Anda di halaman 1dari 45

BAB II

PEMBAHASAN

A. IBU HAMIL DENGAN MASALAH GIZI

1. Masalah Gizi Pada Ibu Hamil

Gizi adalah asupan makanan yang berhubungan dengan kebutuhan diet tubug
seeorang.Gizi pada ibu hamil diketahui dengan cara mengukur lingkar lengan atas
(lila).Minimal lila seorang wanita jika ingin hamil adalah 23,5 cm sudah siap hamil karena
cadangan energinya cukupuntuk janin.Nutrisi ibu hamil agar perkembangan janin berjalan
dengan baik,dan ibu hamil dapat menjalani hari-hari kehamilannya dengan sehat,makana
yang di konsumsi ibu hamil harus mengandung gizi sebagainberikut:

a) Kalori
b) asam folat
c) Protein
d) Kalsium
e) vitamin A
f) zat besi
g) vitamin C
h) vitamin D

Kehamilan adalah proses pemeliharaan janin dalam kandungan yang disebabkan


pembuahan sel telur oleh sel sperma.Pada saat hamil akan terjadi perubahan fisik dan
hormon yang sangat berubah drastis.Proses kehamilan adalah mata rantai yang
berkesinambungan yang terdiri atas ovulasi pelepasan ovum,terjadi konsepsi dan
pertumbuhan zigot,terjadi implantasi pada rahim,pembentukan plasenta,tumbih kembang
hasil konsepsi sampai kehamilam matur/aretn.

Status gizi ibu sebelum dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang
sedang di kandung.Kualitas bayi yang di kandung sangat bergantung pada keadaan gizi ibu
sebelum dan saat mengandung.Seorang ibu hamil akan melahirkan bayi yang sehat bila
tingkat kesehatan dan gizinya berada pada kondisi yang baik.Namun sampai saat ini masi
banyak ibu hamil yang mengalami masalah gizi khususnya gizi kurang seperti anemia
gizi.Sebagian besar penyebab anemia di indonesia adalah kekurangan zat besi yang berasal
dari makanan yang di makan setiap hari dan di perlukan untuk pembentukan hemoglobin
sehingga di sebut “anemia kekurangan besi “.

Makanan yang banyak mengandung zat besi adalah bahan makanan yang berasal dari
daging hewan.Selain itu,sarapan zat besi dari sumber tersebut sebesar 20-30%.Namun
biasanya ibu hamil enggan makan daging,ikan,hati,atau makanan hewani lainnya dengan
alasan yang tidak rasional.Kekurangan besi dalam tubuh disebabkan karena kekurangan
konsumsi mkanan kaya besi,terutama yang berasal dari hewani.Kekurangan besi karena
kebutuhan yang meningkat seperti pada kehamilan.Peningkatan ini dimaksudkan untuk
memasok kebutuhan janin untuk bertumbung karena pertumbuhan janin memerlukan banyak
sekali zat besi.

2. Masalah Gizi Pada Ibu Hamil


1. anemi gizi

Anemia pada ibu hamil umumnya diakibatkan oleh masalah kekurangan gizi. Anemia
yang dialami ibu hamil juga cenderung dipengaruhi oleh perubahan hormon tubuh yang
mengubah proses produksi sel-sel darah.

a. Jenis anemia pada ibu hamil yang sering dialami

1) Anemia defisiensi zat besi

Seperti yang telah diuraikan di atas, anemia pada ibu hamil paling sering disebabkan oleh
masalah kekurangan zat besi. Anemia ini disebut dengan anemia defisiensi zat besi.

Zat besi diperlukan untuk membantu tubuh memproduksi sel darah merah segar yang
kaya oksigen dan nutrisi. Aliran darah, oksigen, serta nutrisi sangat penting untuk
mendukung proses tumbuh kembang janin dan memelihara kondisi plasenta tetap optimal.

Penyebab utama dari anemia pada ibu hamil jenis ini adalah kurang makan makanan kaya
zat besi, sejak dari sebelum dan semasa hamil.
Namun, mendapatkan asupan zat besi bagi anemia pada ibu hamil dari makanan saja tidak akan
cukup untuk memenuhi kebutuhan Anda sepanjang kehamilan.Kenyataannya, ketika hamil
volume darah akan bertambah hingga 50 persen untuk bisa mencukupi keperluan diri sendiri
dan janin yang sedang tumbuh. Itu kenapa kebutuhan zat besi harian tubuh juga harus
dipenuhi lewat suplemen zat besi, agar terhindari dari anemia pada ibu hamil.

2) Anemia defisiensi folat

Anemia defisiensi folat terjadi ketika tubuh kekurangan asupan asam folat (vitamin B9)
dari makanan. Anemia pada ibu hamil jenis ini juga bisa terjadi akibat malabsorpsi.

Malabsorpsi artinya tubuh tidak dapat menyerap asam folat secara efektif sebagaimana
mestinya. Hal ini biasanya disebabkan oleh gangguan pencernaan, seperti penyakit celiac.

Asam folat adalah vitamin yang penting untuk menjaga kesehatan agar menghindari
anemia apda ibu hamil. Fungsi asam folat adalah untuk membentuk protein baru di dalam
tubuh yang menghasilkan sel darah merah dan membentuk DNA pada janin.

Mencukupi kebutuhan asam folat dapat mencegah risiko bayi terlahir mengalami cacat
tabung saraf seperti spina bifida dan anencephaly hingga 72 persen.

3) Anemia defisiensi vitamin B12

Vitamin B12 diperlukan tubuh untuk membantu produksi sel darah merah. Jika ibu hamil
kurang mengonsumsi makanan tinggi vitamin B12, gejala anemia pada ibu hamil bisa
muncul sebagai akibatnya.

Gangguan pencernaan seperti penyakit celiac dan Crohn juga dapat mengganggu kerja
tubuh menyerap vitamin B12 dengan baik. Selain itu, kebiasaan minum alkohol saat hamil
juga dapat menyebabkan anemia pada ibu hamil jenis defisiensi vitamin B12.

2. Kekurangan Yodium
Yodium adalah zat mineral yang sangat berperan dalam memproduksi hormon tiroid.
Sementara, hormon tiroid merupakan hormon yang memegang peran penting dalam
perkembangan otak dan organ tubuh, pertumbuhan anak, pencernaan dan metabolisme
makanan, mengatur suhu tubuh, dan mengendalikan kontraksi otot.

Ketika masa kehamilan tiba, yodium bertanggung jawab atas perkembangan otak dan
saraf serta pertumbuhan janin. Dengan jumlah yodium yang cukup, sel saraf bayi dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik. Sebaliknya, kekurangan yodium saat hamil akan
membuat janin tidak tumbuh dan berkembang dengan sempurna, sehingga menyebabkan
bayi lahir cacat dan berat badan lahir rendah. Selain itu, kekurangan yodium saat hamil juga
dapat menyebabkan ibu mengalami keguguran atau bayi lahir mati.

kebutuhan yodium pada wanita normal adalah 150 mcg per hari. namun ketika wanita
tersebut memasuki masa kehamilan, maka kebutuhannya naik 70 mcg, menjadi 220 mcg per
hari. Peningkatan kebutuhan ini dilakukan untuk mencegah ibu mengalami kekurangan
yodium saat hamil. 

Saat masa kehamilan tiba, yodium tidak hanya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
sang ibu saja, namun yodium juga bertanggung jawab untuk perkembangan otak, sistem
saraf, serta pembentukan hormon tiroid janin.Bahkan pentingnya yodium bagi ibu hamil
sudah dibuktikan dalam sebuah penelitian yang dimuat dalam jurnal The Lancet tahun 2013.
Penelitian ini menyatakan bahwa ibu hamil yang diberikan asupan yodium yang baik akan
memiliki anak dengan kemampuan membaca dan berbicara lebih baik ketimbang ibu hamil
yang mengalami kekurangan yodium.Makanan yang tinggi yodium memang yodium telah
ditambahkan ke dalam garam dapur agar masyarakat Indonesia tidak mengalami kekurangan
yodium. Namun, bukan berarti menjadi meningkatkan penggunaan garam pada masakan.
Hal itu hanya akan menimbulkan dampak buruk bagi ibu dan sang bayi yang ada di dalam
kandungan.

yodium di beberapa sumber makanan seperti:

 Makanan laut: ikan salmon, berbagai macam kerang.


 Produk susu: susu sapi, yogurt, keju.
 Sumber makanan lainnya: telur ayam, daging sapi, daging ayam, berbagai kacang-
kacangan.

3. Faktor Yang Mempengaruhi Masalah Gizi Pada Ibu Hamil

Menurut arisman terdapat beberapa faktor penyebab yang mempengaruhi gizi ibu,di antaranya
adalah tingkat pendidikan,umur,ibu hamil yang bekerja dan paritas.

a) Pendidikan

pendidikan formal merupakan jalur pendidikan yang berstuktur dan berjenjang yang
terdiri atas pendidikan dasar,pendidikan menengah,dan pendidikan tinggi.Dengan
pendidikan tinggi maka seseorang cenderung mendapatkan informasi baik dari tinggakat
pendidikan baik dan orang lain maupun media.Pendidikan dapat mempengaruhi pola makan
ibu hamil,tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapan pengetahuan dan informasi
tentang gizi yang dimiliki lebih baik sehingga bisa menentukan asupan gizinya.Pendidikan
formal dari ibu rumah tangga sering kali mempunyai asosiasi yang positif dengan
pengembangan pola asumsu makanan dalam keluarga.Bagi masyarakat yang berpendidikan
tinggi dan cukup tentang gizi,banyak menggunakan pertimbangan dengan rasional dan
pengetahuan tentang nilai gizi makanan.

