Anda di halaman 1dari 8

Adat Istiadat Indonesia dalam Hukum Bid’ah Ad-dien

Itsnaini Fadlul Mardiyyah; 195060607111021


Kentaro Ocktavian; 195060607111026
Alifah Salsabila; 1950760607111027
Hasyim Yudhoyono; 195060607111037
Najwa Anggraini Nurulizzah; 195060607111041

Kelas F
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya
Malang
Abstrak
Bid’ah (bahasa Arab: ‫ )بدعة‬adalah perbuatan yang dikerjakan tidak
menurut contoh yang sudah ditetapkan, termasuk menambah atau mengurangi
ketetapan. Secara linguistik, istilah ini memiliki arti inovasi, pembaruan, atau
doktrin sesat. Bid‘ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh
sebelumnya. Kaitannya dengan budaya di Indonesia sendiri ialah tradisi tradisinya
yang mengarah kepada menyekutukan Allah.
Sesungguhnya jika perbuatan ini tertular kepada orang lain seperti
masyarakat yang padahal niatnya hanya ingin melestarikan tanpa tahu menahu apa
yang disiasatkan di dalamnya maka itu adalah perbuatan dosa. Maka dari itu,
dengan ini kami berharap agar mulai dari sekarang seluruh umat Islam khususnya
memberitahu satu sama lain akan kegiatan tradisi yang masih bersifat syirik.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berbicara mengenai Budaya dan Agama, keduanya merupakan satu proses
yang berjalan seturut perjalanan waktu yang ada. Budaya lahir dari perjalanan
panjang umat manusia di dunia ini, membentuk suatu sistem budaya dan
menghasilkan karya yang bersifat kebendaan atau dalam bentuk ajaran hidup dan
sudah dijalankan oleh generasi muda dalam suatu budaya dan dimasukkan dalam
bentuk kearfian lokal suatu masyarakat. Sementara menurut sejarahnya, Agama
juga tidak lepas dari suatu budaya dimana Agama itu lahir dan berkembang.
Berbicara mengenai agama, maka kita akan berbicara mengenai iman atau
keyakinan. Iman hadir dalam bentuk spiritualitas yang menyalakan iman yang kita
pegang. Dalam perjalanan umat manusia yang sudah berjalan cukup lama.
Kebudayaan merupakan suatu proses yang berjalan secara dinamis seturut
perubahan waktu yang ada, entah perubahan itu berrsifat lambat atau malah
berjalan secara revolusif. Kebudayaan sebagai salah satu hasil karya manusia
mulai dari jaman dahulu hadir sebagai identitas yang menjadikan seseorang dari
latar belakang budaya tertentu menjadi lebih khusus disbanding dengan orang lain
yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Maka dari itu, masyarakat
Indonesia cenderung menjadikan kegiatan budaya sebagai latar belakang
dibolehkannya kegiatan adat seperti ritual, ilmu hitam dan lain-lain yang
merupakan perbuatan buruk dalam pengimplementasian Bid’ah Ad-dien.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Mengapa hukum islam tidak terlalu ditonjolkan di Indonesia?
1.2.2 Apa yang menyebabkan masyarakat masih percaya terhadap hal
musyrik?
1.2.5 Mengapa hal tersebut masuk ke dalam hukum bid’ah ad-dien?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Teori
Hukum Islam secara kultural telah menjiwai kesadaran hukum bangsa
Indonesia yang mayoritas beragama Islam sebelum datangnya kolonialisme dan
imperialisme Barat. Di Indonesia terdapat berbagai agama, hal ini menyebabkan
hukum islam tidak dapat diterapkan secara menyeluruh. Jika diterapkan secara
menyeluruh, dikhawatirkan akan menyebabkan ketidakadilan di masyarakat
karena tidak sesuai dengan dasar negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai contoh, Indonesia tidak bisa disamakan dengan Arab. Misalnya,
agama islam lahir di tanah Arab, dan hingga saat ini ciri khas dari budaya Arab
sangat kental dalam ajaran iman agama Islam, baik itu dalam tulisan di kitab suci
dan dalam tata cara peribadatan umat muslim seperti salat, berdzikir, dll. Maka
dari itu, hukum Islam tidak bisa sepenuhnya dijalankan di Indonesia untuk
menghindari perpecah belahan antara agama yang ada. Sebagai generasi millenial,
kami mencoba untuk menghilangkan stigma masyarakat dalam negeri maupun
luar tentang “Indonesia adalah negara Islam.”
Akibat adanya stigma yang tertanam dalam masyarakat luar yang
merupakan tantangan berat bagi kami khusunya yang memiliki teman beragama
lain, membuat mereka berpikir dikesampingkan oleh masyarakat pribumi. Hal
tersebut membuat kami ingin merubah perspektif tersebut agar Indonesia
