Anda di halaman 1dari 32

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

CEDERA KEPALA BERAT

I. KONSEP KLINIS
A. Pengertian
Cedera kepala adalah suatu gangguan  traumatik  dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin 2008).

Menurut Brain Injury Assosiation of America, 2006. Cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi
disebabkan serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.  Cedera kepala atau trauma kepala adalah gangguan fungsi normal
otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neorologis
terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena
hemoragig, serta edema cereblal disekitar jaringan otak. (B.Batticaca, 2008).

Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala,tengkorak dan otak.
Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yangserius diantara penyakit
neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan jalan raya
(Smeltzer & Bare 2001).
B. Anatomi Fisiologi

Tulang tengkorak yang tebal dan keras membantu melindungi otak,tetapi meskipun
memiliki helm alami, otak sangat peka terhadap berbagai jenis cedera. Otak bisa
terluka meskipun tidak terdapat luka yang menembus tengkorak. berbagai cedera
bisa disebabkan oleh percepatan mendadak yang memungkinkan terjadinya
benturan atau karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur
objek yang tidak bergerak. Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada
sisi yang berlawanan.
Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan saraf,
pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi
kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat.

Perdarahan, pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang


sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena
tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa merusak
atau menghancurkan jaringan otak.
Karena posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke
bawah. Otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan
otak dengan batang otak, keadaan ini disebut herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa
mendorong otak kecil dan batang otak melalui lubang di dasar tengkorak (foramen
magnum) ke dalam medula spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang
otak mengendalikan fungsi vital (denyut jantung dan pernafasan).

Meninges
Meninges adalah selubung jaringan ikat non sarafi yang membungkus otak dan
medulla spinalis yang barisi liquor cerebrospinal dan berfungsi sebagai schock
absorber. Meninges terdiri dari tiga lapisan dari luar kedalam yaitu : duramater,
arachnoidea dan piamater.

a. Duramater
Durameter merupakan selaput padat, keras dan tidak elastis. Duramater
pembungkus medulla spinalis terdiri atas satu lembar, sedangkan duramater
otak terdiri atas dua lembar yaitu lamina endostealis yang merupakan jaringan
ikat fibrosa cranium, dan lamina meningealis. Membentuk lipatan / duplikatur
dibeberapa tempat, yaitu dilinea mediana diantara kedua hehemispherium
cerebri disebut falx cerebri , berbentuk segitiga yang merupakan lanjutan
kekaudal dari falx cerebri disebut Falx cerebelli, berbentuk tenda yang
merupakan atap dari fossa cranii posterior memisahkan cerebrum dengan
cerebellum disebut tentorium cerebelli, dan lembaran yang menutupi sella
tursica merupakan pembungkus hipophysis disebut diafragma sellae. Diantara
dua lembar duramater, dibeberapa tempat membentuk ruangan disebut sinus
( venosus ) duramatris.

Sinus duramatis menerima aliran dari vv. Cerebri, vv. Diploicae, dan vv.
Emissari. Ada dua macam sinus duramatis yang tunggal dan yang berpasangan.
Sinus duramater yang tunggal adalah : sinus sagitalis superior, sinus sagitalis
inferior, sinus rectus, dan sinus occipitalis. Sinus sagitalis superior menerima
darah dari vv. Cerebri,vv. Diploicae, dan vv. Emissari.Sinus sagitalis inferior
menerima darah dari facies medialis otak. Sinus rectus terletak diantara falx
cerebri dan tentorium cerebelli, merupakan lanjutan dari v. cerebri magna,
dengan sinus sagitalis superior membentuk confluens sinuum. Sinus occipitalis
mulai dari foramen magnum, bergabung dengan confluens sinuum.

