
2) Praktik Kebidanan secara mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa Praktik Mandiri Bidan.
3) Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berupa:
a) Klinik
b) Puskesmas
c) Rumah sakit dan atau
d) Fasilitas Pelayanan Kesehatan lainnya.
d. Pasal 18
Dalam penyelenggaraan Praktik Kebidanan, Bidan memiliki kewenangan
untuk memberikan:
1) Pelayanan kesehatan ibu
2) Pelayanan kesehatan anak
3) Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
C. Ketuban Pecah Dini
a. Pengertian
Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum
waktu melahirkan yang terjadi pada saat akhir kehamilan maupun jauh
sebelumnya. Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum waktu
melahirkan atau sebelum inpartu, pada pembukaan < 4 cm (fase laten)
(Nugroho, 2010).
Ketuban pecah dini (KPD) adalah keadaan pecahnya selaput
ketuban sebelum persalinan. Bila Ketuban Pecah Dini terjadi sebelum usia
kehamilan 37 minggu disebut Ketuban Pecah Dini pada kehamilan
prematur. Dalam keadaan normal 8-10 % perempuan hamil aterm akan
mengalami Ketuban Pecah Dini (Saifuddin, 2014).
b. Etiologi Ketuban Pecah Dini
Faktor penyebab menurut Varney, 2007 antara lain :
a. Serviks Inkompeten
Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia),
didasarkan pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk
mempertahankan kehamilan. Inkompetensi serviks sering
menyebabkan kehilangan kehamilan pada trimester kedua. Kelainan ini
dapat berhubungan dengan kelainan uterus yang lain seperti septum
uterus dan bikornis. Sebagian besar kasus merupakan akibat dari
trauma bedah pada serviks pada konisasi, produksi eksisi loop
elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks pada terminasi kehamilan
atau laserasi obstetrik (Saifuddin, 2014).
Diagnosa inkompetensi serviks ditegakkan ketika serviks menipis
dan membuka tanpa disertai nyeri pada trimester kedua atau awal
trimester ketiga kehamilan. Umumnya, wanita datang kepelayanan
kesehatan dengan keluhan perdarahan pervaginam, tekanan pada
panggul, atau ketuban pecah dan ketika diperiksa serviksnya sudah
mengalami pembukaan. Bagi wanita dengan inkompetensi serviks,
rangkaian peristiwa ini akan berulang pada kehamilan berikutnya,
berapa pun jarak kehamilannya. Secara tradisi, diagnosis
inkompetensi serviks ditegakkan berdasarkan peristiwa yang
sebelumnya terjadi, yakni minimal dua kali keguguran pada
pertengahan trimester tanpa disertai awitan persalinan dan pelahiran.
Faktor risiko inkompetensi serviks meliputi riwayat keguguran
pada usia kehamilan 14 minggu atau lebih, adanya riwayat laserasi
serviks menyusul pelahiran pervaginam atau melalui operasi sesar,
adanya pembukaan serviks berlebihan disertai kala dua yang
memanjang pada kehamilan sebelumnya, ibu berulang kali mengalami
abortus elektif pada trimester pertama atau kedua, atau sebelumnya
ibu mengalami eksisi sejumlah besar jaringan serviks.
b. Polihidramnion
Polihidramnion adalah keadaan di mana banyak air ketuban
melebihi 2000 cc. Penambahan air ketuban ini biasanya mendadak
dalam beberapa hari yang disebut dengan polihidramnion akut atau
secara perlahan disebut polihidramnion kronis. Insidensinya berkisar
antara 1 : 62 dan 1 : 754 persalinan. Polihidramnion dapat
memungkinkan ketegangan rahim meningkat, sehingga membuat
selaput ketuban pecah sebelum waktunya.
c. Malpresentasi Janin
Letak janin dalam uterus bergantung pada proses adaptasi janin
terhadap ruangan dalam uterus. Pada kehamilan < 32 minggu,
jumlah air ketuban relative lebih banyak sehingga memungkinkan
janin bergerak dengan leluasa, dan kemudian janin akan
menempatkan diri dalam letak lintang atau letak sungsang. Pada
kehamilan trimester akhir janin tumbuh dengan cepat dan jumlah air
relative berkurang. Karena bokong dan kedua tungkai yang terlipat
lebih besar daripada kepala maka bokong dipaksa untuk menempati
ruang yang lebih luas di fundus uteri, sedangkan kepala berada dalam
ruangan yang lebih kecil di segmen bawah uterus. Letak sungsang
dapat memungkinkan ketegangan rahim meningkat, sehingga
membuat selaput ketuban pecah sebelum waktunya.
