Anda di halaman 1dari 22

Tugas Mata kuliah : Teori, proses, dan Konteks Sosial Budaya Pendidikan

BAKAT KREATIVITAS DAN CARA


MEMBERIKAN MOTIVASI

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :

KELOMPOK 8

Abdul Aziz ( 20207270141 )


Freslina Simbolon ( 20207270099 )
Petronela Jemumu ( 202072700145)
Rijal Solihin ( 20207270080 )

FAKULTAS PASCASARJANA PENDIDIKAN MIPA


UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sang pencipta sekaligus sang pengatur yang
telah begitu banyak melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua termasuk dengan selesainya
makalah ini yang berjudul “Bakat Kreativitas Dan Cara Memberikan Motivasi”. Semoga apa
yang penulis hasilkan tidak melenceng dari ajaran-Nya.
Adapun makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori, proses, dan Konteks
Sosial Budaya Pendidikan yang dibimbing oleh Bapak Dr.H. Syarif Hidayat, M.Pd. Penulis
mengucapkan ribuan terimakasih kepada bapak atas bimbingannya sehingga penulis mampu
menyelesaikan pembuatan makalah.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan di masa yang
akan dating.
Akhir kata, semoga makalah yang masih sederhana ini dapat berguna bagi penulis sendiri
maupun bagi siapa saja yang membacanya.
“Selamat Membaca’

Jakarta , Oktober 2020

Tim Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar........................................................................................................................i
Daftar Isi ................................................................................................................................ii
BAB I. _PENDAHULUAN ...................................................................................................ii
1.1. Latar Belakang....................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah...............................................................................................2
1.3 Tujuan .................................................................................................................2
BAB II. PEMBAHASAN .......................................................................................................3
2.1. Konstruktivisme.............................................................................................3
2.1.1 Pengertian Konstruktivisme ..........................................................................3
2.2 Teori Belajar yang Mendukung Pendekatan Konstruktivisme.......................6
2.2.1 Teori Konstruktivisme Jean Piaget dan Vygotsky.........................................6
2.2.2. Teori Konstruktivisme Vygotsky...................................................................8
2.3.    Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme......................................................11
2.4. Strategi Pembelajaran Konstruktivisme.......................................................11
2.5. Prinsip-Prinsip Konstruktivisme..................................................................11
2.6. Kelebihan dan kelemahan Pembelajaran Konstruktivisme..........................12
2.7. Kendala Penerapan Pembelajaran Konstruktivisme....................................13
2.8. Langkah - Langkah Pembelajaran Kontruktivisme......................................14
BAB III. PENUTUP..............................................................................................................15
3.1. Kesimpulan......................................................................................................15
3.2. Saran ................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Belajar adalah sebuah proses yang terjadi pada manusia dengan berpikir, merasa, dan
bergerak untuk memahami setiap kenyataan yang diinginkannya untuk menghasilkan kecakapan 
atau pengetahuan ,sebuah perilaku, pengetahuan, atau teknologi atau apapun yang berupa karya
dan karsa manusia tersebut untuk menjadi yang lebih baik ke depan. Belajar berarti sebuah
pembaharuan menuju pengembangan diri individuagar kehidupannya bisa lebih baik dari
sebelumnya. Belajar pula bisa berarti adaptasi terhadap lingkungan dan interaksi seorang manusia
dengan lingkungan tersebut.
Berpijak dari pandangan itu Konstruktivisme berkembang. Dasarnya pengetahuan dan
keterampilan siswa diperoleh dari konteks yang terbatas dan sedikit demi sedikit.Kontruktivisme
merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan
hasil konstruksi kita sendiri (von Glaserfeld dalam Pannen dkk, 2001:3). Konstruktivisme
sebagai aliran filsafat, banyak mempengaruhi konsep ilmu pengetahuan, teori belajar dan
pembelajaran. Konstruktivisme menawarkan paradigma baru dalam dunia pembelajaran. Sebagai
landasan paradigma pembelajaaran, konstruktivisme menyerukan perlunya partisipasi aktif siswa
dalam proses pembelajaran, perlunya pengembagan siswa belajar mandiri, dan perlunya siswa
memiliki kemampun untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri.
Akibatnya, oreintasi pembelajaran di kelas mengalami pergeseran. Orentasi pembelajaran
bergeser dari berpusat pada guru mengajar ke pembelajaran berpusat pada siswa.Siswa tidak lagi
diposisikan bagaikan bejana kosong yang siap diisi. Dengan sikap pasrah siswa disiapkan untuk
dijejali informasi oleh gurunya. Atau siswa dikondisikan sedemikian rupa untuk menerima
pengatahuan dari gurunya. Siswa kini diposisikan sebagai mitra belajar guru. Guru bukan satu-
satunya pusat informasi dan yang paling tahu. Guru hanya salah satu sumber belajar atau sumber
informasi. Sedangkan sumber belajar yang lain bisa teman sebaya, perpustakaan, alam,
laboratorium, televisi, koran dan internet.

