Anda di halaman 1dari 8

TUGAS METODOLOGI PENELITIAN

PENYUSUNAN PROPOSAL SKRIPSI BAB II (KAJIAN PUSTAKA)

DISUSUN OLEH

NAMA : TUTI HANDAYENI

NIM : E1A017078

KELAS : C/VI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MATARAM

2020
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Peta Literatur

A. Kajian tentang Tanaman Ketumpang Air


1. Klasifikasi
Klasifikasi tanaman ketumpang air (Peperomia pellucida) adalah sebagai berikut
(Majumder et al, 2011: 359):
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Magnoliidae
Ordo : Piperales
Famili : Piperaceae
Genus : Peperomia Ruiz & Pavon
Spesies : Peperomia pellucida
2. Habitat dan Morfologi
Ketumpang air (Peperomia pellucida) atau nama lainnya sirih cina merupakan
tumbuhan yang sangat mudah tumbuh di berbagai tempat terutama di daerah tropis
yang lembab. Htet dan Kaing (2016: 107) menyatakan bahwa pada umumnya
tumbuhan obat ini memiliki tinggi 6-45 cm dengan batang dasar yang tegak, namun
terkadang lurik, epifit (tanaman yang dapat tumbuh menumpang dengan tanaman lain,
tanpa mengambil unsur hara pada tanaman yang ditumpanginya). Daunnya sederhana,
dengan panjang yang sama dengan lebar sekitar 0,3-4 cm, tangkai daun bulat dengan
galur yang membujur dengan panjang sekitar 0,1-0,7 cm, berdaging, oval, bersegitiga,
daun melebar pada pangkal dan mengerucut pada ujungnya bertepi secara
keseluruhan, 3-5 urat daun dari pangkal, bunga tumbuh tegak ke atas berlawanan arah
dengan tumbuhnya daun, dengan panjang sekitar 0,8-9,2 cm.

Tanaman ini memiliki bunga simetris (zygomorf), mempunyai sifat kedua


jenis kelamin (biseksual), berwarna krem. Perbungaan dengan daun-daun
pelindung yang mengecil dan berbentuk khas, dengan panjang sekitar 0,2-0,8 mm,
tidak memiliki kelopak, memiliki dua serbuk sari, filament (tangkai sari) yang
pendek, dengan ujung yang lonjong, berkeping satu, dikotil ovarium superior, satu
stigma, buah bulat berukuran 0,8 mm, berwarna hijau dan berangsur menghitam
saat menjelang matang, biji dengan endosperma dengan panjang 0,7 mm, berwarna
hitam. Tumbuhan ini berbuah dan berbunga pada periode bulan Juni hingga
Desember (Htet & Khaing, 2016: 107).

3. Manfaat

Hariana (2015: 361) menyatakan bahwa “seluruh bagian tanaman


dimanfaatkan sebagai obat untuk mengatasi beragam penyakit seperti, luka bakar dan
terpukul, penyakit ginjal, sakit kepala, dan demam. Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Salma dkk (2013: 122), melaporkan bahwa “tanaman ini dapat menurunkan
kadar glukosa darah tikus yang hiperglikemia akibat diinduksi sukrosa”.

Ekstrak daun dari tanaman ini juga dapat dimanfaatkan sebagai antikanker dan
antibakteri (Wei et al., 2011: 673). Daun ketumpang air yang memiliki aktivitas
antibakteri ini mampu menghambat pertumbuhan. Dalam sumber lain, Wulandari dan
Isna (2017: 38) menyatakan bahwa “ekstrak daun Peperomia pellucida mampu
menghambat pertumbuhan Klebsiella pneumonia penyebab penyakit infeksi saluran
pernapasan”. Ekstrak daun tanaman ini juga dapat menghambat pertumbuhan
Propionibacterium acnes yang merupakan bakteri penyebab jerawat dengan baik pada
konsentrasi tertentu sebagaimana yang diungkapkan oleh Mayefis dkk (2020: 40).

