Anda di halaman 1dari 152

BAB IV

METODE - METODE EOR

4.1. Secondary Recovery (Water Flooding)


Pendesakan tak tercampur dilakukan dengan maksud untuk memperoleh
minyak sisa di reservoir yang tidak dapat diambil dengan metode tahap awal.
Dalam pendesakan tak tercampur ini, suatu fluida diinjeksikan ke dalam reservoir
tersebut untuk mempertahankan energi reservoir sehingga secara fisik mendesak
minyak tersebut dari reservoir. Bila fluida yang diinjeksikan tersebut adalah air,
maka injeksi tersebut dinamakan injeksi air atau water flooding, di mana air
diinjeksikan ke dalam reservoir melalui sumur injeksi, kemudian mendesak
minyak supaya mengalir. Dengan mengasumsikan bahwa reservoir mula-mula
pada keadaan Swi (irreducible water saturationi), pada keadaan ini hanya minyak
yang diproduksikan sehingga tercapai saturasi breakthrough, yaitu saat di mana
air pertama kali terproduksi. Proses waterflooding akan diteruskan sehingga harga
WOR (Water Oil Ratio) atau perbandingan produksi minyak-air sudah terlalu
tinggi sehingga tidak ekonomis lagi. Sedangkan bila fluida yang diinjeksikan ke
dalam reservoir tersebut adalah gas, maka dinamakan injeksi gas (immiscible gas
flooding). Namun, dalam pembahasan secondary recovery ini yang dibahas
mengenai water flooding.
Proses penginjeksian air (water flooding) dari permukaan bumi ke dalam
reservoir minyak adalah didasarkan pada suatu kenyataan bahwa air aquifer
berperan sebagai pengisi atau pengganti minyak yang terproduksi, disamping
berperan sebagai media pendesak. Sedangkan pertimbangan dilakukan water
flooding adalah bahwa sebagian besar batuan reservoir bersifat water wet (sifat
kebasahan), sehingga fasa air lebih banyak ditangkap oleh batuan akibatnya
minyak akan terdesak dan bergerak ketempat lain (permukaan sumur).
Untuk reservoir minyak yang mempunyai viskositas lebih 200 cp akan
sulit dilakukan proses injeksi air karena akan terjadi fingering yang hubungannya
dengan mobilitas. Begitu pula dengan reservoir yang heterogen akan cenderung
fingering, maka perlu ditambah polimer untuk mengurangi masuknya air pada
zona-zona yang permeable. Untuk reservoir strong water drive percuma dilakukan
injeksi air, lebih baik jika dilakukan pada reservoir depletion drive. Pertimbangan
lain dilakukan injeksi air adalah :
1. Saturasi minyak sisa (Sor) cukup besar
2. Recoverynya 30% - 40% dari original oil in place (OOIP)
3. Air murah dan mudah diperoleh
4. Mudah menyebar ke seluruh reservoir dan kolom air memberikan tekanan
yang cukup besar dan efisiensi penyapuan yang cukup tinggi.
5. Berat kolom air dalam sumur injeksi turut menekan, sehingga cukup banyak
mengurangi besarnya tekanan injeksi yang perlu diberikan di permukaan, jika
dibandingkan dengan injeksi gas, dari segi berat air sangat menolong.
6. Efisiensi pendesakan air juga cukup baik, sehingga harga Sor sesudah injeksi
air = 30% cukup mudah didapat.
Injeksi air merupakan salah satu metode pengurasan minyak tahap lanjut
yang paling banyak dilakukan sampai saat ini. Pemakaian injeksi air sebagai
metode untuk menaikkan perolehan minyak dimulai pada tahun 1880 setelah
JohnF.Carll menyimpulkan bahwa air tanah dari lapisan yang lebih dangkal dapat
membantu produksi minyak. Tujuan untuk dilakukannya injeksi air adalah untuk
mengimbangi penurunan tekanan reservoir dengan menginjeksikan air ke dalam
reservoir.
Pada awalnya metode waterflooding dilakukan dengan menginjeksikan air
ke dalam sumur tunggal, saat zona yang terinvasi air meningkat dan sumur-sumur
yang berdekatan dimana air tidak menjangkaunya dijadikan sumur penginjeksi
untuk memperluas daerah invasi air. Ini dikenal sebagai “circle flooding”. Teknik
ini kemudian diperbaiki oleh Forest Oil Corp. dengan mengubah beberapa sumur
produksi menjadi sumur injeksi air dan membentuk suatu pola line drive.
Gambar 4.1. menunjukkan kedudukan partikel air A, B, C, D dan E yang
bergerak pada waktu bersamaan di sekeliling lubang sumur, melalui jalur arus 1,
2, 3, 4 dan 5. Jalur-jalur ini merupakan seperempat bagian dari pola injeksi-
produksi lima titik (five spot). Gambar ini memperlihatkan pula kedudukan
partikel air yang membentuk batas air-minyak sebelum (a) dan sesudah (b)
tembus air (water breakthrough) pada sumur produksi. Fraksi air yang turut
terproduksi ini semakin lama semakin besar, sehingga suatu saat produksi sumur
tidak ekonomis lagi. Untuk mengetahui berapa besar recovery yang dapat
diproduksi, dimana tahap secondary recovery ini merupakan kelanjutan dari tahap
primer. Hal ini perlu diperkirakan sebelum proses penginjeksian air dilakukan.

Gambar 4.1.
Kedudukan Air Sepanjang Jalur Arus Sebelum dan Sesudah
Breakthrough pada Sumur Produksi
(Dr. Ir. Septoratno S., Ir. Dedy K., M.Sc. Enhanced Oil Recovery.1999
)

Sebelum dilakukan proses water flooding, maka diperlukan studi pendahuluan


yang meliputi :
1. Perolehan Data
a. Sifat-sifat batuan reservoir
 Permeabilitas rata-rata dalam berbagai luasan reservoir
 Data porositas dalam berbagai luasan reservoir.
 Heterogenitas reservoir mengenai perubahan permeabilitas dalam setiap
ketebalan
b. Sifat fluida reservoir : gravitasi. Faktor volume formasi dan viskositas
sebagai fungsi saturasi fluida.
c. Distribusi air saturasi sebelum dan sesudah injeksi.
d. Model geologi
Diperlukan pengetahuan tentang model geologi yang dapat diterapkan water
flooding dengan tepat, pengetahuan meliputi stratigrafi dan struktur.
e. Sejarah produksi dan tekanan
Identifikasi mengenai mekanisme pendorong selama masa produksi awal
seperti : water drive, gas cap drive, solution gas drive. Perkiraan minyak
tersisa setelah produksi awal serta distribusi tekanan dalam reservoir.
f. Air untuk injeksi
Air untuk produksi harus mempunyai syarat-syarat :
 Tersedia dalam jumlah yang cukup sepanjang masa injeksi
 Tidak mengandung padatan-padatan yang tidak dapat larut
 Secara kimiawi stabil dan tidak mudah bereaksi dengan elemen-elemen
yang terdapat dalam sistem injeksi dan reservoir.
2. Simulasi Reservoir
Sebelum water flooding diterapkan, dibuat dulu simulasinya berdasarkan data-
data di atas. Simulasi dapat dibuat dalam sistem satu dimensi, 2 dimensi dan 3
dimensi dengan teknik numerik.
3. Laboratorium
Diadakan penelitian laboratorium untuk mencari kecocokan antara proses water
flooding dengan sifat batuan dan fluidanya.
4. Pilot project
Mencoba mengaplikasikan ke dalam permasalahan di lapangan. Ada dua jenis
pola injeksi yang umum digunakan, yaitu pula five-spot dan single injection.
Kedua pola ini dapat memaksimalkan jumlah migrasi minyak.
5. Monitoring
Melihat dan mengevaluasi hasil yang diperoleh di lapangan . dievaluasi apakah
tidak terjadi aliran minyak yang keluar dari pilot area.
6. Resimulasi
Hasil yang diperoleh di lapangan dibandingkan dengan simulasi reservoir yang
dibuat, lalu dilakukanlah penyesuaian antara kondisi lapangan dengan
simulasi reservoirnya.
7. Evaluasi Ekonomi
Meliputi : perkiraan biaya yang dibutuhkan, perhitungan-perhitungan, dan
presentasi.
4.1.1. Parameter –Parameter dalam Proses Pendesakan
Proses injeksi air akan menyebabkan terjadinya proses pendesakan dimana
fluida injeksi akan mendesak fasa minyak dalam satu ruang pori pada batuan
reservoir. Untuk mengidentifikasi dua fasa ini, maka diperkenalkan istilah fluida
pendesak (dibelakan front pendesakan) dan fluida yang didesak (di depan front
pendesak).

4.1.1.1. Derajat Kebasahan batuan


Derajat kebasahan batuan yang diinginkan dalam proses injeksi air yaitu
reservoir dengan tipe water-wet karena minyak minyak berada diantara pori
batuan sedangkan air membasahi fluida batuan reservoirnya, sehingga minyak
lebih mudah didorong oleh air karena tidak ada gaya tarik menarik antara minyak
dengan batuan reservoir.

4.1.1.2. Proses Imbibition dan Drainege


Proses pendesakan dikategorikan kedalam dua tipe tergantung dari
wetabilitas batuan reservoir yang berhubungan dengan displacement fluid (fluida
pendesak) dan displaced fluid (fluida yang didesak). Jika fluida pendesaknya
adalah wetting phase maka proses pendesakannya digolongkan sebagai proses
imbibition (gambar 4.2), sebaliknya jika fluida pendesaknya non-wetting phase
maka digolongkan sebagai proses drainage contoh dari proses imbibitions adalaha
injeksi air ke batuan reservoir yang water-wet, sedangkan pada drainage adalah
perpindahan minyak ke dalam reservoir water-saturated dengan wettabilitas
water-wet.
Gambar 4.2.
Proses Drainage dan Imbibition
(Ahmed.tarek,”Reservoir Engineering handbook”,2006)

Pada awalnya ruang pori yang terdapat pada batuan reservoir diisi oleh air,
namun ketika terjadi migrasi minyak ke batuan reservoir menyebabkan
perpindahan sebagian air formasi dan mengurangi jumlahnya ke saturasi residual.
Ketika ditemukan, ruang pori reservoir diisi oleh saturasi water connate dan
saturasi minyak. Semua percobaan di laboratorium dirancang untuk menyamakan
saturasi di reservoir, proses peningkatan kurva tekanan kapiler dengan
pemindahan fasa wetting (air) dengan fasa nonwetting (minyak dan gas) disebut
proses drainage.
Proses aliran lainnya yaitu pengembalian proses drainage dengan
perpindahan fasa nonwetting (minyak dan gas) dengan fasa wetting (air) yang
disebut proses imbibisi. Proses saturasi dan desaturasi sebuah core dengan fasa
nonwetting disebut capillary hysteresis.
Perbedaan saturasi dan desaturasi dari kurva tekanan kapiler sangat
berhubungan berdasarkan peningkatan maupun penurunan sudut kontak yang
berbeda pada suatu padatan. Pada system air formasi - crude oil, wettabilitasnya
akan berubah terhadap waktu.

4.1.1.3. Saturasi Fluida


Banyaknya fluida di dalam reservoir dinyatakan dalam saturasi, yaitu
perbandingan antara volume fluida terhadap volume pori total batuan. Jumlah
saturasi fluida yang ada di dalam reservoir sama dengan satu.
Injeksi air bermaksud untuk meningkatkan recovery minyak, hal ini berarti
minyak yang terdapat pada pori - pori batuan harus didesak oleh air, sehingga
recovery yang dihasilkan dalam proses ini tergantung pada pengurangan saturasi
minyaknya. Oleh karena itu pada injeksi air yang perlu diketahui tentang saturasi
fluida adalah distribusi saturasi sebelum injeksi air dan distribusi saturasi pada
saat pendesakan.

4.1.1.3.1. Distribusi Saturasi Sebelum Injeksi


Fluida yang mengisi reservoir biasanya tidak terdistribusi secara merata
tapi bervariasi tergantung pada lithologi, distribusi ukuran pori, posisi struktur dan
sebagainya. Besar lubang pori bervariasi pada tiap sampel batuan reservoir
tergantung pada jenis batuannya. Tapi secara umum dapat dikategorikan sebagai
lubang pori - pori kecil, sedang dan besar tergantung pada besarny jari-jari lubang
pori.
Gaya kapiler akan bertambah besar dengan berkurangnya jari-jari porinya,
gaya ini akibat pengaruh dari tegangan permukaan dan tegangan antar permukaan,
ukuran pori-pori, bentuk pori-pori, dan wetabilitas batuan. Pori-pori yang
mempunyai jari-jari kecil cenderun untuk diisi oleh fluida yang membasahi,
sedangkan batuan dengan pori-pori yang mempunyai jari-jari yang besar
cenderung untuk diidi fluida yang tidak membasahi dan fluida yang membasahi
hanya akan membentuk suatu film tipis pada dinding pori-porinya.
Gambar 4.3.
Distribusi Saturasi Inisial Reservoir
(Ahmed.tarek,”Reservoir Engineering handbook”,2006)

Pada gambar diatas menerangkan distribusi reservoir yang terdiri dari air,
minyak dan gas. Saturasi secara bertahap berubah dari 100% air pada zona air
hingga saturasi water irreducible pada arah vertikal diatas zona air, area vertikal
menyatakan zona transisi yang didefenisikan sebagai ketebalan vertikal dimana
harga saturasi berkisar dari 100% ke irreducible water saturation. Konsep
utamanya yaitu adanya perubahan secara cepat harga saturasi pada zona transisi
minyak - air yang diakibatkan oleh efek tekanan kapiler. Demikian juga saturasi
total (minyak dan air) secara perlahan berubah pada zona minyak hingga saturasi
water connate pada zona gas cap, hal yang sama dimana munculnya transisi
antara minyak dan zona gas. WOC didefinisikan sebagai kedalaman terbawah
reservoir dimana muncul 100% saturasi air, sedangkan GOC kedalaman minimum
pada saat 100% saturasi liquid (minyak dan air) muncul pada reservoir.

4.1.1.3.2. Distribusi Saturasi saat Pendesakan


Saat injeksi air dilaksanakan memalui sumur injeksi, fluida injeksi akan
mengisi pori-pori yang semula ditempati oleh fluida yang didesak, sedangkan
fluida yang didesak itu akan mengalir menuju sumur produksi dengan mendesak
fluida yang terdesak didepannya. Saturasi sebagai hasil injeksi nenghasilkan zona
transisi yaitu zona yang didalamnya terdapat suatu perkembangan saturasi mulai
dari saturasi pendesak di belakang front dan saturasi yang didesak di bagian depan
front pendesakan.
Gambar 4.4.
Distribusi Saturasi saat Pendesakan
(Ahmed.tarek,”Reservoir Engineering handbook”,2006)

Perubahan saturasi fluida tidak akan dialami oleh bagian reservoir yang
tidak tersapu oleh fluida pendesak, apabila fluida yang didesak di depan front
lebih dari satu fluida seperti minyak dan gas, mka distribusi saturasi yang terletak
di depan front akan lebih kompleks jika dibandingkan dengan ruang hanya
terdapat satu fluida saja. Seperti suatu injeksi air ke reservoir minyak dengan
mekanisme pendorong gas terlarut (solution gas drive reservoir).
Minyak dan gas yang terdapat di dalam reservoir keduanya akan dapat
bergerak, tetapi karena viskositas gas lebih kecil dari minyak, maka pada
umumnya mobilitas gas akan lebih besar dari mobilitas minyak.
Ketidakseragaman mobilitas fluida ini akan membentuk suatu zona tertentu di
depan front yang mempunyai saturasi minyak yang besar karena telah
ditinggalkan oleh gas yang bergerak lebih cepat, zona ini disebut “oil bank”.

4.1.1.4. Permeabilitas Relatif


Pada saat fluida satu jenis mengalir melalui media berpori maka laju aliran
dan kecepatannya dapat dihitung dengan menggunakan permeabilitas absolutnya,
namun bila lebih dari satu jenis maka dicocokkan dengan harga permeabilitas
yang lebih rendah dari harga permeabilitas absolutnya serta dipengaruhi oleh
harga saturasinya dan juga disebut permeabilitas efektif fluida. Pada system
minyak - air :
Ko. A . ∆ P Kw . A . ∆ P
Qo = μo dan M= μw
(4-1)
Dimana Ko dan Kw adalah permeabilitas efektif dari minyak dan air

4.1.1.4.1. Konsistensi dari Kurva Permeabilitas Relatif


Permeabilitas relatif selalu ditampilkan sebagai dua grafik yang
berhubungan dengan saturasi fluida, kedua grafik ini memperlihatkan suatu kurve
permeabilitas dua fasa. Untuk permeabilitas tiga fasa permeabilitas relatifnya
dihitung dari dua set kurva dua fasa. Pada system reservoir, set dari permeabilitas
relatif (oil - water dan gas - water) selalu konstan berdasarkan kondisi yang
disesuaikan.Kondisi tersebut dicapai apabila permeabilitas relatif pada saturasi
gasnya sama dengan nol, untuk gas pada saat saturasi minyak sisanya dan untuk
minyak pada saat irreducible water saturation. Set dari permeabilitas relatif (oil -
water dan gas - water) ditunjukkan pada gambar 4.5.

Gambar 4.5.
Tipe Kurva Permeabilitas Relatif untuk system Gas-Oil-Water
(Ahmed.Tarek,”Advanced Reservoir Engineering”,2006)
4.1.1.4.2. Pengaruh Kebasahan Batuan
Perbandingan Kro/Krw digunakan sebagai ukuran wetabilitas batuan, bila
harga perbandingan yang rendah mengidentifikasikan bahwa batuan lebih bersifat
water wet, sebaliknya bila perbandingan lebih besar maka batuannya
kemungkinan bersifat oil wet.
Harga lain dari wetabilitas dapat digambarkan dari kurva permeabilitas
relatif minyak-air. Titik potong pada harga saturasi air pada saat minyak dan air
mempunyai permeabilitas relatif yang sama adalah lebih besar untuk batuan
water-wet daripada oil-wet.

4.1.1.4.3. Pengaruh Temperatur


Perubahan temperatur sangat perlu dipertimbangkan terhadap efek dari
temperatur terhadap permeabilitas relatif, hal ini karena saturasi minyak sisa dan
saturasi gas (steam) turun tetapi irreducible water saturation naik bersamaan
dengan naiknya temperatur. Observasi ini juga menunjukkan permeabilitas relatif

Gambar 4.6.
Korelasi antara Sudut Kontak dan Permeabilitas Relatif End Point
(Willhite,G.Paul,”Waterflooding”,SPE.1986)
end point minyak turun pada saat yang sama harga end point air dan gas akan naik
bersamaan dengan naiknya temperatur.

4.1.1.5. Perbandingan Mobilitas Fluida


Muskat telah membahas suatu terminology sebagai perbandingan
mobilitas (mobility ratio) yang dipakai untuk menghubungkan antara mobilitas air
dibelakang kontak air-minyak dengan mobilitas minyaknya did ala oil-bank.
Aronofsky menekankan efek tentang perbandingan mobilitas terhadap penyapuan
minyak oleh air pada daerah batas minyak-air ketika terjadi tembus air
(breakthrough) ke sumur produksi.

4.1.1.5.1. Kisaran Perbandingan Mobilitas Selama Injeksi


Perbandingan mobilitas didefinisikan sebagai perbandingan mobilitas
fluida pendesak dibelakang front dengan mobilitas minyak yang ada di oil bank
yang situliskan sebagai :
Kd . μo
M= (4-2)
μd . Ko
Jika pada injeksi air berubah menjadi :
Kw . μo
M = μw . Ko (4-3)

Viskositas air dalam reservoir biasanya mencapai range antara 0,1 sampai 1000
cp, dalam penentuang perbandingan minyak dan air dengan menggunakan
viskositas minyak sebesar 0,5 cp maka perbandingan mobilitas pada injeksi air
mempunyai range antara 0,024 sampai 3,5 untuk system water wet dan 0,15
sampai 4,2 untuk system oil wet. Kebanyakan di lapangan perbandingan mobilitas
selama injeksi air didapat range antara 0,02 sampai 2,00 cp.
Gambar 4.7.
Hubungan Viskositas Minyak dengan Mobility Ratio Air-Minyak pada
Viskositas Air = 0,5 cp
(Forrest.F.Craigh,”The Reservoir Engineering Aspec of Waterfloodint”,SPE.1971)

4.1.1.6. Kecepatan Fluida di dalam Media Berpori


Saat fluida mengalir di dalam pori, alirannya akan masuk ke dalam pori -
pori batuan yang saling berhubungan. Kecepatan aliran ini direferensikan sebagai
interstitial velocity (v). Jika luas media berpori (A) dan laju alirannya (Q)
digunakan untuk menghitung kecepatan, hasilnya adalah superficial velocity (u)
yang dihubungkan oleh porositas efektif.
q U
U= dan V = (4-4)
A ϕ
4.1.1.6.1. Kurva Drainage Tekanan Kapiler
Saat non-wetting phase mendesak wetting phase prosesnya disebut dengan
pendesakan drainage. Untuk non-wetting phase yang masuk ke dalam pori akan
menyebabkan kenaikan tekanan kapiler yang diasosiasikan dengan ukuran pori,
dimana menyajikan tekanan yang masuk ke dalam pori-pori tidak proporsional
dengan jari-jari porinya.sehingga non-wetting phase terdapat di bagian tengah pori
yang berukuran lebih besar, wetting phase terdapat di pori dengan ukuran yang
lebih kecil dan lapisan film tipis yang menutupi permukaan padatan pori yang
berukuran lebih besar.
Proses drainage berlangsung pada saat saturasi wetting phase akan
menurun dan tekanan kapiler akan naik. Hal ini akan berlangsung sampai wetting
phase mencapai harga irreducible (Swc). Plot tekanan dengan saturasi wetting
phase untuk proses drainage disebut kurva primary drainage cappilarity
pressure.
Selama proses imbibitions berlangsung, saturasi wetting phase akan naik
dan tekanan kapiler menurun. Hal ini berlangsung hingga saturasi non wetting
phase mencapai harga irreducible (Swc) yang disebut kurva primary imbibitions
(gambar 4.8). jika proses primary drainage tidak lengkap dan kembali berbalik ke
imbibition untuk mencapai irreducible wetting phase, kurva imbibition akan
berakhir pada saturasi irreducible wetting phase yang lebih kecil dari harga
asosiasi kurva imbibitions. (lihat gambar 4.8). Kejadian ini disebut hysteresis
tekanan kapiler dimana saturasi non wetting phase yang lebih rendah akan
menghasilkan saturasi sisa yang lebih kecil.
Gambar 4.8.

4.1.2. Mobilitas Fluida


Mobilitas ratio merupakan elemen yang berpengaruh dalam mengontrol
efisiensi penyapuan areal dalam operasi waterflood. Mobilitas fluida injeksi (air)
haruslah rendah dan mobilitas minyak haruslah cukup tinggi agar didapatkan
efisiensi penyapuan areal yang tinggi dan hal tersebut yang mempengaruhi
peningkatan perolehan minyak.
Mobilitas merupakan fungsi dari sifat-sifat fluida batuannya, harganya
bervariasi sesuai dengan saturasi, tekanan dan temperaturnya. Mobilitas fluida
akan berbeda-beda tergantung pada tempat fluida itu berada dan waktu
pelaksanaan injeksi fluidanya. Mobilitas fluida kadang-kadang tidak beraneka
ragam harganya untuk suatu reservoar pada saat proses pendesakan berlangsung,
tetapi bila terjadi perubahan biasanya dicari harga rata-ratanya sehingga dapat
digunakan untuk perhitungan.
Mobilitas ratio akan tetap konstan sampai terjadinya breakthrough
(penerobosan air), sehingga saturasi air rata-rata di belakang front tetap konstan
dan permeabilitas relatif air tidak berubah.. Setelah breakthrough, mobilitas ratio
tidak lagi konstan, melainkan meningkat sejalan dengan saturasi air rata-rata
sehingga permeabilitas air pun meningkat.
Mobilitas ratio didefinisikan sebagai perbandingan dari mobilitas fluida
pendesak dengan fluida yang didesak, dan dituliskan dalam suatu persamaan
sebagai berikut :
k

M=
λD
=
( μ)
displacing
(4-5)
λd
( kμ )displaced
Dimana :
λD : mobilitas fasa pendesak(displacing) di belakang front
λd : mobilitas fasa yang didesak (displaced) didepan front.
Hasil perhitungan yang diperoleh berdasarkan persamaan (3-5) dapat
diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
Apabila M > 1 : maka tidak menguntungkan dalam proses penyapuan
Kondisi ini, air mengalir lebih cepat daripada minyak. Air
yang mengalir di belakang front lebih cepat dibandingkan
minyak yang di depan front. Akibatnya air tidak dapat
mendesak minyak secara effisien sehingga air lebih
dahulu terproduksi pada sumur produksi.
Apabila M = 1 : ketahanan mengalir di dalam reservoir untuk kedua
macam fluida adalah sama.
Apabila M < 1 : menguntungkan untuk proses penyapuan.
Air dapat menyapu minyak lebih effisien sehingga dapat
meningkatkan perolehan minyak.
Dalam proyek waterflooding dengan kondisi mobilitas ratio (M < 1 ),
maka pola yang digunakan didesain dengan sumur injeksi yang lebih banyak
dibandingkan sumur produksi. Harga mobility ratio yang paling umum pada
proyek waterflooding berkisar antara 0.02 sampai 0.2
Untuk pendesakan torak persamaan mobilitas rationya sebagai berikut
k rw

M=
( ) μw ¿
S
(4-6)
k ro
( ) μo wi
S

Dimana :
k rw
λD : λw = ( )
μw ¿
S mobilitas fasa pendesak(displacing )

k ro
λd : λo = ( )
μo wi
S mobilitas fasa yang didesak (displaced)

Karena pada kondisi lapangan yang sebenarnya, pendesakan minyak oleh


air bukanlah pendesakan torak. Craig menganggap bahwa ada gradient saturasi di
belakang flood front, dan Craig mengemukakan mobilitas apparent untuk fasa
pendesak dengan menggunakan saturasi air rata-rata dibelakang flood front pada
saat breakthrough (Swbt). Maka persamaan mobilitas yang dikemukakan Craig
sebagai berikut :
k rw

M=
( ) S
μ w wbt
(4-7)
k ro
( )μo wi
S
4.1.3. Faktor Perolehan Minyak
4.1.3.1. Efisiensi Pendesakan
Efisiensi pendesakan adalah perbandingan antara volume hidrokarbon
yang dapat didesak dari pori-pori dengan volume hidrokarbon total dalam pori-
pori tersebut. Dalam prakteknya efisiensi pendesakan merupakan fraksi minyak
atau gas yang dapat didesak setelah dilalui oleh front dan zona transisinya.
Rata - rata saturasi minyak (So) tergantung dari sifat proses pendesakan,
khususnya apakah pendesakan tersebut tercampur atau tidak. Pendesakan
tercampur dapat digunakan untuk mengurangi saturasi minyak sampai tingkat
yang rendah sehingga efisiensi pendesakannya tinggi, jika dibandingkan dengan
injeksi tak tercampur.
Pada kasus pendesakan linier, contohnya media berpori berbentuk silinder
kemudian semua pori-pori di belakang front dapat diisi oleh fluida pendesaknya,
maka efisiensi volumetrik akan mencapai 100% dan hubungan umum yang
menunjukkan efisiensi pendesakan adalah sebagai berikut :
S oi −S¿
Ed = (4-8)
Soi
dimana :
Ed = efisiensi pendesakan, fraksi
Soi = saturasi minyak mula (pada awal pendesakan), fraksi volume pori-pori
Pada prakteknya Sor dan Ed harganya akan tetap sampai pada bidang front
mencapai titik produksinya. Pada saat dan sebelum breaktrough terjadi, efisiensi
pendesakan ditunjukkan oleh persamaan:
(Ed)BT = Soi −¿ ¿ ¿ (4-9)
Harga Sor akan berkurang dan Ed akan bertambah dengan terus berlalunya
zona transisi melalui sumur produksi, sehingga setelah zona transisi ini berlalu
akan diperoleh harga Sor minimum yang merupakan harga saturasi minyak
irreducible dan efisiensi pendesakan mencapai harga maksimum, sesuai dengan
persamaan:
(Ed)max = Soi −¿ ¿ ¿ (4-10)
4.1.3.1.1. Teori Frontal Advance
Pada saat fluida didesak oleh fluida yang lain yang tidak bercampur
dengan fluida pendesak, prosesnya disebut proses tak tercampur. Air dan gas
padad tekanan rendah merupakan concoh pendesakan tidak tercampur.
Permukaan antara fluida yang didesak dengan fluida pendesak disebut
flood front, bergerak melalui media berpori hingga mencapai breakthrough sumur
produksi, pergerakan floodfront dan distribusi saturasi fluida dapat ditentukan
dengan menggunakan teori frontal advance. Tujuannya yaitu untuk membentuk
kurva fraksional flow dari fluida pendesak dengan saturasinya.
Untuk pendesakan satu dimensi di dalam media berpori, fraksi aliran
fluida pendesak adalah:
M λ Δ ρgsinα λ1 ∇ Pc
f1 = − 1 + (4-11)
1+ M v ( 1+ M ) v (1+ M )
λ1 k r 1 μ 2
M= = (4-12)
λ2 k r 2 μ 1
dimana:
M = perbandingan mobilitas antara fluida pendesak dengan fluida yang didesak
λ1 = mobilitas fluida pendesak, m2/Pa s
λ2 = mobilitas fluida yang didesak, m2/Pa s
∆ρ = perbedaan densitas antara dua fluida, kg/m3
v = kecepatan superficial (permukaan), m/s
g = kecepatan gravitasi, m/s2
α = sudut kemiringan, derajat
∇Pc = gradien tekanan kapiler
kr1 = permeabilitas relatif fluida pendesak,
kr2 = permeabilitas relatif fluida yang didesak
μ1 = viskositas fluida pendesak, Pa s
μ2 = viskositas fluida yang didesak, Pa s
Fraksi aliran adalah fungsi dari saturasi sepanjang variasi permeabilitas
relatif. Plot antara fraksi aliran versus saturasi fluida pendesak disebut kurva
fraksi aliran (fractional flow curve), yang biasanya berbentuk kurva– S. Bentuk
sebenarnya dari kurva ini dan posisinya tergantung dari kurva permeabilitas
relatif, viskositas fluida, densitas, sudut kemiringan dan hubungan saturasi-
tekanan kapiler. Kemajuan front pendesakan tak tercampur dapat ditentukan
dengan menghitung saturasi fluida pendesak sebagai fungsi waktu dan jarak dari
slope kurva fractional flow.
Termasuk juga waktu breakthrough pada saat fluida pendesak tiba di
ujung media berpori dan kemudian terproduksi water cut. Gambar 4.9.
menggambarkan saturasi pada saat breakthrough sedangkan Gambar 4.10.
menunjukkan profil saturasi air sebelum, pada saat dan setelah breakthrough.
Saturasi fluida pendesak rata-rata sebelum breakthrough ditentukan dengan
material balance untuk media berpori, setelah breakthrough ditentukan dengan
perluasan tangen terhadap kurva fractional flow pada satu titik yang
menghubungkan kondisi di ujung jalan keluar.
Hal ini dapat dilakukan pada waktu yang berbeda-beda sampai harga
producing cut (yang sama dengan harga f1 pada ujung jalan keluar) tercapai batas
yang telah ditentukan.
Efisiensi pendesakan minyak (ED), jika terdapat dua fluida di dalam proses
pendesakan tak tercampur (immiscible) seperti yang digambarkan di atas, dapat
dirumuskan sebagai berikut :
Ś0 Boi
ED = 1- (4-13)
Ś 0 i Bo
dimana :
Ś0 = saturasi minyak rata-rata
Ś0 i = saturasi minyak awal rata-rata
Bo = faktor volume formasi minyak, RB/STB
Boi = faktor volume formasi minyak awal, RB/STB
Gambar 4.9.
Profil Saturasi Sebelum Breakthrough
(Ahmed.Tarek,”Advanced Reservoir Engineering”,2006)

Gambar 4.10.
Profil Saturasi dalam Setelah Breakthrough
(Ahmed.Tarek,”Advanced Reservoir Engineering”,2006)

4.1.3.1.2. Teori Mobilitas Fluida


Pada suku pertama dalam Persamaan 4-12, yang menunjukkan gaya
viscous merupakan faktor yang berpengaruh pada fraksi aliran. Pada harga
saturasi tertentu, fraksi aliran fluida pendesak akan mengecil pada mobilitas rasio
yang kecil. Akibatnya terjadi keterlambatan breakthrough dan meningkatkan
efisiensi pendesakan pada volume yang diinjeksikan. Dengan kata lain, efisiensi
pendesakan pada abondonment akan lebih tinggi pada mobilitas rasio yang lebih
kecil karena berkurangnya producing cut dari fluida pendesak.
4.1.3.1.3. Pengaruh Gaya Gravitasi
Suku kedua dalam Persamaan 4-12. menyajikan perbandingan antara gaya
gravitasional dan gaya viscous. Hal ini dapat ditulis lagi sebagai Bilangan
Gravitasi (Ng), adalah:
M
f1 =
1+ M
[ 1−N g sin α ] (4-14)

λ2 Δ ρg
Ng = (4-15)
u

Gambar 4.11.
Pengaruh Mobilitas Rasio dan Gaya Gravitasional
Gambar 4.12.
Pengaruh Mobilitas Rasio dan Gaya Gravitasional
terhadap Efisiensi Pendesakan
(Willhite, G. Paul, 1986, “Waterflooding”, Third Printing, SPE, Richardson, Texas)

Jika harga (Ng sin α) besar, gaya gravitasional akan cukup berpengaruh
kuat terhadap kurva fraksi aliran. Harga positif yang lebih tinggi dari Ng sin α
menurunkan fraksi aliran fluida pendesak pada saturasinya. Jadi pengaruh gaya
gravitasional positif sama dengan pengaruh mobilitas rasio yang kecil.

