Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

TEORI BELAJAR

KONSTRUKTIVIS SOSIAL

Oleh

Widiet Nurcahyo Ramadhana (190220104008)


Rusmala Evi Anggraeni (190220104019)
Rilla Nofita Putri (190220104029)

PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN IPA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
September 2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, taufik serta hidayah-Nya yang sangat
besar sehingga penyusun pada akhirnya bisa menyelesaikan makalah Teori Belajar
tepat pada waktunya. Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen
pengampu mata kuliah Teori Belajar Ibu Dr. Jekti Prihatin, M.Si., dan Bapak Dr.
Supeno, M.Si., yang telah membimbing selama kegiatan perkuliahan sehingga
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini sesuai waktu yang telah ditentukan.
Semoga makalah yang telah kami susun ini turut memperkaya khazanah
ilmu pendidikan serta bisa menambah pengetahuan dan pengalaman para
pembaca. Selayaknya kalimat yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang
sempurna. Kami juga menyadari bahwa makalah ini juga masih memiliki banyak
kekurangan, oleh sebab itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan
makalah ini.

Jember, 22 September 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i


KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI.............................................................................................. iii
BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 1
1.3 Tujuan ......................................................................................... 1
1.4 Manfaat ...................................................................................... 2
BAB 2. PEMBAHASAN ............................................................................. 3
2.1 Pengertian Teori Belajar Konstruktivistik Sosial ........................ 3
2.2 Tokoh Teori Belajar Konstruktivistik Sosial ................................ 4
2.3 Pembelajaran kooperatif dalam konstruktivis sosial ................. 8
2.4 Aplikasi teori belajar konstruktivis sosial ................................... 15
BAB 3. PENUTUP ..................................................................................... 25
3.1 Kesimpulan ................................................................................. 25
3.2 Saran ........................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 26

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendidikan merupakan hal penting bagi setiap manusia. Manusia berhak
mendapatkan fasilitas yang terbaik untuk mendapatkan pengetahuan. Penerapan
pembelajaran di sekolah harus memberikan pengetahuan yang bermakna bagi
setiap siswa. Karakteristik siswa yang beragam, menuntut guru untuk bisa
memberikan pengetahuan secara adil kepada siswa sehingga penting bagi guru
untuk mengetahui psikologi siswa. Seorang guru yang professional harus memiliki
kemampuan akan pengetahuan yang baik. Selain itu guru juga harus memiliki
kemampuan pedagogical knowledge, yaitu bagaimana cara mengajar atau
mentransferkan ilmu kepada siswa secara efektif dan efisien.
Pengetahuan yang didapatkan oleh siswa tidak bisa hanya diberikan oleh
guru saja, melainkan siswa harus bisa mengonstruksikan pengetahuan.
Keterampilan siswa untuk bisa mengontruksi pengetahuan harus dilatih oleh guru.
Proses merekonstruksikan pengetahuan tidak terlepas dari kemampuan sosial
anak. Siswa akan mendapatkan pengetahuan yang lebih luas ketika mendapatkan
pengetahuan dari siswa yang lain. Interaksi sosial yang terjalin antara siswa bisa
mengembangkan kemampuan sosial anak.
Interaksi sosial antara siiswa turut mengembangkan kemampuan dalam
berkomunikasi. Selain itu, kemampuan sosial yang baik akan berpengaruh kepada
kemampuan kognitif anak (Bourne, 2018: 20). Guru harus bisa memfasilitasi siswa
untuk mengembangkan potensi siswa. Oleh sebab itu guru harus memahami
bagaimana teori pembelajaran dengan bak, sehingga mampu memberikan
pembelajaran yang efektif dan efisien.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian konstruktivis sosial ?
2. Siapakah tokoh yang mengembangkan teori konstruktivis sosial ?
3. Bagaimanakah pembelajaran kooperatif dalam konstruktivis sosial ?

1
4. Bagaimanakah aplikasi teori belajar konstruktivis sosial ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Teori Belajar Konstruktivis
Sosial
2. Untuk mengetahui tokoh teori belajar konstruktivis sosial
3. Untuk mengetahui pembelajaran kooperatif dalam konstruktivis sosial
4. Untuk mengetahui aplikasi Teori Belajar konstruktivis sosial dalam
pembelajaran.

1.4 Manfaat
1. Mahasiswa dapat mengetahui apakah yang dimaksud dengan teori Belajar
konstruktivis sosial.
2. Mahasiswa dapat mengetahui siapa tokoh dalam konstruktivis sosial.
3. Mahasiswa dapat mengetahui pembelajaran kooperatif dalam teori belajar
konstruktivis sosial.
4. Mahasiswa aplikasi teori belajar konstruktivis sosial dalam pembelajaran.

2
BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Konstruktivis Sosial


Konstruktivis sosial merupakan teori pengetahuan dalam teori sosiologi
dan komunikasi yang dikembangkan secara bersama oleh individu. Teori ini
mengasumsikan bahwa pemahaman dan makna yang dikembangkan, dalam
koordinasi dengan manusia lain (Amineh et al., 2015). Keterlibatan dengan orang
lain akan membuka kesempatan bagi siswa untuk mengevaluasi dan memperbaiki
pemahaman mereka dengan pemikiran orang lain dan saat mereka berpartisipasi
dalam pencarian pemahaman bersama (Baharudin, 2007). Teori konstruktivis
sosial ini berbeda dengan teori konstruktivis individu, dimana individu
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan baru, sedangkan pada teori
konstruktivis sosial menekankan pada peran sosial dalam konteks konstruksi
pengetahuan. Menurut perspektif pembelajaran ini, siswa berbagi perspektif
individu dengan orang lain untuk membangun pemahaman bersama itu
tidak mungkin dibangun secara individual (Moreno, 2010).
Teori konstruktivis sosial ini dipengaruhi oleh teori perkembangan kognitif
Vygotsky. Teori konstruktivis Vygotsky juga disebut teori sosiokultural. Vigotsky
(dalam Amineh et al., 2015) menyatakan bahwa pertumbuhan kognitif terjadi
pertama kali pada tingkat sosial dan kemudian dapat terjadi dalam diri individu.
Untuk memahami orang lain dan dapat membangun pengetahuan pada tingkat
sosial akan memungkinkan siswa untuk menghubungkan diri mereka dengan
keadaan (Roth, 2000). Rooth juga menyatakan bahwa akar pengetahuan individu
ditemukan dalam interaksi mereka dengan lingkungan mereka dan orang lain.
Menurut Kim (2001), konstruktivis sosial adalah didasarkan pada asumsi
spesifik tentang kenyataan, pengetahuan, dan pembelajaran. Teori konstruktivis
sosial percaya bahwa kenyataan tidak dibuat sebelum penemuan sosial. Asumsi
kedua menyatakan bahwa individu dapat menciptakan makna atau pengetahuan
ketika mereka berinteraksi satu sama lain dan dengan lingkungan tempat mereka

3
tinggal, dan asumsi ketiga bahwa konstruktivis sosial menekankan bahwa belajar
adalah proses sosial. Selain itu, konstruktivis sosial menyatakan bahwa
pembelajaran yang bermakna terjadi ketika individu terlibat dalam kegiatan sosial
seperti interaksi dan kolaborasi. Dengan kata lain, di samping individu, lingkungan
di mana individu berada, sangat menentukan proses pembentukan pengetahuan
pada individu itu sendiri.