Sebagai fasilitator guru bertanggung jawab terhadap kegiatan pembelajaran di kelas.


Diantara tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah menstimulasi dan memotivasi siswa.
Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan siswa serta menyediakan pengalaman untuk
menumbuhkan pemahaman siswa (Suherman dkk, 2001:76).
Oleh karena itu, guru harus menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin
kepada siswa untuk belajar secara aktif. Sedemikian rupa sehingga para siswa dapat menciptakan,
membangun, mendiskusikan, membandingkan, bekerja sama, dan melakukan eksperimentasi
dalam kegiatan belajarnya (Setyosari, 1997: 53).

1. 2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Apa pengertian Teori Konstruktivisme?
2. Apa karakterisrikTeori Konstruktivisme?
3. Apa prinsip-prinsip dari Teori Konstruktivisme?
4. Teori belajar apa saja yang mendukung pendekatan konstruktivisme?
5. Apa saja ciri-ciri pembelajaran secara konstruktivisme?
6. Bagaimana menerapkan konstruktivisme dalam pembelajaran?

1.3 Tujuan
Makalah ini tentunya bertujuan menyuguhkan informasi-informasi keilmuan yang
kemudian dapat dijadikan sebagai dasar referensi menyangkut:
1. Menjelaskan pengertian Teori Konstruktivisme?
2. MenjelaskankarakterisrikTeori Konstruktivisme?
3. Menjelaskan prinsip-prinsip dari Teori Konstruktivisme?
4. Menjelaskan Teori belajar yang mendukung pendekatan konstruktivisme?
5. Menjelaskan ciri-ciri pembelajaran secara konstruktivisme?
6. Menjelaskan menerapkan konstruktivisme dalam pembelajaran?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Konstruktivisme
2.1.1. Pengertian Konstruktivisme
Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat membina,
memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam kamus Bahasa Inonesia berarti paham
atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri (von Glaserfeld dalam Pannen dkk,
2001:3).
Konstruksi berarti bersifat membangun. Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan
kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan
untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya dengan bantuan fasilitasi orang lain.Kontruksi
berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu
upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan
landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh
manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak
sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang
siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi
makna melalui pengalaman nyata.
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu
tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan
merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan
himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang
mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling
mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif
dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku
apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan
pengetahuan ilmiah.
6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar
untuk menarik minat pelajar.
Menurut Wheatley (1991: 12) berpendapat dengan mengajukan dua prinsip utama dalam
pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh
secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif
dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Dari pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam
proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui
lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan
lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang
lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalamanbelajar yang lalu
dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Teori konstruktivisme juga merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran
kontekstual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep
atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu
dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Teori pembelajaran konstruktivisme ini sama
halnya dengan model pembelajaran experiental learning, yaitu suatu model dimana, proses
belajar mengajar yang mengaktifkan pembelajar untuk membangun pengetahuan dan
keterampilan melalui pengalamannya secara langsung. Experiental Learning adalah : proses
dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman. Hasil Pengetahuan dari
kombinasi menggenggam dan mentransformasikan pengalaman (Kolb, 1984).
Teori Konstruktivistik memandang bahwa belajar adalah mengonstruksi makna atas
informasi dan masukan-masukan yang masuk ke dalam otak. Belajar yang bersifat konstruktif ini
sering digunakan untuk menggambarkan jenis belajar yang terjadi selama penemuan ilmiah dan
pemecahan masalah kreatif di dalam kehidupan sehari-hari. Pada teori ini juga memandang
peserta didik sebagai individu yang selalu memeriksa informasi baru yang berlawanan dengan
prinsip-prinsip yang telah ada dan merevisi prinsip-prinsip tersebut apabila sudah dianggap tidak
dapat digunakan lagi. Hal ini memberikan implikasi bahwa peserta didik harus terlibat aktif
dalam kegiatan pembelajaran.
Dengan demikian, belajar menurut teori konstruktivisme bukanlah sekadar menghafal,
akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil
”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang
dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari ”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun
pengetahuan yang diperoleh melalui proses mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu
akan memberikan makna mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam
setiap individu.
Adapun tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:
1. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
2. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri
pertanyaannya.
3. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
4. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
5. Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.