4.1.3.1.4. Pengaruh Kompresibilitas


Kompresibilitas fluida menyebabkan terjadinya penyebaran flood front
pada proses pendesakan tak tercampur. Bagaimananpun juga pengaruh ini hanya
ada jika produk (kompresibilitas x penurunan tekanan) adalah urutan 1 atau lebih.
Dengan mempertimbangkan range dari penurunan kompresibilitas dalam metode
EOR, pengaruh ini dapat diabaikan

4.1.3.1.5. Pengaruh Tekanan Kapiler


Pada suku ketiga Persamaan 4-12, menunjukkan perbandingan gaya
kapiler dan gaya viscous. Gradien tekanan kapiler dalam arah aliran adalah positif,
karena gradien saturasi air dan turunan tekanan kapiler berkenaan dengan saturasi
air adalah negatif. Oleh karena itu pengaruh tekanan kapiler adalah untuk
menaikkan aliran fraksional fluida pendesak pada saturasi air yang diberikan.
Pengaruh ini akan lebih besar pada gradien saturasi air yang lebih besar, seperti
pada daerah didekat flood front, seperti terlihat pada Gambar 4.13. Akibatnya
keberadaan dan pengaruh tekanan kapiler menyebabkan terjadinya pelebaran
front saturasi sampai melewati jarak tertentu.

4.1.3.2. Efisiensi Penyapuan Volumetrik


Efisiensi penyapuan didefinisikan sebagai perbandingan antara luas daerah
hidrokarbon yang telah didesak di depan front dengan luas daerah hidrokarbon
seluruh reservoar atau dengan luas daerah hidrokarbon yang terdapat pada suatu
pola.
4.1.3.2.1. Efisiensi Daerah Penyapuan
Efisiensi penyapuan areal didefinisikan sebagai perbandingan antara
luasan reservoar yang kontak dengan fluida pendesak terhadap luas areal total atau
fraksional dari reservoar yang tersapu oleh fluida injeksi.
Gambar 4.13.
Pengaruh Tekanan Kapiler
terhadap Profil Saturasi dalam Pendesakan Tak Tercampur
(Rose C. Stephen, dkk, 1989, “The Design Engineering Aspects of Waterflooding” SPE, Richardson, Texas)
Gambar 4.14.
Faktor Cakupan (Coverage Factor)
(Willhite, G. Paul, “Waterflooding”, Third Printing, , Texas.1986)

Pada pola sumur yang teratur, efisiensi tersebut dapat diperkirakan sebagai
fungsi dari bentuk pola, volume pori yang diinjeksikan dan perbandingan
mobilitas. Kegiatan perolehan minyak tahap lanjut tidak semuanya menggunakan
pola sumur teratur, sehingga efisiensi penyapuan areal akan menurun dengan
adanya coverage factor.
Coverage factor (faktor cakupan) adalah perbandingan sederhana antara
volume reservoar didalam pola sumur yang teratur dengan volume reservoar total,
seperti terlihat pada Gambar 4.14. Volume reservoar digunakan sebagai pengganti
areal untuk memasukkan variasi ketebalan lapisan.

4.1.3.2.1.1. Korelasi Efisiensi Penyapuan Areal


Untuk pola-pola sumur teratur di dalam reservoar yang homogen,
diperlukan korelasi efisiensi penyapuan areal. Korelasi ini dipersiapkan untuk
pengujian pendesakan dan dibantu dengan beberapa pertimbangan analitik.
Beberapa contoh disajikan dalam Gambar 4.15. dan Gambar 4.16. untuk pola
sumur five spot dan direct line drive.
Gambar 4.15.
Efisiensi Penyapuan Areal untuk pola Five-Spot
(Willhite, G. Paul, “Waterflooding”, Third Printing, , Texas.1986)

Efisiensi penyapuan areal pada volume pori yang telah diinjeksi, akan
berkurang dengan naiknya perbandingan mobilitas. Perbandingan mobilitas akan
meningkat dengan naiknya volume yang telah diinjeksikan, sehingga harga akhir
untuk efisiensi penyapuan areal akan diambil pada harga volume pori yang telah
diinjeksikan dihubungkan dengan limiting cut yang ditentukan dalam produksi.
Hal yang perlu dicatat adalah daerah harga efisiensi penyapuan yang
ditentukan dari korelasi tidak dapat menunjukkan beberapa anisotropi (variasi
permeabilitas directional) atau heterogenitas. Untuk kasus dimana terdapat faktor
tersebut, teknik simulasi reservoar harus dipakai untuk mendapatkan peramalan
efisiensi penyapuan areal yang memberikan hasil yang lebih baik.
Gambar 4.16.
Efisiensi Penyapuan Areal untuk Direct Line Drive
(Ahmed,Tarek,”Advanced Reservoir Engineering”,2006)

Pada kebanyakan korelasi penyapuan areal, perbandingan mobilitas


dihitung dengan memakai permeabilitas relatif end-point, biasanya dipakai
mobilitas rasio rata-rata. Mobilitas rasio didefinisikan sebagai perbandingan
antara mobilitas total fluida dibelakang front pendesakan dengan mobilitas total
fluida di depan front pendesakan, dirumuskan sebagai berikut:
( λr 1 + λ r 2 ) b
Ḿ = (4-16)
( λr 1 + λ r 2 ) a
keterangan :
 λr1 dan λr2 adalah mobilitas relatif fluida pendesak dan fluida yang
didesak.
 Subskrip b dan a berturut-turut menunjukkan kondisi pada saturasi rata-
rata di belakang front dan saturasi awal didepan front.

4.1.3.2.1.2. Pengaruh Viscous Fingering


Front pendesakan yang tidak stabil akan menyebabkan fluida pendesak
tersembul di dalam lebar finger yang kecil melewati fluida terdesak. Sebagai
hasilnya fluida terdesak tertinggal di belakang front pendesakan. Keadaan seperti
ini terjadi akibat adanya proses pendesakan di dalam reservoar yang homogen dan
terlebih lagi pada heterogenitas reservoar. Viscous fingering berhubungan
langsung dengan perbedaan viskositas antara fluida pendesak dengan fluida
terdesak.
Model konseptual yang digunakan untuk menghitung pengaruh viscous
fingering adalah dengan memodifikasi persamaan aliran fraksional, dengan
memasukkan transfer massa antara fluida-fluida di sepanjang finger,
memodifikasi viskositas fluida, dengan mempertimbangkan pencampuran fluida
dan mengkombinasikan pengaruh dispersi dengan fingering. Pengaruh viscous
fingering pada proses pendesakan menentukan efisiensi pendesakan. Pada kondisi
tersebut, efisiensi penyapuan vertikal dan areal tidak membutuhkan penyesuaian
terhadap pengaruh viscous fingering.
Jika efisiensi pendesakan tidak memasukkan pengaruh tersebut, dan
ternyata diketahui pengaruh tersebut ada, maka harus dilakukan beberapa
penyesuaian untuk efisiensi penyapuan vertikal dan areal. Perbedaan antara dua
kondisi tersebut digambarkan pada Gambar 4.17. Jika pengaruh viscous
fingering dimasukkan dalam efisiensi pendesakan, maka volume yang tersapu
sama dengan daerah terinvasi (invaded region). Jika efisiensi pendesakan tidak
memasukkan pengaruh tersebut, maka volume penyapuan hanya merupakan
daerah yang terkena kontak dengan fluida pendesak.
Gambar 4.17.
Perbedaan antara Invaded Region dan Contacted Region
(Willhite, G. Paul, “Waterflooding”, Third Printing, , Texas.1986)

4.1.3.2.1.3. Efisiensi Penyapuan Vertikal


Efisiensi penyapuan vertikal adalah fraksi dari bagian vertikal pada
reservoar yang tersapu oleh fluida injeksi. Efisiensi penyapuan vertikal
dipengaruhi oleh gravitasi dan heterogenitas lapisan reservoar. Pengaruh gravitasi
disebabkan oleh perbedaan densitas antara fluida pendesak dengan fluida
terdesak. Jadi pengaruh gravitasi dapat terjadi di semua reservoar (homogen dan
heterogen). Gas akan mendahului minyak lewat bagian atas (overrides) dan air
akan mendahului minyak pada bagian bawah (underruns), karena itu terjadi
breakthrough lebih awal di bagian atas dan bawah reservoar. Secara teori,
stabilitas front pendesakan dan sudut ke arah mana menghadap (terhadap arah
aliran) berhubungan dengan laju penginjeksian, mobilitas fluida dan perbedaan
densitas. Gambar 4.18. menunjukkan efisiensi penyapuan vertikal sebagai fungsi
perbandingan mobilitas dan Ngh/L (perbandingan bilangan gravitasi dikalikan
ketebalan terhadap panjang). Perbandingan mobilitas yang tinggi dan bilangan
gravitasi yang besar menunjukkan rendahnya efisiensi penyapuan vertikal pada
saat breakthrough.
Gambar 4.18.
Pengaruh Mobilitas Rasio dan Gravitasi terhadap
Efisiensi Penyapuan Vertikal
(Willhite, G. Paul, “Waterflooding”, Third Printing, , Texas.1986)

Gambar 4.19.
Pengaruh Mobilitas Rasio dan Heterogenitas terhadap
Efisiensi Penyapuan Vertikal
(Willhite, G. Paul, “Waterflooding”, Third Printing, , Texas.1986)
Jika reservoar menunjukkan variasi permeabilitas dan porositas terhadap
kedalaman, heterogenitas lapisan, flood front akan terpengaruh oleh variasi
tersebut. Fluida pendesak akan bergerak lebih cepat dilapisan dengan
permeabilitas yang tinggi dan breakthrough terjadi lebih awal dalam sumur
produksi. Gambar 4.19. menunjukkan kecenderungan adanya pengaruh tersebut.
Perbandingan mobilitas yang tinggi dan heterogenitas yang besar akan
menurunkan efisiensi penyapuan vertikal.

4.1.3.2.2. Efisiensi Invasi


Efisiensi invasi adalah perbandingan antara volume hidrokarbon dalam
pori-pori yang telah didesak oleh fluida atau front terhadap volume hidrokarbon
yang masih tertinggal di belakang front. Pada efisiensi penyapuan, seolah-olah
dianggap bahwa yang sedang mengalami proses pendesakan mempunyai sifat
merata (uniform) ke arah vertikal. Pada keadaan yang sebenarnya, dalam
reservoar jarang terjadi hal seperti itu. Oleh karena itu, supaya pengaruh aliran ke
arah vertikal turut diperhitungkan, maka harus diketahui efisiensi invasi.
Pengaruh perubahan sifat batuan ke arah vertikal dinyatakan dengan
adanya perlapisan dalam reservoar yang sifat batuannya berbeda terutama
permeabilitasnya. Pengaruh perlapisan terhadap bidang front atau zona transisi
adalah bidang front akan bergerak lebih cepat pada daerah dengan permeabilitas
yang tinggi, sehingga breakthrough air akan lebih dahulu terjadi pada lapisan
yang lebih permeabel.
Dalam proses pendesakan juga dipengaruhi oleh efek gravitasi dan
heterogenitas lapisan reservoir.
1. Efek Grafitasi
Efek gravitasi dihubungkan dengan perbedaan densitas antara fluida
pendesak dengan fluida yang didesak, secara teoritis indikasi bahwa stabilitas dari
floodfront dan sudut yang diorientasikan (diharapkan sudut yang kecil) akan
dihubungkan dengan rate injeksi, mobilitas fluida dan perbedaan densitas.
Efisiensi invasi pada saat breakthrough diplot sebagai fungsi dari rasio mobilitas,
grafitasi yang besar, dan perbandingan ketebalan serta panjangnya yang besar
akan dapat menurunkan efisiensi invasi. Efek dari perbedaan densitas pada
evisiensi invasi pada Gambar 4.20.

2. Efek Heterogenitas Lapisan


Jika reservoir memiliki variasi dalam permeabilitas dan porositas, flood
front akan dipengaruhi oleh harga variasi ini. Fluida pendesak bergerak lebih
cepat dalam lapisan yang berpermeabilitas tinggi selanjutnya akan terjadi
breakthrough yang terlalu dini ke dalam sumur produksi. Pada dasarnya, rasio
mobilitas yang tinggi dan luasnya heterogenitas lapisan akan menurunkan
efisiensi penyapuan vertikal (vertical sweep efficiency).

4.1.4. Teori Pendesakan


Gambar 4.20.
4.1.4.1. Pendesakan Satu Dimensi
Pengaruh Perbandingan Mobilitas dan Grafitasi terhadap Efisiensi Invasi
(Ahmed,Tarek,”Advanced Reservoir Engineering”,2006)
Pendesakan linier adalah pendesakan yang mempunyai kecepatan hanya
dalam satu arah pada setiap saat dan setiap tempat. Secara umum, suatu
pendesakan akan mempunyai batas yang merupakan front terdepan fluida
pendesak. Pada bidang front ini saturasi fluida pendesak melonjak naik, kemudian
di belakang front saturasi fluida naik secara berangsur-angsur sampai mencapai
saturasi maksimalnya, yaitu seharga (1-Sor fluida yang didesak) yaitu seharga
satu dikurangi saturasi residual fluida yang terdesak.
Persamaan Fraksi Aliran
Anggapan /asumsi yang digunakan :
- Aliran mantap (steady state)
- Sistem pendesakan dari dua macam fluida yang tidak larut satu sama lain
(immiscible).
- Fluida yang tidak dapat dimampatkan (incompressible).
- Aliran terjadi pada media berpori yang homogen.
Persamaan yang digunakan untuk menghitung efisiensi pendesakan
dikembangkan pertama kali oleh Buckley-Leverret, yang didasarkan pada
persamaan Darcy :
−k P
V́ =
μ S (
+ ρ sin α ) (4-17)

dimana :
s = sumbu yang searah dengan aliran
α = sudut kemiringan
ρ = massa jenis
k = permeabilitas
P = tekanan
V = laju aliran
Untuk aliran horizontal, persamaan (4-17) berubah menjadi :
−k dP
V =
⃗ (4-18)
μ ds
Jika dua macam fluida yang mengalir, misalkan air dan minyak, maka persamaan
aliran untuk masing-masing fasa menjadi :
−k w dP
V w= ( )
+ ρ g sin α
μ w ds w
(4-19)

−k d P
μ ( ds
+ ρ g sin α )
o
V =
o 0 (4-20)
o

Selanjutnya gabungan dari persamaan (4-19) dan (4-20) menjadi :


d
= −g ∆ P sin α (4-21)
ds
q
μ= → A = Luas penampang
A
jika qt = qo + qw (4-22)
Maka persamaan (4-21) menjadi :
(4-23)

μ o qt
Dengan cara membagi persamaan (4-22) dengan dan mendefinisikan fraksi
k0

qw
aliran fw = , maka :
qt

(4-24)

dan dinyatakan dalam satuan :


k = mD Pc = psi
μ = cp s = ft
A = ft3 ρ = gr/cc

(4-25)

Data tekanan kapiler umumnya dinyatakan sebagai fungsi dari (Sw)

dPc
gradien tekanan kapiler dapat dinyatakan dalam hubungan :
ds
dPc dPc dSw
= (4-26)
ds ds w ds
dPc dS w
dimana harga diperoleh dari grafik tekanan kapiler. Akan tetapi sulit
dsw ds
diperoleh, atau tidak diketahui sama sekali. Berdasarkan hal itu untuk segi

dPc
praktisnya maka harga diabaikan. Jadi persamaan fraksi aliran mnjadi :
ds
ko A
fw = 1−0,0048 ¿¿ (4-27)
μ0 q t
Persamaan ini akan lebih sederhana bila aliran terjadi dalam arah
horizontal, α = 0.
1
fw = k ro μw (4-28)
1+
k rw μo
Bila pendesakan minyak terjadi pada temperatur konstant dengan harga
viskositas minyak dan air tertentu, maka persamaan (4-28) hanya merupakan
fungsi langsung dari saturasi.

4.1.4.1.1. Metoda Pendesakan Kemajuan Front


Pada tahun 1942 Buckley-Leverett mengeluarkan pernyataan yang
kemudian dikenal sebagai pendesakan kemajuan front satu dimensi pernyataan-
perayataan tersebut adalah:
— Persamaan dasar untuk menggambarkan pendesakan immiscible satu dimensi.
— Persamaan ini (untuk air mendesak minyak) menentukan kecepatan suatu
bidang dengan Sw konstan bergerak, melalui suatu sistem linier.
Dengan anggapan kondisi aliran terdifusi dipenuhi, maka konsentrasi
massa air melalui elemen volume A Φ dx dapat ditulis sebagai berikut :
debit massa = debit bertambahnya massa
(masuk −keluar ) ( dalam el emen volume tersebut )
, Sehingga
Gambar 4.21.
Penampang Melintang Sumur Injeksi Produksi
(Ahmed,Tarek,”Advanced Reservoir Engineering”,2006)

(4-29)

Atau :
(4-30)

(4-31)

Dengan anggapan pendesakan incompressible (ρw kostan)

(4-32)

Tujuannya adalah mempelajari pergerakan bidang dengan Sw = konstan,


dSw = 0. Maka :

Masukan ke persamaan (4-33)

Maka diperoleh :
(4-34)
(4-35)

Persamaan (4-35) merupakan persamaan Bucley-Leverett


Utuk qT = qi = Konstan, maka kecepatan bidang dengan Sw konstan, proporsional
terhadap tururnan fw terhadap Sw pada Sw yang bersangkutan. Integrasikan untuk
waktu total sejak injeksi dimulai :
(4-36)

(4-37)

Wi merupakan injeksi air kumulatif (anggapan: syarat awal Wi = 0, untuk t = 0).


Jadi letak posisi bidang-bidang dengan Sw yang berbeda-beda pada waktu tertentu
(Wi= Konstan) dapat digambarkan memakai persamaan terakhir dengan
menentukan dulu kemiringan kurva fw vs Sw untuk harga Sw yang bersangkutan.
df w
Kesukaran dari grafik di depan , adanya titik-titik belok maka kurva vs sw
ds w
mempunyai nilai maksimum (lihat gambar berikut) :
Gambar 4.23.
Efek Tekanan Kapiler terhadap Kurva Fw
(Ahmed,Tarek,”Advanced Reservoir Engineering”,2006)

Ini merupakan kurva yang dihasilkan setelah memakai persamaan


Buckley-leverett di atas (kurva yang bergaris penuh).
Secara fisis tidak mungkin ada beberapa harga saturasi (yang
perbedaannya diskontinyu bukan berangsur-angsur) pada satu titik di reservoar.
Untuk menggambarkan profil saturasi yang tepat, perlu di tarik garis
vertikal lurus sehingga luas A dan B sama ; garis tersebut merupakan gambaran
saturasi di front.
Sw mengecil (maksimum di tengah karena aliran terdifusi).
Dibelakang front (Swf < Sw < 1 - Sor) dimana Sw kontinyu dan dapat
diturunkan dengan persamaan Buckley-leverett dan dapat dipakai untuk
menentukan kecepatan dan posisi Sw Juga di belakang front, Pc dapat
diabaikankan (lihat penjelasan di muka) maka persamaan fraksi alirannya :
1
fw = μ w k ro (untuk reservoir horizontal) (4-38)
1+
k rw μ o
(4-39)

Jadi disini dinyatakan front dengan Sw bervariasi dari Sw = Swc ke Sw = Swf,


tetapi penentuan Swf hanya berdasarkan pengambilan yang sama. Welge (1952)
mempunyai pendekatan yang berbeda (lebih jelas) untk mencapai hasil yang sama
dalam menentuka Swf. Caranya dengan mengintegrasikan saturasi dari titik
injeksi ke front untuk mendapatkan Sw rata-rata dibelakang front S´w .
S´w = rata-rata terhadap volume.
S´w = rata-rata terhadap ketebalan.

Metode Welge (1952)


Asumsi yang digunakan sama dengan Buckley-laverett untuk menentukan
Swf, yaitu dengan mengintegrasikan distribusi saturasi dari titik injeksi ke front
sehingga didapat Sw rata-rata di belakang front.

Pada waktu tertentu


- Sebagai breaktrough (tembus air)
- Wi = jumlah air yang diinjeksikan.

Gambar 4.24.
df w
- Sw max = 1- Sor sudah maju sejauh x1 (dengan Vsw α untuk Sw = 1-
dS w
Sor)
Material balance
(4-40)

Untuk Sw rata-rata dibelakang front dapat pula dicari dengan integrasi


profil saturasi :

(4-41)

Untuk sejumlah volume injeksi air tertentu, dimana Sw ≥ Swf persamaan tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut :

(4-42)

Integral dalam pembilang dapat diuraikan sebagai berikut :

(4-43)

Masukkan kepersamaan (4-42) kembali,


(4-44)

df w
fw dan keduanya untuk front.
dS w
Samakan persamaan (4-44) ini dengan persamaan (4-42) dimuka :

(4-45)

(4-46)

Untuk memenuhi persamaan tersebut (lihat gambar dibawah) haruslah


ditarik garis tangensial dari [ Sw =S wc , f w =0 ] ke titik Sw =S wf −f w =f w| S wf dan garis

tersebut memotong fw = 1, di [ Sw =S´w , f w =1 ] (persamaan tersebut harus dipenuhi


secara simultan).

Gambar 4.25.
Kurva Fraksional Flow
1
Grafik fw = f(Sw) harus diperoleh dengan persamaan fw = μ w k ro atau
1+
k rw μ o

Untuk interval Swc < S´w < 1-Sor

untuk menentukan Swf , fw|Swf dan S´w dan S pemakaian persamaan-persaman

∂ Ps
gradient tekanan kapiler, → dipenuhi hanya dibelakang front.
∂x
Swc< S´w <1-Sor→ yang dimuka front Sw<Swf;fw tidak penting.
Metode grafis Welge ini banyak dipakai untuk menghitung oil recovery.

Perhitungan Perolehan Minyak.


W i df w
Sebelum breaktrough (bt) : persamaan xsw = =
A dS w w |
S dapat dipakai

untuk
menentukan posisi bidang dengan Sw konstan untuk Swc< S´w <1-Sor → profil
saturasi.
Pada saat breaktrough dan sesudahnya : yang dipelajari adalah kenaikan Sw pada
sumur produksi ; dalam hal ini, X = L (panjang reservoar)
Wi 1
= =W id
Persamaan diatas menjadi LA df w (4-47)
S
dS w wc |
Keterangan :
Swc = Sw pada. saat ini ditepi titik sumur produksi
Wid = air yang diinjeksikan dalam jumlah volume pori, tanpa dimensi
(1 PV = L.A.Φ).

Bt : perhitungan recovery mudah, untuk pendesakan incompresible recovery


minyak = volume air yang diinjeksikan (jika produksi air = 0). Pada saat bt : S wf =
Swbt ; fw meloncat dari fw = 0 ke fwbt = fw|Swf (dikonfirmasikan dengan pengamatan
di lapangan)
1
S´wbt −S wc= W id
Persamaan terdahulu di muka maka dapat diRec df w = NpDbt =
Gambar 4.26.
S
dS w wc
Ilustrasi Untuk Peramalan Recovery Minyak |
(Willhite, G. Paul, 1986, “Waterflooding”, Third Printing, SPE Texas.)

q i PV
iwD x tbt, (iwD) = , waktu → waktu terjadinya breakthrough :
LA bt
W iDbt
tbt = (4-48)
i wD
Sesudah :
bt : L = Kta, Swc dan fwc naik terus.
Perhitungan recovery lebih sulit dilakukan karena adanya kesulitan untuk
membagi dua luas daerah yang sama, maka disempurnakan oleh Welge (dimana
front lebih dulu sampai pada sumur produksi).
1
Swc +(1+f we)
S´w = df w
S|
dS w wc
(4-49)

Dengan memakai persamaan (4-36) dapat juga dituliskan sebagai berikut :


(4-50)

Kedua persamaan tersebut dapat dipakai dalam prakteknya sebagai berikut:


1
a. Buat kurva fw (dari persamaan fw = μ w k ro atau
1+
k rw μ o
∂ Pc
Dengan mengabaikan (efek gravitasi boleh dimasukkan).
∂x
b. Tarik garis tangensial terhadap kurva ini dari titik Sw = Swc, fw = 0.
titik tangensial tersebut merupakan koordinat, Sw = Swf = Swbt, f w = fw|
Swf = fwbt. Dan ekstrapolasikan garis tersebut ke fw = 1 memberikan S´w
W iDbt
= S´wbt (saturasi dibelakang front pada bt dan tbt =
i wD

c. Ambil Swe sebagai variabel bebas; ambil harga-harga S we dengan


pertambahan 5% (diatas Swbt), setiap titik pada kurva fw, untuk Swe > Swbt
mempunyai koordinat Sw = Swe, fw = Fwe.
Untuk setiap harga baru Swc, harga-harga Sw yang bersangkutan
ditentukan secara gratis dan recovery minyak dihitung dari :
Npd = S´w - Swc (PV)

1
Kebalikkan dari kemiringan kurva df w
dS w( )|
Swc
untuk setiap Swe, memberikan Wid

(jumlah volume pori dari air yang diinjeksikan) persamaan:


(4-51)

lni menghubungkan Recovery dengan waktu, karena Wid = qid. t.


Selain dengan menggunakan cara grafis tadi, persamaan Recovery terakhir
dapat juga dipakai langsung untuk menghitung Recovery dengan menentukan fwe
dan Wid dari kurva fraksi aliran untuk setiap harga Swe yang dipilih.
Anggapan :
 Aliran terdifusi 1 dimensi.
 Kalau ada distribusi vertikal yang tidak merata (terhadap ketebalan) 2
dimensi (misal pada aliran segregated atau pada pendesakan reservoar
berlapis-lapis)- tetap dengan mengambil rata-rata harga saturasi dan Krel .
(Sw) dalam arah aliran, maka kebanyakan aliran dua dimensi dapat diubah
menjadi satu dimensi.

4.1.4.1.2. Teori Pendesakan Torak (Piston Like Displacement)


Pendesakan yang menyerupai torak merupakan hal khusus dari
pendesakan frontal Sebagai perbandingan, bentuk grafik hubungan antara saturasi
fluida pendesak dengan jarak dari sumur injeksi untuk pendesakan frontal secara
umum dan untuk pendesakan torak ialah sbb:

Gambar 4.27.
Pendesakan Frontal dengan Pendesakan Torak
(Willhite, G. Paul, 1986, “Waterflooding”, Third Printing, SPE Texas.)

Persamaan diffusivitas untuk daerah didepan front adalah:

(4-52)

Untuk daerah front, berlaku Po = Pw. Untuk persamaan diatas, ko diambil


saat saturasi air mencapai saturasi air konat, dan kw diambil saat saturasi minyak
mencapai saturasi residu.
4.1.4.2. Pendesakan Dua Dimensi
Anggapan yang digunakan adalah pada pendesakan reservoir yang tipis,
sehingga kecepatan dan variasi saturasi dalam arah vertikal dapat diabaikan.
Perhitungan pendesakannya dengan menggunakan komputer karena sangat rumit.
Untuk sistem injeksi dengan pola sumur yang teratur, ada model empirik yang
dapat dipakai untuk meramalkan ulah produksi reservoirnya.
Percobaan dengan model fisik kecil dilakukan untuk mencari hubungan
antara efisiensi penyapuan (Es) dengan volume yang diinjeksikan tanpa dimensi
(ViD), atau dengan fw dan perbandingan mobilitas air-minyak (M).
luasdaerah yang sudah terdapu dibelakang front
ES = , dan
luas unit pola injeksi
volume fluida yang telah diinjeksikan(Vi)
ViD = , sehingga
Volume pori yang dapat didesak (V D )

VD = Vb ɸ (1- Swc – Sor) (4-53)


Keterangan :
VD = volume pori yang didesak, cuft
ViD = volume fluida yang diinjeksian
Vb = volume bulk batuan,cuft
ɸ = porositas batuan
Swc = saturasi air konate
Sor = saturasi minyak residu
Sifat-sifat aliran dan reservoir yang dipakai dalam model fisik adalah:
a. Tebal lapisan lebih kecil daripada ukuran reservoir, sehingga dapat
dianggap dua dimensi.
b. Tidak ada pengaruh gravitasi atau kemiringan reservoir kecil (<100)
c. Reservoir bersifat homogen
d. Pada proses injeksi berlaku pendesakan torak dan aliran mantap.

4.1.4.3. Pendesakan Tiga Dimensi


Untuk reservoir yang tebal dengan variasi permeabilitas ke segala arah,
maka perhitungan perkiraan ulah pendesakan yang berdimensi tiga harus
diselesaikan dengan simulasi numerik yang harus dibantu komputer.
Penyelesaiannya memerlukan data fluida, data petrofisik, data produksi
setiap bagian reservoir yang besarnya ditentukan (grid). Komputer akan mencari
pendekatan dengan rumus Darcy, diffusivitas dan kontinuitas untuk setiap grid.
Ulah seluruh reservoirnya merupakan penjumlahan ulah tiap grid. Ukuran
tiap grid dan tiap waktu yang dipilih akan menentukan lamanya perhitungan dan
biaya pemakaian computer. Makin kecil ukuran gridnya dan langkah waktunya
makin mahal biayanya.
Biasanya ulah reservoir yang lalu menurut perhitungan computer
diselaraskan dulu dengan hasil pengamatan di lapangan. Setelah diperoleh
keselarasan yang memadai, barulah dilakukan peramalan ulah reservoir untuk
waktu yang akan datang.

