Anda di halaman 1dari 31

A.

DIAGNOSA KEPERAWATAN

No. Hari/Tanggal Diagnosa Keperawatan TTD


1. Rabu Pola nafas tidak efektif
8-04-2020
2. Rabu Penurunan curah jantung
8-04-2020

B. INTERVENSI KEPERAWATAN

No Hari/ Tujuan (NOC) NIC Rasional TTD


. Tanggal
Mayor Disarankan
1. Rabu Setelah dilakukan 1. Respiratory 1. Monitor 1. Kebutuhan
8-04- asuhan status : respirasi dan oksigenasi
2020 keperawatan Ventilation status O2 merupakan
selama 2x24 jam 2. Respiratory 2. Posisikan kebutuhan
diharapkan status : pasien untuk dasar yang
ketidakefektifan Airway memaksimalk digunakan
pola nafas dapat patency an ventilasi untuk
berkurang dengan 3. Vital sign 3.  Edukasi kelangsungan
kriteria hasil : Status pasien manfaat hidup.
1.  Mendemonstra tirah baring 2. Dapat
sikan batuk 4. Kolaborasi meredakan
efektif dan dengan tim penyempitan
suara nafas medis dalam jalan nafas
yang bersih, pemberian O2 dan memenuhi
tidak ada O2 dalam
sianosis dan darah.
dyspneu 3. Tirah baring
(mampu dapat
mengeluarkan membatasi
sputum, aktivitas
mampu 4. Pemberian
bernafas oksigen
dengan mudah, dengan
tidak ada konsentrasi
pursed lips) yang tinggi
2. Menunjukkan dari udara
jalan nafas ruangandigun
yang paten akan untuk
(klien tidak mengatasi
merasa /mencegah
tercekik, irama hipoksia.
nafas, frekuensi
pernafasan
dalam rentang
normal, tidak
ada suara nafas
abnormal)
3. Tanda Tanda
vital dalam
rentang normal
(tekanan darah,
nadi,
pernafasan)

2 Rabu Setelah dilakukan 1. Cardiac 1. Monitor TD, 1. Mengetahui


8-04- asuhan Pump nadi, suhu, 2. Mampu
2020 keperawatan effectiveness dan RR menggambar
selama 2x24 jam 2. Circulation 2. Monitor kan
diharapkan Status balance cairan keseimbanga
penurunan curah 3. Vital Sign 3. Edukasi n antara
jantung klien dapat Status pasien tentang intake dan
berkurang dengan pembatasan output cairan
kriteria hasil : cairan. untuk pasien
1. Tanda Vital 4. Kolaborasi yang
dalam rentang dengan tim memerlukan
normal medis dalam pengawasan
(Tekanan darah, pemberian terhadap
Nadi, respirasi) deuretik kelebihan
2. Dapat atau
mentoleransi kekurangan
aktivitas, tidak cairan.
ada kelelahan 3. Pembatasan
3. Tidak ada cairan dapat
edema paru, mengurangi/
perifer, dan mencegah
tidak ada asites penumpukan
4. Tidak ada cairan pada
penurunan paru
kesadaran 4. Agar dapat
mengurangi
cairan

C. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

No Hari/ Tindakan Respon Hasil TTD


DP Tanggal
.
1,2 Rabu, Memonitor TD, Ds : pasien bersedia di ukur tekanan
8 april 2020 RR dan status darah
08.00 O2 Do

1. 09.00 memberikan Ds :
terapi oksigen Do : terpasang kanul 02
1. 09.15 Memonitor RR Ds :
dan status O2 Do : pasien tampak sesak
1. 11.00 Memposisikan DS : pasien mengatakan sesak nafas
pasien semi DO : terpasang nasal kanul dan
fowler untuk posisi semi fowler
memaksimalkan
ventilasi
2 10.30 mengkolaborasi Ds :
dengan tim Do :
medis dalam
pemberian terapi
deuretik

2 12.00 Monitor balance Ds :


cairan Do :
2 12.45 mengedukasi Ds :
pasien tentang Do :
pembatasan
cairan.