Tingkat pendidikan yang tinggi memudahkan ibu hamil dalam menerima informasi
kesehatan khususnya dalam bidang gizi,namun apabila tidak menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari secata benar maka tidak akan mengubah kondisi kesehatan
seseorang.Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya prilaku
seseorang.Prilaku dan tindakan yang dihasilkan pada pengetahuan dan kesadaran yang
terbentuk melalui prosen pembelajaran dan prilaku ini diharapkan akan berlangsung lama
dan menetap karena didasari olehkesadaran.Ibu hamil tidakhanya mnedapatkan informasi
kehamilan dari bangku sekolah,namun juga dari berbagai sumber,salah satu nya yaitu saat
kunjungan kehamilan di puskesmas,kelas ibu hamil atau saat posyandu.Selain itu,hal ini bisa
di karenakan ibu-ibu telah mempunyai pengetahuan akan pentingnya zat besi tanpa
mengenal tahapan pendidikan.Di samping itu setiap kali mendapatkan pelayanan
kesehatan,para tenaga kesehatan memberikan pengarahan mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan gizi ibu saat hamil.Kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya
gizi sangat kurang.Oleh karena itu upaya peningkatan pengetetahuan dan pendididkan gizi
kepada masyarakat perlu di jadikan prioritas dan mendapat dukungan dari beberapa sektor
termasuk dari masyarakat.

b) umur

Umur seorang ibu berkaitan dengan perkembangan organ reproduksinya.Umur seorang


ibu yang sehat dan aman adalah 16-35 tahun.Umur tersebut baik untuk terjadinya
kehamilan.Sehingga bnyak ibu yang hamil umur 16-35 tahun di mana organ reproduksinya
sangat subur dan aman untuk kehamilan dan persalinan.

Kehamilan kurang dari umur 16 tahun organ reproduksinya belum siap untuk terjadinya
proses pembuahan.Kehamilan di usia ini secara biologis belum optimal emosinya cenderung
labil,mentalnya belum matang sehingga mudah mengalami guncangan yang mengakibatkan
kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi selama kehamilannya.

Sendangkan kehamilan di atas umur 35 menjadi masalah karena akan terjadi penurunan
fungsi dari organ yaitu melalui proses penuaan seiring bertambahnya umur.Adanya
kehamilan membuat seorang ibu memerlukan tambahan energi untuk kehudupannya dan
kehidupan janin yang sedang di kandungnya.Selain itu pada ;proses kelahiran di perlukan
tenaga yang lebih besar,ditambah dengan kelenturan jalan lahir yang dengan bertambahnya
umut maka keelastisannya semakin berkurang.Kemudian pada ibu hamil dengan dengan
umur lebih dari 35 tahun hal ini terjadi karena pengaruh turunnya cadangan zat besi dalam
tubuh akibat masa fertilisasi.

c) Pekerjaan

Salah satu kemungkinan terjadinya masalah gizi adalah pekerjaan,dengan adanya


peningkatan beban kerja akan mempengaruhi kesehatan atau mengenai gizi saat
kehamilan.Pada ibu hamil yang bekerja memiliki beban kerja ganda yaitu sebagai ibu rumah
tangga dan sebagai ibu pekerja.Ibu yang mempunyai pekerjaan tetap akan mempengaruhi
kesempatan untuk memeriksakan kehamilannya,penyebabnya karena mereka lebih
mengutamakan pekerjaan dalam rangka mencukupi kebutuhan hidup.Hal ini berdampak
pada dengan tidak adanya waktu ibu untuk memeriksakan kehamilannhya.Padahal pekerjaan
ibu rumah tangga sudah termasuk berat melipiti mencuci,mengepel,memasak,membersihkan
lingkungan rumah serta ditambah dengan pekerjaan di luar rumah yang menuntut ibu untuk
bekerja dalam waktu lama.Hal ini dapat menyebabkan ibu kelehan dan dapat menggu proses
kehamilan.Tingkat pendapatan keluarga mempengaruhi pemilihan bahan makanan yang
akan di konsumsi selama kehamilan yang berdampak pada status gizi pada ibu
hamil.Pekerjaan merupakan salah satu untuk mengukut tingkat kesehatan.Pekerjaan dapat
mempengaruhi pendapatan yang mana pendapatan mempengaruhi nutrisi yang akan dibeli
maupun di peroleh ibu hamil.Ibu hamil yang tidak bekerja biasanya pendapatan lebih rendah
dibandingkan ibu yang bekerja sehingga mereka kurang mempunyai akses untuk membeli
makanan yang cukup mengandung zat besi.

d) Paritas

Paritas menunjukan jumlah anak yang pernah dilahirkan oleh seorang wanita.Semakin
banyak jumlah kehamilan,baik bayi yang dilahirkan dalam keadaan hidup atau mati dapat
mempengaruhi status gizi ibu hamil.

Paritas menunjukan jumlah anak yang dilahirkan terdahulu dan telah dilahirkan,tanpa
memngingat jumlah anaknya.Kelahiran kembar tiga hanya dihitung satu paritas.Seorang
primipara adalah seorang wanita yang pernah melahirkan satu kali,tanpa mengingat janinya
hidup atau mati saat lahir.Primipara meliputi wanita yang sedang dalam proses melahirkan
anak pertama.Multipara adalah wanita yang telah mengalami dua atau lebih
kehamilan.Seorang wanita yang hamil untuk pertama kali disebut para 0,dan akan tetap
disebut para 0 bila terjadi kehamilan kemudian abortus.

Seorang ibu yang pernah memiliki masalah gizi pada kehamilan pertama,akan mudah
terkena masalah gizi pada kehamilan berikutnya jika tidak memperhatikan kebutuhan
nutrisi.Wanita yang sering mengalami kehamilan dan melahirkan semakin mudah terkena
masalah gizi karena bnyak kehilangan zat besi,hal ini disebabkan karena selama kehamilan
wanita menggunakan cadangan zat besi yang ada didalam tubuhnya.

B. IBU HAMIL DENGAN RESIKO TINGGI LAIN. (PERDARAHAN, HIPERTENSI


DAN INFEKSI)
1. Perdarahan
a. Perdarahan pervginam
Pervaginam artinya lewat vagina (Doorland, 2005). Sering kali dalam
bidang kebidanan, istilah perdarahan pasca persalinan, diatikan sebagai suatu
perdarahan pervaginam yang melebihi 500ml.
pengertian ini mengandung beberapa hal yang perlu dibicarakan, sebagai
berikut :
 Kehilangan darah yang diperkirakan, lazimnya tidak sebanyak yang
terjadi, mungkin hanya sebagian dari yang biasanya. Darah tersebut
bercampur dengan cairan amnion atau dengan urin. Disamping itu, darah
juga tersebar pada spon, handuk, kain, dan didalam ember dan lantai.
Volume darah yang hilang bervariasi sesuai dengan kadar hemoglobin ibu.
Seorang ibu yang kadar Hbnya normal, umunya dapat menyesuaikan diri
terhadap darah yang hilang. Hal seperti iu dapat juga menyebabkan
terjadinya anemia. Jadi, seorang ibu yang tidak memiliki anemia dapat
juga berakibat berbahaya akibat kehilangan darah tersebut.
 Mengenai peristiwa perdarahan dapat terjadi dengan lambat dengan jangka
waktu beberapa jam. Keadaan seperti ini, dapat saja tidak diketahui sampi
terjadi syok.
 Adapun mengenai penilaian resiko pada saat antenatal, tidak dapat
diperkirakan terjadinya perdarahan pasca persalinan. Oleh karena itu,
penanganan yang aktif kala III sebaiknya dilakukan pada semua wanita
yang bersalin hal ini dikarnakan bahwa kondisi posisi tersebut dapat
menaikan kejadian perdarahan pasca persalinan sebagai akibat adanya
Antonia uteri. Oleh kerena itu, semua ibu pasca bersalin harus dipantau
dengan serius untuk didiagnosis perdarahan pasca persalinan.
Perdarahan melalui vagina pada kehamilan jarang sekali merupakan hal
yang normal. Pada saat yang dini dalam masa kehamilan, para ibu mungkin akan
melihat adanya perdarahan sedikit atau bintik darah sekitar waktu pertama kali
haid mereka berhenti. Perdarahan ini adalah perdarahan implementasi
(penanaman) dan hal itu adalah normal. Cara mendeteksinya seorang bidan harus
meminta ibu untuk menjelaskan sifat-sifat perdarahannya, kapan mulai terjadi
flek, berapa banyak darah yang sudah hilang, apa warna darah tersebut, adakah
gumpalan darah beku dan lain-lain. Pada waktu-waktu lain dalam masa
kehamilan, perdarahan ringan mungkin bisa merupakan suatu pertanda dari cervix
yang rapuh.
Perdarahan jenis ini bisa merupakan hal yang normal atau bisa juga
sebagai pertanda adanya infeksi. Cara pengumpulan datanya lakukan pemeriksaan
tekanan darah, suhu, denyut, serta tonus jantung bayi. Pada awal kehamilan,
perdarahan yang tidak pernah boleh dianggap normal adalah perdarahan yang
merah, berat dan menyakitkan.
Perdarahan seperti ini bisa menjadi pertanda telah terjadi abortus
kehamilan, atau kehamilan ektopik. Tugas bidan adalah melakukan pemeriksaan
luar, raba dan rasakan kelembutan abdominal bagian bawah, lakukan pemeriksaan
inspekulo (jika memungkinkan). Pada usia kehamilan selanjutnya, perdarahan
abnormal adalah merah, banyak dan kadang-kadang walaupun tidak selalu,
bertalian dengan rasa nyeri. Perdarahan jenis ini bisa menjadi pertanda adanya
placenta previa atau placenta abruption. Pada kasus plasenta previa jangan sekali-
kali melakukan pemeriksaan dalam.
b. Perdarahan Pascasalin (HPP/ Hemorargia postpartum)
Perdarahan postpartum dengan tanda dan gejala secara umum sebagai
berikut perdarahan yang membutuhkan lebih dari satu pembalut dalam waktu satu
atau dua jam, sejumlah besar perdarahan berwarna merah terang tiap saat setelah
minggu pertama pascapersalinan. Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih
dari 500-600 ml dalam masa 24 jam setelah anak lahir. Menurut waktu terjadinya
di bagi atas dua bagian yaitu: Perdarahan Postpartum Primer (early postpartum
hemorrhage) yang terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir dan perdarahan
postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang terjadi setelah 24 jam,
biasanya antara hari ke-5 sampai ke-15 postpartum.