4.2. Miscible Displacement (Pendesakan Tercampur)


Injeksi tercampur didefinisikan sebagai pendesakan suatu fluida terhadap
minyak yang menghasilkan pencampuran antara fluida pendesak terhadap minyak
sehingga hasil campuran ini dapat keluar dari pori-pori dengan mudah sebagai
satu fluida. Dalam hal efisiensi pendesakan dalam pori-pori sangat tinggi.
Yang termasuk injeksi tercampur adalah injeksi gas kering pada tekanan
tinggi (vaporizing gas drive), injeksi gas diperkaya (condensing gas drive), injeksi
dinding fluida yang dapat bercampur dengan minyak (gas), injeksi dinding lkohol
(dapat bercampur dengan minyak dan air), injeksi CO2 atau gas-gas yang tidak
bereaksi (inert gas) dapat bercampur dengan minyak dan air.
Gambar 4.28. memperlihatkan Diagram Terner. Pada diagram tersebut
terdapat sistim tiga kelompok komponen yang terdiri atas metana (C1),
komponen-komponen menengah (C2-C6) dan komponen-komponen berat (C7+).
Untuk tekanan dan temperatur reservoir, C1 berupa gas, C7+ cair,
sedangkan C2-C6 tergantung pada tekanan dan temperatur yang berlaku. Daerah
L pada diagram tersebut merupakan daerah satu fasa yaitu 100% fasa cair dan
daerah V merupakan daerah 100% fasa gas. Daerah campuran kritis dibagi
menjadi daerah B yang menunjukkan interval komposisi (P,T) yang dapat
bercampur dengan gas dari daerah V, serta daerah A merupakan daerah
komposisi-komposisi campuran yang dapat bercampur dengan minyak dari daerah
L.
Pengaruh tekanan dan temperatur terhadap daerah dua fasa dalam diagram
Gambar 4.28.
Terner seperti ditunjukkan pada Gambar 4.29. Tekanan Tercampur Minimum
Diagram Terner pada Sistem Hidrokarbon
(TTM) adalah tekanan(Cain,
pendesakan terendah
Mc W.D., Jr., The di mana
Properties of Petroleum gas dapat bercampur (larut)
Fluids.1973)

dengan minyak yang didesak melalui proses kelarutan dinamik atau kelarutan
multikontak.
**)Jadi pada saat tekanan reservoir masih tinggi (P>>) dan temperatur rendah (T<<) akan sangat menguntungkan bagi pendesakan tercampur

karena daerah dua fasa (dalam diagram Terner) dibuat kecil.

4.2.1. Injeksi Gas CO2


Injeksi gas CO2 atau sering juga disebut sebagai injeksi gas CO2 tercampur
yaitu dengan menginjeksikan sejumlah gas CO2 ke dalam reservoir dengan
melalui sumur injeksi sehingga dapat diperoleh minyak yang tertinggal. CO 2
adalah molekul stabil dimana 1 atm carbon mengikat 2 atom oksigen, berat
molekulnya 44.01, temperatur kritik 31.0 ° CO 2 dan tekanan kritik 73.3 Bars
(1168.65 Psi).

Gambar 4.30.
Konsep Kelakukan Fasa CO2 dan Methane pada Simple Hydrocarbon pada
Tekanan Konstan
(Stalkup Jr, Fred. Miscible Displacement. Second Printing. New York. 1984)

Pada gambar 4.30 a dan 4.30 a’ fluida reservoir adalah campuran


komponen berat dan butane. Dynamic miscibility dapat terjadi terjadi pada CO2
dan methane. Daerah dua fasa pada CO 2 lebih kecil daripada methane dan
dynamic miscibility yang dihasilkan dengan methane pada tekanan yang ada di
diagram, tekanan ini nyatanya nilainya jauh diatas MMP dengan CO2.
Pada gambar 4.30 b dan 4.30 b’ fluida reservoir adalah campuran antara
komponen berat dan hexane. Pada tekanan ini methane tidak bercampur dengan
hexane dan dynamic miscibility tidak dapat dicapai dengan methane, dibutuhkan
tekanan yang lebih tinggi. . CO2 dan hexane dapat bercampur, walaupun daerah 2
fasa pada hexane lebih besar dari butane.
Pada gambar 4.30 c dan 4.30 d mengambarkan kelakukan fasa ketika
decane dan tricosane sebagai komponen campuran kedua pada fluida reservoir.
Dynamic miscibility sedikit dihasilkan oleh CO 2 dan C10 karena komposisi fluida
reservoir berada disebelah kanan limiting tie line. Dynamic miscibility tidak dapat
terjadi pada CO2 dan C13 karena dibutuhkan tekanan yang lebih besar.
Pada gambar 4.30. menggambarkan konsep yang penting yaitu CO2
menghasilkan dynamic miscibility pada tekanan yang lebih rendah dari methane
dengan cara mengekstraksi komponen minyak intermediate daripada methane
yang menguapkan sebagian besar komponen C2-C5 untuk menghasilkan
vaporizing gas drive miscibility.
4.2.1.1. Sifat-Sifat CO2
Perubahan sifat kimia fisika yang disebabkan oleh adanya injeksi CO 2
adalah sebagai berikut :
A. Pengembangan volume minyak
Adanya CO2 yang larut dalam minyak akan menyebabkan pengembangan
volume minyak. Pengembangan volume ini dinyatakan dengan suatu swelling
factor, yaitu : “Perbandingan volume minyak yang telah dijenuhi CO 2 dengan
volume minyak awal sebelum dijenuhi CO2, bila besarnya SF ini lebih dari satu,
berarti menunjukkan adanya pengembangan”.
Oleh Simon dan Graue, dikatakan bahwa SF dipengaruhi oleh fraksi mol
CO2 yang terlarut dalam minyak (X CO2) dan ukuran molekul minyak yang
dirumuskan dengan perbandingan berat molekul densitas (M/ρ). Hasil penelitian
Walker dan Dunlop menunjukkan bahwa swelling factor dipengaruhi pula oleh
tekanan dan temperatur.
B. Penurunan Viscositas
Adanya sejumlah CO2 dalam minyak akan mengakibatkan penurunan
viscositas minyak. Oleh Simon dan Graue dinyatakan bahwa penurunan viscositas
tersebut dipengaruhi oleh tekanan dan viscositas minyak awal sebelum dijenuhi
CO2.
Perbandingan viscositas campuran CO2 minyak dengan viscositas awal
akan lebih kecil untuk viscositas minyak awal (μo) yang lebih besar pada tekanan
saturasi tertentu.
Artinya pengaruh CO2 terhadap penurunan viscositas minyak akan lebih
besar untuk minyak kental (viscous). Untuk satu jenis minyak, kenaikan tekanan
saturasi akan menyebabkan penurunan viscositas minyak.
Untuk satu jenis minyak kenaikan tekanan saturasi akan menyebabkan
menurunnya viscositas minyak.

C. Kenaikan Densitas
Terlarutnya sejumlah CO2 dalam minyak menyebabkan kenaikan densitas,
hal yang menarik ini oleh Holm dan Josendal dimana besarnya kenaikan densitas
dipengaruhi oleh tekanan saturasinya
Meskipun demikian bila fraksi CO2 terlarut telah mencapai suatu harga
tertentu, kenaikan fraksi mol lebih lanjut akan menyebabkan turunnya densitas.

D. Ekstraksi Sebagian Komponen Minyak


Sifat CO2 yang terpenting adalah kemampuan untuk mengekstraksikan
sebagian komponen minyak. Hasil dari penelitian Nelson dan Menzile
menunjukkan bahwa pada 135 °F dan pada tekanan 2000 Psi minyak dengan
gravity 35 °API mengalami ekstraksi lebih besar dari 50 %.
Penelitian dari Holm dan Josendal menunjukkan volume minyak menurun
akibat adanya ekstraksi sebagian fraksi hidrokarbon dalam minyak.
Dari komposisi hidrokarbon yang terekstraksi selama proses pendesakan
CO2, menunjukkan fraksi menengah (C2-C6) hampir semuanya terekstraksi.
Sedangkan pada fraksi ringan (C1), juga fraksi berat (C7+) harga ekstraksi sangat
kecil.
4.2.1.2. Sumber CO2
Sumber CO2 sangat menentukan dalam keberhasilan proyek injeksi CO2,
sebab CO2 yang diperlukan harus tersedia untuk jangka waktu yang panjang. Gas
yang tersedia juga harus relatif murni sebab beberapa gas seperti metana dapat
meningkatkan tekanan yang diperlukan untuk bercampur, sedangkan yang lainnya
seperti hidrogen sulfida berbahaya dan berbau serta menimbulkan permasalahan
lingkungan.
Perlu diperhatikan bahwa adanya kesulitan dalam menentukan volume
aktual dan waktu pengantaran gas ke proyek, sebab kebocoran dapat terjadi pada
proyek injeksi skala besar selama periode waktu yang panjang. Faktor yang tidak
diketahui lainnya adalah volume CO2 yang harus dikembalikan lagi (recycle). Jika
gas CO2 menembus sebelum waktunya ke dalam sumur produksi, maka gas ini
harus diproses dan CO2 diinjeksikan kembali.
Sumber CO2 alami adalah yang terbaik, baik yang berasal dari sumur yang
memproduksi gas CO2 yang relatif murni ataupun yang berasal dari pabrik yang
mengolah gas hidrokarbon yang mengandung banyak CO2 sebagai kontaminan.
Sumber yang lain adalah kumpulan gas (stack gas) dari pembakaran
batubara (coal fired). Alternatif lain adalah gas yang dilepaskan dari pabrik
amonia. Beberapa kelebihan sumber tersebut adalah :
 Pabrik amonia dan lapangan minyak yang dapat didirikan berdekatan
 Kuantitas CO2 dari tiap sumber dapat diketahui
 Gas CO2 yang dilepaskan dari pabrik amonia cenderung dapat dikumpulkan
dalam sebuah area industrial yang tersedia
 Tidak memerlukan pemurnian, karena CO2 yang diperoleh mempunyai
kemurnian 98 % (Pullman kellog,1977).
Keberhasilan suatu proyek CO2 tergantung pada :
1. Karakteristik minyak
2. Bagian reservoir yang kontak secara efektif
3. Tekanan yang biasa dicapai
4. Ketersediaan dan biaya penyediaan gas CO2
4.2.1.3. Kelebihan dan Kekurangan Injeksi CO2
Penggunaan CO2 untuk meningkatkan perolehan minyak mulai menarik
banyak perhatian sejak 1950. Ada beberapa alasan (kelebihan utama), sehingga
dilakukan injeksi CO2 yaitu :
1. Injeksi CO2 mengembangkan minyak dan menurunkan viskositas.
2. Membentuk fluida bercampur dengan minyak karena ekstraksi, penguapan dan
pemindahan kromatologi.
3. Injeksi CO2 bertindak sebagai solution gas drive sekalipun fluida tidak
bercampur sempurna.
4. Permukaan fluida campur (miscible front) jika rusak akan memperbaiki diri.
5. CO2 akan bercampur dengan minyak yang telah berubah menjadi fraksi C2-C6.
6. CO2 mudah larut di air menyebabkan air mengembang dan menjadikannya
bersifat agak asam.
7. Ketercampuran/miscibility dapat dicapai pada tekanan diatas 1500 psi pada
beberapa reservoir.
8. CO2 merupakan zat yang tidak berbahaya, gas yang tidak mudah meledak dan
tidak menimbulkan problem lingkungan jika hilang ke atmosfir dalam jumlah
yang relatif kecil.
9. CO2 dapat diperoleh dari gas buangan atau dari reservoir yang mengandung
CO2
Sedangkan beberapa kekurangan injeksi CO2 adalah sebagai berikut :
1. Kelarutan CO2 di air dapat menaikkan volume yang diperlukan selama
bercampur dengan minyak.
2. Viskositas yang rendah dari setiap gas CO2 bebas pada tekanan reservoir yang
rendah akan menyebabkan penembusan yang lebih awal pada sumur produksi
sehingga mengurangi effisiensi penyapuan.
3. Setelah fluida tercampur terbentuk, viskositas minyak lebih rendah dari pada
minyak reservoir sehingga menyebabkan fingering dan penembusan yang
belum waktunya. Untuk mengurangi fingering maka diperlukan injeksi slug
water.
4. CO2 dengan air akan membentuk asam karbonik yang sangat korosif.
5. Injeksi alternatif slug CO2 dan air memerlukan sistem injeksi ganda dan hal ini
akan menambah biaya dan kerumitan sistem.
6. Diperlukan injeksi dalam jumlah yang besar (5 – 10) MCF gas untuk
memproduksi satu STB minyak).
7. Sumber CO2 biasanya tidak diperoleh ditempat yang berdekatan dengan proyek
injeksi CO2 sehingga memerlukan pemipaan dalam jarak yang panjang.
4.2.1.4. Miscibility dan Pengaruhnya
Miscibility didefinisikan sebagai kemampuan suatu fluida untuk
bercampur dengan fluida lainnya dan membentik suatu fasa yang homogen
sehingga tidak tampak batas fasa fluida tersebut. Tercapainya miscibility CO 2
dengan minyak ditandai dengan mengecilnya tegangan permukaan sampai
mendekati nol.
Untuk mencapai miscibility, kondisi temperatur serta komposisi harus
memenuhi syarat tertentu. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tercapainya
miscibility CO2 dan minyak adalah kemurnian CO2, komposisi minyak,
temperatur serta tekanan.
1. Kemurnian CO2
Hasil percobaan pada berbagai tingkat kemurnian yang digunakan,
menunjukkan bahwa semakin murni CO2 semakin besar miscibilitasnya.
Adanya C1 dan N2 di dalam CO2 akan mempengaruhi terjadinya miscibilitas,
sedangkan adanya H2S didalam CO2 pengaruhnya lebih kecil dibanding C1
dan N2.
2. Komposisi Minyak
Hasil percobaan pada berbagai tingkat kemurnian yang digunakan,
menunjukkan bahwa semakin murni CO2 semakin besar miscibilitasnya.
Adanya C1 dan N2 di dalam CO2 akan mempengaruhi terjadinya miscibilitas,
sedangkan adanya H2S didalam CO2 pengaruhnya lebih kecil dibanding C1
dan N2.
3. Temperatur
Temperatur minyak juga akan mempengaruhi tekanan yang diperlukan untuk
pendorongan miscible. Kesimpulannya jika temperatur semakin besar,
tekanan pendorongan makin besar.
4. Tekanan
Tekanan yang diperlukan untuk pendorongan miscible akan dipengaruhi oleh
kemurnian CO2, komposisi minyak dan tekanan reservoir. Pada tekanan
pendorongan miscible CO2 terhadap minyak reservoir dengan adanya
komponen hidrokarbon ringan C2, C3, C4 didalam minyak reservoir tidak
mempengaruhi proses miscibility. Pendorongan miscible sangat dipengaruhi
oleh adanya komponen C5-C30 di dalam reservoir.
Dari kenyataan ini Holm dan Josendal memberikan suatu kesimpulan
bahwa tekanan diinjeksi agar terjadi pendorongan yang miscible ditentukan oleh
adanya komponen C5, dalam minyak reservoir. Temperatur juga akan
mempengaruhi tekanan pendorong yang miscible. Oleh karena itu perkiraan
tekanan untuk pendorongan yang miscible dapat diperoleh dengan menggunakan
dengan korelasi fraksi C5+.
4.2.1.5. Jenis – Jenis Pendorongan
Pemakaian CO2 sebagai fluida pendesak untuk perolehan minyak telah
diteliti di laboratorium maupun di lapangan. Dari keduanya telah dapat
diperkirakan bahwa CO2 dapat menjadi fluida pendesak yang efisien.
Jenis pendorongan gas karbondioksida terdiri dari solution gas drive dan dynamic
miscible drive.
A. Solution gas drive
Kelarutan CO2 didalam minyak makin besar dengan adanya kenaikan
tekanan, dengan diikuti pula pengembangan volume minyak makin besar. Holm
dan Josendal melakukan pengamatan terhadap jenis drive ini dengan
menggunakan gravity minyak 22 °API yang dijenuhi dengan Berea sandstone
sepanjang 4 feet. Penjenuhan dilakukan pada tekanan 900 psi yang berisi 47,2 %
PV dan sisanya air asin. Minyak yang diproduksikan 14,2 % OIP sampai
penurunan tekanan 400 psig, dan 14 % OIP pada tekanan mencapai 200 psig,
dapat dilihat pada Tabel IV-1.
Tabel IV-1.
Solution Gas Drive Dengan CO2 yang Diinjeksikan pada Tekanan 900 psi
(Dr. Ir. Septoranto S., Ir. Dedy K., M.Sc. Enhanced Oil Recovery.1999)
Jadi CO2 adalah gas yang masuk dalam larutan dengan pengembangan

minyak sebagai suatu kenaikan tekanan, minyak dapat keluar dari larutan dengan
penurunan tekanan.

B. Dynamic miscible drive


Sifat yang cukup penting dari CO2 adalah kemampuannya
mengekstraksikan atau menguapkan sebagian fraksi hidrokarbon dari minyak
reservoir. Terdapat skema kondisi miscible dan mendekati miscible dari proses
pendorongan gas CO2 pada temperatur 315 °F Menurut Holm dan Josendal pada
gambar tersebut sebagai hasil penyelidikannya dijelaskan sebagai berikut :
Dua gambar bagian atas, memperlihatkan tekanan pendorongan CO2
terhadap minyak pada tekanan 1800 dan 2200 psi. Pada saat diinjeksikan CO 2
selanjutnya akan mengekstrasi CO2, C5-C30 dan membentuk zona transisi CO2-
hidrokarbon. Luasnya zona transisi CO 2 sampai hidrokarbon merupakan fungsi
dari tekanan pendorongan. Zona transisi yang cukup panjang menandakan
pendorongan pada tekanan yang rendah. Konsentrasi hidrokarbon yang tinggi
akan terdapat pada zona transisi dengan tekanan pendorongan yang tinggi dan
“total residual saturation” yang lebih rendah akan tertinggal dalam media porous
setelah proses pendesakan.
“Total residual saturation” yang tidak turut terdesak pada saat
pendorongan CO2 terhadap minyak pada tekanan 1800 psi dan 135 °F yaitu
komponen C10+ berarti komponen C1 sampai C18 ikut terdesak oleh pendorongan
CO2 tersebut.
Sedangkan pada proses pendorongan CO 2 terhadap minyak pada 2200 psi
dan 135 °F, ternyata komponen hidrokarbon C22+ tidak ikut terdesak, hal ini
membuktikan bahwa tekanan pendorongan yang lebih tinggi maka lebih banyak
lagi komponen hidrokarbon yang turut terproduksi. Hal ini membuktikan bahwa
untuk mendapatkan recovery minyak yang tinggi, haruslah pada tekanan
pendorongan yang tinggi.
Gas CO2 telah tercampur dengan Oil In Place, dimana tekanan
pendorongan CO2 menyebabkan CO2 dan minyak tercampur secara sempurna.
Dalam hal ini tidak terjadi ekstraksi hidrokarbon dan dari analisa zona transisi
diperlihatkan terjadinya campuran CO2 dan Oil In Place dalam satu fasa.

4.2.1.6. Mekanisme Injeksi CO2


Mekanisme dasar injeksi CO2 adalah bercampurnya CO2 dengan minyak
dan membentuk fluida baru yang lebih mudah didesak dari pada minyak reservoir
awal. Proses pelaksanaannya sama seperti pada proses EOR lainnya, yaitu dengan
menginjeksikan sejumlah gas CO2 yang telah direncanakan melalui sumur-sumur
injeksi yang telah ada, kemudian minyak yang keluar diproduksikan melalui
sumur produksi Gambar 4.31. Ada empat jenis mekanisme pendesakan injeksi
CO2.
Dalam pelaksanaan ini, gas CO2 yang diinjeksikan, dapat dilakukan
dengan beberapa cara sebagai berikut :
 Injeksi CO2 secara kontinyu selama proyek berlangsung.
 Injeksi Carbonate Water (Injeksi slug CO2 diikuti air).
 Adanya slug CO2 oleh cairan yang diikuti dengan air (Injeksi slug CO2 dan
air secara bergantian).
 Adanya slug CO2 oleh cairan yang diikuti injeksi air dan CO2 (Injeksi CO2
dan air secara simultan).
Untuk gas yang dibawa dengan menginjeksikan terus menerus gas CO 2 ke
dalam reservoir maka diharapkan gas CO2 ini dapat melarut dalam minyak dan
mengurangi viskositasnya, dapat menaikkan densitas (sampai tahap tertentu, yang
kemudian diikuti dengan penurunan densitas), dapat mengembangkan volume
minyak dan merefraksi sebagian minyak, sehingga minyak akan lebih banyak
terdesak keluar dari media berpori.
Untuk cara yang kedua, yaitu dengan menginjeksikan carbonat water ke
dalam reservoir. Sebenarnya carbonat water adalah percampuran antara air
dengan gas CO2 (reaksi CO2 + H2O) sehingga membentuk air karbonat yang
digunakan sebagai injeksi dalam proyek CO2 flooding. Tujuan utama adalah untuk
terjadi percampuran yang lebih baik terhadap minyak sehingga akan mengurangi
viskositas dari minyak serta mengembangkan sebagian volume minyak sehingga
dengan demikian penyapuan akan lebih baik.
Pada cara yang ketiga, yaitu membentuk slug penghalang dari CO 2 yang
kemudian diikuti air sebagai fluida pendorong. Sama seperti cara pertama dan
kedua, pembentukan slug ini untuk lebih dapat mencampur gas CO2 kedalam
minyak, kemudian karena adanya air yang berfungsi sebagai pendorong maka
diharapkan efisiensi pendesakan akan lebih baik.
Untuk cara yang keempat sebenarnya sama dengan cara yang ketiga tetapi
disini lebih banyak fluida digunakan CO2 untuk lebih melarutkan minyak setelah
proses penyapuan terhadap pendesakan minyak, maka minyak yang telah tersapu
dan akan diproduksikan melalui sumur produksi.
Gambar 4.31.
Mekanisme Injeksi CO 2
(Stevens, S. Enhanced Oil Recovery Scoping Study. 1999)

Tingkat perolehan minyak yang paling tinggi adalah pada mekanisme


injeksi gas CO2 yang dilakukan secara kontinyu, sedangkan untuk injeksi CO 2 dan
air secara simultan itu baik untuk reservoir yang homogen.
4.2.2. Injeksi Gas Kering Pada Tekanan Tinggi
Pada tekanan tinggi, ketercampuran pendorong gas dapat dicapai dengan
gas hidrokarbon kering (lean hydrocarbon), fuel gas dan nitrogen. Perencanaan
pendorong gas yang menguapkan biasanya hanya memerlukan perhatian supaya
ketercampuran antara minyak dan gas injeksi tercapai dan terpelihara.
4.2.2.1 Sifat-sifat Gas Kering Pada Tekanan Tinggi
Sifat-sifat gas kering pada tekanan tinggi ini pada dasarnya dapat dicapai
dengan gas Hidrokarbon, flue gas, dan nitrogen. Dimana komponen-komponen
C2-C6 dalam gas akan meningkat karena gas ini akan maju terus untuk bertemu
dengan minyak sampai terjadi pencampuran.
Ketercampuran antara minyak dengan gas injeksi ini harus tercapai dan
terpelihara dengan perencanaan yang baik. Faktor-faktor yang menjadi sifat-sifat
untuk gas-gas Hidrokarbon, nitrogen, dan campuran N2-CO2 seperti faktor
kompressibilitas untuk gas-gas alam, N2, dan viscositas untuk gas Hidrokarbon,
N2.
4.2.2.2. Sumber Gas Injeksi
Beberapa sumber gas injeksi yang potensial untuk digunakan sebagai
injeksi gas kering pada tekanan tinggi antara lain :
 Gas separator di lapangan dan gas sisa dari pabrik (bahan bakar alami) dapat
menghasilkan gas hidrokarbon kering
 Pipa transmisi gas hidrokarbon kering
 Pembakaran gas sisa pabrik di dalam ketel dapat menghasilkan flue gas
 Gas buangan mesin dapat memasok kebutuhan gas dalam jumlah kecil
 Pengolahan nitrogen di tempat.
4.2.2.3. Kelebihan dan Kekurangan Injeksi Gas pada Tekanan Tinggi
Kelebihan dari injeksi gas pada tekanan tinggi antara lain :
 Efisiensi pendesakan mendekati 100%
 Lebih ekspansif daripada propana atau gas diperkaya
 Tidak ada masalah yang terjadi pada ukuran slug sehubungan dengan injeksi
yang terjadi secara kontinyu
 Gas dapat diinjeksikan kembali
Kekurangan dari injeksi gas pada tekanan tinggi antara lain :
 Proses ini terbatas, sebab reservoir minyak harus kaya akan komponen C2-C4
 Proses ini memerlukan tekanan injeksi yang besar
 Biaya yang diperlukan untuk gas alam mahal, gas-gas pengganti memerlukan
tekanan yang lebih besar.
4.2.2.4. Diagram Terner
Gambar 4.32. menggambarkan kondisi fasa selama injeksi gas kering
dengan tekanan tinggi. Komposisi awal dari minyak yang diinjeksikan adalah titik
O. Titik O dihubungkan dengan titik G, dimana titik G adalah komposisi dari gas
injeksi (gas kering).
Gambar 4.32.
Kondisi Fasa Selama Injeksi Gas Kering Dengan Tekanan Tinggi
(Dr. Ir. Septoratno S., Ir. Dedy K., M.Sc. Enhanced Oil Recovery.1999)

4.2.2.5. Mekanisme Injeksi Gas Kering Pada Tekanan Tinggi


Injeksi gas kering biasanya memerlukan daerah injeksi yang luas (± 1000
acre). Reservoir yang cocok untuk injeksi ini adalah karbonat dan sandstone
dengan tingkat stratifikasi yang tinggi dan kurang heterogen. Injeksi gas yang
menguapkan berbeda dengan injeksi gas yang mengembun maupun dengan
injeksi tercampur pada kontak pertama (first contact miscible flood).
Pada injeksi gas yang menguapkan, gas produksi dapat ditekan sampai
tekanan tercampur dan diinjeksikan kembali untuk mempertahankan pendesakan
tercampur. Mobility ratio pada injeksi gas yang menguapkan secara keseluruhan
rendah.
Pada dua metode terakhir, sejumlah kecil dinding pelarut tersebut
dipertahankan untuk pendesakan yang efektif. Injeksi yang menguapkan bukanlah
proses pendesakan fluida.
Perbedaan penting lainnya antara ketiga metode tersebut adalah bahwa
pada injeksi gas yang menguapkan, gas produksi dapat ditekan sampai tekanan
tercampur dan diinjeksikan kembali untuk mempertahankan pendesakan
tercampur. Dalam injeksi gas yang mengembun dan injeksi tercampur pada
kontak pertama, produksi pelarut menurunkan penyapuan tercampur.
Gas Hidrokarbon murni banyak yang digunakan karena pada saat ini
murah dan tersedia dalam jumlah yang cukup. Mobility ratio pada injeksi gas
yang menguapkan secara keseluruhan lebih rendah dibandingkan dengan injeksi
gas yang mengembun atau injeksi tercampur pada kontak pertama.
Banyak injeksi yang menguapkan dilakukan pada reservoir tipis atau yang
memiliki tebal 10 ft. Penyapuan vertikal dapat diperbaiki melalui penyebaran
melintang (transverse dispersion) dengan mempertimbangkan volume yang besar
dari gas terlarut yang diinjeksikan.
Tekanan tercampur dengan gas alam, gas buangan, atau nitrogen biasanya
cukup tinggi sehingga membatasi pemakaian metode daya dorong gas yang
menguapkan pada reservoir dengan kedalaman kira-kira 5000 ft atau lebih.

