Anda di halaman 1dari 22

PENGARUH PERENDAMAN DENGAN EKSTRAK DAUN PEPAYA,

EKSTRAK NENAS DAN EKSTRAK JAHE TRHADAP KUALITAS


ORGANOLEPTIK DAGING SAPI BALI

Dr. Ir. I Ketut Sukada, M.Si (NIDN: 0021055712)


I Wayan Suberata, S.Si.,MSi (NIDN: 0008056703)
Ir. Ni Made Artiningsih Rasna, M.Si (NIDN:0026125402)

ROGRAM STUDI/JURUSAN/ ILMU PETERNAKAN


FAKULTAS .PETERNAKAN
UNIVERSITAS UDAYANA
FEBRUARI 2018
PENGARUH PERENDAMAN DENGAN EKSTRAK DAUN PEPAYA, EKSTRAK
NENAS DAN EKSTRAK JAHE TRHADAP KUALITAS ORGANOLEPTIK DAN
NUTRISI DAGING SAPI BALI

I KETUT SUKADA, I WAYAN SUBRATA DAN NI MADE ARTININGSIH


DOSEN FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS UDAYANA

ABSTRAK
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasiln Ternak Fakultas
Peternakan Universitas Udayana. Bertujuan untuk mengetahui pengaruh extrak daun papaya,
extrak nenas dan extrak jahe terhadap kualitas fisik dan organoleptik daging sapi bali melalui
perendaman . Variabelyang diukur untuk menentukan sifat fisik daging antaralain pH daging
dan susut masak daging, sedangkan variabel yang diukur untuk menentukan kualitas
organoleptik daging sapi bali antaralain: warna, tekstur, rasa, dan bau daging menggunakan
fanalis. Analisa yang digunakan analisa varians, sedangkan Rancangan Percobaan yang
digunakan dalam penelitian ini adalahh, Rancangan Acak Lengkap pola sederhana 4 perlakuan 5
ulangan dari Steel dan Torie yang diolah dengan Metode Costat Statistik. Pengukuran pH
daging menggunakan alat pH meter, dan pengukuran kadar air setelah masak, dicari melalui
perhitungan porsentase ratio dari selisih berat daging mentah dan berat daging setelah dimasak.
Kesimpulan dan hasil penelitian ini didapatkan bahwa daging sapi yang direndam dalam
ekstrak buah nanas didapatkan: susut mentah, tekstur, warna, rasa, kelembutan dan bau
menunjukkan indikasi kualitas fisik dan orgabnoleptik significant terbaik (P<0.05) dibandingkan
ekstrak jahe dan ekstrak daun papaya. Sedangkan kualitas fisik dan organoleptik daging sapi
yang direndam dalam ekstra daun papaya menunjukkan indikasi terburuk.
Kata kunci: daging sapi bali, organoleptik, daya ikat air, susuk mentah

ABSTRACT
This research was conducted at the Laboratory of Animal Produce Technology Faculty of
Animal Husbandry Udayana University. Aims to determine the effect of papaya leaf extract,
extract pineapple and ginger extract on the physical and organoleptic qualities of Bali beef
through soaking. Variables measured to determine the physical properties of meat between meat
pH and shrinkage of cooked meat, while the variables measured to determine the organoleptic
quality of bali beef among other examples: color, texture, taste, and smell of meat using fanalis.
Analyze used variance analysis, while experiment design used in this research is, Completely
Random Design simple 4 treatment pattern 5 replication from Steel and Torie processed by
Costat Statistic Method. Measurement of pH of the meat using pH meters, and the measurement
of moisture content after cooking, is sought through the calculation of the porsentase ratio of the
difference between the weight of raw meat and the weight of meat after cooking.
Conclusions and results of this study found that beef soaked in pineapple extracts
showed: raw shrinkage, texture, color, taste, tenderness and odor showed the best physical and
orgabnoleptic quality (P <0.05) compared to ginger extract and papaya leaf extract. While the
physical and organoleptic qualities of beef soaked in extra papaya leaves show the worst
indication.
Keywords: bali beef, organoleptic, water binding capacity, raw implants
RINGKASAN

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasiln Ternak Fakultas


Peternakan Universitas Udayana. Bertujuan untuk mengetahui pengaruh extrak daun papaya,
extrak nenas dan extrak jahe terhadap kualitas fisik dan organoleptik daging sapi bali melalui
perendaman . Sampling data yang bersift para metric seperti pH dan kadar air daging di analisis
melalui Rancangan Acak Lengkap (Steel dan Torie), sedangkan sampling data yang bersifat non
para metric seperti : warna, tekstur, rasa, dan bau dianalisis dengan Metode Korelasi Spierman.
Pengolahan data dilakukan dengan Metode Costat Statistik. Perlakuan penelitian terdiri dari 4
perlakuan 5 ulangan antaralain: 1. Perlakuan daging sapi bali tanpa ekstrak, 2. daging sapi bali
direndam dengan ekstrak nenas selama 30 menit. 3. Daging sapi bali direndam dengan ekstrak
jahe selama 30 menit. 4. Daging sapi bali direndam dengan daun papaya selama 30 menit.
Pengukuran pH daging menggunakan alat pH meter, dan pengukuran kadar air setelah masak,
dicari melalui perhitungan porsentase ratio dari selisih berat daging mentah dan berat daging
setelah dimasak.
Keseluruhan kegiatan penelitian dari penyiapan material penelitian, pelaksanaan
penelitian hingga pembuatan laporan dan kegiatan seminar dimulai dari bulan April sampai
Oktober 2018.
Target khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini diharapkan dapat ditemukan suatu
cara yang bermanfaat untuk meningkatkan daya kompetitip mutu daging sapi bali khusunya
peningkatan potensi secara fisik dan organoleptik kualitas daging sapi bali sehingga mampu
bersaing di pasar bebas. Target lain yang menjadi sasaran penelitian ini terutama untuk para
konsumen dan penggemar daging sapi baik di dalam negeri maupun di luar negeri. hasil
penelitian ini diharapkan mampu memberikan solusi untuk mengatasi kendala kesulitan
memasak daging sapi bali yang ditengarai membutuhkan waktu lama dalam mencapai empuk.
Dari sudut akademis penelitian ini diharapkan mampu menambah kekayaan ilmu pengetahuan
ilmiah dibidang teknologi hasil ternak terutama dalam peningkatan kualitas fisik dan
organoleptik daging sapi bali. Dari segi luaran yang ingin dicapai adalah dapat menghasilkan
jurnal nasional maupun jurnal internasional terakreditasi yang berpeluang menghasilkan hak
paten dan mampu menjadi kekayaan nasional maupun internasional.
DAFTAR ISI