Dari uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa makna belajar menurut konstruktivisme adalah
aktivitas yang aktif, dimana pesrta didik membina sendiri pengtahuannya, mencari arti dari apa
yang mereka pelajari dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan idea-idea baru dengan
kerangka berfikir yang telah ada dan dimilikinya (Shymansky,1992).

Dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut peserta didik diharuskan mempunyai dasar


bagaimana membuat hipotesis dan mempunyai kemampuan untuk mengujinya, menyelesaikan
persoalan, mencari jawaban dari persoalan yang ditemuinya, mengadakan renungan,
mengekspresikan ide dan gagasan sehingga diperoleh konstruksi yang baru.

2.2. Teori Belajar yang Mendukung Pendekatan Konstruktivisme


2.2.1. Teori Konstruktivisme Jean Piaget
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori
perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan
dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari
lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan
ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor
anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).

Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa
penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang
dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme
adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik
yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa
ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi
dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. 
Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut :
1. Skemata. 
Sekumpulan konsep yang digunakan  ketika berinteraksi dengan lingkungan disebut dengan
skemata. Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema
(schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang bermain dengan
kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat
menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan kelinci berkaki dua.
Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam struktur kognitif anak terbentuk skema
tentang binatang berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka
semakin sempunalah skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan sekema dilakukan
melalui proses asimilasi dan akomodasi.

2. Asimilasi. 

Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep


ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.
Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan
mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses
asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian
skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu
dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian
orang itu berkembang.

3. Akomodasi. Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat


mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman
yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan
demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk skema
baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu.

4. Keseimbangan. Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan


diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan
akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar dengan
struktur dalamnya.

Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada
seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan,
perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-
seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa
pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda
berdasarkan kematangan intelektual anak. Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya
menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995:
222) mengajukan karakteristik sebagai berikut:
1. Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan
2. Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa
3. Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal
4. Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas
5. Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan
sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun
dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata
yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga
pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis
(Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang
berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau
lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku. Berbeda dengan kontruktivisme
kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa
belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan
atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang
(Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998:7) mengatakan bahwa inti
konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya
pada lingkungan sosial dalam belajar. Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam
pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut :
1. Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau
anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi
2. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan
memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis
masalah dalam kehidupan sehari-hari
3. Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi
yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
2.2.2. Teori Konstruktivisme Lev Vygotsky.
Ratumanan (2004:45) mengemukakan bahwa karya Vygotsky didasarkan pada dua ide
utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks
historis dan budaya pengalaman anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem
isyarat mengacu pada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk membantu orang
berfikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah, dengan demikian  perkembangan kognitif
anak mensyaratkan sistem  komunikasi budaya dan belajar menggunakan sistem-sistem ini  untuk
menyesuaikan proses-proses berfikir diri sendiri.
Menurut Slavin  (Ratumanan, 2004:49)  ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam
pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar
kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda, sehingga siswa dapat berinteraksi
dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan
masalah yang efektif di dalam daerah pengembangan terdekat/proksimal masing-masing. Kedua,
pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan perancahan (scaffolding). Dengan
scaffolding, semakin lama siswa semakin dapat mengambil tanggungjawab untuk
pembelajarannya sendiri.
a.    Pengelolaan pembelajaran
Interaksi sosial individu dengan lingkungannya sengat mempengaruhi perkembanganbelajar
seseorang, sehingga perkemkembangan sifat-sifat dan jenis manusia akan dipengaruhi oleh kedua
unsur tersebut. Menurut Vygotsky dalam Slavin (2000), peserta didik melaksanakan aktivitas
belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sejawat yang mempunyai kemampuan
lebih. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan
intelektual peserta didik.
b.    Pemberian bimbingan
Menurut Vygotsky, tujuan belajar akan tercapai dengan belajar menyelesaikan tugas-tugas yang
belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah perkembangan terdekat
mereka (Wersch,1985), yaitu tugas-tugas yang terletak di atas peringkat perkembangannya.
Menurut Vygotsky, pada saat peserta didik melaksanakan aktivitas di dalam daerah
perkembangan terdekat mereka, tugas yang tidak dapat diselesaikan sendiri akan dapat mereka
selesaikan dengan bimbingan atau bantuan orang lain.
Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam pembelajaran.
Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang, kebudayaan, termasuk pengalaman dalam
lingkungan tersebut. Orang lain merupakan bagian dari lingkungan (Taylor, 1993), pemerolehan
pengetahuan siswa bermula dari lingkup sosial, antar orang, dan kemudian pada lingkup individu
sebagai peristiwa internalisasi (Taylor,1993). Vygotsky menekankan pada pentingnya
hubungan antara individu dan lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuan yang menurut
beliau, bahwa interaksi sosial yaitu interaksi individu tersebut dengan orang lain merupakan
faktor terpenting yang dapat memicu perkembangan kognitif seseorang. Vygotsky berpendapat
bahwa proses belajar akan terjadi secara evisien dan efektif apabila anak belajar secara kooperatif
dengan anak-anak lain dalam suasana dan lingkungan yang mendukung (supportive), dalam
bimbingan seseorang yang lebih mampu, guru atau orang dewasa.
Dengan hadirnya teori konstruktivisme Vygotsky ini, banyak pemerhati pendidikan yang
megembangkan model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran peer interaction, model
pembelajaran kelompok, dan model pembelajaran problem poshing. Konstruktivisme menurut
pandangan Vygotsky menekankan pada pengaruh budaya. Vygotsky berpendapat fungsi mental
yang lebih tinggi bergerak antara inter-psikologi (interpsychological) melalui interaksi sosial dan
intrapsikologi (intrapsychological) dalam benaknya. Internalisasi dipandang sebagai transformasi
dari kegiatan eksternal ke internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara inter-psikologi (antar
orang) dan intra-psikologi (dalam diri individu).
Berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa, Vygotsky mengemukakan dua
ide; Pertama, bahwa perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks
budaya dan sejarah pengalaman siswa (van der Veer dan Valsiner dalam Slavin, 2000), Kedua,
Vygotsky mempercayai bahwa perkembangan intelektual bergantung pada sistem tanda (sign
system) setiap individu selalu berkembang (Ratner dalam Slavin, 2000: 43). Sistem tanda adalah
simbol-simbol yang secara budaya diciptakan untuk membantu seseorang berpikir,
berkomunikasi, dan memecahkan masalah, misalnya budaya bahasa, system tulisan, dan sistem
perhitungan. Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat prinsip seperti
yang dikutip oleh (Slavin, 2000: 256) yaitu:
1.     Pembelajaran sosial (social leaning).
Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky
menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman
yang lebih cakap;
2.    ZPD (zone of proximal development).
Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam ZPD.
Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat
memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer);
Bantuan atau support dimaksud agar si anak mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau
soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif si
anak.
3.    Masa Magang Kognitif (cognitif apprenticeship).
Suatu proses yang menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual
melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang dewasa, atau teman yang lebih pandai.
4.    Pembelajaran Termediasi (mediated learning).
Vygostky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan
realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa.
2.3.   Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Menurut Konstruktivisme, belajar merupakan proses aktif siswa mengkonstruksi arti,
wacana, dialog, pengalaman fisik, dll. Belajar juga merupakan proses mengasimilasi dan
menghubungkan pengalaman atau informasi yang dipelajari dengan pengertian yang sudah
dimiliki siswa sehingga pengetahuannya berkembang. Karakteristik konstruktivisme:
1. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang dilihat,
dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah
dimiliki.
2. Konstruksi arti merupakan proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan
fenomena atau persoalan yang baru, siswa akan selalu mengadakan rekonstruksi.
3. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan suatu proses pengembangan
pemikiran dengan membentuk suatu pengertian yang baru. Belajar bukanlah suatu hasil
perkembangan, melainkan perkembangan itu sendiri, yang menuntut penemuan dan
pengaturan kembali pemikiran seseorang.
4. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam kesenjangan yang
merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah
situasi yang baik untuk memacu belajar.
5. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan lingkungannya.
6. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui siswa, yaitu konsep-konsep,
tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.
Berikut ini akan dikemukakan ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivisme menurut beberapa
literatur yaitu sebagai berikut :
a. Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada
sebelumnya.
b. Belajar adalah merupakan pernafsiran personal tentang dunia.
c. Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan pengalaman.
d. Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai
informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama dengan
orang lain.