Gambar 4.33.
Tahapan pada Front Pendesak Tercampur di Dalam Reservoir
(Latil M., Bardon C., Burger J., Sourieau P. Enhanced Oil Recovery.Texas 1980)
4.2.2.6. Perkiraan Proses Injeksi
Injeksi gas kering biasanya memerlukan daerah injeksi yang luas (± 1000
acre). Reservoir yang cocok untuk injeksi ini adalah karbonat dan sandstone
dengan tingkat stratifikasi yang tinggi dan kurang heterogen. Injeksi gas yang
menguapkan berbeda dengan injeksi gas yang mengembun maupun dengan
injeksi tercampur pada kontak pertama. Pada dua metode terakhir, sejumlah kecil
dinding pelarut didesak oleh daya dorong gas dan keterpaduan pelarut tersebut
dipertahankan untuk pendesakan yang efektif. Injeksi gas yang menguapkan
bukanlah proses pendesakan dinding fluida.
Perbedaan penting lainya antara ketiga metode tersebut adalah bahwa pada
injeksi gas yang menguapkan, gas produksi dapat ditekan sampai tekanan
tercampur dan diinjeksikan kembali untuk mempertahankan pendesakan
tercampur. Dalam injeksi gas yang mengembun dan injeksi gas tercampur pada
kontak pertama, produksi pelarut menurunkan penyapuan tercampur.
Gas hidrokarbon murni banyak digunakan karena pada saat ini murah dan
tersedia dalama jumlah yang cukup. Mobility rasio pada injeksi gas yang
menguapkan secara keseluruhan lebih rendah dibandingkan dengan injeksi gas
mengembun atau injeksi tercampur pada kontak pertama.
4.2.3. Injeksi Gas yang Diperkaya
Injeksi gas diperkaya (enrich gas drive) adalah suatu usaha peningkatan
recovery minyak sisa dalam pori-pori batuan reservoir, dengan menginjeksikan
gas alam kering (relatif lebih banyak methana) yang telah diperkaya oleh
komponen intermediate (propana, butana, dan lain-lain). Tipe pendesakan ini
disebut juga “condensing gas drive”. Injeksi gas yang diperkaya dapat
dipergunakan baik untuk reservoir jenuh maupun untuk reservoir belum jenuh
dengan berat jenis lebih besar dari 20 °API dan tekanan pendesakan lebih besar
dari 1000 psia.
Apabila tekanan injeksi lebih rendah dari 1000 Psia, maka gasnya harus
lebih diperkaya. Injeksi gas diperkaya ini lebih rumit mekanismenya
dibandingkan dengan injeksi gas kering tekanan tinggi. Disini harus ada
persediaan gas yang cukup selama proses injeksi, dan sementara pengkayaan gas
cukup mahal biayanya. Oleh sebab itu, proses injeksi ini tidak dapat diterapkan
pada semua reservoir.
4.2.3.1. Sifat-Sifat Gas yang Diperkaya
Ketercampuran antara minyak reservoir dengan gas injeksi dalam proses
pendorong gas yang mengembun dicapai dengan perpindahan rnassa di tempat
(in-situ), hidrokarbon-berat-molekul-menengah (intermediete-molecular-weight-
hydrocarbons), seperti etana, propana, dan butana dari gas injeksi yang
mengandung material-material tersebut ke dalam minyak pada front injeksi.
Sifat-sifat gas yang diperkaya ini dapat diketahui dari gas-gas yang
termasuk dalam gas diperkaya, yaitu gas alam kering (relatif lebih banyak
methana) yang telah diperkaya oleh komponen intermediate (propana, butana, dan
lain-lain).
Untuk komposisi gas yang sesuai, minyak dapat menjadi kaya dengan
material-material tersebut yang menyebabkan ketercampuran antara gas injeksi
dan minyak diperkaya. Gas injeksi yang mengandung hidrokarbon-berat-molekul-
menengah dalam konsentrasi yang relatif tinggi disebut gas diperkaya.
Tekanan dan konsentrasi gas injeksi yang dipersyaratkan untuk
ketercampuran pendorong gas yang mengembun tergantung pada :
 Komposisi hidrokarbon-berat-molekul-menengah yang dikandung dalam
gas diperkaya.
 Temperatur reservoir
4.2.3.2. Sumber Gas yang Diperkaya
Gas yang diperkaya pada umumnya selalu di blended dengan perluasan
lapangan separator gas atau sisa gas dari lapangan minyak gas dengan berat
hidrokarbon molekul menengah. Separator di lapangan dapat diatur untuk
menghasilkan gas separator dengan komposisi yang cukup untuk mencapai
percampuran. Gas alam yang sesuai untuk injeksi harus diperkaya dengan
hidrokarbon dengan molekul menengah untuk mencapai pendesakan tercampur
tekanan reservoir yang diharapkan.
Lapangan separator gas dan gas sisa dari lapangan minyak gas juga
sumber yang potensial untuk mendorong gas.
4.2.3.3. Keuntungan dan Kerugian Injeksi Gas yang Diperkaya
Keuntungan penggunaan injeksi gas yang diperkaya antara lain :
 Sangat baik untuk seluruh minyak sisa
 Percampuran dapat dilakukan kembali jika terjadi kehilangan di reservoir
 Ukuran slug yang besar memperkecil problem-problem yang akan terjadi
dalam perencanaan slug
Sedangkan kekurangan dari penggunaan injeksi gas yang diperkaya :
 Gravity Override terjadi formasi yang tipis
 Harga gas yang mahal
 Penjarian viskositas mempengaruhi disipasi slug

4.2.3.4. Diagram Terner


Tipe variasi pendesakan tercampur secara thermodinamik, dapat lebih
cepat diuraikan dengan menggunakan pengenalan grafis komposisi campuran
hidrokarbon, dengan kombinasi tiga komponen yang sama sifat
thermodinamiknya. Diagram seperti ini disebut dengan Diagram Terner.
Dengan menggunakan diagram Terner, gambaran visual dari sifat fasa
dapat dilihat. Sistim ini terdiri dari tiga komponen yaitu :
a. Komponen ringan, terutama methane (C1) dan mungkin N2 dan lain-lain
b. Komponen intermediate, yaitu semua hidrokarbon dari ethane sampai
hexane (C2-C6) dan kemungkinan CO2, H2S.
c. Komponen berat, contohnya C7 dan hidrokarbon lebih berat (C7+).
Untuk injeksi gas yang diperkaya, gas injeksi adalah relatif banyak C 2-C6
dan digambarkan sebagai titik G pada Diagram Terner sedang minyak yang
didesak digambarkan sebagai titik O Gambar 4.34.
Pada gambar tersebut terlihat bahwa zona tercampur berkembang dengan
transfer komponen intermediate dari gas terhadap minyak. Pencampuran dicapai
pada tekanan dan temperatur operasi, dengan kompisisi minyak O dan gas injeksi
G saling berhadapan pada sisi garis singgung titik kritis.
Gambar 4.34.
Proses Injeksi Gas Yang Diperkaya Pada Diagram Terner
(Dr. Ir. Septoranto S., Ir. Dedy K., M.Sc. Enhanced Oil Recovery.1999)

Pada diagram ini kemudian ditarik garis lurus antara titik G dan titik O
yang berarti terjadi proses injeksi, sedangkan Gambar 4.35. menggambarkan apa
yang terjadi di reservoir selama pendesakan.

Gambar 4.35.
Pendesakan Gas Dalam Reservoir
(Dr. Ir. Septoranto S., Ir. Dedy K., M.Sc. Enhanced Oil Recovery.1999)
Keterangan Gambar 4.35.
I = zone minyak yang mula-mula didesak
II = gas yang terurai terdiri dari komponen intermediate dan belum terlarut
III = oil bank yang mobile
Bila injeksi yang diperkaya dimulai, proses pertama adalah tipe non-
miscible (minyak O kontak dengan gas G seperti keadaan 1). Pendesakan
selanjutnya dapat dilihat bahwa minyak yang telah diperkaya meninggalkan zona
kontak (minyak dibelakang front maju lebih banyak hingga mencapai miscible)
dengan gas injeksi, dan selanjutnya didorong ke depan oleh gas untuk bercampur
dengan zona minyak di depannya. Demikian langsung terus hingga keseluruhan
komposisi minyak tercampur dengan gas yang diinjeksikan.
Untuk injeksi gas yang diperkaya, parameter operasi adalah tekanan dan
komposisi injeksi gas (yang diperkaya dengan propana dan butana seperti yang
ditunjukkan oleh titik L pada Gambar 4.36.

Pada Diagram Terner (Gambar 4.36) yang digambarkan pada temperatur


reservoir, pencampuran hanya dapat dicapai bila gas diperkaya Gr dan minyak O
(garis GrO) dalam komposisi tetap, merupakan garis singgung dari kurva titik
gelembung. Ini hanya dapat dicapai untuk tekanan yang sama atau lebih besar dari
pada tekanan percampuran Pm, dimana garis singgung pada titik kritis ini
melewati titik Gr. Jika gas terdiri dari campuran G dan L, komposisi pertama titik
kritis campuran Cm pada gas dan minyak adalah bercampur pada tekanan P.

4.2.3.5. Mekanisme Injeksi Gas yang Diperkaya


Pencampuran Thermodinamika
Gas yang dipergunakan untuk mendesak minyak hampir selalu terdiri dari
campuran hidrokarbon (perkembangan akhir-akhir ini dipergunakan CO 2 dan gas
inert lainnya).
Komponen pembentukan gas dan minyak biasanya terdiri dari hidrokarbon
ringan (methane), hidrokarbon intermediate (ethane sampai heksane) dan
hidrokarbon berat (hepthane dan diatasnya atau C7) yang berbeda proporsinya.
Dengan perkataan lain, bahwa kita bisa melihat variasi macam-macam
fluida reservoir yang rangenya “overlapping” terhadap komposisi gas dan minyak.
Untuk contoh, retrogade gas kondensat dalam “cosdensible” dan minyak ringan,
ternyata punya komposisi yang sama.
Selama injeksi gas ke dalam reservoir minyak, sepanjang fluida reservoir
tidak berbeda secara keseluruhan komposisinya, maka perlahan-lahan akan terjadi
pencampuran antara dua fluida tersebut sehingga komponen akan menjadi lebih
serupa. Kemudian fasa gas dan minyak hanya sebentar dipisahkan oleh bidang
antar muka dan selanjutnya terjadi pencampuran.
Di bawah ini diberikan beberapa parameter yang sangat penting untuk
menentukan kelarutan gas dalam minyak :
1. Pengaruh Tekanan
Henry meramalkan bahwa pada suhu tetap kelarutan gas dalam zat cair
berbanding lurus dengan tekanan. Kelarutan gas dalam minyak biasanya tidak
memperlihatkan hubungan linier dengan tekanan seperti yang dinyatakan dalam
hukum Henry, walaupun demikian kelarutan naik sampai tercapai tekanan jenuh.
Pi menunjukkan tekanan reservoir mula-mula kelarutan gas. Dengan turunnya
tekanan, kelarutan gas menurun dan gas-gas yang semula larut dalam minyak
membebaskan diri dari minyak mentah pada tekanan yang lebih rendah.
Bila pada suhu dan tekanan reservoir mula-mula (untuk minyak mentah
belum jenuh), maka sebelum gas-gas dapat keluar dari larutannya perlu tekanan
reservoir itu turun dahulu sampai tekanan gelembung atau tekanan jenuhnya.
2. Pengaruh Suhu
Kelarutan gas dalam minyak berkurang dengan naiknya suhu.
3. Pengaruh Komposisi Gas
Kelarutan gas dalam minyak berkurang dengan konsentrasi penyusun
dengan berat molekul yang rendah dalam gas itu. Karena berat jenis gas
ditentukan oleh berat molekul tiap penyusun gas, maka harus ada hubungan antara
berat jenis gas dengan kelarutan. Pada suhu dan tekanan tertentu kelarutan gas
dalam minyak berkurang dengan berkurangnya berat jenis gas.

4. Pengaruh Komposisi Minyak


Kelarutan naik dengan menurunnya berat jenis minyak. Berat jenis zatcair
yang rendah menunjukkan konsentrasi zat cair hidrokarbon dengan berat molekul
rendah. Seperti diketahui bahwa berat jenis turun dengan naiknya °API. Oleh
sebab itu, pengaruh komposisi minyak terhadap kelarutan gas dalam minyak akan
naik dengan naiknya berat jenis API minyak.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kelarutan gas terhadap
minyak adalah baik dengan kenaikkan tekanan, penurunan temperatur, komposisi
gas (fluida pendesak) kaya dalam komponen lebih berat, dan naiknya derajat API
komposisi minyak. Parameter-parameter ini digunakan sebagai dasar konsep
dalam injeksi gas yang diperkaya.
Di lapangan operasi dilakukan dengan menginjeksikan gas yang diperkaya
setelah melalui tangki pencampuran. Dalam pencampuran ini perlu diperhatikan
bahwa gas yang ditambahkan (C2-C6) jangan sampai berlebihan karena gas dengan
komponen menengah sangat mahal harganya, juga sebaliknya jangan sampai
kurang karena proses yang terjadi tidak akan efektif. Setelah itu, oleh pompa
dialirkan ke kompresor untuk diinjeksikan langsung melalui tubing ke dalam
sumur injeksi seperti yang terlihat pada Gambar 4.37.

Gambar 4.37.
Operasi Pelaksanaan Injeksi Gas Yang Diperkaya
(Dr. Ir. Septoranto S., Ir. Dedy K., M.Sc. Enhanced Oil Recovery.1999)

4.2.4. Injeksi Gas Tidak Reaktif (Gas Inert/N2)


Dalam pembicaraan disini, yang dimaksud dengan gas yang tidak reaktif
adalah gas nitrogen (N2).
4.2.4.1. Sifat-Sifat Gas Insert (N2)
Gas alam telah lama diinjeksikan ke dalam reservoir dengan hasil yang
memuaskan di seluruh dunia. Pada kebanyakan reservoir injeksi gas alam dapat
mempertahankan tekanan. Akan tetapi keterbatasan survei dan biaya yang
semakin meningkat membuat perlunya membuat suatu gas alternatif. Gas yang
tidak reaktif (inert gas) seperti N2 murni atau campuran yang didominasi N2 dapat
dijadikan alternatif pengganti gas alam.
Hasil dari beberapa percobaan mengindikasikan bahwa N2 tidak cocok
sebagai bahan pendesak tercampur (miscible displacement agent), sebab
memerlukan tekanan yang tinggi untuk dapat bercampur. Akan tetapi N2 dan
minyak dapat bercampur pada suatu kondisi tertentu melalui proses penggandaan
kontak yang dapat dijelaskan pada Diagram Terner.
4.2.4.2. Sumber Gas N2
Sebagian besar gas injeksi diperoleh dari lapangan minyak-gas terdekat.
Gas-gas dari minyak dan lapangan-lapangan gas selalu mengandung hidrokarbon-
hidrokarbon yang cukup dan dapat dicairkan sampai batas lapangan untuk
perolehanya. Pada lapangan-lapangan ini, hidrokarbon dapat dicairkan dari
lapangan gas yang tidak baik dalam suatu penyerap dengan minyak gas sebagai
penghisap. Minyak ini kemudian dikeluarkan unsur propana, butana dan unsur
pokok minyak-gas alam yang pada gilirannya dipisahkan dengan destilasi fraksi di
dalam menara debutanizer dan menara depropanizer yang merupakan material-
material yang sesuai untuk injeksi gas inert.
4.2.4.3. Kriteria Pemakaian, Keuntungan, dan Kerugian
Sebagai tambahan pada pendesakan tercampur ini, faktor-faktor beriikut
harus dipertimbangkan :
1. Pencegahan terhadap penurunan tekanan reservoir yang dapat menyebabkan
hilangnya fluida akibat kondensasi yang buruk.
2. Permeabilitas reservoir yang mungkin terlalu rendah untuk metode EOR lain
yang menggunakan cairan.
3. Pencegahan terhadap perpindahan fluida ke dalam tudung gas awal disertai
hilangnya minyak mentah.
4. Penggantian gas alam pada tudung gas dan zone minyak oleh gas tidak reaktif
yang akan tetap berada di reservoir.
5. Peningkatan pengurasan dengan menggunakan gaya berat N2 merupakan gas
ringan dan akan berada di tudung gas, sementara CO2 pada tekanan tinggi
mungkin lebih berat dan pada fluida tudung gas sehingga ada kecenderungan
untuk turun.
6. Berat jenis minyak yang cocok adalah 35 °API atau lebih.
7. Kedalaman reservoir harus cukup besar untuk memastikan tekanan
ketercampuran dapat dicapai tanpa adanya perekahan.
8. Keseragaman reservoir dan perekahan dapat mempengaruhi keberhasilan
metode ini.
Keuntungan dari penggunaan metode injeksi gas inert ini antara lain :
1. Jika tudung gas ada, injeksi gas ini akan mencegah terjadinya perembesan
minyak ke dalam zona tudung gas. Gas inert ini akan lebih suka tinggal
sebagai residu pada saat abandonment dari pada gas alam yang lebih laku itu.
2. Injeksi gas akan menghasilkan perolehan lebih banyak jika dibandingkan
dengan pendesakan air, pada reservoir dengan permeabilitas yang kecil.
3. Realisasi penyediaan gas alam kemungkinan tidak akan stabil karena harga
dan persediaan gas alam di masa akan datang akan dikontrol oleh pemerintah.
Peraturan seperti ini mungkin membatasi atau melarang injeksi dengan gas
alam.
4. Hasil pembakaran gas alam akan diperoleh gas hasil pembakaran atau gas
inert sebanyak 5 sampai 10 kali volume gas alam yang dibakar.
Sedangkan untuk kekurangan penggunaan injeksi gas inert ini antara lain
korosi. Korosi mungkin merupakan kerugian yang sangat penting dalam operasi
yang memakai boiler dan atau gas sisa pembakaran untuk pendesakan minyak
secara tercampur. Karena uap air dan CO2 dan nitrous oxide ada di dalam gas ini,
di mana begitu gas mengalami pendinginan segera terbentuk nitric acids dan weak
carbonic serta uap air terkondensasi.
Adanya breakthrough (tembus gas) dari gas nitrogen yang diinjeksikan
dari sumur-sumur merupakan masalah yang serius dan juga masalah dalam hal
pembiayaan. Hal ini disebabkan dengan terkandungnya inert gas pada gas alam
yang diproduksikan maka nilai kalori panas dari gas tersebut menurun, sehingga
menimbulkan masalah serius jika gas ini akan dijual atau dipakai sebagai bahan
bakar di lapangan. Oleh karena hal tersebut, semua kerugian dan biaya harus
dipertimbangkan dengan sangat hati-hati untuk dibandingkan dengan penambahan
produksi atau keuntungan yang akan diperoleh atau diharapkan.
4.2.4.4. Diagram Terner
Pada diagram Terner diterangkan bahwa percampuran antara N2 dan
minyak mentah terjadi melalui proses kontak yang berulang-ulang (penggandaan
kontak) seperti yang terlihat pada Gambar 4.38.
Masing-masing pojok segitiga mewakili N2 100%, C7+ 100% dan C1-C6
100%. Titik tengah pada dasar segitiga (titik A) adalah N 2 murni yang bercampur
dengan C7+ 50%. Minyak tanah mencapai keseimbangan pada temperatur dan
tekanan tertentu. Titik kesetimbangan M1 berada dalam daerah dua fasa dan
memiliki unsur cairan L1 dan gas G1 lebih mudah bergerak untuk kontak dengan
minyak mentah dibandingkan dengan cairan. Gas G1 dan minyak mentah
mendekati kesetimbangan.
Pada saat yang sama titik kesetimbangan. dari campuran berada pada titik
M2 yang dihasilkan dari gas G2 dan cairan L2. gas G1 mengandung kira-kira 35%
hidrokarbon ringan, gas G2 40% dan gas G3 50%. Selama gas terus mengalir
dalam pasir minyak, proses ini berulang sampai bercampur dengan minyak (oil in
place). Pada titik kritis komposisi gas dan cairan adalah sama. Pendesakkan
minyak reservoir akhirnya mendekati 100% pada ujung depan zona miscible.

Gambar 4.38.
Diagram Terner Pencampuran Antara N2 dengan Crude Oil
(Dr. Ir. Septoratno S., Ir. Dedy K., M.Sc. Enhanced Oil Recovery.1999)

4.1.4.5. Mekanisme Injeksi Gas N2


Pada suatu lapangan dimana dilakukan injeksi gas inert selain fasilitas
produksi yang biasa ada seperti block station, maka diperlukan instalasi khusus
yang mengolah gas yang akan diinjeksikan, kemudian kompressor dan pompa
untuk menginjeksikan gas ke dalam reservoir. Instalasi untuk memisahkan gas
inert dari gas alam yang dihasilkan sumur produksi akan dipasang jika diperlukan.
Sarana produksi yang ada biasanya adalah separator tekanan tinggi,
separator tekanan rendah, heater, treater kompresor 200 Hp dan 225 Hp serta gas
plant. Sarana injeksi meliputi nitrogen plant yaitu, instalasi pengolahan yang
memproduksikan gas nitrogen. Gas N2 yang dihasilkan disalurkan ke kompresor
2000 Hp dengan tekanan 80 psig, kemudian oleh kompresor ini N 2 dikirimkan ke
kompresor 4500 Hp dengan tekanan 1200 psig, untuk diinjeksikan ke dalam
sumur injeksi dengan tekanan antara 8000 sampai 10000 psig.
Ada 3 macam yang dipakai untuk memproduksikan gas inert. Ketiga
proses ini adalah :
1. Proses Flue Gas
2. Proses Gas Engine Exhaust
3. Proses Cryogenic
Pada Proses Flue Gas, sebagai bahan dasar adalah gas alam yang
dimasukkan kedalam ketel uap (boiler), dari sini gas yang dihasilkan dialirkan
melalui Nox reaktor ntuk membatasi kadar Nox di dalam gas, kemudian gas
dimasukkan kedalam water scrubber untuk membersihkan uap air dari gas yang
selanjutnya gas dikirim ke alat pengering (dryers), maka dari sini dihasilkan flue
gas yang dengan kompressor siap diinjeksikan ke dalam sumur injeksi seperti
yang terlihat pada Gambar 4.39.
Pada proses Gas Engine Exhaust, gas yang dipakai adalah gas yang
dihasilkan dari gas sisa pembakaran mesin. Sebagai bahan dasar sama dengan
pada proses flue gas yaitu udara dan gas alam, yang dengan perbandingan tertentu
dipakai sebagai bahan bakar mesin. Gas hasil sisa pembakaran ini sebelum di
injeksikan ke dalam sumur juga dilewatkan melalui Nox,Water Separator, dan
Dryers. Setelah itu gas engine exhaust ini siap diinjeksikan dengan kompressor ke
dalam sumur injeksi.
Perbedaan proses pengolahan antara proses flue gas dan proses gas sisa
pembakaran mesin akan menentukan produksi gas inert, dimana untuk proses flue
gas untuk setiap train dipakai apabila produksi gas yang diinginkan tidak kurang
dari 30 MMscfd, sedangkan pada gas engine exhaust yang terbesar untuk setiap
train hanya mampu berproduksi sekitas 10 MMscfd.
Dan pada proses Cryogenic N2, yang dimaksud adalah untuk
memproduksikan nitrogen murni, yang dipisahkan dari udara. Prosesnya, udara
dengan kompresor disalurkan melalui separator air, kemudian dengan melalui
head exchange terlebih dahulu dimasukkan ke dalam kolom distilasi dimana gas
N2 yang sangat ringan ini akan dihasilkan dari puncak kolom distilasi, yang
selanjutnya siap diinjeksikan dengan kompresor nitrogen.
Setiap satu train cryogenig nitrogen mampu menghasilkan mulai kurang
dari 1MMscfd sampai lebih dari 100 MMscfd.
Pada proses pengolahan untuk nitrogen digunakan suatu instalasi. Instalasi
pengolahan untuk memisahkan nitrogen dari gas hasil produksi sumur produksi
disebut nitrogen removel plant. Alat ini tidak perlu ada jika gas hasil sumur
produksi yang mengandung nitrogen langsung dipakai untuk gas injeksi,
sedangkan jika gas tersebut akan dijual atau dipakai sendiri sebagai bahan bakar
maka nitrogen removel plant menjadi penting. Hal ini disebabkan karena dengan
hadirnya nitrogen di dalam gas alam akan menurunkan nilai kalor panas sampai
sekitar 950 Btu/cuft, dengan kandungan nitrogen antara 4 % sampai 5 %.
Prinsip kerja suatu nitrogen removel plant adalah juga proses cryogenic
nitrogen, yaitu dalam hal ini N2 dipisahkan dan gas alam pada temperatur rendah,
tetapi bukan dari udara

Gambar 4.40.
Mekanisme Injeksi Gas Inert (N2)
(Dr. Ir. Septoratno S., Ir. Dedy K., M.Sc. Enhanced Oil Recovery.1999)

4.3. Injeksi Kimia (Chemical Displacement)


Injeksi kimia adalah salah satu metode pengurasan minyak tahap lanjut
(EOR) dengan jalan menambahkan zat-zat kimia ke dalam air injeksi untuk
menaikkan perolehan minyak sehingga akan menaikan efisiensi penyapuan dan
atau untuk menurunkan saturasi minyak sisa yang tertinggal di reservoir.
Injeksi kimia memiliki prospek yang bagus pada reservoir-reservoir yang
telah sukses dilakukan injeksi air dengan kandungan minyak masih bernilai
ekonomis, akan tetapi pengembanganya masih lambat karena disebabkan oleh
biasa dan resiko tinggi serta teknologinya yang kompleks. Beberapa faktor yang
dirasakan penting dalam menentukan keberhasilan suatu injeksi kimia ialah :
- Kedalaman
- Tingkat heterogenitas reservoir
- Sifat-sifat petrofisik
- Kemiringan
- Mekanisme pendorong
- Cadangan minyak tersisa
- Saturasi minyak tersisa
- Viskositas minyak tersisa.
Ada tiga tipe umum yang termasuk dalam injeksi kimia, yaitu injeksi
polimer, injeksi surfaktan (zat aktif permukaan) dan injeksi alkalin (kaustik)
4.3.1. Injeksi Alkalin
Injeksi alkalin atau kaustik merupakan suatu proses dimana pH air injeksi
dikontrol pada kisaran harga 12-13 untuk memperbaiki perolehan minyak.
Beberapa sifat batuan dapat mempengaruhi terhadap injeksi alkalin. Ion
divalen dalam air di reservoir, jika jumlahnya cukup banyak dapat mendesak slug
alkalin karena mengendapnya hidroksida-hidroksida yang tidak dapat larut.
Gypsum dan anhydrit jika jumlahnya melebihi dibandingkan dengan jumlahnya
yang ada didalam tracer akan menyebabkan mengendapnya Ca(OH) 2 dan
membuat slug NaOH menjadi tidak efektif. Clay dengan kapasitas pertukaran ion
yang tinggi dapat menghasilkan slug NaOH dengan menukar hidrogen dari
sodium. Limestone dan dolomit bersifat tidak reaktif dan reaksi dengan komponen
silika di dalam batu pasir sangat lambat dan tidak lengkap, sedangkan reseistivitas
alkalin dengan batuan reservoir dapat ditentukan di laboratorium.
Dari pengalaman di lapangan, penggunaan Cosurfaktan ini, ternyata dapat
meningkatkan recovery minyak sampai 20% Hal ini disebabkan karena selain ikut
mendesak, surfaktan juga turut melarutkan minyak.
Zat tambahan lain yang sering dipakai adalah larutan elektrolit NaCl yang
digunakan sebagai preflush, untuk menggerakkan air formasi yang tidak cocok
dengan komposisi slug surfaktan.
Injeksi alkaline sebagai salah satu alternatif injeksi kimia, mempunyai
pengaruh dalam peningkatan recovery yang dapat dibandingkan dengan injeksi
kimia lain seperti yang terlihat pada Gambar 4.41.
Pada injeksi alkaline, banyak sekali kemungkinan bahan yang dapat
dipakai, pemilihan bahan dilakukan berdasarkan pH tertinggi, sebab pH yang
tinggi akan mengakibatkan penurunan tegangan antar muka minyak. Bahan kimia
yang menghasilkan pH tinggi pada konsentrasi yang rendah adalah NaOH. Hasil
pengamatan laboratorium menunjukkan bahwa kondisi optimum pada injeksi
alkaline dicapai dengan konsentrasi NaOH 0,1 % berat dan ukuran slugnya sekitar
15% volume pori, selain itu bahan kimia injeksi ini paling murah

Gambar 4.41.
Recovery Minyak dari Berbagai Pendesakan Kimia
(Green W. Don. and Willhite Paul G. Enhanced Oil Recovery. 2003)

Kelebihan injeksi alkaline dalam menutupi kebutuhan injeksi lainnya sehubungan


dengan permasalahan teknis, adalah karena injeksi alkaline baik pada kondisi :
 Gravity dari menengah sampai tinggi (13 - 35°API).
 Viskositas tinggi (sampai 200 cp).
 Salinitas cukup tinggi (sampai 20000 ppm).
Gambar 4.42.
Perbandingan pH Secara Umum yang Digunakan Pada Injeksi Alkaline
(Clark, N.J., Fundamental of Reservoir Handbook. 1969)

4.3.1.1. Bahan Kimia Injeksi Alkaline


Bahan kimia yang umumnya banyak dipakai adalah sodium hidroksida.
Sodium orthosilikat, ammonium hidroksida, pottassium hidroksida, trisodium
phospat, sodium karbonat, sodium silikat dan poly ethylenimine, juga termasuk
zat organik yang dianjurkan untuk dipakai. Harga dari bahan-bahan kimia tersebut
merupakan pertimbangan yang penting dimana NaOH dan sodium orthisilikat
tidak begitu mahal dan lebih efektif dalam menaikkan perolehan minyak
tambahan.
Dalam injeksi alkaline terdapat beberapa mekanisme, yaitu penurunan
tegangan antar muka, emulsifikasi, perubahan kebasahan dan penghancuran rigid
interfacial film, dimana semua itu dapat menyokong terhadap kenaikan recovery
minyak.
Akibat dari mekanisme diatas secara makroskopis adalah perbaikan areal
dan volumetrik sweep efisiency, yaitu dengan perubahan mobility ratio atau
perubahan permeabilitas minyak-air. Percobaan injeksi alkaline di laboratorium
menunjukkan perbaikan penyapuan minyak.
Sedangkan secara mikroskopis adalah merubah minyak yang tak dapat
bergerak (immobile) dalam media berpori menjadi dapat bergerak (mobilized),
yaitu dengan emulsifikasi dan penurunan tegangan antar permukaan. Dalam
aplikasi injeksi ini di lapangan, disarankan untuk melakukan pilot test terlebih
dahulu, yaitu sebagai kelanjutan dari evaluasi laboratorium.
4.3.1.2. Parameter yang Mempengaruhi dalam Injeksi Alkalin
Beberapa parameter yang banyak mempengaruhi dalam proses injeksi
alkalin antara lain adalah konsentrasi NaOH, karakteristik reservoir, luas
permukaan serta komposisi fluida reservoir dan air injeksi.
A. Konsentrasi NaOH
Reisberg dan Doscher mengamati tegangan antar muka antara air-minyak
pada minyak California dan didapatkan bahwa pada range pH tertentu tegangan
antar muka akan minimum. Dengan pengamatan yang sama pada minyak Tia
Juana, De Ferrer mengemukakan bahwa tegangan antar muka akan minimum
pada harga konsentrasi kritis tertentu. Dari kedua hal tersebut dapat disimpulkan
bahwa tegangan antar muka akan minimum pada range pH dan konsentrasi NaOH
tertentu.
Pentingnya konsentrasi yang tepat pada injeksi alkalin ini dikemukakan
oleh Subkow, dimana agar didapat emulsi minyak dalam air pada proses
emulsifikasi di formasi, konsentrasi NaOH harus cukup, karena konsentrasi
NaOH yang berlebihan akan menyebabkan emulsifikasi yang sebaliknya (air dan
minyak) atau tidak terjadi emulsi sama sekali.
B. Karakteristik Reservoir
Pada injeksi alkalin perolehan minyak tergantung kepada interaksi antara
bahan kimia yang ditambahkan dengan fluida reservoir. Bahan kimia ini penting
untuk bertahan cukup lama supaya dapat kontak sebanyak-banyaknya dengan
fluida reservoir. Hal-hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan pengaruh
karakteristik reservoir ini adalah :
1. Struktur dan Geologi Reservoir
Dalam kaitannya dengan efisiensi pendesakan injeksi alkalin, hal-hal yang
perlu dihindari adalah :
 Reservoir dengan sesar dan rekahan yang memungkinkan terjadinya
distribusi minyak yang tidak merata.
 Ketebalan total reservoir yang jauh lebih besar dari ketebalan minyak.
 Luas zona minyak yang kecil atau zona minyak yang tipis di atas aquifer
yang tebal.
 Reservoir dengan tingkat perlapisan yang tinggi.
 Heterogenitas batuan yang tinggi dan perkembangan porositas serta
permeabilitas yang rendah.
2. Kedalaman dan Temperatur
Dari hasil pengukuran di laboratorium didapatkan bahwa dengan semakin
dalam dan semakin tinggi temperatur reservoir, maka konsumsi alkalinnya akan
semakin besar.
C. Luas Permukaan
Minyak yang tersisa setelah injeksi alkalin pada matrik oil-wet adalah
berbentuk film. Ketebalan film ini tergantung pada kualitas pendesakan
emulsinya, minyak yang tersisa akan lebih besar bila luas permukaan batuan
semakin besar. Dengan demikian injeksi alkalin akan tidak efektif pada batuan
yang mempunyai luas permukaan yang besar seperti batu lempung dan silt.
D. Komposisi Fluida Reservoir
Kandungan kimia pada fluida reservoir dan injeksi air hangat sangat
berpengaruh mekanisme dalam injeksi alkalin
Tabel IV-2.
Famili Hidrokarbon yang Penting Pada Mekanisme injeksi Alkalin
(Septoratno S., Dr. Ir. Diktat Kuliah Teknik Produksi Sekunder. Bandung: 1986)