2 11.00 mengedukasi Ds :
pasien Do :
pentingnya tirah
baring
KEEFEKTIFAN PEMBERIAN POSISI SEMI FOWLER TERHADAP
PENURUNAN SESAK NAFAS PADA PASIEN ASMA DI RUANG RAWAT
INAP KELAS III RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA Article · August 2011
CITATIONS 4 READS 22,111 2 authors, including: Some of the authors of this
publication are also working on these related projects: mekanisme koping
pada ibu bersalin View project Annisa Andriyani Stikes Aisyiyah, Surakarta 2
PUBLICATIONS 7 CITATIONS SEE PROFILE All content following this page
was uploaded by Annisa Andriyani on 13 August 2015. The user has requested
enhancement of the downloaded file.GASTER, Vol. 8, No. 2 Austus 2011 (783 -
792) 783 KEEFEKTIFAN PEMBERIAN POSISI SEMI FOWLER
TERHADAP PENURUNAN
SESAK NAFAS PADA PASIEN ASMA
DI RUANG RAWAT INAP KELAS III RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
Refi Safitri, Annisa Andriyani
Prodi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah Surakarta
Abstrak; Berdasarkan survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2001
diketahui bahwa penyakit saluran nafas merupakan penyakit penyebab kematian
terbanyak kedua di Indonesia setelah penyakit gangguan pembuluh darah.
Sebanyak antara 1,5 juta sampai 3 juta orang di Indonesia mengidap penyakit
asma, dan kurang lebih sepertiga dari kasus asma diantaranya adalah usia
dewasa. Asma merupakan suatu penyakit obstruksi saluran nafas yang
memberikan gejala–gejala batuk, mengi, dan sesak nafas. Masalah utama pada
pasien asma yang sering dikeluhkan adalah sesak napas. Untuk mengurangi
sesak nafas yaitu antara lain dengan pengaturan posisi saat istirahat. Posisi yang
paling efektif bagi pasien dengan penyakit kardiopulmonari adalah posisi semi
fowler dengan derajat kemiringan 45°, yaitu dengan menggunakan gaya gravitasi
untuk membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen
pada diafragma. Tujuan; Mengetahui keefektifan pemberian posisi semi fowler
pada pasien asma guna mengurangi sesak nafas. Metode; Desain penelitian yang
digunakan dalam penelitian adalah Quasi Eksperiment dengan rancangan One
Group Pre test-Post tets. Hasil; Terbukti ada perbedaan sesak nafas antara
sebelum dan sesudah pemberian posisi semi fowler, dapat penelitian diperoleh
hasil T-test sebesar -15,327 dengan p = 0,006. Kesimpulan; Pemberian posisi
semi fowler dapat efektif mengurangi sesak nafas pada pasien asma.
Kata Kunci : Posisi semi fowler, Sesak nafas, Asma.
PENDAHULUAN
Asma telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu, para ahli mendefinisikan bahwa
asma merupakan suatu penyakit obstruksi saluran nafas yang memberikan gejala–
gejala batuk, mengi, dan sesak nafas (Somantri,2009:52). Pada penyakit asma,
serangan umumnya datang pada malam hari, tetapi dalam keadaan berat serangan
dapat terjadi setiap saat tidak tergantung waktu.
GASTER, Vol. 8, No. 2 Agustus 2011 (783 - 792) 784 Inspirasi pendek dan
dangkal, mengakibatkan penderita menjadi sianosis, wajahnya pucat dan lemas,
serta kulit banyak mengeluarkan keringat. Bentuk thorax terbatas pada saat
inspirasi dan pergerakannya pun juga terbatas, sehingga pasien menjadi cemas dan
berusaha untuk bernafas sekuat-kuatnya (Kumoro, 2008: 2).
Metode yang paling sederhana dan efektif dalam biaya untuk mengurangi risiko
stasis sekresi pulmonar dan mengurangi risiko penurunan pengembangan dinding
dada yaitu dengan pengaturan posisi saat istirahat. Posisi yang paling efektif bagi
klien dengan penyakit kardiopulmonari adalah posisi semi fowler dengan derajat
kemiringan 45°, yaitu dengan menggunakan gaya gravitasi untuk membantu
pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen pada diafragma (Burn
dalam Potter, 2005:1594)
Pemberian posisi semi fowler pada pasien asma telah dilakukan sebagai salah satu
cara untuk membantu mengurangi sesak napas. Keefektifan dari tindakan tersebut
dapat dilihat dari Respiratory Rates yang menunjukkan angka normal yaitu 16-
24x per menit pada usia dewasa (Ruth, 2002: 812). Pelaksanaan asuhan
keperawatan dalam pemberian posisi semi fowler itu sendiri dengan menggunakan
tempat tidur orthopedik dan fasilitas bantal yang cukup untuk menyangga daerah
punggung, sehingga dapat memberi kenyamanan saat tidur dan dapat mengurangi
kondisi sesak nafas pada pasien asma saat terjadi serangan.
Penyakit asma telah dikenal sejak berabad-abad tahun yang lalu, dan sampai
sekarang ini masih menjadi masalah kesehatan di masyarakat. Pengetahuan yang
terbatas tentang asma membuat penyakit ini seringkali tidak tertangani dengan
baik, akibatnya jumlah pasien dari tahun ketahun semakin meningkat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat tahun 2008 ada 300 juta pasien
asma di seluruh dunia. Indonesia sendiri memiliki 12,5 juta pasien asma. 95%
diantaranya adalah pasien asma tak terkontrol. Data ini disampaikan oleh Faisal
(dalam Widodo, 2009) Ketua Umum Dewan Asma Indonesia (DAI) pada hari
peringatan asma sedunia 04 Mei 2009. Jeremy (2006: 55) mengemukakan bahwa,
satu dari tujuh orang di Inggris memiliki penyakit alergi dan lebih dari 9 juta
orang mengalami mengi dan sesak nafas. Dalam 12 tahun terakhir ini jumlah usia
dewasa yang mengalami penyakit asma hampir dua kali lipat dari usia anak-anak.
Rusmono (2008) menyatakan bahwa pada tahun 2006 penyakit asma termasuk
penyakit yang membahayakan dan pasien asma di Jawa Tengah mengalami
peningkatan 5,6%
GASTER, Vol. 8, No. 2 Agustus 2011 (783 - 792) 785 dibandingkan tahun 2005.
Jumlah pasien asma pada tahun 2005 berjumlah 74.253 dan pada tahun 2006
berjumlah 78.411. Ditambahkan oleh Handayani (2008) dalam penelitiannya
tentang pasien asma di Surakarta berjumlah 2.126 dari berbagai pasien di rumah
sakit Surakarta baik negeri ataupun swasta.
Berdasarkan studi pendahuluan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, pada tahun
2008 jumlah pasien asma yang dirawat inap kelas III RSUD Surakarta berjumlah
318 orang, tahun 2009 berjumlah 360 orang. Hal ini berarti ada peningkatan
sebanyak 9% dari tahun 2008 ke tahun 2009. Pada bulan Januari sampai April
2010 jumlah pasien asma rawat inap kelas III untuk usia 20-78 tahun ada 32 orang
(Medical Record, RS Dr. Moewardi, 2009). Berdasarkan hasil wawancara dengan
beberapa kepala ruang rawat inap kelas III RSUD Dr. Moewardi Surakarta dapat
diketahui bahwa setiap tahunnya rata- rata 70% dari 100% pasien asma
mengalami tanda dan gejala sesak nafas dengan pembatasan aktivitas yaitu tirah
baring.
Data pasien RSUD Dr. Moewardi Surakarta dirawat inap kelas III memiliki
kapasitas terhadap pasien sebanyak 522 pasien dan masing- masing bangsal
terdapat 58 tempat tidur dengan jumlah perawat 22 orang, pada saat pelaksanaan
jumlah pasien paru yang rawat inap di kelas III yaitu 53 pasien. Terdiri dari pasien
TBC sebanyak 21 pasien dan pasien asma sebanyak 32 pasien. Dari 32 pasien
asma yang memerlukan bantuan posisi semifowler sebanyak 30 pasien.
Pelaksanaan pemberian posisi semi fowler RSUD Dr. Moewardi Surakarta di
ruang rawat inap kelas III sudah menggunakan tempat tidur orthopedik dan
fasilitas bantal yang cukup untuk menyangga daerah punggung.
Berdasarkan data-data dan hal-hal tersebut di atas penulis ingin mengetahui
”keefektifan pemberian posisi semi fowler pada pasien asma yang sedang
menjalani rawat inap di ruang rawat inap kelas III RSUD Dr. Moewardi
Surakarta”.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Pasien asma yang sering dikeluhkan adalah sesak napas. Sesak napas disebabkan
oleh adanya penyempitan saluran napas. Penyempitan saluran napas terjadi karena
adanya hyperreaktifitas dari saluran napas terhadap berbagai macam rangsangan,
sehingga menyebabkan spasme otot– otot polos bronchus yang dikenal denga
bronkospasme, oedema membrana mukosa dan hypersekresi mucus (Erlina, 2008:
2). Posisi yang paling efektif bagi klien dengan penyakit kardiopulmonari adalah
posisi semi fowler dengan derajat GASTER, Vol. 8, No. 2 Agustus 2011 (783 -
792) 786 kemiringan 45°, yaitu dengan menggunakan gaya gravitasi untuk
membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen pada
diafragma (Burn dalam Potter, 2005:1594)
Jenis dalam penelitian ini yaitu jenis kuantitatif. Desain penelitian yang digunakan
dalam penelitian adalah Quasi Eksperiment dengan rancangan One Group Pre
test-Post tets. Pada desain ini mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara
melibatkan satu kelompok subjek.
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien asma yang dirawat inap kelas III
RSUD Dr.Moewardi Surakarta sebanyak 220 pasien. Sampel dalam penelitian ini
diambil dari pasien asma yang dirawat inap kelas III RSUD Dr. Moewardi
Surakarta. Total sampelnya adalah 33 orang dari 220 orang populasi, tehnik
pengambilan sampel dengan menggunakan simple random sampling.
HASIL PENELITIAN
Gambaran Karakteristik Responden Pasien Asma Berdasarkan Bangsal
Pasien asma berdasarkan bangsal dibedakan atas bangsal Melati, Melati III, dan
Anggrek 1, dengan penjelasannya sebagai berikut:
Tabel 1Karakteristik Jumlah Perlakuan Prosentase
Pasien Asma
Menurut Bangsal
Bangsal
Melati I 7 21%
Melati III 4 12%
Anggrek II 22 67%
Jumlah 33 100 %
GASTER, Vol. 8, No. 2 Agustus 2011 (783 - 792) 787 Berdasarkan hasil
penelitian pada Tabel 2 di atas memperlihatkan bahwa jumlah responden sebagian
besar pada kelompok laki-laki yaitu sebanyak 18 pasien (55 %).
Pasien Asma Berdasarkan umur
Tabel 3
Karakteristik Pasien Jumlah Perlakuan Prosentase
Asma Menurut umur
Umur
21-30 Tahun 4 12%
31-40 Tahun 10 31%
41-50 Tahun 11 33%
51-60 Tahun 8 24%
Jumlah 33 100 %
GASTER, Vol. 8, No. 2 Agustus 2011 (783 - 792) 788 Tabel 5
Hasil Sesak Nafas Jumlah Prosentase