ABSTRAK ………………………………………………….,,,,,,, i

RINGASAN ………………………………………………………. Ii

BAB. I PENDAHULUAN ……………..…………………………. 1

1.1 Latar Belakang Masalah…………………………. 1

1.2 Tujuan ………………………………………. 2

1.3 Manfaat ………………………………………. 2

1.4 Urgensi ………………………………………. 2

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………. 2

BAB. III METODE PENELITIAN ……………………………… 4

3.1 Bahan Penelitian ………………………………. 4

3.2 Materi Penelitian ………………………………. 4

BAB. III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………. 9

3.1 Karateristik Fisik Organolepik ………………………… 9

3.1.1 Susut Masak Daging ………………………… 9

3.1.2 Tingkat Keasaman ………………………… 10

3.1.3 Skor Warna …………………………………. 10

3.2 KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK ………………… 11

3.2.1 Aroma Daging ………………………………... 11

3.2.2 Tekstur Daging ……………………………… 13

3.2.3 Cita rasa Daging …………………………….. 14

IV KESIMPULAN …………………………………………………... 16

IV DAFTAR PUSTAKA ……………………………………… 16


1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Merebaknya image bahwa daging sapi bali kalah bersaing dengan sapi import,
sesungguhnya suatu hal yang sangat ironis karena kenyataanya daging sapi bali khusunya di
pulau Bali sangat digemari oleh penduduk Bali. Pemerintah Bali baru-baru ini telah melakukan
kebijakan mempromosikan daging sapi bali ke hotel-hotel di Bali agar lebih dikenal oleh para
wisatawan secara nasional dan internasional. Pada dewasa ini diprediksi bahwa daging sapi bali
baru sekitar 15% dikonsumsi oleh para tamu dihotel-hotel yang ada di Bali.
Daging sapi bali dijual dalam keadaan segar karena biasanya setelah disembelih langsung
dijual ke pasar, hal ini berbeda dengan daging sapi impor yang datang dalam keadaan beku.
Karakteristik karkas sapi bali tergolong sapi pedaging ideal di Indonesia karena mempunyai
bentuk badan yang kompak dan serasi (Masudana, 1990). Selain daging sapi bali, juga dikenal
daging wagyu produksi Kobe Jepang yang banyak dikonsumsi oleh wisatawan asing di Bali.
Tingkat kesukaan wisatawan asing di Bali terhadap kedua daging tersebut sangat berbeda,
wisatawan lebih menyukai daging wagyu bila dibandingkan dengan daging sapi bali (Suwiti et
al., 2013). Hal tersebut disebabkan karena adanya perbedaan manajemen pemeliharaan, dimana
wagyu dipotong pada umur muda (6 bulan) sedangkan sapi bali yang dipotong untuk produksi
daging umumnyamencapai 4-5 tahun. Perbedaan genetic antara sapi bali dan wagyu dapat
berpengaruh terhadap kualitas daging, adanya perbedaan dari kedua sapi tersebut dapat
mempengaruhi sifat-sifat fisik seperti daya ikat air, pH, dan susut masak
Khusus untuk kebutuhan para ibu-ibu rumah tangga di Bali nampaknya masih
memerlukan solusi untuk membuat daging sapi bali agar ketika dimasak bisa lebih cepat menjai
empuk. Beberapa pengalaman yang diperoleh dari para ibu-ibu rumah tangga yang menjadi
konsumen daging sapi bali menyatakan bahwa ketika memasak daging sapi bali memerlukan
waktu merebus agak lama untuk mencapai empuk, oleh karena itu maka mereka mencoba
melakukan usaha untuk mengatasi kendala tersebut dengan memberikan perlakuan terhadap
daging sapi sebelum dimasak yaitu: dibungkus terlebih dahulu dengan daun pepaya, direndam
dengan extrak buah nenas atau direndam dengan extrak jahe. Adanya usaha untuk melembutkan
daging sebelum dimasak tentu memiliki nllai kebaharuan tersendiri untuk meningkatkan kualitas
daging sapi bali dari sudut efektip dan kecepatan memasak untuk mencapai empuk. Untuk
mengetahui cara yang efektif dan efisien dalam memasak daging sapi bali maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai: “Pengaruh Perendaman dalam ekstrak daun papaya,
ekstrak buah nenas dan ekstrak jahe terhadap kualitas fisik dan organoleptik daging sapi
bali.

1.2 Tujuan Khusus dan Manfaat

Tujuan Khusus dari Penelitian ini adalah:


(1). Untuk mengetahui pengaruh perendaman daging sapi bali dalam extrak daun papaya, extrak
buah nenas dan extrak jahe terhadap kualitas fisik dan organoleptik daging sapi bali.
(2) Mencari pengaruh ekstrak terbaik diantara nenas, jahe, dan daun papaya terhadap daging
sapi bali sebelum dimasak untuk menjadi lebih cepat empuk.
2
1.3 Manfaat:

Manfaat dari penelitian ini:

(1) Dapat meredam image negative yang menyatakan bahwa daging sapi alot dan sukar dimasak
(2) Meningkatkan nilai ekonomis daging sapi bali bersaing dipasar nasional maupun
internasional.
(3) Memberi kepercayaan pada wisatawan domestic maupun internasional untuk mengenal
lebih dekat bahwa daging sapi bali tidak jauh berbeda dengan daging sapi lain yang ada di
dunia.