2. Hipertensi.
Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5-15% penyulit penyulit kehamilan dan
merupan salah satu dari tiga sebab tinggi mortalitas dan morbiditas ibu bersalin.
Klasifikasi hipertensi antara lain :
a. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20
minggu dan menetap sampai 12 minggu pasca persalinan
b. Preeklamsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai
dengan proteinuria
c. Eklamsi adalah preeklamsi yang disertai dengan kejang-kejang/koma
d. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia adalah hipertensi kronik
disertai tanda-tanda preeklamsi atau hipertensi kronik dan disertai proteinuria
e. Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa
disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan pasca persalinan
atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklamsia tanpa proteinuria.
f. Faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan, yang dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
 Primigravida dan primipaternitas
 Hiperplasentosis misalnya molahidatidosa, kehamilan multiple, diabetes
militus, hidrops fetalis, bayi besar
 Umur yang ekstrim
 Riwayat keluarga pernah preeklamsi/eklamsi
 Penyakit ginjal atau hipertensi yang sudah ada sebelumnya
 Obesitas
 Infeksi dan degenerative
 Perdarahan ( abortus, kehamilan ektopik terganggu, mola hidatidosa )
 Hiperemisis gravidarum
 Kelaianan genetic janin ( jika memiliki riwayat atau risiko )

3. Infeksi Masa Nifas


Beberapa bakteri dapat menyebabkan infeksi pasca persalinan, infeksi masa nifas
masih merupakan penyebab angka kematian ibu (AKI). Infeksi alat genital merupakan
komplikasi masa nifas. Infeksi yang meluas ke saluran kencing , payudara, dan
pembedahan merupakan penyebab terjadinya AKI tinggi.Gejala umum infeksi dapat
dilihat dari suhu, pembengkakan, takikardia dan malaise. Gejala lokalnya berupa uterus
lembek, kemerahan, rasa nyeri pada payudara, atau adanya disuria.
a. Tromboflebitis Pascapartum
Tromboflebitis pascpartum lebih umum terjadi pada wanita penderita
varikositis atau yang mungkin secara rentan terhadap relaksasi dinding vena dan
stasis vena.Tromboflebitis vena profunda ditandai dengan tanda dan gejala
sebagai berikut: kemungkinan peningkatan suhu ringan, takikardia ringan, awitan
tiba-tiba nyeri sangat berat pada tungkai diperburuk dengan pergerakan atau saat
berdiri, edema pergelangan kaki,tungkai dan paha, tanda positif, nyeri saat
penekanan betis, nyeri tekan sepanjang aliran pembuluh darah yang terkena
dengan pembuluh darah dapat teraba Risiko terbesar yang berkaitan dengan
tromboflebitis adalah emboli paru, terutama sekali terjadi pada tromboflebitis
vena profunda dan kecil kemungkinannya terjadi pada tromboflebitis. Awitan
tiba-tiba takipnea, dispnea, dan nyeri dada tajam adalah gejala Komplikasi atau
penyulit diatas dapat diperberat oleh faktor-faktor yang memperberat keadaan ibu
hamil seperti Empat Terlalu (terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering melahirkan
dan terlalu dekat jarak kelahiran, maupun yang mempersulit proses penanganan
kedaruratan kehamilan, persalinan dan nifas seperti Tiga Terlambat (terlambat
mengenali tanda bahaya dan mengambil keputusan, terlambat mencapai fasilitas
kesehatan dan terlambat dalam penanganan kegawatdaruratan).Untuk pulih dalam
mencapai kestabilan, maka kesedihan ini sebatas rasa syukur ibu berkat
kelahirannya (Shinaga, 2008).
b. Persalinan dan komplikasi merupakan suatu kondisi yang tidak terduga sehingga
dapat menimbulkan gangguan secara fisik pada ibuhamil, dapat terjadi emosi dan
gangguan kognitif bagi ibu serta keluarganya. Ibu yang mengalami persalinan
dengan komplikasi beresiko mengalami gangguan pada status kesehatannya,
gangguan selama proses persalinan ini juga mempengaruhi kemampuan ibu dalam
menjalin suatu ikatan yaitu ikatan baik dengan bayinya kelak.
Komplikasi persalina yang terdiri dari ketuban pecah dini, infeksi,
perdarahan, persalinan lama atau persalinan macet yaitu persalinan yang akan
membuat ibu memilikipengalaman persalinan yang kurang memuaskan,sehingga
ibu menunjukkan citra diri negatif dan dapat berlanjut menjadi kemarahan yang
menimbulkann masalah pada proses adaptasi ibu terhadap peran fungsi barunya.
Proses ini berlangsung dengan penuh tekannan yang akan membuat ibu lebih sulit
mengontrol dirinya sehingga membuat ibu lebih mudah marah dan dapat
menurunkan kemampuan koping ibu yang efektif (Machmudah, Setyowati,
Rahmah, & Rachmawati, 2012)
c. Penyebab lain komplikasi persalinan disebabkan karena infeksi dan perdarahan.
Infeksi dan perdarahan merupakan suatu komplikas yang terjadi dari awal mula
terjadinya ketuban pecah dini (KPD). Ketuban pecah dini adalah suatu keadaan
pecahnya airketuban atau selaput ketuban sebelum terjadinya in partu atau proses
persalinan, yaitu bila pembukaan 3 pada primi kurang dari 3 cm dan pada
multipara kurang dari 5 cm dalam keadaan normal ketuban pecah saat persalinan.
Bila periode laten panjang dan ketuban sudah pecah, maka dapat terjadi infeksi
yang meningkatkan angka kematian ibu dan anak sebanyak 65% disebabkan
karena ketuban pecah dini (KPD).
KPD merupakan suatu kejadian obstertik yang banyak ditemukan dengan
insiden sekitar 10,7% dari seluruh persalinan, dimana 94% diantaranya terjadi
pada kehamilan cukup bulan. Ini terjadi pada sekitar 6-20% kehamilan. Apabila
terjadi sebelum masa arterm maka lebih banyak masalah dari pada terjadinya pada
kehamilan arterm (Prawirohardjo, 2010). Cakupan penanganan komplikasi
kebidanan di Jawa Tengah pada tahun 2016 sebesar 112,6 persen, menurun bila
dibandingkan dengan capaian tahun 2015 yaitu 120 persen. Capaian indikator
penanganan komplikasi kebidanan ini mencapai lebih dari 100 persen karena
penyebut untuk penghitungan indikator tersebut adalah perkiraan ibu hamil
dengan komplikasi yaitu 20 persen dari jumlah rill lebih besar dari pada
perkiraan.
d. Kehamilan resiko (Risk Pregnancy) merupakan suatu kehamilan yang membawa
ancaman bagi jiwa dan kesehatan ibu dan bayi. Maka dapat di tarik sebuah
kesimpulan bahwa setiap kehamilan dengan faktor 4
 kehamilan resiko tinggi akan menghadapai suatu ancaman mordibitas
maupun mortalitas bagi ibu dan janinnya, baik dalam keadaan kehamilan,
persalinan ataupun nifas. Kasus-kasus risiko tinggi melibatkan dua nyawa
dengan demikian penanganan pada kasus-kasus tersebut haruslah
dipertimbangkan dan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya dan dapat
ditaati oleh semua tenaga kesehatan (Mochtar, 2013).
Beberapa faktor predisposisi :
 Kurang gizi atau malnutrisi
 Anemia
 Hygiene
 Kelelahan
 Proses persalinan bermasalah :
 Partus lama / macet
 Korioamnionitis
 Persalinan traumatic
 Kurang baiknya proses pencegahan infeksi
 Manipulasi yang berlebihan
 Dapat berlanjut ke infeksi dalam masa nifas

C. BALITA DENGAN BGM


a. Pengertian Balita

Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu tahun atau lebih popular
dengan pengertian usia anak di bawah lima tahun (Muaris. H, 2006). Menurut Sutomo. B.
dan Anggraeni. DY, (2010), balita adalah istilah umum bagi anak usia 1−3 tahun (batita) dan
anak prasekolah (3−5 tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua
untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan
berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun kemampuan lain masih terbatas.

Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia.
Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan
perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan
masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering disebut
golden age atau masa keemasan (Uripi, 2004)

b. Karakteristik Balita

Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak usia 1–3 tahun (batita)
dan anak usia prasekolah. Anak usia 1−3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak
menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih
besar dari masa usia pra- sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar.
Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu
diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar. Oleh karena
itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering pada usia pra-
sekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih makanan yang
disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah
playgroup sehingga anak mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak
akan mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan “tidak” terhadap
setiap ajakan. Pada masa ini berat badan anak cenderung mengalami penurunan, akibat dari
aktivitas yang mulai banyak dan pemilihan maupun penolakan terhadap
makanan.Diperkirakan pula bahwa anak perempuan relative lebih banyak mengalami
gangguan status gizi bila dibandingkan dengan anak laki-laki (Uripi, 2004)

Cara mudah mengetahui baik tidaknya pertumbuhan bayi dan balita adalah dengan
mengamati grafik pertambahan berat dan tinggi badan yang terdapat pada Kartu Menuju
Sehat (KMS). Dengan bertambahnya usia anak, harusnya bertambah pula berat dan tinggi
badannya. Cara lainnya yaitu dengan pemantauan status gizi.Pemantauan status gizi pada
bayi dan balita telah dibuatkan standarisasinya oleh Harvard University dan
Wolanski.Penggunaan standar tersebut di Indonesia telah dimodifikasi agar sesuai untuk
kasus anak Indonesia. Perkembangan pada masa balita merupakan gejala kualitatif, artinya
pada diri balita berlangsung proses peningkatan dan pematangan (maturasi) kemampuan
personal dan kemampuan sosial (Hartoyo dkk, 2003).
a. Kemampuan personal ditandai pendayagunaan segenap fungsi alat-alat pengindraan Dan
sistem organ tubuh lain yang dimilikinya. Kemampuan fungsi pengindraan meliputi ;

1. Penglihatan, misalnya melihat, melirik, menonton, membaca dan lain-lain.


2. Pendengaran, misalnya reaksi mendengarkan bunyi, menyimak pembicaraan dan lain-
lain.
3. Penciuman, misalnya mencium dan membau sesuatu.
4. Peraba, misalnya reaksi saat menyentuh atau disentuh, meraba benda, dan lain-lain.
5. Pengecap, misalnya menghisap ASI, mengetahui rasa makanan dan minuman

Kebutuhan Utama Proses Tumbuh Kembang Dalam proses tumbuh kembang, anak
memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi, kebutuhan tersebut yakni ;

a. Kebutuhan akan gizi (asuh);


b. Kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih); dan
c. Kebutuhan stimulasi dini (asah) (Evelin dan Djamaludin. N. 2010).

a. Pemenuhan kebutuhan gizi (asuh).

Usia balita adalah periode penting dalam proses tubuh kembang anak yang merupakan masa
pertumbuhan dasar anak. Pada usia ini, perkembangan kemampuan berbahasa,
berkreativitas, kesadaran sosial, emosional dan inteligensi anak berjalan sangat cepat.
Pemenuhan kebutuhan gizi dalam rangka menopang tumbuh kembang fisik dan biologis
balita perlu diberikan secara tepat dan berimbang. Tepat berarti makanan yang diberikan
mengandung zat-zat gizi yang sesuai kebutuhannya, berdasarkan tingkat usia. Berimbang
berarti komposisi zat-zat gizinya menunjang proses tumbuh kembang sesuai usianya.
Dengan terpenuhinya kebutuhan gizi secara baik, perkembangan otaknya akan berlangsung
optimal. Keterampilan fisiknya pun akan berkembang sebagai dampak perkembangan
bagian otak yang mengatur sistem sensorik dan motoriknya. Pemenuhan kebutuhan fisik
atau biologis yang baik, akan berdampak pada sistem imunitas tubuhnya sehingga daya 13
tahan tubuhnya akan terjaga dengan baik dan tidak mudah terserang penyakit
(Sulistyoningsih, 2011).
b. Pemenuhan kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih). Kebutuhan ini meliputi upaya orang tua
mengekspresikan perhatian dan kasih sayang, serta perlindungan yang aman dan nyaman
kepada si anak.Orang tua perlu menghargai segala keunikan dan potensi yang ada pada
anak. Pemenuhan yang tepat atas kebutuhan emosi atau kasih sayang akan menjadikan anak
tumbuh cerdas secara emosi, terutama dalam kemampuannya membina hubungan yang
hangat dengan orang lain. Orang tua harus menempatkan diri sebagai teladan yang baik bagi
anak- anaknya.Melalui keteladanan tersebut anak lebih mudah meniru unsur- unsur positif,
jauhi kebiasaan memberi hukuman pada anak sepanjang hal tersebut dapat diarahkan
melalui metode pendekatan berlandaskan kasih sayang (Almatsier, 2005).

c. Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini (asah). Stimulasi dini merupakan kegiatan orangtua
memberikan rangsangan tertentu pada anak sedini mungkin.Bahkan hal ini dianjurkan ketika
anak masih dalam kandungan dengan tujuan agar tumbuh kembang anak dapat berjalan
dengan optimal.Stimulasi dini meliputi kegiatan merangsang melalui sentuhan-sentuhan
lembut secara bervariasi dan berkelanjutan, kegiatan mengajari anak berkomunikasi,
mengenal objek warna, mengenal huruf dan angka. Selain itu, stimulasi dini dapat
mendorong munculnya pikiran dan emosi positif, kemandirian, kreativitas dan lain- 14 lain.
Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini secara baik dan benar dapat merangsang kecerdasan
majemuk (multiple intelligences) anak. Kecerdasan majemuk ini meliputi, kecerdasan
linguistic, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik,
kecerdasan musical, kecerdasan intrapribadi (intrapersonal), kecerdasan interpersonal, dan
kecerdasan naturalis (Sulistyoningsih, 2011).

Status Gizi Pada Balita

Zat gizi (nutrients) adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya,
yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan serta mengatur proses-
proses kehidupan. Definisi dari gizi (nutrition) adalah suatu proses organisme menggunakan
makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan, untuk
mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta
menghasilkan energi. Definisi status gizi berasal dari zat gizi dan gizi, maka dapat
disimpulkan bahwa definisi status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi
makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2005).

Menurut Ningtyias (2010), beberapa definisi lain yang berkaitan dengan status gizi dan
sangat penting untuk dipahami, akan diuraikan berikut ini yaitu:

1. Pangan dan makanan Pangan merupakan pengertian secara umum untuk semua bahan yang
dapat dijadikan makanan, sedangkan definisi dari makanan sendiri yaitu bahan selain obat
yang mengandung zat-zat gizi dan unsur-unsur atau ikatan kimia yang dapat diubah menjadi
zat gizi oleh tubuh yang berguna di dalam tubuh.

2. Angka Kecukupan Gizi (AKG) Taraf konsumsi zat-zat gizi esensial, yang berdasarkan
pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat.

3. Keadaan gizi Keadaan akibat keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi serta
penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologis akibat dari tersedianya zat gizi
dalam seluler tubuh.

4. Malnutrition (gizi salah, malnutrisi) Keadaan patologis akibat kekurangan atau kelebihan
secara relatif maupun absolut satu atau lebih zat gizi.

Ada empat bentuk malnutrisi yaitu:

1). Under nutrition merupakan kekurangan konsumsi pangan secara relatif atau absolut untuk
periode tertentu.

2). Specific defficiency merupakan kekurangan zat gizi tertentu, misalnya kekurangan vitamin
A, yodium, Fe, dan lain-lain.

3). Over nutrition merupakan kelebihan konsumsi pangan untuk periode tertentu.

4). Imbalance disebabkan karena disproporsi zat gizi, misalnya: kolesterol terjadi karena tidak
seimbangnya Low Density Lipoprotein (LDL), High Density Lipoprotein (HDL) dan Very
Low Density Lipoprotein (VLDL).
5. Kurang Energi Protein (KEP) Kurang energi protein adalah keadaan seseorang yang kurang
gizi yang dapat disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan
sehari-hari atau gangguan penyakit tertentu

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Status Gizi Anak Balita Menurut UNICEF (2002),
akar masalah faktor penyebab gizi kurang adalah krisis ekonomi, politik dan sosial. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya berbagai masalah pokok dalam masyarakat, seperti:

(a) pengangguran, inflasi, kurang pangan dan kemiskinan,

(b) kurang pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang pemanfaatan sumber daya masyarakat
serta

(c) kurang pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan.

Masalah-masalah pokok pada masyarakat menyebabkan 3 (tiga) hal sebagai penyebab tidak
langsung kurang gizi, yaitu

(1) tidak cukup persediaan pangan,

(2) pola asuh anak tidak memadai, dan

(3) sanitasi dan air bersih, pelayanan kesehatan dasar tidak memadai. Timbulnya ketiga masalah
tersebut mengakibatkan makanan tidak seimbang serta menimbulkan penyakit infeksi
sebagai penyebab langsung kurang gizi.

