Disusun Oleh:
Disusun dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Etika Bisnis Dan
Profesi
Puji syukur kami sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan petunjuk-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “Teori –
Teori Etika Dan Contoh Kasus” yang mana makalah ini disusun bertujuan untuk
memenuhi tugas kelompok mata kuliah Etika Binis dan Profesi di Semester Genap ini.
Makalah ini disusun dengan materi yang rinci dengan harapan dapat menambah
dan memperluas wawasan mahasiswa/mahasiswi untuk mengetahui pentingnya
pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi. Alur pemaparannya dibuat
sedemikian rupa dengan bahasa yang sederhana agar pembaca lebih mudah untuk
memahaminya. Ada pepatah yang mengatakan “Tak ada gading yang tak retak”, kami
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyajian makalah ini. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Demikian makalah ini kami buat, apabila ada kata-kata yang kurang berkenan
dan banyak terdapat kekurangan, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Selanjutnya, besar harapan dari tim penyusun semoga makalah ini dapat bermanfaat
terutama para teman mahasiswa dan terlebih lagi bagi penyusun sehingga apa yang
diharapkan dapat tercapai. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya.
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Sampai saat ini masih terjadi perdebatan dan perbedaan pandangan di antara
para etikawan tentang apakah etika bersifat absolut atau relatif. Para penganut
paham etika absolut dengan berbagai argumentasi yang masuk akal meyakini bahwa
ada prinsip-prinsip etika yang bersifat mutlak, berlaku universal kapan pun dan di
mana pun. Sementara itu, para penganut etika relatif dengan berbagai argumentasi
yang juga tampak masuk akal membantah hal ini. Mereka justru mengatakan bahwa
tidak ada prinsip atau nilai moral yang berlaku umum. Prinsip atau nilai moral yang ada
dalam masyarakat berbeda-beda untuk masyarakat yang berbeda dan untuk situasi
yang berbeda pula. Tokoh berpengaruh pendukung paham etika absolut antara lain
Immanuel Kant dan James Rachels yang berpendapat bahwa ada pokok teoretis
yang umum di mana ada aturan-aturan moral tertentu yang dianut secara bersama-
sama oleh semua masyarakat karena aturan-aturan itu penting untuk kelestarian
masyarakat.
Etika menjadi persoalan yang penting dalam aktivitas bisnis saat ini, bahkan
menjadi pusat sorotan bisnis kontemporer. Hal ini dikarenakan aktivitas bisnis
menimbulkan banyak perdebatan dan dilema khususnya terkait etika dalam
operasional perusahaan. Beberapa tahun terakhir banyak perusahaan yang
melakukan praktik yang tidak etis untuk mencapai tujuannya. Praktik tidak etis yang
dilakukan perusahaan antara lain adalah penyalahgunaan penentuan harga terhadap
suatu produk atau jasa yang ditawarkan, tidak adanya kesejahteraan dalam
organisasi, perlakuan tidak adil terhadap karyawan, tidak etis saat menjalin kerjasama
dengan sesama rekan bisnis, tidak adanya tanggung jawab sosial dan lingkungan,
serta berbagai pelanggaran etika lainnya (Haurissa dan Praptiningsih: 2014).
Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan kajian etika berkenaan dengan
bisnis agar memberi pegangan atau orientasi dalam menjalankan operasional
perusahaan. Hasil yang diharapkan adalah dalam praktik operasional perusahaan
untuk mencapai tujuannya tidak dengan menghalalkan segala cara. Makalah ini akan
membahas beberapa teori yang tentang etika sebagai orientasi oleh pelaku bisnis
dalam menjalankan perusahaannya sehingga tidak hanya menguntungkan bagi
perusahaan namun bermanfaat pula bagi masyarakat secara umum.