Pengukuran
Sesak Nafas
Sesudah
perlakuan No
1 Ringan 18 55%
2 Sedang 9 27%
3 Berat 6 18%
Jumlah 33 100 %
GASTER, Vol. 8, No. 2 Agustus 2011 (783 - 792) 789 tersebut pasien asma
terbanyak yang dijadikan sampel dari bangsal Anggrek II berjumlah 22 pasien
(67%). Hal ini disesuaikan dengan kondisi bangsal Anggrek II yang merupakan
bangsal khusus paru salah satunya yaitu pasien asma di RSUD Dr. Moewardi,
Surakarta.
Responden pada kelompok laki-laki sebanyak 18 pasien (55%). Jumlah tersebut
lebih besar apabila dibandingkan dengan jumlah pasien perempuan.Banyaknya
jumlah pasien laki-laki dibandingkan dengan perempuan karena dipengaruhi oleh
faktor lingkungan kerja. Sebagian besar pasien bekerja di pabrik-pabrik atau
dipenggergajian kayu, dan lingkungan tempat tinggal di jalan raya. Hal ini serah
dengan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mustofa (2008) yang menyatakan
bahwa salah Satu faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit asma karena
alergi yang disebabkan lingkungan tempat tinggal pasien yang dekat dengan jalan
raya.
Adapun umur pasien asma pada kelompok usia 41-50 tahun merupakan kelompok
usia yang paling banyak menderita asma. Alasannya,penyakit asma mempunyai
hubungan langsung dengan lingkungan kerja. Orang yang bekerja di lingkungan
laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas mempunyai
kecenderungan tinggi menderita asma. Faktor-faktor pencetus tersebut
menimbulkan suatu predisposisi genetik terhadap alergi sehingga orang yang
bekerja selama bertahun-tahun rentan terhadap penyakit asma. Pengertian tersebut
didukung oleh penelitian Kurniawan (2008) yang menyatakan bahwa kondisi
lingkungan tempat tinggal yang ditempati individu banyak debunya menimbulkan
kerentanan penyakit asma pada usia individu menjelang tua (di atas 41 tahun
Analisa Pernapasan pada Pasien Asma yang Mengalami Sesak Napas
Sebelum Diberikan Posisi Semi Fowler.
Sesak nafas sebelum dilakukan pemberian posisi semi fowler termasuk sesak
nafas berat, yaitu sebanyak 17 pasien atau sebanyak 52% dari 33 pasien. Asma
merupakan suatu penyakit obstruksi saluran napas yang memberikan gejala–gejala
batuk,mengi, dan sesak napas. Penyempitan saluran napas pada asma dapat terjadi
secara bertahap, perlahan dan bahkan menetap dengan pengobatan tetapi dapat
pula terjadi mendadak dan bahkan berangsur,sehingga menimbulkan kesulitan
bernapas.
Penyempitan saluran napas menyebabkan sulitnya udara yang melewatinya, maka
pasien asma akan cenderung melakukan pernafasan pada volume paru yang tinggi
dan GASTER, Vol. 8, No. 2 Agustus 2011 (783 - 792) 790 membutuhkan kerja
keras dari otot–otot pernapasan sehingga akan menambah energi untuk
pernapasan (Brooker, 2009: 623). Pendapat Brooker (2009: 623) tersebut
dibuktikan oleh Mustofa 2008) dalam penelitiannnya yang menyatakan bahwa
pasien asma mengalami sesak nafas berat sehingga kesulitan bernapas karena
penyempitan saluran napas ini terjadi adanya hyperreaktifitas dari saluran napas
terhadap berbagai macam rangsang.
Analisa Pernapasan pada Pasien Asma yang Mengalami SesakNapas
Sesudah Diberikan Posisi Semi Fowler.
Pasien asma setelah diberi posisi semi fowler mengalami sesak nafas ringan, yaitu
dari 17 pasien asma yang mengalami sesak nafas berat menjadi 11 pasien.
Pemberian posisi semi fowler pada pasien asma telah dilakukan sebagai salah satu
cara untuk membantu mengurangi sesak napas. Posisi semi fowler dengan derajat
kemiringan 45°, yaitu dengan menggunakan gaya gravitasi untuk membantu
pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen pada diafragma. Hasil
penelitian pemberian posisi semi fowler mengurangi sesak nafas sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Kim (2004) bahwa pemberian posisi semi fowler
dapat mengurangi sesak nafas pada pasien asma.
Dijelaskan oleh Wilkison (Supadi, dkk 2008: 98) bahwa posisi semi fowler
dimana kepala dan tubuh dinaikkan 45º membuat oksigen didalam paru–paru
semakin meningkat sehingga memperingan kesukaran napas. Penurunan sesak
napas tersebut didukung juga dengan sikap pasien yang kooperaktif, patuh saat
diberikan posisi semi fowler sehingga pasien dapat bernafas.
Hasil perbedaan tersebut menunjukkan ada pengaruh pemberian posisi semi
fowler terhadap sesak nafas. Hal tersebut berarti mendukung penelitian yang
dilakukan oleh Supadi, dkk., (2008) bahwa pemberian semi fowler mempengaruhi
berkurangnya sesak nafas sehingga kebutuhan dan kualitas tidur pasien terpenuhi.
Terpenuhinya kualitas tidur pasien membantu proses perbaikan kondisi pasien
lebih cepat.
Saat sesak napas pasien lebih nyaman dengan posisi duduk atau setengah duduk
sehingga posisi semi fowler memberikan kenyamanan dan membantu
memperingan kesukaran bernapas. Menurut Angela (dalam Supadi, dkk., 2008)
saat terjadi serangan sesak biasanya klien merasa sesak dan tidak dapat tidur
dengan posisi berbaring. Melainkan harus dalam posisi duduk atau setengah
duduk untuk meredakan penyempitan jalan napas dan memenuhi O2 dalam
GASTER, Vol. 8, No. 2 Agustus 2011 (783 - 792) 791 darah. Dengan posisi
tersebut pasien lebih rileks saat makan dan berbicara sehingga kemampuan
berbicara pasien tidak terputus – putus dan dapat menyelesaikan kalimat.
Posisi semi fowler mampu meredakan penyempitan jalan napas dan memenuhi O2
dalam darah ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kim (2004) bahwa
pemberian posisi semi fowler dapat meningkatkan masukan oksigen bagi pasien
pasca pembedahan perut laparoskopi.
Sedangkan perbedaan sebelum dan sesudah dilakukan pemberian posisi semi
fowler ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Setiawati (2008). Dalam
penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan posisi semi fowler
dapat efektif untuk mengurangi sesak napas pada klien TBC. Hal ini dapat
diketahui melalui nilai Sig. (0,001) < 0,05. dan Z hitung (-3,196) > Z tabel (1,96).
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa perbedaan sesak nafas pada
pasien asma di ruang rawat inap kelas III RSUD Dr. Moewardi Surakarta setelah
dan sebelum pemberiaan posisi semi fowler terjadi penurunan. Perbedaaan
tersebut dibuktikan dari adanya pengurangan sesak nafas berat ke sesak nafas
ringan pada 11 pasien atau sejumlah 33% dari 17 pasien. Adanya perbedaan
tersebut membuat pemberian posisi semi fowler dapat efektif untuk mengurangi
sesak nafas pada penderita asma.
SIMPULAN
Pemberian posisi semi fowler pada pasien asma dapat efektif mengurangi sesak
nafas. Hal ini dapat diketahui melalui sebelum dan sesudah pemberian semi
fowler ada peningkatan pasien sesak nafas berat ke sesak nafas ringan. Pernapasan
pada pasien asma yang mengalami sesak napas sebelum diberikan posisi semi
fowler, termasuk sesak nafas berat karena posisi tidur telentang. Pernapasan pada
pasien asma yang mengalami sesak napas sesudah diberikan posisi semi fowler,
termasuk sesak nafas ringan karena posisi tidur dengan derajat kemiringan 45°.
Hasil penelitian dengan perhitungan uji T-test didapatkan ada efektifitas
pemberian posisi semi fowler pada pasien asma.
Disarankan bagi peneliti selanjutnya bahwa hasil penelitian dapat memberikan
gambaran tentang efektifitas penggunaan posisi semi fowler pada pasien asma
untuk mengurangi sesak nafas dan dapat melakukan penelitian lebih lanjut
mengenai factor factor yang lain untuk mengurangi sesak nafas.
GASTER, Vol. 8, No. 2 Agustus 2011 (783 - 792) 792 DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 1998. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka
Cipta.
Brooker, C. 2009. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC.
Depkes RI. 2002. Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Depkes RI.
Hadi, S. 2002. Statistik 2. Yogyakarta: Andi Ofset.
Handayani, S. 2008. Hubungan Antara Penderita Asma Dengan Prestasi Belajar
Anak Sekolah Dasar Di Solo. Skripsi. Surakarta: UNS.
Jeremy. 2006. At a Glance Sistem Respirasi edisi Kedua. Erlangga.
Kim, K. 2004. The Effects of Semi- Fowler's Position on Post- Operative
Recovery in Recovery Room for Patients with Laparoscopic Abdominal Surgery.
Abstract. College of Nursing, Catholic University of Pusan, Korea
Kumoro, D. 2008. Pengaruh Pemberian Senam Asma Terhadap Frekwensi
Kekambuhan Asma Bronkial. Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Mendapatkan
Gelar Sarjana Sains Terapan Fisioterapi. Skripsi (tidak diterbitkan).UMS
Kurniawan, A. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Keluarga Tn. A Dengan
Gangguan Sistem Pernafasan: Asma Bronkial Pada Ny. S Di Puskesmas Tanjung,
Juwiring, Klaten. Tugas Akhir (Tidak Diterbitkan) UMS
Potter, P. 2005. Fundamtal Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta:
EGC.
Ruth, F. 2002. Fundamental Of Nursing Human Health And Function. Jakarta:
EGC.
Rusmono. 2008. Penyakit Asma yang Mematikan setelah Stroke. Solo Pos. 27
Januari.
Setiawati, L. 2008. Efektivitas Penggunaan Posisi Semi Fowler Pada Klien TBC
Untuk Mengurangi Sesak Napas (Studi Kasus Di Rumah Sakit Paru Batu). Jurnal.
http://athearobiansyah.blogspot.co m/2008/03/asuhan keperawatan- kebutuhan-
oksigenasi.html.
Somantri, I. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.
Supadi, E. Nurachmah, dan Mamnuah. 2008. Hubungan Analisa Posisi Tidur
Semi Fowler Dengan Kualitas Tidur Pada Klien Gagal Jantung Di RSU
Banyumas Jawa Tengah. Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Volume IV No 2
Hal 97-108.
Widodo. 2009. “Penderita Asma di Indonesia Meningkat, ” Tribun News.
Senin,04 Mei 009,hal1.Tersedia dalam: http://www.tribunbatam.co.id/in dex.php?
option=com_content&task =view&id=30366&Itemid=1126 [Diakses pada
tanggal 24maret2010]
View publication stats