Status gizi terutama ditentukan oleh ketersediaan zat-zat gizi pada tingkat sel dalam jumlah
cukup dan dalam kombinasi yang tepat yang diperlukan 17 tubuh untuk tumbuh,
berkembang dan berfungsi normal.Pada prinsipnya status gizi ditentukan oleh dua hal yaitu
asupan zat-zat gizi yang berasal dari makanan yang diperlukan tubuh dan peran faktor yang
menentukan besarnya kebutuhan, penyerapan dan penggunaan zat-zat gizi tersebut.Terhadap
2 faktor tersebut, pola makan dan aktivitas berperan.Pola makan pangan merupakan hasil
budaya masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor manusia itu sendiri,
seperti kebiasaan makan, pendapatan keluarga, pengetahuan gizi dan lain
sebagainya.Sedangkan asupan zat- zat gizi dari makanan kedalam tubuh dipengaruhi oleh
berat ringannya aktivitas atau pekerjaan seseorang. Menurut (Mansjoer, A. dkk,
2000).pemberian makanan pada anak balita harus memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi sesuai dengan umur.

2. Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, kebiasaan makan dan selera
tehadap makanan.

3. Bentuk dan porsi disesuaikan dengan daya terima toleransi, dan faal bayi/anak.

4. Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan.

Pada balita usia 1−2 tahun anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Dengan
demikian sebaiknya diperkenalkan dengan berbagai bahan makanan. Jenis hidangan yang
dianjurkan terdiri dari makanan pokok sebagai sumber kalori, lauk pauk terdiri dari sumber
protein hewani (telur, daging, ikan), sumber protein nabati (kacang-kacangan, tahu, tempe),
sayuran hijau atau berwarna, buah-buahan dan susu. Pilihlah jenis 18 dan cara pengolahan
yang menghasilkan makanan yang teksturnya tidak terlalu keras, karena enzim dan cairan
pencernaan yang dikeluarkan oleh organ pencernaan belum optimal. Oleh karena itu
golongan usia 1−2 tahun masih perlu diberikan bubur walaupun tidak disaring. Nasi tim
beserta lauk pauknya dapat diberikan secara bertahap (Arisman, 2009).

Sesuai pola makan anak pada usia ini yaitu porsi kecil dengan frekuensi sering, pemberian
makanan dilakukan sebanyak 7−8 kali sehari, terdiri atas 3 kali makan utama seperti orang
dewasa (makan pagi, siang dan sore) serta 2−3 kali makanan selingan ditambah 2−3 kali
susu, secara perlahan diturunkan hingga 2 kali sehari. Pemberian makan dengan tekstur
lunak dan kandungan air tinggi, dapat diolah dengan cara direbus, diungkep, dan dikukus.
Bisa diperkenalkan makanan kombinasi dengan menggoreng atau dipanggang asalkan tidak
menghasilkan tekstur keras dan mengandung bumbu yang merangsang atau pedas (Asydhad,
LA.Mardiah, 2006).

Waktu pemberian makan pada anak sebaiknya diatur sesuai dengan pola makan keluarga
dalam satu hari sebagai berikut : makan pagi (pukul 06.00- 07.00), selingan (pukul 10.00),
makan siang (pukul 12.00-13.00), selingan (pukul 16.00), makan malam (pukul 18.00-
19.00), sebelum tidur malam, susu (pukul 20.00-21.00) dengan membagi pola makan ini,
kebutuhan makan anak akan terpenuhi dalam satu hari. Jenis makanan selinganpun harus
diperhatikan yaitu mengandung sumber tenaga, sumber zat pembangun dan sumber zat
pengatur.Waktu makan yang teratur membuat anak berdisiplin dan hidup
teratur.Membiasakan mereka makan yang benar tanpa harus disuapi.Kebiasaan ini
mengajarkan hidup mandiri, cuci tangan sebelum makan dan penggunaan alat makan dengan
benar mendidik anak hidup bersih dan teratur (Ariati, 2006).

Pola makan balita dapat diukur dengan mengetahui susunan dan frekuensi makan balita.
Susunan makanan diukur dengan melihat macam makanan yang diberikan lengkap, apabila
makanan yang diberikan berupa 12 – 24 bulan : ASI/PASI, makanan pokok, lauk pauk,
sayur-sayuran, buah-buahan, makanan selingan (makanan dengan tekstur lunak tidak pedas
dan tidak merangsang). Lebih dari 25 bulan : makanan 20 pokok, lauk pauk, sayur-sayuran,
buah-buahan, makanan selingan, susu (makanan tidak pedas dan tidak merangsang).
Frekuensi makan dikatakan baik, apabila (Asydhad, LA. Mardiah, 2006) : 12 – 24 bulan :
ASI sesuka anak (> 3 kali sehari), PASI (susu formula) 2-3 kali sehari, makanan pokok 3 x
sehari, lauk pauk dan sayur-sayuran 3 x sehari, buah-buahan 2 x sehari, makanan selingan
dan susu 2 – 3 x sehari. Lebih dari 25 bulan : Makanan pokok 3 x sehari, lauk pauk dan
sayur- sayuran 3 x sehari, makanan selingan, buah 2 x sehari, susu 1 – 2 x sehari.

Menurut Suhardjo (2010) faktor-faktor yang memengaruhi status gizi adalah :

1) Faktor pertanian yang meliputi seluruh usaha pertanian mulai dari penanaman sampai dengan
produksi dan pemasaran

2) Faktor ekonomi yaitu besarnya pendapatan keluarga yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan pangan keluarga.

3) Faktor sosial budaya meliputi kebiasaan makan, anggapan terhadap suatu makanan yang
berkaitan dengan agama dan kepercayaan tertentu,kesukaan terhadap jenis makanan tertentu.

4) Faktor fisiologi yaitu metabolisme zat gizi dan pemanfaatannya oleh tubuh, keadaan
kesehatan seseorang, adanya keadaan tertentu misalnya hamil dan menyusui.
5) Faktor infeksi yaitu adanya suatu penyakit infeksi dalam tubuh. Selain faktor-faktor diatas
faktor lain yang berpengaruh terhadap status gizi adalah besar keluarga, pengetahuan gizi
dan tingkat pendidikan seseorang 21 (Suhardjo, 2010).

Besar keluarga meliputi banyaknya jumlah individu dalam sebuah keluarga, pembagian makan
dalam keluarga dan jarak kelahiran anak. Pengetahuan gizi akan berpengaruh terhadap pola
makan pangan sehari-hari dalam menyediakan kebutuhan pangan, sedangkan tingkat
pendidikan seseorang akan memengaruhi daya nalar seseorang dalam interpretasi terhadap
suatu hal. Pada dasarnya status gizi ditentukan oleh faktor internal dan faktor
eksternal.Faktor internal yang berperan dalam penilaian status gizi adalah asupan zat-zat
makanan kedalam tubuh, penyerapan dan penggunaan zat gizi, aktivitas yang dilakukan
sehari-hari dan pola makan sehari-hari.Faktor eksternal yang memengaruhi penilaian status
gizi adalah faktor sosial budaya seperti kebiasaan makan dan larangan mengkonsumsi bahan
makanan tertentu, faktor ekonomi seperti pendapatan keluarga, pengetahuan tentang gizi,
ketersediaan bahan makanan, pelayanan kesehatan setempat, pemeliharaan kesehatan dan
besar keluarga.

Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses pemeriksaan keadaan gizi seseorang
dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif maupun subjektif,
untuk kemudian dibandingkan dengan baku yang telah tersedia. Data objektif dapat
diperoleh dari data pemeriksaan laboratorium perorangan, serta sumber lain yang dapat
diukur oleh anggota tim “penilai”. Komponen penilaian status gizi meliputi asupan pangan,
pemeriksaan biokimiawi, pemeriksaan klinis dan riwayat mengenai kesehatan, pemeriksaan
antropometris, serta data sosial (Arisman, 2009).

Menurut Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat


Universitas Indonesia (2007), tujuan dari penilaian status gizi yaitu:

1) Memberikan gambaran secara umum mengenai metode penilaian status gizi.

2) Memberikan penjelasan mengenai keuntungan dan kelemahan dari masing-masing metode


yang ada.
3) Memberikan gambaran singkat mengenai pengumpulan data, perencanaan, dan implementasi
untuk penilaian status gizi.

Sedangkan menurut Supariasa (2002) penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi
empat penilaian yaitu:

1) Pengukuran biokimia Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen
yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan
tubuh yang digunakan antara lain darah, urine, tinja, hati, dan otot (Supariasa, 2002).

2) Pengukuran biofisik Penentuan status gizi secara biofisik adalah penentuan status gizi dengan
melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari
jaringan (Supariasa, 2002). Contoh pemeriksaan biofisik yang sering dilakukan adalah pada
kasus rabun senja dilakukan tes adaptasi dalam gelap (night blindness test) (Departemen
Gizi dan KesMas FKM UI, 2007).

3) Pengukuran klinis Pengukuran klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status
gizi masyarakat. Metode ini berdasarkan pada perubahan- perubahan yang terjadi yang
dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi yang dapat dilihat pada jaringan epitel seperti
kulit, mata, rambut, mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh
seperti kelenjar tiroid (Supariasa, 2002).Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan fisik
secara menyeluruh, termasuk riwayat kesehatan (Arisman, 2009).

4) Pengukuran antropometrik Metode antropometri digunakan untuk mengukur defisiensi gizi


berupa penurunan tingkat fungsional dalam jaringan, terutama untuk mengetahui
ketidakseimbangan protein, kekurangan energi kronik, malnutrisi sedang, dan dapat
menunjukkan riwayat gizi masa lalu. Indeks antropometri adalah kombinasi antara beberapa
parameter antropometri (Suyatno, 2009). Menurut Supariasa (2002) terdapat beberapa jenis
indeks antropometri yaitu:

1) Berat badan menurut umur (BB/U) Menggambarkan status gizi seseorang pada saat ini
(current nutritional status). Merupakan pengukuran antropometri yang sering digunakan
sebagai indikator dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan dan keseimbangan
antara intake dan kebutuhan gizi terjamin. Berat badan memberikan gambaran tentang
massa tubuh (otot dan lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan 24 keadaan
yang mendadak, misalnya terserang infeksi, kurang nafsu makan dan menurunnya jumlah
makanan yang dikonsumsi.BB/U lebih menggambarkan status gizi sekarang.Berat badan
yang bersifat labil, menyebabkan indeks ini lebih menggambarkan status gizi seseorang saat
ini (Current Nutritional Status) (Supariasa, 2002).

