Anda di halaman 1dari 17

Masalah Normal, Abnormal, dan Patologi

I.             PENDAHULUAN
Psikologi klinis merupakan bidang terapan dalam ilmu psikologi. Para klinisi secara
empirik berusaha untuk menerapkanprinsip-prinsip psikologi terhadap problem-problem
penyesuaian dann perilaku abnormal. Orang yang dipandang umum normal ataupun sehat, suatu
saat dapat melakukan perbuatan yang tergolong abnormal yang mungkin di luar kesadarannya.
Sebaliknya tidak jarang orang yang secara umum jelas-jelas abnormal melakukan perbuatan atau
mengucapkan kata-kata yang sungguh-sungguh normal. Karena itu diperlukan sebuah patokan
atau ukuran untuk membedakan antara normal dan abnormal.1[2]

II.          PEMBAHASAN
A.    Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif
Kasus
“Seorang mahasiswa yang benama Mira mengeluh tentang nilainya yang tidak
memuaskan, padahal ia sudah belajar ssecara intensif. Teman-temannya yan belajar asal-
asalan dan mencontek justru mendapatkan nilai yang lumayan. Mira bertanya pada dirinya
sendiri, apakah ia lebih baik mencontek saja karena menurut Mira menyontek adalah hal yang
sudah umum”
Pertanyaan yang sering diajukan seorang psikolog, apakah dia sakit jiwa?normal atu
abnormalkah?
Kecenderungan untuk mengelompokkan individu yang normal, sehat jiwa dan yang
abnormal, berkelainan dan sakit di pihak lain. Abnormal berarti menyimpang dari suatu standar
yang bisa berarti diatas/ dibawah normal. Patologis adalah keadaan sakit atau mengalami
kerusakan yang biasanya merupakan suatu tinjauan dari sudut pandang medis.
Ada pendekatan yang berbeda dalam membuat pedoman normalitas yaitu pendekatan
kualitatif dan pendekatan kuantitatif
1.        Pendekatan Kuantiatif
Pendekatan ini didasarkan atas sering atau tidaknya sesuatu terjadi yang dipikirkansecara
subjektif, mengikuti pemikiran awam. Misalnya tinggi rata-rata wanita Indonesia adalah 1,50
meter atau IQ rata-rata 100
2.        Pendekatan Kualitatif
Pendekatan ini menegakkan pedoman-pedoman normatif yang tidak berdasarkan
perhitungan atau pemikiran awam, tetapi atas observasi empirik pada tipe-tipe ideal. Misalnya
sebaiknya pria menikah jika sudah mempunyai penghasilan. Patokan kualitatif itu sangat terikat
dengan keadaan sosial budaya setempat dan menggunakan kriteria penilaian kualitatif atau tipe
ideal yang memperhatikan kiteria sosial budaya setempat.

1
Berdasarkan kedua pendekatan diatas, kasus Mira tentang perilaku mencontek dalam arti
patologis, meskipun diperkirakan oleh Mira banyak terjadi atau dapat dianggapsebagai normal
secara kuantitatif tentu saja tidak akan dianjurkan kepada Mira untuk melakukan kegiatan yang
menyimpang itu.2[3]

B.     Normal dan Abnormal Menurut Beberapa Ahli


Ø Menurut Stren (1964)
Stren mengusulkan untuk memperhatikan 4 aspek untuk menilai norma atau tidak nya
seorang, yaitu:

a.         Daya Integrasi


Daya integrasi ialah fungsi ego dalam mempersatukan, mengkoordinasi kegiatan ego
kedalam maupun keluar diri. Makin terkoordinasi dan terintegrasi suatu perilaku atau pemikiran,
makin baik.
b.        Ada Tidaknya Sistom Gangguan
Ada atau tidaknya simtom atau gejala gangguan ditinjau dari segi praktis, merupakan
pegangan yang paling jelas dalam mengevaluasi kesehatan jiwa secara kualitatif. Ini dinamakan
juga pendekatan medis. Kesulitanya adalah bahwa pada kasus-kasus tertentu, misalnya’gangguan
kepribadian’, sering kali simtomnya tidak jelas dan subjek tidak punya keluhan.
c.         Kriteria Psikoanalisis
Kriteria psikoanalisis memperhatikan dua hal untuk dipakai sebagai patokan dari kesehatan
jiwa, yaitu tingkat kesadaran dan jalannya perkembangan psikoseksual. Makin tinggi tingkat
kesadaran seseorang, makin baik atau sehat jiwanya. Sebaliknya jika seseorang terlalu banyak
dikuasai oleh alam tak sadar, maka ia kurang sehat jiwanya. Tingkatan dan jalanya
perkembangan psikoseksual berhubungan erat dengan perkembangan fisik dan perkembangan
libido. Perkembangan yang optimal terjadi bila anak tidak terlalu banyak mengalami frustasi,dan
juga tidak terlalu berlebihan dalam mendapatkan kepuasan. Itu akan lebih menjamin kesehatan
jiwa anak dimasa dewasanya. Dalam keadaan tertentu, perkembangan psikoseksual seseorang
dapat terlambat atau terfiksasi pada suatu tahap, dan tidak tidak berkembang ketahap selanjutnya.
Kadang-kadang terjadi juga regresi, yaitu mundur ke tahap perkembangan yang lebih dini yang
pernah dilaluinya. Sejak psikoanalis menjadi popular, maka kesenjangan antara keadaan normal
dan abnormal menjadi lebih kecil.
Menurut pandangan psikoanalisis, pada saat seseorang bermimpi, melakukan kesalahan-
kesalahan dalam bertindak atau berbicara, atau lupa hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari,
sebenarnya ia mengungkapkan suatu hasrat terpendam atau suatu perasaan tertekan secara tidak
sadar. Dengan kata lain, hal-hal tersebut merupakan simtom-simtom dari suatu keadaan
psikopatologi sehari-hari. Simtom-simtom psikopatologi yang sama terjadi pada orang sakit,
tetapi, pada orang normal simtom-simtom ini terjadi dalam derajat yang jauh lebih ringan.
Kekuatan pendekatan psikoanalisis (Freud) adalah cukup mendalami dan memperhatikan hal-hal

