Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

TETANUS PADA ANAK

Pembimbing:

dr. Ity Sulawati, Sp.A., M.Kes

Oleh:

Florencia Santoso / 406162110

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIAWI

PERIODE 7 JANUARI 2018 – 17 MARET 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS


TARUMANAGARA

0
REFERAT :

TETANUS PADA ANAK

Disusun oleh :

Florencia Santoso

406162110

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Ilmu Kesehatan
Anak RSUD Ciawi

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Ciawi, Januari 2018

dr. Ity, Sp. A

1
PENDAHULUAN

Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang
berarti menegang. Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot
spasme tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman
secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan
oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, neuro
muscular junction, dan saraf otonom.1,2
Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah
mendapatkan imunasi tetanus (DPT). Dan pada umumnya terdapat pada anak dari
keluarga yang belum mengerti pentingnya imunasi dan pemeliharaan kesehatan,
seperti kebersihan lingkungan dan perorangan. Penyebab penyakit seperti pada
tetanus neonatorum, yaitu Clostridium tetani yang hidup anaerob, berbentuk spora
selama di luar tubuh manusia, tersebar luas di tanah, juga terdapat di tempat yang
kotor, besi berkarat sampai pada tusuk sate bekas. Basil ini bila kondisinya baik
(di dalam tubuh manusia) akan mengeluarkan toksin. Toksin ini dapat
menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit, dan merupakan tetanospasmi,
yaitu neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot.1,3
Penyakit ini adalah penyakit infeksi dimana terjadi spasme otot tonik dan
hiperrefleksia yang menyebabkan timbulnya trismus (lockjaw), spasme otot
umum, melengkungnya punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang, dan
paralisis otot pernapasan. Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh
melalui luka pada kulit oleh karena terpotong, tertusuk ataupun luka bakar serta
pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum).2,4,5
Tetanus sudah dikenal oleh orang-orang dimasa lalu, yang dikenal karena
hubungan antara luka-luka dan kekejangan-kekejangan otot fatal. Pada tahun
1884, Arthur Nicolaier mengisolasi toksin tetanus dari tetanus yang hidup bebas,
bakteri anaerob. Etiologi dari penyakit itu lebih lanjut diterangkan pada tahun
1884 oleh Antonio Carle dan Giorgio Rattone, yang mempertunjukkan sifat
tetanus untuk pertama kali. Mereka mengembangbiakan tetanus di dalam tubuh
kelinci-kelinci dengan menyuntik saraf mereka di pangkal paha dengan nanah dari
suatu kasus tetanus manusia yang fatal di tahun yang sama tersebut. Pada tahun

2
1889, Clostridium tetani terisolasi dari suatu korban manusia, oleh Kitasato
Shibasaburo, yang kemudiannya menunjukkan bahwa organisme bisa
menghasilkan penyakit ketika disuntik ke dalam tubuh binatang-binatang, dan
bahwa toksin bisa dinetralkan oleh zat darah penyerang kuman yang spesifik.
Pada tahun 1897, Edmond Nocard menunjukkan bahwa penolak toksin tetanus
membangkitkan kekebalan pasif di dalam tubuh manusia, dan bisa digunakan
untuk perlindungan dari penyakit dan perawatan. Vaksin tetanus dikembangkan
oleh P.Descombey pada tahun 1924, dan secara luas digunakan untuk mencegah
tetanus yang disebabkan oleh luka-luka pertempuran selama Perang Dunia II.5

3
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya
tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, tanpa gangguan kesadaran.
Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan
tetanospasmin.1

Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani, kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um memiliki
sifat:1,2,3
 Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.
 Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan
anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella.
 Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu
tinggi (dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 10–15 menit), kekeringan dan
desinfektans (fenol dan lainnya). Spora dapat menyebar kemana-mana,
mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan
dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun.
 Kuman hidup di tanah, debu, dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah
di daerah pertanian/peternakan. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada
tanah dan saluran pencernaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing,
tikus, babi, dan ayam.
 Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan
tetanolisin. Fungsi dari tetanolisin tidak diketahui dengan pasti, namun juga
dapat menyebabkan lisis dari sel-sel darah merah. Tetanospamin yang dapat
menyebabkan penyakit tetanus, merupakan toksin yang neurotropik yang
dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. Tetanospasmin merupakan
protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas

4
dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. Perkiraan dosis mematikan
minimal dari kadar toksin (tetanospamin) adalah 2,5 ng/kgBB atau 175 ng
untuk 70 kilogram (154lb) manusia.
 Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak
memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak
menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase dan indol positif.