2.4 Strategi Pembelajaran yang Konstruktivistik


Secara singkat strategi pembelajaran yang konstruktivistik adalah strategi pembelajaran
yang mengaktifkan siswa, contohnya adalah :
a. Strategi Pembelajaran berbasis Inkuiri (Inquiry Based Learning)
b. Strategi Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)
c. Strategi Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching & Learning = CTL)
d. Strategi Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
2.5. Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar
mengajar adalah:
a. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
b. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan
murid sendiri untuk menalar.
c. Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep
ilmiah.
d. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan
lancar.
e. Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.
f. Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.
g. Mencari dan menilai pendapat siswa.
h. Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya
semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan
didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara mengajar
yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan
dengan mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk
belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya
dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan.

2.6. Kelebihan dan kelemahan Pembelajaran Konstruktivisme


Kekuatan/kelebihan:
a. Pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang
mendukung siswa mengungkapkan gagasan baru, saling menyimak, dan menghindari
kesan selalu ada satu jawaban yang benar
b. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan
dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan
gagasan awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan
memiliki kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk
membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
c. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa sendiri, berbagi
gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang
gagasannya.
d. Kemahiran sosial siswa dapat meningkat karena diperoleh dari berinteraksi dengan rekan
dan guru dalam membina pengetahuan baru.
Kelemahan :
a. Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa
tidak cocok dengan hasil konstruksi sesuai dengan hasil konstruksi kaidah ilmu
pengetahuan sehingga menyebabkan miskonsepsi.
b. Konstruktivisme menekankan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini
pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang
berbeda - beda.
c. Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana
dan parasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa.

2.7. Kendala Penerapan Pembelajaran Konstruktivisme


Konstruktivisme memberikan angin segar bagi perbaikan proses dan hasil belajar.
Walaupun demikian, terdapat pula kendala yang muncul dalam penerapan pembelajaran menurut
kontruktivisme di kelas. Kendala-kendala yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Sulit mengubah keyakinan dan kebiasaan guru. Guru selama ini telah terbiasa mengajar
dengan menggunakan pendekatan konvensonal, mengubah kebiasaan ini merupakan suatu
hal yang tidak mudah.
2.  Guru kurang tertarik dan mengalami kesulitan mengelola kegiatan pembelajaran
berbasis konstruktivisme. Guru konstruktivistik dituntut untuk lebih kreatif dalam
merencanakan kegiatan pembelajaran dan dalam memilih menggunakan media yang sesuai.
3. Adanya anggapan guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan baru dalam pembelajaran
akan menggunakan waktu yang cukup besar. Guru khawatir target pencapaian
kurikulum (TPK) tidak tercapai.
4. Sistem evaluasi yang masih menekankan nilai akhir. Padahal yang terpenting dari suatu
pembelajatan adalah proses belajarnya bukan hasil akhirnya.
5. Besarnya beban mengajar guru, latar belakang guru tidak sesuai dengan mata pelajaran
yang diasuh, dan banyaknya pelajaran yang harus dipelajari siswa merupakan yang cukup
serius.
6. Siswa terbiasa menunggu informasi dari guru. Siswa akan belajar jika ada transfer pengetahuan
dan tugas-tugas dari gurunya. Mengubah sikap “menunggu informasi” menjadi “pencari dan
pengkonstruksi informasi” merupakan kendala itu sendiri.
7. Adanya budaya negatif di lingkungan siswa. Salah satu contohnya di lingkungan rumah.
Pendapat orang tua selalu dianggap paling benar, anak dilarang membantah pendapat orang
tuanya. Kondisi ini juga terbawa ke sekolah. Siswa terkondisi untuk “mengiakan” pendapat
atau penjelasan guru. Siswa tidak berani mengemukakan pendapatnya yang mungkin
berbeda dengan gurunya.
2.8. Langkah - Langkah Pembelajaran Kontruktivisme