2.2 Tokoh Teori Belajar Konstruktivis Sosial

Gambar 1. Lev Semyonovich Vygotsky

Vygotsky adalah tokoh teori belajar konstruktivis sosial, Vygotsky


menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi atau menyusun suatu konsep
perlu memperhatikan lingkungan sosial. Vygotsky berpendapat seorang siswa
yang mempelajari suatu konsep atau keterampilan, konsep atau keterampilan itu
harus berada dalam apa yang disebutnya sebagai "zona perkembangan proksimal"
siswa. Zona perkembangan proksimal (Zone of proximal development) adalah
teori yang digunakan untuk menentukan apakah siswa itu mampu belajar. Jika
konsep atau keterampilan adalah sesuatu yang dapat dilakukan siswa dengan
bantuan "orang lain yang lebih berpengetahuan," maka konsep atau keterampilan
adalah sesuatu yang dapat mereka lakukan sendiri setelah mempelajarinya
dengan dukungan. Vygotsky menyebut bahwa dukungan yang diterima oleh siswa
untuk belajar sebagai "scaffolding" (Smagorinsky, P, 2018:1).

4
Teori konstruktivis Vygotsky juga disebut teori sosiokultural. Ini karena
Vygotsky tidak hanya menekankan peran fasilitatif interaksi sosial dalam
pertumbuhan kognitif siswa, tetapi juga menganggap pembelajaran terletak di
dalam budaya siswa (Moreno, 2010:302). Vygotsky menekankan pada pentingnya
hubungan antara individu dan lingkungan sosial dalam pembentukan
pengetahuan bahwa interaksi sosial yaitu interaksi dengan orang lain merupakan
faktor terpenting yang dapat memicu perkembangan kognitif seseorang.
Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan konsep konstruktivis
sosial yaitu :
1. ZPD (Zone of Proximal Development )
Zone of Proximal Development adalah jarak antara tingkat perkembangan
sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara
mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai
kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui
kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu (Fani, T dan Farid G. 2011:2).
Vygotsky percaya bahwa pembelajaran paling banyak terjadi efektif ketika
anak-anak bekerja dalam zona perkembangan proksimal mereka. Tugas di dalam
zona perkembangan proksimal adalah zona yang belum dapat dicapai seorang
anak sendirian tetapi dapat dicapai dengan bantuan teman sebaya atau orang
dewasa yang lebih kompeten. Artinya, zona perkembangan proksimal
menggambarkan tugas-tugas yang belum dipelajari anak tetapi mampu belajar
pada waktu tertentu (Slavin, 2018:34).

5
Gambar 2. Zone of Proximal Development (Slavin 2018)
Seorang anak melakukan tugasnya, anak itu dibantu oleh seorang guru
atau rekan yang berinteraksi dengan anak lainnya untuk membantunya pindah ke
zona perkembangan proksimal (tugas yang tidak dipelajari di batas kemampuan
seorang pelajar) dengan tugas baru yang dipelajari (Slavin, 2018:34). Siswa akan
dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD.

2. Metode Pembelajaran Didukung oleh Teori Vygotsky.


1) Scaffolding
Scaffolding mengacu pada proses di mana dukungan yang diberikan
kepada siswa secara bertahap dikurangi. Dukungan penuh biasanya ditawarkan
pada awal pengajaran dan kemudian secara bertahap ditarik sampai siswa dapat
bekerja secara mandiri (Könings, et al, 2019:85).
Menurut Brunner (2007) scaffolding sebagai suatu proses dimana seorang
siswa dibantu menuntaskan masalah tertentu melampaui kapasitas
perkembangannya melalui bantuan dari seorang guru atau orang lain yang
memiliki kemampuan lebih seperti gambar berikut :

6
Gambar 3. Scaffolding

2) Guided participation
Guided participation terjadi ketika anak-anak terlibat dalam kegiatan belajar
dengan orang lain yang lebih cakap yang memberikan mediasi dan dorongan yang
dibutuhkan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru (Rogoff,
2003).
3) Apprenticeship
Apprenticeship ialah hubungan satu lawan satu di mana orang yang kurang
mampu, atau "magang," dipasangkan dengan orang yang lebih berpengalaman,
juga disebut mentor atau tutor (Moreno, 2010:92).
Inti teori Vigotsky adalah menekankan interaksi antara aspek internal dan
eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial. Menurut
teori ini fungsi kognitif manusia berasal dari interaksi sosial masing-masing
individu. Implementasi Teori Belajar Vygotsky dalam interaksi belajar mengajaran
sebagai berikut :
a. Anak dilibatkan dalam pembelajaran aktif dan guru juga harus secara aktif
mendampingi setiap kegiatan anak-anak. Dalam istilah teoristik berarti anak-anak
bekerja dalam Zone of Proximal Development dan guru menyediakan scaffolding
bagi anak selama melalui ZPD
b. Vygotsky mengemukakan bahwa teman sebaya juga berpengaruh penting pada
perkembangan kognitif anak, kerja kelompok secara kooperatif tampaknya
mempercepat perkembangan anak

7
c. Gagasan tentang kelompok kerja kreatif ini diperluas menjadi pengajaran
pribadi oleh teman sebaya (peer tutoring) yaitu seorang anak mengajari anak
lainnya yang agak tertinggal dalam pembelajaran. Satu anak bisa lebih efektif
membimbing anak lainnya melewati ZPD karena mereka sendiri baru saja
melewati tahap itu sehingga bisa dengan mudah melihat kesulitan-kesulitan yang
dihadapi anak lain dan menyediakan scaffolding yang sesuai.

2.3 Pembelajaran kooperatif dalam kontruktivis sosial

Pembelajaran kooperatif, merupakan pembelajaran dimana sekelompok


kecil siswa bekerja bersama-sama untuk memahami informasi baru atau
memecahkan masalah baru. Tidak ada perbedaan yang jelas antara
konstruktivis sosial dan pendekatan konstruktivis lainnya. Misalnya, ketika guru
berfungsi sebagai panduan bagi siswa dalam menemukan pengetahuan, ada
dimensi sosial untuk konstruksi. Dan hal yang sama juga terjadi berlaku untuk
memproses informasi. Jika seorang guru membuat sesi curah pendapat bagi
siswa untuk menghasilkan strategi ingatan yang baik, interaksi sosial jelas
terlibat. Beberapa pendekatan sosiokultural, seperti Vygotsky, menekankan
pentingnya budaya dalam pembelajaran misalnya, budaya dapat menentukan
keterampilan apa yang penting (Seperti keterampilan komputer, keterampilan
komunikasi, keterampilan kerja tim) (Gauvain & Parke,2010). Pendekatan lain
fokus lebih eksklusif pada keadaan sosial langsung kelas, seperti ketika siswa
berkolaborasi untuk memecahkan masalah.

Pembelajaran kooperatif juga didukung oleh teori-teori pembelajaran


lainnya:
a) Konstruktivisme individualistis menunjukkan bahwa interaksi dengan guru
dan teman sebaya dapat menciptakan disekuilibrium yakni anak menyadari
bahwa penilaiannya bertentangan dengan sumber, hal ini diperlukan bagi
siswa untuk terlibat dalam pertumbuhan kognitif.