Gambar 1. Mikroskopis Clostridium tetani

Epidemiologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada
jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat populasi masyarakat yang
tidak kebal, tingkat pencemaran biologi lingkungan peternakan/ pertanian, dan
adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia,
terutama pada daerah resiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah,
angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaaan aktivitas
fisiknya.1
Di negara berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian
akibat tetanus masih cukup tinggi, hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan
masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka yang kurang
diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan
kekebalan terhadap tetanus. Oleh karena itu tetanus masih menjadi masalah
kesehatan, terutama penyebab kematian neonatal tersering oleh karena tetanus
neonatorum. Akhir-akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di
seluruh dunia, maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.

5
Reservoir utama kuman ini adalah yang mengandung kotoran ternak, kuda
dan sebagainya, sehingga risiko penyakit ini di daerah peternakan sangat besar.
Spora kuman Clostridium tetani yang tahan terhadap kekeringan dapat bertebaran
di mana-mana; misalnya dalam debu jalanan, lampu operasi, bubuk antiseptik
(dermatol), ataupun pada alat suntik dan operasi.1
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit akibat pencemaran lingkungan oleh
bahan biologis (spora), sehingga upaya untuk menurunkan attack rate dilakukan
dengan cara mengubah lingkungan fisik atau biologis. Port d’entre tak selalu
dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui:1,2

1. Luka tusuk (paku, serpihan kaca, injeksi tidak steril, injeksi obat, tindik), patah
tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas
2. Luka operasi (benang terkontaminasi), luka yang tak dibersihkan (debridement)
dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, abses gigi, luka kronik (ulkus kronik), gangren
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan tali pusat dengan kotoran
binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan merupakan penyebab
utama masuknya spora pada tali pusat yang menyebabkan terjadinya kasus
tetanus neonatorum.

Patogenesis
Biasanya penyakit ini terjadi setelah luka yang dalam misalnya luka yang
disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka
tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang
kotor, luka bakar dan patah tulang juga akan mengakibatkan keadaan anaerob
yang ideal untuk pertumbuhan C. tetani ini. Walaupun demikian luka-luka ringan
seperti luka gores, lesi pada mata, telinga, atau tonsil dan traktus digestivus serta
gigitan serangga dapat pula merupakan port d’entré (tempat masuk) dari C. tetani.
Spora yang masuk ke dalam tubuh dan berada dalam lingkungan anerobik,
berubah menjadi vegetatif dan berbiak cepat sambil menghasilkan toksin. Dalam
jaringan yang anaerobik ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan
dan turunnya tekanan oksigen jaringan akibat adanya benda asing, seperti bambu,
pecahan kaca dan sebagainya.1,2

6
Hipotesis mengenai cara absorbsi dan bekerjanya toksin:1,2,4
1. Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawa
ke kornu anterior susunan saraf pusat.
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri
kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat.
Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat
motor endplate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang
belakang dan menyebar ke seluruh susunan saraf pusat, lebih banyak dianut
daripada lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf
motorik, terutama serabut motor. Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan
fragmen C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan
dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ekstra aksional dan
menimbulkan perubahan potensial membrane dan gangguan enzim yang
menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat
tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang
menyalurkan impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan
menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan timbul kejang,
terutama pada otot yang besar.
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf
pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti
glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamine, dan noradrenalin.
GABA adalah neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang
berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak
mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara
spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps
dengan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.4
Efek terhadap inhibisi presinaps menimbulkan keadaan terjadinya eksitasi
listrik yang terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological
enhance excitation. Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi
tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin
banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus
seperti suara, emosi, raba, dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena

7
motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain
seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal
ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa
yang resisten terhadap toksin.4
Dampak Toksin
1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan oleh
karena eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah
keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan
otot menjadi kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada
cerebral gangliosides diduga menyebabkan kekakuan dan kejang yang
khas pada tetanus
3. Dampak pada saraf autonom, terutama mengenai saraf simpatis dan
menimbulkan keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi,
aritmia, heart block atau takikardia