PENGALAMAN PASIEN GAGAL JANTUNG KONGESTIF DALAM


MELAKSANAKAN PERAWATAN MANDIRI
(Patient Experience Failed Consisting Heart In Implementing Self Care)
(Submited : 24 Juli 2017, Accepted : 31 Juli 2017)
Anita Agustina, Yati Afiyanti, Bahrul Ilmi
Universitas Muhammadiyah Banjarmasin
Email: anitaners01@g.mail.com
ABSTRAK
Penyakit Gagal jantug kongestif (CHF) merupakan salah satu penyumbang
kematian terbesar didunia. Pengalaman pasien dengan CHF menunjukkan sikap
yang beragam dalam melaksanakan perawatan mandiri (self care). Berbagai
dampak muncul akibat penyakit yang diderita, mempengaruhi peran dalam
kehidupan sehari- hari baik di lingkungan masyarakat, maupun keluarga.
Pentingnya perawatan mandiri yang dilakukan oleh individu yang terdiagniosis
merupakan faktor pendukung dalam proses pengobatan, Lingkungan sosial
seperti keluarga dan masyarakat juga memiliki peran penting guna meningkatkan
motivasi bagi klien selain informasi dari para pemberi layanaan kesehatan.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran serta mengungkapkan arti
dari pengalaman Pasien Dengan Gagal Jantung Kongestif Dalam Melaksanakan
Perawatan Mandiri (Self Care). Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara
mendalam terhadap 5 orang partisipan yang pernah dirawat minimal 2 kali dan
melakukan kunjungan ulang dipoli klinik jantung Dirumah Sakit Umum Daerah
Ulin Banjamasin, pengambilan data dilakukan dikediaman partisipan masing-
masing.Terdapat 4 Tema yang teridentifikasi dalam penelitian ini yaitu : (1).
Melaksanakan Perawatan mandiri (2). Dukungan yang diperoleh (3). Harapan
Pasien (4). Usaha Mendapatkan Bantuan pengobatan
Kata Kunci : Pengalaman Pasien, Perawatan mandiri, gagal jantung congestif
ABSTRACT
Disease congestive cardiac failure ( CHF ) is one of the world's largest
contributor to death. The experience of patients with CHF showed diverse
attitudes in performing self-care. Impacts arising from the illness, affecting a role
in everyday life in both communities, and families. The importance of self-care by
individuals who undiagnosed a supporting factor in the treatment process, social
environment such as family and community also has an important role to increase
the motivation for clients in addition to information from providers of health. This
study aimed to obtain and reveal the meaning of experiences Patients With
Congestive Heart Failure In Implementing Self Care. Date collected by depth
interviews with five participants who had been treated at least twice and do a re-
visit Dipoli heart clinic At home Banjamasin Ulin General Hospital, date
retrieval is done in residence participants each. There are four themes identified
in this study are: (1). Carry out self care (2). Support obtained (3). Patient
expectations (4). Getting Help Enterprises treatment
Keywords : Patient Experience, self care, congestive cardiac failure
PENDAHULUAN
Penyakit Jantung merupakan salah satu penyakit yang terus meningkat insiden
dan prevalensinya. Data yang diperoleh melalui World Health Statistics dalam
World Health Organization (WHO) (2012) menunjukkan bahwa dari 57 juta
angka kematian pada tahun 2008, (48%) adalah karena penyakit jantung. Selain
itu, Satu dari 3 (tiga) penduduk dunia pada tahun 2001 meninggal karena penyakit
kardiovaskular. Artinya 1/3 populasi dunia beresiko tinggi penyakit
kardiovaskular.
Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Kementerian Kesehatan Indonesia
tahun 2013 menunjukkan bahwa Prevalensi penyakit gagal jantung meningkat
seiring dengan bertambahnya umur, terdapat 0,43% penduduk Indonesia
menderita penyakit gagal jantung. Prevalensi gagal jantung berdasarkan jumlah
yang terdiagnosa dokter sebesar 0,13 % dan diagnosa dokter atau gejala sebesar
0,3 % Data tersebut juga menunjukkan bahwa dari angka mortalitas yang tercatat,
0,24 % diantaranya disebabkan oleh penyakit jantung (Balai Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2013).
Ignatavicius dan Workman (2010) menjelaskan bahwa gagal jantung atau yang
dikenal dengan gagal pompa adalah istilah umum mengenai ketidakmampuan
jantung untuk bekerja sebagai pompa secara efektif. Mekanisme kompensasi
untuk memenuhi kebutuhan tubuh mungkin dapat dilakukan pada saat istirahat,
namun tidak cukup selama menjalani aktivitas fisik. Fungsi jantung akhirnya
menurun dan gagal jantung menjadi berat (Aaronson & Ward, 2010).
Menurut Andrianto (2008), bahwa angka kematian karena gagal jantung kongestif
yaitu sebesar 20-30 %, dan angka rawat ulang dengan frekwensi 1 kali atau lebih
selama 12 bulan sebesar 45 %. Risiko Kematian akibat gagal jantung kongestif
terus meningkat setiap tahunnya, Pasien sering kembali keklinik atau rumah sakit
diakibatkan adanya kekambuhan episode gagal jantung meskipun pengobatan
rawat jalan sudah dilakukan secara optimal
Smeltzer dan bare (2002) menyatakan bahwa kekambuhan gagal jantung dan
rawat inap kembali dirumah sakit terjadi karena tidak dapat mengenali gejala
kekambuhan, ketidaktahuan pasien tentang gagal jantung kongestif
mengakibatkan pasien kurang taat dengan diet rendah garam, pembatasan cairan,
cara menghitung denyut nadi, menimbang berat badan, aktivitas dan latihan serta
perlunya istirahat secara adekuat. Ketidaktahuan juga menyebabkan ketidaktaat
pasien untuk minum obat secara teratur dan sesuai dengan resep dokter, kurang
respon apabila ada gejala dan tanda kekambuhan gagal jantung dan
ketidakteraturan kontrol dokter.
Selain itu ketidakmampuan pasien gagal jantung kongestif melakukan self care
disebabkan oleh kurangnya pemahaman pasien gagal jantung mengenai regimen
pengobatan yang harus mereka jalani. Pernyataan ini didukung juga oleh Roger.
et. al (2002) dalam Studi kualitatif pemahaman pasien gagal jantung tentang
gejala –gejala dan terapi obat didapatkan, bahwa pasien memiliki sedikit
pemahaman tentang tujuan pengobatan, pasien khawatir tentang kualitas dan
kombinasi obat yang diresepkan, pasien tidak mampu atau kesulitan untuk
mengenali perbedaan antara efek obat dan gejala dari gagal jantung dan kurang
mengetahui tentang obat-obat yang dapat mengurangi gejala tersebut.
Penelitian ini dirumuskan dengan 2 pertanyaan, 1) Penelitian ini inggin menggali
apa saja upaya yang dilakukan oleh Pasien Gagal Jantung Kongestif dalam
perawatan mandirinya berdasarkan pengalaman- pengalaman mereka, 2).
Mengungkapkan arti dari pengalaman mereka dalam melaksanakan Perawatan
Mandiri (Self Care).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini Bertujuan untuk mengungkapkan pengalaman pasien gagal jantung
kongestif dalam melaksanakan perawatan mandiri (Self Care). Metode yang
digunakan adalah penelitian kulitatif dengan pendekatan fenomenologi. Partisipan
dalam penelitian ini berjumlah 5 orang dengan karakteristik partisipan:
1) Pasien yang pernah rawat inap dan melakukan kunjungan ulang karena
mengalami kekambuhan minimal 2 kali dan terdiagnostis gagal jantung kongestif
2) Pasien yang berobat dipoli klinik jantung RSUD Ulin Banjarmasin dan
bersedia diwawancara dirumah.
3) Pasien tidak mempunyai gangguan kognitif
4) Pasien mampu berkomunikasi dengan baik dan dapat dimengerti oleh peneliti
5) Pasien menyatakan setuju berpartispasi dalam penelitian

