2019 B
Disusun Oleh :
Anisa Nur Fitriani (19010664055)
Tsabita Huwaida (19010664080)
Adissa Indriana Putri (19010664125)
Dosen Pembimbing :
Riza Noviana Khoirunnisa, S.Psi.,M.si
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan tugas makalah Psikologi
Pendidikan ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk, maupun pedoman bagi pembaca dalam
memahami pendekatan kontruktivis sosial.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca dan juga sebagai latihan bagi kami selaku penyusun makalah agar kedepannya dapat
menyusun makalah lebih baik.
Terakhir kami ingin mengucapkan mohon maaf apabila dalam penyusunan makalah ini
masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami harapkan bagi dosen mata kuliah
psikologi pendidikan dan juga para pembaca untuk memberikan masukan-maukan yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER ……………………………………………………………………………………..
A. KESIMPULAN ……………………………………………………………………..
PENDAHULUAN
a. Pengetahuan diperoleh siswa melalui keaktifan siswa untuk bernalar secara aktif.
b. Siswa berusaha terus- menerus untuk mengonstruksikan perubahan konsep supaya lebih
rinci dan lengkap.
c. Sarana dan situasi proses pengonstruksian yang dilakukan siswa disediakan oleh guru.
( Manalu dalam jurnal Penerapan Pendekatan Konstruktivis Sosial dalam Pembelajaran ,
2014)
Menurut Brooks & Brooks (1993), ”Contruktivism is not an instructional strategy
to be deployed under appropriate condition. Rather, contructivism is an underlying
philosophy or way of seeing the world.” Dari pengertian tersebut kita bisa mengambil
sebuah makna bahwa konstruktivisme bukanlah sesuatu jalan atau strategi untuk bisa
digunakan oleh manusia dalam memecahkan masalah. Namun konstruktivisme adalah
sebuah cara manusia memandang sesuatu yang sifatnya membangun, pandangan tersebut
bisa didapat dari pengalaman baik dari diri sendiri maupun lingkungan sosial, interaksi dan
juga fenomena sekitar. Sehingga dari pandangan tersebut manusia mampu menciptakan
pengetahuan yang konstruktif untuk memecahkan masalah.
Berfokus pada konstruktivisme sosial, pendekatan ini lebih dari sekedar konsep
ZPD (Zone Proximal Development) dan Scaffolding milik Vygotsky. Namun pendekatan
ini lebih kearah kemampuan manusia dalam beradaptasi dan berpartisipasi bersama orang
lain untuk mendapatkan pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan yang bermakna
tersebut yang nantinya dijadikan sebagai konsep dan juga sumber belajar. Namun pada
pembahasan makalah ini, kita akan banyak mengguanakan penerapan teori konstruktivis
sosial Vygotsky.
BAB II
PEMBAHASAN
Piaget Vygotsky
Magang Kognitif
Magang kognitif memberikan banyak manfaat untuk pembelajaran. Salah satunya untuk
mendukung pembelajaran dengan pembelajaran aktif dan mendorong siswa untuk
mengerjakan pekerjaan secara mandiri. Ini adalah teknik yang menggunakan keterampilan
budaya dan digunakan saat seorang yang ahli membentang dan mendukung pemahaman bagi
pemula. (Santrock,2014,hlm 49)
Bimbingan Belajar
Bimbingan belajar banyak bermanfaat terutama untuk siswa yang kurang terampil dan tidak
melakukan subjek tertentu secara baik. Bimbingan belajar ini biasanya terjadi antara siswa
yang lebih terampil dan siswa yang kurang terampil serta pada orang dewasa yang lebih ahli
dan pemula. (Santrock,2014,hlm 49)
Pembantu, Relawan, dan Mentor Kelas
Pendidik Sebaya
Belajar dengan rekan sebaya juga dapat meningkatkan pembelajaran dan perkembangan
belajar siswa karena pendidik sebaya juga dapat menjadi pendidik efektif. Siswa satu
dengan yang lainnya dapat saling mengajarkan. Adapun strategi pembelajarannya adalah
Strategi pembelajaran bantuan rekan sebaya ( Peer-Assisted Learning Strategies - PALS)
dimana program ini biasanya menciptakan 13-15 partner di ruang kelas dan dilaksanakan
selama 25- 35 menit setiap dua hingga empat kali seminggu. Program ini diciptakan oleh
John F. Kennedy Center dan Departemen Pendidikan Khusus di Universitas Peabody dan
Universitas Vanderbilt untuk digunakan dalam bidang matematika dan bidang membaca
pada tingkat TK hingga SD kelas 6 yang dapat meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan matematika, keterampilan aksara dan kemampuan membaca serta dapat
meningkatkan prestasi siswa. Program ini sangat efektif untuk siswa, baik siswa tingkat
dasar, siswa etnis minoritas, dan siswa di perkotaan. (Santrock,2014,hlm 52)
Selain itu juga terdapat program bimbingan yang dikembangkan untuk siswa dengan
pencapaian rendah di sekolah dan memberikan kesempatan bagi siswa untuk bergantian
peran dengan menjadi guru dan siswa yang disebut Bimbingan Rekan Belajar Timbal
Balik (Reciprocal Peer Tutotring- RPT). Ada juga program yang jika dilaksanakan selama
tiga tahun akan berlaku efektif untuk meningkatkan nilai siswa dengan kuis mingguan.