Sinus duramater yang berpasangan yaitu sinus tranversus, sinus cavernosus,


sinus sigmoideus dan sinus petrosus superior dan inferior. Sinus tranversus
menerima darah dari sinus sagitalis superior dan sinus rectus, kemudian
mengalir ke v. jugularis interna. Sinus sigmoideus merupakan lanjutan sinus
tranversus berbentuk huruf S. Sinus petrosus superior dan inferior menerima
darah dari sinus cavernosus dan mengalirkan masing – masing ke sinus
traaanversus dan v. jugularis interna.
b. Aracnoidea
Membran halus disebelah dalam duramater, tidak masuk kedalam sulcus /
fissura kecuali fissura longitudinalis. Dari aracnoidea banyak muncul trabecula
halus menuju kepiamater membentuk bangunan seperti sarang laba – laba.

Diantara aracnoidea dan piamater terdapat ruang spatium subaracnoidale, yang


dibeberapa tempat melebar membentuk cisterna. Sedangkan celah sempit
diantara duramater dan aracnoidea disebut spatium subdurale, celah sempit
diluar duramater disebut spatium epidurale.

Dari aracnoidea juga muncul jonjot – jonjot yang mengadakan invaginasi ke


duramater disebut granulasio aracnoidales terutama didaerah sinus sagitalis
yang berfungsi klep satu arah memungkinkan lalunya bahan – bahan dari LCS
ke sinus venosus.
c. Piamater
Piamater melekat erat pada otak dan medulla spinalis, mengikuti setiap
lekukan, mengandung vasa kecil. Ditempat tertentu bersama dengan ependyma
membentuk tela choroidea. Piamater berperan sebagai barrier terhadap
masuknya senyawa yang membahayakan.

C. Etiologi Cedera Kepala Berat


Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu
cedera yang terjadi akibat benturan langsung maupun tidak
langsung, dan cedera sekunder yaitu cedera yang terjadi akibat
cedera saraf melalui akson meluas, hipertensi. intrakranial,
hipoksia, hiperkapnea / hipotensi sistemik. Cedera sekunder
merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis
yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron
berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan
perubahan neurokimiawi (Hickey, 2003).

Adapun etiologi cedera kepala adalah sebagai berikut :


1. Trauma oleh benda tajam
2. Menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal
3. Trauma oleh benda tumpul menyebabkan kerusakan substansi otak
4. Kerusakan terjadi ketika energi/kekuatan diteruskan ke substansi otak energi
diserap lapisan pelindung yaitu rambut kulit kepala dan tengkorak
5. Kecelakaan lalu lintas
6. Kecelakaan kerja
7. Trauma pada olah raga
8. Kejatuhan benda keras
9. Luka tembak
D. Klasifikasi Cedera Kepala
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya gejala yang
muncul setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi yang dipakai dalam
menentukan derajat cedera kepaka. Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagi
aspek ,secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi  yaitu berdasarkan
1. Mekanisme Cedera kepala
Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan
cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil-motor, jatuh atau pukulan benda tumpul. Cedera kepala
tembus disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi selaput
durameter menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau
cedera tumpul.
2. Beratnya Cedera
Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif
kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera kepala
a. Cedera Kepala Ringan (CKR).
GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari 30
menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak,
tidak ada kontusio cerebral maupun hematoma
b. Cedera Kepala Sedang ( CKS)
GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi
atau hematoma intracranial.

Skala Koma Glasgow


No RESPON NILAI
1 Membuka Mata :  
- Spontan 4
- Terhadap rangsangan suara 3
- Terhadap nyeri 2
- Tidak ada 1
2 Verbal :  
- Orientasi baik 5
- Orientasi terganggu 4
- Kata-kata tidak jelas 3
- Suara tidak jelas 2
- Tidak ada respon 1
3 Motorik :  
- Mampu bergerak 6
- Melokalisasi nyeri 5
- Fleksi menarik 4
- Fleksi abnormal 3
- Ekstensi 2
- Tidak ada respon 1
Total 3-15
 