Tempat penelitian ini dilakukan dikediaman partisipan Penelitian ini dilaksanakan


pada awal bulan Juni tahun 2015 sampai dengan pertengahan bulan Agustus 2015
HASIL Karakteri Sub Kode
DAN stik Karakteri Partisipa
PEMBA stik n
HASAN
No
1. Jenis Laki-laki P1,P2,P3
Kelamin dan P4
Perempuan P5
2. Umur 60 P2
61 P3
63 P1 dan P5
ISSN : Vol. 1 No. 1 (Juli, 2017)
journal.umbjm.ac.id/index.php/healthy 8
50 P4
3. Agama Islam P2,P3 , P4
dan P5
Kristen Protestan P1
4. Pekerjaan Pensiunan P1
pegawai
swasta
Pensiunan PNS P2, P3, P4 dan P5
5. Pendidika SLTA P1
n
DII P5
Sarjana P2, P3 dan P4
6. Suku Jawa P1
Banjar P2,P3 , P4 dan P5
7. Alamat Banjarmas P1,P2, P3
in Barat
Banjarmasin Utara P4 dan P5
ISSN : Vol. 1 No. 1 (Juli, 2017)
journal.umbjm.ac.id/index.php/healthy 9
“ Dikasih tahu dokter ....dr. Teguh......Pak ini minumnya sehari 5 gelas..ya
diberikan pengertian oleh dokter ghitu..ya taat...ya sekitar 5-6 gelas sehari.....
(P1)
Klien dengan gagal jantung kongestif sebenarnya mengetahui mengenai
pembatasan cairan dan mengetahui konsekwensi apa yang mereka akan dapat jika
klien tidak taat terhadap pembatasan tersebut, hal itu dapat dibuktikan dengan
ungkapan partisipan
“....itu karena bangkak dibatis...lawan kambung parut sesak...oleh banyak minum
kada sesuai dengan suruhan tu nah (Bengkak dikaki dengan bengkak diperut ,
sesak karena kebanyakkan minum kada sesuai dengan anjuran)(P4).
Batasan Aktivitas
Partisipan mengungkapkan bahwa partisan tidak dapat melakukan aktivitas yang
berlebihan, hal itu diperkuat dengan pernyaataan partisipan sebagai berikut :
“Aktivitas yang ringan bisa...yang berat masih belum bisa...(P1)....kita agak
sedikit mudah lelah...”(P2)“oh nyata...aku neh kada kawa beuyuh...lalu am
manyamak dada”...(...P3).”
Latihan Fisik
Latihan fisik yang sesuai dengan kondisi pasien akan membantu menurunkan
tonus simpatik, mendorong penurunan berat badan dan memperbaiki gejala serta
efek toleransi aktivitas pada gagal jantung terkompensasi dan stabil. Partisipan
dalam penelitian ini mengutarakan tentang latihan fisik yang dilakukannya sehari
–hari.
“Kemudian kalu olahraga setiap sore ding ai, kan sekali putar komplek neh
setengah pal klu ding..jadi kadang beputar aku dedua kali putar itukan 2
setengah pal istirahat aku.....yang menyudahi neh kita jua...handak waras tuh ya
kita jua.. “(kemudian kalau olahraga setiap sore .. sekali putar komplek ada
setengah pal jadi kalau 2 kali putaran itukan 2 setengah pal setelah itu aku
istirahat..yang itu kan kembali kekita juga kalau mau sembuh..itu seperti teman
ku sudah tahu penyakit jantung tapi masih main tenis sama main bola ya
akhirnya jatuh...ya seperti yang saya bilang tadi diri kita aja yang membatasinya)
(P2).
Tidak Percaya Tentang Kondisinya Sekarang
Klien gagal jantung cenderung tidak percaya dengan kondisi sakit yang
dialaminya sekarang, Sebagian dari mereka menolak tentang kondisi sakit
tersebut, hal itu dapat dilihat dari ungkapan partisipan :
“Agak penyarikan (agak pemarah)... Perasaan tuh kada percaya tu
pang..mendadak pang kenanya tuh jadi tekajut banar...kada percaya (Rasa tidak
mungkin terkena penyakit jantung karena tidak ada keturunan sampai minta
periksa ulang untuk meyakinkan kembali)...Kada percaya tu pang kana penyakit
jantung neh jadi rasa Pesimis.........( tidak percaya sama sekali sehingga pesimis).
(P4)
Kemauan dalam Melaksanakan Pengobatan
Respon menerima dengan kondisi sakitnya sekarang membuat klien memiliki
kemauan dalam melaksanakan pengobatan, hal itu dapat dilihat dari :
“Nggak..... saya nggak...tidak merasa minder..atau apa..tidak berkecil hati saya
optimis saja...oooh..nda gak ada takut sama sekali, iya”. (P1)
”ya alhamdullilah ...sudah bemula pang asa baik barakat beikhtiar.....tapi ya
ikhtiar jalan tarus ya kalu “(ya alhamdullilah sudah mulai baikkan berkat
ikhtiar..berobat rutin)”(P3).
Ikhlas dan Pasrah Dalam Kondisi Sakit
Dengan sifat yang positif terhadap keadaaan sakit yang mereka alami dan terus
berusaha untuk melaksanakan pengobatan akan menciptakan suatu keyakinan
akan arti dan tujuan hidup partisipan,sehingga motivasi untuk sembuh pun akan
semakin tinggi, Sikap ikhlas dan pasrah dari partisipan, partisipan
mengungkapkan pernyataan :
“kalau soal umur kan memang tuhan yang menentukan tapikan kita disuruh jua
berikhtiar ( umur itu ditangan tuhan tapi kan disuruh untuk berikhtiar)....Kita tuh
rasa sedih kada jua,cemas kada jua.......pasrah aja” (tidak ada perasaan sedih,
cemas saya pasrah saja) (P2)
Patuh Melaksanakan Pengobatan
Partisipan dalam penelitian ini menunjukkan sikap bahwa partisipan mampu
melaksanakan pengobatan sesuai dengan indikasi. Menurut pengakuan partisipan
saat diwawancara membuktikan bahwa partisipan taat melaksankan terapi
pengobatan, mereka rutin melakukan kontrol dan taat meminum obat sesuai
dengan anjuran dari dokter, hal itu dapat dibuktikan dengan pernyataan partisipan,
sebagai berikut : ISSN : Vol. 1 No. 1 (Juli, 2017)
journal.umbjm.ac.id/index.php/healthy 10
“Rutin setiap bulan sekali sesuai dengan anjuran dokter (P1)... obat diminum 3
kali sehari sesuai dengan apa jar dokter (sesuai kata dokter).....taat menjalankan
anjuran dokter (P2)....kontrolnya bila ada keluhan saja.(P3).
Dukungan Yang Diperoleh
Individu yang sakit akan sangat membutuhkan dukungan dari berbagai pihak
dalam melaksanakan terapi pengobatan. Partisipan dalam penelitian ini
mengungkapkan betapa pentingnya dukungan tersebut, Sumber dukungan dapat
diperoleh dari Tetangga, Teman dan Keluarga sedangkan Jenis dukungan dapat
dilihat dari dukungan moral, dukungan Material, Perhatian dan kepedulian serta
Jaminan Kesehatan.
Dukungan Moral
Dukungan moral yang didapat oleh partisipan berupa motivasi dan perawatan
yang diberikan oleh anggota keluarga nya sedangkan untuk dukungan material
berupa bantuan biaya.
“Kalau dirumah neh paling memperhatikan itu ya ibunya neh inya yang
mempehatikan banar masalah makanan dan segala macam nya tuh ..jadwal
minum obat lawan bila aku dirawat dirumah sakit selalu ada mengawani aku
...beobat kah pasti inya umpat jua.....pokoknya inya pang dah nang membawa aku
kemana-mana tuh kalu urusan beobat”....(P3).
Dukungan Material
Selain mendapatkan dukungan secara moral berupa motivasi dan perawatan,
partisipan juga mendapatkan dukungan berupa dukungan material hal itu dapat
dilihat dari pernyataan partisipan sebagai berikut :
....baik jua keluarga hakun haja meminjami ghasan beobat” (keluarga mau
meminjamkan uang buat berobat ) (P4).
Perhatian dan kepedulian
Respon itu bisa berupa perhatian dan kepedulian yang diberikan kepada partisipan
baik dari teman dan tetangga, hal ini dapat memberikan motivasi kepada
partisipan untuk melaksanakan program pengobatan sesuai dengan indikasi terapi
pengobatan yang harus dijalani, karena partisipan merasa mendapatkan dukungan
dari lingkungan sekitarnya, hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan:
”saat dirumah sakit dirawat banyak kawan abahnya neh bailang jar kawanan
sidin tuh kaya kada garing..melihat keadaan sidin
(saat dirumah sakit dirawat banyak teman bapak yang membesuk katanya bapak
kaya orang yang sakit) ( P4).
Jaminan Kesehatan
Partisipan dalam penelitian mengungkapkan untuk biaya pemeliharan kesehatan
mereka, menggunakan bantuan biaya pengobatan . Bantuan biaya pengobatan
yang dimaksud disini adalah adanya BPJS partisipan mengatakan bahwa mereka
sangat tertolong dengan ada bantuan jaminan kesehatan tersebut, namun ada biaya
–biaya yang harus mereka gunakan dari dana pribadi mereka seperti biaya
transportasi jika harus keluar kota untuk berobat dan biaya untuk menginap, ini
dapat dibuktikan dari ungkapan partisipan
Syukurnya ada jaminan kesehatan ..alhamdullilah tidak ada sepersen pun kepakai
buat berobat semua ditanggung oleh BPJS)....Ya untung banar ada BPJS tebantu
banar ...( dengan adanya BPJS sangat terbantu) jika kada.kada keduitan tu
pang...”(P3). “Iya pakai itu ( BPJS) ..itu gin banyak banar habis nya
sudah....ghasan bolak-balik kejawa berapa sudah belum bamalam dipenginapan
sana, biaya hidup ...tapi jar ku nu abahnya jangan dipikirkan biar rumah neh
tejual kadapapa asal abah sembuh”..(iya menggunakan BPJS tapi itu aja banyak
sekali sudah keluar uang buat transportasi bolak-balik jawa biaya penginapan
dan makan –minum disana) “(P4).
Harapan Pasien
Harapan merupakan salah satu motivasi terbesar oleh individu yang sakit untuk
dapat taat menjalankan terapi pengobatan, hal itu dapat dilihat dari ungkapan
partisipan berupa : Harapan pertisipan mengenai pengobatan yang telah dijalani
dan Harapan Partisipan terhadap layanan Kesehatan.
Harapan Inggin Sembuh
Dalam penelitian ini partisipan mengungkapkan berbagai harapan mereka,
harapan yang paling mendasar adalah harapan untuk dapat sembuh dan kembali
normal atau paling tidak dapat mengurangi dampak yang telah ditimbulkan oleh
penyakit yang diderita
“ Harapan itu ya....bisa mengatasi syarat tepi yang bisa cepat itu nah...ini
menjadi kendala kan, karena jalan kadang- kadang masih linglung
(sempoyongan)...kembali seperti semula saat tidak sakit......ya (P1).“Mudah –
mudahan dinglah jangan kembali lagi penyakit ini neh (semoga tidak kembali
lagi penyakit yang diderita klien sekarang).. dan bisa hidup produktif .. ( P2) ”
Jar ISSN : Vol. 1 No. 1 (Juli, 2017)
journal.umbjm.ac.id/index.php/healthy 11
abahnya ( kata suami yang sakit) kalu kawa kada handak lagi masuk rumah
sakit..sudah ampih banar tu pang..( kalau bisa tidak mau lagi sakit seperti ini dan
masuk rumah sakit).(P4)
” Ya harapan nya jua tolong doakan mamah supaya ampih garing keini..
(harapanya supaya sembuh dari penyakit yang diderita sekarang).(P5)
Mengharapkan Pelayanan Kesehatan Terbaik
Partisipan dalam penelitian ini memiliki penilaian yang bervariasi mengenai
layanan kesehatan, layanan kesehatan yang dimaksud disini tidak hanya berupa
layanan pengobatan medis terkait tindakan medis, tetapi juga kebutuhan partisipan
mengenai sumber informasi terkait perkembangan penyakitnya setelah dilakukan
pengobatan, hal ini dapat di lihat dari ungkapan partisipan,antara lain :
“ Puas...tidak ada masalah puas..baik haja pang untuk melaksanakan tugas dan
melayani...Cuma waktu di ICU aja agak telambat... kalu untuk informasi
langsung didapatkan dari dokter (P1).
“Yang pertama kalu menurut ku tuh lah masih kurang informasi dari petugas
kesehatan....kalu jantung neh jarang banar ( sekali), terutama ya tadi tentang
tanda gejala, fasilitasnya juga masih kurang...kaya EKG kadada (tidak ada)
dipuskesmas Kedua penyuluhan tentang masalah jantung neh dari dokter jua
kurang, kalau perawat malah kada lalu ( tidak ada sama sekali) memberikan
informasi secara langsung).(P2).
Usaha Mendapakan Bantuan Pengobatan
Partisipan dituntut untuk mampu mengambill keputusan dalam menentukan jenis
pengobatan yang digunakan dikarenakan masalah kesehatan yang dialami oleh
partisipan, Pengobatan yang dipilih tergambar dari keputusan partisipan dalam
memilih metode pengobatan baik itu pengobatan medis maupun non medis.
Pelayanan Profesional
pelayan profesional yang dimaksud disini adalah pengobatan yang melibatkan
layanan kesehatan medis. Dari hasil wawancara dengan partisipan diketahui
bahwa Alternatif yang pertama kali dipilih oleh seseorang jika ia mengalami suatu
masalah kesehatan adalah layanan kesehatan yang dapat diakses dengan mudah,