2) Tinggi badan menurut umur (TB/U) Menggambarkan status gizi masa lampau, dan juga
memiliki hubungan dengan status sosial ekonomi.

3) Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) Menggambarkan status gizi saat ini namun tidak
tergantung terhadap umur, sehingga tidak dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut
pendek, cukup tinggi badan atau kelebihan tinggi badan menurut umur.

4) Lingkar lengan atas menurut umur (LLA/U) Menggambarkan status gizi saat ini, namun
perkembangan lingkar lengan atas yang besarnya hanya terlihat pada tahun pertama
kehidupan (5,4 cm). Pada usia 2 tahun sampai 5 tahun sangat kecil yaitu kurang lebih 1,5 cm
per tahun dan kurang sensitif untuk usia selanjutnya.

5) Lingkar kepala Pengukuran lingkar kepala yang merupakan prosedur baku di bagian anak,
ditujukan untuk menentukan kemungkinan adanya keadaan patologis yang berupa
pembesaran hidrosefalus atau pengecilan mikrosefalus. Lingkar kepala terutama
berhubungan dengan ukuran 25 otak dalam skala kecil, dan ketebalan kulit kepala serta
tulang tengkorak (Arisman, 2009).

6) Lingkar dada Ukuran lingkar kepala dan lingkar dada pada usia enam bulan hampir sama.
Setelah itu, pertumbuhan tulang tengkorak melambat, dan sebaliknya perkembangan dada
menjadi lebih cepat. Rasio lingkar kepala atau lingkar dada (yang diukur pada usia enam
bulan hingga lima tahun) kurang dari satu, maka berarti telah terjadi kegagalan
perkembangan (otot atau lemak dinding dada) dan rasio tersebut dapat dijadikan indikator
Kurang Kalori Protein (KKP) anak kecil (Arisman, 2009)..

Konsep KMS

Definisi KMS
KMS adalah kartu yang memuat kurva pertumbuhan normal anak berdasarkan indeks
antropometri berat badan menurut umur.KMS dapat bermanfaat dalam mengetahui lebih
dini gangguan pertumbuhan atau resiko kelebihan gizi, sehingga dapat dilakukan tindakan
pencegahan secara lebih cepat dan tepat sebelum masalahnya lebih berat (Kementerian
Kesehatan RI, 2010).KMS juga merupakan alat yang sederhana dan murah, yang dapat
digunakan untuk memantau kesehatan dan pertumbuhan anak.KMS harus disimpan oleh ibu
balita di rumah dan harus selalu dibawa setiap kali mengunjungi posyandu atau fasilitas
pelayanan kesehatan termasuk bidan atau dokter (Ilham, 2009).

Kartu menuju sehat berfungsi sebagai alat bantu pemantauan gerak pertumbuhan, bukan
penilaian status gizi. KMS yang diedarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia
sebelum tahun 2000, garis merah pada KMS versi tahun 2000 bukan merupakan pertanda
gizi buruk, melainkan garis kewaspadaan. Berat badan balita yang tergelincir di bawah garis
ini, petugas kesehatan harus melakukan pemeriksaan lebih lanjutan terhadap indikator
antropometrik lain (Arisman, 2009). Catatan pada KMS dapat menunjukkan status gizi
balita. Balita dengan pemenuhan gizi yang cukup memiliki berat badan yang berada pada
daerah berwarna hijau, sedangkan warna kuning menujukkan status gizi 35 kurang, dan jika
berada di bawah garis merah menunjukkan status gizi buruk (Sulistyoningsih, 2011).

Manfaat KMS

Menurut peraturan Menteri Kesehatan tahun 2010, manfaat KMS balita yaitu:

1. Bagi orang tua balita Orang tua dapat mengetahui status pertumbuhan anaknya. Dianjurkan
agar setiap bulan membawa balita ke Posyandu untuk ditimbang.Apabila ada indikasi
gangguan pertumbuan (berat badan tidak naik) atau kelebihan gizi, orang tua balita dapat
melakukan tindakan perbaikan, seperti memberikan makan lebih banyak atau membawa
anak ke fasilitas kesehatan untuk berobat. Orang tua balita juga dapat mengetahui apakah
anaknya telah mendapat imunisasi tepat waktu dan lengkap dan mendapatkan kapsul vitamin
A secara rutin sesuai dengan dosis yang dianjurkan.
2. Bagi Kader Sebagai KMS digunakan untuk mencatat berat badan anak dan pemberian
kapsul vitamin A serta menilai hasil penimbangan. Bila berat badan tidak naik 1 kali kader
dapat memberikan penyuluhan tentang asuhan dan pemberian makanan anak. Bila tidak naik
2 kali atau berat badan berada di bawah garis merah kader perlu merujuk ke petugas
kesehatan terdekat, agar anak mendapatkan pemerikasaan lebih lanjut. KMS juga digunakan
kader untuk memberikan pujian kepada ibu bila berat badan anaknya naik serta
mengingatkan ibu untuk menimbangkan anaknya di posyandu pada bulan berikutnya. media
edukasi bagi orang tua balita tentang kesehatan anak.

3. Petugas Kesehatan

Petugas dapat menggunakan KMS untuk mengetahui jenis pelayanan kesehatan yang telah
diterima anak, seperti imunisasi dan kapsul vitamin A. Bila anak belum menerima pelayanan
maka petugas harus memberikan imunisasi dan kapsul vitamin A sesuai dengan
jadwalnya.Petugas kesehatan juga dapat menggerakkan tokoh masyarakat dalam kegiatan
pemantauan pertumbuhan. KMS juga dapat digunakan sebagai alat edukasi kepada para
orang tua balita tentang pertumbuhan anak, manfaat imunisasi dan pemberian kapsul
vitamin A, cara pemberian makan, pentingnya ASI eksklusif dan pengasuhan anak. Petugas
dapat menekankan perlunya anak balita ditimbang setiap bulan untuk memantau
pertumbuhannya.

Jenis Informasi pada KMS

Menurut Briawan (2012), jenis-jenis informasi pada KMS yaitu:

1. Pertumbuhan anak (BB anak).


2. Pemberian ASI Ekslusif.
3. Imunisasi yang sudah diberikan pada anak.
4. Pemberian Vitamin A.
5. Penyakit yang pernah diderita anak dan tindakan yang diberikan.

Cara Memantau Pertumbuhan Balita pada KMS

Penyimpangan kurva pertumbuhan anak pada KMS balita biasanya menuju ke arah bawah, dan
tidak banyak yang keluar dari warna hijau ke arah atas. Kurva pertumbuhan anak yang baik
kesehatannya, akan terus terdapat dalam jalur hijau. Anak yang di bawah warna hijau yaitu
warna kuning, maka menunjukkan Kurang Kalori Protein (KKP) ringan dan
menggambarkan adanya gangguan pertumbuhan ringan serta gangguan kesehatan. Keadaan
anak yang lebih jelek lagi, yaitu garis pertumbuhan anak akan lebih menurun lagi masuk ke
daerah di bawah garis merah, yang merupakan batas bawah dari jalur kuning yang
menunjukkan balita mengalami KKP berat. Anak sudah menderita gizi kurang atau
terganggu kesehatannya (Sediaoetama, 2006).

Status pertumbuhan anak dapat diketahui dengan dua cara yaitu dengan menilai garis
pertumbuhannya, atau dengan menghitung kenaikan berat badan anak dibandingkan dengan
kenaikan berat badan minimum (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Pemantauan
pertumbuhan dan perkembangan balita di posyandu dengan menggunakan KMS, akan
berguna apabila dilakukan setiap bulan. Grafik pertumbuhan berat badan yang terputus-
putus dalam KMS, maka tidak dapat digunakan untuk memantau keadaan kesehatan dan gizi
anak dengan baik (Madanijah & Triana, 2007).

Cara membaca pertumbuhan balita pada KMS yaitu:

1. Balita naik berat badannya apabila:


a. Garis pertumbuhannya naik mengikuti salah satu pita warna atau
b. Garis pertumbuhannya naik dan pindah ke pita warna diatasnya
2. Balita tidak naik berat badannya apabila:
a. Garis pertumbuhannya turun atau
b. Garis pertumbuhannya mendatar atau
c. Garis pertumbuhannya naik, tetapi pindah ke pita warna di bawahnya.

3. Berat badan balita di bawah garis merah artinya pertumbuhan balita mengalami gangguan
pertumbuhan dan perlu perhatian khusus, sehingga harus langsung dirujuk ke Puskesmas
atau Rumah Sakit.
4. Berat badan balita tiga bulan berturut-turut tidak naik (3T), artinya balita mengalami
gangguan pertumbuhan, sehingga harus langsung dirujuk ke Puskesmas atau Rumah Sakit,
balita tumbuh baik apabila garis berat badan anak naik setiap bulannya.
5. Balita sehat, jika berat badannya selalu naik mengikuti salah satu pita warna atau pindah ke
pita warna di atasnya.