1.4 Urgensi (Keutamaan)

Urgensi dari Penelian ini adalah:


Urgensi Penelitian ini dibagi mencadi dua macam:
(1) Urgensi dalam segi teknologi, penelitian ini diharapakan mampu memberikan solusi
yang efektif dalam strategi memasak daging sapi bali agar lebih cepat lembut. Setrategi
yang efektif secara tidak langsung dapat meningkatkan nilai ekonomi kualitas daging sapi
bali secara Nasional maupun Internasional

(2) Urgensi dalam segi keilmiahan. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai
keilmiahan khusunya dibidang Statistika dan Metodelogi Penelitian, sesuai dengan tugas
penulis sebagai dosen pengampu mata kuliah ilmu Statistika dan Metodelogi Penelitian di
Fakultas Peternakan Universitas Udayana.

(3) Urgensi dalam segi luaran penelitian. Penelitian ini diharapkan menghasilkan karya
ilmiah terpublikasi dalam journal nasional maupun internasional yang terakreditasi yang
berpeluang menghasilkan patent.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Daging merupakan bahan pangan sumber protein hewani yang digemari oleh seluruh lapisan
masyarakat karena rasanya yang lezat dan mengandung nilai gizi yang tinggi. Daging adalah salah
satu hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Daging dapat
menimbulkan kepuasan atau kenikmatan bagi yang memakannya karena kandungan gizinya yang
lengkap sehingga keseimbangan gizi untuk hidup dapat terpenuhi. Soeparno (2009) mendefinisikan
daging sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan tersebut yang
sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya.
Kualitas fisik daging antara lain pH ,daya ikat air, susut masak dan tekstur. Kualitas fisik daging
dipengaruhi oleh proses sebelum dan setelah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat
mempengaruhi kualitas daging adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur,
pakan termasuk bahan aditif(hormon, antibiotik, dan mineral) dan keadaan stres. Faktor setelah
3
pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi pH daging, metode
penyimpanan, macam otot daging dan lokasi pada otot daging (Soeparno, 2005).
Sifat organoleptik pada daging segar, merupakan aspek yang penting diperhatikan. Hal ini
berkaitan dengan pertimbangan konsumen dalam memilih daging. Biasanya konsumen akan lebih
mudah memilih daging melalui penampilan secara fisik yang meliputi warna, tekstur, kecerahan,
serta intensitas flavor daging segar. Menurut Soeparno (2009) penampilan daging banyak
dipengaruhi oleh faktor selama pemeliharaan, penanganan sebelum pemotongan hingga penanganan
setelah pemotongan. Ciri suatu otot mempunyai hubungan yang erat dengan fungsinya, karena
fungsinya maka jumlah jaringan ikat berbeda diantara otot. Jaringan ikat ini behubungan dengan
kealotan daging. Lebih lanjut (Lawrie, 2003) mengemukakan bahwa, perbedaan kadar protein daging
dapat disebabkan oleh adanya perbedaan struktur dan tingkat aktifitas otot. Dengan adanya
perbedaan macam otot menunjukan adanya perbedaan distribusi nitrogen sehingga tingkat aktivitas
otot yang berbeda dapat menghasilkan kadar protein daging yang berbeda pula. Sifat fisik
memegang peranan penting dalam proses pengolahan dikarenakan sifat fisik menentu-kan
kualitas serta jenis olahan yang akan dibuat. Sifat fisik sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
sebelum pemotongan dan setelah pemotongan. Faktor penting sebelum pemotongan adalah per-
lakuan istirahat yang dapat menentukan tingkat cekaman (stress) pada ternak. Menurut Aberle et
al. (2001), ternak yang tidak diistirahatkan akan meng-hasilkan daging yang berwarna gelap,
bertekstur keras, kering, memiliki nilai pH tinggi dan daya mengikat air tinggi. Faktor penting
setelah pe-motongan yang berpengaruh pada kualitas daging adalah pelayuan. Pelayuan daging
akan berpengaruh pada keempukan, flavor dan daya mengikat air. Faktor-faktor tersebut sangat
berkaitan dengan waktu postmortem atau waktu setelah pemotongan.
Proses glikolisis setelah ternak dipotong ber-pengaruh pada nilai pH. Semakin lama
waktu postmortem akan terjadi penurunan pH yang semakin rendah akibat proses konversi otot
menjadi daging pada jarak waktu postmortem tertentu. Nilai pH ultimat daging yang normal
berkisar antara 5,4-5,8 pada 6 jam postmortem dan warna daging akan menjadi merah cerah
(Aberle et al., 2001).
Menurut Lawrie (2003), pH daging dapat menurun dengan cepat hingga mencapai 5,4-5,5
selama beberapa jam setelah pemotongan. Standar pH daging hewan yang sehat dan cukup
istirahat yang baru dipotong adalah 7-7,2 dan akan terus menurun selama 24 jam. Penurunan pH
tersebut tidak sama untuk semua urat daging dari seekor hewan dan di antara hewan juga
berbeda. Nilai pH postmortem akan di-tentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari
glikogen selama proses glikolisis anaerob. Nilai pH akan semakin rendah pada hewan yang
mengalami stress sebelum pemotongan dan akan di-hasilkan daging yang pucat, lembek dan
berair (pale, soft, exudative = PSE).
Purnomo dan Adiono (1985) menambahkan, terbentuknya asam laktat menyebabkan
penurunan pH daging dan menyebabkan kerusakan struktur protein otot dan kerusakan tersebut
tergantung pada temperatur dan rendahnya pH. Setelah hewan di-potong, penyediaan oksigen
otot terhenti, dengan demikian persediaan oksigen tidak lagi di otot dan sisa metabolisme tidak
dapat dikeluarkan lagi dari otot, sehingga daging akan mengalami penurunan pH.
Beberapa karakteristik kualitasdaging yang penting dalam pengujian dan mempengaruhi
daya tarik konsumen yakni pH, daya ikat air, warna dan keempukan (Purbowati et al., 2006).
Daya ikat air adalah kemampuan daging untuk mempertahankan kandungan air selama
mengalami perlakuan dari luar seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan, dan pengolahan.
Besar kecilnya daya ikat air berpengaruh terhadap warna, keempukan, kekenyalan, kesan jus,
dan tekstur daging (Suardana dan Swacita, 2009).
4