Sehingga Puskesmas menjadi salah satu rujukan pertama pengobatan yang dipilih,
hal itu dapat dilihat dari pernyataan partisipan:
“Kontrol kepuskesmas rutin setiap bulan ...klu beobat kepuskesmas (biasanya
berobatnya kepuskesmas)......”(P1)
Selain Puskesmas, pilihan pengobatan yang dipilih oleh partisipan adalah Rumah
sakit dipilih hal itu dapat dibuktikan dengan pernyataan partisipan sebagai berikut.
“ Jadi waktu itu pas takanan ( waktu serangan).. blak..blak langsung dibawa
kerumah sakit...Pas ada gejala tuh lansung dibawa beperiksa keulin (rumah
Sakit) ,....(P2)
Partisipan juga sering melakukan pemeriksaan ke balai pengobatan- pengobatan
yang ada di sekitar tempat tinggal mereka untuk mendapatkan informasi terkait
program pengobatan apa yang mereka dapat lakukan selanjutnya untuk dapat
mengatasi masalah kesehatan.
“Amun ada sedikit itu dikiyau paman nang pensiunan perawat jua....kalau
darurat...pensiunan perawat...(kalau ada apa di panggil paman yang pensiunan
perawat jua..kalau keadaan darurat..pensiunan perawat) (P1).
Sedangkan untuk praktik swasta yang dimaksud disini adalah praktik klinik
doktek pribadi, karena menurut partisipan praktik klinik pribadi lebih mudah
untuk mendapatkan informasi mengenai masalah kesehatan yang mereka alami
hal itu didukung dengan pernyaataan partisipan :
“ Kemarin tuh ke klinik swasta disana diberi oleh dokter adi potro obat......(P3)
Pelayanan Non Profesional
Pelayanan Non profesional atau pengobatan non medis pun sering dipilih oleh
partisipan untuk mengurangi gejala kesakitan pasca kekambuhan berulang, seperti
penggunaan obat herbal, pijat dan minuman ( yang sudah diberi kan bacaan-
bacaan dari tokoh masyarakat yang dianggap mampu mengurangi masalah
kesehatan yang partisipan alami) hal itu dapat dilihat dari pernyaan partisipan :
“Malamnya kami minumi Garsia yang ekrstrak manggis tu nah”.(P1) ”ada ai
orang menyuruh meminum sirih habang baik jar ghasan jantung.....itu kami
betanaman.... pas kena tuh ada keluarga menyarankan untuk dipijat....lawan
diandaki sirih jar didada ghasan mencabut anggin dengan di bekam (P2)”.ada ai
sarang samut....dulu rajin ai meminum wahini mana kada temium-minum...
(P5).“Oh..dulu kami kemana beobat alternatif sampai bulik ISSN : Vol. 1 No. 1
(Juli, 2017)
journal.umbjm.ac.id/index.php/healthy 12
kekampung..iya sarang samut dulu rajin ai meminum wahini mana kada teminum-
minum” (P5)”oh..dulu kami kemana-mana beobat alternatif sampai bulik
kekampung...iya banyu “(P4)
Dalam penelitian ini didapat bahwa respon partisipan dalam melaksanakan perawatan
mandiri sangat beraneka ragam. Ketidakpatuhan Partisipan dalam melaksanakan
pengobatan disebabkan oleh faktor ketidaktahuan, ketidakmampuan dikarenakan oleh
ketidakmauan melaksanakan terapi pengobtan tersebut. Penelitian yang dilakukan
Britz dan Dunn (2010) menyebutkan sebagian pasien melaporkan bahwa mereka
belum melaksanakan self care secara tepat seperti yang diajarkan misalnya mematuhi
pengobatan yang diberikan, diet rendah garam. Aktivitas fisik yang teratur,
pembatasan cairan, monitor berat badan setiap hari, mengenal secara dini gejala dan
tanda. Ketidakmampuan melakukan self care ini mengakibatkan gejala akan
dirasakan semakin berat dan menjadi penyebab pasien menjalani hospitalisasi. Sebab
itu upaya yang dilakukan untuk menekan timbulnya gejala penyakit yang buruk serta
menghindari rehospitalisasi bagi pasienya itu dengan meningkatkan kemampuan Self
care tersebut. Selain itu ketidakmampuan pasien gagal jantung kongestif melakukan
self care disebabkan oleh kurangnya pemahaman pasien gagal jantung mengenai
regimen pengobatan yang harus mereka jalani. Pernyataan ini didukung juga oleh
Roger. et. al (2002) dalam Studi kualitatif pemahaman pasien gagal jantung tentang
gejala –gejala dan terapi obat didapatkan, bahwa pasien memiliki sedikit pemahaman
tentang tujuan pengobatan, pasien khawatir tentang kualitas dan kombinasi obat yang
diresepkan, pasien tidak mampu atau kesulitan untuk mengenali perbedaan antara
efek obat dan gejala dari gagal jantung dan kurang mengetahui tentang obat-obat
yang dapat mengurangi gejala tersebut.
Hal Senada juga dinyatakan oleh Gallacber. et. all (2011) bahwa kendala dalam
pengobatan gagal jantung adalah kurangnya pemahaman pasien dalam perawatan,
interaksi dengan orang lain dalam regiamen pengobatan, gaya hidup, ketaatan dan
kepatuhan minum obat, ketidaktaatan kontrol dokter, akses layanan dan kurang
komunikasi dengan pemberi layanan kesehatan. Jeon, (2010) menambahkan bahwa
pengalaman pasien gagal jantung dalam perawatan gagal jantung dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain : pengetahuan, pemahaman dan kualitas dari layanan
kesehatan.
Dengan dukungan keluarga yang baik akan meningkatkan derajat kesehatan yang
optimal. Hubungan yang baik antara keluarga dan anggota keluarga yang sedang sakit
akan menunjang kesembuhan.
Pengetahuan keluarga yang baik tentang CHF akan mempengaruhi sikapnya dalam
perawatan pasien selama di rumah. Semakin baik perawatan yang dilakukan oleh
keluarga diharapkan dapat meminimalkan kekambuhan. Dukungan yang diberikan
oleh keluarga kepada anggota keluarganya yang sakit berupa dukungan moril yaitu
motivasi dan perawatan dan materil.
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat persamaan antara temuan saat wawancara
dengan teori Yosep, (2009). Yang menyatakan Proses penyembuhan pada pasien
gangguan penyakit jantung harus dilakukan secara holistik dan melibatkan anggota
keluarga. Keluarga mempengaruhi nilai, kepercayaan, sikap, dan perilaku klien.
Keluarga mempunyai fungsi dasar seperti memberi kasih sayang, rasa aman, rasa
dimiliki, dan menyiapkan peran dewasa individu di masyarakat. Hal ini dapat
disimpulkan betapa pentingnya peran dukungan keluarga dalam proses penyesuaian
kembali setelah selesai program perawatan. Oleh karena itu keterlibatan keluarga
dalam perawatan sangat menguntungkan proses pemulihan klien
Dukungan sosial sangat penting didapatkan tidak hanya klien dengan gagal jantung
kongestif, tetapi individu sakit pada umumnya, dengan adanya dukungan dari
lingkungan sosial individu sakit akan lebih percaya diri dalam melaksanakan terapi
pengobatan. Pada penelitian ini Respon itu berupa perhatian dan kepedulian yang
diberikan kepada partisipan baik dari keluarga maupun masyarakat sekitar, hal ini
dapat memberikan motivasi kepada partisipan untuk melaksanakan program
pengobatan sesuai dengan indikasi terapi pengobatan yang harus dijalani, karena
partisipan merasa mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitarnya. Hal ini senada
dengan teori . Kaplan (2010) mengatakan dukungan sosial dapat diperoleh melalui
individu-individu yang diketahui dapat diandalkan, menghargai, memperhatikan serta
mencintai kita dalam suatu jaringan sosial.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa partisipan kurang puas terhadap sarana dan
prasarana berupa alat dan informasi mengenai penyakit khususnya gagal jantung yang
diberikan oleh tenaga kesehatan. Teori dan penelitian terdahulu menyatakan bahwa
memberikan ISSN : Vol. 1 No. 1 (Juli, 2017)
journal.umbjm.ac.id/index.php/healthy 13
pelayanan keperawatan yang profesional, niscaya akan diraih tujuan yang diinginkan
yaitu kepuasan pelanggan yang dalam hal ini adalah pasien maupun keluarganya.
Kepuasan ditunjukkan oleh sikap pasien setelah menerima pelayanan medis dari
pihak rumah sakit. pemenuhan hak-hak dan kebutuhan dasar manusia di bidang
kesehatan diharapkan memiliki kinerja yang baik. Kepuasan pelanggan terjadi apabila
apa yang menjadi kebutuhan, keinginan, harapan pelanggan dapat dipenuhi, maka
pelanggan akan puas.
Kepuasan pelanggan adalah perasaan senang atau puas bahwa produk atau jasa yang
diterima telah sesuai atau melebihi harapan pelanggan (Nursalam, 2014).
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori, bahwa individu yang mengalami keadaan
sakit akan mengambil keputusan untuk dirinya dalam hal pengobatan dan salah
satunya adalah melalui pengobatan medis dan non medis. Non Medis berupa
alternatif komplementer atau battra. Ramuan tradisional yang berasal dari akar-akaran
atau tanaman yang dijadikan jamu serta pijat refleksi merupakan jenis battra yang
diakui oleh pemerintah. Menurut penelitian Sari (2006). penggunaan obat tradisional
secara umum dinilai lebih aman dari pada penggunaan obat modern. Hal ini
disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit
dari pada obat modern. WHO (2003) merekomendasi penggunaan obat tradisional
termasuk herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan
pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan
kanker. WHO juga mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan
khasiat dari obat tradisional.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa
pengalaman pasien gagal jantung kongestif dalam melaksanakan perawatan mandiri.
(Self Care). Dapat dilihat dari bagaimana kepatuhan pasien dalam melaksanakan
Pembatasan Nutrisi dan garam, Pembatasan Cairan, Batasan Aktivitas, Latihan Fisik,
Tidak Percaya dengan kondisinya sekarang, Kemauan dalam melaksankan
pengobatan, ikhlas dan pasrah dalam kondisi sakit dan patuh melaksanakan
pengobatan. Selain itu didapatkan pula minimnya informasi mengenai pengobatan
yang benar dan tepat tentang gagal jantung kongestif yang diberikan oleh petugas
kesehatan. serta minimnya sarana pendukung dilayanan kesehatan khususnya
puskesmas.
DAFTAR PUSTAKA
Britz, J. A .,& Dun, K.S (2010). Self care and quality of life among patient with heart
failure. Journl of the academic of
nurse practicioners,22,480-487
Gallacher,Katie. Et. al (2011). Understanding Patient ‘ Experiences of Treatment
Burden in chronic Heart failure using Normalization process theory. http/www.
Annfammed. Org. Vol. 9, No. 3 (accessed 25 Februari 2015)
Jeon, Yun –Hee. Et. al. (2010).The Experience of living with chronic heart failure : a
narrative review of qualitativ studies. BMC Healh Services research. http/www.
Biomedcentral. com (accessed 21 Februari 2015)
Sari, L. O. (2006). Pemanfaatan Obat Tradisonal dengan pertimbangan manfaat dan
kemanan. Majalah Ilmu Kefarmasian Universitas Jember. Vol. III
Nursalam (2014). Manajemen Keperawatan Aplikasi dalam Prkatik Kepeawatan
Profesional. Jakarta : Salemba Medika.
Yosep.et. all. (2009). Social support and hostility
as predictor of depresivesystom in cardiacpatien one mont after
hospitalisation.Psychosom med.60 (6) :707-13
Rogers, Anggie.et. al (2002). A qualitative Study of chronic heart failure patient”
Understandig of their Sympoms and drug therapi. European Joural of Heart Failure 4.
(accessed 21 Februari 2015)
World Healt Organization. (2012). Word Heart Statistic.
http://www.who.int/research/en/
Ignatavicius, D.D., & Workman, M.L. (2006). Medical surgical nursing : critical
thingking for collaborative care (5 th ed). Missouri : Elsevier
Aronow,W.S (2006). Epidemiologi, pathophysiology, prognosis and treatment of
Systolic and diastolic heart failure. Cardiology inreview,14(3),108-120.
Andrianto, (2008), Nesiritide Intravena Suatu Peptida Natriuritik Untuk Terapi Gagal
Jantung Akut. Unair, Surabaya.diunduh dari, http://arekkardiounair.com/2014.10.23
archive. html.
Smelzer dan Bare (2002). Buku Ajar Keperawatan