8
b) Pandangan kognitif pembelajaran menunjukkan bahwa diskusi kelompok
dapat memfasilitasi dalam pelatihan, organisasi, dan proses elaborasi,
ketika siswa menjelaskan mereka memikirkan orang lain dan
mendengarkan perspektif baru.
c) Teori pembelajaran sosiokognitif menunjukkan bahwa kelompok
kooperatif dapat memiliki pengaruh kuat pada pembelajaran sosial dan
akademik.
Pembelajaran kooperatif memiliki sejarah panjang dalam pendidikan dan
semakin penting ketika kita bergerak menuju dunia yang ditandai oleh
globalisasi dan kebutuhan untuk mengoordinasikan upaya menuju tujuan
bersama. Guru memiliki pilihan untuk menyusun kegiatan kelas sehingga siswa
bekerja secara individu, bersaing satu sama lain, atau bekerja bersama.
Meskipun kompetisi secara umum dianggap sebagai alternatif terbaik untuk
meningkatkan motivasi dan pembelajaran, penelitian menunjukkan bahwa
metode pembelajaran kooperatif dapat lebih unggul ketika dirancang dengan
cermat (Johnson & Johnson, 1995a; Johnson,Johnson, & Smith, 1995). Dalam
hal motivasi:
Siswa dalam kelompok pembelajaran kooperatif menghabiskan lebih banyak
waktu untuk tugas (Johnson et al., 1995; Slavin, 1995).
a) Siswa dalam kelompok belajar kooperatif lebih mungkin untuk
mengembangkan akademisnya, seperti perasaan bahwa teman satu
grup mereka bersyukur akan kehadiran mereka di kelompk sehingga
bekerja lebih keras (Slavin, 1995).
b) Siswa dalam kelompok belajar kooperatif lebih cenderung bergaul
dengan teman sebaya dari ras, etnis, atau status sosial ekonomi yang
berbeda dari siswa yang memegang kendali kelompok (Johnson &
Johnson, 1995a).
Merancang pembelajaran kooperatif agar efektif. Ada lima elemen dasar
pembelajaran kooperatif: Ketergantungan positif antar anggota, sikap tanggung
jawab individu, interaksi tatap muka, keterampilan sosial, dan pemrosesan

9
kelompok (Johnson & Johnson, 1999). Jo. Dalam pembelajaran kooperatif, siswa
saling mendorong untuk bekerja bersama-sama menuju tujuan bersama, kinerja
individu diperiksa secara teratur, dan kinerja akademik kelompok lebih tinggi
dari pada jika mereka bekerja secara individual. Dalam kelompok pembelajaran
kelas tradisional, siswa ditugaskan untuk bekerja dalam kelompok tetapi tidak
mendorong satu sama lain untuk bekerja menuju tujuan bersama. Sebaliknya,
beberapa anggota mungkin bekerja sangat keras, sedangkan yang lain mungkin
melakukan sedikit pekerjaan. Dalam pembelajaran semu kelompok, siswa
ditugaskan untuk bekerja dalam kelompok tetapi mereka tidak tertarik untuk
melakukannya. Akibatnya, kinerja akademik siswa cenderung lebih rendah dari
pada jika mereka bekerja secara individual pada kegiatan yang sama.
Secara umum pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang
mengutamakan kerja sama siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran, atau
kelompok pembelajaran kelas tanpa dipaksakan. Untuk menghindari potensi
keterpaksaan siswa, berikut ini lima elemen penting yang pada saat merancang
kegiatan pembelajaran kooperatif:
a. Saling ketergantungan positif

Anggota kelompok perlu merasa bahwa mereka tidak dapat berhasil


secara pribadi kecuali anggota kelompok lainnya juga berhasil. Saling
ketergantungan positif dapat dibangun dengan menciptakan tujuan bersama,
penghargaan bersama, dan peran saling melengkapi (Kagan, 1994). Berikut
adalah 12 peran potensial dalam pembelajaran kooperatif.
Tabel 1. 12 peran potensial dalam pembelajaran kooperatif
PERAN SISWA DEFINIFISI
Pemeriksa. Memastikan bahwa semua anggota
sedang belajar.
Pelatih Menjelaskan bahan akademik sesuai
kebutuhan.

10
Motivator Mendorong anggota yang enggan atau
malu untuk berpartisipasi.
Pengatur keadaan Memastikan bahwa tidak ada anggota
yang mendominasi grup.
Monitor bahan Mempersiapkan dan mengembalikan
bahan untuk kegiatan kelompok.
Apresiasi Mengakui pencapaian anggota
kelompok.
Monitor pertanyaan Memastikan bahwa semua pertanyaan
ditangani.

Ketua Mengatur atau menjaga suasana


pembelajaran tetap kondusif.
Pencatat Menulis ide kelompok; merangkum
diskusi.
Monitor tugas Memastikan semua anggota mendapat
tugas setiap saat.
Monitor waktu Mengamati waktu dan kemajuan yang
dicapai.
Presenter Melaporkan temuan kelompok ke kelas.

Guru dapat memodelkan peran ini dan kemudian menugaskannya kepada


anggota kelompok yang berbeda sehingga meningkatkan rasa saling
ketergantungan dalam pembelajaran. Jenis dan jumlah peran yang ditugaskan
akan tergantung pada usia perkembangan peserta didik dan tujuan
pembelajaran. Ambil contoh kasus kelas studi sosial Ibu Rusmala, di mana siswa
bekerja dalam kelompok kecil untuk mempresentasikan. Setiap grup memiliki
empat anggota satu bertugas memastikan setiap orang memiliki kesempatan
yang sama untuk berbagi ide-ide mereka, yang lain bertugas memeriksa semua
agar belajar, anggota ketiga mencatat semua ide yang dihasilkan oleh grup, dan

11
anggota akhir bertugas mengidentifikasi satu kontribusi positif dari setiap
anggota kelompok.
b. Akuntabilitas individu
Untuk menghindari masalah khas di kelas kelompok belajar, di mana
beberapa siswa melakukan sebagian besar pekerjaan sementara yang lain
melakukan sedikit pekerjaan, guru harus memiliki penilaian individu di samping
penilaian kelompok. Dengan cara ini, siswa bertanggung jawab atas kinerja
mereka sendiri dan akan lebih mungkin untuk berkontribusi pada tujuan
kelompok. Mengevaluasi seluruh kelompok pada proyek bersama, contohnyai
Ibu Rilla memiliki catatan masing-masing anggota kelompok, tulis tentang apa
yang mereka kontribusikan kepada kelompok, apa yang mereka pelajari, dan
bagaimana mereka akan meningkatkannya.