Berdasarkan hasil penelitian dari segi kelainan letak pada ibu
bersalin yang terbanyak adalah yang mengalami kelainan letak yaitu
sebesar 47,4% dan terendah adalah yang tidak mengalami kelainan
letak yaitu sebesar 5,1%. Hasil uji statistik menunjukan
ada hubungan yang bermakna antara kelainan letak dengan ketuban
pecah dini pada ibu bersalin nilai p value 0,000 (p < 0,05).
Dari hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Varney (2002)
bahwa kelainan letak janin dalam rahim seperti letak sungsang dan
letak lintang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
ketuban pecah dini. Pada letak sungsang gerakan janin lebih terasa
pada segmen bawah rahim sehingga kemungkinan terjadi
penyusupan bagian ekstrimitas janin yang menekan selaput ketuban
dan karena adanya tekanan intra uterin yang menyebabkan selaput
ketuban pecah (Varney, 2002).
Banyak faktor yang menyebabkan kelainan letak, oleh sebab
itu dalam penanganannya harus berhati-hati dengan persiapan yang
optimal untuk ibu dan bayi, untuk itu pada ibu bersalin yang
mengalami kelainan letak terlebih-lebih dengan ketuban pecah dini
dengan disertai mekoneum yang kental harus dilakukan pengawasan
lebih ketatatau lakukan intervensi untuk penanganan gawat janin
(Saifuddin, 2002).
d. Kehamilan Kembar
Pada kehamilan kembar, evaluasi plasenta bukan hanya
mencakup posisinya tetapi juga korionisitas kedua janin. Pada
banyak kasus adalah mungkin saja menentukan apakah janin
merupakan kembar monozigot atau dizigot. Selain itu, dapat juga
ditentukan apakah janin terdiri dari satu atau dua amnion. Upaya
membedakan ini diperlukan untuk memperbaiki resiko kehamilan.
Pengawasan pada wanita hamil kembar perlu ditingkatkan untuk
mengevaluasi resiko persalinan preterm. Gejala persalinan preterm
harus ditinjau kembali dengan cermat setiap kali melakukan
kunjungan (Nugroho, 2012).
Wanita dengan kehamilan kembar beresiko tinggi mengalami
ketuban pecah dini juga preeklamsi. Hal ini biasanya disebabkan oleh
peningkatan massa plasenta dan produksi hormon. Oleh karena itu,
akan sangat membantu jika ibu dan keluarga dilibatkan dalam
mengamati gejala yang berhubungan dengan preeklamsi dan tanda-
tanda ketuban pecah (Varney, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian dari segi kehamilan kembar pada
ibu bersalin yang terbanyak adalah yang tidak mengalami kehamilan
kembar yaitu sebesar 10% dan terendah adalah yang mengalami
kehamilan kembar yaitu sebesar 62,5%. Hasil uji statistik
menunjukan ada hubungan yang bermakna antara kehamilan kembar
dengan ketuban pecah dini pada ibu bersalin nilai p value 0,001 (p <
0,05).
Dari hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Hanifa (2007)
bahwa pada kehamilan kembar terjadi keregangan otot rahim yang
melampaui batas. Pada kasus ketuban pecah dini terjadi karena
keregangan otot rahim yang berlebihan sehingga dapat
menyebabkan pecahnya selaput ketuban.