Daya ikat air daging sangat dipengaruhi oleh pH, spesies, umur dan fungsi otot serta
pakan, transportasi, temperatur kelembaban, penyimpanan,jenis kelamin, kesehatan, perlakuan
sebelum pemotongan dan lemak intramuskuler (Soeparno, 2005). Nilai pH merupakan salah satu
kriteria dalam penentuan kualitas daging sapi. Nilai pH daging pada ternak sapi yang masih
hidup sekitar 7,0-7,2 (pH netral). Penurunan nilai pH akan terjadi setelah hewan ternak sapi
disembelih (post-mortem) yaitu pada saat jantung berhenti memompa darah, sehingga jaringan
otot dan jaringan lainnya tidak mendapat suplai darah. Faktor yang berpengaruh terhadap pH
daging diantaranya: stres sebelum pemotongan,injeksi hormon/obat-obatan, spesies, individu
ternak dan macam otot, stimulasi listrik, aktivitas enzim, dan terjadinya glikolosi, pelunakan
kolagen, sedangkan temperature pemasakan lebih mempengaruhi kealotan miofibrilar (Dwiloka
et al., 2006). Besarnya susut masak dapat dipengaruhi oleh banyaknya kerusakan membrane
seluler, banyaknya air yang keluar dari daging, umur simpan daging, degradasi protein, dan
kemampuan daging mengikat air (Shanks et al., 2002). Susut masak merupakan indikator nilai
nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat di
dalam dan diantara otot. Daya ikat air yang rendah akan mengakibatkan nilai susut masak yang
tinggi. Water Holding Capacity (WHC) sangat dipengaruhi oleh nilai pH daging, menurut
Soeparno (2005) apabila nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik daging
(5,0−5,1) maka nilai susut masak daging tersebut akan rendah. Daging sapi bali dan wagyu
mempunyai nilai uji organoleptik yang berbeda karena terdapat perbedaan dari breed sapi
sehingga memberikan nilai hasil tingkat kesukaan yang berbeda pula. Perbedaan breed tersebut
kemungkinan dapat berpengaruh terhadap karakteristik fisik daging seperti nilai daya ikat air
(DIA), tingkat keasaman (pH), dan susut masak daging. Susut masak (cooking loss) merupakan
fungsi dari suhu dan lama pemasakan (Hartono et al., 2013). Lama waktu pemasakan
mempengaruhi.

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Materi dan Bahan Penelitian.

3.1.1 Materi

Materi penelitian terdiri dari daging sapi bali jantan yang sudah afkir umur sekitar 4
tahun yang diperoleh di Super Market sekitar wilayah Denpasar.

3.1.2 Bahan penelitian

Sebagai perlakuan penelitian digunakan beberapa jenis bahan ekstrak sebagai bahan
untuk merendam daging sapi bali sebelum dimasak. Bahan tersebut terbuat dari tiga extrak
bahan-bahan tradisional yaitu daun papaya, nenas dan jahe yang dibeli disekitar Pasar
Kumbasari Denpasar
5
3.1.3 Peralatan Penelitian dan Sarana Pendukung Penelitian

Peralatan dan Sarana Pendukung Penelitian yaitu:

a. Pisau pemotong daging


b. PH Meter Daging
c. Timbangan digital.
d. Periuk /kuali untuk merebus daging sebanyak 3 buah dengan volume 2 liter
e. Almari Pendingin
f. Periuk untuk merebus daging.
g. Kompor Gas berbahan bakar elpiji.
h. Wadah tempat daging yang akan diuji sebanyak sesuai jumlah kelompok panelis
i. Tempat sample daging yang akan diuji di laboratorium

3.2 Lama dan Prosedur Penelitian

3.2.1 Lama Penelitian

Penelitian dimulai dari bulan April 2018, mengambil waktu selama 8 minggu, mulai dari
pengumpulan materi dan dan bahan bahan penelitian hingga penyusunan proposal, membuat
laporan dan melaksanakan seminar akhir penelitian.

3.2.2 Prosedur Pelaksanaan Penelitian

Presedur pelaksanaan penelitian ini dilakukan dari pengadaan bahan dan pembuatan
perlakuan sampel penelitian, antaralain:

(1). Daging sapi bali dibagi menjadi 4 bagian sesuai jumlah perlakuan penelitian. Daging
dipotong-potong berbentuk dadu ukuran 2 cm2, selanjutnya ditimbang dan direndam dalam
extrak daun papaya, extrak buah nenas dan extrak jahe. Masing-masing sampel diberi kode
perlakuan, selanjutnya dilakukan penyimpadan dalam almari pendingin selama 30 menit.

(2). Setelah 30 menit daging dikeluarkan dari almari diukur kembali pHnya, selanjutnya dicuci
dengan air akuadest dan ditiriskan hingga tidak ada lagi air yang membasahi daging.
Setetelah selesai pencatatan selanjutnya masing-masing sample di rebus dalam air beberapa
menit pada temperature 810C sampai masak/matang. Selanjutnya sample daging ditiriskan
dan didinginkan sampai tidak kelihatan ada kandungan air selanjutnya ditimbang untuk
mendapat berat daging setelah direbus. Sampel daging yang sudah masak selanjutnya
dilakukan uji organoleptik menggunakan 10 orang fanalis. Setiap fanalis terlebih dahulu
diberi penjelasan dan catatan tentang skor penggunaan nilai organoleptik. Selanjutnya nilai
kualtas fisik dan kualitas organoleptik dicatat dan ditabulasi.
6
BAB.IV HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Fisik Daging Sapi Bali

4.1.1 Susut Masak (Cooking Loss)

Susut masak didefinisikan sebagai cairan yang hilang atau berat yang hilang setelah proses
pemasakan. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan
kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat di alam dan diantara serabut otot (Soeparno,
2009). Lawrie (2003) menyatakan bahwa daging yang berkualitas baik, nilai susut masaknya
lebih kecil dibandingkan dengan daging berkualitas rendah. Bouton, dkk (1971) dalam Soeparno
(2009) mengatakan bahwa susut masak bisa dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot,
panjang potongan serabut otot, status kontraksi myofibril, ukuran berat sampel daging dan
penampang lintang daging. Seiring meningkatnya temperatur pemasakan dan atau makin lama
waktu pemasakan, maka semakin besar kadar cairan daging yang hilang sampai mencapai
tingkat yang konstan (Soeparno, 2009). Susut masak akan menurun secara linear dengan
bertambahnya umur ternak. Perbedaan bangsa ternak, berat potong dan konsumsi pakan juga
dapat menyebabkan perbedaan susut masak. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan jumlah
lemak daging dan deposisi lemak. Nilai susut masak bervariasi antara 1,5% - 54,5% dengan
kisaran 15% -35% (Romans dan Ziegler, 1974 dalamSyam, 2009).