c. Interaksi tatap muka

Interaksi adalah mekanisme dimana terjadi kerja sama yang jelas, jika
sekelompok siswa tidak terlibat atau diam duduk bersama di kelas tidak akan
meningkatkan pembelajaran akademik. Karena itu, pembelajaran kooperatif
yang efektif mengharuskan anggota untuk secara aktif membantu, mendukung,
dan mendorong upaya kelompok. Untuk memaksimalkan kemungkinan
interaksi yang bermakna dan kaya, guru harus merancang kelompok belajar
kooperatif mereka menjadi relatif kecil dan heterogen, latar belakang budaya
dan bahasa, dan kemampuan. Ambil contoh Pak Widit mendesain ruang
kelasnya demikian rupa bahwa meja siswa semua anggota kelompok saling
berhadapan. Dia kemudian memberikan tempat duduk sehingga ada jumlah
yang sama dari kelompok, anak laki-laki dan perempuan, serta kemampuan
seimbang. Kelompok yang terdiri dari tiga atau empat siswa terbukti sangat
efektif (Hatano & Inagaki, 1991; Lou et al., 1996).
Selain itu usahakan untuk membuat kelompok campuran, bukan siswa
dengan kemampuan yang sama (beberapa bentuk sementara pengelompokan
kemampuan dapat meningkatkan pembelajaran, khususnya di bidang

12
matematika dan membaca). Di satu sisi, beberapa studi menunjukkan bahwa
baik siswa berkemampuan tinggi dan rendah mendapat manfaat dari
pembelajaran kooperatif (Stevens & Slavin, 1995; Webb & Palincsar, 1996).
Sebaliknya, beberapa studi menunjukkan bahwa siswa berkemampuan tinggi
mungkin tidak mendapatkan atau bahkan mungkin kehilangan peran utama
dalam kelompok campuran (Hogan & Tudge, 1999; Webb, Nemer, & Zuniga,
2002). Akan tetap, siswa berkemampuan tinggi dapat mendominasi diskusi dan
menyalahkan mereka yang hanya berkontribusi sedikit pada kelompok ketika
kelompok itu tidak berhasil, dan siswa dengan tingkat rendah dapat menahan
diri dari meminta bantuan kepada siswa yang berkemampuan tinggi (Kumar,
Gheen, & kaplan, 2002; Webb et al., 2002). Oleh karena itu, para guru perlu
memonitor secara hati-hati dinamika kelompok kemampuan campuran dan
membuat perubahan yang sesuai ketika kelompok tidak bekerja.

d. Keterampilan sosial

Mungkin salah satu tugas yang paling menantang bagi seorang guru adalah
mengajar dan memonitor penggunaan keterampilan interpersonal yang tepat ketika
berinteraksi dengan kelompok lain. anggota Keterampilan ini diperlukan untuk fungsi
kelompok yang efektif dan perlu dilakukan secara eksplisit diajarkan dan dipraktikkan
sebelumnya kelompok diminta untuk menangani tugas tertentu. Seorang guru dapat
memodelkan pengambilan keputusan kelompok dengan meminta seluruh kelas
melakukan brainstorming ide sementara dia menulisnya pada grafik penyelenggara yang
mencantumkan pro dan kontra dari setiap ide sebelum memiliki kelompok kecil membuat
keputusan tentang topik proyek mereka.

e. Pemrosesan kelompok

Pembelajaran kooperatif membutuhkan anggota kelompok untuk memantau


perkembangan grup. Elemen ini melayani dua tujuan. Pertama, mempromosikan
pengaturan diri siswa dengan membina keterampilan metakognitif siswa untuk

13
mengevaluasi dan merefleksikan proses pembelajaran dan hasil. Kedua, membantu siswa
belajar tentang dinamika kerja kelompok dan hubungannya dengan pembelajaran.

Guru tertarik pada pembelajaran kooperatif karena memungkinkan


mereka mengajarkan keterampilan akademik dan sosial. Namun penelitian
menunjukkan bahwa sangat sedikit guru mencakup lima elemen pembelajaran
kooperatif yang penting yang diperlukan untuk memastikan pembelajaran
keterampilan tersebut. Dalam satu studi penelitian, hanya 1 dari 21 guru
dilaporkan menggunakan lima elemen (Antil, Jenkins, Wayne, & Vadasy, 1998),
dan hasil yang serupa ditemukan dalam sebuah studi dari 216 guru sekolah dasar
dan menengah yang sangat dihormati, yang implementasi sebenarnya dari lima
elemen, guru tersebut secara signifikan lebih rendah dari yang diharapkan (Lopata,
Miller, & Miller, 2003). Selain itu, kritik terhadap pembelajaran kooperatif
berpendapat bahwa siswa introvert merasa tertekan dan tidak nyaman bekerja
dengan orang lain, siswa berkemampuan tinggi cenderung mendominasi agenda
kelompok, bersosialisasi cenderung lebih diutamakan dari pada belajar, dan
terlalu banyak tanggung jawab untuk materi yang akan dipelajari ditempatkan di
siswa tangan (Randall, 1999). Di sisi positif, masing-masing batasan pembelajaran
kooperatif dapat diatasi ketika seorang guru yang efektif dan siap menggunakan
metode ini dengan cara yang tepat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
menggabungkan antara saling ketergantungan positif dan akuntabilitas individu
dalam pembelajaran kooperatif menghasilkan hasil belajar yang signifikan bagi
siswa di kelas 2 sampai 12 dalam semua mata pelajaran dan jenis sekolah (Ellis,
2005; Rohrbeck, Ginsburg-Block, Fantuzzo, & Miller, 2003; Slavin, Hurley, &
Chamberlain, 2003). Ketika pembelajaran kooperatif tidak termasuk dua elemen
di atas, tidak ada efek positif pada pembelajaran ditemukan (Klein &
Schnackenberg, 2000).

14
2.4 Aplikasi belajar kontruktivis sosial.

Pada bagian ini, beberapa format pembelajaran kooperatif yang paling


terkenal, termasuk pendekatan struktural, divisi pencapaian siswa, jigsaw,
investigasi kelompok, kontroversi terstruktur, skrip kooperatif, dan bacaan serta
komposisi terpadu. Pendekatan struktural, pendekatan pembelajaran
kooperatif ini terdiri dari pembentukan struktur untuk pembelajaran yang dapat
disesuaikan dengan berbagai tugas (Kagan, 1994). Dalam think-pair-share
structure, siswa dikelompokkan menjadi berpasangan sebelum pelajaran
dimulai. Kemudian guru menyajikan pelajaran yang mungkin termasuk materi
pelajaran, demonstrasi, dan beberapa kegiatan langsung. Selanjutnya, guru
menulis pertanyaan di papan tulis yang mengharuskan siswa untuk
menguraikan pelajaran. Setiap siswa pertama- tama berpikir tentang jawaban
pertanyaan secara individu dan kemudian berpasangan dengan pasangan untuk
membagikan jawaban mereka. Akhirnya, semua pasangan membagikan
jawaban mereka dengan kelas dalam diskusi seluruh kelas. Divisi pencapaian tim
siswa (STAD).

Slavin dan rekannya mengusulkan STAD metode pembelajaran


kooperatif. Dalam metode ini, siswa diatur ke dalam kelompok empat hingga
enam anggota, dengan kemampuan campuran, latar belakang, dan jenis
kelamin. Guru mulai dengan memperkenalkan aktivitas kelompok ke kelas
secara keseluruhan, memungkinkan untuk pertanyaan dan diskusi. Kemudian
siswa masuk ke dalam kelompok dan belajar bersama sampai semua anggota
kelompok mampu secara individual menyelesaikan tugas yang harus dipelajari.
Pada saat ini, setiap anggota kelompok mengikuti kuis pada materi tanpa
bantuan anggota kelompok lainnya. Akhirnya, guru menghitung skor
peningkatan untuk setiap siswa dan menambahkan skor peningkatan siswa
secara individu untuk mendapatkan skor peningkatan tim.