Manifestasi Klinis
Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar anatara 5-14 hari.
Makin lama masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat
penyakit selain berdasarkan gejala klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari
lama masa inkubasi atau lama period of onset. Kekakuan dimulai pada otot
setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai
gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua lengan dan
ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai
busur. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan sering
merupakan gejala dini.1,2,4-7
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang
makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit
ini menjadi nyata dengan:1

 Trismus
Adalah kekakuan otot maseter sehingga sukar membuka mulut. Pada
neonatus kekakuan ini menyebabkan mulut mencucu seperti mulut ikan

8
sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis untuk menilai kemajuan
kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.
 Risus sardonikus
Akibat spasme otot muka, sehingga tampak dahi mengkerut, alis tertarik
ke atas, mata agak tertutup, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah,
bibir tertekan kuat pada gigi.
 Opistotonus
Adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti otot punggung, otot
leher (kaku kuduk), otot badan, dan trunk muscles. Kekakuan yang sangat
berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
Spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak
jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi
perdarahan intramusculus karena kontraksi yang kuat.
 Ketegangan otot dinding perut sehingga dinding perut seperti papan.
 Kejang umum
Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya
hanya terjadi setelah dirangsang (karena toksin terdapat di kornu anterior),
misalnya dicubit, digerakkan dengan kasar, atau terkena sinar yang kuat.
Lambat laun “masa istirahat” kejang semakin pendek sehingga anak jatuh
dalam status konvulsivus.
 Asfiksia dan sianosis
Terjadi akibat kejang yang terus menerus atau serangan pada otot
pernapasan dan laring (spasme laring). Retensi urin dapat terjadi karena
spasme otot sfingter uretra. Fraktur tulang panjang dan kolumna
vertebralis dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
 Gangguan saraf autonom
Pengaruh toksin terhadap saraf autonom menyebabkan gangguan irama
jantung atau kelainan pembuluh darah, suhu tubuh yang tinggi (febris)
atau keringat banyak.

9
Gambar 2. Opistotonus

Ada 4 bentuk klinik dari tetanus, yaitu:


1. Generalized tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan
komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala
timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering
dijumpai (50 %), bersamaan dengan kekakuan otot leher yang
menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain
berupa risus sardonicus (Sardonic grin), opistotonus, dan kejang dinding
perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan
sumbatan saluran nafas, sianosis, dan asfiksia.
Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi dapat mencapai
40o C. Bila dijumpai hipertermi atau hipotermi, tekanan darah tidak stabil,
dan dijumpai takikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa
ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis.
Klasifikasi tetanus umum berdasarkan derajat panyakit menurut
modifikasi dari klasifikasi Ablett dapat dibagi menjadi 4 diantaranya,
yaitu(8):
Derajat Manifestasi Klinis
I Ringan Trismus ringan sampai sedang; spastisitas umum tanpa
spasme atau gangguan pernapasan; tanpa disfagia atau
disfagia ringan
II Sedang Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai
sedang dalam waktu singkat; laju napas >30x/menit;
disfagia ringan
III Berat Trismus berat; spastisitas umum; kejangnya lama; laju
napas >40x/menit; laju nadi >120x/mnt, apneic spell,
disfagia berat
IV Sangat Berat Derajat III + gangguan sistem autonom termasuk

10
kardiovaskular
Hipertensi berat dan takikardia yang dapat diselang-seling
dengan hipotensi relatif dan bradikardia, serta salah satu
keadaan tersebut dapat menetap.

2. Localized tetanus
Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten,
pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fiksator).
Hal ini merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut
biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progres dan
biasanya menghilang secara bertahap.
Tetanus lokal ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi
dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga
lokal tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari tetanus klasik atau
dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian
profilaksis antitoksin.

3. Chepalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa
inkubasi berkisar 1-2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti
dilaporkan di India), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya
benda asing dalam rongga hidung. Tetanus sefalik dicirikan oleh
lumpuhnya saraf kranial VII yang paling sering terlibat. Tetanus
Ophthalmoplegic ialah tetanus yang berkembang setelah menembus luka
mata dan luka dalam dengan kelumpuhan dari saraf kranial III dan adanya
ptosis. Selain itu bisa juga kelumpuhan dari N. IV, IX, X, XI, dapat
sendiri-sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari
bahkan berbulan-bulan.
Tetanus sefalik dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada
umumnya prognosisnya buruk.