Sedangkan menurut Mansjoer (2001) bahwa faktor predisposisi
terjadinya ketuban pecah dini adalah kehamilan kembar atau
gemelli, dimana pada kehamilan kembar biasanya terjadi
pembesaran uterus yang lebih besar dibanding dengan kehamilan
tunggal, hal ini mengakibatkan terjadinya ketegangan rahim yang dapat
merangsang pecahnya selaput ketuban.
e. Infeksi Vagina atau Serviks
Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun
asenderen dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa
menyebabkan terjadinya KPD, misalnya karena infeksi kuman,
terutama infeksi bakteri, yang dapat menyebabkan selaput ketuban
menjadi tipis, lemah dan mudah pecah. Membrana khorioamnionitik
terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila jaringan ini dipacu oleh
persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis dan sangat rentan
untuk pecah disebabkan adanya aktivitas enzim kolagenolitik.
Grup B streptococcus mikroorganisme yang sering
menyebabkan amnionitis. Selain itu Bacteroides fragilis, Lactobacilli
dan Staphylococcus epidermidis adalah bakteri-bakteri yang sering
ditemukan pada cairan ketuban pada kehamilan preterm. Bakteri bakteri
tersebut dapat melepaskan mediator inflamasi yang menyebabkan
kontraksi uterus. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dan
pembukaan serviks, dan pecahnya selaput ketuban (Varney, 2007).
c. Tanda Gejala Ketuban Pecah Dini
Tanda dan gejala pada kehamilan yang mengalami KPD adalah
keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina. Aroma air ketuban
berbau amis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih
merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah.
Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai
kelahiran. Tetapi bila anda duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah
terletak di bawah biasanya mengganjal atau menyumbat kebocoran
untuk sementara. Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut
jantung janin bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang
terjadi (Manuaba, 2010).
d. Diagnosis Ketuban Pecah Dini
Diagnosis ketuban pecah dini meragukan kita, apakah ketuban
benar sudah pecah atau belum. Apalagi bila pembukaan kanalis servikal
belum ada atau kecil. Penegakkan diagnosis KPD dapat dilakukan
dengan berbagai cara yang meliputi :
1. Menentukan pecahnya selaput ketuban dengan adanya cairan
ketuban di vagina.
2. Memeriksa adanya cairan yang berisi mekonium, vernik kaseosa, rambut
lanugo dan kadang-kadang bau jika ada infeksi.
3. Dari pemeriksaan inspekulo terlihat keluar cairan ketuban dari cairan
servikalis.
4. Test nitrazin/lakmus, kertas lakmus merah berubah menjadi biru (basa)
bila ketuban sudah pecah.
5. Pemeriksaan penunjang dengan menggunakan USG untuk membantu
dalam menentukan usia kehamilan, letak janin, berat janin, letak
plasenta serta jumlah air ketuban. Pemeriksaan air ketuban dengan tes
leukosit esterase, bila leukosit darah lebih dari 15.000/mm3, kemungkinan
adanya infeksi (Sarwono, 2014).
e. Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini
Penatalaksanaan ketuban pecah dini menurut (Prawirohardjo, 2014).
1. Pastikan Diagnosis
2. Tentukan umur kehamilan
3. Evaluasi ada tidaknya infeksi maternal ataupun infeksi janin.
4. Apakah dalam keadaan inpartu, terdapat kegawatan janin. Riwayat
keluarnya air ketuban berupa cairan jernih keluar dari vagina yang kadang
disertai tanda-tanda lain dari persalinan. Diagnosis Ketuban Pecah Dini
prematur dengan inspekulo dilihat adanya cairan ketuban keluar dari kavum
uteri. Pemeriksaan pH vagina perempuan hamil sekitar 4,5. Bila ada cairan
ketuban pHnya sekitar 7,1 – 7,3. Antiseptik yang alkalin akan menaikkan pH
vagina.Dengan pemerikaan ultrasound adanya Ketuban Pecah Dini dapat
dikonfirmasikan dengan adanya oligohidramnion. Bila ada air ketuban
normal agaknya ketuban pecah dapat diragukan serviks.Penderita dengan
kemungkinan ketuban pecah dini harus diperiksa lebih lanjut. Bila
terdapat pada persalinan kala aktif, korioamnitis, gawat janin, persalinan
harus diterminasi. Rencana tindakan yang bisa diberikan:
a. Ukur suhu dan nadi ibu setiap empat jam.