1. Komposisi Minyak
Beberapa hasil pengamatan yang penting sehubungan dengan komposisi
minyak serta pengaruhnya terhadap mekanisme injeksi alkalin dapat dilihat pada
Tabel IV-2.
2. Komposisi Air Formasi dan Air Injeksi
Kadar padatan yang terlarut yaitu berupa senyawa garam atau berupa ion
bebas baik pada air formasi maupun pada injeksi air sama-sama mempengaruhi
terhadap mekanisme injeksi dan konsumsi alkalin. Reaksi antara NaOH dengan
ion kalsium dan magnesium akan membentuk sabun kalsium dan magnesium,
akan tetapi keduanya bukan zat aktif permukaan, sehingga akan mengurangi slug
NaOH dan tegangan antar muka akan naik dengan keberadaan kedua ion tersebut.
Hasil percobaan di laboratorium menyatakan bahwa kadar kalsium yang diijinkan
pada air injeksi adalah 70 ppm dan ion magnesium sampai 700 ppm, sedangkan
kadar kalsium yang diijinkan pada air formasi sampai 500 ppm.
Pada jumlah tertentu garam NaCl berguna untuk menjunjung mekanisme
dalam injeksi alkalin juga berguna untuk mengurangi konsumsi NaOH.
Kegaraman di reservoir diperlukan pada proses perubahan kebasahan, yaitu
membuat batuan reservoir cenderung menjadi oil-wet, sedangkan pada konsentrasi
yang lebih besar diperlukan untuk terjadinya emulsi air dalam minyak. Pengaruh
NaCl terhadap tegangan antarmuka, Jennings menyatakan bahwa dibawah 20000
ppm, adanya NaCl pada air injeksi bukan saja membuat tegangan antarmuka tetap
rendah akan tetpai juga dapat menurunkan keperluan akan konsentrasi NaOH.
4.3.1.3. Perencanaan Laboratorium
Perencanaan Laboratorium dalam injeksi alkaline atau kaustik perlu untuk melihat
lapangan-lapangan yang prospektif. Perencanaan Laboratorium perlu
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1. Bilangan Asam
Untuk kandidat yang bagus, bilangan asamnya kira-kira 0.5 mg
KOH/gram minyak mentah. Disamping itu sampel juga harus bebas dari pemecah
emulsi, inhibitor, atau bahan kimia lapangan minyak lainnya.
2. Penurunan tegangan antarmuka
Tegangan antarmuka antara minyak mentah dengan padatan kaustik harus
kurang dari 0.01 dyne/cm. Pengukuran dapat menggunakan spinning drop (pada
kondisi tekanan-temperatur ambient dengan dead oil) atau pendant drop
apparatus (pada kondisi tekanan-temperatur reservoir dengan live oil). Fluida
yang digunakan dalam pengukuran harus mewakili fluida reservoir dan air injeksi
yang akan dipakai.
3. Perubahan kebasahan
Jika reservoir basah minyak, NaOH dapat menjadikan basah air.
Imbibition test atau pengukuran sudut kontak dapat digunakan untuk mempelajari
kebasahan.
4. Pembentukan emulsi
Untuk mempelajari pembentukan emulsi dengan padatan NaOH,
percobaan yang sederhana adalah dengan mengocok padatan NaOH pada volume
dan konsentrasi yang sudah diketahui dengan minyak mentah pada tabung gelas.
Tipe emulsi yang terbentuk ditentukan dan viscositasnya diketahui.
5. Film kaku
Beberapa minyak mentah dapat membentuk film kaku pada bidang kontak
dengan air asin. Hal ini bisa dipelajari dengan menggunakan sudut kontak atau
tegangan antarmuka.
6. Reaksi antar batuan reservoir dengan mineral
Jenning dan Johnson (1974) merekomendasikan prosedur untuk
menentukan reaktifitas kaustik batuan reservoir sebagai berikut :
a. Membersihkan sekitar 600 gr yang telah dihaluskan dengan ekstraksi toluen
dan mengeringkannya.
b. Membentuk pasir yang kering dan bersih per berat (W) menjadi silinder
dengan panjang 18 in dan diameter 1.25 in. Menjenuhi pasir tersebut dengan
air destilasi dan menentukan PV-nya.
c. Setelah penjenuhan dengan air destilasi, maka dilakukan injeksi padatan
kaustik (NaOH) dengan konsentrasi C.
d. Melanjutkan injeksi kaustik sampai pH effluent dari kolom mendekati pH
padatan injeksi. Mengukur volume total padatan effluent yang terkumpul
pada titik ini.
e. Reaktivitas batuan kaustik (R), kemudian mengukur dengan menggunakan
persamaan :
R = 100 (V – PV) C/ W (4-54)
Keterangan :
R = meq NaOH yang dikonsumsi tiap 100 gram batuan
V = milimeter
PV = milimeter
C = meq NaOH/ml
W = gram batuan
Selama uji pendesakan diatas, data-data berikut harus didapat :
1. Permeabilitas
2. pH dan konsentrasi NaOH dalam air produksi
3. Pembentukan emulsi, sifat-sifat rheologi, dan stabilitasnya
4. Perolehan minyak sebagai fungsi dari PV yang diinjeksikan
4.3.1.4. Mekanisme Injeksi Alkaline
Meskipun injeksi alkalin adalah proses yang sederhana dan relatif tidak
mahal dalam pelaksanaannya, tetapi memiliki mekanisme pendesakan yang
kompleks. Beberapa mekanisme yang ada yaitu penurunan tegangan antarmuka,
emulsifikasi, perubahan kebasahan dan penghancuran rigid interfacial film.
Akibat dari mekanisme-mekanisme tersebut secara makroskopis adalah
adanya perbaikan areal dan volumetric sweep efficiency, yaitu dengan perubahan
mobilitas ratio atau perubahan permeabilitas minyak-air. Sedangkan secara
mikroskopis adalah merubah minyak yang tidak dapat bergerak (immobile) dalam
media berpori menjadi dapat bergerak (mobile), yaitu dengan emulsifikasi dan
penurunan tegangan permukaan.
A. Penurunan Tegangan Antarmuka
Taber membuat hubungan antara perubahan bilangan kapiler dengan
perubahan saturasi minyak. Bilangan kapiler didefinisikan dengan persamaan
sebagai berikut :
μV
Nc = (4-55)
σ
Pada injeksi air, harga bilangan kapiler sekitar 10-6. Untuk meningkatkan
perolehan minyak, maka harga ini harus dinaikkan menjadi lebih besar dari 10-4.
Bila viskositas dan kecepatan konstan, maka untuk menaikkan bilangan kapiler
dilakukan dengan menurunkan tegangan antarmuka sampai ribuan kali atau lebih.
Kebanyakan minyak mempunyai tegangan antar muka 25 dyne/cm, sedang
dengan injeksi alkalin dapat mencapai 0,001 dyne/cm.
Mekanisme ini berkaitan dengan bilangan asam, gravitasi dan viscositas.
Bilangan asam adalah sejumlah miligram Kalium hidroksida (KOH) yang
diperlukan untuk menetralisasikan satu gram minyak mentah (ph menjadi 7.0).
Untuk hasil yang baik setidaknya mempunyai bilangan asam 0,5 mg KOH/gr
minyak mentah atau lebih.
B. Emulsifikasi
Pada pH, konsentrasi NaOH dan salinitas yang optimum serta konsentrasi
asam pada minyak di reservoir uang mencukupi akan menyebabkan terjadinya
emulsifikasi di formasi. Hasil penelitian laboratorium menunjukkan bahwa
dengan menginjeksikan emulsi minyak dalam air (water in oil emulsion) hasilnya
akan lebih baik dibanding injeksi dengan air. Peningkatan perolehan minyak yang
sama dapat terjadi jika emulsi tersebut dapat dibangkitkan di formasi.
Ada dua sistem pengaliran emulsi, yaitu emulsifikasi entrainment
(emulsifikasi dan penderetan) serta emulsifikasi entrapment (emulsifikasi dan
penjebakan). Emulsifikasi entrainment yaitu bila emulsi yang terjadi akibat reaksi
NaOH dengan minyak di reservoir, kemudian emulsi tersebut masuk ke dalam air
injeksi dan mengalir bersamanya sebagai minyak-minyak yang halus. Alkalin
mempunyai sifat dapat mencegah minyak menempel pada permukaan pasir.
Kondisi tersebut diperlukan selama penderetan kontinyu terjadi untuk
mempertahankan tegangan antar muka yang rendah saat campuran bergerak
melewati reservoir.
Emulsifikasi entrapment yaitu bila emulsi tersebut selama proses pengalirannya
ada sebagaian yang terperangkap kembali sehingga sedikit menghambat
bergeraknya air injeksi, dam mobility air injeksi menjadi berkurang. Maka akan
memperbaiki efisiensi penyapuan vertikal dan horisontal. Keuntungan lain pada
emulsifikasi ini adalah sifat pergerakan front-nya :
1. Bersamaan dengan terjadinya perubahan kebasahan dari water-wet menjadi oil
wet, di dekat front bagian belakang yang mengandung sedikit emulsi akan
terbentuk film (lamella).
2. Terbentuknya lamella akan menghambat aliran injeksi pada pori-pori,
mengakibatkan gradien tekanan yang besar di belakang front.
3. Pada saat lamella melalui kerongkongan pori, ia akan pecah, menjadikan
gradien saturasi yang tajam di daerah front.
C. Perubahan Kebasahan
Tenaga kapiler cenderung untuk menahan minyak pada media berpori. Hal
ini dapat dikurangi, dihilangkan atau diubah dengan mekanisme perubahan
kebasahan. Pada injeksi alkalin ada dua kemungkinan terjadinya perubahan
kebasahan, yaitu perubahan kebasahan dari water-wet menjadi oil-wet dan
sebaliknya.
1. Perubahan kebasahan dari water-wet menjadi oil-wet
Mekanisme yang terjadi pada perubahan kebasahan dari water-wet menjadi oil-
wet, sebagai berikut :
a. Pada saat konsentrasi zat perubah kebasahan naik, batuan water-wet
berubah jadi oil-wet, akibatnya tenaga kapiler akan mendorong minyak
pada kerongkongan pori yang lebih sempit.
b. Pada saat yang bersamaan zat perubah itu akan menurunkan tegangan
antarmuka, akibatnya minyak akan pecah dan menjalar sepanjang
kerongkongan pori.
c. Bila zat perubah kebasahan tersebut turun, batuan mulai berubah lagi
menuju water-wet sehingga mengakibatkan minyak menjadi retak-retak
sepanjang kerongkongan pori.
d. Bila batuan tadi sudah menjadi water-wet kembali, maka minyak yang
retak-retak akan pecah dan lepas dari batuan, kemudian mengalir melalui
kerongkongan pori bersama air injeksi.
2. Perubahan kebasahan oil-wet menjadi water-wet
Banyak peneliti yang menyatakan bahwa kenaikan perolehan minyak pada
perubahan kebasahan adalah dari oil-wet menjadi water-wet. Hal penting pada
perubahan kebasahan ini adalah perubahan permeabilitas relatif minyak dan air
yang menyertainya, dimana hal ini akan membantu terhadap perbaikan mobilty
ratio penginjeksian atau akan menurunkan WOR, sehingga terjadi kenaikan
perolehan minyak.
D. Peleburan Rigic Interfacial Film.
Beberapa hidrokarbon mempunyai kecenderungan untuk membetuk rigid
interfacial film. Film ini akan hancur dan masuk ke dalam minyak, tetapi
prosesnya sangat lambat. Bila film ini masuk ke dalam ruang pori yang kecil,
maka ia akan melipat membentuk simpul-simpul yang mengakibatkan minyak
tidak dapat keluar dari media berpori. Dengan injeksi alkalin, padatan film akan
pecah atau larut terbawa gerakan minyak sisa.
4.3.2. Injeksi Polimer
Injeksi polimer pada dasarnya merupakan injeksi air yang disempurnakan.
Penambahan polimer ke dalam air injeksi dimaksudkan untuk memperbaiki sifat
fluida pendesak, dengan harapan perolehan minyaknya akan lebih besar. Injeksi
polimer dapat meningkatkan perolehan minyak yang cukup tinggi dibandingkan
dengan injeksi air konvensional. Akan tetapi mekanisme pendesakannya sangat
kompleks dan tidak dipahami seluruhnya.
Jika minyak reservoir lebih sukar bergerak dibandingkan dengan air
pendesak, maka air cenderung menerobos minyak, hal ini akan menyebabkan air
cepat terproduksi, sehingga effisiensi pendesakan dan recovery minyak rendah.
Pada kondisi reservoir seperti diatas, injeksi polimer dapat digunakan. Polymer
yang terlarut dalam air injeksi akan mengentalkan air, mengurangi mobilitas air
dan mencegah air menerobos minyak.
Dua hal yang perlu diperhatikan dalam injeksi polimer adalah
heterogenitas reservoir dan perbandingan mobilitas fluida reservoir.
4.3.2.1. Perbandingan Mobilitas
Meskipun tidak terdapat heterogenitas reservoir, effisiensi penyapuan
dapat menjadi rendah karena adanya perbandingan mobilitas yang tidak
menguntungkan. Mobilitas fluida dalam reservoir didefinisikan sebagai
permeabilitas media terhadap fluida dibagi dengan viscositas fluida.
Cara umum yang digunakan untuk menentukan perbandingan mobilitas
adalah menggunakan permeabilitas efektif air pada saturasi minyak sisa dan
permeabilitas efektif minyak pada saturasi air interstitial, yang dinyatakan :
Kw @ Sor
μw
M=
Ko @ Swi
μo
(4-56)
Polimer dapat memperbaiki perbandingan mobilitas, sehingga dapat
meningkatkan effisiensi penyapuan dan juga effisiensi pendesakan dalam
reservoir.
4.3.2.2. Karakteristik Polimer
Karakteristik polimer diantaranya terdiri dari kimiawi polimer, rheologi
dan ukuran polimer.
A. Kimiawi Polimer
Ada dua tipe dasar polimer yang saat ini banyak digunakan untuk EOR
yaitu polysacharide dan poliacrylamide. Jenis polysacharide yang digunakan

dalam EOR adalah xanthangum yang dihasilkan dari akuifitas bakteri


xanthomonas campetris. Molekul poliacrylamide terbentuk rantai panjang
molekul-molekul monomer acrylamide. Satuan dasar acrylamide memiliki rumus
dasar berikut :

Bila dikombinasi secara kimiawi untuk membentuk polymer, maka


strukturnya adalah :

Gambar 4.43.
Rumus Dasar Acrylamide
(Dr. Ir. Septoratno S., Ir. Dedy K., M.Sc. Enhanced Oil Recovery.1999)
Polyacrylamide relatip lebih tahan terhadap serangan bakteri, zat ini
efektif bila digunakan pada reservoir yang mempunyai salinitas 1%. Pada
reservoir dengan harga salinitas yang tinggi, polyacrylamide akan kehilangan
kemampuan untuk mengentalkan air. Polyacrylamide atau "biopolymer", dibuat
dari proses fermentasi dengan menggunakan bakteri. Salah satu bakteri yang
Gambar 4.44.
digunakan adalah Xanthomonas campestris atau biasa disebut "Xantan gum".
Rumus
Polysacharide lebihDasar tahanPolymer terhadapSecara shearKimiawidegradation dan salinitas
(Dr. Ir. Septoratno S., Ir. Dedy K., M.Sc. Enhanced Oil Recovery.1999)

dibandingkan dengan polyacrylamide. Oleh karena itu banyak digunakan pada


reservoir dengan salinitas sedang. Polysacharide yang telah terlarut ini akan
digunakan untuk mengontrol mobilitas (mobility control agent), maka polymer
tersebut harus dijaga dari serangan bakteri, yaitu dengan memakai biocedes dan
oxygen scavegers secara tepat. Kebanyakan bakteri aerobic yang menyerang
xantan adalah dari jenis pseudomand, dimana mikroba ini selain menurunkan
kualitas polymer juga memproduksi sel-sel dengan diameter 1 micron dan panjang
4 micron. Sel-sel ini lebih besar dari polymer dan dapat menyumbat formasi
(formation plugging) pada sumur injeksi.
Pada dasarnya injeksi polymer adalah merupakan injeksi air yang
disempurnakan, untuk memperbaiki sifat fluida pendesak dengan harapan
perolehan minyaknya akan lebih besar. Tetapi tidak semua kegagalan injeksi air
dapat ditanggulangi dengan injeksi polymer. Bila penyebabnya adalah
perbandingan mobilitas yang kurang menguntungkan den heterogenitas
batuannya, maka injeksi polymer akan dapat menanggulanginya.
Penggunaan polymer dapat mengurangi pengaruh yang kurang baik dari
variasi permeabilitas den fracture, sehingga dapat memperbaiki effisiensi
penyapuan vertikal (effisiensi invasi) maupun effisiensi penyapuan berpola.
Beberapa panduan yang digunakan untuk memilih reservoir yang akan dilakukan
injeksi polymer antara lain :
1. Perbandingan mobilitas antara 2 sampai 20 dan terdapat variasi distribusi
permeabilitas yang cukup besar.
2. Memiliki permeabilitas dan viscositas minyak yang cukup tinggi.
3. Temperatur reservoir kurang dari 250 – 300 °F.
4. Saturasi minyak bergerak harus cukup tinggi.
5. Reservoir dengan daya dorong air yang produksi air awalnya kecil atau tidak
ada sama sekali.
B. Rheologi
Larutan polimer yang terdiri atas molekul-molekul raksasa merupakan
fluida non Newtonion, sehingga kelakuan alirannya terlalu kompleks untuk
dinyatakan dalam satu parameter, yaitu viskositas. Rheologi larutan meliputi :
 Viscoelastisitas dan relaxation time
 Aliran laminer
 Mengalir dengan arus longitudinal
Dalam hubungannya dengan penurunan permeabililtas dikenal faktor
resistensi (R) yang mengukur pengurangan mobilitas. Harga R dipengaruhi oleh
konsentrasi polimer. Secara matematis R dinyatakan sebagai berikut :
λw k w / μw
R=
λp
= k p / μp
(4-57)

C. Ukuran Polimer
Ukuran polimer dapat ditentukan secara matematis atau melakukan
percobaan. Flory (1953) merumuskan untuk polimer non-ionik :
√ r−2=8(Wη)1/ 2 (4-58)
Sedangkan untuk polimer linier :
√ r−2=6 √ s−2 (4-59)
Keterangan:
W = berat molekul polimer
μ−μ s
η = viscositas minyak intrinsic = lim
c→ 0 cμ s
s = radius putaran molekul polimer
μ = viscositas larutan polimer
μs = viscositas pelarut
c = konsentrasi polimer
4.3.2.3. Perencanaan Laboratorium
Desain laboratoriun yang efektif dan terstruktur dapat membantu
suksesnya injeksi polymer di lapangan. Uji coba yang dilakukan untuk
menentukan parameter reservoir dan efektivitas polymer adalah sebagai berikut :
1. Mengukur porositas dan permeabilitas core terhadap nitrogen.
2. Menjenuhi core dengan air reservoir (connate water).
3. Injeksi dengan minyak mentah reservoir sampai saturasi air sisa tercapai.
4. Mengukur mobilitas terhadap minyak.
5. Injeksi dengan air reservoir sampai saturasi minyak sisa tercapai.
6. Mengukur mobilitas terhadap air.
7. Injeksi dengan larutan polymer yang akan diuji.
8. Injeksi dengan minyak mentah sampai saturasi air sisa tercapai.
9. Injeksi dengan air reservoir sampai saturasi minyak sisa tercapai.
10. Mengukur mobilitas terhadap air.
11. Injeksi dengan minyak mentah sampai saturasi air sisa tercapai.
12. Ukur mobilitas terhadap minyak.

Analisis Kelayakan
Analisis kelayakan pada dasarnya adalah pertimbangan ekonomis dengan
membandingkan harga perolehan minyak yang diharapkan akibat injeksi polymer
dengan biaya yang digunakan untuk melakukan injeksi polymer tersebut.
Teknik yang umum dipakai adalah dengan memperkirakan perolehan
minyak yang diharapkan melalui injeksi air yang kontinyu menggunakan salah
satu prosedur perhitungan yang sudah umum (Dykstra-Parsons, Johnson,
Buckley-Leverett, dan lain sebagainya). Penghitungan tersebut kemudian diulang
untuk injeksi polymer menggunakan modifikasi sifat-sifat aliran yang diharapkan.
Perbedaan perolehan minyak merupakan penambahan minyak karena injeksi
polymer.
4.3.2.4. Mekanisme Injeksi Polymer
Seperti halnya pada metode lainnya dalam proyek peningkatan perolehan
minyak, maka saat fluida diinjeksikan masuk ke dalam sumur dan kontak pertama
terjadi maka mekanisme mulai bekerja. Dengan adanya penambahan sejumlah
polimer ke dalam air, akan meningkatkan viskositas air sebagai fluida pendesak,
sehingga mobilitas air sendiri menjadi lebih kecil dari semula dengan demikian
mekanisme pendesakan menjadi lebih efektif.
Polimer ini berfungsi untuk meningkatkan efisiensi penyapuan dan invasi,
sehingga Sor yang terakumulasi dalam media pori yang lebih kecil akan dapat
lebih tersapu dan terdesak. Dalam usaha proyek polimer flooding ini

membutuhkan analisa dan kriteria yang tepat terhadap suatu reservoir, oleh karena
itu studi pendahuluan merupakan faktor yang penting.

Pelaksanaan operasi injeksi polimer di lapangan pada garis besarnya


dibagi menjadi dua, yaitu sistem pencampuran polimer dan sistem injeksi polimer.
A. Sistem Pencampuran Polimer
Pencampuran polimer umumnya dilakukan di dalam fasilitas pencampur
seperti ditunjukkan pada Gambar 4.46. Bagian utama dari peralatan ini adalah
pencampur (mixer) polimer kering, yang mengukur butiran dan serbuk polimer di

Gambar 4.45.
Mekanisme Injeksi Polimer
(Dr. Ir. Septoratno S., Ir. Dedy K., M.Sc. Enhanced Oil Recovery.1999)
dalam pengatur aliran air untuk memberikan dispersi yang seragam. Persiapan ini
menyebabkan polimer kontak dengan aliran air yang berputar (swirling stream)
didalam alat funnel-shaped. Jenis merk dagang perawatan tersebut itu adalah
GACO dan Dow mixer. Laju feed polimer untuk pencampuran diatur dengan
sebuah speed feed anger. Laju alir perlu diatur untuk memberikan kebutuhan
percampuran di dalam funnel. Air yang tersisa setelah tercapai konsentrasi
polimer yang diinginkan dimasukkan ke dalam pencampur sebagi aliran by pass
yang bercampur dengan dispersi polimer dibagian bawah alat pencampur (mixer).
Perlakuan terhadap polimer kering yang disimpan di dalam feed hopper
umumnya dilakukan dengan salah satu jarak sebagai berikut. Dalam skala operasi
kecil, karung-karung seberat 50 pounds polimer dimasukkan ke dalam feed hoper
atau ke dalam storage bin dan dialirkan ke feed hoper secara pneumatik (pompa
angin).

Karena laju larutan polimer yang berkonsentrasi tinggi begitu lambat,


dibutuhkan tangki-tangki pencampur yang relatif besar di bagian bawah. Tangki-
tangki ini biasanya di isi dengan nitrogen untuk mengeluarkan oksigen yang
berasal dari udara. Ini juga adalah tempat yang biasanya untuk memasukkan

Gambar 4.46.
pemakan oksigen (oxygen scavenger) atau biosida bila diperlukan. Polymer yang
telah tercampur dalam tangki diinjeksikan secara langsung dengan menggunakan
pompa jenis positive displacement. Jika dikhawatirkan akan terjadi penyumbatan
permukaan (face plugging) di sumur injeksi, well head cartridge filter bisa
digunakan untuk memastikan polimer yang telah diinjeksikan tidak terdapat
penggumpalan gel dari polimer dengan konsentrasi tinggi.
Persiapan larutan polimer dari polimer emulsi atau dari persediaan tidak
begitu kompleks. Hanya dibutuhkan pengukuran air dan penambahan zat-zat
kimia. Cairan polimer seringkali dapat disempurnakan dengan mixer statis atau
mixer in-line tanpa memakai tangki pencampur yang besar. Konsentrasi polimer
yang tinggi disimpan di dalam sebuah tangki dengan menggunakan pompa dengan
ukuran untuk mengontrol kecepatan polimer yang masuk ke dalam mixer.
B. Sistem Injeksi Polimer
Injeksi fluida ke dalam reservoir melalui beberapa sumur umumnya
dilakukan dengan memakai sistim manifold. Umumnya digunakan pompa positive
displacement untuk menginjeksikan fluida ke dalam reservoir, laju aliran
volumetris totoal dapat dikontrol untuk melihat program injeksi secara
keseluruhan. Tanpa alat pengontrol aliran pada masing-masing sumur, aliran
relatif dapat ditentukan dengan flow resistance (daya tahan aliran) dalam masing-
masing sumur injeksi. Untuk mengimbangi injeksi yang terkontrol, dibutuhkan
jenis kontrol aliran pada masing-masing sumur.
Dalam beberapa kasus, jika fluida yang diinjeksikan adalah air atau slug
tercampur (miscible slug), throttling valve sederhana dapat untuk mengatur aliran
fluida. Jika sejumlah sumur menerima fluida dari satu pompa dalam jumlah besar,
alat-alat pengontrol tersebut menjadi tidak stabil karena seluruh sistim saling
berhubungan. Perubahan sedikit saja dari alat throttling (katup penyumbat) pada
satu sumur menyebabkan perubahan aliran di semua sumur yang lain karena laju
alir total tetap konstan. Namun sistim ini tetap bekerja jika cukup monitoring
terhadap laju injeksi pada masing-masing sumur.
Injeksi polimer polycrylamide memerlukan larutan khusus dalam masalah
pengontrolan laju injeksi. Polimer-polimer tersebut rentan terhadap penurunan
shear pada saat melewati throttling valve. Cara yang umumya digunakan untuk
mengontrol rate (kecepatan) adalah penempatan tubing panjang dengan diameter
relatif kecil. Karena polimer-polimer sedikit sensitif terhadap viscous shear
daripada viscoelastic shear di dalam pipa orifice atau peralatan yang serupa,
tubing-tubing tersebut menyempurnakan sasaran (tujuan) kontrol aliran tanpa
menurunkan kualitas polimer.
Diameter tubing dihitung berdasarkan shear rate untuk laju alir yang
diinginkan, sedangkan panjang coil (tubing) dihitung berdasarkan tekanan yang
harus dihilangkan sebelum memasukkan wellhead.

Gambar 4.47.
Diagram Sistem Manifold Distribusi Injeksi Fluida
(Dr. Ir. Septoratno S., Ir. Dedy K., M.Sc. Enhanced Oil Recovery.1999)

4.3.3. Injeksi Surfactant


Injeksi surfactant digunakan untuk menurunkan tegangan antarmuka minyak-
fluida injeksi supaya perolehan minyak meningkat. Jadi effisiensi injeksi
meningkat sesuai dengan penurunan tegangan antarmuka (L.C Uren and
E.HFahmy). Ojeda et al (1954) mengidentifikasikan parameter-parameter penting
yang menentukan kinerja injeksi surfactant, yaitu :
1. Geometri pori
2. Tegangan antarmuka
3. Kebasahan atau sudut kontak
4. ΔP atau ΔP/L
5. Karakteristik perpindahan kromatografis surfactant pada sistem tertentu.

Injeksi surfactant ini ditujukan untuk memproduksikan residual oil yang


ditinggalkan oleh water drive, dimana minyak yang terjebak oleh tekanan kapiler,
sehingga tidak dapat bergerak dapat dikeluarkan dengan menginjeksikan larutan
surfaktan. Percampuran surfactant dengan minyak membentuk emulsi yang akan
mengurangi tekanan kapiler.
Setelah minyak dapat bergerak, maka diharapkan tidak ada lagi minyak
yang tertinggal. Pada surfaktan flooding kita tidak perlu menginjeksikan surfaktan
seterusnya, melainkan diikuti dengan fluida pendesak lainnya, yaitu air yang
dicampur dengan polymer untuk meningkatkan efisiensi penyapuan dan akhirnya
diinjeksikan air.
Untuk memperbaiki kondisi reservoir yang tidak diharapkan, seperti
konsentrasi ion bervalensi dua, salinitas air formasi yang sangat tinggi, serta
absorbsi batuan reservoir terhadap larutan dan kondisi-kondisi lain yang mungkin
dapat menghambat proses surfaktan flooding, maka perlu ditambahkan bahan-
bahan kimia yang lain seperti cosurfaktan (umumnya alkohol) dan larutan NaCl.
Disamping kedua additive diatas, yang perlu diperhatikan dalam operasi surfaktan
flooding adalah kualitas dan kuantitas dari zat tersebut.
Pada dasarnya ada dua konsep yang telah dikembangkan dalam
penggunaan surfactant untuk meningkatkan perolehan minyak. Konsep pertama
adalah larutan yang mengandung surfactant dengan konsentrasi rendah
diinjeksikan. Surfactant dilarutkan di dalam air atau minyak dan berada dalam
jumlah yang setimbang dengan gumpalan-gumpalan surfactant yang dikenal
sebagai micelle. Sejumlah besar fluida (sekitar 15 – 60% atau lebih) diinjeksikan
ke dalam reservoir untuk mengurangi tegangan antarmuka antara minyak dan air,
sehingga dapat meningkatkan perolehan minyak.
Pada konsep kedua, larutan surfactant dengan konsentrasi yang lebih
tinggi diinjeksikan ke dalam reservoir dalam jumlah yang relatif kecil (3 – 20%
PV). Dalam hal ini, micelles yang terbentuk bisa berupa dispersi stabil air di
dalam hidrokarbon atau hidrokarbon di dalam air.
4.3.3.1. Sifat-Sifat Surfactant
Surfactant adalah bahan kimia yang molekulnya selalu mencari tempat
diantara dua fluida yang tidak mau bercampur dan surfactant mengikat kedua
fluida tersebut menjadi emulsi. Surfactant yang berada di dalam slug harus dibuat
agar membentuk micelle, yaitu surfactant yang aktif dan mampu mengikat air dan
minyak pada konsentrasi tertentu. Jika konsentrasinya masih kecil, maka
campuran surfactant tersebut masih berupa monomor (belum aktif). Untuk itu
setiap slug perlu diketahui CMC-nya (Critical Micelles Cocentration) yaitu
konsentrasi tertentu, sehingga campuran surfactant yang semula monomor
berubah menjadi micelle.
Surfactant yang umum dipakai dalam proses eksploitasi EOR adalah
sodium sulfonate yang ionik bermuatan negatif. Sedangkan jenis lain jarang
dipakai. Larutan surfactant yang biasa digunakan di lapangan untuk pendesakan
minyak sisa hasil pendorongan air, terdiri dari komponen surfactant, air, minyak
dan alkohol sebagai cosurfactant. Campuran cairan surfactant ini diijeksikan ke
dalam reservoir sebagai slug kemudian didorong oleh larutan polimer untuk
memperbaiki mobilitas aliran, selanjutnya diikuti pendorongan air agar hemat
bahan polimer. Slug yang biasa digunakan dari 5 - 15 % PV (Pore Volume),
diharapkan kemampuannya menghasilkan tambahan perolehan diatas perolehan
jika digunakan secondery recovery.
4.3.3.2. Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Injeksi Surfactant
Variabel-variabel yang mempengaruhi injeksi surfactant diantaranya
adalah adsorbsi, konsentrasi slug surfactant, clay, salinitas.

A. Adsorbsi
Persoalan yang dijumpai pada injeksi surfactant adalah adsorbsi batuan
reservoir terhadap larutan surfactant. Adsorbsi batuan reservoir pada slug
surfactant terjadi akibat gaya tarik-menarik antara molekul-molekul surfactant
dengan batuan reservoir dan besarnya gaya ini tergantung dari besarnya afinitas
batuan reservoir terhadap surfactant. Jika adsorbsi yang terjadi kuat sekali, maka
surfactant yang ada dalam slug surfactant menjadi menipis, akibatnya kemampuan
untuk menurunkan tegangan permukaan minyak-air semakin menurun.
Mekanisme terjadinya adsorbsi adalah sebagai berikut, surfactant yang
dilarutkan dalam air yang merupakan microemulsion diinjeksikan ke dalam
reservoir. Slug surfactant akan mempengaruhi tegangan permukaan minyak-air,
sekaligus akan bersinggungan dengan permukaan butiran batuan. Pada saat terjadi
persinggungan ini molekul-molekul surfactant akan ditarik oleh molekul-molekul
batuan reservoir dan diendapkan pada permukaan batuan secara kontinyu sampai
mencapai titik jenuh. Akibatnya kualitas surfactant menurun karena terjadi
adsorbsi sehingga mengakibatkan fraksinasi, yaitu pemisahan surfactant dengan
berat ekivalen rendah didepan dibandingkan dengan berat ekivalen tinggi.
B. Konsentrasi Slug Surfactant
Konsentrasi surfactant juga berpengaruh besar terhadap terjadinya adsorbsi
batuan reservoir pada surfactant. Makin pekat konsentrasi surfactant yang
digunakan, maka akan semakin besar adsorbsi yang diakibatkannya mencapai
titik jenuh.

