Anda di halaman 1dari 10

ETIKA SEORANG PERAWAT DALAM MERAWAT PASIEN BEDA

JENIS

Perawat sangat berperan dalam proses penyembuhan pasien, baik secara


langsung atau tidak langsung kepada klien sebagai individu, keluarga, maupun
masyarakat. Dalam melaksanakan peran, perawat bertindak sebagai comforter,
protector, dan advokat, communicator, serta rehabilitator. Terlepas dari semua itu,
manusia mempunyai Al-Qur’an yang digunakan sebagai petunjuk hidup. Tak
terkecuali dengan perawat dalam merawat pasien lawan jenis, memiliki aturan-
aturannya.
Sebagai comforter, perawat berusaha memberi kenyamanan dan rasa aman
pada klien. Islam mengajarkan bagaimana umat manusia dapat menolong terhadap
sesamanya, pertolongan itu diberikan secara tulus ikhlas dan holistic, sehingga
kita dapat merasakan apa yang klien kita rasakan. Ibarat orang mukmin saling
mencintai kasih mengasihi dan saling menyayangi adalah lukisan satu tubuh “jika
salah satu angggota tubuhnya sakit maka seluruh tubuh akan merasa
sakit”(HR.Muttafaq Alaih).
Namun, di tempat pelayanan kesehatan seperti itulah batasan antara
perawat dengan pasien beda jenis sering dikesampingkan. Dapat kita lihat di
tempat pelayanan kesehatan bahwa perawat ataupun petugas pelayanan kesehatan
lainnya akan melakukan berbagai interaksi dengan pasien. Tindakan-tindakan
tersebut merupakan serangkaian prosedur yang memang sudahseharusnya dijalani.
Diantaranya seperti perawat yang harus melakukan pemeriksaan fisik terhadap
pasiennya yang pastinya harus menyentuh tubuh pasien, melakukan injeksi
(suntikan) dibagian tertentu yang kadang harus membuat pasienmembuka
pakaiannya. Tidak hanya itu, bahkan kadang perawat harus memegang alat vital
dari kliennya untuk berbagi keperluan seperti pada pemasangan kateter atau
operasi pada bagian tersebut yang tidak jarang bahwa petugas medis yang
berlainan jenis kelaminlah yang melakukan tindakan tersebut. Lalu bagaimana
sebenarnya hal tersebut dalam pandangan islam? apakah seorang perawat
hukumnya haram dalam menyentuh pasien yang berbeda jenis? ataukah justru
diperbolehkan.
Pada hukum dasarnya, sentuhan kulit secara langsung antara laki-laki dan
wanita yang bukan mahram atau bukan suaminya sendiri, hukumnya haram.Baik
sentuhan itu diiringi dengan nafsu atau pun tidak dengan nafsu. Sebab yang
menjadi ukuran bukan adanya nafsu atau tidak, melainkan sentuhannya itu sendiri.
Ada banyak dalil di dalam sabda Rasulullah SAW tentang haramnya sentuhan ini,
antara lain: “Dari Ma`qil bin Yasar dari Nabi saw., beliau bersabda,
"Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang di antara kamu dengan jarum
besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya." (HR
Thabrani dan Baihaqi).Hal ini dikuatkan lagi dari tindakan Rasulullah SAW yang
tidak menjabat tangan perempuan ketika melakukan bai`at dengan para wanita.
Padahal biasanya bai'at itu ditandai dengan jawab tangan.Dari asy-Sya`bi bahwa
Nabi saw. ketika membai`at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris
dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata, "Aku
tidak berjabat dengan wanita." (HR Abu Daud dalam al-Marasil). Aisyah berkata:
Maka barangsiapa di antara wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat
tersebut, Rasulullah saw. berkata kepadanya, "Aku telah membai`atmu" - dengan
perkataan saja - dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak menyentuh
tangan wanita dalam bai`at itu; beliau tidak membai`at mereka melainkan
dengan mengucapkan, "Aku telah membai`atmu tentang hal itu."

Sedangkan dalil yang terkuat dalam pengharaman sentuhan kulit antara


laki-laki dan wanita yang bukan mahram adalah menutup pintu fitnah (saddudz-
dzari`ah). Dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat
tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak tanda-tandanya.

Namun bila ada hal-hal mendesak yang tidak mungkin dihindari serta
tidak ditemukanya alternatif lain, untuk sementara hal-hal yang hukumnya haram
bisa berubah sesaat. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah, Adh-Dharuratul
Tubihul Malhdzurat. Sesuatu yang darurat itu bisa membolehkan larangan.Namun
sifatnya lokal, sementara, parsial dan seperlunya saja. Begitu kadar
kedaruratannya hilang, maka hukum keharamannya kembali lagi. Sesuai dengan
kaidah: Adh-dharuratu Tuqaddar bi Qadriha, Sesuatu yang darurat itu harus
diukur sesuai kadarnya.

Dalam pengobatan, kebolehan hanya pada bagian tubuh yang sangat


diperlukan, karena itu, bagian tubuh yang lain yang tidak terkait langsung berlaku
ketentuan umum tidak boleh melihatnya. Namun, untuk meminimalisir batasan
darurat dalam pemeriksaan oleh lawan jenis sebagai upaya al-Dzari’at (menutup
jalan untuk terlaksananya kejahatan), disarankan disertai mahram dan prioritas
diobati oleh yang sejenis.

Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah, hlm. 1/342, mengutip pendapat Al-Qadhi Abu
Ya'la demikian:

‫يجوز للطبيب أن ينظر من المرأة إلى العورة عند الحاجة إليها نص عليه (أي اإلمام أحمد) في رواية‬
‫للمرأة‬ ‫يجوز‬ ‫وكذلك‬ ،‫واألثرم‬ ‫وحرب‬ ،‫المروزي‬
Artinya: Boleh bagi dokter (pria) untuk melihat wanita sampai auratnya apabila
diperlukan sebagaimana pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dalam riwayat Al-
Maruzi.. Begitu juga boleh bagi dokter wanita (melihat pasien pria).

Pembolehan dan batasan kebolehannya dalam keadaan darurat juga


banyak disampaikan oleh tokoh madzhab. Ahmad ibn Hanbal, tokoh utama
mazhab hanbali menyatakan boleh bagi dokter/tabib laki-laki melihat aurat pasien
lain jenis yang bukan mahram khusus pada bagian tubuh yang menuntut untuk itu
termasuk aurat vitalnya, demikian pula sebaliknya, dokter/perawat wanita boleh
melihat aurat pasien lain jenisnya dengan alasan tuntutan.
Sesuai dengan kaidah-kaidah ini, kita pun bisa menyaksikan prakteknya di
masa lalu. Di masa Rasulullah SAW, para wanita diperlukan peran sertanya di
dalam peperangan. Karena peperangan memang sesuatu yang masuk dalam
kategori darurat. Para wanita ditempatkandi bagian logistik dan juga perawatan
korban perang. Para wanita shahabiyah berjibaku dengan para laki-laki dalam
perang, terutama untuk mengobati orang-orang yang luka. Mereka merawat,
mengobati serta menyembuhkan korban perang.Dalam upaya mereka, pastilah
terjadi sentuhan kulit, namun hal ini menjadi boleh untuk sementara waktu,
karena sifatnya yang darurat.Bahkan diriwayatkan bahwa karena alasan darurat,
Rasulullah SAW mengizinkan seorang laki-laki untuk
melakukan hijamah (bekam) atas seorang pasien wanita.
Di dalam kitab Fathul Qadir jilid 8 halaman 98 disebutkan seorang
shahabat Nabi, Abdullah ibnu Az-Zubair telah menyewa seorang wanita tua untuk
merawat dirinya.Ibnu Muflih dalam kitabnya Al-Adab Asy-Syar'iyah
menyebutkan bahwa bila ada seorang wanita sakit, namun tidak ada yang bisa
mengobatinya kecuali laki-laki, maka dibolehkan khusus buat laki-laki itu saja
untuk melihat sebagian auratnya. Yaitu yang terkait dengan penyakitnya itu saja.
Dan demikian pula berlaku sebaliknya.

DALIL ATAU LANDASAN HUKUM

A. Al-Qur’an

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,


dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
(Q.S. Al-Maidah : 2)

Dan Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya


atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu lakukan. (Q.S. Al-An’am : 119)

B. Hadits
ُ‫ع ِم ْن ُك ْم أ َ ْن يَ ْنفَ َع أ َ َخاهُ فَ ْليَ ْنفَ ْعه‬
َ ‫ست َ َطا‬
ْ ‫َم ِن ا‬
Siapa yang mampu untuk dapat bermanfaat buat saudaranya, maka berilah
manfaat. (H.R. Muslim)
ُ‫ع ِل َمهُ َوج َِهلَهُ َم ْن ج َِهلَه‬ ِ ُ‫اِنَّ هللاَ لَ ْم يُ ْن ِز ْل دَا ًء اِالَّ ا َ ْن َز َل لَه‬
َ ، ‫شفَا ًء‬
َ ‫ع ِل َمهُ َم ْن‬
Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit melainkan di turunkan-Nya
pula obatnya, yang diketahui oleh orang yang mengerti dan tidak diketahui oleh
orang yang tidak mengetahuinya. (H.R. Ahmad)
ُ ‫سلَّ َم َقا َل َال يَ ْن‬
‫ظ ُر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫س ِعي ٍد ا ْل ُخد ِْري ِ ع َْن أَبِي ِه أَنَّ َر‬
َّ ‫سو َل‬ َ ‫الرحْ َم ِن ب ِْن أَبِي‬ َ ‫ع َْن‬
َّ ‫ع ْب ِد‬
‫الر ُج ِل َو َال ا ْل َم ْرأَةُ إِلَى ع َْو َر ِة ا ْل َم ْرأَ ِة‬
َّ ‫الر ُج ُل إِلَى ع َْو َر ِة‬
َّ
Dari ‘Abdir-Rahman bin Abi Sa`id al-Khudri, dari ayahnya, bahwasanya
Nabi SAW. bersabda: “Janganlah seorang lelaki melihat kepada aurat lelaki
(yang lain), dan janganlah seorang wanita melihat kepada aurat wanita (yang
lain)". (H.R. Muslim)

C. Pandangan Ulama
1. Fatwa Syaikh Muhammad Saleh Al-Utsmani RA. Dalam kitab Wa Rasaail
Syaikh Ibnu Utsmaimin Juz 1 halaman 30, Syamilah.
، ‫إن ذهاب المرأة إلى الطبيب عند عدم وجود الطبيبة ال بأس به كما ذكر ذلك أهل العلم‬
‫ويجوز أن تكشف للطبيب كل ما يحتاج إلى النظر إليه إال أنه البد وأن يكون معها محرم‬
‫ ألن الخلوة محرمة وهذا من باب الحاجة‬، ‫ودون خلوة من الطبيب بها‬
‫ وما كان تحريمه‬، ‫وقد ذكر أهل العلم رحمهم هللا أنه إنما أبيح هذا ألنه محرم تحريم الوسائل‬
‫تحريم الوسائل فإنه يجوز عند الحاجة إليه‬
“Sesungguhnya seorang wanita yang mendatangi dokter lelaki di saat tidak
ditemukan dokter wanita tidaklah mengapa, sebagaimana yang disebutkan oleh
para ulama, dan dibolehkan bagi wanita tersebut membuka di hadapan dokter
lelaki semua yang dibutuhkan untuk dilihat, hanya saja disyaratkan harus
ditemani mahram tanpa khalwat dengan dokter lelaki tersebut, sebab khalwat
diharamkan, dan ini termasuk kebutuhan. Telah disebutkan pula oleh para ulama
–semoga Allah merahmati mereka- bahwa perkara ini dibolehkan karena dia
diharamkan dengan sebab sebagai wasilah (pengantar kepada zina) dan sesuatu
yang diharamkan karena dia sebagai wasilah dibolehkan dalam kondisi
dibutuhkan.”
2. Fatwa Lajnah Daimah dalam fatwa bi ruqmi, wa tarikhul. Jannatiddaimati
lil buhusil alamiyati wal ifta’i No. 3201 tanggal 1/9/1400 H
‫إذا تيسر الكشف على المرأة وعالجها عند طبيبة مسلمة لم يجز أن يكشف عليها ويعالجها‬
‫ وإذا لم يتيسر ذلك واضطرت للعالج جاز أن يكشف عليها طبيب‬, ‫طبيب ولو كان مسلما‬
‫ فإن لم يتيسر‬, ‫ خشية الفتنة أو وقوع ما ال تحمد عقباه‬, ‫مسلم بحضور زوجها أو محرم لها‬
‫ وصلى هللا على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم‬. ‫المسلم فطبيب كافر بالشرط المتقدم‬
Jika memungkinkan membuka aurat wanita tersebut dan mengobatinya pada
dokter wanita yang muslimah, maka tidak boleh baginya membuka auratnya dan
melakukan pengobatan kepada dokter lelaki meskipun dia seorang muslim.
Namun jika tidak memungkinkan, dan ia terpaksa melakukannya karena
pengobatan, maka boleh dibuka auratnya oleh dokter lelaki muslim dengan
kehadiran suaminya atau mahramnya, karena dikhawatirkan fitnah atau terjatuh
kedalam perkara yang tidak disukai akibatnya. Jika tidak ditemukan dokter lelaki
muslim, maka dibolehkan dokter lelaki kafir dengan syarat yang telah
disebutkan.[1]

Islam sangat menghargai tugas kesehatan, karena tugas ini adalah tugas
kemanusiaan yang sangat mulia, sebab menolong sesama manusia yang sedang
menderita. Dan menurut Islam, hubungan antara petugas kesehatan dengan pasien
adalah sebagai hubungan penjual jasa dengan pemakai jasa, sebab si pasien dapat
memanfaatkan ilmu, keterampilan, keahlian petugas kesehatan, sedangkan
petugas kesehatan memperoleh imbalan atas profesinya berupa gaji atau honor.
Karena itulah terjadilah akad ijarah antara kedua belah pihak, ialah suatu akad, di
mana satu pihak memanfaatkan barang, tenaga, pikiran, keterampilan, dan
keahlian pihak lain, dengan memberi imbalannya.[2]

Selain diharamkan melihat aurat dan menyentuhnya, laki-laki dan


perempuan yang bukan mahram juga diharamkan untuk bersepi-sepi berdua.
Tanpa ada kehadiran mahram.[3]

Adapun duduk berkhalwat dengan dokter pria, meskipun dalam waktu yang
lama, semata-mata hanya karena tujuan pengobatan dan selama dokter itu seorang
muslim yang dapat dipercaya dan baik akhlaknya dan selama itu merupakan
keharusan, maka hal itu tidak dilarang.[4]

Dalam keadaan darurat itu membolehkan segala yang dilarang, menurut


kaidah Ushul fiqh yang disepakati oleh sekalian ulama ushul. Dengan demikian,
dokter boleh melihat dan memegang bagian badan yang memerlukan pengobatan
dan pemeriksaan sekalipun kepada aurat terbesar. Ini berlaku umum baik terhadap
tubuh pria maupun tubuh wanita atau sebaliknya.[5]
PENDAPAT 4 IMAM MADZHAB

1. Madzhab Hanafi
a. Haram menyentuh wajah dan dua telapak tangan perempuan bukan
muhrim, sekalipun aman dari syahwat.
b. Berjabat tangan dengan perempuan tua yang sudah tidak bersyahwat
lagi; At-Thahawi berkata tidak mengapa. Manakala Syamsudin Ahmad
bin Qaudar berkata tidak halal sekalipun aman dari syahwat.
c. Imam al-Kasaani berkata: “menyentuh (wanita) lebih berpotensi mem-
bangkitkan syahwat daripada sekedar melihat ..” [Bada'iu ash-Shana`i']
2. Madzhab Maliki
a. Haram berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim. Ini
dinyatakan oleh al-Imam al-Baaji, al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi
dan As-Shawi.
b. Hukum berjabat tangan dengan perempuan tua, menurut Syeikh Abul
Barakat Ahmad bin Muhamad bin Ahmad ad-Durdair ia tidak
dibenarkan.
c. Imam Abul Barokaat menyatakan: “Tidak boleh berjabat tangan
dengan wanita (bukan muhrim) walaupun kaum lelaki sudah tidak
memiliki lagi keinginan (hasrat) kepadanya .” [asy-Syahush Shaghir
IV/760].
3. Madzhab Syafi’i
a. Imam An-Nawawi di dalam beberapa karyanya, as-Syaribini dan lain-
lain ulama as-Syafi’iyyah menyatakan haram berjabat tangan dengan
perempuan bukan muhrim.
b. Imam an-Nawawi berkata: “Memandang wanita (bukan muhrim) saja
haram, maka menyentuhnya tentu lebih haram lagi, karena terasa lebih
nikmat .” [Roudhotu ath-Thalilibin VII/28].
c. Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar halaman 228 berkata: “Para
sahabat kami (dari kalangan Syafi’iyyah) mengatakan bahwa setiap hal
yang dilarang untuk dilihat, maka dilarang pula untuk menyentuhnya.
Bahkan menyentuh itu lebih besar lagi urusannya, karena telah
dibolehkan bagi seseorang untuk melihat seorang wanita yang bukan
muhrimnya pada saat hendak menikahi- nya, pada saat jual beli, pada
saat mengambil barang dan menyerahkannya dan yang semisal dengan
hal tersebut di atas. Akan tetapi tetap tidak diper- bolehkan baginya
pada saat-saat tersebut untuk menyentuhnya”.
4. Madzhab Hanbali
a. Imam Ahmad ketika ditanya tentang masalah berjabat tangan dengan
perempuan bukan muhrim, beliau menjawab: “Aku membencinya.”
b. Mengenai berjabat tangan dengan perempuan tua:

Imam Ishaq bin Mansur al-Marwazi menukil dari imam Ahmad, ia


tidak dibenarkan (tidak dibolehkan).

Sementara Ibnu Muflih menyatakan; pemilik an-


Nazham mengatakan makruh dan dengan anak kecil (yang belum baligh)
dibolehkan dengan tujuan budi pekerti.

c. Imam al-Marruzi (ada yang membaca : al-Marwazi) mengatakan:


“Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal. ” Apakah anda
membenci jabat tangan dengan kaum wanita (non muhrim)?”" Beliau
menjawab: “Aku membencinya.” [Masa`il Ahmad wa Ishaq I/211].
Masih banyak lagi pendapat ulama dari empat madzhab yang
mengharamkan berjabatan tangan dengan wanita bukan
Muhrim.”(A.Shihabuddin. Telaah Kritis atas Doktrin paham
Salafi/Wahabi.
DAFTAR PUSTAKA

Liza 2009, Pandangan Islam dalam Pelayanan Kesehatan, dilihat 30 April 2018,
<http://lhiezainternisti.blogspot.co.id/2009/12/pandangan-islam-dalam-
pelayanan.html>.

Multazam, A 2013, Hukum Dokter dan Pasien yang Beda Jenisya / Bukan
Muhrimnya dalam Islam, dilihat 20 Mei 2018, https://multazam-
einstein.blogspot.co.id/2013/01/hukum-dokter-dan-pasien-yang-beda.html

Sarwat, A 2016, Perawat Wanita Pegang Pasien Pria, Bolehkah?, dilihat 25


April 2018, <https://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1139386014&=perawat-
wanita-pegang-pasien-pria-bolehkah.htm>
ETIKA SEORANG PERAWAT DALAM MERAWAT PASIEN BEDA
JENIS

Dosen Pengampu : M. Hasib Ardani, S.Kp., M.Kes

Disusun oleh :

Kelompok 1

1. Hanna Athifahsari (22020117110025)


2. Binta Afifatun Ni’am (22020117120001)
3. Annisa Khanna Daroja (22020117120005)
4. Nabila Nur Maharani (22020117120008)
5. Rochmah Rizqiyanti (22020117120013)
6. Fahrun Ningsih (22020117120016)
7. Atik Hasna Imani (22020117120018)

A17-2

DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2018

Anda mungkin juga menyukai