Program ini meliputi pengajaran timbal balik, strategi motivasi seperti kompetisi tim dan
pelatihan para guru. Program ini disebut Bimbingan Belajar Rekan Kelas ( Class Wide Peer
Tutoring- CWPT). (Santrock,2014,hlm 53)
Di Amerika dan Brasil terdapat program pendidik sebaya yang efektif. Program ini
diberikan kepada siswa sekolah menengah yang tidak berprestasi baik atau beresiko dalam
masalah yang ditanggung sekolah untuk membimbingnya. Program yang disebut Program
Pemuda Bernilai ini terus berkembang hingga saat ini di 24 kota di Amerika Serikat dan
Brasil. Dengan adanya program ini diharapkan dapat meningkatkan prestasi siswa yang
diajari dan pencapaian pendidik. Sebuah kasus menceritakan bahwa salah satu
pembimbing program pemuda bernilai yang setiap hari harus datang ke sekolah dan
mengajar anak- anak yang lebih muda tidak ingin kehilangan waktu di sekolah karena saat
ia absen anak –anak menanyakan keberadaannya. Ia begitu menyukai mereka dan jika ia
tidak menjadi pembimbing ia mungkin sudah putus sekolah (Santrock, 2014, hlm 53).
Program ini sangat berpengaruh baik bagi pembimbing dan siswa.
Pada pembelajaran kooperatif, siswa akan dibagi menjadi beberapa kelompok. Dalam
kelompok ini lah mereka akan membantu satu sama lain untuk memahami sesuatu. Menurut
Thurston & Kolega (2010) Pembelajaran kooperatif ini dimanfaatkan untuk meningkatkan
kemampuan pembelajaran serta keterampilan siswa (Santrock, 2014, hlm 55).
Dalam suatu kelompok, siswa akan di bagikan bagian mana saja yang akan mereka pelajari
dan kemudian mengajarkannya pada kelompok. Pada waktu mengajarkan kepada yang lain lah
siswa akan mempelajari dan memahaminya secara mendalam (Santrock, 2014, hlm 55).
1. Motivasi
Blumenfeld dkk. (2006) & Jallifar (2010) mengungkapkan bahwa apabila seorang siswa
dibagi menjadi beberapa kelompok kecil, mereka akan mendapatkan motivasi yang besar
(Santrock, 2014, hlm 56). Hal itu dikarenakan adanya hubungan positif dengan rekan
kelompoknya yang membuat siswa menjadi termotivasi untuk berpartisipasi dalam
kelompok keci tersebut. Contoh : ketika sendirian, seorang siswa akan malas untuk
memecahkan permasalahan yang susah. Namun, ketika berada dalam kelompok
pembelajaran kooperatif atau bisa disebut kelompok kecil, mereka lebih bersemangat
karena merasa terbantu. Disinilah muncul hubungan timbal balik antar siswa satu
kelompok (Santrock, 2014, hlm 56).