dipandang sebagai negara yang sangat menerapkan konsep menghormati satu
sama lain. Konsep tersebut dapat diimplementasikan dengan membuat langkah
kecil seperti melalui masyarakat Indonesia sendiri.
Penyebab utama ialah kurangnya pendidikan agama. Selain kurangnya
pendidikan, ada beberapa masyarakat yang sebenarnya sudah mendapatkan
pendidikan tersebut tetapi enggan menjalankannya. Percaya bahwa Allah
memiliki sifat pemaaf. Tetapi ada juga yang kurang percaya dengan Allah, karena
faktor lingkungan yang mendukung seperti masyarakat desa yang masih berpikir
bahwa percaya terhadap tradisi yang bersifat musyrik lebih membawa kesempatan
untuk mereka mendapat apa yang mereka inginkan. Seperti datang kepadada
dukun untuk meminta anak atau memiliki pasangan hidup.
Sebenarnya menjalankan tradisi itu tidak ada masalahnya asal mereka
dapat memilah mana yang benar dan mana yang bersifat menyekutukan Allah.
Adanya syariat tidak berupaya menghapuskan tradisi atau adat istiadat, Islam
menyaringi tradisi tersebut agar setiap nilai-nilai yang dianut dan diaktualisasikan
oleh masyarakat setempat tidak bertolakbelakang dengan syariat. Sebab tradisi
yang dilakukan oleh setiap suku bangsa yang nota bene beragama Islam tidak
boleh menyelisihi syariat. Karena kedudukan akal tidak akan pernah lebih utama
dibandingkan wahyu Allah Ta’ala. Inilah pemahaman yang esensi lagi krusial
yang harus dimiliki oleh setiap Muslim. Keyakinan Islam sebagai agama universal
dan mengatur segala sendi-sendi kehidupan bukan hanya pada hubungan
transendental antara hamba dan pencipta tetapi juga aspek hidup lainnya seperti
ekonomi, sosial, budaya, politik dan lain sebagainya. Terkadang pemahaman
parsial inilah yang masih diyakini oleh ummat Islam. Oleh karena itu, sikap
syariat Islam terhadap adat-istiadat senantiasa mendahulukan dalil-dalil dalam Al-
Qur’an dan Hadist dibanding adat atau tradisi.
Perlu adanya kesadaran dari masyarakat masing-masing adalah hal utama
untuk merubah diri ke jalan yang lebih baik. Sebanyak apapun orang lain
menasihati kita, jika memang tidak adanya kesadaran terhadap diri sendiri maka
akan sia-sia. Ketika kita berpikir bahwa kita tidak suka hidup kita diurusi oleh
orang lain, tidakkah kalian pernah berpikir jika kalian adalah salah satu diantara
beratus juta orang yang melontarkan kalimat seperti itu ketika dinasihati? Maka
perlunya kepedulian terhadap orang lain juga sangat diperlukan pada masyarakat.
Tidak hanya itu, tetapi batasan dalam melakukan suatu hal juga
diperlukan. Bukan hanya untuk agama Islam tetapi universal. Ketika kalian terlalu
percaya kepada diri sendiri tentu saja harus ada batasan karena kita tidak bisa
hidup individualis selamanya. Akan ada masa ketika kita membutuhkan orang
lain, maka dari itu batasan atas perilaku sangat diperlukan dalam membentuk diri
yang mengarah kepada kebaikan.
Hal yang dianggap taboo oleh masyarakat modern sendiri sudah jelas tidak
masuk akal. Contohnya seperti upacara pernikahan yang melibatkan tarub atau
janur kuning yang melambangkan suami yang akan menjadi kepala rumah tangga
yang baik dan pasangan yang akan hidup baik dan bahagia dimanapun mereka
berada. Menurut kami, hal tersebut adalah cara peng implemnatsian sifat syirik
yang mengharapkan bahwa suatu stigma tentang hidup bahagia akan didapatkan
dengan memasang janur kuning tersebut. Mungkin masyarakat awam tidak tahu
akan hal ini, tetapi perbuatan itu sudah termasuk sebagai penyekutuan pada Allah.
Berbicara tentang adat-istiadat bukan lagi sesuatu yang langka bagi
masyarakat Indonesia. Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa
istilah adat istiadat mengacu pada tata kelakuan yang kekal dan turun temurun
dari generasi ke generasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan
pola-pola perilaku masyarakat. Adapun makna lainnya adat-istiadat disebut
sebagai suatu hal yang dilakukan berulang-ulang secara terus menerus hingga
akhirnya melekat, dipikirkan dan dipahami oleh setiap orang tanpa perlu
penjabaran.
Kaitannya dengan Hukum Bid’ah Ad-dien adalah adat istiadat yang
didalamnya bersifat menyekutukan Allah adalah musyirik, karena Segala bentuk
bid’ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana dalam
surah Al-Ahzab,