2
yang khusus yang mungkin terjadi pada diri seseorang. Kelemahanya bahwa disini, fungsi alam
sadar selalu diagnungkan dan kemungkinan-kemungkinan yang memiliki arti positif dalam alam
tak sadar tidak terlalu diperhatikan. Kelemahan lain adalah terjadinya penyederhanaan berlebih
dalam menerangkan segala sesuatu yang terjadi dimasa dewasa dimasa mengembalikan kemasa
lalu (yakni pada perkembangan psikoseksual)
d.        Determinan Sosio-Kultural
Determinn-determinan social dan cultural, lingkungan sering kali memegang peranan besar
dalam penilaian suatu gejala besar sebagai normal atau tidak. Dalam buku-buku psikiatri, gejala
halusinasi diuraikan sebagai gejala patologis, padahal pada seorang suku Indian di Amerika,
gejala itu dianggap normal atau bahkan mungkin dianggap suci. Demikian juga apa yang
dinamakan “hysterical reaction” yang menurut buku-buku psikiatri adalah suatu gejala neurotic,
jika terjadi pada orang-orang Indian mungkin ldianggap sebagai seorang yang kemasukan roh,
sebagai peristiwa yang suci. “kesurupan” yang cukup sering terjadi dikalangan masyarakat
desadi Indonesia tidak selalu disamakan dengan “depersonalisasi”-nya kasus-kasus psikotis.
Menurut beberapa penelitian, ada hubungan antara jenis-jenis neurosis dengan keadaan social-
ekonomi masyarakat. Pada masyarakat dengan tingkatan social-ekonomi yang tinggi lebih
banyak terdapat psikoneurosis verbal, sedangkan pada tingkatan social-ekonomi rendah lebih
banyak terdapat neurosis fisik. Juga ada hubungan antara zaman, Zeitgeist dengan macam-
macam gangguan. Stren (1964) mengatakan bahwa pada abad ke-20 hysteria di Eropajarang
terjadi, yang sering terlihat adalah personality disorder. Sementara pada abad ke-19 gangguan
hysteria sangat banyak terjadi.

Sesuai dengan criteria Stern tersebut diatas, kasus G adalah suatu contoh dari kurangnya
integrasi atau pengendalian atas keadaan-keadaan faal dari subjek tersebut. Selama keadaan ini
masih dapat diatasi dan tidak mengganggu, maka masih dianggap normal meskipun tidak ideal.
Kasus H adalah suatu contoh tentang peran factor sosiokulturl dalam mempelajari masalah
subjek. Apakah ini merupakan tanda patologis atau bukan, perlu pertimbangan lebih lanjut.

Ø Menurut Ulmann Dan Krasner (1980)


Menurut Ulmann dan Krasner tingkah laku manusia tidak dapat dilihat secara dikotomis
sebagai normal atau abnormal, tetapi harus dilihat dalam hubungannya dengan suatu prinsip, di
mana suatu tingkah laku merupakan hasil dari keadaan masa lalu dan masa kini. Ia
mengemukakan kesulitan-kesulitan mendefinisikan abnormalitas secara statistik, yakni untuk
menyeleksi variabel-variabel abnormalitas mana yang harus diukur, dan hal-hal yang penting
untuk dijadikan suatu kriteria mengenai abnormalitas tingkah laku. Menurut Ulmann & Krasner,
selain definisi statistik, medis, dan psikoanalitis serta sosiokultural terhadap abnormalitas, ada
pula definisi legal (hukum) tentang abnormalitas. Definisi menghubungkan tingkah laku manusia
dengan kompetensi, tanggung jawab atas perbuatan kriminal serta komitmen. Definisi ini
digunakan untuk menentukan apakah seseorang sudah harus dimasukkan ke rumah sakit jiwa,
penjara, institusi khusus atau tidak.
Seseorang yang kompeten adalah orang yang mempunyai kemampuan yang memungkinkan
dia untuk melakukan kegiatan-kegiatan seperti menandatangani kontrak, mengadopsi anak,
memilih dan sebagainya. Seseorang dengan IQ sangat rendah tidaklah kompeten, demikian juga
dengan orang pikun, atau seseorang anak di bawah umur ( sesuai hukum yang berlaku).
Dalam hal criminal responsibility, yaitu hubungan antara penyakit dengan tanggung jawab
atas perbuatan kriminal, seseorang yang melakukan tindakan kriminal dalam keadaan sadar dsan
memiliki IQ normal, meskipun sakit flu, secara hukum dianggap bertanggung jawab atas
perbuatan kriminalnya. Sedangkan seseorang yang pada saat melakukan perbuatan kriminal
berada dalam serangan epilepsi dan dalam keadaan kesadaran menurun, tidak dapat dianggap
bertanggung jawab atas kesadaran yang dilakukannya itu.
Kesulitan timbul jika menghadapi orang yang mengalami kelainan atau gangguan jiwa.
Pandangan medis dapat membebaskan seseorang atas tanggung jawab kriminalnya jika dianggap
sebagai seseorang yang sakit jiwa sehingga tak dapat dianggap bertanggung jawab atas
perbuatannya. Tetapi bila ia dianggap sehat, ia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Commitment, mengacu pada penentuan kapan seseorang harus diamankan ke dalam rumah
sakit jiwa atau ke tempat perawatan khusus. Umumnya seseorang yang membahayakan diri
sendiri atau membahayakan orang lain perlu dirawat/dipisahkan dari lingkungan masyarakat.
Selanjutnya Ulmann mengusulkan definisi operasional mengenai tingkah laku abnormal
sebagai jenis tingkah laku menyimpang (deviance) yang memerlukan perhatian profesional dari
psikiater, psikolog atau tenaga profesional lain dalam bidang kesehatan jiwa.
Dalam definisi ini secara implisit terungkap bahwa jika seseorang individu menunjukkan
suatu tingkah laku yang berbeda, tidak mengikuti aturan yang berlaku, tidak pantas mengganggu
dan tidak dapat dimengerti dengan kriteria yang biasa, maka tingah laku tersebut dianggap
abnormal.

Ø Menurut Gladstone (1978)


William Gladstone dalam bukunya Test Your Own Mental Health menguraikan pegangan-
pegangan praktis untuk menilai kesehatan mental diri sendiri. Ia mengusulkan untuk menilai 7
aspek yang merupakan tingkah laku penyesuaian diri (adaptability) yaitu : ketegangan, suasana
hati, pemikiran, kegiatan (aktivitas), organisasi diri, hubungan antar manusia, dan keadaan fisik.
Masing-masing aspek memiliki kriteria tingkah laku yang dijadikan pegangan penilaian
‘normal’-nya penyesuaian. Gladstone membaginya dengan 5 tingkatan, yaitu penyesuaian diri
yang normal, penyesuaian ‘darurat’, penyesuaian ‘neorotik’ (neurotic coping style), kepribadian
atau karakter neurotik dan gangguan berat yang masing-masing dapat deberi skor 10-50.
Sebagai contoh, dalam aspek ketegangan: ketegangan dikatakan dalam keadaan normal
apabila ada penyebab yang jelas dan konkret dan bila orang tersebut dapat melakukan sesuatu
untuk mengutranginya. Bila ketegangan ini tak dapat dikurangi dan agak mengganggu
pekerjaaan sehari-hari dan ia menunjukkan gejala-gejala yang jelas dari ketegangan ini dalam
pernapasan, berkeringat, dan lain-lain maka keadaan ini merupakan penyesuaian darurat. Pada
pemnyesuaian neurotik, ketegangan tak jelas lagi kaitannya dengan penyebabnya. Seseorang
dengan penyesuaian neoritik diliputi kecemasan setiap hari dan hal ini jelas mengganggu
pekerjaan sehari-hari. Dengan cara ini bisa saja profil kesehatan mental seseorang itu normal
dalam aspek ketegangan, suasana hati, kegiatan atau aktivitas dan hubungan antar manusia,
darurat dalam aspek pemikiran dan keadaan fisik, dan patologis dalam aspek organisasi diri. Tes
ini tidak begitu dikenal dan tidak banyak diselidiki di Indonesia, namun tetap dikemukakan di
sini sebagai contoh untuk menunjukkan kompleknya masalah penilaian normal/abnormalnya
tingkah laku seseorang.