4.1.2 Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) menunjukkan keasaman atau kebebasan relatif suatu substansi (Bacus,
1984). pH daging segar berkisar antara 5,3 – 6,0 dan tergantung pada kandugan glikogen otot
pada saat pemotongan. Nilai pH berhubungan dengan nilai WHC, yaitu pada pH yang tinggi
mempunyai nilai WHC yang tinggi (Buckle dkk., 1983). Menurut Lawrie (2003) nilai pH
digunakan untuk menunjukkan tingkat keasaman dan kebasaan suatu substansi. Nilai pH adalah
sebuah indikator penting kualitas daging dengan memperhatikan kualitas teknologi dan pengaruh
kualitas daging segar. Pengamatan terhadap pH penting dilakukankarena perubahan pH
berpengaruh terhadap kualitas daging yang dihasilkan(Sudrajat, 2007).

4.1.3 SkorWarna

Warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan. Baik tidaknya cara
pencampuran atau cara pengolahan dapat ditandai dengan adanya 11 warna yang seragam dan
merata (Winarno, 2004). Warna pada daging yang dimasak umumnya berwarna abu-abu
perubahan warna tersebut disebabkan oleh denaturasi globin dan reaksi maillard.Menurut
(Lawrie, 2003), selain disebabkan oleh pigmen, perubahan warna pada daging yang dimasak
juga akibat hasil denaturasi globin dan dipengaruhi oleh karamelisasi karbohidrat serta reaksi
maillard antara gula-gula pereduksi dan asam amino. Mioglobin merupakan pigmen utama
daging dan konsentrasinya akan mempengaruhi intensitas warna merah daging. Perbedaan kadar
miglobin menyebabkan perbedaan intensitas warna daging. Faktor penentu warna daging
dipengaruhi oleh pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres (tingkat aktifitas dan tipe
otot).
7
4.2 Sifat Organoleptik

Daging mempunyai sifat organoleptik yang dapat berkaitan dengan lima sifat dasar yaitu
rasa (taste), bau (smell), penampilan/warna (sight), kehalusan (feel) dan kekerasan. Empat rasa
dasar yang diidentifikasi dari daging adalah rasa asin, asam, manis dan pahit (Abustam dan Ali,
2004).Pengujian organoleptik adalah pengujian yang didasarkan pada proses pengindraan.
Pengindraan diartikan sebagai suatu proses fisio-psikologis, yaitu kesadaran atau pengenalan alat
indra akan sifat-sifat benda karena adanya rangsangan yang diterima alat indra yang berasal dari
benda tersebut. Pengindraan dapat juga berarti reaksi mental (sensation) jika alat indra mendapat
rangsangan (stimulus). Uji organoleptik adalah suatu pengujian sifat-sifat bahan pangan yang
dilakukan dengan menggunakan alat indera pengecap, pembau, penglihatan dan peraba.Uji yang
dilakukan adalah uji kesukaan (uji hedonik) yang meliputi rasa, aroma, warna, tekstur dan
keempukan (Soeparno, 2009).

4.2.1 Aroma

Aroma merupakan salah satu parameter penilaian organoleptik terhadap suatu produk.Salah satu
yang dapat mempengaruhi aroma daging masak yaitu temperatur pemasakan (Soeparno, 2009).
Pada umumnya bau yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai
ramuan atau campuran empat bahan utama yaitu harum, asam, tengik dan hangus (Winarno,
2004).

4.2.2 Rasa

Rasa menempati peringkat pertama terhadap penerimaan komsumen, rasa suatu bahan pangan
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, temperatur, konsistensi, dan interaksi
dengan komponen rasa yang lain serta jenis dan lama pemasakan.

4.2.3 Tekstur

Tekstur adalah penginderaan yang dihubungkan dengan rabaan atau sentuhan. Ciri yang sering
dijadikan acuan adalah kekerasan, kekohesifan dan kandungan air (de Man, 1997). Tekstur
daging sapi sangat ditentukan oleh kandungan air, kandungan lemak dan jenis karbohidrat.

4.2.4 Keempukan

Menurut Soeparno (2009) bahwa keempukan dapat ditentukan secara subyektif dan obyektif.
Kesan keempukan secara keseluruhan meliputi tiga aspek. Pertama, kemudahan awal penetrasi
gigi kedalam daging, kedua, mudahnya daging dikunyah menjadi potongan-potongan yang lebih
kecil dan ketiga, jumlah residu yang tertinggal setelah pengunyahan.dilakukan adalah uji kesukaan
(uji hedonik) yang meliputi rasa, aroma, warna, tekstur dan keempukan (Soeparno, 2009)
8
4.3 Kualitas Organoleptik

Kualitas organoleptik daging sapi bali dinila panalis yang telah ditentukan. Pada
penelitian ini parameter organoleptik yang akan diamati yaitu warna, tekstur, dan rasa dan uji
kesukaan yang akan dilakukan oleh 10 panelis. Panelis sebelumnya dilatih terlebih dahulu
mengenal sifat organoleptik yang akan diujikan. Penilaian menggunakan uji skala kualitas
organoleptik dinilai dengan sekala uji angka 1 sampai 5. Panalis yang sudah memahami kriteria
skala organoleptik yang akan diuji masing-masing diberikan label penilaian. Panalis melakukan
penilaiaan dengan memberi tanda silang pada label nilai yang dipilih yang dianggap cocok
menurut mereka. Sampel daging sapi bali yang sudah siap dinilai disajikan pada masing-masing
wadah sesuai perlakuan yang direncanakan dalam penelitian.