Hubungan keaktifan ibu dalam kegiatan Posyandu dan pola makan balita dengan status
gizi balita

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh Susanti (2006) dalam Octaviani
(2008).jumlah balita yang terdapat di dalam keluarga, mempengaruhi kunjungan ibu ke
posyandu, dimana keluarga yang memiliki jumlah balita sedikit maka ibu akan lebih sering
datang ke posyandu serta jarak dari rumah ke posyandu sangat mempengaruhi kunjungan
ibu ke posyandu. Perilaku keluarga yang membawa balitanya setiap bulan juga berhubungan
dengan pengetahuan keluarga, dimana keluarga yang memiliki 39 pengetahuan tentang
kesehatan, tanda, dan gejala sehubungan dengan pertumbuhan anggota keluarganya, maka
keluarga tersebut akan segera melakukan tindakan untuk meminimalkan dampak yang lebih
buruk lagi terhadap kondisi anggota keluarganya.

Menurut Prasetyawati (2012) bahwa kesehatan tubuh anak sangat erat kaitannya dengan
makanan yang dikonsumsi.Zat-zat yang terkandung dalam makanan yang masuk dalam
tubuh sangat mempengaruhi kesehatan.Menurut Kemenkes (2011a), faktor yang cukup
dominan yang menyebabkan keadaan gizi kurang meningkat ialah perilaku memilih dan
memberikan makanan yang tidak tepat kepada anggota keluarga termasuk anak-anak.Hasil
penelitian ini didukung oleh penelitian Wello (2008), yang mengatakan bahwa ada
hubungan antara pola makan dengan status gizi pada balita di Semarang.Semakin baik pola
makan yang diterapkan orang tua pada anak semakin meningkat status gizi anak
tersebut.Sebaliknya, bila status gizi berkurang jika orang tua menerapkan pola makan yang
salah pada anak. Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian Tella (2012) di Mapanget
yang mengatakan bahwa hubungan pola makan dengan status gizi sangat kuat dimana
asupan gizi seimbang dari makanan memegang peranan penting dalam proses pertumbuhan
anak dibarengi dengan pola makan yang baik dan teratur yang perlu diperkenalkan sejak
dini, antara lain dengan perkenalan jam-jam makan dan variasi makanan dapat membantu
mengkoordinasikan kebutuhan akan pola makan sehat pada anak.
Dengan makan makanan yang bergizi dan seimbang secara teratur, diharapkan pertumbuhan
anak akan berjalan optimal. Nutrisi sangat penting dan berguna untuk menjaga kesehatan
dan mencegah penyakit.Untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan, banyak orang
menerapkan pola makan vegetarian karena makanan ini murah, sehat dan bebas
kolesterol.Tetapi apabila pola makan ini tidak disertai dengan asupan gizi yang baik maka
penganut vegetarian berpotensi mengalami status gizi yang tidak baik berupa gizi kurang
bahkan gizi buruk.Pola makan yang sehat harus disertai dengan asupan gizi yang baik agar
dapat mencapai status gizi yang baik.Pola makan yang baik harus diajarkan pada anak sejak
dini agar anak terhindar dari status gizi yang tidak baik (Laksmi, 2008).Pola makan yang
baik belum tentu makanannya terkandung asupan gizi yang benar.Banyak balita yang
memiliki pola makan baik tapi tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang
memenuhi syarat gizi seimbang.

D. NEONATUS DENGAN BBLR


1. Pengertian Neonatus dengan BBLR
BBLR adalah neonatus dengan berat badan lahir pada saat kelahiran kurang dari
2500 gram (sampai 2499 gram) tanpa memandang masa kehamilan. Berat lahir adalah
berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir. Untuk keperluan bidan desa berat
lahir diterima dalam 24 jam pertama setelah lahir.
Berat badan lahir rendah (BBLR) terdapat 2 penyebab kelahiran bayi dengan
berat badan kurang dari 2500 gram, yaitu karena umur kehmailan kurang dati 37 minggu,
berat badan lebih rendah dari semestinya, sekalipun umur kehamilan cukup atau
kombinasi keduanya.
Menurut (Saifuddin dkk, 2000) berkaitan dengan penanganan dan harapan
hidupnyabayi berat lahir rendah dibedakan menjadi :
a. Bayi berat lahir rendah (BBLR), berat lahir 1500-2500 gram
b. Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR), berat lahir < 1500 gram
c. Bayi berat lahir rendah ekstrem rendah (BBLER), berat lahir < 1000 gram
Menurut Cunnigham dkk, BBLR didefinisikan sebagai bayi lahir kurang dari
2500 gram dan telah dimodifikasi untuk menguraikan BBLR yang beratnya 1500 gram
atau kurang dan bayi yang luar biasa rendah (BBLBR) dan berat 1000 gram atau kurang.
Menurut Mochtar (1998) sejak tahun 1961 WHO mengganti istilah premature dengan
berat badan lahir rendah (BBLR) karena didasari tidak semua bayi yang berat badan
kurang dari 2500 gram pada waktu lahir bukan bayi premature.
Bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat digolongkan menjadi :
a. Premature murni
Bayi lahir pada kehamilan kurang dari 37 minggu dengan berat badan yang sesuai
b. Small for date (SFD) atau kecil untuk masa kehamilan (KMK)
Bayi yang berat badannya kurang dari seharusnya umur kehamilan
c. Retardasi pertumbuhan janin intrauterine
Bayi yang lahir dengan berat badan rendah dan tidak sesuai umur kehamilan
d. Dismaturitas
Suatu sindrom klinik dimana terjadi ketidak seimbangan antara pertumbuhan
janin dengan lanjutan kehamilannya. Atau bayi baru lahir dengan berat badan
yang tidak sesuai dengan tuannya kehamilan.
e. Large for date
f. Bayi yang dilahirkan lebih besar dari seharusnya tuannya kehamilan

2. Klasifikasi BBLR
Menurut ilyas, dkk (1994) dan wiknjosastro (2005) bayi dengan BBLR
dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
a. Prematuritas murni
Prematuritas murni adalah bayi lahir dengan usia kehamilan
kurang dari 37 minggu dan mempunyai berat badan sesuai dengan berat
badan untuk masa kehamilan atau bisa disebut neonatus kurang bulan
sesuai masa kehamilan.
b. Dismaturitas
Dismaturitas adalah bayi dengan berat badan kurang dari berat badan
seharusnya untuk masa kehamilan karena bayi mengalami gangguan
pertumbuhan dalam kandungan dan merupakan bayi yang kecil untuk
masa kehamilannya.
3. Penyebab BBLR
Faktor genetik/kromosom
 Infeksi
  Bahan toksik
 Radiasi
 Insufisensi/disfungsi placenta
   Faktor nutrisi
 Faktor lain : merokok, peminum alkohol, bekerja berak masa hamil,
plasenta previa gemelli, obat, dsb (Sinopsis Obstetri jilid I hal. : 449)
Faktor ibu :
 Gizi masa hamil kurang
  Umur < 20 tahun / > 35 tahun
  Jarak hamil menahun ibu : HT, jantung, gangguan pembuluh darah
(perokok)
 Faktor pekerja yang terlalu berat
Faktor kehamilan
 Hamil dengan hidramnion
 Gemelli
  Perdarahan anterpartum
  Komplikasi hamil PE/E, KPD
Faktor janin
 Cacat bawaan
  Infeksi dalam rahim
Faktor yang masih belum diketahui (Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & KB
untuk Pendidikan Bidan, hal : 327)
Dengan mengetahui berbagai faktor penyebab persalinan preterm dapat
dipertimbangkan langkah untuk menghindari persalinan preterm dengan jalan :
 Melakukan pengawasan hamil dengan seksama dan teratur
 Melakukan konsultasi terhadap penyakit yang dapat menyebabkan
kehamilan dan persalinan preterm
 Memberikan nasehat tentang : gizi saat kehamilan
 Meningkatkan keadaan sosio-ekonomi keluarga dan kesehatan
lingkungan
Faktor Resiko
a. Resiko demografi, usia ibu hamil < 17 tahun atau > 35 tahun, ras, status
sosial ekonomi rendah
b. Resiko medis sebelum hamil. Paritas > 4, Berat badan dan tinggi ibu yang
rendah,cacat bawaan, infeksi saluran kencing, DM, hipertensi kronis,
rubella, riwayat obstetrik jelek (BBLR, abortus spontan, kelainan genetik)
c. Resiko medis saat hamil. Penambahan berat badan selama hamil, interval
kehamilan yang pendek, hipotensi, hipertensi, preklamsi, eklamsi,
bakteturia, infeksi TORCH, perdarahan trimester I, kelainan plasenta,
hiperemesis gravidarum, oligo hidramnion, polihidramnion, anemia,
abnormal, ketuban pecah dini
d. Resiko perilaku dan lingkungan.
Merokok, gizikurang, alkohol, obat-obatan keras, terpapar bahan
kimiatoksik dan tempat tinggal di ketinggian
e. Faktor resiko lainnya
Pemeriksaan kehamilan in adekuat, stress atau gangguan psikologis, uterus
mudah berubah bentuk, kontraksi uterus tiba-tiba, defisiensi hormon
progesteron.