4. Kandungan Kimia

Wulandari dan Isna (2017: 34) mengungkapkan bahwa “ketumpang air


memiliki kandungan senyawa aktif yang terkandung diantaranya adalah tanin dan
flavonoid, dimana kedua senyawa ini dapat berperan sebagai antimikroba.

a. Tanin

Tanin adalah salah satu senyawa aktif metabolit sekunder yang mempunyai
beberapa khasiat seperti sebagai astringen, anti diare, antibakteri dan antioksidan
(Fathurrahman & Ida, 2018: 450). Tanin memiliki kemampuan bakteriostatik dan
bakteriosid, gallotanin merupakan bagian dari senyawa tanin terhidrolisis yang
merupakan komponen aktif senyawa etanolik. Mekanisme antibakteri tanin antara
lain menghambat enzim ektraseluler bakteri, mengambil alih substrat yang
dibutuhkan pada pertumbuhan bakteri, atau bekerja langsung pada metabolisme
dengan cara menghambat fosforilasi oksidasi (Handoko dkk, 2019: 16-17).

b. Flavonoid

Flavonoid merupakan salah satu senyawa polifenol yang mempunyai sifat


antioksidan. Antioksidan merupakan senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu
atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat
diredam dan tidak merusak sel tubuh (Dewi dkk, 2018: 1). Flavonoid memiliki peran
yang sama halnya seperti tanin, sebagai antibakteri. Mekanisme kerja senyawa
flavonoid sebagai antibakteri adalah flavonoid mampu melepaskan energi tranduksi
terhadap membrane sitoplasma bakteri serta menghambat motilitas bakteri (Handoko
dkk, 2019: 17). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sukadana (2010: 63),
menyatakan bahwa flavonoid yang banyak tersebar luas pada tanaman, memiliki
berbagai mekanisme kerja dalam menghambat pertumbuhan bakteri, yang dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri.

B. Kajian tentang Staphylococcus aureus


1. Klasifikasi
Menurut Syahrurachman dkk (2010: 125), klasifikasi Staphylococcus aureus adalah
sebagai berikut:
Domain : Bacteria
Kingdom : Eubacteria
Ordo : Eubacteriales
Famili : Micrococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus
2. Morfologi

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram-Positif berbentuk bulat


berdiameter 0,8-1,0 μm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur
seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak.
Berdasarkan bakteri yang tidak membentuk spora, maka S. aureus termasuk jenis
bakteri yang paling kuat daya tahannya. Pada agar miring dapat tetap hidup sampai
berbulan-bulan, baik dalam lemari es maupun pada suhu kamar. Dalam keadaan
kering pada benang, kertas, kain dan dalam nanah dapat tetap hidup selama 6-14
minggu (Syahrurachman dkk, 2010: 125).
3. Patogenisitas

Sebagian bakteri S.aureus merupakan flora normal pada kulit, saluran


pernafasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Bakteri ini juga
ditemukan di udara dan lingkungan sekitar. S. aureus yang patogen bersifat invasif,
menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan manitol.
S.aureus yang terdapat di folikel rambut menyebabkan terjadinya nekrosis pada
jaringan setempat (Jawetz et al, 2008: 228).

Toksin yang dihasilkan dari S.aureus (Staphilotoksin, Staphylococcal


enterotoxin, dan Exfoliatin) memungkinkan organisme ini untuk menyelinap pada
jaringan dan dapat tinggal dalam waktu yang lama pada daerah infeksi, menimbulkan
infeksi kulit minor. Lebih lanjut Syahrurachman dkk (2010: 131-132) mengemukakan
bahwa koagulasi fibrin di sekitar lesi dan pembuluh getah bening, sehingga terbentuk
dinding yang membatasi proses nekrosis. Selanjutnya disusul dengan sebukan sel
radang, di pusat lesi akan terjadi pencairan jaringan nekrotik, cairan abses ini akan
mencari jalan keluar di tempat yang resistensinya paling rendah. Keluarnya cairan
abses diikuti dengan pembentukan jaringan granulasi dan akhirnya sembuh.

C. Kajian tentang Antibakteri


1. Pengertian

Antibakteri adalah zat yang menekan pertumbuhan atau reproduksi bahkan


membunuh bakteri. Antibakteri terbagi menjadi duaberdasarkan mekanisme kerjanya,
yaitu bakteriostatika yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri dan bakterisida
yang bersfat membunuh bakteri (Rollando, 2019: 24). Antibakteri dapat memiliki
aktivitas bakteriostatika menjadi bakteri bakterisida apabila kadarnya ditingkatkan
melebihi kadar hambar minimal (KHM).