4. Tetanus neonatorum

11
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya
infeksi tali pusat, umumnya karena teknik pemotongan tali pusat yang
aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang
sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan,
irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik: trismus,
opistotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan
ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada,
pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi
dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian
biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi,
dan kegagalan jantung paru.

Diagnosis
Biasanya tidak sukar. Anamnesis terdapat luka dan ketegangan otot yang
khas terutama pada rahang sangat membantu. Anamnesis yang teliti dan terarah
selain membantu menjelaskan gejala klinis yang kita hadapi juga mempunyai arti
diagnostik dan prognostik.
Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:1
• Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka,
luka dengan nanah atau gigitan binatang
• Apakah pernah keluar nanah dari telinga
• Apakah menderita gigi berlobang
• Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan
imunisasi yang terakhir
• Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau
spasme lokal) dengan kejang yang pertama (period of onset)
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Temuan laboratorium:1
- Leukosit normal atau leukositosis ringan
- Glukosa dan kalsium darah normal
- Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
- Enzim otot serum, SGOT, serum aldolase mungkin meningkat
- EKG dan EEG biasanya normal

12
- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari
luka dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang
gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.
- Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

Diagnosis Banding4
PENYAKIT GAMBARAN DIFFERENTIAL
INFEKSI
Meningoencephalitis Demam, trismus tidak ada, sensorium depresi, abnormal CSF
Polio Trismus tidak ada, paralisa tipe flasid, abnormal CSF
Rabies Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya oropharingeal spasm
Lesi oropharyngeal Hanya lokal, rigiditas seluruh tubuh atau spasme tidak ada
Peritonitis Trismus atau spasme seluruh tubuh tidak ada
KELAINAN METABOLIK
Tetanus Hanya carpopedal dan laryngeal spasm, hipokalsemia
Keracunan strihnin Relaksasi komplit diantara spasme
Relaksasi phenothiazine Distonia, respons dengan diphenhydramine
PENYAKIT CNS
Stastus epilepticus Sensorium depressi
Hemorrhage atau tumor Trismus tidak ada, sensorium depressi
KELAINAN PSIKIATRIK
Hysteria Trismus inkonstan, relaksasi komplet diantara spasme
KELAINAN
MUSKULOSKLETAL
Trauma Hanya lokal

Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada:4,5
- Sistem saluran pernafasan
Oleh arena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan
seringnya kejang menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena akumulasi
sekresi saliva serta sukar menelan air liur, makanan, dan minuman
sehingga sering terjadi pneumonia aspirasi dan atelektasis akibat
obstruksi oleh sekret. Pneumotoraks dan emfisema mediastinal
biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.
- Sistem kardiovaskular
Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa
takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer, dan rangsangan
miokardium.

13
- Sistem muskuloskeletal
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan
dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat
kejang yang terus menerus terutama pada anak dan orang dewasa,
beberapa peneliti melaporkan dapat terjadi miositis ossifikans
sirkumskripta.
- Komplikasi yang lain :
 Laserasi lidah akibat kejang
 Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja
 Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang
menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.
 Mioglobinuria dengan gagal ginjal

Penyebab kematian pada tetanus ialah akibat komplikasi berupa


bronkopneumonia, cardiac arrest, septicemia, dan pneumotoraks.

Penatalaksanaan
Pengobatan pada tetanus terdiri dari penatalaksanaan umum yang terdiri
dari kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi,
mengatasi kejang, perawatan luka atau port’d entre lain. Sedangkan
penatalaksanaan khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.1

Penatalaksanaan umum
- Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang
pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal.
- Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena, sekaligus
memberikan obat-obatan dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat
dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian secara parenteral. Setelah
kejang mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-
obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi.
- Menjaga saluran nafas tetap bebas, kalau berat perlu trakeostomi
- Memberikan tambahan oksigen dengan sungkup
- Mengurangi spasme dan mengatasi kejang