E. Morfologi Cedera
Secara Morfologi cedera kepala dibagi atas :
a. Fraktur cranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar
tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis
frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan
petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Tanda-tanda tersebut antara lain :
 Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)
 Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
 Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea) dan
 Parese nervus facialis ( N VII )
Sebagai patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke dalam,
lebih tebal dari tulang kalvaria, biasanya memeerlukan tindakan pembedahan.
b. Lesi Intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua jenis
lesi sering terjadi bersamaan.
Termasuk lesi lesi local ;
 Perdarahan Epidural
 Perdarahan Subdural
 Kontusio (perdarahan intra cerebral)
Cedera otak difus umumnya menunjukkan gambaran CT Scan yang normal,
namun keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam
keadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya koma dan lamanya koma, maka
cedera otak difus dikelompokkan menurut kontusio ringan, kontusio klasik,
dan Cedera Aksona Difus ( CAD).
1) Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya  terjadi
pada regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea
media ( Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran
sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan
ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan neurologist
unilateral. Kemudian gejala neurology timbul secara progresif berupa pupil
anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala herniasi transcentorial.

Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus


lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri
kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervi kranialis. Cirri perdarahan
epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung

2) Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural( kira-
kira 30 % dari cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat
robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus
venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi
pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural biasanya
menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya
lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk daripada perdarahan
epidural.

3) Kontusio dan perdarahan intracerebral


Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walau
terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan cerebellum.
Kontusio cerebri dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau jam
mengalami evolusi membentuk perdarahan intracerebral.  Apabila lesi
meluas dan terjadi penyimpangan neurologist lebih lanjut
4) Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi
dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi pada
cedera kepala. Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran
tetap tidak terganggu, namun terjadi disfungsi neurologist yang bersifat
sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena
ringan sering kali tidak diperhatikan, bentuk yang paling ringan dari
kontusio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia
retrograd, amnesia integrad ( keadaan amnesia pada peristiwa sebelum dan
sesudah cedera).

Komusio cedera klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunya atau


hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca
trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera.
Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan
reversible. Dalam definisi klasik penderita ini akan sadar kembali dalam
waktu kurang dari 6 jam. Banyak penderita dengan komosio cerebri klasik
pulih kembali tanpa cacat neurologist, namun pada beberapa penderita
dapat timbul deficit neurogis untuk beberapa waktu. Defisit neurologist itu
misalnya : kesulitan mengingat, pusing ,mual, amnesia dan depresi serta
gejala lainnya. Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio
yang dapat cukup berat. Cedera Aksonal difus ( Diffuse Axonal Injuri,DAI)
adalah dimana penderita mengalami coma pasca cedera yang berlangsung
lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemi.
Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma
selama beberapa waktu, penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi
atau deserebasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat,
itupun bila bertahan hidup. Penderita sering menunjukkan gejala disfungsi
otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga
akibat cedera batang otak primer.

F. Pathway Cedera Kepala


G. Patofisiologi
Otak bisa terluka meskipun tidak terdapat luka yang menembus tengkorak.
berbagai cedera bisa disebabkan oleh percepatan mendadak yang memungkinkan
terjadinya benturan atau karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala
membentur objek yang tidak bergerak. Kerusakan otak bisa terjadi pada titik
benturan dan pada sisi yang berlawanan.
Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan saraf,
pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi
kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan,
pembengkakan dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang
ditimbulkan oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak
dapat bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa merusak atau
menghancurkan jaringan otak.
Karena posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke
bawah. Otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan
otak dengan batang otak, keadaan ini disebut herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa
mendorong otak kecil dan batang otak melalui lubang di dasar tengkorak (foramen
magnum) ke dalam medula spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang
otak mengendalikan fungsi vital (denyut jantung dan pernafasan).

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui
proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian
pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh
kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa
sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa
plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.

Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen
melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh
darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan
asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis
metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 – 60 ml /
menit / 100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output. Trauma
kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-
myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada
fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi
atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh
darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.

H. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya cedera
kepala.
1. Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling sensitive yang
dapat dilihat dengan penggunaan GCS ( Glascow Coma Scale)
2. Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti :
a. Nyeri kepala karena regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang
disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus optikus; muntah
seringkali proyektil
b. Penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesa.
c. Dilatasi pupil ipsilateral, pernapasan dalam dan cepat kemudian dangkal,
irreguler,
d. Penurunan nadi, peningkatan suhu.
e. Kebingungan
f. Pucat
g. Mual dan muntah
h. Pusing kepala
i. Terdapat hematoma
j. Kecemasan
k. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

Akibat dari trauma otak ini akan bergantung :

1. Kekuatan benturan
Makin besar kekuatan makin parah kerusakan, bila kekautan itu diteruskan
pada substansi otak, maka akan terjadi kerusakan sepanjang jalan yang
dilewati karena jaringan lunak menjadi sasaran kekuatan itu.

2. Akselerasi dan deselerasi


Akselerasi adalah benda bergerak mengenai kepala yang diam.
Deselerasi adalah kepala membentur benda yang diam. Keduanya mungkin
terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba – tiba tanpa
kontak langsung. Kekuatan ini menyebabkan isi dalam tengkorak yang
keras bergerak dan otak akan membentur permukaan dalam tengkorak pada
otak yang berlawanan.
3. Kup dan kontra kup
Cedera “cup” mengakibatkan kebanyakan kerusakan yang relatif dekat
daerah yang terbentur, sedangkan kerusakan cedera “kontra cup”
berlawanan pada sisi desakan benturan.
4. Lokasi benturan
Bagian otak yang paling besar kemungkinannya menderita cedera kepala
terbesar adalah bagian anterior dari lobus frantalis dan temporalis, bagian
posterior lobus aksipitalis dan bagian atas mesensefalon.
5. Rotasi
Pengubahan posisi rotasi pada kepala menyebabkan trauma regangan dan
robekan pada substansi alba dan batang otak.
6. Fractur impresi
Fractur impresi sebabkan oleh suatu keluaran yang mendorong fragmen
tentang turun menekan otak yang lebih dalam ketebalan tulang otak itu
sendiri, akibat fraktur ini dapat menimbulkan kontak cairan serebraspimal
(CSS) dalam ruang sobarachnoid dalam sinus kemungkinan cairan
serebraspinoa (CSS) akan mengalir ke hidung, telinga, menyebabkan
masuknya bakteri yang mengkontaminasi cairan spinal

I. Komplikasi Cedera Kepala


1. Patah tulang tengkorak
Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak.
Patah tulang tengkorak bisa melukai arteri dan vena, yang kemudian
mengalirkan darahnya ke dalam rongga di sekeliling jaringan otak. Patah
tulang di dasar tengkorak bisa merobek meningens (selaput otak). Cairan
serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak dan meningens) bisa
merembes ke hidung atau telinga.
Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah tulang tersebut, dan
menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak.
Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali
jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.
2. Konkusio
Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah
terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang
nyata. Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan
kerusakan struktural yang nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi setelah cedera
kepala yang ringan, tergantung kepada goncangan yang menimpa otak di dalam
tulang tengkorak.
Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk
yang abnormal; sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total dalam
beberapa jam atau hari. Beberapa penderita merasakan pusing, kesulitan dalam
berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan
kecemasan.

Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa


minggu, jarang lebih dari beberapa minggu. penderita bisa mengalami kesulitan
dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. keadaan ini disebut sindroma pasca
konkusio.

3. Gegar otak & robekan otak


Gegar otak (kontusio serebri) merupakan memar pada otak, yang biasanya
disebabkan oleh pukulan langsung dan kuat ke kepala. Robekan otak adalah
robekan pada jaringan otak, yang seringkali disertai oleh luka di kepala yang
nyata dan patah tulang tengkorak.

Gegar otak dan robekan otak lebih serius daripada konkusio.


MRI menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa
menyebabkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang diserati dengan
kebingungan atau bahkan koma. Jika otak membengkak, maka bisa terjadi
kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak; pembengkakan yang sangat hebat
bisa menyebabkan herniasi otak.