15
Untuk memperoleh skor peningkatan individu, kuis skor individu dibandingkan
dengan milik siswa rata-rata sebelumnya. Seorang guru dapat datang dengan
sistem penilaian berikut: Dia memberi 1 poin untuk setiap poin yang nilai kuis
siswa melebihi rata-rata masa lalunya sendiri hingga maksimal 10 poin, ia
memberikan 10 poin kepada siswa yang memiliki nilai kuis sempurna, dan dia
tidak memberikan skor peningkatan jika skor nol. Kelompok yang mendapatkan
skor peningkatan tim tertinggi kemudian diberi penghargaan, pengakuan di
buletin sekolah, dan sebagainya. Sebuah studi selama setahun di matematika
kelas sembilan menunjukkan bahwa siswa yang belajar dengan metode STAD
meningkat secara signifikan lebih banyak daripada mereka yang dipelajari
dengan metode pembelajaran individu (Slavin & Karweit, 1984).G Jigsaw
struktur pembelajaran kooperatif ini pada awalnya diusulkan pada tahun 1970
oleh Aronson dan rekannya membawa siswa dari berbagai latar belakang etnis
yang berbeda (Aronson & Bridgeman, 1979). Harapannya adalah memberikan
siswa status yang sama dalam kelompok kooperatif akan mengurangi perasaan
diabaikan oleh teman. Dalam pengaturan jigsaw, setiap anggota grup
diperlukan untuk mempelajari bagian dari materi yang perlu dipelajari oleh
seluruh kelompok. Anggota kelompok yang berbeda menjadi ahli dalam topik
yang berbeda dan kemudian mengajarkan apa yang mereka miliki ke seluruh
kelompok. Dalam versi yang lebih baru dari model ini, yang disebut jigsaw II,
anggota ahli masing-masing kelompok bertemu dalam kelompok ahli untuk
memeriksa pemahaman mereka tentang topik dan memutuskan bagaimana
cara menyampaikan informasi yang dipelajari kepada rekan-rekan mereka.
Setelah siswa mengajarkan konten mereka masing-masing kepada rekan-rekan
kelompok mereka, semua siswa dinilai secara individual dan mendapatkan poin,
hadiah, atau pengakuan untuk kelompok mereka masing-masing (Aronson,
2000). Teknik jigsaw direkomendasikan ketika informasi yang akan dipelajari
dapat dibagi secara merata di antara anggota kelompok (Aronson & Patnoe,

16
1997) atau ketika proyek membutuhkan berbagai keterampilan dan setiap
anggota kelompok kemungkinan memiliki sesuatu untuk itu berkontribusi pada
kesuksesan kelompok (Cohen, 1994; Schofield, 1995). Namun sebuah
penelitian terbaru menyarankan bahwa siswa mungkin perlu pelatihan
keterampilan mengajar eksplisit untuk dapat secara efektif ajarkan apa yang
telah mereka pelajari kepada rekan-rekan mereka (Moreno, 2009). Siswa yang
belajar sains dalam kelompok jigsaw cenderung menghasilkan penjelasan
elaboratif.
 Investigasi kelompok
Pendekatan pembelajaran kooperatif ini menggabungkan kemandirian
pemikiran dan kerja kelompok (Sharan & Sharan, 1992). Guru memilih topik
umum dari kurikulum dan membaginya menjadi subtopik. Siswa kemudian
membentuk dua untuk mereka sendiri kelompok enam anggota, pilih subtopik
dari topik umum bahwa seluruh kelas sedang mempelajari, memecah subtopik
menjadi tugas-tugas individu, melakukan tugas-tugas, menyiapkan kelompok
melaporkan, dan membuat presentasi tentang penyelidikan mereka ke seluruh
kelas. Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang berpartisipasi dalam
investigasi kelompok mengungguli yang sebanding siswa yang berpartisipasi
dalam instruksi seluruh kelas pada tes informasi faktual dan transfer (Lazarowitz
& Karsenty, 1990; Sharan & Shaulov, 1990).
 Kontroversi terstruktur
Johnson dan Johnson (1995) menyarankan metode pembelajaran
kooperatif ini untuk membantu siswa mengekspresikan ketidaksetujuan,
mengembangkan keterampilan argumentasi, dan belajar tentang berbagai
perspektif suatu masalah. Dalam kontroversi terstruktur, guru memilih masalah
kontroversial di mana setidaknya ada dua posisi yang sangat berbeda dan
kontroversial. Kemudian guru membentuk kelompok yang terdiri dari empat
siswa, yang dibagi menjadi dua pasangan. Sepasang siswa diminta untuk
mengambil satu posisi tentang masalah ini dan yang lainnya adalah diminta

17
untuk mengambil posisi yang berlawanan. Tujuan dari kontroversi terstruktur
adalah siswa meneliti posisi yang ditugaskan, belajar tentang masalah dari sudut
pandang posisi yang ditugaskan, dan menyiapkan presentasi persuasif di mana
mereka terlibat diskusi terbuka dengan anggota dari posisi yang berlawanan.
Pasangan kemudian beralih memposisikan dan menyajikan argumen yang
berlawanan. Setelah kedua pasangan mempresentasikan keduanya argumen,
mereka dating bersama untuk mengembangkan laporan sebagai kelompok.
Agar kontroversi terstruktur menjadi efektif, penting untuk menciptakan rasa
menghargai lawan dan untuk menekankan bahwa kritik tidak boleh diarahkan
kepada pribadinya, tetapi lebih kepada argumen spesifik.
 Script kooperatif
Ini adalah metode pembelajaran di mana siswa bekerja berpasangan dan
menerima secara lisan bagian-bagian materi yang perlu dipelajari (O'Donnell &
Dansereau, 1992). Sementara satu siswa merangkum bagian dari materi, yang
lain siswa mendengarkan dengan cermat dan memperbaiki kesalahan atau
menunjukkan kelalaian. Lalu peran dialihkan dan proses berlanjut sampai
semua materi ditinjau. Dibandingkan dengan siswa yang meringkas sendiri atau
hanya membaca materi, mereka yang menggunakan skrip kooperatif belajar
dan lebih mengingat materi akademik, dengan keuntungan yang belajar terjadi
untuk bagian-bagian di mana siswa merangkum dari pada mendengarkan
pasangan mereka (O'Donnell, 2000). Bacaan dan Komposisi Terpadu Kooperatif
(CIRC). CIRC adalah program komprehensif untuk mengajar literasi di kelas
dasar. Dalam metode ini, siswa membentuk empat anggota kelompok yang
terlibat dalam membaca; meringkas; memprediksi; penulisan; dan
mempraktikkan pengejaan, decoding, dan penggunaan kosa kata. Selain itu,
mereka mungkin terlibat dalam pembuatan buku grup dengan menulis draf,
saling mengedit karya masing- masing, membuat revisi, dan menyiapkan draft
akhir untuk publikasi. Siswa yang menggunakan program CIRC meningkatkan
skor mereka pada tes membaca dan bahasa standar (Stevens, Madden, Slavin,