2. Target Mekanisme
Rollando (2019: 24-25) menjelaskan bahwa target mekanisme antibakteri adalah
sebagai berikut:
a) Perusakan dinding sel
Struktur sel dirusak dengan menghambat pada saat pembentukan atau setelah
proses pembentukan dinding sel. Seperti antibiotika penisilin yang menghamat
pembentukan dinding sel dengan cara menghambat pembentukan mukopeptida
yang diperlukan untuk sintesis dinding sel.
b) Pengubahan permeabilitas sel
Kerusakan pada membrane sitoplasma akan menghambat pertumbuhan sel, karena
membrane sitoplasma berfungsi mempertahankan bagian-bagian tertentu dalam sel
serta mengatur aktivitas difusi bahan-bahan penting serta membentuk integritas
komponen seluler.
c) Penghambatan kerja enzim
Penghambatan enzim akan menyebabkan aktivitas selular tidak berjalan normal.
Seperti sulfonamide yang bekerja dengan bersaing dengan PABA, sehingga dapat
menghalangi sintesis asam folat yang merupakan asam amino essensial yang
berfungsi dalam sintesis purin dan pirimidin.
d) Penghambatan sintesis asam nukleat dan protein
DNA dan RNA yang mempunyai peran sangat penting sebagai bahan baku
pembentukan sel bakteri. Penghambatan DNA dan RNA akan mengakibatkan
kerusakan pada sel.
e) Pengubahan molekul protein dan asam nukleat
Suatu sel hidup tergantung pada terpeliharanya molekul-molekul protein dan asma
nukleat dalam keadaan alamiahnya. Suatu antibakteri dapat mengubah keadaan ini
dengan mendenaturasi protein dan asam nukleat sehingga merusak sel secara
permanen.
D. Kajian tentang Uji Aktivitas Antibakteri
Aktivitas antibakteri senyawa dapat diuji dengan menggunakan metode dilusi dan difusi.
1. Metode Dilusi

Metode ini adalah metode untuk menguji daya antibakteri berdasarkan


penghambatan pertumbuhan mikroorganisme pada media cair setelah diberi zat
antimikroba atau media padat yang dicairkan setelah setelah dicampur dengan zat
antimikroba dengan pengamatan pada dilusi cair dilihat kekeruhannya, sednagkan
pada dilusi padat dnegan pengamatan konsentrasi terendah yang menghambat
pertumbuhan mikroorganisme. Biasanya metode ini digunakan untuk zt antimikroba
yang dapat larut sempurna Rollando, 2019: 26).

2. Metode Difusi

Metode ini adalah sutau metode untuk menguji daya antibakteri berdasarkan
berdifusinya zat antimikroba dalam media padat dengan pengamatan pada daerah
pertumbuhan. Biasanya metode ini digunakan untuk zat antimikroba yang larut dan
tidak larut. Metode ini berdasarkan pencadangannya terdiri atas metode difusi dengan
sumuran, metode difusi dengan silinder/cakram dan metode dengan parit. Disk
diffusion (Kirby-Bauer test) dilakukan dengan cara meletakkan piringan (disk) yang
mengandung senyawa antimikroba pada permukaan media terinokulasi mikroba uji.
Selama inkubasi, senyawa antimikroba tersebut akan berdifusi ke dalam media agar.
Efektivitas senyawa antimikroba ditandai dengan adanya zona hambat yang terbentuk
di sekeliling disk setelah inkubasi. Semakin luas zona hambatnya maka semakin
sensitif senyawa tersebut (Rollando, 2019: 26-27).

Metode difusi dilakukan dengan melubangi media yang tekah diinokulasi


dengan perforator dan zat uji diletakkan di dalamnya. Metode difusi parit adalah
metode dengan membuat parit sepanjang diameter media padat dan zat uji diletakkan
pada parit tersebut kemudian diinkubasi dengan bakteri pada bagian kiri dan kanan
parit. Metode ini digunakan untuk sediaan uji dalam bentuk krim atau salep
(Rollando, 2019: 26-27).

Anda mungkin juga menyukai