PENERAPAN PEMBERIAN OKSIGEN PADA PASIEN


CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF) DENGAN
GANGGUAN KEBUTUHAN OKSIGENASI
DI RSUD WATES KULON PROGO
Samsi Bariyatun1, Catur Budi Susilo2, Maryana3
Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Jalan Tatabumi 3 Banyuraden, Gamping, Sleman
E-mail : samsibariya16@gmail.com
INTISARI
Latar belakang: Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu gangguan fungsi
jantung yang mengalami kegagalan dalam memompa darah untuk kebutuhan sel-sel
tubuh. Gejala yang sering timbul karna penyakit gagal jantung ini adalah dyspnea
atau sesak nafas menyebabkan pola nafas pasien menjadi tidak efektif.
Tujuan: Memberikan gambaran tentang pemberian oksigen dalam asuhan
keperawatan pada pasien Congestive Heart Failure (CHF) dengan gangguan
kebutuhan oksigenasi
Metode: Studi kasus ini menggunakan metode diskriptif. Penulis membandingkan
respon dua pasien CHF yang sama-sama diberi tambahan oksigen. Pengumpulan data
dilakukan dengan cara wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, dan studi dokumen
Hasil: Penerapan pemberian oksigen pada pasien Congestive Heart Failure (CHF)
dengan gangguan kebutuhan oksigenasi memberikan pengaruh terhadap keefektifan
pola napas pada pasien. Perbedaan respon pada dua pasien setelah diberi tindakan
dikarenakan kedua pasien mempunyai keluhan sesak napas yang berbeda dan
penyakit kronis lain yang berpengaruh terhadap pola napas pasien.
Kesimpulan: Penerapan pemberian oksigen pada pasien CHF memberikan respon
yang berbeda
Kata Kunci : Pemberian oksigen, Congestive Heart Failure (CHF), gangguan
oksigenasi, pola napas tidak efektif
1)Mahasiswa Keperawatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
2)3)Dosen Keperawatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
PENDAHULUAN
Gagal jantung kongestif merupakan keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi
jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan. Gejala yang muncul sesuai dengan gejala gagal jantung kiri
diikuti gagal jantung kanan, terjadi di dada karena peningkatan kebutuhan oksigen1.
Gagal jantung merupakan salah satu penyakit jantung yang angka kejadiannya di
Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Prevalensi penyakit jantung
coroner di Indonesia mencapai 0,5% dan gagal jantung sebesar 0,13% dari total
penduduk berusia 18 tahun keatas2.
Pada pasien gagal jantung kongestif dengan pola nafas tidak efektif terjadi karena
ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru-paru sehingga
terjadi peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru yang menyebabkan cairan terdorong
ke jaringan paru3.
Pasien gagal jantung kongestif sering kesulitan mempertahankan oksigenasi sehingga
mereka cenderung sesak nafas. Seperti yang kita ketahui bahwa jantung dan paru-
paru merupakan organ tubuh penting manusia yang sangat berperan dalam pertukaran
oksigen dan karbondioksida dalam darah, sehingga apabila paru-paru dan jantung
tersebut mengalami gangguan maka hal tersebut akan berpengaruh dalam proses
pernapasan. Gagal jantung kongestif menyebabkan suplai darah ke paru-paru
menurun dan darah tidak masuk ke jantung. Keadaan ini menyebabkan penimbunan
cairan di paru-paru, sehingga menurunkan pertukaran oksigen dan karbondioksida4.
Gangguan kebutuhan oksigenasi menjadi masalah penting pada pasien gagal jantung
kongestif. Untuk itu, sebaiknya masalah tersebut segera ditangani agar tidak
memperparah kondisi tubuh pasien. Intervensi keperawatan dalam upaya pemenuhan
kebutuhan oksigenasi bisa dilakukan dengan pemberian oksigen, memberikan posisi
semi fowler, auskultasi suara nafas, dan memonitor respirasi dan status O2.
Kebutuhan oksigenasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk
kelangsungan metabolisme sel tubuh dalam mempertahankan hidup dan aktivitas
sebagian organ atau sel5.
Salah satu intervensi keperawatan pada penderita gagal jantung dengan gangguan
kebutuhan oksigenasi adalah pemberian oksigen. Pemberian oksigen adalah bagian
integral dari pengelolaan untuk pasien yang dirawat di rumah sakit, khususnya pasien
yang sedang mengalami gangguan pernapasan yaitu untuk mempertahankan
oksigenasi dalam tubuh. Pemberian oksigen dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari
udara ruangan digunakan untuk mengatasi atau mencegah hipoksia 6.
METODE
Metode yang digunakan pada studi kasus ini adalah desain studi kasus diskriptif.
Penulis melakukan asuhan keperawatan kepada dua pasien dengan satu kasus yang
sama dengan melibatkan keluarganya, dengan memfokuskan satu tindakan yaitu
pemberian oksigen untuk mengatasi masalah oksigenasi pasien Congestive Heart
Failure (CHF). Subyek studi kasus adalah dua pasien individu yang diamati secara
mendalam, dan memenuhi kriteria subjek. Kriteria subjeknya yaitu pasien penderita
CHF dengan gangguan pemenuhan oksigenasi, membutuhkan pemberian oksigen
tambahan dan bersedia diberi tambahan oksigen. Subyek pada studi kasus ini yaitu
dua pasien di ruang rawat inap ruang edelweis RSUD Wates. Fokus studi ini adalah
pemenuhan kebutuhan oksigenasi dengan penerapan pemberian oksigen pada pasien
Congestive Heart Failure (CHF).
Instrumen yang penulis gunakan yaitu Standar Operasional Prosedur (SOP)
pemberian oksigen melalui kanul nasal, lembar observasi pemberian oksigen kanul
nasal, lembar evaluasi berbentuk SOAP, dan lembar evaluasi status pernapasan.
Prosedur pengumpulan data untuk asuhan keperawatan pada pasien yang dipakai
dalam studi kasus ini yaitu wawancara, observasi, pemeriksaan fisik dan studi
dokumen, dengan dilakukan inform consent sebelumnya. Cara pengumpulan data
mengenai prosedur tindakan keperawatan pemberian oksigen melalui kanul nasal di
lahan studi kasus dilakukan dengan wawancara kepada perawat di ruang rawat inap.
HASIL
Pasien 1 yaitu Ny. J berusia 60 tahun dengan diagnosis medis CHF, asma bronchial
dan abdominal pain. Keluhan utama yaitu pusing, sesak napas jika kelelahan, sesak
napas bertambah jika sore hari atau udara dingin, batuk, mual, muntah, tidak nafsu
makan, perut terasa penuh dan mbesesek. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan RR:
24x/menit, irama napas tidak teratur, terdapat penggunakan tambahan otot bantu
pernapasan, terdapat suara wheezing, tekanan darah didapatkan 140/90 mmHg,
denyut nadi kuat, nadi sebanyak 100x/menit. Status gizi pasien didapatkan IMT 26,05
(gizi lebih). Pasien mengatakan memiliki riwayat hipertensi, sudah pernah opname di
rumah sakit sebanyak 3 kali karena sakit jantung dan rutin kontrol sebulan sekali.
Pemeriksaan abdomen didapatkan asites, pitting edem derajat 1. Saat sakit, pasien
mengatakan sulit tidur karena sesak napas
Pemeriksaan sistemik pada pasien didapatkan turgor kulit kurang elastis dan kulit
kering, konjungtiva mata tidak pucat, tidak terdapat pernapasan cuping hidung,
mukosa bibir lembab. Pada pemeriksaan dada didapatkan tidak terdapat luka di dada,
terdapat penggunaan tambahan otot bantu pernapasan, tidak terdapat benjolan
abnormal, ekspansi dada simetris, terdapat suara napas wheezing, suara perkusi
sonor, irama napas tidak teratur, kedalaman napas dalam. Iktus cordis tak tampak,
suara pekak, tidak terdapat pembesaran jantung.
Diagnosis keperawatan yang muncul pada pasien Ny. J yaitu penurunan curah
jantung berhubungan dengan perubahan preload, intoleransi aktivitas berhubungan
dengan ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, dan pola napas
tidak efektif berhubungan dengan pengembangan paru tidak optimal.
Studi kasus ini membahas tentang satu diagnosis keperawatan yaitu pola napas tidak
efektif berhubungan dengan pengembangan paru tidak optimal. Asuhan keperawatan
dilakukan selama 3 x 24 jam dengan intervensi pada pasien Ny.J yaitu monitor status
pernapasan pasien, edukasi pasien untuk diberikan posisi semifowler, ajarkan pasien
cara batuk efektif, kelola pemberian oksigen, monitor pemberian oksigen sesuai
standar. Ada beberapa implementasi yang dilakukan secara kolaboratif untuk pasien
Ny. J yaitu pemberian nebulizer ventolin 2,5 mg dan pulmicort 0,5 mg. Hal ini
dikarenakan selain menderita CHF, pasien juga menderita asma bronchial yang juga
merupakan suatu gangguan oksigenasi. Selain itu, pasien juga dianjurkan untuk
membatasi aktivitasnya agar tidak memicu timbulnya sesak napas. Implementasi
yang yang melibatkan keluarga yaitu melibatkan keluarga dalam mempertahankan
kepatenan posisi kanul nasal dan memantau kecukupan humidifier.
Monitor status pernapasan pasien dilakukan setiap hari dan evaluasi yang didapatkan
setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam yaitu pola napas pasien
efektif ditandai dengan sesak napas berkurang, RR: 20x/menit, tidak terdapat suara
napas tambahan wheezing, irama napas teratur, tidak terdapat penggunaan tambahan
otot bantu pernapasan, pasien batuk, dapat melakukan batuk efektif, dan pasien
mengatakan nyaman dengan posisi setengah duduk.
Pasien 2 yaitu Tn. P berusia 58 tahun dengan diagnosis medis CHF dan anemia.
Keluhan utama pasien mengatakan sesak napas hingga dadanya sakit, badan
gemetaran, badannya lemah, feses berwarna hitam, dan perut mual. Hasil
pemeriksaan fisik didapatkan RR: 25x/menit, irama napas tidak teratur, napas cepat,
tidak terdapat penggunaan tambahan otot bantu pernapasan, tekanan darah 150/80
mmHg, denyut nadi 86x/menit. Pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar
hemoglobin 8,3 g/dL. IMT: 24,14. Konjungtiva pucat, mukosa bibir kering, turgor
kulit kurang elastis. Riwayat penyakit dahulu pasien mengatakan memiliki riwayat
hipertensi satu tahun yang lalu menderita anemia. Diagnosis keperawatan yang
muncul pada pasien Tn. J yaitu penurunan curah jantung berhubungan dengan
penurunan preload, intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen, pola napas tidak efektif berhubungan dengan
pengembangan paru tidak optimal, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan penurunan HB, dan angguan pertukaran gas berhubungan
dengan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
Intervensi keperawatan pada Tn. J yang berhubungan dengan pola napas tidak efektif
yaitu monitor status pernapasan pasien, edukasi pasien untuk diberikan posisi
semifowler, kelola pemberian oksigen, monitor pemberian oksigen sesuai standar,
dan mengedukasi pasien untuk membatasi aktivitas. Pasien juga mendapatkan
transfusi PRC.
Evaluasi yang didapatkan setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam
yaitu pola napas tidak efektif pada pasien belum teratasi ditandai dengan pasien
mengatakan badannya lemah, masih sesak napas, RR: 22x/menit, irama napas tidak
teratur. Pasien mengatakan lebih nyaman dan lega dengan diberikannya oksigen 3
liter/menit dan pasien lebih nyaman dalam posisi setengah duduk atau duduk. Kedua
pasien tersebut yaitu Ny. J dan Tn. P memiliki beberapa perbedaan.
Tabel. 1 Ny. J Tn. P
Analisa
Perbedaa
n Kasus
Pembeda
Jenis Perempua Laki-laki
kelamin n
Usia 60 tahun 58 tahun