ِ ‫ۗ َو َمن يَع‬ ‫ضى هَّللا ُ َو َرسُولُهُ أَ ْمرًا أَن يَ ُكونَ لَهُ ُم ْال ِخيَ َرةُ ِم ْن أَ ْم ِر ِه ْم‬
َ ‫ْص هَّللا‬ َ َ‫َو َما َكانَ لِ ُم ْؤ ِم ٍن َواَل ُم ْؤ ِمنَ ٍة إِ َذا ق‬
]٣٣:٣٦[ ‫ضاَل اًل ُّمبِينًا‬ َ ‫َو َرسُولَهُ فَقَ ْد‬
َ ‫ض َّل‬
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa
yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah tersesat,
sesat yang nyata.” (QS.Al-Ahzab:36)
Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan kepada kita untuk berIslam
secara kaffah yaitu secara batin dan dzahir. Seorang muslim tidak mencukupkan
dirinya pada aspek ibadah, tetapi lalai pada persoalan akidah, pun demikian pula
sebaliknya memahami aqidah tetapi lalai dari sisi ibadah. Seorang muslim juga
tidak boleh lalai dalam memperhatikan akhlaknya kepada Allah dan pada sesama
manusia. Akhlak kepada Allah inilah yang dibuktikan dengan sikap menerima,
mentaati syariat Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. jiJka
hal ini bisa teraktualisasi pada diri seorang muslim maka tidak akan kita temukan
lagi sikap menolak pada syariat baik yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah
NabiNya.

2.2 Solusi dan Kontribusi


Menurut kami, solusi terutama ialah berawal dari diri sendiri. Seperti apa
yang sudah dijelaskan tadi, jika dari sendiri saja tidak ada kesadaran maka faktor
eksternal pun tidak bisa mendorongnya keluar dari lubang buruk mereka.
Selanjutnya adalah mengingatkan satu sama lain. Kami sudah menjelaskan bahwa
manusia adalah makhluk sosial yang perlu menusia lain. Maksudnya adalah kita
manusia sebagai makhluk sosial perlu merangkul satu sama lain, membantu satu
sama lain demi memenuhi tujuan hidup yang mengarah pada tujuan baik.
Melakukan tradisi memang tidak ada larangannya, tetapi lebih baik jika kita bisa
memilah mana yang benar dan mana yang tidak, dan perlunya batasan agar
perlakuan kita masih dinilai sebagai masyarakat yang hanya ingin melestarikan
budaya setempatnya tetapi tidak mengarahkan hal tersebut pada Bid’ah Ad-dien.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Masalah utama dalam masalah ini adalah masyarakat yang kurang bisa
sadar akan hal baik dan buruk. Hukum Bid’ah sendiri sudah menekankan bahwa
setiap ibadah atau kegiatan yang tidak diperintahkan tetapi dikerjakan tidak akan
diterima. Maka dari itu, masih banyak kesalahan penafsiran yang malah
memunculkan stigma akan tradisi yang sudah jelas salah diebenarkan karena
paham akan melestarikan budaya itu diperbolehkan. Sehingga, dibutuhkannya
peran-peran masyarakat yang memiliki ilmu lebih akan agama di lingkungan
sekitarnya. Hukum dari Bid’ah Ad-dien sendiri haram jika dijalankan, maka dari
itu kita sebagai sesama umat Islam harus mengingatkan satu sama lain agar kelak
di akhirat semuanya dapat dieprtanggungjawabkan dengan lancar atas nama umat
Islam.
3.2 Saran
Kami harap, dengan selesainya makalah ini dapat membantu pembaca
maupun penyusun dalam memelihara dan mendapatkan ilmu-ilmu berkaitan
dengan akhlak untuk diri sendiri maupun orang lain. Walaupun kita hanya
makhluk biasa dan tidak sesempurna Nabi Muhammad SAW, setidaknya kita
termasuk ke dalam golongan kaumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Tharsyah, A. 2006. Yang Disukai Nabi dan yang Tidak. Jakarta: Gema Insani
Srijanti, dkk. 2006. Etika Membangun Masyarakat Islam Modern. Yogyakarta:
Graha Ilmu
Suyudi, M. 2005. Pendidikan dalam Perspektif Al quran. Yogyakarta: Mikraj
Supani. 2008. Problematika Bid’ah. Media Neliti. 9(2): 3-5
Abdul, A. 2016. Sejarah Bid’ah. Journal Uinsgd. 1(2): 211-226
Fauziah Ramdani. 2018. Menyikapi Tradiai dalam Perspektif Islam. Wahdah.
2(3): 3-5
Muhammadin, M. 2016. Sikap Ulama Salaf Terhadap Ahlul Bid’ah. Jurnal Ilmu
Agama. 15(2): 117-125

Anda mungkin juga menyukai