C. Clay
Terdapatnya clay dalam reservoir harus diperhitungkan karena clay dapat
menurunkan recovery minyak, disebabkan oleh sifat clay yang suka air (Lyophile)
menyebabkan adsorbsi yang terjadi besar sekali. Untuk reservoir dengan salinitas
rendah, peranan clay ini sangat dominan.

D. Salinitas
Salinitas air formasi berpengaruh terhadap penurunan tegangan permukaan
minyak-air oleh surfactant. Untuk konsentrasi garam-garam tertentu, NaCl
akanmenyebabkan penurunan tegangan permukaan minyak-air tidak efektif lagi.
Hal ini disebabkan karena ikatan kimia yang membentuk NaCl adalah ikatan ion
yang sangat mudah terurai menjadi ion Na+ dan ion Cl-, begitu juga halnya dengan
molekul-molekul surfactant. Di dalam air ia akan mudah terurai menjadi ion
RSO3- dan H+. Konsekuensinya bila pada operasi injeksi surfactant terdapat garam
NaCl, maka akan membentuk HCl dan RSO3Na, dimana HCl dan RSO3Na buakan
merupakan zat aktif permukaan dan tidak dapat menurunkan tegangan permukaan
minyak-air.
Selain mempengaruhi tegangan permukaan minyak-air, garam NaCl juga
mengakibatkan fraksinasi surfactant yang lebih besar, sampai batuan reservoir
tersebut mencapai titik jenuh.

Gambar 4.48.
Diagram Sistem Perlakuan Air
(Dr. Ir. Septoratno S., Ir. Dedy K., M.Sc. Enhanced Oil Recovery.1999)
4.3.3.3. Bahan-Bahan yang Digunakan Dalam Injeksi Surfactant
Penentuan kuantitas dan kualitas surfactant yang digunakan untuk injeksi
perlu diketahui agar residu oil yang tertinggal bisa didesak dan diproduksikan
dengan cara menurunkan tegangan permukaan minyak-air. Untuk memperbaiki
kondisi reservoir yang tidak diharapkan, yang dapat menghambat operasi injeksi
surfactant, maka perlu ditambahkan bahan-bahan kimia lain seperti kosurfactant
dan larutan NaCl. Setelah kuantitas dan kualitas surfactant serta additive
ditentukan, maka dilakukan pencampuran larutan. Larutan ini dapat berbentuk
larutan biasa atau dalam bentuk microemulsion.
A. Klasifikasi Surfactant
Surfactant dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok, yaitu :
1. Anion
1.1. Garam-Asam Carboxylic
a. Garam sodium dan potasium dari asam lemak rantai lurus (soaps).
b. Garam sodium dan potasium dari asam lemak minyak kelapa.
c. Garam sodium dan potasium dari asam minyak tall.
d. Garam amine.
e. Acylated polypeptides.
1.2. Garam Asam Sulfonat
a. Linear alkyl benzen sulfonat (LAS).
b. Hygher alkyl benzen sulfonat.
c. Benzen, toluen, xylen dan cumenesulfonat.
d. Lignusulfonat.
e. Petroleum sulfonat
f. N-acyl-n-alkyltaurates.
g. Parafin sulfonat (SAS). Secondary n-alkyltaurates.
h. Alfa olefin sulfonat (AOS).
i. Ester sulfosuccinate.
j. Alkyl napthalen sulfonat.
k. Isethionates.
l. Garam ester dari phosporic dan polyphosporic.
m. Perfluorinated anion.
2. Kation
a. Amine rantai panjang dan garam-garamnya.
b. Diamines dan polyamines dan garam-garamnya.
c. Garam Quartenary Ammonium.
d. Polyoxythelenated Amine rantai panjang.
e. Quarternized Polyoxythelenated rantai panjang.
f. Amine Oxides.
3. Nonion
a. Polyoxythelenated Alkylphenols, alkylphenol ethoxylates.
b. Polyoxythelenated rantai lurus alkohol, alkohol ethoxylates.
c. Polyoxythelenated mercaptans
d. Rantai panjang asam Ester Carboxylic.
e. Alakanolamine kondensat, Alkanolamides.
f. Tertiery Acetylenic Glicol.
4. Amphoterik
Surfactant jenis ini mengandung dua atau lebih aspek jenis lain. Sebagai contoh
amphoterik mungkin mengandung anion group dan non polar group. Surfactant
jenis ini tidak pernah digunakan dalam perolehan minyak. Termasuk dalam
surfactant ini adalah jenis-jenis aminocarboxylic.
B. Kuantitas Surfactant
Kuantitas surfaktan adalah penentuan volume surfaktan yang dibutuhkan
dalam pendesakan agar residual oil yang tertinggal dapat didesak dengan cara
menurunkan tegangan permukaan. Slug surfaktan yang digunakan jangan terlalu
banyak karena tidak ekonomis dan sebaliknya jangan terlalu sedikit karena
mengakibatkan permukaan minyak tak semuanya dilalui.
Penentuan slug surfaktan ini dapat dilakukan di laboratorium atau dengan
cara lain seperti yang telah dikemukakan oleh Taylor dan dikembangkan oleh
Aris. Cara ini menunjukkan hubungan antara jarak yang ditempuh dengan
konsentrasi larutan surfaktan, yaitu :
∂c ∂2 c
=k 2 (4-60)
∂t ∂x
Keterangan :
C = konsentrasi, fraksi volume surfaktan.
T = waktu pendesakan, detik.
k = koefisien dispersi, cm2/dt.
x = jarak, cm.
Core yang diinjeksi dengan surfaktan kemudian dicatat seberapa jauh jarak
yang ditempuh surfaktan, dimulai dari titik injeksi sampai injeksi mencapai 10%
dan 90% pore volume.
Solusi dari Persamaan (4-60) adalah sebagai berikut x

x1
( ( ))
C=0.5 1−erf
2 √ KT
(4-61)

Keterangan :
1 X 90−X 10
K= (
t 3.625 ) (4-62)

X90 dan X10 adalah jarak yang ditempuh surfaktan bertepatan dengan
injeksi surfaktan mencapai 90 dan 10 % pore volume dari titik injeksi. Untuk
aplikasi lapangan, maka volume surfaktan yang diperlukan dapat ditentukan dari :
Vsf = C x Vp
Keterangan :
Vsf = volume surfaktan yang diperlukan, %PV.
C = fraksi volume surfaktan yang diperlukan.
Vp = volume pori-pori total resrvoir, satuan volume.
Dari pengalaman di lapangan, penentuan volume slut surfaktan dengan
cara diatas akan mendapatkan hasil optimum sekitar 5 sampai 10 pore volume.
C. Kualitas Surfactant
Kualitas surfaktan adalah efektivitas kerja dari surfaktan untuk
menurunkan tegangan permukaan antara air-minyak, sehingga residual oil yang
tertinggal dapat didesak dan diproduksikan.
Surfaktan didefinisikan sebagai molekul yang mencari tempat diantara dua
cairan yang tak dapat bercampur dan mempunyai kemampuan untuk mengubah
kondisi.
Bahan utama dari surfaktan ini adalah Petroleum Sulfonate, dimana zat ini
dihasilkan dari sulfonatisasi minyak mentah (distilasi minyak). Petroleum
sulfonate mempunyai daya afinitas terhadap air dan minyak. Molekul ini
mempunyai dua bagian, satu bagian larut dalam minyak dan satu bagian lainnya
larut dalam air. Surfaktan yang mempunyai daya afinitas kuat terhadap minyak
disebut oil-soluble (mahagoni) dan yang kuat terhadap air disebut water soluble
(green acid), bila digambarkan adalah sebagai berikut :

Rumus kimia dari sulfonate adalah R-SO3H, dimana R adalah gugusan


atom-atom aromatik. Kualitas surfaktan ditentukan dari parameter berat
ekuivalennya, semakin besar berat ekuivalen surfaktan yang digunakan, maka
efektivitas kerja untuk menurunkan tegangan permukaan minyak-air semakin baik
dan begitu sebaliknya.
Penggunaan surfaktan dengan konsentrasi yang terlalu tinggi tidak saja
mengakibatkan absorbsi, tapi juga menjadi tidak ekonomis. Agar diperoleh
kelarutan yang baik dalam minyak atau air dan tak terlalu terpengaruh oleh
absorbsi batuan reservoir serta tahan terhadap kontaminasi garam-garam formasi
dan pengaruh mineral-mineral clay, maka perlu ditentukan berat ekuivalennya
yang optimum.
Hasil penelitian Gale dan Sandvick, memberikan suatu recovery minyak
yang tertinggi dapat dicapai dengan surfaktan yang mempunyai berat ekuivalen
antara 375 - 475, seperti terlihat pada Gambar 4.50.
Gambar 4.50.
Hubungan Berat Ekuivalen Dengan Recovery Minyak yang Dihasilkan
(Gale W.W. and Sandvick E.I. Tertiary Surfactant Flooding: Petroleum Sulfonate Composition- Efficacy Studies 1973)

Adapun kerakteristik dari petroleum sulfonate yang merupakan bahan


dasar surfaktan adalah seperti yang terdapat pada Tabel IV-3. Bila akan
menggunakan surfaktan dengan berat ekuivalen yang dikehendaki, maka tinggal
mencampur dua atau beberapa jenis surfaktan tersebut.
Sebagai zat tambahan (additive) dalam slug surfaktan biasa digunakan
"Cosurfaktant", sebab zat ini mempunyai banyak fungsi dalam pendesakan ini,
antara lain mengatur viskositas yang cocok untuk mengontrol mobilitas. Beberapa
jenis alkohol yang digunakan sebagai cosurfaktan adalah :
Cosurfaktan : 2-propanol, 1-pentanol, p-pentanol, 1-hexanol, 2-hexanol.

Tabel IV-3.
Bahan Dasar Injeksi Surfactant
(Gale W.W. and Sandvick E.I. Tertiary Surfactant Flooding: Petroleum Sulfonate Composition- Efficacy Studies 1973)
Dari pengalaman di lapangan, penggunaan Cosurfaktan ini, ternyata dapat
meningkatkan recovery minyak sampai 20%. Hal ini disebabkan karena selain
ikut mendesak, surfaktan juga turut melarutkan minyak.
Zat tambahan lain yang sering dipakai adalah larutan elektrolit NaCl yang
digunakan sebagai preflush, untuk menggerakkan air formasi yang tidak cocok
dengan komposisi slug surfaktan.
D. Pelarut dan Aditive
Pelarut utama surfactant adalah air dan minyak. Sulfonate yang merupakan
hasil industri penyulingan suatu campuran zat-zat kimia disebut Petroleum
Feedstock, dilarutkan dalam minyak atau air sehingga membentuk micelle-micelle
yang merupakan microemulsion dalam air atau minyak. Micelle-micelle berfungsi
sebagai medium yang miscible baik terhadap minyak atau air. Larutan yang
menggunakan air atau minyak sebagai pelarutnya, tergantung pada bentuk larutan
yang dikehendaki, apakah aqueous solution atau microemulsion (oil-external atau
water-external microemulsion).
Dalam sistem aqueous solution, pelarut utamanya adalah air. Sedangkan
untuk oil-external adalah minyak, dan water-external pelarut utamanya adalah air.
Sebagai zat tambahan dalam slug surfactant digunakan kosurfactant, umumnya
adalah alkohol. Cosurfactant sering digunakan karena mrmpunyai banyak fungsi
dalam sistem pendesakan, antara lain viscositas larutan dapat diatur dengan
cosurfactant untuk kontrol mobilitas. Dari pengalaman di lapangan, penggunaan
cosurfactant ini dapat meningkatkan recovery minyak sampai 20 %. Hal ini
disebabkan karena selain ikut mendesak, cosurfactant turut melarutkan minyak.
Zat tambahan lain yang sering digunakan adalah larutan elektrolit NaCl
yang digunakan sebagai preflush, untuk menggerakkan air formasi yang tidak
compatible dengan komposisi slug surfactant.
E. Sistem Pencampuran
Untuk mencampur komponen-komponen menjadi slug surfactant,
diperlukan sistem penanganan yang tepat, antara lain harus memakai water
treatment dan sistem pencampuran slug surfactant. Fasilitas water treatment
diperlukan untuk menghilangkan kation-kation yang merugikan seperti Ca2+, Mg2+
dan ion besi dengan ion-ion natrium dari pelembut air (water softener).
4.3.3.4. Pertimbangan dan Batasan Pemakaian Surfactant
Dasar pertimbangan yang digunakan untuk memilih metoda pendesakan
surfactant pada suatu reservoir yang diperoleh dari data empiris diantaranya
meliputi :
1. Sifat fisik fluida reservoir yang terdiri dari : gravity minyak, viskositas minyak,
komposisi dan kandungan chloridanya.
2. Sifat fisik batuan reservoir yang terdiri dari : saturasi minyak sisa, tipe
formasinya, ketebalan, kedalaman, permeabilitas rata-rata dan temperaturnya.
Sedangkan syarat-syarat dan batasan-batasan yang digunakan dalam pemilihan
metoda pendesakan surfactant dapat dirinci sebagai berikut :
1. Kualitas crude oil
 Gravity > 25 °API
 Viskositas < 30 cp
 Kandungan klorida < 20000 ppm
 Komposisi diutamakan minyak menengah ringan (Light Intermediate)
2. Surfactant dan polimer
 Ukuran dari slug adalah 5 – 15% dari volume pori (PV) untuk sistim
surfactant yang tinggi konsentrasinya sedangkan untuk yang rendah
besarnya 15 – 50% dari volume pori (PV).
 Konsentrasi polimer berkisar antara 500 – 2000 mg/i
 Volume polimer yang diinjeksikan kira-kira 50% dari volume pori.
3. Kondisi reservoir
 Saturasi minyak >30% PV
 Tipe fomasi diutamakan sandstone
 Ketebalan formasi > 10 ft
 Permeabilitas > 20 md
 Kedalaman < 8000 ft
 Temperatur < 175 °F
4. Batasan lain
 Penyapuan areal oleh water floding sebelum injeksi surfactant diusahakan
lebih besar dari 50%
 Diusahakan formasi yang homogen
 Tidak terlalu banyak mengandung anhydrite, gypsum atau clay.
 Salinitas lebih kecil dari 20000 ppm dan kandungan ion divalen (Ca dan
Mg) lebih kecil dari 500 ppm.
4.3.3.5. Perencanaan Laboratorium
Beberapa desain laboratorium yang ada :
1. Hill et ell dari Shell (1973) melakukan tiga prosedur seleksi yang berbeda :
 Pengukuran tegangan antarmuka pada antar muka crude oil-sulfonat
yang larut dalam air
 Seleksi (penyaringan) mikroskopik, merupakan metode kualitatif yang
mendeteksi penurunan yang besar dalam tegangan antarmuka diantara
lerutan air dengan minyak
 Uji pendesakan, teknik dan prosedur konvensional digunakan dalam
uji coba ini.
2. Marathon
Surfactant yang digunakan untuk proyek di M-1 Illionis dibuat di Robinson
Refinery dan Denver Research Centre. Beberapa variabel yang diteliti untuk
mendapatkan optimasi slug meliputi bahan baku, additive bahan kimia,
konsentrasi surfactant, pH, kation molekul sulfonat, serta tipe dan tingkat
cosurfactant. Batasan pada desain ini antara lain adalah bahwa slug dibuat di
Robinson Refinery, viscositas slug tidak lebih dari 40 cp, dan penyangga (buffer)
mobilitas menggunakan poliakrilamid dow (polymer).
Uji desain dilakukan pada kondisi reservoir. Semua uji injeksi menggunakan
sampel batuan reservoir yang diambil dari reservoir. Crude oil yang digunakan
yaitu minyak sweet Illionis diambil dari empat tempat yang berbeda dalam satu
daerah dan memiliki API 360, viscositas 5 – 6 cp pada temperatur 720 F. Fluida
micellar – polymer diinjeksi ke dalam sumur 1/8 in dengan laju injeksi konstan.
4.3.3.6. Mekanisme Injeksi Surfactant
Larutan surfactant yang merupakan microemulsion yang diinjeksikan ke
dalam reservoir, mula-mula bersinggungan dengan permukaan gelembung-
gelembung minyak melalui film air yang tipis, yang merupakan pembatas antara
batuan reservoir dan gelembung-gelembung minyak. Surfactant memulai
perannya sebagai zat aktif permukaan untuk menurunkan tegangan permukaan
minyak-air. Pertama sekali molekul-molekul surfactant yang mempunyai rumus
kimia RSO3H akan terurai dalam air menjadi ion-ion RSO3- dan H+. Ion-ion
RSO3- akan bersinggungan dengan gelembung-gelembung minyak, ia akan
mempengaruhi ikatan antara molekul-molekul minyak dan juga mempengaruhi
adhesion tension antara gelembung-gelembung minyak dengan batuan reservoir,
akibatnya ikatan antara gelembung-gelembung minyak akan semakin besar dan
adhesion tension semakin kecil sehingga terbentuk oil bank didesak dan
diproduksikan.
Pada operasi di lapangan, setelah slug surfactant diinjeksikan kemudian
diikuti oleh larutan polimer. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya
fingering dan chanelling. Karena surfactant + cosurfactant harganya cukup mahal,
di satu pihak polymer melindungi bank ini sehingga tidak terjadi fingering
menerobos zone minyak dan di lain pihak melindungi surfactant bank dari
terobosan air pendesak.
Agar slug surfactant efektivitasnya dalam mempengaruhi sifat kimia fisika
sistem fluida di dalam batuan reservoir dapat berjalan baik, maka hal-hal diatas
harus diperhatikan. Misalnya mobilitas masing-masing larutan harus dikontrol.
Mobilitas slug surfactant harus lebih kecil dari mobilitas minyak dan air
didepannya.
Pelaksanaan di lapangan untuk injeksi surfactant meliputi sistem perlakuan
terhadap air injeksi, sistem pencampuran slug surfactant dan sistem injeksi fluida.
A. Sistem Perlakuan Terhadap Air Injeksi
Fasilitas perlakuan terhadap air injeksi akan sangat bergantung pada
persediaan air untuk injeksi dan keperluan-keperluan lain. Dalam beberapa kasus,
kebutuhan perlakuan minimum terhadap filtrasi air dilakukan melalui penyaringan
tekanan bumi diatomaeous.
Jika air dipakai sebagai slug tercampur (miscible slug) atau formasi
polimer, proses penyaringan air dilakukan dengan penukaran ion water softener.
Langkah ini digunakan untuk menghilangkan bermacam-macam kation
pengganggu dengan ion-ion sodium dari regin di dalam water softener.
B. Sistem Percampuran Slug Surfactant
Komponen-komponen slug tercampur (miscible) mempunyai komposisi
berbeda-beda pada kebanyakan rumus-rumus dari micellar. Kebanyakan slug
terdapat paling sedikit terdiri dari empat komponen berbeda : petroleun sulfonat,
fasa cairan (encer), hidrokarbon dan cosurfactant. Semua komponen tersebut
kecuali cosurfactant, diukur didalam tangki pencampur yang luas dimana mereka
tercampur sampai menjadi homogen.
Filtrasi diperlukan slug yang umumnya memanas sebelum dipompa
melewati filter. Dengan memanaskan lebih dahulu mempunyai beberapa maksud,
menstabilkan slug, memperbaiki penyaringan yang menyebabkan turunnya
viskositas slug dan mengurangi kemungkinan terendapkannya parafin di dalam
sumur injeksi. Setelah filtrasi, Cosurfactant yang hampir selalu alkohol, terukur di
dalam slug. Cosurfactant menaikkan kesetabilan micellar dan secara serempak
merubah viskositas untuk memenuhi kebutuhan mobilitas di dalam reservoir. Slug
tersebut biasanya ditempatkan di dalam tangki penyimpanan preinjection sebelum
diijeksikan di dalam sumur. Sebuah pompa positive displacement digunakan
untuk mengnjeksikan slug pada laju alir seperti sebelumnya.
C. Sistem Injeksi Fluida
Injeksi fluida ke dalam reservoir dengan melslui beberapa sumur
umumnya dilakukan dengan memakai sistem manifold. Karena biasanya
digunakan pompa positive displacement untuk menginjeksikan fluida di dalam
reservoir, laju aliran volumetris total dapat dikontrol, untuk melihat program
injeksi secara keseluruhan. Gambar 4.51 menggambarkan penginjeksian
surfactant ke dalam reservoir suatu lapangan.
Tanpa alat pengontrol aliran pada masing-masing sumur, aliran relatif
ditentukan dengan mengukur daya tahan aliran dalam aliran masing-masing
sumur injeksi. Untuk mengimbangi injeksi yang tak terkontrol, dibutuhkan
beberapa jenis kontrol aliran pada masing-masing sumur.
Jika fluida yang diinjeksikan adalah atau slug tercampur (miscible slug),
throttling valve sederhana cukup untuk mengukur aliran. Jika sejumlah sumur
mendapat fluida dari satu pompa dalam jumlah yang besar, alat-alat pengontrol
dapat menjadi tidak stabil karena seluruh sistem saling berhubungan. Perubahan
sedikit saja pada perawatan throttling pada sumur menyebabkan perubahan aliran
di sebuah sumur yang lainnya, karena laju alir total tetap konstan. Namun sistem
ini tetap dapat bekerja jika cukup memonitoring terhadap laju injeksi pada
masing-masing sumur.

Gambar 4.51.
Mekanisme Injeksi Surfactant
(Clark, N.J., Elements of Petroleum Reservoir. 1969)

4.4. Injeksi Panas (Thermal Displacement)


Injeksi thermal adalah salah satu metode EOR dengan cara
menginjeksikan energi panas ke dalam reservoir untuk mengurangi viskositas
minyak yang tinggi yang akan menurunkan mobilitas minyak, sehingga akan
memperbaiki efisiensi pendesakan dan efisiensi penyapuan.
Penggunaan proses thermal dalam EOR sangatlah luas, hal ini disebabkan
oleh reservoir yang mengandung minyak berat tidak dapat diproduksi secara
ekonomis oleh injeksi air atau injeksi gas. Reservoir ini umumnya mengandung
minyak dengan API gravity 10 – 20, dengan viscositas pada temperatur reservoir
200 – 1000 cp. Meskipun pada beberapa kasus permeabilitasnya cukup besar,
tetapi energi reservoirnya tidak cukup untuk memproduksi minyak tersebut karena
viscositasnya yang sangat tinggi. Dengan kenaikan temperatur yang kecil
mengakibatkan penurunan viscositas yang cukup besar dan inilah yang merupakan
dasar dari proses thermal, yaitu dengan cara memberi energi panas pada reservoir
agar temperaturnya naik.
Injeksi panas dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu injeksi fluida
panas (injeksi air panas dan injeksi steam) dan in-situ combustion (pembakaran di
tempat).
Sebelum membicarakan tentang injeksi thermal lebih lanjut, maka perlu
mengetahui dasar-dasar perpindahan panas dan beberapa faktor yang berpengaruh
dalam injeksi thermal.
4.4.1. Konsep Dasar Perpindahan Panas
Perpindahan panas dapat didefinisikan sebagai transmisi energi dari suatu
daerah ke daerah lain sebagai akibat adanya perbedaan temperatur diantara kedua
daerah tersebut.
A. Konduksi
Konduksi adalah proses perpindahan panas dimana panas mengalir dari
daerah bertemperatur tinggi ke daerah bertemperatur rendah. Di dalam satu zat
(padat, cair atau gas).
Persamaan dasar perpindahan panas secara konduksi diusulkan pertama
kali oleh J.B.J Fourier (1822). Persamaan ini menyatakan bahwa laju perpindahan
panas oleh konduksi dalam suatu zat (Qk) adalah sama dengan perkalian ketiga
besaran berikut :
 Konduktivitas panas dari zat, k (BTU/jam-ft-°F).
 Luas penampang dalam zat (diukur tegak lurus terhadap arah aliran panas), A
(ft).
 Gradien temperatur dT/dx (°F/ft), yaitu laju perubahan temperatur T dalam
arah aliran x.
Maka : Qk = - k A dT/dx (4-63)
Menurut hukum thermodinamika 1, panas merupakan energi dalam transit
yang mengalir dari tempat bertemperatur tinggi ke tempat bertemperatur rendah,
Jadi aliran panas adalah positif jika gradien temperatur negatif.
B. Konveksi
Konveksi adalah proses transfer energi yang disebabkan oleh aksi serentak
dari kegiatan-kegiatan konduksi, penyimpanan energi dan gerakan aduk.
Konveksi merupakan mekanisme perpindahan panas yang terpenting antara suatu
permukaan benda padat dengan cairan atau gas. Laju perpindahan panas konveksi
dapat dihitung dengan persamaan :
Qc = hc A ∆T .................................................................................. (4-64)
Keterangan :
Qc = laju perpindahan panas konveksi, BTU/jam.
Hc = satuan konduktans termal untuk konvek\si yang dinamakan koefisien
perpindahan panas konveksi, BTU/jam –ft2-°F.
A = luas permukaan panas konveksi, ft2.
∆T = beda antara temperatur permukaan (Tp) dengan temperatur pada suatu
titik tertentu dalam suatu fluida, °F.
Koefisien perpindahan panas konveksi merupakan fungsi dari geometri
(dimensi dan bentuk permukaan), kecepatan aliran konveksi, sifat fisik fluida,
perbedaan temperatur.
4.4.2. Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Injeksi Thermal
Beberapa faktor penting yang berpengaruh dalam proses injeksi thermal
diantaranya adalah kapasitas panas, konduktivitas panas, difusivitas panas,
pengaruh panas terhadap fluida dan batuan reservoir, serta kehilangan panas (heat
loss).
A. Kapasitas Panas
Kapasitas panas adalah banyaknya panas yang diperlukan untuk
menaikkan temperatur suatu benda tiap satuan massa sebesar 1 derajat. Persamaan
dasar perpindahan panas yang menyatakan hubungan panas yang ditranfer ke
suatu benda dan temperaturnya dapat ditulis :
dQ = m C dT .................................................................................... (4-65)
Keterangan :
dQ = jumlah panas yang ditranfer,BTU.
M = massa, lb.
C = panas spesifik, BTU/lb-°F.
dT = perubahan temperatur, °F.
Menurut Kopp, kapasitas panas suatu bahan campuran sama dengan
jumlah kapasitas panas elemen-elemen penyusunnya. Berdasarkan hukum ini
telah dikembangkan persamaan untuk menghitung kapasitas panas volumerik dari
batuan berpori yang berisi minyak dan air, yaitu :
ρC = ɸ So ρo Co + ɸSw ρw Cw + (1-ɸ) ρr Cr (4-66)
Keterangan :
ρ = densitas (lb/ft3).
C = panas spesifik, BTU/lb-oF
ρC = kapasitas panas volumerik, BTU/ft3-oF.
ɸ = porositas batuan, fraksi.
S = saturasi, fraksi.
Subskript o, w dan r menunjukan untuk minyak, air dan batuan. Menurut
Farouq Ali, panas spesifik dari kebanyakan minyak dapat dihitung secara empiris
dengan persamaan :
0.388+0.00045 T
Co = (4-67)
¿¿
Keterangan :
Co = panas spesifik minyak, BTU/lb-°F.
T = temperatur, °F.
Panas spesifik air yang barada dalam interval temperatur 100 – 500 °F,
dapat dihitung dengan persamaan :
Cw = 1.0504 – 6.05(10−4 ¿T + 1.79 (10−6 ¿ T 2 (4-68)
Dalam prakteknya harga Cw = 1.0 BTU/lb-°F.
B. Konduktivitas Panas
Konduktivitas panas dari kebanyakan batuan akan mengecil dengan
naiknya temperatur. Konduktivitas panas adalah sifat yang menunjukkan jumlah
aliran panas yang menembus satu satuan luas penampang yang tegak lurus
terhadap aliran sebagai akibat adanya satu satuan gradien temperatur dalam satuan
waktu. Persamaan dasar konduktivitas panas berdimensi satu adalah :
Qk
K=
A ( dTdx )
(4-69)
Keterangan :
K = konduktivitas panas, BTU/jam-ft-°F.
Qk = laju perpindahan panas konduksi, BTU/jam.
A = luas penampang tegak lurus aliran, ft2.
Somerton melakukan percobaan konduktivitas panas untuk beberapa
macam batuan berpori, dimana pori-porinya diisi dengan cairan tertentu. Hasil
yang didapat menunjukkan bahwa saturasi cairan akan memperbesar
konduksivitas panas dan besarnya kenaikan tergantung dari jenis cairan.
Woodside dan Messmer dari hasil penyelidikannya mengusulkan suatu persamaan
untuk menghitung konduktivitas panas media berpori yang berisi minyak dan air
yaitu :
Kte = Ktr (1 - ɸ) Ktf ɸ (So + Sw) (4-70)
Ktr adalah konduktivitas panas radial dari formasi yang besarnya seperti
yang diusulkan oleh Adivarahan, Kunii, dan Smith, yaitu :
ϕ
Ktf = 25 (1 - ɸ) exp ( −10
1−ϕ )
(4-71)

Sedangkan Ktf sesuai dengan yang diusulkan oleh Grover dan Knudsen, yaitu :
μ0

( ())
1+
μw
Ktf = Kto Ktw (4-72)
μ0
K ¿+ K
μ w tw
Keterangan :
Kte = konduktivitas panas efektif, BTU/jam-ft-°F.
Ktr = konduktivitas panas radial formasi, BTU/jam-ft-°F.
Ktf = konduktivitas panas dari campuran fluida, BTU/jam-ft-°F.
Kto = konduktivitas panas minyak, BTU/jam-ft-°F.
Ktw = konduktivitas parnas air, BTU/jam-ft-°F.
C. Difusivitas Panas
Difusivitas panas adalah perbandingan antara konduktivitas panas dengan
hasil kali antara densitas dan kapasitas panas. Dinyatakan dalam persamaan :
α = Kh / (ρc) (4-73)
Keterangan :
α = difusifitas panas, ft2/jam.
Kh = konduktivitas panas, BTU/jam-ft-°F.
ρc = kapasitas panas volumetrik, BTU/ft3- °F
Difusivitas panas sangat dipengaruhi oleh konduktivitas panas dan
kapasitas panas. Semakin banyak jumlah panas yang di transfer, maka harga
difusivitas semakin tinggi, tetapi sebaliknya semakin tinggi konduktivitas
panasnya, maka harga difusivitas panasnya semakin kecil.
D. Pengaruh Panas Terhadap Fluida dan Batuan Reservoir
Dengan adanya penurunan viskositas maka mobilitas minyak (ko/μo) akan
bertambah besar, sehingga kecepatan aliran minyak akan bertambah besar. Bila
ditinjau dengan persamaan Darcy aliran linier, yaitu :
k o dP
Vo = - 1.127
μ o dx
(4-73)
Keterangan :
dP/dx = gradient tekanan, psi/ft.
Vo = kecepatan aliran minyak, bbl/ft2-hari.
Saturasi air irreducible bertambah besar dan saturasi minyak residual
mengecil dengan adanya kenaikan temperatur. Bertambahnya Swir, disebabkan
oleh sifat water wet batuan reservoir yang semakin kuat dengan naiknya
temperatur, sedang berkurangnya Sor dipengaruhi oleh turunnya viskositas
minyak. Selain itu juga menyelidiki pengaruh temperatur terhadap perbandingan
permeabilitas relatif air-minyak serta permeabilitas absolut.
Permeabilitas air-minyak dan permeabilitas absolut akan berkurang
dengan naiknya temperatur. Keadaan ini menunjukkan bahwa permeabilitas
batuan terhadap minyak bertambah besar sedangkan terhadap air tidak begitu
besar.
Dalam sistim air-minyak, sudut kontak akan menjadi kecil dengan naiknya
temperatur. Hal ini disebabkan oleh sistim air-minyak lebih bersifat water wet.
Dengan adanya perubahan sifat-sifat fisik fluida dan batuan reservoir akibat
kenaikan suhu, maka pengaruhnya terhadap reservoir akan meningkatkan ultimate
recovery dan laju produksi.
E. Kehilangan Panas (Heat Loss)
Dalam suatu injeksi, kehilangan panas terjadi sejak uap keluar dari
generator hingga uap tersebut mencapai reservoir. Kandungan panas uap sebagian
akan hilang dipermukaan, dalam sumur injeksi serta di lapisan cap rock dan base
rock yang berhubungan dengan pengembangan zone uap.
1. Kehilangan panas di permukaan
Fluida panas meninggalkan generator mengalir melalui stream line di
permukaan menuju ke well head. Dari keadaan ini akan terjadi kehilangan
sebagian panas yang disebabkan karena adanya perbedaan temperatur fluida di
sekelilingnya. Untuk memperkecil kehilangan panas yang terjadi, maka stream
line diberi isolasi.
Kehilangan panas dipermukaan disebabkan oleh perpindahan panas
konduksi melalui pipa dan isolasinya. Sedangkan pada bagian dalam dan luar
pipa disebabkan oleh konveksi.
Laju kehilangan panas untuk pipa berisolasi dapat dinyatakan dengan
persamaan :
Qsurface = 2 π K ins l ¿ ¿ (4-75)
Keterangan :
Kins = konduktivitas thermal isolasi, BTU/jam-ft-°F.
l = panjang pipa,ft.
Ti = temperatur dalam pipa, °F.
To = temperatur di luar pipa, °F.
ro = jari-jari luar pipa, in.
ri = jari-jari dalam dari isolasi, in.
ho = koefisien kombinasi untuk konveksi dan radiasi, BTU/jam-ft2-°F.
2. Kehilangan panas di sumur injeksi
Laju kehilangan panas di sumur injeksi ini jumlahnya lebih besar
dibandingkan di streamline. Hal ini disebabkan karena adanya perpindahan
panas dari fluida panas ke formasi di sekitar lubang sumur. Dalam proyek
injeksi uap, untuk mengurangi kehilangan panas yang lebih besar di lubang
sumur, maka digunakan tubing berisolasi. Hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi pengaruh panas terhadap casing yang sudah disemen.
Laju kehilangan panas di sumur injeksi dimana uap diinjeksikan melalui
tubing adalah :
2 π r ¿ μ¿ Kh l2
Qwb =
Kh+r ¿ μ ¿ (
( T st −b ) l −a
2 ) (4-76)

Keterangan :
QWb = laju kehilangan panas didasar sumur, BTU/jam.
rto = jari-jari luar tubing, rt.
μto = over-all heat transfer coeffisient, BTU/jam-ft2-°F.
Kh = konduktivitas panas formasi, BTU/jam-ft-°F.
f(t) = fungsi konduksi panas transient, tak berdimensi.
Tst = temperatur uap, °F.
b = temperatur geothermal permukaan, °F.
L = panjang tubing, ft.
a = gradient geathermal, °F/ft.

3. Kehilangan Panas Di Reservoir


Kehilangan panas ke cap rock den base rock dapat dinyatakan sebagai
fraksi dari total injeksi panas yang diusulkan oleh Ramey (1965) dari Marx dan
Langenheim, yaitu :

tD
D ( ( √ √ ))
Wc = 1− 1 e td erfc t D+ 2
π
−1 (4-77)

Keterangan :
tD = tak berdimensi.
α = diffusivitas panas, ft 2/hari.
t = waktu, hari.
H = ketebalan formasi, ft.
4.4.3. Jenis-Jenis Injeksi Thermal
4.4.3.1. Steam Stimulation
Proses thermal ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu injeksi steam bersiklus
(Huff and Puff) dan pemanasan lubang sumur.
4.4.3.1.1. Injeksi Steam Bersiklus (Huff and Puff)
Penurunan viskositas minyak dengan naiknya temperatur merupakan
faktor penting untuk meningkatkan laju produksi minyak. Dari persamaan aliran
radial yang dikemukakan darcy :
7.08 x k o x h x ( Pe −Pw )
Qo = ℜ (4-78)
μo x ln ( )
rw
dalam persamaan tersebut, laju produksi merupakan fungsi dari mobilitas minyak
(ko/μo), di mana dengan viskositas yang kecil laju produksi akan naik.
Huff and Puff merupakan salah satu metode stimulasi termal untuk
menaikan laju produksi minyak. Kenaikan laju produksi minyak dapat dilihat
pada Gambar 4.52.
Gambar 4.52.
Peningkatan Minyak dengan Injeksi Steam Bersiklus
(Dr. Ir. Septoratno S., Ir. Dedy K., M.Sc. Enhanced Oil Recovery.1999)

Injeksi steam bersiklus berbeda dengan steam drive. Dalam proses steam
drive, seluruh batuan reservoir dipanasi secara terus-menerus, sedangkan steam
bersiklus, steam diinjeksikan melalui sumur produksi dan penginjeksian dilakukan
dalam beberapa hari atau beberapa minggu, kemudian sumur didiamkan atau
dikenal dengan periode perendaman (soak period).
Gambar 4.53.
Stimulasi Huff-Puff
(http://www.sunshineoilsands.com/uploads/images/ops/cyclic.jpg)

Mekanisme Injeksi Uap Bersiklus


Menurut Gomma, mekanisme yang paling utama dalam injeksi uap
bersiklus untuk meningkatkan laju produksi minyak adalah penurunan viskositas
minyak sehubungan dengan adanya kenaikan temperatur. Selain itu, mekanisme
seperti yang disebutkan di bawah ini juga memberikan pengaruh dalam
peningkatan perolehan minyak :
1. Perforation dan Wellbore Cleaning
Minyak berat ditandai dengan faktor skin yang tinggi, sehubungan dengan
terjadinya endapan aspal di sekitar lubang sumur. Lubang perforasi kadang-
kadang tersumbat oleh campuran minyak berat dan partikel-partikel padatan
dari formasi. Injeksi uap menaikkan temperatur sehingga endapan-endapan
aspal tersebut dapat dibersihkan dan laju produksi naik.
2. Peningkatan Permeabilitas Relatif Minyak
Pada temperatur tinggi, permeabilitas relatif minyak meningkat sehubungan
dengan penurunan saturasi minyak tersisa dan meningkatnya saturasi air
irreducible. Mekanisme ini sama dengan mekanisme yang terjadi pada injeksi
air panas.
3. Kenaikan Tekanan Drawdown
Steam yang diinjeksikan akan menaikkan tekanan reservoir di sekitar lubang
sumur. Ketika sumur diproduksikan kembali pada tekanan alir dasar sumur
yang rendah akan menaikan laju produksi. Hal ini dapat terjadi karena adanya
peningkatan perbedaan tekanan alir reservoir dengan tekanan alir dasar sumur.
4. Pengaruh Gravity Drainage
Sebagian steam yang berada di reservoir pada fasa uap akan mendorong
minyak. sama dengan proses gravity drainage pada steam drive.

4.4.3.1.2. Pemanasan Lubang Sumur


Stimulasi thermal dengan menggunakan metode pemanasan lubang sumur
merupakan metode thermal yang paling tua. Peralatan yang digunakan untuk
metode ini dapat berupa pemanas elektrik atau pembakaran gas. Pemanasan
lubang bor meningkatkan laju produksi minyak terhadap reservoir-reservoir yang
mempunyai permasalahan minyak yang viscous atau minyak-minyak parafin.

A. Mekanisme Pemanasan Lubang Sumur


Sama seperti proses stimulasi thermal yang lain, cara ini dilakukan untuk
menurunkan viskositas minyak dan melarutkan atau mencegah terjadinya endapan
aspal serta padatan organik lainya. Panas dipindahkan ke dalam reservoir dengan
cara konduksi. Pada saat produksi, fluida reservoir akan membawa kembali panas
saat pemanasan akan terjadi penurunan laju produksi untuk sementara waktu.
Sumur produksi dengan water cut tinggi dapat menimbulkan masalah.
Untuk mengurangi water cut dapat dilakukan dengan menaikkan temperatur di
sekitar lubang sumur sehingga harga viskositas minyak di dekat lubang bor akan
turun.

B. Keuntungan dan Kerugian


Keuntungan :
1. Terjadinya efek swelling dapat dihindari
2. Tidak diperlukan alat treatment air seperti pada stimulasi steam
3. Kehilangan panas di permukaan dapat dihindari
4. Tidak dibutuhkan adanya penyekat (isolasi) untuk menghindari adanya
kehilangan panas di permukaan
Kerugian :
1. Laju panas yang dibangkitkan oleh pemanas lubang sumur dibatasi oleh
temperatur maksimum di mana pemanas tersebut dapat dioperasikan secara
aman.
2. Adanya kerusakan logam pada daerah pemanasan, kerusakan tersebut harus
dicegah.
3. Temperatur yang tinggi dapat meningkatkan laju korosi pada lingkungan
dasar sumur
4. Panas yang berlebihan dapat mengakibatkan timbulnya endapan organik
atau kerak arang (coking) yang merusak produktivitas serta menghalangi
perpindahan panas dari alat pemanas ke fluida yang dipanasi.

4.4.3.2. Injeksi Fluida Panas


4.4.3.2.1. Injeksi Air Panas
Injeksi air panas merupakan salah satu metode thermal recovery yang
digunakan untuk reservoir yang mempunyai viscositas tinggi. Metode ini juga
banyak digunakan untuk reservoir-reservoir dangkal yang mempunyai range
viscositas antara 100 – 1000 cp. Injeksi air panas akan mempengaruhi mobility
ratio water drive dalam reservoir dan karena itu akan menambah efisiensi
recovery.
4.4.3.2.1.1. Prinsip Dasar Injeksi Air Panas
Air yang diinjeksikan pada reservoir dipanaskan terlebih dahulu sampai
temperatur lebih tinggi dari pada temperatur reservoir mula-mula, tetapi lebih
rendah dari temperatur penguapan air. Air panas yang diinjeksikan menjadi dingin
saat kontak dengan batuan dan fluida in-situ dan dibawah kondisi steady state,
akan membentuk daerah utama yang dapat dibedakan berdasarkan profil
temperatur dan saturasi.
Zona I :
 Massa dari minyak yang terperangkap berkurang selama temperatur
bertambah.
 Kehilangan panas dari daerah panas ke sekeliling formasi mengakibatkan
berkurangnya temperatur yang banyak dalam arah aliran, tetapi tidak
mempengaruhi laju kemajuan zona tersebut.
Zona II :
 Minyak ditempat didesak oleh air pada temperatur yang sama.
 Saturasi minyak sisa dari zone II sama dengan jika dilakukan injeksi air
dingin. Penambahan keuntungan dari injeksi air panas biasanya terjadi
setelah breakthrough air dingin pada sumur produksi dan kenaikan
recovery minyak biasanya disertai dengan tingginya WOR (water oil
ratio).
4.4.3.2.1.2. Kelebihan dan Kekurangan Injeksi Air Panas
Kelebihan injeksi air panas :
1. Proses pendesakan panas sangat simpel dan dapat berfungsi sebagai water
flood.
2. Design dan operasinya sebagian besar dapat menggunakan fasilitas water
flood.
3. Efisiensi pendesakan lebih baik dari water flood conventional.
Kekurangan injeksi air panas :
1. Air mempunyai kapasitas panas yang rendah dibanding steam.
2.Perlu adanya treatment khusus untuk mengontrol korosi, problem scale,
swelling maupun problem emulsi.
3. Pada sand yang tipis, sejumlah panas akan hilang pada overburden dan
underburden, hal ini akan menjadi kritis apabila formasi underburden dan
overburden berupa shale.
4. Kehilangan panas cukup besar pada rate injeksi rendah dan formasi sand
yang tipis.
4.4.3.2.1.3. Mekanisme Dalam Injeksi Air Panas
Mekanisme pemanasan fluida di dalam reservoir dapat diterangkan
sebagai berikut. Air yang diinjeksikan dalam reservoir dipanaskan terlebih dahulu
sampai temperatur air lebih tinggi dari pada temperatur penguapan air. Di dalam
reservoir, air panas akan mengalir secara kontinyu ke lapisan yang lebih dingin
kemudian secara berangsur-angsur akan terjadi kehilangan panas sehingga
akhirnya temperatur mendingin sampai tercapai temperatur reservoir mula-mula
pada daerah yang terpanasi.
Zona yang terpanasi dan bagian atau bank air yang mendingin akan segera
terakumulasi setelah injeksi air panas dimulai. Bank air yang mendingin secara
kontinyu akan terbentuk di depan zona yang terpanasi, tetapi dengan laju yang
lebih lambat. Hal ini terjadi karena perpindahan panas hampir terjadi seketika dan
rasio kapasitas panas air dengan batuan sekitar dua atau tiga unit PV air panas
yang harus diinjeksikan untuk memanaskan satu volume bulk reservoir.
Distribusi temperatur dalam zone yang terpanasi tergantung kepada
kehilangan panas di cap rock dan base rock, tetapi kecepstan leading edge tidak
bergantung pada kehilangan panas. Kecepatan ini berbanding lurus dengan flux
air dan tergantung pada kapasitas panas air dan batuan.
Hubungan kecepatan dengan kapasitas panas menurut Dietz adalah sebagai
berikut :
Vtr ( 1+ ∅ ) ρm . cm+∅ . Sor . ρo . co
=1+
Vt ∅ ( 1−Sor ) ρw . cw
(4-79)
Keterangan :
cm = kapasitas panas spesific material matrix, kcal/kg.°C.
co = kapasitas panas spesific minyak, kcal/kg.°C.
cw = kapasitas panas spesific air, kcal/kg.°C.
Sor = saturasi minyak tersisa, fraksi.
Vt = kecepatan front temperatur T, m/hari.
Vtr = kecepatan front tracer, m/hari.
ρm = densitas material matrix, kg/m 3.
ρo = densitas minyak, kg/m3 .
ρw = densitas air, kg/m3.
ɸ = porositas, fraksi.
Pertama kali minyak akan di desak oleh air dingin sebelum front panas
sampai. Air panas akan mendingin lebih cepat dalam jari-jari yang kecil (small
fingers), sehingga panas berjalan lambat dalam reservoir.
Ulah dini dari hot water drive lebih buruk daripada cold water drive sebab
hot water kurang viscous dibandingkan dengan cold water tetapi hakekatnya
masih mendorong minyak dingin. Berangsur-angsur kemudian kehilangan panas
dari hot water channels akan menambah temperatur reservoir dengan cara
konduksi. Hal ini akan mengurangi viscositas minyak dan meningkatkan efek
water drive.
Dalam hot water channels, temperatur yang lebih tinggi akan mengurangi
oil/water viscosity ratio. Akibatnya pendeskan lebih efektif dan saturasi minyak
yang tersisa lebih rendah pada bagian yang tersapu dari lapisan minyak.
Penambahan keuntungan dari injeksi air panas biasanya terjadi setelah
breakthrough air dingin pada sumur produksi, dan kenaikkan recovery minyak
biasanya disertai dengan tingginya WOR (Water Oil Ratio).

Perencanaan dan Pelaksanaan Injeksi Air Panas


Pelaksanaan dari injeksi ini adalah setelah sejumlah air yang diperlukan
untuk injeksi, dipanaskan dalam pemanas air yang telah disediakan, sampai lebih
tinggi daripada temperatur reservoir mula-mula tetapi lebih kecil daripada
temperatur penguapan air. Kemudian dengan bantuan kompresor fluida
diinjeksikan ke dalam sumur injeksi menuju reservoir sebagai target. Setelah
sampai pada target yang diharapkan, maka panas yang terkandung dalam air panas
akan berpindah ke sebagian besar fluida reservoir itu, sehingga temperatur fluida
reservoir akan naik. Dengan naiknya temperatur fluida temperatur fluida reservoir,
maka viscositas minyak akan mengecil dan mobilitas fluida reservoir akan naik
lebih besar dari fluida pendesak. Sehingga fluida yang didesak akan lebih mudah
bergerak ke sumur produksi.
4.4.3.2.2. Injeksi Uap
Injeksi uap adalah menginjeksikan uap ke dalam reservoir minyak untuk
mengurangi viskositas yang tinggi supaya pendesakan minyak lebih efektif,
sehingga akan meningkatkan perolehan minyak.
Proses pelaksanaan injeksi uap hampir sama dengan injeksi air. Uap
diinjeksikan secara terus-menerus melalui sumur injeksi dan minyak yang didesak
akan diproduksikan melalui sumur produksi yang berdekatan. Ada dua macam
injeksi uap yang dapat dilakukan yaitu :
1. Stimulasi uap (steam soak).
Pada proses ini terdapat tiga tahap kejadian. Untuk tahap pertama,
sejumlah uap kualitas tinggi diinjeksikan ke dalam sumur dengan rate injeksi yang
besar.
Tahap kedua, sumur ditutup beberapa minggu agar uap dapat memanaskan
minyak yang ada disekeliling lubang sumur agar menjadi encer (viskositas
rendah).
Pada tahap ketiga sumur dibuka dan diproduksikan sampai laju produksi
menurun, dan pada seat ini uap diinjeksikan kembali untuk mengulangi proses
tersebut. Pada steam soak sumur injeksi dan produksi adalah sama, sehingga pada
saat produksi lapisan di sekitar sumur menjadi bersih dan permeabilitasnya dapat
meningkat. Metoda ini dapat berlangsung dengan baik pada reservoir yang
dangkal.
2. Pendesakan Uap
Pada proses ini uap diinjeksikan untuk memanaskan dan mendesak
minyak berat ke sumur produksi.
Pada saat uap mengalir ke dalam batuan yang mengandung minyak, uap
berubah menjadi air panas karena temperatur turun akibat pelepasan panas dari
uap ke batuan dan fluida teservoir. Uap tidak hanya menyebabkan viskositas
minyak turun dengan kenaikan temperatur, tetapi juga menyebabkan pendesakan
minyak.
Marx dan Langenheim telah mendapatkan suatu metoda untuk
meramalkan pengembangan zone uap dimana untuk satu sumur injeksi dengan
laju injeksi yang konstan didapat penyelesaian persamaan daerah terpanasi A(t)
untuk jangka waktu t adalah :
HoMh 2x
A(t) = ( 4 K he ² ∆ T )(e x²
erfc x +
√π
−1 ) (4-80)

dengan :
2 K he 12
x = (
M h √α )
t , tidak berdimensi.

M = ( ( 1−∅ ) Cr +S w ∅ ρw C w +S o ∅ ρ o C o ) , BTU/ft3-°F
x
2
erf (x) = ∫ exp ( −t 2 ) dt
π
√ 0
erfc (x) = 1- erf (x)
Keterangan :
A(t) = kumulatif luas daerah terpanasi pada waktu t, ft2.
Ho = laju injeksi panas, BTU/jam,
H = ketebalan reservoir, ft.
α = difusivitas panas batuan, ft2/jam.
Khe = konduktivitas panas batuan, BTU/jam-ft-°F.
∆T = Ti - Tres, °F.
Ti = temperatur injeksi, °F.
Tres = temperatur reservoir mula-mula, °F.
ɸ = porositas batuan, fraksi.
S = saturasi, fraksi.
C = panas spesifik, BTU/lb-°F.
t = waktu, jam.
erf (x) = error function dari x.
erfc (x)= complementary error function dari x.
Subscript o, w dan r masing-masing untuk minyak, air dan batuan.
Untuk model Marx den Lengenheim, maka persamaan laju pendesakan
minyak dapat dinyatakan sebagai volume zone uap di dalam reservoir, yaitu :
H ot 2x
Vst = ( M x ∆T2 )( e x ² erfc x+
√π
−1 ) (4-81)
Pada proyek injeksi uap dalam prinsip desaturasi maupun kerja torak
diambil anggapan bahwa setelah steam breakhthrough tidak ada lagi produksi
minyak. Dalam hal ini Volek den Pryor, untuk peramalan recovery menyatakan
bahwa minyak yang diproduksikan sama dengan volume zone uap sampai saat
breakhthrough yang diekuivalenkan dengan bulk volume pattern berbentuk radial
dikalikan dengan sweep efficiencynya.
Dalam hal ini Volek den Pryor mengemukakan suatu persamaan untuk
menghitung produksi kumulatif minyak (Np), dengan anggapan bahwa
reservoirnya homogen dan isotropik, ketebalan lapisan merata serta
perkembangan zone uap berbentuk radial.
hn So−Sor Vst
Np = ϕ (
ht Bo )( 5.6146 )
(4-82)
Keterangan :
Np = produksi minyak kumulatif, STB.
hn = ketebalan lapisan bersih, ft.
ht = ketebalan lapisan total, ft.
Vst = volume zona uap, ft3.
4.4.3.2.2.1. Sifat-Sifat Uap
Jika 1 lb pada temperatur awal ti (°F) dipanaskan pada tekanan konstan Ps
(psia), akan didapat temperatur maksimal ts, yang disebut temperatur saturasi,
sebelum berubah menjadi uap. Jumlah panas yang diserap air, hw, diberikan
dalam persamaan :
hw = Cw (ts – ti), ti ≥ 32 °F (4-83)
Cw = panas spesifik air (BTU/lb-°F) dalam range temperatur antara ti sampai ts.
Dengan suplai panas yang kontinyu, temperatur air tidak berubah sampai
seluruh air diubah menjadi uap. Jumlah panas 1 (BTU/lb) yang diperlukan untuk
mengubah air dari air cairan pada temperatur ts dan tekanan Ps menjadi uap pada
temperatur dan tekanan yang sama disebut entalpi penguapan atau panas laten
penguapan. Uap pada ts dan Ps disebut uap tersaturasi. Kandungan panasnya
merupakan entalpi uap dan diberikan dalam persamaan : hs = hw + 1.
4.4.3.2.2.2. Model-Model Studi
Perolehan minyak dengan kondisi injeksi panas yang terus menerus secara
ekonomis akan berlangsung baik sepanjang net value minyak yang didesak per
satuan waktu melebihi biaya untuk menghasilkan panas per satuan waktu. Studi
teoritis laboratorium memperlihatkan bahwa laju kehilangan panas adalah faktor
penting yang menentukan ekonomis kelayakan proyeksi injeksi uap.
Beberapa model studi yang telah dikembangkan diantaranya adalah
sebagai berikut :
A. Model Marx dan Langenheim
Anggapan-anggapan dalam model Marx dan Langenheim adalah :
 Cap rock dan base rock merupakan batuan yang homogen dan isotropik
dengan ketebalan tidak terhingga.
 Mekanisme panas konduksi dalam arah radial diabaikan.
 Uap mendesak minyak tanpa hot water bank.
 Minyak yang didesak adalah tidak kompresibel.
 Laju injeksi dan kualitas uap konstan.
 Pada zona uap temperatur uap seragam.
 Kehilangan panas ke cap rock dan base rock hanya oleh makanisme
konduksi.
 Tidak ada kehilangan panas ke dalan zone liquid di depan front kondensasi.
B. Model Willman et al
Hampir sama dengan model Marx dan Langenheim. Model ini menghitung
ukuran daerah penyapuan pada suatu waktu sejak permulaan injeksi uap. Untuk
memprediksi perolehan minyak digunakan model saturasi Buckley-Leverett.
Willman juga melakukan studi percobaan untuk memperkirakan kelakuan
lapangan pada proses injeksi panas. Kesimpulan yang didapat adalah :
 Injeksi uap memiliki perolehan minyak yang lebih banyak dibandingkan
dengan injeksi air biasa.
 Perolehan meningkat karena adanya penurunan viskositas dan ekspansi
panas minyak.
 Injeksi digunakan khususnya untuk minyak kental karena dapat menurunkan
perbandingan viskositas minyak-air dengan tajam.
 Perolehan dengan injeksi uap lebih tinggi dibandingkan dengan injeksi air
panas.
 Minyak terproduksi sesaat sebelum uap breakthrough memiliki API yang
lebih rendah dibandingkan dengan OOIP karena distilasi uap.
 Prosentase peningkatan dalam perolehan minyak dengan tekanan dan
temperatur uap tinggi lebih rendah dibandingkan dengan prosentase
peningkatan dalam panas yang diperlukan untuk meningkatkan temperatur
uap tersaturasi tekanan tinggi
 Saturasi minyak sisa setelah injeksi uap tidak tergantung saturasi minyak
awal.
 Massa air yang dibutuhkan dalam bentuk uap untuk memanasi reservoir
lebih kecil daripada jika air diinjeksikan dalam bentuk cairan.
 Untuk meminimalkan panas yang dibutuhkan, laju injeksi harus tinggi, pola
injeksi harus kecil dan formasi harus tebal.
 Jika saturasi minyak awal tinggi, perolehan minyak tiap bbl uap yang
diinjeksi juga akan tinggi.
4.4.3.2.2.3. Kelebihan dan Kekurangan Injeksi Uap
Kelebihan Injeksi Uap :
1. Uap mempunyai kandungan panas yang lebih besar dari pada air, sehingga
efisiensi pendesakan lebih efektif.
2. Recovery lebih besar dibandingkan dengan injeksi air panas untuk jumlah
input energi yang sama.
3. Didalam formasi akan berbentuk zone steam dan zone air panas, dimana
masing-masing zone ini akan mempunyai peranan terhadap proses
pendesakan minyak ke sumur produksi.
4. Efisiensi pendesakan sampai 60 % OOIP.

Kekurangan Injeksi Uap :


1. Terjadinya kehilangan panas di seluruh transmisi, sehingga perlu
pemasangan isolasi pada pipa.
2. Spasi sumur harus rapat, karena adanya panas yang hilang dalam formasi.
3. Terjadinya problem korosi, scale maupun emulsi.
4. Karena adanya perbedaan gravitasi, formasi pada bagian atas akan
tersaturasi steam, sehingga efisiensi pendesakan pada formasi bagian atas
sangat baik. Oleh karena itu secara keseluruhan, efisiensi pendesakan
vertikalnya kurang baik.
5. Kecenderungan terjadinya angket oil sangat besar, tergantung pada faktor
heterogenitas batuan.
4.4.3.2.2.4. Mekanisme Injeksi Uap
Mekanisme injeksi uap merupakan proses yang serupa dengan pendesakan
air. Suatu pola sumur yang baik dipilih dan uap diiinjeksikan secara terus menerus
melalui sumur injeksi dan minyak yang didesak dan diproduksikan melalui sumur
lain yang berdekatan. Uap yang diinjeksikan akan membentuk suatu zona jenuh
uap (steam saturated zone) disekitar sumur injeksi.
Temperatur dari zona ini hampir sama dengan temperatur uap yang
diinjeksikan. Kemuadian uap bergerak menjauhi sumur, temperaturnya berkurang
secara kontinyu disebabkan oleh penurunan tekanan. Pada jarak tertentu dari
sumur (tergantung dari temperatur uap mula-mula dan laju penurunan tekanan),
uap akan mencair dan membentuk hot water bank.
Pada zona uap, minyak tergiring oleh distilasi dan pendorongan uap. Pada
hot water, perubahan sifat-sifat fisik minyak dan batuan reservoir mempengaruhi
dan menghasilkan perolehan minyak. Perubahan tersebut adalah ekspansi panas
dari minyak, penurunan viskositas dan saturasi minyak sisa dan merubah
permeabilitas relatif.

4.4.3.3. Pembakaran di Tempat (In-Situ Combustion)


In-situ combustion adalah proses pembakaran sebagian minyak dalam
reservoir untuk mendapatkan panas , dimana pembakaran dalam reservoir dapat
berlangsung bila terdapat cukup oksigen (O2) yang diinjeksikan dari permukaan.
Untuk memulai pembakaran dipakai minyak pembakar yang dinyalakan dengan
listrik, kemudian pembakaran berlangsung terus dengan minyak reservoir dan
injeksi O2 terus dilakukan, sehingga pembakaran bergerak menuju sumur
produksi. Temperatur pembakaran dapat mencapai 600 – 1200 °F.
Panas yang ditimbulkan memberi efek penurunan viskositas,
pengembangan dan destilasi minyak dengan efek gas drive dan solvent extraction,
semua ini akan menyebabkan minyak terdesak ke sumur produksi.
Berhubung pemakaian in situ combustion memakan biaya yang relatif
besar, maka diharapkan peningkatan recovery yang lebih besar den lebih cepat.
Untuk memenuhi alasan ini keadaan reservoir (sifat batuan, sifat fluida reservoir,
ukuran reservoir dan kedalaman lapisan) sangat menentukan keberhasilan in-situ
combustion. Secara teknis, metoda ini dapat dikatakan berhasil bila pembakaran
dapat berlanjut sampai sumur produksi, dan ini dapat tercapai apabila :
 Reservoir dapat menyediakan cukup bahan bakar untuk proses
pembakaran.
 Pembakaran tidak padam oleh hilangnya panas dan liquid blocking.
Sedangkan kriteria kondisi reservoir yang cocok untuk metoda ini adalah :
 API gravity minyak 25.
 Viskositas minyak 20.
 Kedalaman reservoir 5000 ft, dan ketebalan lapisan > 10 ft.
 Jenis batuan reservoir batupasir dan sisa minyak > 500 bbl/acre-ft.
4.4.3.3.1. Jenis-Jenis In-Situ Combustion
In-Situ Combustion disebut juga fire flood. Penyalaan yang terjadi di satu
tempat di reservoir akan merambat ke arah dimana terdapat bahan bakar yang
telah tercampur dengan udara injeksi. Berdasarkan perambatan pembakaran ini
In-Situ Combustion dibagi dalam forward combustion dan reverse combustion.
4.4.3.3.1.1. Forward Combustion
Gambar 4.54.
Untuk jenis ini arah pergerakan muka pembakaran searah dengan arah
Mekanisme In-Situ Combustion
pergerakan udara injeksi. Penyalaan
(Gomma E.E. Optimizationdilakukan dekat dengan
of Steamflood Development. 1975) sumur injeksi dan
pembakaran merambat menuju sumur produksi. Jadi pada forward combustion,
muka pembakaran bergerak dari sumur injeksi ke sumur produksi.
Udara yang diinjeksikan dapat ditambah air, artinya udara injeksi bukan
udara kering. Berdasarkan kadar air terhadap udara injeksi forward combustion,
maka forward combustion digolongkan ke dalam dry combustion, wet
combustiondan combination of forward combustion and water flood (partially
quenched combustion atau pemadaman sebagai pembakaran).