b. Setelah pemantauan janin elektronik, cek DJJ setiap empat jam ketika
sudah di rumah sakit.
c. Hitung sel darah putih dengan hitung jenis setiap hari atau setiap dua
hari.
d. Mempertahankan kehamilan sampai cukup matur.
e. Waktu terminasi pada hamil aterm dapat dianjurkan pada selang waktu
6 jam sampai 24 jam, bila tidak terjadi his spontan.
f. Pada usia kehamilan 24 sampai 32 minggu saat berat janin cukup, perlu
dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan, dengan
kemungkinan janin tidak dapat diselamatkan.
g. Jika persalinan menuju ke prematur maka dilakukan seksio sesarea.
h. Pemeriksaan USG untuk mengukur distansia biparietal dan perlu
melakukan aspirasi air ketuban untuk melakukan pemeriksaan
kematangan paru melalui perbandingan.
Menurut Taufan Nugroho (2012), dalam menghadapi ketuban pecah dini
harus dipertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Fase Laten:
a. Lamanya waktu sejak ketuban pecah sampai terjadi proses
persalinan.
b. Semakin panjang fase laten semakin besar kemungkinan terjadinya
infeksi.
c. Mata rantai infeksi merupakan asendens infeksi, antara lain:
Korioamnionitis : Abdomen terasa tegang, Pemeriksaanlaboratorium terjadi
leukositosis, Kultur cairan amnion positif. Desiduitis : Infeksi yang terjadi
pada lapisan desidua.
2. Perkiraan BB janin dapat ditentukan dengan pemeriksaan USG yang
mempunyai program untuk mengukur BB janin. Semakin kecil BB janin,
semakin besar kemungkinan kematian dan kesakitan sehingga tindakan
terminasi memerlukan pertimbangan keluarga.
3. Presentasi janin intrauterin
Presentasi janin merupakan penunjuk untuk melakukan terminasi
kehamilan. Pada letak lintang atau bokong harus dilakukan dengan jalan
seksio sesarea.
a. Pertimbangan komplikasi dan risiko yang akan dihadapi janin dan
maternal terhadap tindakan terminasi yang akan dilakukan.
b. Usia kehamilan. Makin muda kehamilan, antar terminasi kehamilan
banyak diperlukan waktu untuk mempertahankan sehingga janin lebih
matur. Semakin lama menunggu, kemungkinan infeksi akan semakin
besar dan membahayakan janin serta situasi maternal.
f. Penatalaksanaan Konservatif
a. Rawat di rumah sakit.
b. Berikan antibiotik (ampisilin 4x500 mg atau eritromisin bila tidak
tahan ampisilin dan metronidazol 2x500 mg selama 7 hari).
c. Jika umur kehamilan < 32 minggu – 34 minggu, dirawat selama air
ketuban masih keluar atau sampai air ketuban tidak lagi keluar.
d. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi,
tes busa negatif, beri deksametason, observasi tanda tanda infeksi dan
kesejahteraan janin.
e. Terminasi pada kehamilan 37 minggu.
f. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi,
berikan tokolitik (salbutamol) , deksametason, dan induksi sesudah24
jam.
g. Jika usia kehamilan 32 – 37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan
lakukan induksi, nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi
intrauterin).
h. Pada usia kehamilan 32-37 minggu, berikan steroid untuk memacu
kematangan paru janin, dan bila memungkinkan periksa kadar lesitin
dan spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis
tunggal selama 2 hari, deksametason I.M. 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4
kali.
g. Penatalaksanaan Aktif
a. Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin. Pada persalinan
pemberian infus Dekstrose 5% 500 ml drip oksitosin 5 unit/ 20 tetes akan
mengakibatkan uterus berkontraksi secara efektif shingga mendorong
janin melewati jalan lahir dengan cepat (Saifudin, 2009). Bila gagal,
lakukan seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 25 µg – 50 µg
11 intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali. Bila ada tanda-tanda infeksi,
berikan antibiotik dosis tinggi dan persalinan diakhiri.
b. Bila skor pelvic < 5, lakukan pematangan serviks, kemudian induksi.
Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea.
c. Bila skor pelvic > 5, induksi persalinan
D. Kerangka Teori
BAB III
Pada studi kasus ini menggunakan dua sumber data, baik data
utama maupan data pelengkap. Yang dimaksut data utama yaitu
diperoleh langsung dari ibu hamil usia kehamilan 28 minggu sampai
42 minggu yang telah mengalami serangkaian peristiwa hamil,
melahirkan nifas dan memakai KB serta dengan bayi yang telah
dilahirkan. Sedangkan yang dimaksud data pelengkap yaitu diperoleh
dari bidan yang merawat, keluarga pasien dan pihak-pihak lain yang
memberikan informasi yang dibutuhkan.
BAB IV
A. Asuhan Kehamilan
Asuhan kehamilan berkesinambungan pada Ny.V dimulai sejak
umur kehamilan 34+3 minggu. Pelayanan antenatal yang diberikan kepada
ibu sesuai dengan pelayanan antenatal pada kunjungan ulang varney
(2007) antara lain tanda bahaya TM III, nutrisi, pola istirahat, pola eliminasi,
kebersihan diri dan lainnya. Pada hasil anamnesa ibu mengatakan tidak
terdapat riwayat penyakit yang diderita keluarga. Akan tetapi ibu belum
melakukan persiapan persalinan secara keseluruhan.
Asuhan kembali dilakukan pada umur kehamilan 36+3 minggu
dengan terus memantau perkembangan ibu dan janin. Ibu dalam keadaan
sehat dan tanpa terlihat adanya tanda bahaya. Pelayanan yang diberikan
meliputi memberikan edukasi mengenai tanda bahaya, ketidaknyamanan,
tanda persalinan, rencana persalinan, nutrisi, dan pola istirahat.
Asuhan kehamilan dilakukan terakhir pada umur kehamilan 38+6
minggu dan asuhan yang diberikan meliputi motivasi, rencana persalinan,
tanda persalinan, serta seksualitas pada ibu di hari-hari menjelang
persalinan.
B. Asuhan Persalinan
Ibu melahirkan pada tanggal 1 Agustus 2019 di RS Pratama
Yogyakarta didampingi oleh suami dan keluarga. Proses melahirkan ibu
secara Seksio Cesarea atas indikasi KPD dan kala I memanjang. Telah
dilakukan stimulasi pada ibu namun tidak ada kemajuan pembukaan.
Dalam hal ini maka bidan berkolaborasi dengan dokter obsgyn. Dan pada
alur pelaksanaannya hal ini sudah sesuai karena sudah dilakukan
kolaborasi antara tenaga kesehatan.
C. Asuhan Bayi Baru Lahir
Bayi Ny.V lahir cukup bulan pada usia getasi 39+1 minggu menangis
kuat, tonus otor baik, berjenis kelamin perempuan, berat 2610 gram,
panjang badan 46cm, Lingkar kepala 33cm, lingkar dada 30cm. Pada
pemeriksaan bayi secara umum dalam keadaan normal.
Asuhan yang dilakukan KN 2 bayi Ny.V umur 6 hari secara teknis
bayi diberikan kehangatan agar tidak hipotermi sesuai menurut
Prawirohardjo (2015) bayi dilakukan pencegahan hipotermi dengan
memberi baju hanga kering terutama daerah kepala. Pada KN 2 dan 3
melakuakan evaluasi perawatan tali pusat, ibu sudah bisa merawat tali
pusat, apakah terdapat tanda bahaya pada bayi, dan pemenuhan nutrisi
(ASI) pada bayi. Mengevaluasi ibu apakah sudah bisa menyusui dengan
baik atau belum. Didapatkan hasil bahwa ibu sudah bisa menyusui dengan
baik. Semua penatalaksanaan sudah sesuai dengan pelayanan kesehatan
neonatal esensial Kemenkes RI (2010).