Tabel. 1.5 Label Penilaian Kualitas Organoleptik daging Sapi Bali yang direndam dalam
ekstrak jahe, nenas dan daun papaya setelah disimpan selama 60 menit dan sudah
dimasak.

Skala Hedonik Kriteria


Variabel yang diuji
Bau (Aroma) 1 Sangat disukai
2 Cukup disukai
3 Sedang
4 Tidak disukai
5 Sangat tidak disukai
Tekstur 1 Sangat halus
2 Halus
3 Kehalusan sedang
4 Kasar
5 Sangat kasar
Cita Rasa 1 Sangat disukai
2 Disukai
3 Cukup disukai
4 Tidak disukai
5 Sangat tidak disukai
Keempukan 1 Sangat empuk
2 Empuk
3 Keempukan sedang
4 Alot
5 Sangat a lot
Kesan Jus 1 Sangat Berjus
2 Berjus
3 Jus sedang
4 Kering
5 Sangat Kering
9
V. HASIL DAN PEMBASAN

5.1 KARAKTERISTIK FISIK DAGING SAPI BALI

5.1.1 Susut Masak Daging

Susut masak daging adalah proporsi berat daging yang hilang selama proses pemasakan
atau pemanasan. Susut masak merupakan salah satu indikator nilai nutrisi daging yang
berhubungan dengan daya ikat dan kadar air. Rataan susut masak daging sapi Bali yang
direndam dalam ekstrak Jahe, Nenas, Pepaya dan tanpa Ekstrak, sebelum dimasak dituunjukkan
dalam Tabel 5.1.1

Tabel 5.1.1 Rataan Susut Masak Daging Sap Bali yang direndam dalam Ektrak Jahe,
Nenas, Pepaya dan tanpa Ekstrak selama 60 menit.

No Tanpa Ekstrak Ekstrak Nenas Ekstrak Jahe Ekstrak Pepaya


1 45.6923 28.8776 30.8602 33.7838
2 45.0769 29.0816 31.0753 36.4865
3 42.4615 29.1837 29.6774 32.4324
4 43.3846 27.3469 29.7849 35.1351
5 42.9231 29.2857 30.5376 33.7838
X 43.9077 28.7551 30.3871 34.3243
SD ±1.40414c ±0.80152a ±0.62974a ±1.54078b

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa daging sapi bali yang direndam dalam ekstrak nenas,
jahe, papaya dan tanpa ekstrak berkisar 28.7551 – 43,9077 %, daging sapi bali menunjukkan
kadar susuk masak air sangat nyata lebih rendah (P<0.05) dibandingkan daging sapi bali tanpa
direndam dalam ekstrak. Otot daging sapi bali yang direndam dalam ekstrak nenas, jahe dan
papaya menunjukkan indikasi lebih mengembang sehingga lebih lembut atu lebih empuk.
Daging sapi bali yang nilai susut masaknya paling rendah ditunjukkan berurutan oleh daging
yang direndam dalam ekstrak nenas, ekstrak jahe dan ekstrak papaya, sedangkan daging sapi bali
tanpa ekstrak menunjukkan susut masak paling besar. Menurut Syam (2009), nilai susut masak
bervariasi antara 1,5% - 54,5% dengan kisaran 15% -35%.

Tabel 5.1.1 Menunjukan adanya perbedaan persentase susut masak daging pada perendaman
daging dalam ekstrak yang berbeda. Daging yang direndam dalam ekstrak Nenas a menunjukkan
susut masak air paling rendah sedangkan daging dengan perendaman dalam ekstrak daun Pepaya
dan tanpa Ekstrak menunjukkan susut masak paling tinggi
10

5.1.2 Tingkat Keasaman (pH) Daging

Tingkat keasaman (pH) merupakan salah satu indikator penentu kualitas daging.
Keasaman daging Sapi baik adalah 5,1 – 6,1 karena lebih stabil terhadap kerusakan oleh
mikroba, sedangkan daging sapi yang bersifat basa akan memungkinkan pertumbuhan mikroba
lebih tinggi.

Tabel. 5.1.2 Rataan pH daging sapi Bali yang direndam dalam ekstrak, Jahe, Ekstrak
Nenas, Ekstrak Pepaya dan Tanpa Ekstrak , selama 60 menit.

NO Tanpa Ekstrak Ektrak Nenas Ekstrak Jahe Ekstrak Pepaya


1 5.5 3.6 4.8 4.6
2 5.6 3.6 4.7 4.6
3 5.5 3.7 4.7 4.5
4 5.7 3.5 4.8 4.5
5 5.6 3.6 4.8 4.6
X 5.58 3.6 4.76 4.56
SD ±0.0836a ±0.0707d ±0.0547b ±0.0547c

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pH daging yang direndam dalam ekstrak nenas,
jahe, papaya dan tanpa ekstrak memiliki pH berkisar 3,6 – 5,8, menunjukkan bahwa pH daging
sapi bali tahan dan stabil terhadap serangan bakteri karena menurut Trianto (2002) dan Lawri pH
daging diatas 6 baru akan menunjukkan bahwa daging tidak tahan dari serangan bakteri. Daging
sapi bali yang direndam dalam ekstrak, nenas, jahe dan papaya memang menunjukkan ph daging
cendrung bersifat lebih asam dibandingkan daging direndam tanpa ekstrak, ini menunjukkan
bahwa daging tanpa direndam dalam ekstrak nenas, jahe dan papaya menunjukkan indikator
bahwa daging lebih cepat rusak karena mudah terserang bakteri.

5.1.3 Skor Warna Daging

Pengamatan warna daging pada penelitian ini mengacu pada standar warna daging
menurut SNI 3932:2008 yang memiliki angka skor dari satu sampai sembilan. Nilai skor warna
ditentukan berdasarkan karakteristik tampilan warna daging.
11

Tabel. 5.1.3 Rataan skor warna daging sapi Bali yang direndam dalam ekstrak jahe,
nenas, papaya dan tanpa ekstrak selama 60 menit.