Gambar 4.55.
Proses Forward Combustion
(http://www.oilfieldwiki.com/w/images/thumb/3/3b/S3.jpg/400px-S3.jpg)
A. Dry Combustion
Pada dry combustion, injeksi udara kering dilakukan melalui sumur injeksi
udara ini akan bereaksi dengan bahan bakar di reservoir, dimana campuran ini
pada temperatur tertentu akan terbakar (menyala).
Daerah didepan muka pembakaran akan naik temperaturnya dan dengan
adanya udara bercampur dengan bahan bakar, perambatan pembakaran akan
terjadi. Dibagian lain, daerah dibelakang muka pembakaran, pembakaran akan
berlangsung terus hingga bahan bakar di daerah tersebut habis.
Karena pembakaran ini akan mengambil O2 dari udara injeksi, maka udara
yang sampai didepan muka pembakaran merupakan udara sisa. Hal ini merupakan
kelemahan pemakaian dry combustion pada reservoir yang mengandung bahan
bakar dalam jumlah yang besar, karena untuk mendapatkan laju pembakaran
minimum diperlukan laju injeksi udara yang besar berarti menaikkan biaya
kompresi udara, dimana biaya ini memegang peranan penting dalam menentukan
keberhasilan proyek secara ekonomis. Di lain pihak, secara teknis, kompresor juga
memiliki kemampuan terbatas.
B. Wet Combustion
Pada wet combustion, udara yang diinjeksikan ke dalam reservoir, bukan
merupakan udara kering tetapi mengandung air. Kegunaan air yang diikutsertakan
pada udara injeksi adalah untuk menaikkan efisiensi panas.
Panas yang ditimbulkan pembakaran pada in situ combustion dimaksudkan
untuk menaikkan temperatur minyak agar viskositas minyak menurun. Zona
pembakaran bergerak lebih lambat dari pergerakan fluida, berarti dibelakang zona
pembakaran diharapkan tidak ada lagi minyak yang bergerak. Daerah dibelakang
zona pembakaran mempunyai temperatur yang sangat tinggi. Apabila dibiarkan,
panas akan menyebar ke lapisan atas dan lapisan bawah dari lapisan sasarannya,
berarti ini merupakan panas yang terbuang. Air yang terkandung dalam udara
injeksi akan menyerap panas dengan efek konduksi, kemudian terjadi penguapan.
Uap yang terjadi akan masuk ke dalam zona pembakaran dan lajunya lebih besar,
sehingga uap akan menembus muka pembakaran dan memasuki daerah yang lebih
dingin. Pada daerah yang lebih dingin ini akan terjadi lagi pelepasan panas oleh
uap air tersebut dan terjadi kondensasi. Jadi dapat dilihat bahwa panas yang
tertinggal pada batuan dibelakang zona pembakaran oleh air yang terkandung
pada udara injeksi dipindahkan ke zona di depan muka pembakaran.
C. Combination of Forward Combustion and Water Flooding (COFCAW)
Combination of Forward Combustion and Water Flooding di sebut juga
partially quenched combustion (pemadaman sebagian pembakaran). Kadar air
pada udara injeksi lebih besar dibandingkan wet combustion.
Air yang terdapat pada udara injeksi tidak akan teruapkan seluruhnya dan
air ini akan menyerap zona pembakaran hingga temperatur zona ini turun, tertapi
masih dijaga diatas suhu (panas) yang dapat melanjutkan pembakaran, dan
temperatur di depan muka pembakaran masih dapat melakukan destilasi crude oil
(mengendapkan bahan bakar pada batuan dan mengalirkan komponen ringan
hidrokarbon). Makin kecil temperatur zone combustion, makin kecil pula panas
yang hilang ke lapisan atas dan bawah dari target.
Pemadaman sebagai pembakaran disini diartikan karena tidak semua
bahan bakar yang terendap pada batuan dipakai. Penurunan temperatur zone
combustion secara terus-menerus mengakibatkan pembakaran padam sebelum
bahan bakar tersedia habis.
4.4.3.3.1.2. Reverse Combustion
Arah pergerakkan muka pembakaran pada jenis ini berlawanan dengan
arah pergerakkan udara injeksi. Penyalaan terjadi di sekitar sumur produksi,
bergerak merambat ke arah sumur injeksi. Udara yang diinjeksikan melalui sumur
injeksi membentuk cerobong-cerobong udara ke arah sumur produksi, sehingga
pembakaran dapat berlangsung di dekat sumur produksi dengan sumber O2 berasal
dari sumur injeksi.
Dilihat dari pergerakan muka pembakaran, minyak produksi reserve
combustion berbeda dengan minyak produksi forward combustion. Pada reserve
combustion minyak produksi telah mengalami pembakaran, bukan hanya efek
konduksi. Terjadinya adalah sebagai berikut, minyak di depan muka pembakaran
akan turun viskositasnya oleh efek konduksi panas dan siap untuk bergerak,
karena tekanan pada sumur injeksi lebih besar dari tekanan sumur produksi, maka
minyak bergerak ke arah sumur produksi melalui zone combustion. Seluruh
minyak yang dapat terbakar di reservoir akan terbakar pada zone combustion,
sisanya yang bergerak masuk sumur produksi. Oleh karena itu mutu minyak
produksi jenis ini lebih rendah daripada minyak produksi forward combustion.
Tetapi dilain pihak reserve combustion akan dapat memproduksi reservoir
yang mengandung minyak yang immobile semi solid, ini dapat dijelaskan oleh
proses pergerakan muka pembakaran di atas.

4.4.3.3.2. Kelebihan Dan Kekurangan In–Situ Combustion


Kelebihan In-Situ Combustion :
1. Kecuali untuk minyak yang memberikan coke dalam jumlah kurang dari 1
lb/cuft dan ketebalan reservoir 10 ft atau kurang, pemanasan reservoir
dengan menggunakan injeksi uap lebih murah dibandingkan forward
combustion.
2. Untuk ketebalan, tekanan dan laju injeksi panas yang tertentu, salah satu
Gambar 4.56.
proses mungkin dapat lebih murah tergantung pada konsumsi bahan bakar
Proses Reverse –Combustion
(Dr. Ir. Septoratno S., Ir. Dedy K., M.Sc. Enhanced Oil Recovery.1999)
dan kedalaman reserevoir. Namun jika harga bahan bakar meningkat, biaya
pemanasan dengan menggunakan injeksi uap menjadi lebih besar.
3. Endapan coke yang semakin meningkat dapat membuat injeksi uap lebih
menguntungkan.
4. Kehilangan panas di lubang sumur yang bertambah karena bertambahnya
kedalaman akan membuat forward combustion lebih menguntungkan.
5. Jika jarak yang harus dipanasi dalam reservoir bertambah, pemanasan
dengan menggunakan combustion lebih menguntungkan.
6. Jika ketebalan pasir berkurang dan tekanan bertambah, combustion lebih
menguntungkan dibandingkan injeksi uap.
7. Jika laju injeksi berkurang, biaya injeksi uap menjadi relatif lebih
menguntungkan dibandingkan dengan udara.
Kekurangan In-Situ Combustion :
1. In-situ combustion memiliki kecenderungan hanya menyapu minyak
bagian atas daerah minyak sehingga penyapuan vertikal pada formasi
yang sangat tebal biasanya buruk. Front pembakaran menghasilkan uap
baik dari penguapan maupun raeksi pembakaran. Uap akan memobilisasi
dan mendesak minyak berat ke depan front, tetapi saat terjadi
pengembunan uap air, air pengembunan akan mengendap di bawah uap
air dan gas pembakaran sehingga menyebabkan aliran uap terkumpul di
bagian atas daerah minyak.
2. Kebanyakan panas yang dihasilkan dari in-situ combustion tidak digunakan
dalam pemanasan minyak, sebaliknya digunakan untuk memanaskan
lapisan oil-bearing, interbedded shale dan tudung serta dasar batuan. In-
situ combustion akan layak secara ekonomi jika ada sedikit material
batuan, sebagai contoh memiliki porositas dan saturasi yang tinggi dan
tebal pasir cukup.
3. Minyak yang kental dan berat cocok untuk in-situ combustion sebab
memberikan bahan bakar yang diperlukan. Tetapi perbandingan udara
terhadap minyak yang dibutuhkan tinggi, sementara harga jual pada
umumnya lebih rendah dibandingkan dengan minyak ringan.
4. Instalasi in-situ combustion memerlukan biaya investasi yang besar. Akan
tetapi instalasi permukaan mengkonsumsi bahan bakar lebih sedikit
dibandingkan peralatan air panas atau generator uap.
5. Beberapa permasalahan serius dalam in-situ combustion antara lain :
a. Terbentuknya emulsi air minyak yang memiliki kekentalan seperti
susu kental akan dapat menyebabkan permasalah pada pemompaan
dan menurunkan produktivitas sumur.
b. Terproduksinya air panas yang memiliki pH rendah (asam), yang kaya
akan sulfat dan besi, yang menyebabkan polusi lingkungan dan
permasalahan korosi pada sumur produksi.
c. Produksi pasir dan caving meningkat yang dapat menyebabkan
penyumbatan pada liner.
d. Penyumbatan lubang sumur produksi karena pengendapan karbon dan
lilin sebagai hasil peretakan panas minyak.
e. Produksi gas yang membahayakan lingkungan seperti karbon
monoksida dan hidrogen sulfida.
f. Kerusakan tubing dan liner karena terlalu tingginya temperatur pada
sumur-sumur produksi.
4.4.3.3.3. Mekanisme In–Situ Combustion
Suatu pembakaran diawali dengan penyalaan dan panas yang dihasilkan
akan merambat secara konduksi. Dengan tersedianya oksigen yang cukup, crude
oil akan ikut terbakar setelah temperatur nyalanya tercapai. Bahan bakar untuk
tahap lanjut bukan lagi crude oil (hidrokarbon ringan sampai berat). Dengan
naiknya temperatur, minyak akan lebih mudah bergerak sehingga sebagian
minyak terdesak akan menjauhi zone pembakaran.
Bahan bakar yang dipergunakan adalah endapan hidrokarbon yang
mempunyai perbandingan atom C/H yang relatif besar yang disebut coke. Dalam
injeksi pada in-situ combustion dapat dibagi tiga tahapan, yaitu :
A. Tahap Sebelum Penyalaan
B. Tahap Penyalaan
C. Tahap Lanjutan Pembakaran
A. Tahap Sebelum Penyalaan
Tahap ini bertujuan untuk menaikkan harga saturasi gas di reservoir
sampai mencapai harga saturasi kritis (Sgc), di bawah harga ini gas tidak dapat
bergerak), yaitu dengan menginjeksikan gas ke dalam reservoir. Apabila saturasi
gas reservoir kecil (Sg = Sgc, maka Krg = 0), maka gas akan sulit mengalir dan
akan menghalangi pencampuran oksigen dengan bahan bakar. Bila keadaan ini
berlarut-larut, maka pembakaran dapat padam, dan kasus ini dekenal dengan
sebutan “liquid blocking”.
Sedangkan bila terjadi penyalaan terlalu awal atau yang disebut dengan
penyalaan dini (premature ignition). Ini dapat terjadi bila gas yang diinjeksikan
adalah udara. Udara mengandung ± 20 % volume oksigen. Oksigen dengan crude
oil akan melakukan reaksi eksoterm. Dalam kondisi temperatur reservoir (100 °F)
reaksi oksidasi crude akan berjalan lambat. Tetapi tahap sebelum penyalaan
memakan waktu yang lama, penyalaan spontan dapat terjadi, ini disebabkan sifat
crude oil untuk melakukan reaksi oksidasi, yaitu dengan naiknya temperatur
reaksi oksidasi akan bertambah cepat.
Ada beberapa jenis crude oil yang dapaat melakukan reaksi oksidasi yang
cukup cepat pada suhu 100 °F. Untuk keadaan seperti ini, dianjurkan untuk
melakukan injeksi pada tahap sebelum penyalaan menggunakan gas yang tidak
melakukan reaksi eksoterm dengan crude oil, seperti halnya udara. Setelah harga
saturasi gas ditetapkan, selanjutnya dilakukan tahap penyalaan.
B. Tahap penyalaan
Dalam tahap ini, daerah penyalaan dekat dengan sumur injeksi dan waktu
untuk mendapatkannya relatif singkat. Bila penyalaan yang terjadi jauh dari sumur
injeksi mengakibatkan terjadinya arah gerak pembakaran balik (reserve
combustion), front bergerak ke arah sumur injeksi. Saat front tiba di sumur
injeksi, temperatur akan tinggi melampaui daya tahan peralatan bawah
permukaan. Bila waktu penyalaan terlalu lama, maka akan memakan biaya
pengeluaran yang lebih besar karena waktu penyalaan dapat mencapai berminggu-
minggu. Untuk mendapatkan penyalaan yang diinginkan, tersedia beberapa
metode penyalaan dan ini disesuaikan dengan keadaan reservoirnya.
Strange, mengelompokkan metode penyalaan menjadi dua yaitu :
penyalaan spontan dan penyalaan buatan.
Dalam penyalaan spontan, reaksi antara oksigen dengan crude oil dan
panas hasil pembakaran (oksidasi) akan mencapai temperatur nyala dari crude oil.
Sedangkan untuk penyalaan buatan membutuhkan bantuan untuk mencapai
temperatur nyala. Penyalaan ini membutuhkan electrical meter, downhole burner,
hot fluid injection dan chemical. spontan dan penyalaan buatan.
Dalam penyalaan spontan akan terjadi nyala apabila temperatur formasi
telah mencapai temperatur nyala. Waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan
temperatur nyala, oleh Tadema dan Weujama diturunkan dari panas yang dilepas
oleh reaksi oksidasi dan absorbsi panas formasi. Persamaannya adalah sebagai
berikut :

2T 0
( )
ti =
( ρ1 C 1 T 0 1+
B
86400 ϕ S 0 ρ0 H A0 P
B
T0
n
x )
+
B
T0
(4-84)

Keterangan :
ti = waktu penyalaan, hari.
ρi = densitas oil bearing formation, kg/m3.
ρ0 = densitas minyak, kg/m3.
C1 = spesifik heat dari oil bearing formation, . C kgcal k 0
T0 = temperatur mula-mula, °K.
A0 = konstanta, det-1 atm -1.
B = konstanta, °K.
n = eksponen tekanan.
H = panas reaksi, . 2 O kgcal k
FX = tekanan partial oksigen, atm.
= 0,209 P, dimana P adalah tekanan injeksi udara.

C. Tahap Lanjutan Penyalaan


Setelah nyala terjadi, diharapkan pembakaran merambat sampai sumur
produksi tercapai. Pada proses ini bahan bakar yang digunakan berbeda dengan
proses penyalaan jenis hidrokarbon ringan. Setelah terdesak lebih dahulu,
sehingga bahan bakar yang digunakan adalah endapan hidrokarbon yang disebut
coke. Coke mempunyai perbandingan atom C/H yang besar. Jenis ini sulit
terbakar dibandingkan dengan crude oil umumnya.
Tiga faktor utama yang menentukan perambatan pembakaran, yaitu :
bahan bakar, oksigen dan temperatur. Campuran bahan bakar dengan oksigen
akan terbakar pada temperatur tertentu, berikut reaksinya :
O2 + bahan bakar T = x °C CO2 + CO + air
Harga x tergantung dari jenis bahan bakar, semakin besar harga
perbandingan atom C/H, maka semakin besar harga x.
Aplikasi Di Lapangan
Parameter yang harus diperhatikan sebelum dilakukan aplikasi praktis
adalah:
A. Parameter Reservoir
1. Permeabilitas.
Pada pendesakan skala lapangan penuh, permeabilitas yang dianjurkan tidak
kurang dari 1 darcy.
2. Kandungan dan sifat minyak.
Tidak ada batasan teknis mengenai kandungan minyak minimum yang di
persyaratkan. Viskositas yang dianjurkan adalah yang sedang. Injeksi
thermal memberikan hasil yang baik pada minyak ringan (light oil).
3. Pengaruh kualitatif injeksi fluida panas sehubungan dengan kelskuan
minyak dan matriks batuan. Peningkatan temperatur matriks batuan dan
lintasan uap serta kondensasinya yang berikut dalam pori-pori menyebabkan
efek sekunder yang pelu diperhitungkan seperti : kebasahan batuan berubah
karena adanya uap, pengembangan (swelling) lempung-lempung tertentu
oleh tertentu oleh air tawar yang telah mengembun (fresh condensed water),
pembentukan beberapa emulsi, efek pembersihan (clean-up effect).
4. Ketebalan, kedalaman, pelapisan dan heterogenitas formasi.
5. Dalam pemilihan reservoir untuk dilakukan injeksi fluida panas, ada dua
parameter utama yang harus dipertimbangkan, yaitu : jumlah relatif
kehilangan panas yang tergantung pada ketebalan dan kedalaman formasi,
aspek-aspek teknik dan injeksi bertekanan tinggi.
6. Tekanan reservoir. Jika tekanan reservoir tidak cukup, stimulasi uap menjadi
tidak ekonomis. Akan tetapi jika pengaturan periode injeksi dan perendaman
sesuai akan didapat produksi minyak yang banyak.
B. Parameter Operasi
1. Laju injeksi dan kualitas uap.
2. Dalam kasus pendesakan : jarak antar sumur.
3. Sumur-sumur sering diatur sedemikian rupa sehingga dapat meminimalkan
pengaruh chanelling yang merugikan (pola line drive) atau heksagonal atau
oktagonal.
Dalam kasus stimulasi : waktu injeksi, waktu perendaman, waktu produksi dan
laju produksi.

4.5. Injeksi Mikroba (Microbial Enhanced Oil Recovery)


Injeksi mikroba adalah suatu metode pengurasan minyak tahap lanjut
dengan cara menginjeksikan mikroba ke dalam reservoir untuk meningkatkan
perolehan minyak. Bakteri yang ada dalam reservoir kemungkinan berasal dari
sisa-sisa populasi bakteri yang ada pada saat pembentukan minyak bumi. Ada
kemungkinan adalah karena penetrasi sepanjang aquifer dari permukaan. Penetrasi
bakteri dari permukaan bisa memerlukan waktu yang bertahun-tahun, selama air
tersebut mengandung karbon atau bahan organik dalam batuan yang mereka
lewati. Jenis bakteri yang biasanya digunakan adalah Hydrocarbonaclasticus dan
Halohydrocarbonaclasticus yang dapat mendegradasi minyak berat dalam
reservoir sehingga minyak dapat mengalir ke lubang bor.
Adanya bakteri dalam reservoir akan mempunyai pengaruh seperti:
1. Penyumbatan pori, yaitu penyumbatan pada pore throat sehingga akan
memperkecil porositas dan permeabilitas batuan. Hal ini dapat diakibatkan oleh
adanya bakteri yang berspora atau dapat juga sebagai adanya pertumbuhan
bakteri itu sendiri. Penyumbatan bisa terjadi karena sel-sel bakteri itu sendiri
maupun ileh hasil metabolisme bakteri.
2. Degradasi hidrokarbon
Jenis hidrokarbon sangat dipengaruhi oleh komposisi dan ikatan kimia. Zobell
(1950) mengamati kemampuan mikroba dalam mendegradasi hidrokarbon.
a. Hidrokarbon alifatik lebih mudah didegradasi daripada hidrokarbon
aromatik.
b. Rantai panjang lebih mudah didegradasi daripada rantai pendek.
c. Hidrokarbon tidak jenuh lebih mudah didegradasi daripada hidrokarbon
jenuh.
d. Hidrokarbon rantai bercabang lebih mudah didegradasi daripada
hidrokarbon rantai lurus.
3. Pengasaman (souring), produksi asam oleh mikroba sebagai hasil proses
glikolisis atau proses fermentasi. Produksi asam ini dapat mengakibatkan
adanya perubahan porositas dan permeabilitas. Jika bereaksi dengan karbonat
dan menghasilkan CO2 permeabilitas pada reservoir karbonat diharapkan naik.
Gas CO2 ini dapat mengakibatkan terjadinya oil swelling sehingga viscositas
minyak akan turun.
4.5.1. Karakteristik Mikroba
Mikroba merupakan organisme bersel satu, mempunyai bentuk serat
(flamen) atau rangkaian sel yang dapat terdiri dari dua atau lebih sel yang
berbentuk rantai.

Gambar 4.57.
Bentuk dan Susunan Sel Bakteri
(http://xplankton.blogspot.com/2010/10/sel-bakteri.html)
Tabel IV-4.
Komposisi Kimia Sel Mikroba
(Dr. Ir. Septoratno S., Ir. Dedy K., M.Sc. Enhanced Oil Recovery.1999)

4.5..2. Kriteria Mikroba untuk MEOR


1. Mempunyai ukuran kecil, sehingga mudah bergerak diantara pori-pori
batuan.
2. Tahan terhadap tekanan tinggi karena reservoirminyak umumnya
mempunyai tekanan tinggi karena kedalamannya.
3. Tahan terhadap temperatur tinggi.
4. Tidak membutuhkan banyak nutrien, dan lebih baik lagi jika dapat
berkembang pada media garam mineral yang terdapat dalam air formasi
dengan menggunakan bagian dari minyak mentah sebagai sumber karbon
dan energi.
5. Dapat melakukan metabolisme secara anaerobik, karena kadar oksigen di
dalam reservoir sangat minim.
6. Hasil dari metabolismenya dapat membantu memobilisasi minyak di dalam
reservoir.

7. Tidak menimbulkan akibat-akibat yang berpengaruh buruk terhadap sifat-


sifat minyak dan reservoir.
Ada beberapa batasan dimana metode EOR dengan mikroba ini tidak
efektif, bahkan pada keadaan yang paling baik. Terdapat juga beberapa
kemungkinan kegagalan pada setiap penerapan Enhanced Oil Recovery. Frekuensi
keberhasilan mungkin lebih sedikit daripada prosedur industri yang rutin karena
teknik enhancement yang digunakan pada sumur-sumur yang berbeda hampir
selalu dijalankan pada keadaan yang berbeda pula. EOR bukanlah suatu operasi
yang rutin seperti halnya pembuatan barang-barang di pabrik. Beberapa masalah
yang mungkin terjadi adalah seperti di bawah ini :
1. Penyumbatan formasi.
2. Kondisi geologi yang tidak tepat (patahan, perubahan strategi).
3. Sifat minyak mentah yang tidak tepat.
4. Kontaminasi mikroorganisme lain yang merugikan.
5. Tidak cukup nutrisi.
6. Kegagalan sistem biologi.

4.5.3. Metode Penginjeksian Mikroba


Ada 2 metode untuk penginjeksian mikroba, yaitu :
1. Cara Huff-puff like, digunakan pada reservoir dangkal dimana bakteri
bersama waterflood dan nutriennya diinjeksikan dan sumur ditutup dan
dibuka pada saat penginjeksian nutrien berikutnya secara periodik. Setelah
selang waktu tertentu sumur dibuka dan menjadi sumur produksi. dengan
seleksi.
2. Cara kedua adalah dengan penginjeksian bakteri pada sumur injeksi dan
produksi pada jarak tertentu dan selang waktu tertentu.
Untuk mendapatkan bakteri yang kita inginkan sesuai dengan kondisi
reservoir perlu dilakukan serangkaian penelitian.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan bakteri yang kita
inginkan, yaitu :

1. Isolasi strain dengan seleksi.


Cara ini dilakukan berdasarkan sifat kompetisi dari organisme terhadap
organisme lain. Dengan seleksi ini diharapkan bakteri bisa berkembang
sesuai dengan kondisi yang telah kita tetapkan disamping mencegah bentuk
lain yang tidak diharapkan.
2. Interaksi populasi dari mikroba dapat digolongkan beberapa tipe interaksi
dan dapat dipakai sebagai pengujian dalam mendapatkan strain yang unggul
yaitu dengan uji antagonis. Untuk menjaga kestabilan strain yang unggul
diperlukan teknik-teknik atau cara-cara tertentu karena mikroba di alam
sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yaitu tekanan, temperatur, pH,
salinitas yang dapat mengakibatkan sifat genetik sehingga dapat tidak unggul
lagi.

Proses penginjeksian mikroba :


1. Treatment dengan menggunakan chemical flocculating agent untuk
memisahkan padatan.
2. Dearesi dan penambahan biocide untuk meminimalisi pertumbuhan bakteri.
3. Penyaringan melalui pasir atau diatomaceus-earth filter.
4. Penyaringan melalui cartridge-filter sebelum dialirkan ke dalam tangki
pengumpul.
5. Penyaringan dengan polishing-filter sebelum diinjeksikan.
6. Penambahan substansi biocide, inhibitor korosi, oxygen-scavanger.
7. Penginjeksian.
Penambahan biocide dimaksudkan untuk menghambat pertumbuhan
bakteri serta mengembalikan ke keadaan normal. Untuk itu biocide yang akan
digunakan harus stabil secara kimiawi maupun biologis, tidak terserap oleh batuan
atau terpecah dalam minyak dan dapat mengalir bersama-sama polimer.
4.5.4. Mekanisme MEOR
Beberapa proses dasar yang merupakan mekanisme dari MEOR adalah :
1. Produksi asam
Asam ini melarutkan matriks batuan sehingga dapat menaikkan porositas
dan permeabilitas batuan.
2. Produksi gas
Produksi CO2 ini pada dasarnya sama dengan CO 2 flooding, hanya
produksi gas CO2 hasil fermentasi dan pengaruhnya dapat terjadi pada
reservoir dengan skala yang lebih luas.
3. Produksi pelarut
Produksi pelarut (etanol, butanol aseton dan isoproponal) oleh mikroba
bermanfaat selama proses MEOR sebab senyawa tersebut bercampur
(miscible) dengan minyak, menurunkan viscositasnya dan memperbaiki
mobilitasnya.
4. Produksi surfactant
Produksi surfactant akan menurunkan tegangan antarmuka air-minyak.
5. Penyumbatan selektif
Penelitian laboratorium pada sistem reservoir batuan reservoir
memperlihatkan bahwa microbial selective plugging secara teknis layak
dan dapat membelokkan aliran dari permeabilitas yang tinggi ke rendah.
Selective plugging ini dapat juga digunakan untuk memperbaiki
waterflooding dengan membelokkan aliran dari permeabilitas yang lebih
tinggi ke daerah yang memiliki permeabilitas rendah.
6. Produksi polimer
Polimer digunakan untuk mengurangi mobilitas fasa air dan dapat
mengontrol mobilitas dengan cara menaikkan viscositas fasa air.

4.5.5. Mikroorganisme yang Membuat Problem dan yang Potensial


Jenis mikroorganisme yang sering menyebabkan problem serius pada
sistem injeksi lapangan minyak dibandingkan dengan bakteri lain adalah Sulphate
reducing bacteria (SRB) karena mereduksi ion di dalam air menjadi ion sulfat dan
menghasilkan H2S sebagai bioproduct-nya.

Gambar 4.58.
Mekanisme MEOR
(Donaldson, E.C. Microbial Enhanced Oil Recovery. 1982)

Tipe problem yang diakibatkan aktivitas pereduksi sulfat dalam sistem


injeksi antara lain :
a. Pitting corrosion secara langsung di bawah pertumbuhan koloni bakteri
b. Bioproduct H2S dari bakteri dapat meningkatkan korosifitas air.
c. Kehadiran SRB dalam sistem yang asalnya benar-benar bebas H2S akan
membuat kemungkinan terjadinya sulfide cracking.
d. korosi asam akan berakibat pada formasi yang tidak dapat mencairkan
sulfida besi sebagai bahan penyumbat yang potensial.
Sedangkan beberapa macam bakteri yang berpotensi untuk dapat
digunakan dalam proses MEOR ditunjukkan pada Tabel IV-5.
Biopolymer (misalnya Xantham Gum) dapat digunakan sebagai thickening
agent pada industri perminyakan, demikian juga dengan biosurfactant dan
biopolimer untuk membantu memperbaiki perbandingan viskositas antara minyak
dengan air, sehingga tercapai mobilitas yang lebih baik. Mikroba juga dapat
digunakan untuk mengeluarkan minyak pada zona yang sulit dengan cara
menutup zone yang memiliki permeabilitas tinggi sehingga aliran dari injeksi air
mampu menembus zone yang sulit tersebut.
Beberapa organisme dari spesien Clostrida telah dicoba untuk
mengembalikan tekanan formasi dengan memproduksi gs-gas seperti karbon
monoksida, metana.
Tabel IV-5.
Mikroorganisme yang Potensi Dalam MEOR
(Dr. Ir. Septoratno S., Ir. Dedy K., M.Sc. Enhanced Oil Recovery.1999)

4.5.6. Aktivitas Mikroba di Lapangan


Penggunaan metode MEOR ini tergantung dari perilaku mikrobiologinya.
Kondisi yang cenderung mempengaruhi perilaku dan aktivitas mikroba antara
lain:
1. Temperatur
Temperatur yang optimum untuk perkembangan mikroba sekitar 30-40 °C.
2. Tekanan
Meskipun tekanan tidak memberikan batasan seperti temperatur, umumnya
mikroorganisme dapat bertahan hidup pada tekanan yang kurang dari 30.000
kPa. Adaptasi dari perilaku bakteri adalah dengan mengembangbiakan
populasi bakteri di bawah kekuatan tekanan injeksi.
3. Salinitas
Salinitas yang tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri kurang baik.
Kecepatan penyebaran mikroba di dalam reservoir dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antar lain :
1. Media berpori yang meliputi struktur pori, komposisi mineral dan derajat
kebasahan batuan.
2. Hydrodinamik yaitu kecepatan injeksi dan sifat aliran fluida dalam
media berpori.
3. Sifat kimia fisika permukaan mikroba yang meliputi gaya interaksi
antara sel dengan permukaan batuan.
4. Pengaruh lain seperti pendesakan dan penyumbatan pori akibat
pembentukan dan pengumpulan sel bakteri.
Populasi bakteri yang sudah diadaptasi kemudian diinjeksikan ke dalam
reservoir. Pertumbuhan dan perkembangbiakan di reservoir dapat menghasilkan
sejumlah interaksi dengan media anorganik. Pertumbuhan populasi bakteri baik
yang diinjeksikan ataupun yang alami dapat menghasilkan produk seperti gas,
asam organik dan anorganik, biosurfaktan serta biopolimer.
Gas yang dihasilkan terdiri dari metabolisme organik seperti H2, CH4, CO2
dan metabolisme anorganik seperti N2 dari bakteri pengurai N3- dan H2S dari
bakteri pengurai SO4-. Gas yang dihasilkan tersebut dapat mendesak minyak
keluar dari reservoir dan di sisi lain gas yang terlarut dalam minyak akan dapat
menurunkan viskositas sehingga minyak menjadi mudah mengalir.
Asam yang dihasilkan baik organik maupun anorganik dapat menimbulkan
reaksi-reaksi yang pada akhirnya akan melarutkan batuan karbonat sehingga
porositas dan permeabilitas batuan tersebut akan meningkat.
Gambar 4.59.
Pertumbuhan Mikroba dan Produksi Gas yang Dihasilkan
(Dr. Ir. Septoratno S., Ir. Dedy K., M.Sc. Enhanced Oil Recovery.1999)

Gambar 4.60.
Variasi pH Selama Proses Fermentasi Oleh Mikroba
(Dr. Ir. Septoratno S., Ir. Dedy K., M.Sc. Enhanced Oil Recovery.1999)

Gambar 4.61.
Pengaruh Mikroba Terhadap Permeabilitas Relatif
(Dr. Ir. Septoratno S., Ir. Dedy K., M.Sc. Enhanced Oil Recovery.1999)
Gambar 4.62.
Pengaruh Mikroba Terhadap Harga Saturasi Minyak Sisa (Sor)
(Dr. Ir. Septoratno S., Ir. Dedy K., M.Sc. Enhanced Oil Recovery.1999)

Anda mungkin juga menyukai