14
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan.
Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas
otot yang kuat tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang
direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB dengan interval 2-4 jam sesuai
gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk usia < 2 tahun
adalah 8 mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg/3 jam. Kejang
harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg per rektal untuk
BB < 12 kg dan 10 mg untuk BB > 12 kg, atau dosis diazepam intravena
untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah kejang berhenti, pemberian
diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan klinis pasien.
Alternatif lain untuk bayi diberikan dosis inisial 0,1-0,2 mg/kgBB/hari
untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infuse kontinu 15-40
mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10
mg/hari dan dapat diberikan melalui OGT. Tanda klinis membaik bila
tidak dijumpai kejang spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik,
tidak dijumpai gangguan nafas. Bila dosis diazepam maksimal telah
tercapai namun anak masih kejang atau mengalami spasme laringm
sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan intensif
sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernafasan
mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah
memberikan respon klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan 3-5 hari.
Selanjutnya pengurangan dosis secara bertahap (sekitar 20 % dari dosis
setiap 2 hari)

Penatalaksanaan khusus
- Antibiotik
Antibiotik ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,
bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Antibiotik lini pertama yang
diberikan adalah metronidazole IV/oral dengan dosis awal secara loading
dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam
selama 7-10 hari. Lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-
100.000/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap

15
penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak usia > 8
tahun). Penyulit yang ada diberikan antibiotik yang sesuai.
- Anti serum
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU IM dan
50.000 IU IV. Pemberian ATS harus berhati-hati akan terjadinya reaksi
anafilaksis. Pada tetanus anak pemberian anti serum dapat disertai
imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas
tersedia dapat diberikan HTIG (Human Tetanus Immune Globulin) 3.000-
6000 IU IM.

Prognosis
Prognosis tetanus pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Jika masa
inkubasi pendek (kurang dari 7 hari), usia yang sangat muda (neonatus), period of
onset yang pendek (jarak antara trismus dan timbulnya kejang kurang dari 48
jam), frekuensi kejang yang tinggi, pengobatan terlambat, adanya komplikasi
terutama spasme otot pernapasan dan obstruksi jalan napas, semua ini
prognosisnya buruk.1,8,9
Mortalitas tetanus masih tinggi, di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM
Jakarta didapatkan angka 80 % untuk tetanus neonatorum dan 30 % untuk tetanus
anak.1
Menentukan prognosis tetanus menurut sistem skoring Bleck11:
Sistem Skoring 1 0
Masa inkubasi <7hari ≥7hari
Awitan penyakit <48jam ≥48jam
Tempat masuk (port Luka bakar, luka operasi, Selain tempat tersebut
d’entry) bagian dari fraktur, aborsi
septik, tali pusat, atau
penyuntikan i.m.
Spasme (+) (-)
Suhu
Aksilar >38,4°C ≤38,4°C
Rektal >40°C ≤40°C
Takikardia dengan (+) (-)
frekuensi >120x/mnt (pada
neonatus >150x/mnt)
Tetanus umum (+) (-)
Adiksi narkotik (+) (-)

16
Skor total menunjukkan derajat keparahan dan prognosis:
Skor 0-1: derajat ringan dengan tingkat mortalitas <10%
Skor 2-3: derajat sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%
Skor 4 : derajat berat dengan tingkat mortalitas 20-40%
Skor 5-6: derajat sangat berat dengan tingkat mortalitas >50%
Tetanus sefalik selalu merupakan derjat berat atau sangat berat. Tetanus
neonatorum selalu merupakan derajat sangat berat.
Pencegahan
Mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal maka untuk
pencegahan, perlu dilakukan:1,2,4
 Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka
kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Luka
dibersihkan atau dilakukan debridement. Terutama perawatan luka guna
mencegah timbulnya jaringan anaerob.
 Pemberian ATS dan Toksoid Tetanus pada luka
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (kurang
dari 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif.
 Imunisasi aktif
Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, dT, atau Toksoid Tetanus. Jenis
imunisasi tergantung dari jumlah golongan umur dan jenis kelamin.
Vaksin DPT diberikan sebagai imunisasi dasar sebanyak 3 kali, DPT IV
pada usia 18 bulan dan DPT V pada usia 5 tahun, dan saat usia 12 tahun
diberikan dT. Toksoid tetanus diberikan pada wanita usia subur,
perempuan usia 12 tahun, dan ibu hamil. DPT/dT diberikan setelah pasien
sembuh dilanjutkan imunisasi ulangan diberikan sesuai jadwal, oleh
karena tetanus tidak menimbulkan kekebalan yang berlangsung lama.
Imunisasi DPT (Diphteri Pertussis Tetanus)10
Vaksin DPT adalah vaksin 3-in-1 yang bisa diberikan kepada anak yang
berumur kurang dari 7 tahun. Biasanya vaksin DPT terdapat dalam bentuk
suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha. Imunisasi DPT diberikan