Istilah normal dapat diartikan sebagai keadaan yang sehat, dimana sehat itu menurut World
Health organization(WHO) suatu keadaan berupa kesejahteraan fisik, mental dan kehidupan
sosial yang lengkap dan tidak semata-mata karena tidak adanya penyakit atau cacat/luka.3[4]
Beberapa rumusan diatas menekankan normalitas sebagai keadaan sehat yang umum
ditandai dengan keefektifan dalam menyesuaikan diri, yakni menjalankan tuntutan hidup sehari-
hari sehingga menimbulkan perasaan puas dan bahagia.

III.       KESIMPULAN
Dari uraian yang saya paparkan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk penilaian
apakah suatu tingkah laku dapat disebut normal, abnormal, atau sakit harus dipertimbangkan
apakah akan menggunakan kriteria kuantitatif, atau kualitatif. Ada beberapa aspek yang dapat
diperhatikan untik penilaian ini sebagaimana dikemukakan oleh Stern, gladstone, dan Ulamnn &
Krasner, yang menyatakan bahwa penilaian normal-abnormal itu tidak dapat menueluruh.

KONSEP NORMAL-ABNORMAL

A.    SUBSTANSI
Agak sulit merumuskan secara tepat apa yang dimaksud dengan normal dan abnormal tentang
perilaku. Penyebabnya adalah sulit menemukan model orang yang ideal atau sempurna dan tidak
ada batas yang tegas antara perilaku normal dan abnormal. Diperlukan sejumlah patokan atau
ukuran untuk membedakan antara normal dan abnormal. Pribadi yang normal pada umumnya
memiliki mental yang sehat, sedangkan pribadi yang abnormal biasanya memiliki mental yang
tidak sehat. Namun demikian, pada hakekatnya konsep mengenai normalitas dan abnormalitas
sangat samar-samar batasnya. Sebab pola kebiasaan dan sikap hidup yang dirasakan normal oleh
suatu kelompok tertentu, bisa dianggap abnormal oleh kelompok lainnya. Akan tetapi apabila
satu tingkah laku itu begitu mencolok dan sangat berbeda dengan tingkah laku umum, maka kita
akan menyebutnya sebagai abnormal (Kartini Kartono, 2000 : 6-7). Salah satu kriteria yang
digunakan untuk menentukan apakah suatu perilaku dikatakan abnormal atau tidak adalah
dengan memperhatikan apakah perilaku tersebut menyimpang dari standar tingkah laku atau
norma sosial yang dapat diterima.

3
Dilihat dari setiap sudut pandang, konsep normalitas-abnormalitas adalah konsep yang bersifat
relatif. Penyimpangan dari norma apa pun yang diterima seseorang mungkin begitu kecil atau
mungkin begitu mencolok sehingga kelihatan jelas sifat abnormalnya. Tetapi karena tidak ada
dikatomi yang tegas, maka normalitas dan abnormalitas sulit dibedakan. Kebanyakan orang
menerima bahwa penyesuaian diri yang baik sangat serupa dengan normalitas dan
ketidakmampuan menyesuaikan diri sama dengan abnormalitas. Konsep-konsep ini berhubungan
erat, tetapi artinya berbeda (Yustinus Semium, 2006 :56)

B.     ANALISA
1.      DEFINISI UMUM
Sehat adalah keadaan berupa kesejahteraan fisik, mental, sosial secara penuh dan bukan semata-
mata berupa absennya penyakit atau keadaan lemah tertentu (World Health Organization-
WHO).  Menurut H.B. English, kesehatan mental adalah keadaan yang relatif tetap di mana sang
pribadi menunjukkan penyesuaian atau mengalami aktualisasi diri atau realisasi diri.  Kesehatan
mental merupakan keadaan positif, bukan sekedar berupa absennya gangguan mental. Menurut
W.W. Boehm, kesehatan mental meliputi suatu keadaan dan taraf keterlibatan sosial yang
diterima oleh orang lain dan memberikan kepuasan bagi  yang bersangkutan. Bisa dirumuskan
bahwa normalitas sebagai keadaan sehat, yang secara umum ditandai dengan keefetifan dalam
menyesuaikan diri, yakni menjalankan tuntutan hidup sehari-hari, sehingga menimbulkan
perasaan puas dan bahagia.

2.      BEBERAPA CIRI ORANG YANG SEHAT-NORMAL


a.       Sikap terhadap diri sendiri : memiliki penilaian  yang realistik terhadap berbagai kelebihan dan
kekurangan.
b.      Persepsi terhadap realitas : memiliki peandangan yang realistis terhadap diri  dan terhadap
dunia, orang maupun benda di sekelilingnya.
c.       Integrasi : berkepribadian utuh, bebas dari konflik-konflik batin yang melumpuhkan, memiliki
toleransi yang baik terhadap stres.
d.      Kompetensi : memiliki kompetensi-kompetensi fisik, intelektual, emosional, dan social yang
memadai untuk mengatasi berbagai problem hidup.
e.       Otonomi : memiliki kemandirian, tanggung jawab dan penentuan diri yang memadai disertai
kemampuan cukup untuk membebaskan diri dari aneka pengaruh sosial.
f.       Pertumbuhan aktualisasi diri : semakin berkembang kemampuan-kemampuannya dan
mencapai pemenuhan diri sebagai pribadi.