No. Tanpa Ekstrak Ekstrak Nenas EkstrakJahe Ekstrak Pepaya


1 9 8 7 8
2 8 7 7 8
3 9 8 7 9
4 8 3 8 9
5 7 8 7 8
6 5 4 7 7
7 9 7 9 9
8 8 7 9 9
9 8 7 3 9
10 4 5 7 8
11 7 4 8 6
12 5 4 6 7
13 9 7 7 8
14 9 8 7 9
15 9 5 8 7
To 114,00 92,00 107,00 121,00
tal
X 7,60±1,68b 6,13±1,77a 7,13±1,41 ab 8,07±0,96b
Merah tua Merah cerah Merah Gelap

Hasil analisis statistik menunjukan bahwa warna daging sapi Bali yang direndam dalam Ekstrak
Jahe, Nenas, Tanpa Ekstrak dan Pepaya berbeda nyata (P<0,05) daging sapi Bali dalam
penelitian ini (Tabel.1.3) Daging sapi bali yang direndam dalam ekstrak daun papaya
menunjukkan warna paling gelap dengan skor 8,07±0,96 (merah gelap), daging sapi tanpa kstrak
berwarna merah tua dengan skor 7,60±1,68 (merah tua), daging sapi bali yang direndam dalam
ekstrak Jahe berwarna Merah dengan skor 7,13±1,41 (merah), Daging sapi bali yang direndam
dalam ekstrak Nenas berwarna merah cerah dengan skor warna 6,13±1,77 (merah cerah.
Menurut Lawrie (2003), warna daging sapi adalah warna merah cerah, karena dianggap daging
tersebut adalah daging yang berkualitas jika dibandingkan dengan daging yang berwarna merah
tua. Perbedaan warna pada daging disebabkan karena perbedaan sifat keasaman dan kebasaan
dari ekstrak yang digunakan untuk merendam sebelum daging sapi itu dimasak.

5.2 KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK DAGING SAPI BALI

5.2.1 Aroma Daging

Pada umumnya aroma yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan
berbagai ramuan atau campuran empat bahan utama yaitu harum, asam, tengik dan hangus
(Winarno, 2004). Aroma atau bau merupakan parameter kualitas organoleptik daging. Rataan
skor aroma daging sapi Bali yang direndam dalam Ekstrak Jahe, Nenas, Tanpa Ekstrak dan
Ekstrak Pepaya disajikan pada Tabel 5.2.1
12

Tabel. 5.2.1 Sekor nilai aroma daging sapi Bali yang direndam dalam Ekstrak Jahe, Nenas,
Tanpa Ekstrak dan Ekstrak Daun pepaya yang direndam selama 60 menit dari 20 Fanalis
yang merupakan para ibu-ibu rumah tangga yang sudah ditetapkan.

NO Tanpa Ekstra Ekstrak Nenas Ekstrak Jahe Ekstrak Pepaya


1 4 3 4 5
2 4 4 3 5
3 4 4 3 5
4 3 3 4 4
5 4 3 3 5
6 4 3 3 5
7 4 3 4 5
8 4 3 4 4
9 4 3 3 5
10 3 3 3 4
11 4 3 4 5
12 4 4 3 5
13 4 4 3 5

14 3 3 4 4
15 4 3 3 5
16 4 3 3 5
17 4 3 4 5
18 4 3 4 4
19 4 3 3 5
20 3 3 3 4

Rank Correlation (Kendal Tau dan Spearman)

Variable 1: Tanpa Ekstrak (kontol)

Variable 2 N KendalTau p Spearman r p

Nenas 20 0,25 0,123 ns 0,6390 0,0024 **

Jahe 20 -0,102 1 ns 0,338 0,1445 Ns

Pepaya 20 0,76 0,000 *** 0,0000 ***

Keterangan:
n: jumlah sample
13

p: value
r: koefisien rank spearman
ns: non significant
***: sangat significant

Hasil analisis non para metric Kendal Tau dan Spearman diperoleh bahwa daging yang direndam
dalam ekstrak nenas aromanya paling disukai r: 0,639 (P<0,05) sedangkan daging yang direndam
dalam ekstrak jahe tidak menunjukkan perbedaan yang nyata r:0,338 (p>0,05), dan daging yang
direndam dalam ekstark papaya significant memberikan bau yang menyengat yang kurang
disukai oleh fanalis, r:0,846 (P<0,05). Dari penelitian ini diperoleh bahwa aroma daging sapi
bali yang direndam dalam ekstrak nenas paling disukai karena baunya sedikit harum, berikutnya
daging yang direndam dengan daun papaya kurang disenangi oleh fanalis karena berbau
menyengat dan rasanya agak pahit sedangkan daging tanpa ekstrak juga kurang disenangi
karena baunya agak amis.

5.2.2 Tekstur Daging

Tekstur adalah penginderaan yang dihubungkan dengan rabaan atau sentuhan. Ciri yang sering
dijadikan acuan adalah kekerasan, kekohesifan dan kandungan air.Tekstur daging sapi sangat
ditentukan oleh kandungan air, kandungan lemak dan jenis karbohidrat. Skor tekstur daging sapi
Bali yang direndam dalam Ekstrak Jahe, Nenas, Tanpa Ekstrak dan Ekstrak daun Pepaya.
disajikan pada Tabel 1.5.

Tabel. 5.2.2 Skor tekstur daging sapi Bali yang direndam dalam Ekstrak Jahe, Nenas,
Tanpa Ekstrak dan Ekstrak daun Pepaya yang direndam selama 60 menit.