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
Berdasarkan perumusan diatas maka tujuan dari makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui ketidaksamaan pandangan mengenai apakah etika
bersifat absolut dan relatif
2. Untuk mengetahui gambaran tentang hubungan antara usia dengan
perkembangan moral anak manusia
3. Untuk mengetahui berbagai teori etika dan perbedaan antar teori yang ada
4. Untuk mengetahui berbagai teori etika pada masa abad ke- 20 ini
5. Untuk mengetahui peran etika dalam hal kegiatan bisnis
1.4 Manfaat
Bertolak dari tujuan diatas, maka manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Pengetahuan mahasiswa mengenai teori etika dalam halnya untuk kegiatan
bisnis menjadi lebih luas lagi
BAB II
LANDASAN TEORI
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia etika berarti “ilmu tentang apa yang baik
dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban (moral)” Kata etika pada dasarnya
tidak hanya terdengar dalam ruang perkuliahan saja. Kata-kata “etika”, ”etis” dan moral
hampir setiap saat kita dengar di televisi, radio dan bahkan sampai seorang ibu yang
menasehati anaknya selalu mengucapkan kata “etika” Dapat kita simpulkan juga bahwa
kata etika tidak berfungsi dalam suasana iseng dan remeh, tetapi sebaliknya dalam
suatu konteks yang serius dan kadang-kadang malah sangat prinsipil. Atau dalam
bahasanya yang berbeda, jika kita berbicara tentang “etika” maka bertujuan pada
sesuatu yang penting.
1) James J. Spillane SJ
Etika merupakan suatu ilmu yang memberikan arahan, acuan dan pijakan
kepada tindakan manusia.
3) Soergarda Poerbakawatja
Etika merupakan sebuah filsafat berkaitan dengan nilai-nilai, tentang baik dan
buruknya tindakan dan kesusilaan.
Mengungkapkan bahwa etika ialah suatu cabang ilmu filsafat yang berbicara
tentang nilai -nilai dan norma yang dapat menentukan perilaku manusia dalam
kehidupannya.
5) Drs. O.P. Simorangkir
Menjelaskan bahwa etika ialah pandangan manusia terhadap baik dan buruknya
perilaku manusia.
6) A. Mustafa
7) W.J.S. Poerwadarminto
8) Aristoteles
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu Ethos yang menurut Kerat (1998)
adalah adat istiadat atau kebiasaan. Perpanjangan dari adat istiadat membangun
suatu aturan kuat di masyarakat, yaitu setiap tindakan mengikuti aturan, dan
aturan tersebut membentuk moral masyarakat dalam menghargai adat istiadat
yang berlaku. Etika pada umumnya diidentikkan dengan moral (atau moralitas).
Meskipun keduanya terkait dengan baik dan buruknya tindakan manusia, etika
dan moral memiliki pengertian yang berbeda. Moral lebih terkait dengan nilai baik
dan buruk setiap perubahan manusia, sedangkan etika lebih merupakan ilmu
yang mempelajari tentang baik dan buruk tersebut (Hendar Riyadi, 2007: 114
dalam Abdul Aziz: 2013). Etika mempersoalkan norma-norma yang dianggap
berlaku, menyelidiki setiap dasar norma tersebut, serta mempersoalkan hak dari
setiap lembaga.
Etika menuntut orang agar bersikap rasional terhadap semua norma
sehingga membantu manusia menjadi lebih otonom. Otonomi (kebebasan)
manusia tidak terletak dalam kebebasan dari segala norma dan tidak sama
dengan tindakan yang sewenang-sewenang, melainkan tercapai dalam
kebebasan untuk mengakui norma-norma yang diyakininya sendiri sebagai
kewajibannya. Etika merupakan pembahasan yang bersifat fungsional mengenai
kewajiban-kewajiban manusia serta tingkah laku manusia dilihat dari segi baik
dan buruknya tingkah laku terebut. Etika atau norma dibutuhkan sebagai
pengantar pemikiran kritis yang dapat membedakan antara hal yang sah dan hal
yang tidak sah, hal yang baik dan buruk, serta hal yang salah dan hal yang benar.
Etikawan dari Yunani Kuno mengembangkan berbagai pemikiran untuk
mendiskusikan berbagai cara untuk menjadikan kebahagiaan dan kesempurnaan
dalam hidup secara peripurna sesuai dengan tujuan hidup dan cita-citanya.
1. Pra-konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada
anak- anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam
tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai
moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat
pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral,
dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris, individu-individu memfokuskan
diri pada konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri.
Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis otoriterisme.
Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan
orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh
terhadap kebutuhannya sendiri. Dalam tahap dua perhatian kepada orang lain
tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan
perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan
kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani
kebutuhan diri sendiri saja. Tahap kedua, perspektif dunia dilihat sebagai
sesuatu yang bersifat relatif secara moral.
2. Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau
orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan
dengan membandingkannya dengan pandangan dan harapan masyarakat.
Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam
perkembangan moral. Seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran
sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-
orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap
peran yang dimilikinya.
Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan
mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang
mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule.
Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu
peran sosial yang stereotip ini. Penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan
konvensi sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat.
Penalaran moral dalam tahap empat lebih dari sekedar kebutuhan akan
penerimaan individual seperti dalam tahap tiga, kebutuhan masyarakat harus
melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan apa yang
benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila
seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan
menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk
dari yang baik.
3. Pasca-konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip.
Terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa
individu- individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi
semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif
masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan
pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.
Individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan nilai-
nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai
tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti
kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat.
Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut memang
anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak sejalan dengan itu,
hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-
aturan yang tidak mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah
bila perlu demi terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk banyak orang. Hal
tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal
ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap
lima. Penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan
prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasarkan pada keadilan,
dan komitmen terhadap keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak
mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan
tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan secara
kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara
kondisional.
2. Utilitarianisme
Utilitarianisme berasal dari kata Latin utilis, kemudian menjadi kata
Inggris utility yang berarti bermanfaat. Perbedaan paham utilitarianisme
dengan paham egoisme etis terletak pada siapa yang memperoleh
manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut pandang kepentingan individu,
sedangkan paham utilitarianisme melihat dari sudut kepentingan orang
banyak (kepentingan bersama, kepentingan masyarakat). Dari uraian
sebelumnya, paham utilitarianisme dapat diringkas sebagai berikut:
a. Tindakan harus dinilai benar atau salah hanya dari konsekuensinya
(akibat, tujuan, atau hasilnya)
b. Dalam mengukur akibat dari suatu tindakan, satu-satunya parameter
yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau jumlah ketidakbahagiaan.
c. Kesejahteraan setiap orang sama pentingnya.
3. Deontologi
Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berarti
kewajiban. Kedua teori egoisme dan utilitarianisme sama-sama menilai baik
buruknya suatu tindakan dari akibat, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan
tersebut. Bila akibat dari suatu tindakan memberikan manfaat entah untuk
individu (egoisme) atau untuk banyak orang/kelompok masyarakat
(utilitarianisme), maka tindakan itu dikatakan etis. Sebaliknya, jika akibat suatu
tindakan merugikan individu atau sebagian besar kelompok masyarakat, maka
tindakan tersebut dikatakan tidak etis. Teori yang menilai suatu tindakan
berdasarkan hasil, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan tersebut disebut teori
teleologi.
Untuk memahami lebih lanjut tentang paham deontologi ini, sebaiknya
dipahami terlebih dahulu dua konsep penting yang dikemukakan oleh Kant,
yaitu konsep imperative hypothesis dan imperative categories. Imperative
hypothesis adalah perintah-perintah (ought) yang bersifat khusus yang harus
diikuti jika seseorang mempunyai keinginan yang relevan. Imperative categories
adalah kewajiban moral yang mewajibkan kita begitu saja tanpa syarat apa pun.
Dengan dasar pemikiran yang sama, dapat dijelaskan bahwa beberapa
tindakan seperti membunuh, mencuri, dan beberapa jenis tindakan lainnya
dapat dikategorikan sebagai imperative categories, atau keharusan/kewajiban
moral yang bersifat universal dan mutlak.
Teori ini memiliki keyakinan sesuatu yang baik berakar dari keberhasilan
manusia dalam mengerjakan tugas atau kewajibannya. Teori ini diketahui
bertentangan dengan teori Teleological yang menganggap bahwa
semua hal di dunia diciptakan Tuhan untuk melayani umat manusia. Teori
deontologi dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Rational monism
Teori ini dibuat oleh Immanuel Kant yang menyakini bahwa suatu
tindakan dianggap bermoral jika dilakukan dengan sense of duty (rasa
tanggung jawab). Tugas atau kewajiban individu adalah melakukan
sesuatu yang rasional dan bermoral, sehingga semua tindakan yang
berasal dari keinginan Tuhan dianggap bermoral. Untuk membedakan
tindakan bermoral dan tidak bermoral, maka perlu diajarkan tentang apa
yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan.
Ukuran yang digunakan adalah hati nurani individu yang bersangkutan.
b. Traditional deontology
Teori ini memiliki dasar religi yang kuat, yaitu menyakini Tuhan dan
kesucian hidup. Tugas dan kewajiban moral berpedoman pada perintah
Tuhan. Semua tindakan yang harus dilakukan harus berdasarkan perintah
Tuhan.
c. Intuitionistic pluralis
Teori ini tidak memiliki prinsip utama, hanya menyatakan bahwa ada
beberapa aturan moral atau kewajiban yang harus diikuti oleh semua
manusia. Aturan dan kewajiban tersebut sama pentingnya sehingga sering
muncul konflik satu aturan dengan aturan lainnya. Tujuh kewajiban utama
yang harus dilakukan manusia :
1) Kewajiban akan kebenaran, kepatuhan, ketaatan, menjaga rahasia,
setia, dan tidak berbohong
2) Kewajiban untuk berderma, murah hati, dan membantu orang lain
3) Tidak merugikan orang lain
4) Menjunjung tinggi keadilan
5) Wajib memperbaiki kesalahan yang ada
6) Wajib bersyukur, membalas budi kepada orang yang telah berbuat
baik kepada kita (khususnya orang tua)
7) Kewajiban untuk mengembangkan kemampuan diri
1. Pengendalian diri
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh
pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
4. Menciptakan persaingan yang sehat
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi)
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan
golongan pengusaha ke bawah
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
10. Kembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif
yang berupa peraturan perundang-undangan
8. Etika Islami
Perbedaan etika bisnis islami dengan etika bisnis konvensional yang
selama ini dipahami dalam kajian ekonomi terletak pada landasan tauhid
dan orientasi jangka panjang (akhirat). Etika bisnis islami memiliki dua cakupan,
yaitu:
a. Cakupan internal, yang berarti perusahaan memiliki manajemen internal
yang memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan, perlakuan yan
manusiawi dan tidak disriminatif serta pendidikan berkelanjutan.
b. Cakupan eksternal meliputi aspek transparansi, akuntabilitas, kejujuran, dan
tanggung jawab. Cakupan ini termasuk kesediaan perusahaan untuk
memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat sebagai stakeholder
perusahaan.
Pendekatan win-win solution menjadi prioritas. Semua pihak
diuntungkan sehingga tidak ada praktik culas seperti menipu masyarakat atau
petugas pajak dengan laporan keuangan yang rangkap dan lain sebagainya.
Bisnis yang dijalankan dengan melanggar prinsip-prinsip etika dan syariah
cenderung tidak produktif dan menimbulkan inefisiensi.
No Teori Paradigma
Penalaran Kriteria etis Tujuan hidup Hakikat
teori manusia dan
keceerdasan.
1 Egoisme Tujuan dari Memenuhi Kenikmatan Hakikat tidak
tindakan kepentingan duniawi utuh
pribadi secara indvidu
2 Utilitarianisme Tujuan dari Memberi Kesejahteraan Hakikat tidak
tindakan manfaat/ duniawai utuh.
kegunaan masyarakat.
bagi banyak
orang.
3 deontologi- Tindakan Kewajiban Demi Hakikat tidak
Kant itu sendiri mutlak kewajiban itu utuh
setiap orang sendiri
4 Teori hak Tingkat Aturan Demi Hakikat tidak
kepatuhan tentang hak martabat utuh
terhadap asasi kemanusiaan
HAM manusia
5 Teori Disposisi Karakter Kebahagiaan Hakikat tidak
keutamaan karakter posotif- duniawi dan utuh
negatif mental/
individu psikologis
6 Teori teonom Disposisi Karakter Kebahagiaan Hakikat utuh
karakter dan mulia dan rohani
tingkat mematuhi (surgawi,
keimanan kitab suci akhirat,
agama moksa,
masing- nirmala)
masing mental dan
individu dan duniawi
masyarakat
Tabel Teori Etika dan Hubungannya dengan Paradigma Hakikat Manusia dan
Kecerdasan
3. Teori Hak
Contoh kasus Teori Hak:
PT Freeport Indonesia merupakan jenis perusahaan multinasional
(MNC),yaitu perusahaan internasional atau transnasional yang berkantor pusat
di satu negara tetapi kantor cabang di berbagai negara maju dan berkembang..
Contoh kasus pelanggaran etika yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia:
a) Mogoknya hampir seluruh pekerja PT Freeport Indonesia (FI) tersebut
disebabkan perbedaan indeks standar gaji yang diterapkan oleh manajemen
pada operasional Freeport di seluruh dunia. Pekerja Freeport di Indonesia
diketahui mendapatkan gaji lebih rendah daripada pekerja Freeport di negara
lain untuk level jabatan yang sama. Gaji sekarang per jam USD 1,5–USD 3.
Padahal, bandingan gaji di negara lain mencapai USD 15–USD 35 per jam.
Sejauh ini, perundingannya masih menemui jalan buntu. Manajemen Freeport
bersikeras menolak tuntutan pekerja, entah apa dasar pertimbangannya.
b) Biaya CSR kepada sedikit rakyat Papua yang digembor-gemborkan itu pun tidak
seberapa karena tidak mencapai 1 persen keuntungan bersih PT FI. Malah
rakyat Papua membayar lebih mahal karena harus menanggung akibat berupa
kerusakan alam serta punahnya habitat dan vegetasi Papua yang tidak ternilai
itu. Biaya reklamasi tersebut tidak akan bisa ditanggung generasi Papua sampai
tujuh turunan. Selain bertentangan dengan PP 76/2008 tentang Kewajiban
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, telah terjadi bukti paradoksal
sikapFreeport(Davis,G.F.,et.al.,2006).
Kestabilan siklus operasional Freeport, diakui atau tidak, adalah barometer
penting kestabilan politik koloni Papua. Induksi ekonomi yang terjadi dari
berputarnya mesin anak korporasi raksasa Freeport-McMoran tersebut di
kawasan Papua memiliki magnitude luar biasa terhadap pergerakan ekonomi
kawasan, nasional, bahkan global.
Sebagai perusahaan berlabel MNC (multinational company) yang otomatis
berkelas dunia, apalagi umumnya korporasi berasal dari AS, pekerja adalah bagian dari
aset perusahaan. Menjaga hubungan baik dengan pekerja adalah suatu keharusan.
Sebab, di situlah terjadi hubungan mutualisme satu dengan yang lain. Perusahaan
membutuhkan dedikasi dan loyalitas agar produksi semakin baik, sementara pekerja
membutuhkan komitmen manajemen dalam hal pemberian gaji yang layak.
Pemerintah dalam hal ini pantas malu. Sebab, hadirnya MNC di Indonesia
terbukti tidak memberikan teladan untuk menghindari perselisihan soal normatif yang
sangat mendasar. Kebijakan dengan memberikan diskresi luar biasa kepada PT FI,
privilege berlebihan, ternyata sia-sia. Berkali-kali perjanjian kontrak karya dengan PT FI
diperpanjang kendati bertentangan dengan UU Nomor 11/1967 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Pertambangan dan sudah diubah dengan UU Nomor 4/2009 tentang
Minerba. Alasan yang dikemukakan hanya klasik, untuk menambah kocek negara.
Padahal, tidak terbukti secara signifikan sumbangan PT FI benar-benar untuk negara.
Kalimat yang lebih tepat, sebetulnya, sumbangan Freeport untuk negara Amerika, bukan
Indonesia. Justru negara ini tampak dibodohi luar biasa karena PT FI berizin
penambangan tembaga, namun mendapat bahan mineral lain, seperti emas, perak, dan
konon uranium. Bahan-bahan itu dibawa langsung ke luar negeri dan tidak mengalami
pengolahan untuk meningkatkan value di Indonesia. Ironisnya, PT FI bahkan tidak listing
di bursa pasar modal Indonesia, apalagi Freeport-McMoran sebagai induknya.
Keuntungan berlipat justru didapatkan oleh PT FI dengan hanya sedikit memberikan
pajak PNBP kepada Indonesia atau sekadar PPh badan dan pekerja lokal serta
beberapa tenaga kerja asing (TKA). Optimis penulis, karena PT FI memiliki pesawat dan
lapangan terbang sendiri, jumlah pasti TKA itu tidak akan bisa diketahui oleh pihak
imigrasi. Dalam kasus ini, PT Freeport Indonesia sangat tidak etis dimana kewajiban
terhadap para karyawan tidak terpenuhi karena gaji yang diterima tidak layak
dibandingkan dengan pekerja Freeport di Negara lain. Padahal PT Freeport Indonesia
merupakan tambang emas dengan kualitas emas terbaik di dunia.
4.1 KESIMPULAN
Etika sebagai disiplin ilmu, berhubungan dengan kajian secara kritis tentang
adat kebiasaan, nilai-nilai dan norma-norma dan perilaku manusia yang dianggap
baik atau tidak baik. Sebagai ilmu, etika belum semapan ilmu fisika atau ilmu
ekonomi. Dalam etika masih dijumpai banyak teori yang menjelaskan suatu
tindakan, sifat, atau objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau
prespektive yang berlainan. Berbagai teori etika yang muncul antara lain karena
adanya perbedaan prespektif dan penafsiran tentang apa yang menjadi tujuan akhir
hidup umat manusia, seperti teori egoisme, utilitarianisme, deontologi, teori hak,
teori keutamaan,dan teori etika teonom. Disamping itu, sifat teori dalam ilmu
etika masih lebih banyak untuk menjelaskan sesuatu, belum sampai pada tahap
untuk meramalkan, apalagi untuk mengontrol suatu tindakan atau perilaku.
Perkembangan ilmu etika menjadi salah kaprah karena hanya dilandasi oleh
hakikat manusia utuh yaitu suatu paradigma tentang hakikat manusia yang hanya
mengandalkan kekuatan pikiran untuk mencari kebenaran, mengejar makna hidup
duniawi, dan melupakan potensi kekuatan spiritual, kekuatan tak terbatas, kekuatan
Tuhan dalam diri manusia tersebut. Semua teori etika yang pada awal
kemunculanya bagaikan potongan-potongan terpisah dan berdiri sendiri, ternyata
dapat dipadukan karena sifatnya yang saling melengkapi. Etika absolut dapat
didefinisikan sebagai paham etika yang menekankan bahwa prinsip moral itu
universal, berlaku untuk siapa saja, dan di mana saja, tidak ada tawar menawar
dalam prinsip ini, juga tidak tergantung pada adanya kondisi yang membuat prinsip
moral dapat berubah sewaktu-waktu. Sedangkan etika relatif mengungkapkan
bahwa tidak ada prinsip atau nilai moral yang berlaku umum. Hakikat manusia utuh
adalah keseimbangan, keseimbangan antara hak dan kewajiban, keseimbangan
tujuan duniawi dan rohani, keseimbangan antara kepentingan individu dan
kepentingan masyarakat, serta hidup adalah suatu proses evolusi kesadaran.
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Sukrisno dan I Cenik Ardana. 2014. Etika Bisnis dan Profesi. Jakarta:
Salemba Empat.
Aziz, Abdul. 2013. Etika Bisnis Perspektif Islam. Bandung: Alfabeta.
Dewi, Chatrina Sari. 2016. Analisis Penerapan Etika Deontologi Terkait
Ketenagakerjaan pada PT Trisakti Cipta Nusantara Di Surabaya-Jawa
Timur. AGORA. Vol. 4, No. 2, (2016): 294-303.
Haurissa, Lina Juliana dan Maria Praptiningsih. 2014. Analisis Penerapan Etika
Bisnis pada PT Maju Jaya di Pare-Jawa Timur. AGORA. Vol. 2, No. 2, (2014).
Keraf, Sonny. 2012. Etika Bisnis: Tuntutan da Relevansinya. Yogyakarta: Kanisius.
Sroka, Wlodzimierz dan Marketa Lorinczy. 2015. The Perception of Ethics in
Business: Analysis of Research Results. Procedia Economics and
Finance. 34 (2015): 156-163.
Tabarcea, Andrei. 2015. The Deontological Hero. Procedia Economics and
Finance.23(2015):1296-1301.