3.      BEBERAPA KRITERIA ABNORMALITAS


a.       Penyimpangan dari Norma-norma Statistik : abnormal adalah setiap hal yang luar biasa, tidak
lazim, atau secara harfiah yang menyimpang dari norma. hampir setiap kepribadian tersebar
dalam populasi orang mengikuti kurva normal yang bentuknya mirip genta/lonceng, di mana dua
pertiga dari jumlah kasus terletak pada sepertiga dari keseluruhan bidang yang mewakili populasi
tersebut. kriteria ini cocok diterapkan untuk sifat kepribadian tertentu seperti sifat agresif, di
mana makin jauh dari nilai rata-rata baik ke arah kiri maupun kanan kita temukan orang-orang
dengan tingkat agresifitas ekstrem (rendah atau tinggi), yang dua-duanya berkonotasi negatif.
sebaliknya kriteria ini tidak cocok untuk sifat-sifat kepribadian lain, seperti intelegensi sebab
kendati sama-sama abnormal namun genius (ektrem tinggi) jelas mempunyai nilai positif,
sedangkan sifat idiot (ekstrem rendah) punya nilai negatif.
b.      Penyimpangan dari Norma-norma Sosial : Menurut kriteria ini, abnormal diartikan sebagai non
konformitas, yaitu sifat tidak patuh atau tidak sejalan dengan norma sosial. Inilah yang disebut
relativisme budaya bahwa apa saja yang umum atau lazim adalah normal. Kendati tidak selalu
sepakat, namun patokan semacam ini sering berlaku dalam masyarakat. Patokan ini didasarkan
pada dua pengandaian yang patut diragukan kebenarannya. Pertama adalah apa yang dinilai
tinggi dan dilakukan oleh mayoritas selalu baik dan benar. Kedua bahwa perbuatan individu
yang sejalan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku selalu menunjang kepentingan
individu itu sendiri maupun kepentingan kelompok atau masyarakat.
c.       Gejala “Salah Suai” (Maladjustment) : Abnormalitas dipandang sebagai ketidakefektifan
individu dalam menghadapi, menanggapi, menangani atau melaksanakan tuntutan-tuntutan dari
lingkungan fisik dan sosialnya maupun yang bersumber dari kebutuhannya sendiri. Kriteria
semacam ini jelas bersifat negatif, artinya tidak memperhitungkan fakta bahwa seorang individu
dapat berpenyesuaian baik (well adjusted) tanpa memanfaatkan dan  mengembangkan
kemampuan-kemampuannya. Tidak sedikit orang yang secara umum disebut "berhasil" dalam
menjalani hidup ini, dalam arti hidup "lumrah baik" namun sebagai pribadi tidak pernah
berkembang secara maksimal optimal.
d.      Tekanan Batin : Abnormalitas dipandang sebagai perasaan-perasaan cemas, depresi atau sedih
atau perasaan bersalah yang mendalam. Namun, ini bukan patokan yang baik untuk membedakan
perilaku normal dari yang abnormal atau sebaliknya. Tekanan batin yang kronik seperti tak
berkesudahan mungkin memang merupakan indikasi bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Sebaliknya sangat normal bila orang merasa sedih atau tertekan manakala mengalami musibah,
kekecewaan dan ketidakadilan. Ketabahan memang merupakan suatu indikator kemasakan
menghadpi bencana, namun dalam keadaan biasa wajar misalnya, akan terkesan aneh apabila
seseorang merasa gembira menghadapi kematian orang yang terkasih.
e.       Ketidakmatangan : Seseorang dikatakan abnormal apabila perilakunya tidak sesuai dengan
tingkat usianya, dan tidak sesuai dengan situasinya. misalnya sering sulit menemukan patokan
tentang kepantasan dan kematangan. Colemen, Butcher dan Crason (1980) dengan tetap
menyadari kekurangannya akhirnya menggunakan dua kriteria yaitu abnormalitas sebagai
penyimpangan dari norma-norma masyarakat dan abnormalitas dalam arti apa saja yang bersifat
maladaptif. Yang terakhir berati apa saja yang tidak menunjang kesejahteraan sang individu
sehingga pada akhirnya juga tidak menunjang kemaslahatan masyarakat. Kesejahteraaan atau
kemaslahatan masyarakat meliputi baik kemampuan bertahan maupun perkembangan-
pencapaian pemenuhan diri atau aktualisasi dari berbagai kemampuan yang dimiliki.
4.      BEBERAPA ISTILAH TENTANG PERILAKU ABNORMAL
a.       Perilaku abnormal : Digunakan untuk menggambarkan tampilan kepribadian dalam (inner
personality) atau perilaku luar (out behavior) atau keduanya. Yang dimaksudkan dengan istilah
ini adalah perilaku spesifik seperti fobia atau pola gangguan seperti skizofrenia. Demikian juga
dengan masalah kronik atau yang berlangsung lama, seperti introsikasi obat-obat dengan simtom
yang akut atau temporer.
b.      Perilaku Maladaptif : Merupakan pemahanam abnormal yang bersifat konseptual, yang
memasukkan setiap perilaku yang memiliki konsekuensi yang tidak diharapkan. Tidak hanya
perilaku psikosis, atau neurotis, melainkan juga perilaku bisnis yang tidak etis, prasangka
rasional, alienasi (keterasingan), dan apatis.
c.       Gangguan Mental : Istilah ini digunakan untuk pola perilaku abnormal yang meliputi rentang
yang lebar, dari yang ringan sampai yang berat.
d.      Psikopatologi : Diartikan sama atau sebagai kata lain dari perilaku abnormal, psikologi
abnormal, atau gangguan mental.
e.       Penyakit Jiwa : Digunakan sebagai kata lain dari gangguan mental. Namun penggunaannya
saat ini terbatas pada gangguan yang berhubungan dengan patologi otak atau disorganisasi
kepribadian yang berat.
f.       Gangguan Perilaku : Digunakan secara khusus untuk gangguan yang berasal dari kegagalan
belajar, baik gagal memperlajari kompetensi yang dibutuhkan maupun gagal dalam memperlajari
pola penanggulangan masalah yang maladaptif.
g.      Penyakit Mental : Dulu istilah ini menunjuk gangguan-gangguan yang berkaitan dengan
patologi otak. Kini jarang dipakai.
h.      Ketidakwarasan (insanity) : Merupakan istilah hukum yang mengidentifikasikan bahwa
individu secara mental tidak mampu untuk mengelola masalah-masalahnya atau melihat
konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakannya. Istilah ini menunjuk pada gangguan mental
yang serius. Terutama penggunaan istilah ini bersangkutan dengan  pantas tidaknya seseorang
yang melakukan tindak pidana dihukum atau tidak.

