Anda di halaman 1dari 3

ESAI TENTANG PRODUKTIVITAS DAN KEPUTUSAN

MEROKOK
Penulis
Endah Saptutyningsih, Se., M.si.

Pembimbing: Prof. Dr. Catur Sugiyanto, MA; Dr. Artidiatun Adji, M.A; Dr. Elan Satriawan, MEc, Dev

Merokok merupakan salah satu penyebab permasalahan kesehatan di Indonesia. Salah satu faktor
risiko utama yang menyebabkan berbagai penyakit adalah merokok. Prevalensi merokok di Indonesia
cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tingginya prevalensi merokok di Indonesia
berpengaruh terhadap biaya yang harus dikeluarkan untuk menyembuhkan berbagai gangguan kesehatan.
Gangguan kesehatan akibat merokok memiliki dampak ekonomi yang cukup besar. Efek kesehatan dapat
berpengaruh terhadap produktivitas karena kesehatan dianggap sebagai barang modal dalam proses
produksi, Oleh karena itu, Esai I bertujuan untuk mengetahui pengaruh perilaku merokok terhadap
produktivitas yaitu dengan mengestimasi pengaruh lama merokok terhadap kapasitas paru-paru dan
probabilitas adanya penyakit akut (morbiditas akut) akibat merokok. Esai I juga mengestimasi pengaruh
kapasitas paru-paru dan orbiditas akut terhadap jam kerja. Tingginya prevalensi merokok di Indonesia salah
satunya bisa disebabkan masih kurangnya informasi tentang risiko dan biaya kesehatan akibat merokok. Di
samping itu perokok jarang melakukan pemeriksaan kesehatan paru-paru setelah mereka merokok. Oleh
karena itu, Esai II menguji ada tidaknya pengaruh pemberian informasi terhadap keputusan merokok. Esai
I menggunakan data panel Indonesia Family Life Survey (IFLS) untuk mengetahui pengaruh perilaku
merokok terhadap produktivitas. Data IFLS tersebut mencakup tiga gelombang yaitu tahun 1997, 2000, dan
2007. Esai II menggunakan data yang diperoleh dengan melakukan eksperimen laboratorium, yang terdiri
dari dua treatment. Treatment pertama berupa pemberian informasi tentang risiko dan biaya kesehatan
akibat merokok dalam bentuk film dokumenter. Treatment kedua berupa pemberian informasi tentang
kesehatan paru-paru terkini melalui pemeriksaan kapasitas paru-paru dengan menggunakan spirometri. Esai
I menyimpulkan bahwa semakin lama individu merokok akan menurunkan kapasitas paru-paru mereka.
Adanya kandungan zat-zat berbahaya di dalam rokok dapat berakibat buruk terhadap kesehatan paru-paru
sehingga dapat menurunkan fungsi paru-paru individu. Hasil Esai ini juga menunjukkan bahwa lama
merokok secara signifikan berpengaruh terhadap probabilitas terjadinya morbiditas akut pada individu. Esai
II menemukan bahwa terdapat perbedaan keputusan merokok dan jumlah rokok yang dikonsumsi, antara
individu yang mendapat dan tidak mendapat informasi kesehatan paru-paru terkini. Keputusan untuk
merokok tidak berbeda antara individu yang mendapat dan tidak mendapat informasi risiko dan biaya
kesehatan akibat merokok. Dengan kata lain, informasi yang terkait dengan kondisi kesehatan paru-paru
terkini masing-masing individu lebih berpengaruh daripada informasi yang bersifat umum.
Diplomasi Flu Burung
Oleh : Yuny Erwanto – Dosen Fakultas Peternakan UGM

Pemberitaan flu burung yang bertubi-tubi secara nasional di berbagai media cetak telah memberikan
kesan betapa serta dan besarnya masalah ini. Masyarakat secara luas diajak untuk khawatir dan takut
dengan kasus flu burung ini. Akbatnya tidak hanya dirasakan masyarakat itu sendiri namun dunia
peternakan yang dianggap sebagai pembawa wabah ini juga terbebani.

Kasus di Indonesia menunjukkan flu burung justru menimpa banyak orang umum dan bukan pekerja
kandang. Hal tersebut kalau kita identifikasi lebih lanjut menjadi sebuah pertanyaan besar. Begitu
mudahkah virus H5N1 berpindah ke manusia ataukah ada faktor-faktor lain dari kasus kematian manusia
sedangkan flu burung hanya menjadi pendorong ke arah kematian?

Virus ini sebenarnya tidak menjadikan manusia sebagai habitat untuk hidup. Artinya tumbuh optimalnya
pada ayam, itik, dan unggas yang lain. Untuk dapat berpindah ke manusia ini masih menjadi tanda tanya
besar apakah melalui perantara atau langsung. Perlu diketahui bahwa virus ini perlu media pelekatan
sehingga dia tidak mampu terbang melalui udara langsung masuk ke saluran pernapasan. Jadi
kekhawatiran yang berlebihan tidak diperlukan selama masyarakat membiasakan membersihkan
badannya setelah berhubungan dengan unggas dengan detergen.

Mengapa besar?
Kasus flu burung di negara-negara lain tidak menjadi besar sebagaimana di Indonesia. Ini menarik untuk
menjadi bahan pengkajian dan perenungan apakah kebijakan pemerintah sudah benar dalam
mengendalikan kasus flu burung atau sebaliknya. Dalam mengendalikan permasalahan ini sebenarnya
ada dua permasalahan besar. Pertama adalah masalah teknis penanggulangan dan kedua adalah
diplomasi.

Pada era sebelum SBY, walaupun sudah diketahui adanya kasus flu burung, pola penanganannya
cenderung hanya dilakukan oleh departemen terkait. Keuntungan yang diperoleh adalah masalahnya
tidak sampai muncul ke media secara meluas. Kerugiannya adalah dananya anagat terbatas, sehingga
penyelesaiannya tidak tuntas.

Pada era pemerintahan SBY, presiden ditarik untuk ikut menyelesaikannya. Dengan naiknya kasus flu
burung kepada RI1 maka mau tidak mau pemberitaan kasus flu burung menjadi berita yang besar.
Sehingga setiap sakit flu disertai demam dan sesak selalu dihubungkan dengan flu burung walaupun
belum positif terkena H5N1. Akibatnya masyarakat makin khawatir.

Padahal permasalahan di daerah tropis seperti Indonesia penyakit infeksi saluran pernapasan menduduki
peringkat yang tinggi. Akibatnya yang menadi pendiagnosis adalah masyarakat umum dan media massa
dengan menanyakan ke sana kemari. Karena belum pasti, akhirnya diberitakan sebagai suspect flu
burung. Tentu hal tersebut tidak menyelesaikan masalah namun justru merugikan dalam pola
penanggulangan dan pengendalian flu burung secara nasional.

Di samping kerugian tentu ada keuntungan-keuntungan yang diperoleh misalkan kucuran dana dari dunia
internasional sehingga menjadi pekerjaan besar dan proyek besar bagi instansi dan orang-orang tertentu.
Dana yang besar juga bermanfaat untuk menanggulangi flu burung secara menyeluruh dan
berkesinambungan. Sayang, sampai saat ini masalah flu burung belum ada tanda-tanda akan berakhir.

Diplomasi dan langkah teknis


Untuk itu ada dua pendekatan yang seharusnya dapat segera dilakukan pemerintah, yaitu satu sisi dengan
diplomasi flu burung dan sisi yang lain penanggulangan teknis oleh departemen terkait. Langkah
diplomasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan harusnya SBY atau JK karena masalahnya sudah
sedemikian membesar adalah segera memberikan informasi bahwa flu burung bukanlah masalah besar
dan cara penularannya ke manusia tidak mudah.

Kasus kematian di dunia yang masih berkisar 150 masih sangat jauh disbanding kematian manusia
karena HIV yang di Amerika saja mencapai 18.017 orang pada tahun 2003 dari 43.171 pasien HIV. SBY
harus menyuarakan di forum internasional bahwa Indonesia mampu secara mandiri menanggulangi
kasus flu burung. Indikasi yang terjadi dengan kasus flu burung diangkat ke dunia internasional agar
“dikasihani”, menjadikan kasus tersebut betul-betul menakutkan dan mengkhawatirkan.

Anda mungkin juga menyukai