4. Perdarahan intracranial
Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan darah di
dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak. Hematoma intrakranial
bisa terjadi karena cedera atau stroke. Hematoma yang luas akan menekan
otak, menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan
otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau
batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi
penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi
tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian.
Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara
meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak
telah merobek arteri. darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi
sehingga lebih cepat memancar.
Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi bisa juga baru
muncul beberapa jam kemudian. sakit kepala kadang menghilang, tetapi
beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari sebelumnya.
Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan,
pingsan dan koma.

5. Kerusakan pada bagian otak tertentu


Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan
mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah
tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu,
lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.

6. Kerusakan lobus frontalis


Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik
(misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus
frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada
lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi
tubuh yang berlawanan.
Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada
ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika
hanya mengelai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku
yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.

Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa


menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas
yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan
perhatian penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka
menentang, kasar dan kejam; penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat
perilakunya.

7. Kerusakan lobus parietalis


Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk,
tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan
matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga
membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi
dari bagian tubuhnya.

Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada
sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan
hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini
disebut apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan.

Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam


mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa
mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik
(misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung
atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan
sehari-hari lainnya.

8. Kerusakan lobus temporalis


Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga
memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya
kembali serta menghasilkan jalur emosional.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya
ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri
menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari
dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya.

Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan


mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat
kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.

J. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
Indikasi CT Scan adalah :
a. Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah
pemberian obat – obatan analgesia/anti muntah.
b. Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
c. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi
shock, febris, dll).
d. Adanya lateralisasi.
e. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur
depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
f. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
g. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari
GCS.Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
2. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
3. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan
kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan.
Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam),
Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri
kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran (Bajamal
A.H ,1999). Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose
foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan
adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan
oblique.
4. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
5. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intracranial.
6. Foto cervical bila ada tanda-tanda fraktur cervical
7. Radiografi kranium: untuk mencari adanya fraktur, jika pasien mengalami
gangguan kesadaran sementara atau persisten setelah cedera, adanya tanda fisik
eksternal yang menunjukkan fraktur pada basis cranii fraktur fasialis, atau
tanda neurologis fokal lainnya. Fraktur kranium pada regio temporoparietal
pada pasien yang tidak sadar menunjukkan kemungkinan hematom ekstradural,
yang disebabkan oleh robekan arteri meningea media (Ginsberg, 2007).
8. CT scan kranial: segera dilakukan jika terjadi penurunan tingkat kesadaran atau
jika terdapat fraktur kranium yang disertai kebingungan, kejang, atau tanda
neurologis fokal (Ginsberg, 2007). CT scan dapat digunakan untuk melihat
letak lesi, dan kemungkinan komplikasi jangka pendek seperti hematom
epidural dan hematom subdural (Pierce & Neil, 2014).

K. Penatalaksanaan
Secara umum :
1. Tindakan terhadap peningkatan TIK
a. Pemantauan TIK dengan ketat
b. Oksigenasi adekuat
c. Pemberian mannitol
d. Penggunaan steroid
e. Peninggatan tempat tidur pada bagian kepala
f. Bedah neuro
2. Tindakan pendukung lain
a. Dukung ventilasi
b. Pencegahan kejang
c. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.
d. Terapi antikonvulsan
e. CPZ untuk menenangkan pasien
f. NGT

Berikut adalah penanganan-penanganan yang dilakukan :


a. Penanganan pertama kasus cidera kepala di UGD
Pertolongan pertama dari penderita dengan cidera kepala mengikuti standart
yang telah ditetapkan dalam ATLS (Advanced Trauma Life Support) yang
meliputi, anamnesa sampai pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan
pemeriksaan fisik meliputi Airway, Breathing, Circulasi, Disability (ATLS ,
1997).

Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara kepala
miring, buka mulut, bersihkan muntahkan darah, adanya benda asing.
Perhatikan tulang leher, Immobilisasi, Cegah gerakan hiperekstensi,
Hiperfleksi ataupun rotasi.
Indikasi sosial yang dipertimbangkan pada pasien yang dirawat dirumah sakit
tidak ada yang mengawasi di rumah jika di pulangkan,Tempat tinggal jauh
dengan rumah sakit oleh karena jika terjadi masalah akan menyulitkan
penderita. Pada saat penderita di pulangkan harus di beri advice (lembaran
penjelasan) apabila terdapat gejala seperti ini harus segera ke rumah sakit
misalnya : mual – muntah, sakit kepala yang menetap, terjadi penurunan
kesadaran, Penderita mengalami kejang – kejang, Gelisah. Pengawasan
dirumah harus dilakukan terus menerus selama kerang lebih 2 x 24 jam dengan
cara membangunkan tiap 2 jam (Bajamal AH ,1999).

b. Perawatan dirumah sakit


1. Perawatan di rumah sakit bila GCS 13 – 15
1) Infus dengan cairan normoosmotik (kecuali Dextrose oleh karena
dextrose cepat dimetabolisme menjadi H2O + CO2 sehingga dapat
menimbulkan edema serebri) Di RS Dr Soetomo surabaya digunakan
D5% ½ salin kira – kira 1500 – 2000 cc/24 jam untuk orang dewasa.
2) Diberikan analgesia/antimuntah secara intravena, jika tidak muntah
dicoba minum sedikit – sedikit (pada penderita yang tetap sadar).
3) Mobilisasi dilakukan sedini mungkin, dimulai dengan memberikan
bantal selama 6 jam kemudian setengah duduk pada 12 jam kemudian
duduk penuh dan dilatih berdiri (dapat dilakukan pada penderita dengan
GCS 15).
4) Jika memungkinkan dapat diberikan obat neorotropik, seperti :
Citicholine, dengan dosis 3 X 250 mg/hari sampai minimal 5 hari.
5) Minimal penderita MRS selama 2 X 24 jam karena komplikasi dini dari
cidera kepala paling sering terjadi 6 jam setelah cidera dan berangsur –
angsur berkurang sampai 48 jam pertama.

2. Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13


1) Posisi terlentang kepala miring kekiri dengan diberi bantal tipis (head
up 15° – 30°) hal ini untuk memperbaiki venous return sehingga
tekanan intra kranial turun.
2) Beri masker oksigen 6 – 8 liter/menit.
3) Atasi hipotensi, usahakan tekanan sistolok diatas 100 mmHg, jika tidak
ada perbaikan dapat diberikan vasopressor.
4) Pasang infus D5% ½ saline 1500 – 2000 cc/24 jam atau 25 – 30
CC/KgBB/24jam.
5) Pada penderita dengan GCS < 9 atau diperkirakan akan memerlukan
perawatan yang lebih lama maka hendaknya dipasang maagslang
ukuran kecil (12 Fr) untuk memberikan makanan yang dimulai pada
hari I dihubungkan dengan 500 cc Dextrose 5%. Gunanya pemberian
sedini mungkin adalah untuk menghindari atrophi villi usus,
menetralisasikan asam lambung yang biasanya pH nya sangat tinggi
(stress ulcer), menambah energi yang tetap dibutuhkan sehingga tidak
terjadi metabolisme yang negatip, pemberian makanan melalui pipa
lambung ini akan ditingkatkan secara perlahan – lahan sampai
didapatkan volume 2000 cc/24 jam dengan kalori 2000 Kkal.
Keuntungan lain dari pemberian makanan peroral lebih cepat pada
penderita tidak sadar antara lain mengurangi translokasi kuman di
dinding usus halus dan usus besar, Mencegah normal flora usus masuk
kedalam system portal.
6) Sedini mungkin penderita dilakukan mobilisasi untuk menghindari
terjadinya statik pneumonia atau dekubitus dengan cara melakukan
miring kekiri dan kanan setiap 2 jam.
7) Pada penderita yang gelisah harus dicari dulu penyebabnya tidak boleh
langsung diberikan obat penenang seperti diazepam karena dapat
menyebabkan masking efek terhadap kesadarannya dan terjadinya
depresi pernapasan. Pada penderita gelisah dapat terjadi karena nyeri
oleh karena fraktur, Kandung seni yang penuh, Tempat tidur yang
kotor, Penderita mulai sadar, Penurunan kesadaran, Shock, Febris.