Kriteria Menentukan Abnormalitas

Para ahli kesehatan mental menggunakan berbagai kriteria dalam membuat keputusan tentang
apakah suatu perilaku abnormal atau tidak. Kriteria umum yang digunakan adalah:[1]

1. Perilaku yang tidak biasa.[1] Perilaku yang tidak biasa sering dikatakan abnormal. Hanya sedikit
dari kita yang menyatakan melihat ataupun mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada. [1]
2. Perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial atau melanggar norma sosial.[1] Setiap masyarakat
memiliki norma-norma (Standar) yang menentukan jenis perilaku yang dapat diterima dalam
beragam tertentu.[1] Perilaku yang dianggap normal dalam satu budaya mungkin akan dipandang
sebagai abnormal dalam budaya lainnya.[1]
3. Persepsi atau interpretasi yang salah terhadap realitas.[1] Sistem sensori dan kognitif yang
memungkinkan seseorang untuk membentuk representasi mental yang akurat tentang lingkungan
sekitar.[1] Namun melihat sesuatu ataupun mendengar suara yant tidak ada objeknya akan disebut
sebagai halusinasi, dimana dalam budaya sering dianggap sebagai tanda-tanda yang mendasari
suatu gangguan.[1]
4. Orang-orang tersebut berada dalam stress personal yang signifikan.[1] Kondisi stress personal
yang diakibatkan oleh gangguan emosi, seperti kecemasan, ketakutan, atau depresi, dapat
dianggap abnormal.[1] Namun kecemasan dan depresi terkadang merupakan respon yang sesuai
dengan situasi tertentu.[1] Gangguan emosi dapat mempengaruhi kejiwaan seseorang, sehingga
seseorang yang menggunakan pikiran akan tetapi tidak bisa mengendalikan, maka bisa berakibat
stress, Emosi ini menghalangi seseorang karena tindakan-tindakan yang dilakukannya tersebut
pada umumnya merupakan tindakan fisik, dalam era sekrang tindakan fisik jarang untuk
memecahkan suatu persoalan.[6]
5. Perilaku mal adaptif atau self-defeating.[1] Perilaku yang menghasilkan ketidakbahagiaan dan
bukan self-fulfillment dapat dianggap sebagai abnormal. [1] Perilaku yang membatasi kemampuan
kita untuk berfungsi dalam peran yang diharapkan atau untuk beradaptasi dengan lingkungan juga
dapat disebut sebagai abnormal.[1]
6. Perilaku berbahaya.[1] Perilaku yang menimbulkan bahaya bagi orang itu sendiri ataupun orang
lain dapat dikatakan abnormal.[1]

Jenis-Jenis Perilaku Abnormal


1. Gangguan Kecemasan
Sebagian besar kita merasa cemas dan tegang bila menghadapi situasi yang mengancam dan
menekan. Persaan ini merupakan reaksi yang normal terhadap stress. Kecemasan dianggap
abnormal bila terjadi dalam situasi yang oleh kebanyakan orang dapat diatasi dengan mudah.
Gangguan kecemasan mencakup sekelompok gangguan dimana rasa cemas merupakan gejala
utama(kecemasan merata dan gangguan panik) atau kecemasan dialami bila individu berupaya
mengendalikan perilaku maladaptif tertentunya (fobia dan obsesi kompulsif)

a. Gangguan kecemasan merata dan Gangguan Panik


- Kecemasan merata (generalized anxiety)
Selalu merasa bersalah/khawatir, cenderung memberikan respon yang berlebihan pada stress
yang ringan. Setiap hari hidup dalam ketegangan. Terus menerus mengkhawatirkan segala
macam masalah yang mungkin terjadi dan sult sekali berkonsentrasi dan mengambil keputusan.
Keluhan fisik yang lazim antara lain tidak dapat tenang,tidur terganggu,kelelahan,macam-macam
sakit kepala,kepeningan,jantung berdebar-debar.
- Gangguan Panik (Panic attacks)
Keadaan tiba-tiba yang penuh dengan keprihatinan atau teror akut yang meluap-luap. Pada saat
serangan panik individu merasa yakin bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Perasaan ini
disertai dengan gejala seperti jantung berdebar-debar,kehabisan nafas,berkeringat, otot-otot
bergetar,kepusingan, dan rasa muak. Semua ini akibat dari aktifnya bagian simpatetik sistem
saraf otonomik.
Saat serangan panik individu takut bahwa dia akan mati. Individu yang mengalami gangguan
kecemasan merata dan serangan panik biasanya tidak tahu sebabnya mengapa mereka tercekam
ketakutan. Kecemasan semacam ini disebut “mengambang dengan bebas” (free-floating) karena
hal ini tidak disebabkan oleh suatu stimulus atau peristiwa tertentu tetapi terjadi dalam berbagai
situasi. Peristiwa eksternal tidak begitu menjadi penyebabnya dibandingkan dengan perasaan dan
konflik yang ada dalam individu itu sendiri.
-Fobia
Berbeda dengan angguan kecemasn merata,gangguan fobia mengandung ketakutan yang
spesifik. Seseorang yang bereaksi dengan ketakutan yang amat sangat terhadap suatu stimulus
atau situasi yang menurut kebanyakan orang tidaklah sangat berbahaya,disebut orang yang fobia.
Orang tersebut biasanya menyadari bahw ketakutanya itu tidak rasional tapi dia tetap merasakan
kecemasan(mulai dari rasa rasa serba salah yang amat sangat sampai panik) yang hanya dapat
diredakan dengan menghindari benda atau situasi yang menakutkan itu. Rasa takut biasanya
tidak didiagnosa sebagai gangguan fobia apabila rasa takut tersebut tidak sangat mengganggu
kehidupan sehari-hari individu tersebut. Contoh gangguan fobia seorang wanita yang takut akan
ruangan tertutup,sehingga dia tidak berani naik lift (dia menolak beberapa tawaran kerja hanya
karena kantornya ada di atas lantai dua) atau seorang laki-laki yang takut akan kerumunan orang
banyak sehingga dia selalu mencegah untuk menghadiri gedung pertunjukan atau berjalan di
sepanjang trotoar yang penuh sesak.
Bagaimana fobia dapat berkembang?
1. Teori belajar : beberapa fobia mungkin disebabkan oleh pengalaman yang menakutkan.
(mengembangkan rasa takut naik pesawat setelah mengalami musibah udara
Atau takut anjing setelah perah digigit anjing)
2. Pengamatan : Seorang anak yang mengamati orang tuanya yang bereaksi pada situasi ter-
Tentu dengan rasa takut dapat menghayati reaksi tersebut sebagai reaksi
Yang normal. Para orang tua yang penakut cenderung akan menghasilkan
Anak-anak yang penakut pula karena orang tua yang penakut menjadi
model untuk ditiru anak-anak.
3. Diberi imbalan : Fobia yang terjadi karena pada saat-saat tentu seseorang tidak mau
kehilangan/berpisah dengan orang terdekatnya(orang tua) sehingga
selalu mencari alasan untuk tetap dekat dengan orang yang
disayanginya. Dan alasanya selalu diterima sehingga dia mendapat
imbalan yaitu bisa tetap dekat dengan orang –orang tersayangnya.
Misalnya fobia sekolah pada anak kecil biasanya bukan takut pada
sekolahnya tapi takut berpisah dengan ibunya. Karena selalu ingin
berdekatan dengan ibunya menciptakan berbagai alasan misalnya
dengan sakit perut, jika si ibu juga takut berpisah dengan anaknya akan
mengalah pada alasannya maka si anak akan mendapat imbalan yakni
kesenangan tinggal di rumah dengan ibunya.
Rasa takut berpisah yang mendapat imbalan pada masa kanak-kanak
dapat berkembang menjadi fobia agora sebagai respon terhadap                                         
terhadap stress dikemudian hari.
4. Teori Psikoanalisis : Fobia berkembang sebagai pertahanan melawan impuls yang dirasa
individu dapat berbahaya. Misalnya individu yang mengalami
kecemasan karena memiliki dorongan homoseksualitas menghindari                                
timbulnya impuls homoseksualitas dengan tetap tinggal
dirumahnya,menjauhi teman laki-laki, dan tidak menggunakan wc
umum.