NO Tanpa kstrak Ekstrak Nenas Ekstrak Jahe Ekstrak Pepaya


1 4 3 4 5
2 4 3 3 5
3 4 4 3 5
4 3 3 4 4
5 4 3 3 5
6 4 3 3 4
7 3 3 3 5
8 4 3 4 4
9 4 3 3 5
10 3 3 3 4
1 4 3 4 5
2 4 3 3 5
3 4 4 3 5
14

4 3 3 4 4
5 4 3 3 5
6 4 3 3 4
7 3 3 3 5
8 4 3 4 4
9 4 3 3 5
10 3 3 3 4

Rank Correlation (Kendal Tau dan Spearman)

Variable 1: Tanpa Ekstrak (kontol)

Variable 2 N Kendal Tau P Spearman r P


Nenas 20 0,218 0,186 ns 0,639 0,0024 **
Jahe 20 -0,047 1 ns 0,338 0,1445 Ns
Pepaya 20 0,358 0,028 * 0,563 0,0096 **
Keterangan:
n: jumlah sample
p: value
r: koefisien rank spearman
ns: non significant
***: sangat significant

Tekstur daging sapi bali yang direndam dalam ekstrak berkisar 3,1- 4,6. Hasil penelitian
menunjukkan daging sapi bali yang direndam dalam ekstrak nenas menunjukkan hasil yang
significant paling lembut r:0,639 (P<0,05), sedangkan daging yang direndam dalam ekstrak jahe
tidak berbeda nyata dan daging yang direndam dalam ekstrak papaya menunjukkan hasil yang
significant agak kasar r:0,563 (p<0,05).

5.2.3 Cita Rasa

Cita rasa adalah penginderaan yang dihubungkan dengan pengecapan. Skor cita rasa
daging sapi Bali yang direndam dalam Ekstrak Jahe, Nenas, Ekstrak Pepaya, dan Tanpa Ekstrak
sebelum dimasakan pada Tabel.5.2.3
15
.
Tabel 5.2.3 Skor cita rasa daging sapi Bali yang direndam dalam Ekstrak Jahe, Nenas,
Ekstrak Pepaya, dan Tanpa Ekstrak yang direndam selama 60 menit.

NO Tanpa kstrak Ekstrak Nenas Ekstrak Jahe Ekstrak Pepaya


1 4 4 4 5
2 4 3 4 5
3 4 3 3 5
4 4 3 3 5
5 4 4 3 5
6 4 3 3 5
7 4 3 3 5
8 4 4 4 4
9 3 3 4 4
10 3 3 3 5
11 4 4 4 5
12 4 3 4 5
13 4 3 3 5
14 4 3 3 5
15 4 4 3 5
16 4 3 3 5
17 4 3 3 5
18 4 4 4 4
19 3 3 4 4
20 3 3 3 5
Rank Correlation (Kendal Tau dan Spearman)

Variable 1: Tanpa Ekstrak (kontol)

Variable 2 N Kendal Tau P Spearman r P


Nenas 20 0,327 0,0138 * 0,6280 0,0033 *** **
Jahe 20 -0,010 1 ns 0,3383 0,1445 ns Ns
Pepaya 20 0,028 0,0786 ns 0,6278 0,0030 **
Keterangan:
n: jumlah sample
p: value
r: koefisien rank spearman
ns: non significant
***: sangat significant

Cita rasa daging sapi bali yang direndam dalam ekstrak nenas significant paling disukai oleh
fanalis r: 0,6280 (p<0,05), sedangkan daging sapi bali yang direndam dalam jahe tidak
16
menunjukkan perbedaan yang nyata, dan daging sapi bali yang direndam dalam ekstrak papaya
significant kurang disenangi oleh fanalis karena rasanya pahit. R: 0,6278 (p<0,05)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan maka disimpulkan bahwa daging sapi Bali yang direndam
dalam ekstrak Jahe, Nenas, Daun Pepaya dan Tanpa Ekstrak berbeda memiliki karakteristik fisik
dan organoleptik seperti pH, susut masak, warna, cita rasa dan keempukan (P<0,05)

6.2 Saran

Daging sapi bali yang direndam dalam ekstrak nenas pada penelitian ini menunjukkan kualitas
fisik dan organoleptik terbaik dibandingkan daging sapi bali yang direndam dalam ekstrak jahe
dan nenas.

DAFTAR PUSTAKA

Aberle, H.B., Forrest, J.C., E. D. Hendrick., M. D. Judge dan R.A. Merkel. 2001. Principle of
Meat Science. 4th edit. Kenda/ Hunt Publishing. Iowa.

Adiono, Purnomo Hari . 1985. Ilmu Pangan.Jakarta : Universitas Indonesia (UIPress).

Dwiloka B, Rianto E, Ekawati R. 2006. Perbandingan Kualitas “Blade” Sapi Lokal dan Sapi
Impor yang diolah dengan Metode “Pan Frying”.Universitas Diponegoro. JSains
Teknologi Ternak 2(1): 8-22

Hartono E, Iriyanti N, Santosa R, Sugeng S. 2013. Penggunaan PakanFungsional Terhadap Daya


Ikat Air, Susut Masak, dan Keempukan Daging Ayam Broiler. Purwokerto. J
Ilmiah Peternakan 1(1):10-19

Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Edisi 5 Penerjemah Aminuddin Parakkasi. Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta.

Masudana, IW. 1990. Pengembangan sapi Bali di Bali dalam sepuluh tahun terakhir (1980-
1990). Proceeding Seminar Nasional sapi Bali. Denpasar, 20-22 September
1990.Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar. : A11-A30

Purbowati E, Sutrisno CI, Baliarti E, Budhi SPS, Lestariana W. 2006. Karakteristik Fisik otot
Longissimus dorsi dan Biceps femoris domba lokal jantan yang dipelihara di
pedesaan pada bobot potong yang berbeda. J Protein 33 (2): 147-153.
17

Shanks BC, Wolf DM, Maddock RJ. 2002. Technical note : The effect of freezing on Warner
Bratzler shear force values of beef longissimuss steak across several postmortem
aging periods. J Anim Sci 80 : 2122- 2125.

Suardana IW, Swacita IBN. 2009. Higiene Makanan. Udayana University Press, Denpasar, Bali

Suwiti NK, Suastika P, Swacita IBN, Piraksa W. 2013.: Tingkat Kesukaan Wisatawan Asing di
Bali Terhadap Daging Sapi Bali dan Wagyu. Prosiding Seminar Nasional Sapi
Bali Hal 42.

Anda mungkin juga menyukai