2. Ketergantungan antar teman sebaya
Johnson & Johnson (2010) menyatakan bahwa pembelajaran dalam kelompok kecil
meningkatkan ketergantungan seorang siswa akan teman sebayanya (Santrock, 2014, hlm
56). Pada contoh yang disebutkan Ellis dkk. (1994) seorang siswa mungkin saja memilih
cara yang berbeda dengan yang diajarkan oleh guru mereka jika apa yang rekan mereka
ajarkan menurutnya lebih tepat untuk memecahkan suatu persoalan (Santrock, 2014, hlm
56).
3. Pendekatan pembelajaran kooperatif
Ada beberapa bentuk pendekatan pembelajaran kooperatif, beberapanya diantaranya
adalah :
1. Divisi tim pencapaian siswa
Slavin (1995) menyatakan bahwa tim ini melibatkan pengakuan dan tanggung
jawab kelompok untuk belajar dibawah kelompok dengan berbagai kemampuan.
Tim dengan pencapaian luar biasa akan diberi hadiah sebagai imbalannya (Santrock,
2014, hlm 57).
Awalnya, siswa akan diarahkan untuk membentuk sebuah kelompok kecil
beranggotakan 4-5 orang. Kemudian guru akan mengajarkan tentang topik yang
akan dibahas, setelahnya siswa ditugaskan untuk mempelajari materi berdasarkan
yang guru ajarkan di awal. Dalam kelompok ini, siswa akan diminta saling
mengawasi kinerja temannya, dan memastikan bahwa teman satu kelompoknya
telah menguasai materi tersebut. Setelahnya baru diadakan praktek lapangan, nilai
individu akan berpengaruh pada kontribusi skor terhadap kelompok (Santrock,
2014, hlm 57).
Pendekatan ini telah diterapkan pada berbagai mata pelajaran seerti matematika,
ilmu alam, dan ilmu sosial.
2. Kelas Jigsaw
Jigsaw I merupakan pendekatan dengan tim beranggotakan enam orang siswa dan
dipecah lagi sesuai materinya menjadi beberapa bagian (Eliot Aronson dkk. 1978).
Setiap anggota tim akan mempelajari materi yagng berbeda, kemudian diajarkan
kepada teman kelompoknya. Setelahnya mereka akan digilir menuju kelompok lain
dan menjelaskan tentang materi yang telah mereka pelajari tadi dan kemudian
kembali ke kelompok awalnya (Santrock, 2014, hlm 57).
Jigsaw II diciptakan oleh Robert Slavin (1995), dalam jigsaw II siswa akan
membentuk kelompok kecil beranggotakan 4-5 orang. Dan setiap anggota
kelompok tetap mempelajari keseluruhan materi (tidak dibagi seperti jigsaw I).
Sistem penilaian sama seperti pada divisi tim pencapaian siswa, nilai individu akan
berpengaruh pada kontribusi nilai keseluruhan kelompok. Setelah mempelajari
materi secara mendalam, maka siswa akan bertemu dengan kelompok yang
mendapatkan materi sama sepertinya. Mereka akan mendiskusikannya lagi
sehingga mendapat gagasan baru, setelah itu kembali pada kelompoknya dan
membantu anggota lain untuk paham (Santrock, 2014, hlm 57).
3. Belajar bersama
Ada 4 komponen yang dimiliki oleh pendekatan ini : (1) interaksi tatap muka, (2)
adanya saling ketergantungan yang positif, (3) catatan individu, (4) pengembangan
keterampilan kelompok. Siswa akan diminta untuk membentuk kelompok kecil
beranggotakan 4-5 orang berbeda pada beberapa tugas dengan memperkuat
kerjasama tim (Santrock, 2014, hlm 57).
4. Investigasi kelompok
Pendekatan yang dibentuk oleh Shlomo Sharan (1990; Sharan & Sharan, 1992)
ini melibatkan kolaborasi antara belajar mandiri dan kelompok yang terdiri dari 6
orang anggota. Awalnya guru akan menentukan masalahnya, kemudian siswa
mempelajarinya, tetapi siswa dapat memilih apa saja yang akan dipelajari.
Kemudian siswa akan membuat suatu karya yang dibagi kepada anggota kelompok
yang akan dikerjakan secara individual kemudian dijadikan satu menjadi karya
kelompok. Siswa akan bekerja sama dengan guru guna mengevaluasi hasil kerja
kelompok mereka (Santrock, 2014, hlm 57).
5. Kerjasama pembuatan naskah
Dansereu (1988) dan McDonald dkk. (1985) menyatakan bahwa dalam sebuah
kelompok kecil bentukan siswa ataupun guru, pasti akan terjadi hubungan timbal
balik. Siswa yang satu menerangkan, yang lain mencatat, mendengarkan,
mengevaluasi, dan memberikan feedback. Begitu pula sebaliknya dengan anggota
kelompok yang lain (Santrock, 2014, hlm 57).
Evaluasi Pembelajaran Kooperatif
Cooperative learning memiliki banyak manfaat diantaranya dapat meningkatkan
kemampuan siswa yang berkemampuan menengah hingga kebawah dalam bidang
akademik. Adanya pembelajaran kooperatif juga mampu meningkatkan motivasi,
menghargai perbedaan pendapat, mampu bekerja dalam peran, serta melatih keaktifan
siswa.
Diantara beberapa kelebihan tersebut, terdapat pula kekuranganya yaitu siswa
merasa terbebani dengan kerja kelompok, terdapat beberapa anggota kelompok yang tidak
memiliki hubungan baik membuat kerja kelompok menjadi tidak efektif, pembelajaran
kooperatif juga memungkinkan beberapa siswa tidak bekerja dan akibatnya ada siswa yang
bekerja sendirian.
Maka dari itu guru harus mampu memberi pamahaman intens kepada muridnya dan
guru setidaknya juga harus mampu memahami murid dalam segi skill, karakter, dan
kemampuan beradptasi membuat pertimbangan dengan memperhatikan. Sehingga dapat
dibuat keputusan mengenai cara menyusun kelompok berdasarkan faktor-faktor tersebut
MENGATUR KELOMPOK
Membentuk sebuah kelompok kecil merupakan sebuah penerapan cooperative
learning. Tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah untuk saling melengkapi
sehingga pembelajaran yang terjadi lebih efektif dengan harapan mampu diterapkannya
team building. Maka dari itu, dalam mengatur sebuah kelompok, sangat penting untuk
mempertimbangkan keberagaman keterampilan, gender, dan sosial budaya bahkan
status ekonomi (Johnson & Johnson, 2010). Hal yang harus diperhatikan agar kerja
dalam kelompok berjalan sesuai yang diharapkan yaitu perlu adanya pembagian kerja
dan peran serta ada keseimbangan dalam menyusun kpmposisi kelompok yang
heterogen.
Kemampuan Yang Heterogen
Kekurangan penerapan ini yaitu rentan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan seperti
beberapa murid yang berkemampuan dibawah rata-rata akan merasa minder dan murid
yang berkemampuan tinggi akan merasa terbebani. Selain itu belum tentu murid yang
berperan sebagai tutor memiliki kemauan dan kemampuan dalam mengajak dan
mengajar teman-temannya. namun kekurangan tersebut bias diminimalisir apabila guru
mampu memberi pengarahan yang baik bagi muridnya.
Heterogenitas Etnis, Sosial-Ekonomi, dan Gender
Sudah menjadi tugas seorang guru untuk memberikan pemahaman sejak dini kepada
muridnya mengenai heterogenitas. Namun pemahaman saja tidak cukup tanpa ada
penerapan langsung. Salah satu penerapan yang bisa dilakukan yaitu melalui kelompok
kecil yang tersusun oleh keberagaman etnis, sosial-ekonomi, dan gender. Tujuannya
yaitu untuk mengurangi persepsi salah yang dapat menimbulkan prasangka. Namun
perlu diingat bahwa, dalam membentuk suatu kelompok yang heterogen, jangan sampai
komposisi keberagaman tersebut terlihat jelas dan jangan juga memasukkan satu murid
yang memiliki perbedaan paling mencolok atau bahkan paling minoritas. Tujuannya
yaitu untuk menghindari seorang murid manjadi bahan perhatian
Beberapa panduan strategi untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam
membentuk tim (Aronson & Patnoe 1997) :
Seperti yang kita ketahui, penerapan teori-teori serta gagasan konstruktivis dikemas dalam
beberapa program. Yaitu, program membina komunitas pembelajaran dan sekolah untuk pikiran.
1. Kurikulum
Tiga komponen diatas menuntut siswa untuk berpikir tentang permasalahan di
dunia nyata dan bukan hanya seperti yang guru mereka contoh kan di kelas. Pusat
kurikulum adalah kegiatan yang berbasis masalah dan proyek kelompok maupun
individu. Karena sebuah peneilitian sangatlah penting pada ilmu sains,
matematika, dan ilmu-ilmu sosial.
Dalam hal ini siswa juga dituntut untuk melakukan penelitian serta
penyelidikan yang melintas dari batas-batas yang biasa ditetapkan pada kelas
biasa. Sebagai contoh adalah melakukan penyelidikan yang berkaitan dengan
populasi, melakukan sampling data, melakukan perhitungan, dan masalah lain
yang biasanya terbatas.
2. Instruksi
Pada ketiga komponen diatas, perubahan situasi dalam pembelajaran di kelas
merupakan peranan penting. Pada sekolah – sekolah biasa, siswa hanya belajar
dari apa yang diberikan oleh guru, dan guru merupakan peran penting karena
gurulah yang memberi tahu siswa akan sebuah informasi. Pada intinya, siswa
hanya mendengar dan menirukan apa yang diajarkan oleh seorang guru (Greeno,
2006).
Namun, pada ketiga program tadi (Jasper, CSILE, Forum Pembina
Pembelajaran), siswa diberi banyak kesempatan untuk mengatur
pembelajarannya sendiri, siswa diberi kesempatan agar lebih mandiri dalam hal
pemecahan masalah, menekankan kerjasama, dan siswa bebas mengeksplorasi
gagasan mereka seluas mungkin, mengevaluasi informasi yang mereka dapat, dan
mempertimbangkan gagasan - gagasan yang dikemukakan oleh orang lain. Hingga
muncullah hubungan timbal balik oleh rekan sebaya, guru atau tentor, dan para
ahli.
Struktur merupakan hal penting dalam lingkungan Sekolah Untuk Pikiran ini.
Guru, dan para ahli terus menerus belajar pada domain yang dipelajari, karena
semakin kesini, hal itu akan terus berkembang. Seiring dengan munculnya
berbagai macam pertanyaan dari siswa, guru bertugas memantau, membingkai,
dan mengeksplorasi. Dengan cara ini, guru memandu arah penyelidikan/penelitian
siswa, sehingga siswa mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang domain
tersebut.
3. Komunitas
Permasalahan banyak berfokus pada masyarakat, sehingga program ini
menekankan pentingnya guru dan siswa untuk berkesempatan menjadi anggota
komunitas secara luas. Agar siswa dapat belajar tentang pemecahan masalah yang
ada.
4. Teknologi
Proyek Jasper, FCL (Komunitas Pembinaan Pembelajaran), dan CSILE
(pembelajaran berbasis komputer) mendorong pembelajaran mengunakan
komputer dan elektronik agar dapat berkomunikasi dengan komunitas lain yang
ada diluar sana.
5. Penilaian
Penilaian dalam ketiga program diatas tidak berfokus pada peningkatan nilai
ujian siswa. Namun, berfokus pada pencapaian kinerja siswa seperti (menjawab
pertanyaan, bertanya, menulis untuk membentuk sebuah laporan mengenai hal
yang baru), membuat penilaian tujuan pembelajaran dan pengajaran agar
terkoordinasi secara baik, dan mendorong siswanya untuk terlibat aktif dalam
penilaian individu.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Nizar. 2014. Konstrukrivisme Dan Pembelajaran Matematika. Jurnal Darul Ilmi Vol. 02 :
63-65
Bambang Ribowo. 2006. Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas Iia Smp Negeri
2 Banjarharjo Brebes Dalam Pokok Bahasan Segiempat Melalui Model Pembelajaran Tutor
Sebaya Dalam Kelompok Kecil. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Universitas Negeri Semarang:
Semarang
Samuel, Donald. 2018. Manfaat Pembelajaran Kooperatif Team Games Tournament (TGT)
Dalam Pembelajaran. Artikel Program Studi PGSD Fakultas Humaniora, President University:
Bekasi