D. Asuhan Nifas
Dalam waktu 1 jam setelah persalinan bidan memastikan bahwa
uterus berkontraksi dengan baik untuk mencegah terjadinya perdarahan.
Melakukan pengkajian tanda-tanda vital untuk mencegah terjadinya
eklamsi. Ny. V saat nifas hari ke-7 dilakukan pengecekan luka jahitan post
SC, jahitan terlihat bersih kering tidak terdapat tanda infeksi. Selalu
mengingatkan ibu untuk menjaga kebersihan personal hygiene dan luka
operasi. Ibu dianjurkan untuk tidak menahan BAB dan BAK. Mengganti
pembalut minimal 2 kali sehari atau jika sudah tidak nyaman, dan
memberitahu tanda bahaya ibu nifas. Kunjungan KF-2 dan KF-3
memberikan edukasi tentang pemilihan kb. Ibu masih akan mendiskusikan
dengan suami kb apa yang akan digunakan. KF-3 dan KF-4 hasil
penatalaksanaan sesuai dengan teori.
E. Asuhan KB
Pada masa nifas ini bidan telah memberikan asuhan sesuai dengan
kebutuhan ibu khususnya kebutuhan konseling alat kontrasepsi pasca
bersalin. Konseling penggunaan alat kontrasepsi pada Ny. V sudah
dilakukan pada nifas hari ke 7 dan hari ke 30. Pada kunjungan ini telah
dialkukan konseling mengenai alat kontrasepsi yang dapat digunakan
untuk ibu menyusui karena ibu mengatakan belum ada rencana
mengguanakn alat kontrasepsi. Ibu memilih menggunakan metode suntik
3 bulan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Mampu melakukan pengkajian data subjektif dan objektif pada Ny. V
selama masa kehamilan, persalinan, bayi baru lahir, nifas, dan keluarga
berencana.
2. Mampu mengidentifikasi diagnosa/masalah kebidanan berdasarkan data
subjektif dan objektif pada Ny. V selama masa kehamilan, persalinan,
bayi baru lahir, nifas, dan keluarga berencana.
3. Mampu menentukan masalah potensial pada Ny. V selama masa
kehamilan, persalinan, bayi baru lahir, nifas, dan keluarga berencana.
4. Mampu menentukan kebutuhan segera pada Ny. V selama masa
kehamilan, persalinan, bayi baru lahir, nifas, dan keluarga berencana.
5. Mampu merencanakan tindakan yang akan dilakukan pada Ny. V selama
masa kehamilan, persalinan, bayi baru lahir, nifas, dan keluarga
berencana.
6. Mampu melaksanakan tindakan untuk menangani kasus pada Ny. V
selama masa kehamilan, persalinan, bayi baru lahir, nifas, dan keluarga
berencana.
7. Mampu melakukan evaluasi asuhan kebidanan yang diberikan pada
Ny.V selama masa kehamilan, persalinan, bayi baru lahir, nifas, dan
keluarga berencana.
8. Mampu membuat pendokumentasian asuhan kebidanan pada Ny. V
selama masa kehamilan, persalinan, bayi baru lahir, nifas, dan keluarga
berencana.
B. Saran
1. Bagi Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa dapat menambah pengetahuan mengenai
asuhan kebidanan keluarga agar dapat memberikan asuhan kebidanan
pada ibu yang lebih menyeluruh dan sesuai dengan kebutuhan ibu dari
masa kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir, dan keluarga
berencana.
2. Bagi Bidan Pelaksana di Puskesmas
Diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan cakupan
asuhan kebidanan berkesinambungan disetiap wilayah kerjanya dimulai
dari masa kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir, dan keluarga
berencana.
3. Bagi Klien
Diharapkan ibu dapat berpartisipasi secara aktif dalam
meningkatkan derajat kesehatannya dimulai dari masa kehamilan,
persalinan, nifas, bayi baru lahir, dan keluarga berencana.