- Gangguan obsesi kompulsif


Orang yang mengalami gangguan obsesi kompulsi merasa terpaksa berpikir tentang hal-hal tidak
mereka inginkan.
Obsesi    : gangguan terus menerus dari pikiran/bayangan yang tidak diinginkan
Kompulsi : desakan yang tak tertahankan untuk melaksanakan tindakan/ritual rutin tertentu.
Pikiran obsesi dapat dikaitkan dengan tindakan kompulsif (misalnya,pikiran tentang kuman
penyakit yang dihubungkan dengan kompulsi untuk mencuci alat-alat makan berkali-kali
sebelum dipakai).
Individu yang mengalami gangguan obsesi kompulsif,pikiran dan desakan ini sangat
mengganggu tetapi merasa tak berdaya mengendalikannya

Memahami Gangguan Kecemasan


Kita tidak mengetahui mengapa beberapa orang mengalami kecemasan yang kronis tetapi reaksi
mereka tampaknya mencerminkan perasaan kekurangan dalam meghadapi stress yang mereka
hayati sebagai ancaman. Teori Psikoanalisa berasumsi bahwa sumber kecemasan bersifat internal
dan tidak disadari. Orang menekan impuls tertentu yang dianggap tidak dapat diterima atau
“berbahaya” yang akan mengancam harga diri atau hubungan dengan orang lain kalau impuls itu
diekspresikan. Impuls yang bersifat seksual dan agresif apabila diungkapkan individu akan
mengalami kecemasan yang amat sangat. Karena sumber kecemasan ini tidak disadari,orang
tidak tahu mengapa dia merasa cemas.
Dari sudut pandang psikoanalisa fobia merupakan cara untuk mengatasi kecemasan dengan
mengalihkannya pada benda atau situasi yang dapat dihindari. Obsesi dan kompulsif juga
berfungsi untuk melindungi individu dari kesadaran akan adanya sumber ancaman yang
sebenarnya. Pikiran obsesi merupakan impuls yang tidak dapat diterima (rasa permusuhan,sifat
merusak,desakan seksual yang tidak wajar) yang telah ditekan dan agaknya muncul kembali
dalam bentuk lain. Orang merasa bahwa impuls itu bukan merupakan bagian dari dirinya dan dia
dapat melakukan tindakan kompulsif untuk melepaskan atau membebaskan impuls yang
terlarang.
Menurut teori belajar sosial,kecemasan lebih ditimbulkan oleh peristiwa eksternal tertentu
ketimbang oleh konflik internal. Seorang yang menderita kecemasan merata merasa bahwa dia
tidak dapat mengendalikan situasi kehidupan yang bermacam-macam sehingga perasaan
kecemasan hampir selalu ada. Fobia dianggap sebagai respon penghindaraan yang dapat
dipelajari secara langsung (melalui pengalaman yang menakutkan). Perilaku obsesi kompulsi
tetap ada karena ini agaknya dikaitkan dengan pengurangan kecemasan. Misalnya seorang yang
terganggu oleh pikiran takut kuman atau penularan penyakit tertentu dapat beranggapan bahwa
mencuci tangan sebentar sebenar akan melegakan rasa takut semacam itu. Oleh karena itu cuci
tangan dapat diasosiasikan dengan pengurangan kecemasan dan sedikit demi sedikit menjadi
respon yang ritual bilamana orang tersebut merasa cemas.Pada saat-saat stress individu
mengurangi kecemasan dengan menggandakan upaya mereka agar menjadi lebih hati-
hati,mengecek segala sesuatu tidak cukup hanya dua kali tetapi lima atau enam kali.

2. Gangguan afektif
Gangguan afektif adalah gangguan pada afeksi atau suasana hati (mood). Orang yang
terganggu ini dapat mengalami depresi atau manik (girang yang tidak wajar) yang parah       atau
dapat berganti-ganti antara saat-saat depresi atau manik (girang yang tidak wajar)       yang parah
dan dapat berganti-ganti antara saat-saat depresi atau saat-saat panik.       Perubahan suasana hati
semacam ini mungkin saja sangat parah sehingga individu tersebut       perlu dirumahsakitkan.

-         Episode manik


Episode manik ringan (hipomania) orangnya penuh energi ,antusias dan percaya diri. Terus
berbicara, berpindah-pindah kegiatan tanpa memikirkan waktu tidur yang cukup, dan membuat
rencana-rencana besar tetapi tidak diimbangi dengan pelaksanaannya. Perilaku manik bersifat
mendesak dan seringkali lebih mengekspresikan rasa kebencian daripada kegembiraan.
Episode manik yang parah ( mania) berperilaku seperti konsep yang terkenal tentang “raving
maniak” . Mereka sangat bersemangat dan harus selalu aktif. Mereka dapat bolak-
balik,menyanyi,berteriak, atau memukul-mukul dinding selama berjam-jam. Akan marah dan
menjadi ganas bila ada orang yang mengganggu kegiatan mereka. Rangsangan ( termasuk
rangsangan seksual) segera diekspresikan dalam tindakan dan kata-kata. Mereka bersifat rancu
dan tidak terorientasi serta mungkin mengalami delusi tentang kekayaan,pekerjaan, atau
kekuatan yang besar.

-Gangguan manik- depresi


Individu yang mengalami manik dan mengalami depresi secara berganti-ganti dalam suatu
episode yang bersamaan. Kondisi ini disebut sebagai gangguan bipolar; individu beralih dari satu
kutub perasaan ke kutub perasaan yang lain.
Gangguan bipolar atau gangguan manik depresif jarang terjadi. Gangguan manik depresif
berbeda dengan gangguan afeksi lainnya karena gangguan ini cenderung terjadi pada usia yang
lebih muda,lebih mungkin terjadi dalam keluarga,memberi respons pada beberapa pengobatan
terapis yang berbeda, dan mudah terjadi lagi bila tidak diobati.

-Skisofrenia
Gangguan yang ditandai dengan parahnya
a.     Kekacauan kepribadian.
b.     Distorsi realita.
c.      Ketidakmampuan untuk berfungsi dalam kehidupan sehari-hari.
Biasanya muncul pada umur sangat muda; puncaknya antara umur 25 th-35 th. Kadang-kadang
berkembang secara lamban sebagai proses yang sedikit demi sedikit. Meningkat pada perilaku
mengasingkan diri dan perilaku yang tidak wajar. Gangguan skisofrenia dapat juga terjadi secara
tiba-tiba, ditandai dengan kerancuan yang intens dan kekacauan emosi. Kasus ini timbul dengan
segera yang disebabkan oleh adanya saat stress pada individu yang memiliki gaya hidup :
− Cenderung menyendiri.
− Suka bekerja sendiri.
− Merasa tidak aman.
Ciri-ciri Skisofrenia :
a. Kekacauan Pikiran dan Perhatian.
Kesulitan umum untuk menyaring stimulus yang relevan. Individu tersebut menanggapi
begitu banyak stimulus yang bersamaan dan sulit mengambil makna.
Pembicaraan para penderita ini tidak relevan, tidak ada ujung pangkalnya.
b. Kekacauan Persepsi.
Dalam fase yang akut seringkali dilaporkan bahwa dunia tampak lain bagi penderita
tersebut. Ketidakmampuan memahami sesuatu sebagai suatu keseluruhan.
c. Kekacauan Afektif.
Tidak dapat merespon rangsangan emosional secara wajar dan normal. Namun ekspresi
emosi yang datar ini/tumpul ini dapat menyembunyikan kekacauan dalam hatinya dan      dapat
tiba-tiba sangat marah. Kadang-kadang penderita mengukapkan perasan yang      tidak relevan
dengan situasi/pikiran yang diungkapkan.
      d.  Delusi dan Halusinasi.
Penderita dengan tahap akut dalam proses pikiran dan persepsi yang menyimpang
disertai pula dengan berbagai delusi. Delusi yang paling umum adalah keyakinan bahwa
kekuatan eksternal mencoba mengendalikan pikiran dan tindakan orang tersebut.
- Delusi penganiayaan = Paranoid.
           - Delusi kehebatan = Orang tersebut kuat dan penting.
Halusinasi dapat terjadi sendiri atau merupakan bagian dari keyakinan.
- Halusinasi Auditorik = Suara-suara.
- Halusinasi Visual = Melihat mahluk-mahluk aneh,malaikat.
- Halusinasi Sensorik = Bau busuk, rasa racun, perasaan disentuh.

3. Gangguan Kepribadian
Gangguan kepribadian merupakan pola perilaku mal adaptif yang sudah kuno.      Sebelumnya
kita telah menjabarkan sifat-sifat kepriadian sebagai cara-cara yang tetap      dalam menghayati
atau berhubungan dengan lingkungan atau berpikir tentang dirinya      sendiri. Bila sifat-sifat
kepribadian menjadi tidak luwes dan bersifat maladaptif, sehingga      mengganggu kemampuan
individu berfungsi, maka sifat-sifat tersebut merupakan      gangguan kepribadian. Gangguan
kepribadian merupakan cara-cara yang tidak dewasa dan tidak wajar dalam mengatasi stress atau
memecahkan masalah. Sifat-sifat tersebut biasanya muncul pada masa
remaja dan dapat berlangsung sepanjang hidup. Berbeda dengan orang yang mengalami ganggua
n afektifdan kecemasan yang juga berperilaku maladaptif,orang yang menderita gangguan
kepribadian biasanya tidak merasa  sangat terganggu atau cemas dan tidak punya motivasi untuk
mengubah perilakunya. Mereka tidak kehilangan kontak dengan realita atau tidak menunjukkan
kekacauan perilaku yang mencolok seperti orang yang menderita skisofrenik.
Pada DSM-III tercantum ada 12 gangguan kepribadian, misalnya gangguan kepribadian
narcistik ( = cinta pada diri sendiri ) dilukiskan sebagai orang yang mempunyai rasa
kepentingan diri yang melambung yang dipenuhi dengan khayalan-khayalan sukses,
selalu mencari pujian dan perhatian, dan tidak peka terhadap pada kebutuhan orang lain,malahn
sering mengekploitasinya. Gangguan kepribadian yang tergantung (dependent personality
disorder ) ditandai dengan adanya orentasi hidup yang pasif, dan tidak mampu mengambil
keputusan atau menerima tanggung jawab, berkencederungan menyalahkan diri sendiri, dan
selalu mengharapkan dukungan orang lain.
Gangguan kepribadian yang paling sering dikaji dan yang diagnosanya paling handal ialah
kepribadian anti sosial ( psikopat)

Kepribadian Antisosial ( Kepribadian Psikopat)


Orang yang berkepribadian anti sosial ( juga disebut kepribadian psikopat ) tampaknya hanya
sedikit sekali mempunyai rasa tanggung jawab,moralitas, atau perhatian pada orang lain.
Perilaku mereka hampir seluruhnya ditentukan oleh kepentingan mereka sendiri, Dengan kata
lain mereka tidak berhati nurani. Orang berkepribadian antisosial ini jarang memperhatikan
kemauan orang lain kecuali kemauannya sendiri. Mereka berperilaku impulsif, mencari kepuasan
segera dari keinginan, dan tidak dapat menahan frustasi. Kepribadian antisosial hampir tidak
berperasaan dan tampaknya tidak merasa bersalah atau menyesalinya, kendatipun tindakan-
tindakan mereka menyakitkan orang lain.
Ciri-ciri lain dari kepribadian antisosial adalah sangat mudah berbohong,senang sensasi dan
bersuka ria dengan hampir tidak memperhatikan akibat yang mungkin menyakitkan, dan tidak
mampu mengubah perilakunya walau dia dihukum. Orang-orag semacam ini biasanya
menarik,cerdas,berpenampilan menyenangkan dan cukup lihai untuk mengelabui orang lain.
Dengan kata lain mereka ini adalah “pemain sandiwara.”
Dua ciri yang paling umum dari gangguan kepribadian antisosial adalah “ketiadaan rasa cinta”
(tidak mampu merasa empati,atau setia pada orang lain) dan “ketiadaan rasa bersalah” (tidak
merasa sesal atas tindakannya walau tindakan tersebut sangat tercela.
Pengertian Psikopat
1. Psikopat(i) dipakai untuk menggambarkan manifestasi psikopatologis di dalam perilaku dan
perbuatan individu, berdasarkan ketidakmampuannya untuk menghayati nilai-nilai
antarpribadi,sosial, dan moral (Gunarsa S.S., 1985).
2.  Psikopat adalah kelainan perilaku,khususnya berbentuk perilaku antisosial,yaitu tidak
memperdulikan norma-norma sosial (Sarwono,Sarlito Wirawan,2000).

Penyebab Psikopat
Menurut Kartini Kartono (1989) penyebab utama psikopat,yaitu:
a. Tidak mendapat kasih sayang dari lingkungannya pada masa muda.
b. Pada tahun-tahun pertama kehidupan (0-3 tahun), tidak pernah memperoleh kemesraan   dan
kelembutan dari lingkungannya.

Akibatnya:
a. Kehilangan kemampuan dan kemauan untuk memberikan cinta kasih dan simpati kepada   orang
lain.
b. Kehilangan perasaan sosial dan kemanusiaan.
c. Tidak mampu menjalin hubungan antar manusia.
d. Diliputi perasaan tidak senang dan tidak puas.
e. Diliputi rasa kebencian,dendam,curiga,penolakan,rasa dikejar -kejar dandituduh,gelisah,te-
gang,ketakutan,kacau balau, dan dibayangi pikiran yang kegila-gilaan.
f. Akhirnya terjadi disintegrasi dan disorganisasi kepriadian yang ditandai dengan tidak   memiliki
rasa sosial dan rasa kemanusiaan yang wajar.
 Asal usul psikopat ditinjau dari sudut psikodinamika dan genetika bersumber dari kelakuan yang
menyimpang pada masa anak dan kenakalan remaja. Tanda-tandanya sebagai berikut:
a. Tidak pernah membentuk keterikatan yang baik dengan orang tua atau pengganti orang      tua.
b. Suka melawan terhadap hal-hal yang dilarang oleh masyarakat karena biasa dimanja dan
merasa diperlakukan tidak adil.
c. Membutuhkan penerimaan orang lain dan ada perasaan bersalah,tetapi tidak terjalin
dengan baik dalam pribadi keseluruhan.

Gejala Psikopat
a. Sikap kurang ajar,kasar, dan ganas.
b. Berperilaku asosial dan eksentrik.
c. Suka mengembara tanpa tujuan.
d. Berpribadi labil dan respom tidak adekuat
e. Tidak loyal kepada siapapun
f. Emosional, tidak berperasaan dan tidak bertanggung jawab.
g. Kadang terdapat penyimpangan seksual.
h. Tidak mau belajar dari pagalaman yang baik.
Bentuk Psikopat
Menurut beberapa ahli, dibedakan empat bentuk psikopat,yaitu:
a. Tipe Simpatik, tetapi tidak bertanggung jawab, dengan ciri-ciri:
 simpatik,mudah bergaul,disukai,ramah,sopan,menarik,mudah memperoleh kepercayaan
dan perhatian. Semua perilaku baik tersebut digunakan sebagai alat menjerumuskan orang
lain. Sering merasa diperlakukam tidak adil. Tipe ini dapat ditemukan pada individu yang
memiliki pendidikannya tinggi tapi tidak bertanggung jawab. Perbuatannya egoistis dan
menyakiti orang lain. Berani melakukan tindakan beresiko tinggi tanpa tanpa
mempertimbangkan untung rugi. Misalnya penjudi,petualang,peminum,pemadat, dan      penipu.
b. Tipe pendendam dan pembrontak, Tipe ini orangnya gemar memusuhi dan membronta terhadap
hal-hal yang tidak disenangi. Ciri-cirinya:
mudah marah,Agresi lisan maupun fisik (merusak,menggegerkan keadaan, dan pembrontakan),
cepat menyerang,cepat merasa tidak puas terhadap keadaan,suka membandel,keras kepala,suka
membantah,perbuatannya mengarah pada pembunuhan dan kejahatan,alkoholisme,pemadat.
c. Tipe Hipokondris dan tidak adekuat, dengan ciri-ciri:
     Banyak mengeluh sakit,hidupnya ibarat benalu, banyak keluhan dan mengharap selalu mendapat
bantuan orang lain, suka berbohong,fisik seolah-olah tidak berdaya,yang sering dipakai sebagai
alasan tidak mau bekerja.
d. Tipe antisosial, dengan ciri-ciri:
sama sekali tidak memedulikan kepentingan orang lain,melakukan perbuatan yang berulang-
ulang dan berbenturan dengan nilai-nilai sosial atau hukum, seperti mencuri,kejahatan seks, dan
pembunuhan tanpa merasa bersalah atau berdosa.

kondisi kesehatan mental seperti depresi, gangguan makan, gangguan obsesif kompulsif dan
penyakit kecemasan yang berhubungan dengan semakin umum dalam masyarakat kita.
Akibatnya, sekarang ada berbagai macam perawatan membantu dan pendekatan terhadap terapi
saat ini tersedia untuk mendukung mereka yang terkena dampak penyakit mental.

Terapi yang sering digunakan untuk mengelola kondisi kesehatan mental adalah sebagai berikut:
Terapi Kognitif Perilaku (CBT), dialektis Terapi Perilaku (DBT), Psikoterapi interpersonal (IPT)
dan Keluarga Terapi, yang lebih sering digunakan ketika bekerja dengan orang-orang muda.
Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi satu terapi seperti dan perannya dalam membantu
penderitaan mereka dari serangan panik dengan bidang utama untuk diperiksa di bawah ini.

Sebuah serangan panik melibatkan peningkatan yang tiba-tiba dan besar dalam kecemasan yang
mungkin menjadi pengalaman yang benar-benar menakutkan bagi mereka yang terkena dampak
serta penyebab alarm bagi mereka yang menyaksikan hal itu. kecemasan ini sering merupakan
akibat dari pemicu yang disalahartikan sebagai sesuatu yang lebih jahat atau keras dari apa yang
sebenarnya dan sehingga menyebabkan kecemasan lebih lanjut selain gejala peningkatan yang
mengekalkan tingkat kecemasan yang ada.
Sebuah contoh mungkin ketika seseorang berjuang untuk menangkap nafas mereka
menyebabkan mereka berpikir sesuatu harus sangat keliru yang mengakibatkan rasa takut atau
khawatir dan gejala seperti sesak napas, palpitasi, dada ketat, merasa pingsan dan kemudian
gejala-gejala ini mungkin disalahtafsirkan sejauh bahwa individu percaya bahwa mereka
mengalami serangan jantung atau bahkan sekarat.

Faktor Pemeliharaan Terkait dengan Panic Attacks


Seperti sebagian besar kondisi kesehatan mental termasuk depresi dan gangguan makan ada
faktor-faktor kunci yang berfungsi untuk menjaga penyakit terjadi dan dikenal sebagai faktor
pemeliharaan. Faktor pemeliharaan yang paling umum yang terkait dengan serangan panik
adalah bahwa dari penghindaran. Namun ketika seseorang menghindari peristiwa-peristiwa
tertentu atau orang-orang di mana mereka di masa lalu menderita panik serangan dunia individu
secara bertahap semakin kecil dan lebih terbatas.
Sebagai contoh, jika seseorang mengalami serangan panik di pesta pernikahan, mereka dapat
menghindari pernikahan kemudian akhirnya semua jenis kegiatan sosial. Melalui satu
penghindaran juga kondisi diri sendiri dan memperkuat keyakinan bahwa jika seseorang
menghadiri pernikahan serangan panik pasti akan terjadi. Kemudian sangat pemikiran dan
oversensitivity ke sensasi tubuh yang berkaitan dengan kecemasan mungkin sendirinya
mengakibatkan serangan panik.

Anda mungkin juga menyukai