18
& Farnish, 1987; Stevens & Slavin, 1995).
 Pengajaran dan Timbal Balik
Dalam metode bimbingan belajar, siswa yang menguasai topik membantu
orang lain yang belum menguasainya. Bimbingan teman sebaya dapat terjadi di
dalam kelas yang sama atau di antara kelas-kelas, seperti itu seperti ketika siswa
yang lebih tua diminta untuk mengajar siswa yang lebih muda (Brown &
Campione, 1994; Kermani & Moallem, 2001). Mirip dengan metode magang
kognitif, dengan gagasan Vygotsky yang lebih mampu menjadi agen kunci dalam
mempromosikan pengembangan kognitif siswa. Bimbingan teman sebaya
memiliki keuntungan akademik yang lebih besar daripada instruksi seluruh kelas
yang lebih tradisional (Baker, Gersten, Dimino, & Griffiths, 2005), dengan tutor
dan tutee menunjukkan manfaat dari metode pengajaran ini (Biemiller,
Meichenbaum, Shany, & Inglis, 1998; Davenport, Arnold, & Lassmann, 2004;
Fuchs, Fuchs, Mathes, & Simmons, 1997). Bimbingan juga membantu dalam
mempromosikan kerja sama di antara siswa, meningkatkan keterampilan sosial,
dan mengurangi masalah perilaku di kelas (DuPaul, Ervin, Hook, & McGoey,
1998; Greenwood, Carta, & Hall, 1988). Namun, para ahli merekomendasikan
hal itu guru pertama-tama menyediakan struktur yang baik sehingga siswa
dapat mengajari teman-teman mereka secara efektif (Fantuzzo, King, & Heller,
1992). Proyek Peer-Assisted Learning Strategies (PALS) memiliki struktur
sebagai berikut:
1. Siswa diberi peringkat berdasarkan kemampuan membaca.
2. Peringkat yang tercantum dibagi 2.
3. Siswa pertama di bagian atas daftar dipasangkan dengan siswa
pertama di bagian bawah daftar.
4. Siswa kedua di bagian atas daftar dipasangkan dengan
siswa kedua di bagian bawah daftar.
5. Prosedur berlanjut sampai semua siswa berpasangan (Fuchs et al., 1997).
Di PALS (peer assisted learning strategies), pembaca yang lebih

19
kuat membaca dengan keras selama sekitar lima menit dan diikuti oleh
pembaca yang lebih lemah. Selain itu, pembaca yang lebih lemah diminta
untuk meringkas paragraf dan membuat prediksi tentang apa yang akan
terjadi selanjutnya dalam teks dengan perancah pembaca yang lebih kuat.
Untuk memberikan lebih banyak struktur pada metode ini, tutor siswa
dapat memberikan kode pertanyaan, seperti "Bisakah Anda menjelaskan
tentang paragraf yang baru saja Anda baca? " Menurut Anda, apa yang
akan Anda lakukan? Selanjutnya bagaimana? ”(King, 1999). Tidak
mengherankan, les banyak lebih efektif ketika guru memodelkan metode
bimbingan belajar dengan menunjukkan cara membuat hubungan yang
baik dengan murid, cara tugas menjadi langkah yang lebih kecil,
bagaimana memberi umpan balik, dan sebagainya. (Dufrene, Noell,
Gilbertson, & Duhon, 2005). Bimbingan teman sebaya telah sangat efektif
dengan siswa berkebutuhan khusus (Kunsch, Jitendra, & Sood, 2007;
Mastropieri, Scruggs, Spencer, & Fontana, 2003). Pengajaran resiprokal
didasarkan pada magang kognitif dan metode pemodelan dan awalnya
dirancang untuk membantu siswa meningkatkan pemahaman bacaan
(Palincsar & Brown, 1984). Ini adalah metode konstruktivis karena terdiri
dari diskusi antara guru dan siswa dengan tujuan membangun
pemahaman bersama. Pengajaran timbal-balik mencoba untuk
mempromosikan pembelajaran melalui strategi pemahaman meringkas,
menghasilkan pertanyaan, mengklarifikasi, dan memprediksi (Palincsar &
Klenk, 1991).
Dalam pengajaran timbal balik, dua hingga empat siswa bekerja
dengan bimbingan guru. Guru pertama-tama memberi contoh kepada
kelompok masing- masing dari strategi pemahaman oleh meringkas isi
teks, mengajukan pertanyaan tentang gagasan utama teks, menjelaskan
bagian-bagian teks yang sangat sulit, dan memprediksi jalur apa yang
mungkin ada di dalam paragraf. Setelah seluruh prosedur dimodelkan,

20
guru secara bertahap mengalihkan tanggung jawab mengikuti empat
strategi yang sama ke siswa. Siswa mempraktikkan strategi pemahaman
satu sama lain; para guru bertanggung jawab untuk memberikan petunjuk
kepada siswa dengan petunjuk dan pengingat dan untuk memberikan
umpan balik informasi selama latihan (Brill, Galloway, & Kim, 2001). Guru
melanjutkan untuk mengurangi keterlibatannya dengan kelompok dan
akhirnya turun tangan hanya untuk memantau kinerja mereka dari waktu
ke waktu. Penelitian dengan siswa dari berbagai usia dan dengan
kebutuhan khusus siswa menunjukkan bahwa pengajaran timbal balik
adalah metode yang efektif untuk mempromosikan pembelajaran
(Palinscar & Klenk, 1992; Rosenshine & Meister, 1994).
 Komunitas Pelajar
Metode pembelajaran konstruktivis sosial lainnya adalah
menciptakan komunitas pembelajar (Brown, 1992; Brown & Campione,
1994). Pendekatan ini siswa tidak hanya membangun pengetahuan tetapi
juga bekerja bersama-sama dalam desain lingkungan belajar dan
kurikulum mereka. Di kelas sains, siswa dapat bekerja dalam kelompok
yang memiliki kemampuan campuran untuk merancang eksperimen
mereka sendiri, atau dalam kelas dansa, siswa dari berbagai latar
belakang dapat bekerja untuk menciptakan pertunjukan festival budaya,
dengan masing-masing siswa bertanggung jawab untuk menyelesaikan
tugas tertentu dan membagikan apa yang telah dia pelajari dengan siswa
lain. Karena penekanan pada otonomi siswa dan jumlah interaksi sosial
diperlukan oleh metode ini, itu dianggap lebih tepat untuk siswa yang
lebih tua dengan keterampilan regulasi diri yang berkembang dengan
baik. Secara khusus, komunitas model pembelajar termasuk komponen-
komponen berikut (Brown & Campione, 1994):
• Membangun komunitas wacana dengan struktur yang memungkinkan
diskusi dan kritik konstruktif di antara anggota kelompok.

21
• Berpartisipasi dalam berbagai zona perkembangan proksimal dan
memungkinkan siswa untuk menjadi tutor bagi beberapa dan tutees
dari yang lain.
• Mencari atau menyarankan ide-ide kepada komunitas yang pada
akhirnya dapat bermigrasi dan menjadi apropriasi oleh antar anggota
kelompok
• Mengambil tanggung jawab individu untuk bagian dari pekerjaan yang
terlibat dalam pembelajaran
• Berbagi keahlian yang diperoleh dengan anggota kelompok
• Berpartisipasi dalam prosedur yang dipilih oleh kelompok
Karakteristik utama dari komunitas pembelajar adalah guru itu
dan siswa bekerja bersama untuk membantu semua orang belajar dan
menghormati keragaman minat, kepercayaan, dan pengetahuan yang ada
di antara anggota masyarakat.
 Pembelajaran Berbasis Masalah
Dalam pendekatan pembelajaran berbasis masalah, siswa bekerja dalam
kelompok kolaboratif untuk dipecahkan masalah rumit yang tidak jelas (Hmelo-
Silver, 2004). Guru biasanya memberi siswa masalah yang menarik dan
membimbing mereka selama proses penyelesaian masalah. Secara khusus,
siswa perlu mengidentifikasi masalah, membuat representasi dari fakta dan
masalah-masalah, menghasilkan hipotesis tentang solusi potensial untuk
masalah ini, lakukan diskusi tentang kesenjangan dalam pemahaman mereka,
merancang rencana untuk belajar tentang kesenjangan yang teridentifikasi, dan
menerapkan pengetahuan yang mereka bangun untuk menyelesaikan masalah.
Langkah penting dalam metode ini adalah meminta siswa untuk merenungkan
apa yang mereka pelajari dari pengalaman. Pembelajaran berbasis masalah
adalah tren yang meningkat dalam pendidikan. Dalam dunia kedokteran,
pembelajaran yang bermasalah melibatkan penyajian set data pasien yang kaya
kepada mahasiswa kedokteran dan meminta mereka menganalisis dan

22
menghasilkan diagnosis dengan bimbingan seorang fasilitator (Hmelo-Silver,
2004; Hmelo-Silver & Barrows, 2006). Dalam pendidikan guru, itu mungkin
melibatkan presentasi guru pre-service dengan kasus video guru ahli sebagai
model untuk membantu memikirkan bagaimana mengadaptasi instruksi ke
kasus kelas tertentu (Derry et al., 2006). Di kelas, guru dapat memberikan siswa
dengan masalah ilmiah dan bahan penelitian dan alat yang diperlukan bagi
siswa untuk mencapai kesimpulan (Linn & Slotta, 2006).
 Diskusi Kelas
Diskusi kelas tradisional dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi biasanya
ditandai dengan pola berikut: Guru memulai diskusi dengan mengajukan
pertanyaan, satu atau lebih siswa menanggapi pertanyaan, dan guru
mengevaluasi siswa. Ini disebut pola IRE, yang merupakan singkatan dari
inisiate, merespon, mengevaluasi (Alvermann, O'Brien, & Dillon, 1990; Cazden,
1988). Meskipun pola IRE mungkin digunakan untuk mempromosikan
konstruksi pengetahuan dan pemikiran tingkat tinggi, pada umumnya
digunakan sebagai pola diskusi kelas standar untuk tujuan pembacaan, seperti
kapan seorang guru menanyakan siswa tentang suatu topik dan kemudian
menguraikan tanggapan siswa atau memperkenalkan informasi baru yang
terkait dengan topik tersebut. Namun, diskusi kelas dapat dirancang untuk
membantu siswa membangun pengetahuan baru dari pada membaca informasi
yang sebelumnya dikirimkan. Tantangan kelasdiskusi adalah untuk
menyediakan struktur yang cukup untuk membantu siswa mencapai tujuan
akademik memungkinkan semua siswa untuk berkontribusi dengan aman untuk
co-konstruksi pengetahuan. Diskusi konstruktivis yang efektif adalah diskusi di
mana para guru dan siswa bekerja bersama-sama untuk menetapkan norma-
norma untuk berpartisipasi dalam diskusi semacam itu, kembangkan agenda
untuk diskusi dan metode untuk mengevaluasi hasil diskusi, dan merefleksikan
hasil diskusi (O'Flahavan & Stein, 1992; Wiencek & O'Flahavan, 1994). Siswa
yang membangun norma partisipasi kelompok dan berpartisipasi dalam

23
pemilihan topik dan kegiatan lebih cenderung termotivasi untuk belajar
daripada rekan-rekan mereka (Chinn, Anderson, & Wagoner, 2001).
 Peran guru dalam diskusi konstruktivis
O'Flahavan dan Stein (1992) merekomendasikan bahwa guru
memfasilitasi materi dan konteks untuk diskusi, mengatur kelompok dan
tempat duduk, memantau kemajuan diskusi, dan membantu siswa
mengevaluasi caranya baik norma dan diskusi berfungsi. Guru memantau dan
mendukung pembelajaran dengan menggunakan metode pelatihan dan
perancah. Seorang guru dapat melatih siswa dengan membantu mereka
mengatur dan memulai diskusi, memungkinkan siswa untuk bekerja bersama
selama 15 menit, dan bergabung dengan kelompok pada akhirnya, untuk
melatih mereka ketika mereka merenungkan hasil mereka. Guru dapat
membuat scaffold siswa dengan mengambil peran pembentuk (mengarahkan
perhatian untuk informasi atau masalah yang relevan) atau peran pemilih
(mempromosikan elaborasi lebih lanjut informasi). Diskusi kelas memotivasi
ketika diskusi berputar topik otentik, ketika partisipasi guru tidak terlalu banyak
atau terlalu sedikit, dan ketika ide siswa dihargai oleh guru dan dimasukkan ke
dalam diskusi kelas (Brown, Collins, & Duguid, 1989; Calfee, Dunlap, & Wat,
1994; Nystrand & Gamoran, 1991). Yang penting, guru harus menilai
pengetahuan siswa sebelumnya, untuk memastikan bahwa mereka akan
memiliki informasi yang cukup untuk mendukung partisipasi mereka dalam
diskusi kelas.

24
BAB 3. PENUTUP
1.1 Kesimpulan
1. Secara umum pendekatan konstruktivis sosial menekankan pada konteks
sosial dai pembelajaran dan bahwa pengetahuan dibangun dan dikonstruksi
secara bersama (mutual). Keterlibatan dengan orang lain membuka
kesempatan bagi siswa untuk mengevalasi dan mempebaiki pemahaman
mereka saat bertemu dengan pemikiran orang lain dan saat merka
berpartisipasi dalam pencarian pemahaman bersama
2. Tokoh teori belajar konstruktivis sosial Vygotsky menekankan pada
pentingnya hubungan antara individu dan lingkungan sosial dalam
pembentukan pengetahuan bahwa interaksi sosial merupakan faktor
terpenting yang dapat memicu perkembangan kognitif seseorang
3. Pembelajaran kooperatif sebagai penerapan teori belajar konstruktivis sosial
merupakan suatu model pembelajaran yang menekankan pada sikap atau
perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam
struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok.
4. Aplikasi teori konstruktivis sosial memiliki prinsip-prinsip pendekatan
konstruktivis sosial sebagai pengetahuan dibangun atau dikonstruksi bersama
dan pengetahuan dipengaruhi oleh konteks dan situasi tertentu (Situated
cognition). Peran guru dalam pembelajaran yaitu harus menciptakan banyak
kesempatan bagi siswa untuk belajar dengan guru dan teman sebaya dalam
mengkonstruksi pengetahuan bersama. Jadi guru berfungsi sebagai fasilitator
dan pembimbing.
3.2 Saran
Sebaiknya pembaca juga membaca terkait referensi lain tentang materi
tersebut agar lebih memperkaya pengetahuan dan menerapkan teori belajar
konstruktivis sosial.

25
DAFTAR PUSTAKA

Alvermann, D. E., O’Brien, D. G., & Dillon, D. R. (1990). What teachers do


when they say they’re having discussions of content area reading
assignments: A qualitative analysis. Reading Research Quarterly, 25, 296–
322

Amineh, R.J., and Hanieh, D.A. 2015. Review of Constructivism and Social
Constructivism. Journal of Social Science, Literature, and Languages. 1(1):
9-16. Antil, L. R., Jenkins, J. R., Wayne, S. K., & Vadasy, P. F. (1998).
Cooperative learning: Prevalence, conceptualizations, and the relation
between research and practice. Review of Educational Research, 35(3),
419–454.

Aronson, E. (2000). Nobody left to hate: Teaching compassion after


Columbine.New York: Worth.

Aronson, E., & Bridgeman, D. 1979. Jigsaw groups and the desegregated
classroom: In pursuit of common goals. Personality and Social Psychology
Bulletin, 5, 438–446.

Aronson, E., & Patnoe, S. 1997. The jigsaw classroom: Building cooperation in the
classroom (2nd ed.). New York: Longman.

Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Baker, S., Gersten, R., Dimino, J. A., & Griffiths, R. 2005. The sustained use of
research-based instructional practice: A case study of peer-assisted
learning strategies in mathematics. Remedial and Special Education, 25, 5–
24.

Bourne, M., Bukodi, E., Betthaeuser, B., & Goldthorpe, J. H. 2018. “Persistence of
the social”: The role of cognitive ability in mediating the effects of social
origins on educational attainment in Britain. Research in Social Stratification
and Mobility. Vol.8 : 11-12.

Bridgeman, B. (1974). Effects of test store feedback on immediate subsequent test


performance. Journal of Educational Psychology, 66, 62–66.

Brown, A. C. (1992). Design experiments: Theoretical and methodological


challenges in creating complex interventions in classroom settings. Journal
of the Learning Sciences, 2, 141–178.

26
Derry, S. J., Hmelo-Silver, C. E., Nagarajan, A., Chernobilsky, E., & Beitzel, B.
(2006). Cognitive transfer revisited: Can we exploit new media to solve old
problems on a large scale? Journal of Educational Computing Research, 35,
145–162.

DuPaul, G. J., Ervin, R. A., Hook, C. L., & McGoey, K. E. (1998). Peer tutoring for
children with attention deficit hyperactivity disorder Effects on classroom
behavior and academic performance. Journal of Applied Behavior Analysis,
31, 579–592.

Fani, T., Farid, G. 2011. Implications of Vygotsky’s Zone of Proximal Development


(ZPD) in Teacher Education: ZPTD and Self-scaffolding. Procedia - Social and
Behavioral Sciences 29 : 1549 – 1554.

Fantuzzo, J. W., King, J., & Heller, L. R. 1 992. Effects of reciprocal peer tutoring on
mathematics and school adjustment: A component analysis. Journal of
Educational Psychology, 84, 331–339.

Gauvain, M., & Parke, R. D. 2010. Socialization. In M. H. Bornstein (Ed.), Handbook


of developmental cultural science.New York: Psychology Press.
Hatano, G., & Oura, Y. (2003). Commentary: Reconceptualizing school learning
using insight from expertise research. Educational Researcher, 32(8), 26–29

Hatano, G., & Inagaki, K. 1991. Sharing cognition through collective


comprehension activity. In L. B. Resnick, J. M. Levine, & S. D. Teasley (Eds.),
Perspectives on socially shared cognition (pp. 331–348). Washington, DC:
American Psychological Association.

Johnson, D. W., & Johnson, R. T. 1995. Cooperative learning and nonacademic


outcomes of schooling: The other side of the report card. In J. E. Pedersen
& A. D. Digby (Eds.), Secondary schools and cooperative learning (pp. 81–
150). New York: Garland.

Johnson, D. W., & Johnson, R. T. 2001. Peer mediation in an inner-city elementary


school. Urban Education, 36, 165–178.

Kagan, S. 1994. Cooperative learning. San Juan Capistrano, CA: Kagan Cooperative
Learning.

Kermani, H., & Moallem, M. 2001. Cross-age tutoring: Exploring features and
processes of peer-mediated learning. NHSA Dialog, 4(3), 453–485.

Kim, B. 2001. Social constructivism. Emerging perspectives on learning, teaching,


and technology.

27
Könings, K. D., van Zundert, M., & van Merriënboer, J. J. G. 2019. Scaffolding peer-
assessment skills: Risk of interference with learning domain-specific skills?
Learning and Instruction Vol.60 : 85–94.

Moreno, R. (2009). Constructing knowledge with an agent-based instructional


program: A comparison of cooperative and individual meaning making.
Learning and Instruction, 19, 433–444.

Moreno, Roxana. 2010. Educational Psychology. United States of America. John


Wiley & Sons, Inc.

Newman, S. B., & Celano, D. (2001). Access to print in low-income and middle-
income communities: An ecological study of four neighborhoods. Reading
Research Quarterly, 36, 6–26

O’Donnell, A. M. (2000). The effects of explicit incentives on scripted and


unscripted cooperation. Journal of Educational Psychology, 88, 74–86.

O’Donnell, A. M., & Dansereau, D. F. (1992). Scripted cooperation in


student dyads: A method for analyzing and enhancing academic learning
and performance. In R. Hertz-Lazarowitz &

N. Miller (Eds.), Interaction in cooperative groups: The theoretical anatomy of


group learning (pp. 120–144). New York: Cambridge University Press.

Palincsar, A. S., & Klenk, L. J. (1991). Dialogues promoting reading comprehension.


In B. Means, C. Chelemer, & M. S. Knapp (Eds.), Teaching advanced skills to
at-risk students (pp. 112–140). San Francisco: HarperCollins.

Rogoff, B. 2003. The cultural context of human development. Oxford, UK:


Oxford University Press.

Roth, W.M. 2000. Authentic School Science: Intellectual Traditions, Learning &
Knowledge. London, UK: Paul Chapman Publishing.

Sharan, Y., & Sharan, S. (1992). Expanding cooperative learning through group
investigation. New York: Teachers College Press.

Slavin, R. E., Hurley, E. A., & Chamberlain, A. (2003). Cooperative learning and
achievement: Research and theory. In N. J. Smelser & P. B. Baltes (Eds.),
International encyclopedia of the social & behavioral sciences. Oxford:
Pergamon.

Slavin, R. E., & Madden, N. A. (2006). Success for All: 2006 summary of research on
achievement outcomes. Baltimore: Johns Hopkins University, Center for
Research and Reform in Education.

28
Slavin Robert E. 2018. Educational Psychology : Theory and Practice. United States
Of America : Pearson Education

Smagorinsky, P. 2018. Deconflating the ZPD and instructional scaffolding:


Retranslating and reconceiving the zone of proximal development as the
zone of next development. Learning, Culture and Social Interaction Vol.16 :
70–75.

29

Anda mungkin juga menyukai