IMT 26,05 23,14
Diagnosa asma anemia
medis bronchial
selain dan
CHF abdomina
l pain
Keluhan pusing, , sesak
utama sesak napas
napas jika hingga
kelelahan dadanya
, sesak sakit,
napas badan
bertamba gemetara
h jika n,
sore hari badannya
atau lemah,
udara feses
dingin, berwarna
batuk, hitam,
mual, perut
muntah, mual.
tidak
nafsu
makan,
perut
sakit
Riwayat Hipertens Hipertens
penyakit i, jantung i, anemia,
satu tidak ada
tahun riwayat
yang lalu penyakit
jantung
Pola Irama Irama
napas tidak tidak
teratur, teratur,
napas napas
dalam dangkal
Kadar 14,5 g/dL 8,3 g
hemoglob
in
Tabel 1 menunjukkan bahwa kedua pasien memiliki beberapa perbedaan seperti jenis
kelamin, usia, IMT, diagnosa medis selain CHF, keluhan utama, riwayat penyakit,
pola napas, dan kadar hemoglobin pasien. Jenis kelamin laki-laki membutuhkan lebih
banyak oksigen karena membutuhkan lebih banyak energi untuk beraktivitas
sehingga Tn.P memiliki kebutuhkan oksigen yang lebih banyak.
Usia juga mempengaruhi kebutuhan oksigen, kedua pasien memiliki rentang usia
yang hampir sama sehingga tidak memiliki perbedaan yang signifikan berdasarkan
usia. Luas permukaan tubuh yang bisa diukur dengan berat badan dan tinggi badan
juga berpengaruh terhadap kebutuhan oksigen, semakin luas permukaan tubuh maka
kebutuhan oksigen juga semakin banyak, sehingga dapat dikatakan Ny. J memiliki
tingkat kebutuhan oksigen yang lebih banyak dari segi IMT.
Penyakit kronis juga memengaruhi kebutuhan oksigen pasien, Ny. J memiliki riwayat
jantung sejak satu tahun yang lalu dan sekarang kembali menderita sakit jantung
disertai asma bronchial. Sedangkan pasien Tn. P belum pernah menderita sakit
jantung sebelumnya dan sekarang merupakan kali pertama menderita sakit jantung
disertai anemia, hal ini akan menyebabkan terhambatnya peredaran oksigen ke
seluruh tubuh.
Namun, kedua pasien tersebut sama sama memiliki riwayat hipertensi, dimana
hipertensi merupakan penyebab terjadinya Congestive Heart Failure (CHF) yang
berasal dari luar atau ekstrinsik.
Kedua pasien tersebut juga memiliki pola napas yang berbeda, pasien Ny. J memiliki
pola napas dengan napas dalam sedangkan Tn. P memiliki pola napas cepat dan
dangkal. Hal ini akan mempengaruhi perkembangan pasien setelah diberikan
tambahan oksigen. Kadar hemoglobin juga akan mempengaruhi kebutuhan oksigen
karena hemoglobin mengikat oksigen yang akan diedarkan ke seluruh tubuh, jika
kadar hemoglobin semakin rendah maka oksigen yang diedarkan ke seluruh tubuh
juga semakin sedikit PEMBAHASAN
Studi kasus diawali dengan melakukan pengkajian kepada pasien dengan cara
wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, dan studi dokumen. Setelah itu, penulis
melakukan analisa data, merencanakan tindakan keperawatan untuk mengatasi pola
napas tidak efektif pada pasien, dan yang terakhir melakukan tindakan keperawatan.
Hari pertama studi kasus pada kedua pasien tersebut dilakukan pada hari kedua
pasien di rumah sakit. Tetapi, respon atau perkembangan pasien berbeda. Pasien Ny.
J dan Tn. P mendapatkan tambahan oksigen 3 liter/menit. Sejak hari pertama studi
kasus, pasien Ny. J diposisikan pada posisi semi fowler dan pasien mengatakan lebih
nyaman. Ny. J mengatakan bahwa sesak napas bertambah jika sore atau malam hari
dan sesak bertambah jika posisi telentang. Begitu juga dengan pasien Tn. P yang
diposisikan semi fowler. Selain itu, setelah diberi tambahan oksigen sejak awal masuk
rumah sakit, pasien Ny. J mengatakan sesak napas berkurang dan tambahan oksigen
membuat lebih lega, RR: 24 x/menit, irama tidak teratur, masih terdapat penggunaan
tambahan otot bantu pernapasan, dan terdapat suara tambahan wheezing.
Perkembangan pasien Tn. P pada hari pertama yaitu pasien mengatakan masih sesak
napas tetapi sudah tidak separah saat sebelum masuk rumah sakit, RR : 24x/menit,
irama napas tidak teratur dan napasnya pendek cepat, dan terdapat suara wheezing.
Keluhan utama Tn. P pada hari pertama yaitu badannya terasa lemah.
Hari kedua studi kasus, penulis mengedukasi dan melatih Ny. J cara batuk efektif
karena pasien mengeluh batuk berdahak dan pasien dapat melakukan batuk efektif,
dahak dapat keluar berwarna putih. Pada hari kedua ini, pasien Ny. J mendapatkan
nebulizer ventolin dan pulmicort yang diberikan pada pukul 07.00 pagi.
Perkembangan status pernapasan pasien, pasien Ny. J mengatakan sesak napas
brkurang dan batuk, RR: 22x/menit. Pada pasien Tn. J pasien mengatakan sesak
napas berkurang, tetapi badannya lemah. Hari kedua, penulis juga memberikan
edukasi kepada Tn. J dan Ny.J supaya membatasi aktivitasnya agar tidak
memperparah sesak napas dan pasien tirah baring dengan mandi dan buang air besar
di atas tempat tidur dibantu oleh keluarganya.
Hari ketiga studi kasus, pasien Ny. J mengatakan sudah tidak sesak napas tetapi
masih batuk, tidak terdapat suara wheezing, tidak terdapat penggunaan tambahan otot
bantu pernapasan, irama napas teratur dan RR : 20 x/menit. Sedangkan pada Tn. P
pasien mengeluh badannya lemah, sesak napas berkurang, terdapat suara wheezing,
irama napas tidak teratur dan RR : 22x/menit.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam seperti pemberian oksigen,
memposisikan semi fowler, membatasi aktivitas, dan tindakan- tindakan kolaborasi
seperti pemberian nebulizer akibat asma dan transfusi darah akibat anemia, pola
napas Ny. J efektif ditandai dengan RR: 20x/menit, tidak terdapat penggunaan
tambahan otot bantu pernapasan, dan irama napas teratur. Tetapi, pasien mengeluh
batuk yang berkaitan dengan masalah bersihan jalan napas tidak efektif. Sedangkan
pada Tn. P pola napas tidak efektif belum teratasi ditandai dengan pasien mengeluh
badannya lemah, RR: 22x/menit dan terdapat suara wheezing.
Teratasi atau tidak teratasinya masalah keperawatan pola napas tidak efektif pada
kedua pasien ini mengacu pada kriteria hasil tidak ada dyspnea, mampu bernapas
dengan mudah, menunjukkan irama napas, frekuensi napas dalam rentang normal,
tidak terdapat suara napas tambahan, dan tanda-tanda vital dalam batas normal7.
Pasien Ny. J mengeluh mengalami batuk. Batuk merupakan manifestasi yang sering
pada gagal jantung kiri. Pasien batuk karena sejumlah cairan yang banyak
terperangkap dalam saluran pernapasan dan mengiritasi mukosa paru8.
Pemberian oksigen memiliki peranan yang penting dalam pemenuhan kebutuhan
oksigenasi pada pasien CHF guna meringankan gejala sesak napas pada pasien.
Meningkatkan konsentrasi (atau persentasi) oksigen yang dihirup pasien penting
untuk mengembalikan keadaan hipoksia (konsentrasi oksigen rendah dalam darah),
menurunkan kerja sistem pernapasan karena jika menerima tambahan oksigen, otot
pernapasan tidak perlu bekerja keras untuk memompa udara ke dalam dan keluar
paru-paru dan untuk mempertahankan suplai oksigen darah yang mencukupi dan
tambahan oksigen berperan dalam menurunkan kerja jantung dalam memompa
darah9.
KESIMPULAN
Asuhan keperawatan pada pasien Congestive Heart Failure (CHF) dengan gangguan
kebutuhan oksigenasi merupakan suatu asuhan yang kompleks, tidak hanya khusus
satu tindakan berupa pemberian oksigen melalui kanul nasal tetapi juga disertai
tindakan keperawatan yang lain yang dapat mendukung teratasinya masalah
keperawatan pada pasien yaitu pola napas tidak efektif seperti pemberian posisi semi
fowler, melatih batuk efektif, edukasi pasien untuk membatasi aktivitas, dan edukasi
keluarga untuk membantu kepatenan posisi atau pemasangan kanul nasal.
Respon pasien CHF dengan gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi setelah
diberikan oksigen kanul nasal berbeda-beda. Pada studi kasus ini, kedua pasien
mengalami penurunan tingkat sesak napasnya, kedua pasien mengatakan nyaman dan
lega dengan aliran oksigen 3 liter/menit. Namun, pola napas dan respiration rate pada
masing-masing pasien berbeda, hal ini disebabkan pada kedua pasien tersebut
memiliki keluhan sesak napas, jenis kelamin, berat badan, dan riwayat penyakit
jantung yang berbeda. Selain itu, pasien Ny. J mengalami asma bronchial dan batuk
berdahak, sedangkan Tn. P mengalami anemia. Keduanya memiliki penyakit selain
CHF yang turut berperan dalam gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi pasien
tersebut.
Pemberian oksigen melalui kanul nasal pada pasien CHF dengan gangguan
pemenuhan kebutuhan oksigenasi digunakan untuk mengurangi sesak napas,
menurunkan kerja sistem pernapasan, dan menurunkan kerja jantung dalam
memompa darah. Pemberian oksigen dilakukan secara terus-menerus dan status
pernapasan pasien dievaluasi pada periode tertentu. Peran keluarga ini penting untuk
membantu mempertahankan kepatenan dan keadekuatan pemberian oksigen yang
dapat meningkatkan keefektifan pola napas pasien karena keluarga yang selalu berada
di dekat pasien.
SARAN
Pasien diharapkan agar segera istirahat dan menghentikan aktivitasnya karena hal
tersebut dapat membantu meringankan sesak napas, mempertahankan kepatenan
kanul nasal agar pemberian oksigen lebih efektif.
Perawat Ruang Edelweis RSUD Wates diharapkan memperhatikan cara pemasangan
oksigen kanul nasal dan memonitor pasien setelah diberikan tambahan oksigen
melalui kanul binasal agar perawat dapat mengevaluasi perkembangan status
pernapasan pasien dengan baik.
Rumah Sakit RSUD Wates diharapkan mempunyai Standar Operasional Prosedur
(SOP) untuk berbagai tindakan keperawatan seperti SOP pemberian tambahan
oksigen kanul nasal agar pelaksanaannya dapat lebih jelas dan terarah dengan baik.
REFERENSI
1. Mansjoer, A. (2009). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FK UI press
2. Riskesdas. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Laporan Kementerian Kesehatan
Republik Indinesia diunduh dari www.depkes.go.id pada 6 Januari 2018
3. Nugroho, W D. (2015). Hubungan Tingkat Kepatuhan Minum Obat dengan Rawat
Inap Ulang Pasien dengan Gagal Jantung Kongestif di RSUD DR. Moewardi. Jurnal
Stikes Kusuma Husada Surakarta
4. Suratinoyo, I. (2016). Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan Mekanisme Koping
pada Pasien Gagal Jantung Kongestif di Ruangan CVBC (Cardio Vaskuler Brain
Centre) Lantai III di RSUP. Prof. dr. R. D. Kandou Manado Ejournal

Keperawatan (e-Kp) Volume 4 Nomor 1


5. Hidayat, A. A. (2009). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data.
Jakarta: Selemba Medika.
6. Syandi, Janrizky Praerda. (2016). Asuhan Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan
Oksigenasi pada Tn. S Di Ruang Inayah Pku Muhammadiyah Gombong Jurnal
Stikes Muhammadiyah Gombong.
7. Bulecheck, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., Wagner, C. M. (2016)
Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi kelima Bahasa Indonesia.
Yogyakarta: Mocomedia
8. Black, J M dan Jane Hokanson Hawks. (2014). Keperawatan Medikal Bedah
Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. Jakarta: Elsevier
9. Rosdahl, C B dan Mary T. Kowalski. (2015). Buku Ajar Keperawatan Dasar.
Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai