JENIS
Namun bila ada hal-hal mendesak yang tidak mungkin dihindari serta
tidak ditemukanya alternatif lain, untuk sementara hal-hal yang hukumnya haram
bisa berubah sesaat. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah, Adh-Dharuratul
Tubihul Malhdzurat. Sesuatu yang darurat itu bisa membolehkan larangan.Namun
sifatnya lokal, sementara, parsial dan seperlunya saja. Begitu kadar
kedaruratannya hilang, maka hukum keharamannya kembali lagi. Sesuai dengan
kaidah: Adh-dharuratu Tuqaddar bi Qadriha, Sesuatu yang darurat itu harus
diukur sesuai kadarnya.
Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah, hlm. 1/342, mengutip pendapat Al-Qadhi Abu
Ya'la demikian:
يجوز للطبيب أن ينظر من المرأة إلى العورة عند الحاجة إليها نص عليه (أي اإلمام أحمد) في رواية
للمرأة يجوز وكذلك ،واألثرم وحرب ،المروزي
Artinya: Boleh bagi dokter (pria) untuk melihat wanita sampai auratnya apabila
diperlukan sebagaimana pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dalam riwayat Al-
Maruzi.. Begitu juga boleh bagi dokter wanita (melihat pasien pria).
A. Al-Qur’an
B. Hadits
ُع ِم ْن ُك ْم أ َ ْن يَ ْنفَ َع أ َ َخاهُ فَ ْليَ ْنفَ ْعه
َ ست َ َطا
ْ َم ِن ا
Siapa yang mampu untuk dapat bermanfaat buat saudaranya, maka berilah
manfaat. (H.R. Muslim)
ُع ِل َمهُ َوج َِهلَهُ َم ْن ج َِهلَه ِ ُاِنَّ هللاَ لَ ْم يُ ْن ِز ْل دَا ًء اِالَّ ا َ ْن َز َل لَه
َ ، شفَا ًء
َ ع ِل َمهُ َم ْن
Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit melainkan di turunkan-Nya
pula obatnya, yang diketahui oleh orang yang mengerti dan tidak diketahui oleh
orang yang tidak mengetahuinya. (H.R. Ahmad)
ُ سلَّ َم َقا َل َال يَ ْن
ظ ُر َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َِّللا ُ س ِعي ٍد ا ْل ُخد ِْري ِ ع َْن أَبِي ِه أَنَّ َر
َّ سو َل َ الرحْ َم ِن ب ِْن أَبِي َ ع َْن
َّ ع ْب ِد
الر ُج ِل َو َال ا ْل َم ْرأَةُ إِلَى ع َْو َر ِة ا ْل َم ْرأَ ِة
َّ الر ُج ُل إِلَى ع َْو َر ِة
َّ
Dari ‘Abdir-Rahman bin Abi Sa`id al-Khudri, dari ayahnya, bahwasanya
Nabi SAW. bersabda: “Janganlah seorang lelaki melihat kepada aurat lelaki
(yang lain), dan janganlah seorang wanita melihat kepada aurat wanita (yang
lain)". (H.R. Muslim)
C. Pandangan Ulama
1. Fatwa Syaikh Muhammad Saleh Al-Utsmani RA. Dalam kitab Wa Rasaail
Syaikh Ibnu Utsmaimin Juz 1 halaman 30, Syamilah.
، إن ذهاب المرأة إلى الطبيب عند عدم وجود الطبيبة ال بأس به كما ذكر ذلك أهل العلم
ويجوز أن تكشف للطبيب كل ما يحتاج إلى النظر إليه إال أنه البد وأن يكون معها محرم
ألن الخلوة محرمة وهذا من باب الحاجة، ودون خلوة من الطبيب بها
وما كان تحريمه، وقد ذكر أهل العلم رحمهم هللا أنه إنما أبيح هذا ألنه محرم تحريم الوسائل
تحريم الوسائل فإنه يجوز عند الحاجة إليه
“Sesungguhnya seorang wanita yang mendatangi dokter lelaki di saat tidak
ditemukan dokter wanita tidaklah mengapa, sebagaimana yang disebutkan oleh
para ulama, dan dibolehkan bagi wanita tersebut membuka di hadapan dokter
lelaki semua yang dibutuhkan untuk dilihat, hanya saja disyaratkan harus
ditemani mahram tanpa khalwat dengan dokter lelaki tersebut, sebab khalwat
diharamkan, dan ini termasuk kebutuhan. Telah disebutkan pula oleh para ulama
–semoga Allah merahmati mereka- bahwa perkara ini dibolehkan karena dia
diharamkan dengan sebab sebagai wasilah (pengantar kepada zina) dan sesuatu
yang diharamkan karena dia sebagai wasilah dibolehkan dalam kondisi
dibutuhkan.”
2. Fatwa Lajnah Daimah dalam fatwa bi ruqmi, wa tarikhul. Jannatiddaimati
lil buhusil alamiyati wal ifta’i No. 3201 tanggal 1/9/1400 H
إذا تيسر الكشف على المرأة وعالجها عند طبيبة مسلمة لم يجز أن يكشف عليها ويعالجها
وإذا لم يتيسر ذلك واضطرت للعالج جاز أن يكشف عليها طبيب, طبيب ولو كان مسلما
فإن لم يتيسر, خشية الفتنة أو وقوع ما ال تحمد عقباه, مسلم بحضور زوجها أو محرم لها
وصلى هللا على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم. المسلم فطبيب كافر بالشرط المتقدم
Jika memungkinkan membuka aurat wanita tersebut dan mengobatinya pada
dokter wanita yang muslimah, maka tidak boleh baginya membuka auratnya dan
melakukan pengobatan kepada dokter lelaki meskipun dia seorang muslim.
Namun jika tidak memungkinkan, dan ia terpaksa melakukannya karena
pengobatan, maka boleh dibuka auratnya oleh dokter lelaki muslim dengan
kehadiran suaminya atau mahramnya, karena dikhawatirkan fitnah atau terjatuh
kedalam perkara yang tidak disukai akibatnya. Jika tidak ditemukan dokter lelaki
muslim, maka dibolehkan dokter lelaki kafir dengan syarat yang telah
disebutkan.[1]
Islam sangat menghargai tugas kesehatan, karena tugas ini adalah tugas
kemanusiaan yang sangat mulia, sebab menolong sesama manusia yang sedang
menderita. Dan menurut Islam, hubungan antara petugas kesehatan dengan pasien
adalah sebagai hubungan penjual jasa dengan pemakai jasa, sebab si pasien dapat
memanfaatkan ilmu, keterampilan, keahlian petugas kesehatan, sedangkan
petugas kesehatan memperoleh imbalan atas profesinya berupa gaji atau honor.
Karena itulah terjadilah akad ijarah antara kedua belah pihak, ialah suatu akad, di
mana satu pihak memanfaatkan barang, tenaga, pikiran, keterampilan, dan
keahlian pihak lain, dengan memberi imbalannya.[2]
Adapun duduk berkhalwat dengan dokter pria, meskipun dalam waktu yang
lama, semata-mata hanya karena tujuan pengobatan dan selama dokter itu seorang
muslim yang dapat dipercaya dan baik akhlaknya dan selama itu merupakan
keharusan, maka hal itu tidak dilarang.[4]
1. Madzhab Hanafi
a. Haram menyentuh wajah dan dua telapak tangan perempuan bukan
muhrim, sekalipun aman dari syahwat.
b. Berjabat tangan dengan perempuan tua yang sudah tidak bersyahwat
lagi; At-Thahawi berkata tidak mengapa. Manakala Syamsudin Ahmad
bin Qaudar berkata tidak halal sekalipun aman dari syahwat.
c. Imam al-Kasaani berkata: “menyentuh (wanita) lebih berpotensi mem-
bangkitkan syahwat daripada sekedar melihat ..” [Bada'iu ash-Shana`i']
2. Madzhab Maliki
a. Haram berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim. Ini
dinyatakan oleh al-Imam al-Baaji, al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi
dan As-Shawi.
b. Hukum berjabat tangan dengan perempuan tua, menurut Syeikh Abul
Barakat Ahmad bin Muhamad bin Ahmad ad-Durdair ia tidak
dibenarkan.
c. Imam Abul Barokaat menyatakan: “Tidak boleh berjabat tangan
dengan wanita (bukan muhrim) walaupun kaum lelaki sudah tidak
memiliki lagi keinginan (hasrat) kepadanya .” [asy-Syahush Shaghir
IV/760].
3. Madzhab Syafi’i
a. Imam An-Nawawi di dalam beberapa karyanya, as-Syaribini dan lain-
lain ulama as-Syafi’iyyah menyatakan haram berjabat tangan dengan
perempuan bukan muhrim.
b. Imam an-Nawawi berkata: “Memandang wanita (bukan muhrim) saja
haram, maka menyentuhnya tentu lebih haram lagi, karena terasa lebih
nikmat .” [Roudhotu ath-Thalilibin VII/28].
c. Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar halaman 228 berkata: “Para
sahabat kami (dari kalangan Syafi’iyyah) mengatakan bahwa setiap hal
yang dilarang untuk dilihat, maka dilarang pula untuk menyentuhnya.
Bahkan menyentuh itu lebih besar lagi urusannya, karena telah
dibolehkan bagi seseorang untuk melihat seorang wanita yang bukan
muhrimnya pada saat hendak menikahi- nya, pada saat jual beli, pada
saat mengambil barang dan menyerahkannya dan yang semisal dengan
hal tersebut di atas. Akan tetapi tetap tidak diper- bolehkan baginya
pada saat-saat tersebut untuk menyentuhnya”.
4. Madzhab Hanbali
a. Imam Ahmad ketika ditanya tentang masalah berjabat tangan dengan
perempuan bukan muhrim, beliau menjawab: “Aku membencinya.”
b. Mengenai berjabat tangan dengan perempuan tua:
Liza 2009, Pandangan Islam dalam Pelayanan Kesehatan, dilihat 30 April 2018,
<http://lhiezainternisti.blogspot.co.id/2009/12/pandangan-islam-dalam-
pelayanan.html>.
Multazam, A 2013, Hukum Dokter dan Pasien yang Beda Jenisya / Bukan
Muhrimnya dalam Islam, dilihat 20 Mei 2018, https://multazam-
einstein.blogspot.co.id/2013/01/hukum-dokter-dan-pasien-yang-beda.html
Disusun oleh :
Kelompok 1
A17-2