1. Identifikasi tujuan. Tujuan dalam pembelajaran akan memberi arah dalam merancang
program, implementasi program dan   evaluasi.
2. Menetapkan Isi Produk Belajar. Pada tahap ini, ditetapkan konsep-konsep dan prinsip-
prinsip fisika yang mana yang harus dikuasai siswa.
3. Identifikasi dan Klarifikasi Pengetahuan Awal Siswa. Identifikasi pengetahuan awal siswa
dilakukan melalui tes awal, interview klinis dan peta konsep.
4. Identifikasi dan Klarifikasi Miskonsepsi Siswa. Pengetahuan awal siswa yang telah
diidentifikasi dan diklarifikasi perlu dianalisa lebih lanjut untuk menetapkan mana
diantaranya yang telah sesuai dengan konsepsi ilmiah, mana yang salah dan mana yang
miskonsepsi.
5. Perencanaan Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsep. Program
pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran. Sedangkan strategi pengubahan
konsepsi siswa diwujudkan dalam bentuk modul.
6. Implementasi Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsepsi. Tahapan ini
merupakan kegiatan aktual dalam ruang kelas. Tahapan ini terdiri dari tiga langkah yaitu :
(a) orientasi dan penyajian pengalaman belajar, (b)menggali ide-ide siswa, (c)
restrukturisasi ide-ide.
7. Evaluasi. Setelah berakhirnya kegiatan implementasi program pembelajaran, maka
dilakukan evaluasi terhadap efektivitas model belajar yang telah diterapkan.
8. Klarifikasi dan analisis miskonsepsi siswa yang resisten. Berdasarkan hasil evaluasi
perubahan miskonsepsi maka dilakukaan klarifikasi dan analisis terhadap miskonsepsi
siswa, baik yang dapat diubah secara tuntas maupun yang resisten.
9. Revisi strategi pengubahan miskonsepsi. Hasil analisis miskonsepsi yang resisten
digunakan sebagai pertimbangan dalam merevisi strategi pengubahan konsepsi siswa dalam
bentuk modul.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa model konstruktivisme dalam
pembelajaran adalah suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental,
membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur kognitif yang dimilikinya. Guru lebih
berperan sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran. Penekanan tentang belajar dan mengajar
lebih berfokus terhadap suksesnya siswa mengorganisasi pengalaman mereka. Menurut
Werrington (dalam Suherman, 2003:75), menyatakan bahwa dalam kelas konstruktivis seorang
guru tidak mengajarkan kepada anak bagaimana menyelesaikan persoalan, namun
mempresentasikan masalah dan mendorong siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam
menyelesaikan permasalahan. Ketika siswa memberikan jawaban, guru mencoba untuk tidak
mengatakan bahwa jawabannya benar atau tidak benar. Namun guru mendorong siswa untuk
setuju atau tidak setuju kepada ide seseorang dan saling tukar menukar ide sampai persetujuan
dicapai tentang apa yang dapat masuk akal siswa.
Di dalam kelas konstruktivis, para siswa diberdayakan oleh pengetahuannya yang berada
dalam diri mereka. Mereka berbagi strategi dan penyelesaian, debat antara satu dengan lainnya,
berfikir secara kritis tentang cara terbaik untuk menyelesaikan setiap masalah. Beberapa prinsip
pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis diantaranya bahwa observasi dan mendengar
aktivitas dan pembicaraan matematika siswa adalah sumber yang kuat dan petunjuk untuk
mengajar, untuk kurikulum, untuk cara-cara dimana pertumbuhan pengetahuan siswa dapat
dievaluasi. Lebih jauh dikatakan bahwa dalam konstruktivis aktivitas matematika mungkin
diwujudkan melalui tantangan masalah, kerja dalam kelompok kecil, dan diskusi kelas
menggunakan apa yang ’biasa’ muncul dalam materi kurikulum kelas ’biasa’. Dalam
konstruktivis proses pembelajaran senantiasa ”problem centered approach” dimana guru dan
siswa terikat dalam pembicaraan yang memiliki makna matematika. Beberapa ciri itulah yang
akan mendasari pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis.