c. Penanganan pasien Di Unit Perawatan Intensif (UPI/ICU)


Kelompok ini terdiri dari penderita yang tidak mampu mengikuti perintah
sederhana bahkan setelah stabilisasi kardiopulmonal. Walau definisi tersebut
memasukan cedera otak dalam spektrum yang luas, ia mengidentifikasikan
kelompok dari penderita yang berada pada risiko maksimal atas morbiditas dan
mortalitas. Pendekatan 'tunggu dan lihat' sangat mencelakakan dan diagnosis
serta tindakan tepat adalah paling penting.
Pengelolaan pasien dibagi 4 tingkatan: 
1) stabilisasi kardiopulmoner, 
2) pemeriksaan umum, 
3) pemeriksaan neurologis, 
4) prosedur diagnostic
II. KONSEP ASUHAN KEPERWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian,
status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian.
b. Pemeriksaan fisik
 Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik)
 Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
 Sistem saraf :
 Kesadaran  GCS.
 Fungsi saraf kranial  trauma yang mengenai/meluas ke batang
otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
 Fungsi sensori-motor  adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,
gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia,
riwayat kejang.
c. Sistem pencernaan
 Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika
pasien sadar  tanyakan pola makan?
 Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
 Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
d. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik  hemiparesis/plegia,
gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
e. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan  disfagia atau
afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
f. Psikososial  data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien
dari keluarga.

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:

1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan


peningkatan tekanan intrakranial.
2. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
3. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan berhubungan dengan gagal
nafas, adanya sekresi, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
4. Ketidak seimbangan nutrisi kurang kebutuhan tubuh b. d ketidakmampuan
pemasukan makanan atau mencerna makanan dan atau mengabsorbsi zat-zat
gizi karena faktor biologis.
5. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan  muntah.
6. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya
tekanan intrakranial.
7. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi. 
8. Devisit perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya
kesadaran.
9. Resiko infeksi b.d trauma, tindakan invasife, immunosupresif, kerusakan
jaringan
10. Kurang pengetahuan keluarga tentang penyakit dan perawatannya b/d kurang
paparan terhadap informasi, keterbatasan kognitif

3. Intervensi Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intrakranial.

Tujuan: Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada
pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-
tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi :
 Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline”
untuk menurunkan tekanan vena jugularis.
 Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya
 peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi
pada leher, rotasi kepala, valsava meneuver, rangsangan
nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau suction, perkusi).
 tekanan pada vena leher.
 pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat
menyebabkan kompresi pada vena leher).
 Bila akan memiringkan pasien, harus menghindari adanya tekukan
pada anggota badan, fleksi (harus bersamaan).
 Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan
intrakranial sesuai program.
 Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan
karena dapat meningkatkan edema serebral.
 Monitor intake dan out put.
 Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
 Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi
dan pemenuhan nutrisi.

b. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.


Tujuan: Pasien akan merasa nyaman yang ditandai dengan tidak mengeluh
nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi:
 Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi
nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau
lambat, berkeringat dingin.
 Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri.
 Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
 Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
 Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.

c. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.


Tujuan: Pasien akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak
ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam batas normal,
tidak ada pus dari luka, leukosit dalam batas normal.
Intervensi:
 Kaji adanya drainage pada area luka.
 Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.
 Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
 Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk,
iritabel, sakit kepala, demam, muntah dan kenjang.

d. Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan
dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan
meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan: Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan
tidak ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan
pernafasan dalam batas normal.
Intervensi:
 Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
 Kaji, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari
memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi
bila ada cedera vertebra.
 Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada
sekret segera lakukan pengisapan lendir.
 Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
 Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit
ekstensi dan tinggikan 15 – 30 derajat.
 Pemberian oksigen sesuai program

e. Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.


Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau
dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab,
integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.
Intervensi:
 Kaji intake dan out put.
 Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor  kulit, membran mukosa,
dan       ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine.
 Berikan cairan intra vena sesuai program.

f. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya


tekanan intrakranial.
Tujuan : Pasien terbebas dari injuri.
Intervensi:
 Kaji status neurologis: perubahan kesadaran, kurangnya respon
terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas
pergerakan menurun, dan kejang.
 Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
 Monitor tanda-tanda vital setiap jam atau sesuai dengan protokol.
 Berikan analgetik sesuai program.

g. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.


Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda gangguan integritas kulit yang
ditandai dengan kulit tetap utuh.
Intervensi:
 Lakukan latihan pergerakan (ROM).
 Pertahankan posisi postur tubuh yang sesuai.
 Lakukan “back rub” setelah mandi di area yang potensial
menimbulkan lecet dan pelan-pelan agar tidak menimbulkan nyeri.

h. Devisit perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya


kesadaran.
Tujuan: Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat
badan stabil atau tidak  menunjukkan penurunan berat badan,
tempat tidur bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit,
buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi:
 Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan –
minum, mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan
tempat tidur, dan kebersihan perseorangan.
 Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
 Perawatan kateter bila terpasang.
 Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk
memudahkan BAB.
 Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan
sehari-hari dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara
memandikan anak.

i. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma


kepala.
Tujuan: Anak dan orang tua akan menunjukkan rasa cemas berkurang
yang ditandai dengan tidak gelisah dan orang tua dapat
mengekspresikan perasaan tentang kondisi dan aktif dalam
perawatan anak.

Intervensi:
 Jelaskan klien tentang prosedur yang akan dilakukan, dan
tujuannya.
 Anjurkan orang tua untuk selalu berada di samping anak.
 Ajarkan anak dan orang tua untuk mengekspresikan perasaan.
 Gunakan komunikasi terapeutik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC;
2000.
2. Doenges, Marilynn E.1999. Rencana Asuhan Keperawatan ed-3. Jakarta : EGC
3. Muttaqin, Arif.2008. Buku Ajar asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
sistem persarafan. Jakarta : Salemba Medika
4. Smeltzer, Suzanne C.2010. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3 ed-8.
Jakarta : EGC
5. Suriadi & Rita Yuliani. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I. Jakarta: CV
Sagung Seto
6. Suzanne CS & Brenda GB. 1999. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3.
Jakarta: EGC.
7. Syafudin,AMK. 2003. Anatomi fisiologi untuk mahasiswa keperawtan, Edisi
3.Jakarta: EGC.
8. http://dentingberdetak.blogspot.com/2011/07/askep-klien-dengan-trauma-
kepala.html
9. http://ppni-klaten.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=68:cedera-kepala&catid=38:ppni-ak-
category&Itemid=66
10. http://kosmo.vivanews.com/news/read/293055-riset-obat-flu-percepat-pemulihan-
cedera-otak
11. http://ainicahayamata.wordpress.com/nursing-only/keperawatan-medikal-bedah-
kmb/askep-cedera-kepala/
12. http://www.scribd.com/doc/20357839/Cedera-Kepala
13. http://asuhan-keperawatan-yuli.blogspot.com/2009/11/laporan-pendahuluan-cedera-
kepala.html
B
e
n
t
u
r
a
n

K
e
p
a
l
a

Trauma Robekan

Cedera jaringan otak jaringan


sekitar tertekan

H
NYERI AKUT
e
m
a
t
o
m
a

O enurun

Va

si T
Perfusi jaringan cerebral
me
tidak Efektif

A
lir
a
n
d
ar
a
h
k
e
ot
a
k
m
Resiko Infeksi

ATP menurun Perubahan


Metabolisme Anaerob
Energi <
Hipoksia Edema Jaringan Otak
penurunan kesadaran
Fatigue
Kerusakan pertukaran gas
Kekacauan pola bahasa TIK meningkat :
- Mual
Defisit Perawatan Diri - Muntah
Nafas Dangkal T
Gangguan Persepsi
Sensori
Pola nafas tidak efektif Nutrisi Kurang
Gangguan Kominikasi Verbal

Anda mungkin juga menyukai