17
sebanyak 3 kali, yaitu pada saat anak berumur 2 bulan (DPT I), 3 bulan (DPT II)
dan 4 bulan (DPT III); selang waktu tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT
ulang diberikan 1 tahun setelah DPT III dan pada usia prasekolah (5-6 tahun).
DPT merupakan salah satu jenis vaksin combo. Terdapat 2 jenis vaksin
DPT, yaitu DTwP dan DTaP. DTwP adalah vaksin yang mengandung seluruh sel
kuman pertusis, sedangkan DTap mengandung komponen spesifik toksin dari
kuman pertusis. Keuntungan DTaP adalah angka kejadian komplikasi yang kecil
dibandingkan DTwP. Kerugiannya DTaP lebih mahal.
DPT sering menyebakan efek samping yang ringan, seperti demam ringan
atau nyeri di tempat penyuntikan (42,9 % kasus) selama beberapa hari. Efek
samping tersebut terjadi karena adanya komponen pertusis di dalam vaksin. Pada
kurang dari 1% penyuntikan, DPT menyebabkan komplikasi berikut:
 Demam tinggi (lebih dari 40,5° Celsius) pada 2,2 % kasus
 Kejang demam terjadi sebanyak 0,06 %. Risiko lebih tinggi pada anak
yang sebelumnya pernah mengalami kejang atau terdapat riwayat kejang
dalam keluarganya.
 Reaksi alergi dan ensefalopati sangat jarang

18
KESIMPULAN

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya


tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, tanpa gangguan kesadaran.
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, jika dinding sel kuman lisis
maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Secara klinis tetanus ada 4 macam: tetanus umum, tetanus local, tetanus
sefalik dan tetanus neonatorum.
Strategi terapi tetanus meliputi penatalaksaan umum yaitu menjaga
kelancaran jalan nafas, oksigenasi, mengatasi kejang, perawatan luka / port
d’entre dan kebutuhan cairan dan nutrisi, serta penatalaksanaan khusus yaitu
pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.
Prognosis dipengaruhi oleh beberapa faktor: masa inkubasi, umur, period
of onset, pengobatan, ada tidaknya komplikasi, frekuensi kejang.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Tetanus. Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010;
hal. 322-9.
2. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Tetanus. Nelson Textbook of
Pediatrics. 17th ed. Jenson Publisher: Saunders. 2007; p. 951-3.
3. Todar K. Pathogenic Clostridia, including Botulism and Tetanus. [Cited
2013 February 23]. Available from:
http://textbookofbacteriology.net/clostridia.html.
4. Hinfey PB. Tetanus. [Cited 2013 February 23]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview.
5. Alvarez N. Tetanus. [Cited 2013 February 23]. Available from:
http://www.emedicinehealth.com/tetanus/article_em.htm.
6. Tolan Jr. RW. Pediatric Tetanus. [Cited 2013 February 23]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/972901-overview.
7. Grunau BE, Olson J. An Interesting Presentation of Pediatric Tetanus.
CJEM 2010;12(1):69-72.
8. Pai PN. Tetanus in children: Treatment and prognostic factors. British
Homoeopathic Journal. 2005. Vol.54, Issue 3:190-9.
9. Chalya PL, Mabula JB, Dass RM, Mblenge N, Mshana SE, Glyoma JM.
Tetanus. WJES. 2007. Vol. 34, No. 12: 1021-1025.
10. Tim IDAI. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ke-4. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI. 2010; hal. 87-9.
11. Garna H, Nataprawira HM. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi ke-5. Bandung: Departemen/SMF Ilmu Kesehatan
Anak FK Universitas Padjadjaran. 2014; hal. 422-7.

20

Anda mungkin juga menyukai