3.2. Saran
Saran yang dapat kami berikan antara lain:

1. Perlu perhatian yang lebih lagi untuk pengembangan makalah Konstruktivisme ini, mengingat
begitu sentral dan pentingnya metode ini untu diterapkan dalam pembelajaran di sekolah.

2. Perlunya pengembangan makalah lebih lanjut tentang Konstruktivisme untuk metode


pembelajaran yang lebih berkembang.
DAFTAR PUSTAKA

Supardan,H.D. "Teori dan Praktik Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran." Edunomic,


vol. 4, no. 1, 1 Mar. 2016.
Aqib, Z. (2002). Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran. Surabaya : Insan Cendikia.
Budiningsih, C.A. (2005). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
Hudoyo, H. (1998). Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivistik. Makalah
Disajikan dalam Seminar Nasional Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika dalam
Menghadapi EraGlobaliasasi. PPS IKIP Malang: Tidak Diterbitkan.
Kolb, D. (1984). Experiential Learning. New Jersey : Prentice-Hall, Inc.
Wheatley, G.H.(1991).”Constructivist perspectives on science and mathematics learning”.
Journal Science Education, 75,(1),9-21.
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI JAKARTA
PROGRAM PASCA SARJANA
Jl. Nangka No. 58C, RT. 5 / RW.5, Tanjung Barat, Jagakarsa-Jakarta Selatan
12530

LEMBAR LAPORAN HASIL KEGIATAN DISKUSI

Mata Kuliah : Konsep MIPA


Hari / Tanggal : Sabtu / 10 Oktober 2020
Waktu / Sesi Ke : 13.30 – 15.00 / 5
Kelas : Non Reguler A, 1B
Prodi : MIPA

PEMATERI

Kelompok : 6 (enam)
Ketua : Mohamad Hartadi (20207270131)
Moderator : Freslina Simbolon (20207270099)
Sekretaris : Maryupiyanti (20207270104)

1) Judul Makalah / Pokok Bahasan : Konstruktivisme


2) Nama Ketua / NPM : Mohamad Hartadi (20207270131)
3) Nama Moderator / NPM : Freslina Simbolon (20207270099)
4) Nama Sekretaris / NPM : Maryupianti (20207270104)
5) Pertanyaan atas nama kelompok

1. Kelompok :4
Penanya (Nama /NPM) : Nurlaila (20207270089)
Pertanyaan : Apakah dampak dari konstruktivisme terhadap
pembelajaran?

2. Kelompok : 11
Penanya (Nama /NPM) : Emmy Suhermi (20207270059)
Pertanyaan : Apa kelemahan pembelajaran konstruktivisme , jika
dilihat dari situasi dan kondisi setiap sekolah tidak sama.

3. Kelompok : 4
Penanya (Nama /NPM) : Hendrik Fery Waloni (20207270105)
Pertanyaan : Apakah konstruktivisme berdiri sejajar dengan inkuiri ?
6) Jawaban Atas Nama Kelompok
1. Jawaban atas nama Kelompok : Nurlaila (20207270089)
Penjawab (Nama / NPM) : Mohamad Hartadi (20207270130)

Dampak teori kostruktivisme secara umum merupakan gabungan penerapan baik dari
konsep
Piaget maupun Vygotsky terhadap pembelajaran sebagaimana tertera dalam tabel dibawah
ini:
Pendidikan Menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemapuan berfikir
untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi
Kurikulum Konstruktivisme tidak memerlukan kurikulum yang terstandarisasi
melainkan disesuaikan dengan pengetahuan siswa
Pengajaran Pendidik focus terhadap bagaimana menyusun hubungan antara fakta-
fakta serta memperkuat perolehan pengetahuan yang baru bagi siwa
Pembelajaran Diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang
sesuai bagi dirinya
Penilaian Tidak memerlukan tes yang baku melaikan memerlukan penilaian
proses

2. Jawaban atas nama Kelompok : Emmy Suhermi (20207270059)


Penjawab (Nama / NPM) : Freslina Simbolon (20207270099)

Kelemahan pembelajaran konstruktivisme, jika dilihat dari situasi dan kondisi setiap
sekolah tidak sama yaitu : kurang tercapainya tujuan pembelajaran. Contoh Pada
pembelajaran IPA umumnya sering praktikum, jika alat dan bahan tdk lengkap . maka
pembelajaran juga akan tdk berjalan dengan bik, peserta didik akan kurang mampu
mengonstruksikan apa yang sedang dipelajari karena kendala di alat –alat laboratorium.
Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya
disediakan untuk membantu pembentukan tersebut.

3. Jawaban atas nama Kelompok : Hendrik Fery Waloni (20207270105)


Penjawab (Nama / NPM) : Maryupiyanti (20207270104)

Konstruktivisme dalam ranah pendidikan adalah merupakan sebuah pendekatan (faham


yang mendasari) pembelajaran adapun inquiry merupakan sebuah "metode" atau cara
mencapai tujuan pembelajaran.

7) Absen
Jumlah Peserta diskusi yang hadir : 42 Orang
NO NAMA NPM No.Absent Alasan
1 Abdul Aziz 20207270141
2 Achmad Nazarudin 20207270107
3 Aldina Al Rasyid 20207270146
4 Andrianto 20207270109
5 Bambang Nopianto 20207270113
6 Bangga Nurachman 20207270114
7 Dina Loantina Permana 20207270097
8 Edi Nugraha 20207270130
9 Emmy Suhermi 20207270059
10 Eva Dwi Permatasari 20207270129
11 Eva Maulida Syamsi 20207270111
12 Freslina Simbolon 20207270099
13 Hasna Chairunnisa 20207270181
14 Hendrik Fery Waloni 20207270105
15 Hery setyawan 20207270060
16 Iffah Fitrieyah 20207270168
17 Iin heryani 20207270162
18 Kurniati Cahyani 20207270110
19 Maryulianti 20207270095
20 Maryupianti 20207270104
21 Mila Proborini 20207270155
22 Mohamad Hartadi 20207270131
23 Muhamad Anwar Adrian 20207270140
24 Nadya Chika Novella 20207270092
25 Nana Suryana 20207270112
26 Nur Fitri Fauziah 20207270170
27 Nurlaila 20207270089
28 Petronela Jemumu 20207270145
29 Rasunah 20207270147
30 Ratih Wulandari 20207270076
31 Restu Ba'diyah Wijayanti 20207270093
32 Ria Astuti 20207270142
33 Rijal Solihin 20207270080
34 Rohilah 20207270081
35 Sasmsuri 20207270071
36 Septika Wibarini 20207270106
37 Siti Wahyu Ningsih 20207270073
38 Ulil Absor 20207270090
39 Untay Royana 20207270082
40 Vivi Meilani 20207270183
41 Yelfia Desiwarna 20207270077
42 Yeni Herlina 20207270087

Jakarta, 10 Oktober 2020


PEMATERI
Ketua Kelompok Sekretaris Kelompok
(Mohamad Hartadi) (Maryupiyanti)
NPM: 20207270131 NPM: 20207270104

Catatan :
Setelah selesai diskusi, lembar hasil diskusi dibuat rangkap 2 (Dua)
1. Lembar ke-1 diserahkan Dosen Pengampu dianjurkan di makalahnya.
2. Lembar ke-2 untuk arsip kelompok ybs.

Anda mungkin juga menyukai