E. USIA LANJUT JOMPO


Pada usia lanjut orang yang lanjut usia akan mengalami berbagai macam masalah
termasuk dengan masalah konsep diri. WHO menggungkapkan bahwa penyebab
timbulnya permasalahan pada lanjut usia adalah masalah fisik, psikososial, spiritual,
mental, stress, ekonomi dan penurunnan fungsi kognitif dan psikomotor, hal ini akan
mempengarui konsep diri. Konsep diri yang menurun akan mempengarui pemikiran pada
lanjut usia dalam menilai dirinya baik itu penilaian diri secara positif maupun negatif.
Pada lansia yang tinggal dipanti memberikan stres tersendiri yang akan mempengarui
ideal diri, citra diri, harga diri, peran dan penampilanya serta gambaran diri, gambaran
diri yang negatif menggagap dirinya sudah tua, berarti sakit-sakitan, lemah,
membosankan, buruk rupa, bahkan julukkan negatif lainnya, anggapan semacam itu
maka, akan mempengarui penurunan konsep diri pada lansia, sehingga lansia lebih
cenderung menarik diri dan jarang berinteraksi dengan lingkungan sekitar ( Rahayu,
Hiswani, Rasmalah, 2003).
Menurut Nugroho (2008), lanjut usia akan mengalami banyak perubahan dan
penurunan fungsi fisik dan psikologis hal ini akan menimbulkan berbagai masalah pada
lanjut usia yang akan mempengarui lanjut usia dalam menilai dirinya sendiri yang disebut
konsep diri. Yentika, Y. (2018) 47
Dampak dari menurunnya konsep diri pada lanjut usia menyebabkan bergesernya
peran sosial dalam berinteraksi sosial di masyarakat maupun dikeluarga. Hal ini didukung
oleh sikap lansia yang cenderung egois dan enggan mendengarkan pendapat orang lain,
sehingga mengakibatkan lansia terasing secara sosial dan akhirnya merasa terisolir dan
merasa tidak berguna lagi karena tidak ada penyaluran emosional dari bersosialisasi.
Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial menurun baik secara kualitas maupun
kuantitas karena peran lansia yang digantikan kaum muda, dimana keadaan ini terjadi
sepanjang hidup dan tidak dapat dihindari (Standley & Beare, 2007).
Seiring dengan bertambahnya usia, lansia mengalami perubahan dalam hidup
mereka misalnya, hilangnya pekerjaan, pensiun, berubahnya peran sosial, merasa
ditinggalkan dan jauh dari anak cucu, kehilangan pasangan suami atau istri, jika
penyesuaikan diri pada lansia dalam menghadapi perubahan dalam kehidupannya lambat
dan tidak mampu menyesuaikan diri, hal ini akan menimbulkan kondisi stress dan akan
semakin bertambahnya beban mental pada lansia, kondisi ini menyebabkan lansia jarang
bersosialisasi dan berinteraksi. Keadaan ini cenderung berpotensi menimbulkan masalah
kesehatan secara umum (fisik) maupun kesehatan jiwa secara khusus (Nugroho, 2008).
Selain itu lanjut usia mengakui dan menyadari bahwa dirinya mengalami
perubahan pada kondisi fisknya misalnya, kulit yang memulai keriput, rambut yang
ubanan, tidak bisa melakukan aktivitas seperti masa muda. Hal tersebut secara tidak
langsung akan berpengaruh pada konsep diri lansia, khususnya pada gambaran dirinya
yang selalu mengagap dirinya rendah. Didalam perubahan peran yang ada pada lansia
juga sangat mempengarui konsep dirinya seperti menarik diri, jarang berinteraksi dengan
orang disekitar, menganggap dirinya rendah, menaggap dirinya sudah tidak berguna.

1. Faktor-faktor pembentuk konsep diri


Faktor yang membentuk konsep diri yaitu keluarga, perannya apa, pengalaman
apa yang pernah dialui, situasi lingkungan sekitar. Keluarga merupakan organisasi
yang pertama dan utama dalam pelaksanaan interaksi West dan Tuner, (Fransisca
dan Arum Yudaryati). Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri yaitu ;
Pengalaman interpersonal, kompetensi dalam pekerjaan yang dimilki, aktualisasi
diri, implementasi dan realisasi dari potensi yang benar- benar dan
seharusnya.Faktor lain yang memepengaruhi konsep diri yaitu ; Significant Other
(orang yang terpenting atau terdekat) dan Self Perception (persepsi diri sendiri)
a. Pengertian Lansia
Menjadi tua memang bukan pilihan melainakan sesutu yang opasti
akan dialami oleh semua orang, setiap orang yang berumur panjang pasti
akan menjadi tua. Hal ini sesuai dengan kata yang disebut siklus dan
perkembangan yang dialami manusia dengan ciri yang angat jelas, seperti
yang dijelaskan oleh hurlock (Bonar:2011) yaitu terjadinya perubahan
fisik dan psikologis tertentu.
Perubahan fisik dan psikologis yang dialami oleh lanjut usia
menentukan sampai taraf tertentu apakah lanjut usia akan melakukan
penyesuaian dengan sangat baik atau dengan sangat buruk atau buruk.
Menurut hurlock (Bonar:2011) ciri-ciri usia lanjut cenderung menuju
membawa penyesuaian yang buruk dari pada yang baik kepada
kesengsaraan dari pada kebahagiaan, hal inilah yang menyebabkan usia
tua lebih ditakuti dari pada usia madya di negara amerika. 50 Konsep Diri
Lansia di Panti Jompo
Masa lanjut usia atau menua merupakan tahap paling akhir dari
siklus kehidupan seseorang. WHO (2009) menyatakan masa lanjut usia
menjadi empat golongan, yaitu usia pertengahan (middle age) 45-59
tahun, lanjut usia (elderly) 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) 75-90 tahun
dan usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun (ananda dkk:2017).
Tahapan usia lanjut menurut Erickson 1963 dalam (parulian dkk :
2016) merupakan tahap integrity versus despair, yakni individu yang
sukses dalam melampaui tahap ini akan dapat beradaptasi dengan baik,
menerima berbagai perubahan yang terjadi dengan tulus mampu
beradaptasi dengan keterbatasan yang dimilikinya, bertambah bijak
menyikapi proses kehidupan yang dialaminya, sebaliknya mereka yang
gagal maka akan melewati tahap ini dengan penuh stress, rasa penolakan,
marah dan putus asa terhadap kenyataan yang dialaminya.
Dukungan keluarga merupakan salah satu bentuk terapi yang
diperlukan karena melalui keluarga berbagai masalah kesehatan dapat
muncul dan segera diatasi. Menurut Frietman dalam (Nuri dkk : 2016)
juga menjelaskan ada 4 jenis dukungan keluarga yaitu dukungan
instrumental, dukungan informasional, dukungan emosional, selain
dukungan keluarga, karakteristik keluarga juga mempengaruhi
kemampuan individu termasuk lansia dalam mengatasi masalah kesehatan
yaitu pekerjaan, pendapatan, pendidikan, tipe keluarga dan usia.
Menurut indarwati & Tri joko (2014) upaya meningkatkan
kesejahteraan social pada lansia membutuhkan rehabilitas yang disebut
dengan pekerja social. Sehingga mampu memberikn manfaat langsung
kepada lanjut usia. Menurut Nindy Ayu, dkk (2017) keluarga memiliki
peranan yang sangatpenting dalam perawatan lansia. Jika perawatan
keluarga baik maka akan baik kesehatan lansia jika keluarga buruk dalam
merawa maka akan buruk kesehatan lansia.
Pada saat ini lansia kurang sekali mendapat perhatian serus
ditengah keluarga terutama dalam hal pemebuhan aktfivitas kehidupan
sehari-hari. Hal ini disebabkan lansia keterbatasan waktu dalam merawat
diri tetapi keluarga tidak memiliki waktu untuk merawat diri.(Ratna
Wulandari:2014). Kondisi kesehatan fisik secara keseluruhan mengalami
kemunduran semenjak seseorang memasuki fase lansia dalam
kehidupannya (Anis:2012).

b. Pengertian Panti Jompo


Panti Jompo merupakan upaya Pemerintah untuk mengayomi para
Lansia (orang lanjut usia) yang hidup miskin dan terlantar. Undang-
Undang Dasar 1945 pasal 34 telah mengamanatkan, memperhatikan
“Fakir Miskin dan Anak Terlantar”. Pendirian Panti Sosial didasarkan atas
Undang-Undang RI no.4 Tahun 1965 tentang “Pemberian Bantuan
Kehidupan bagi Orang-Orang Jompo”; Keputusan Mentri Sosial RI
No.3/1/50/107/1979 tentang “Pemberian kehidupan bagi Orang-orang usia
Lanjut”; Undang-Undang RI No.6 tahun 1998, tentang “Kesejahteraan
Lanjut Usia.
Panti jompo menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata panti
jompo diartikan sebagai tempat merawat dan menampung jompo. Panti
jompo (rumah perawatan) Yentika, Y. (2018) 51
merupakan sebuah tempat tinggal atau tempat penampungan bagi
orang-orang yang sudah tua. Pemilihan tempat tinggal menjadi sesuatu
yang penting bagi lansia. Umunya lansia memilih hidup dengan anak-
nanak mereka tetapi tidak jarang juga dia memilih hidup terpisah dari
anak-anaknya. Di Indonesia salah satu tempat tinggal untuk lansia adalah
panti werdah. (Cicilia :2016) .
Panti jompo merupakan unit pelaksanaan teknis yang memberikan
pelayanan sosial bagi lanjut usia, yaitu berupa pemberian penampungan,
jaminan hidup seperti makanan dan pakaian, pemeliharaan, kesehatan,
pengisian waktu luang termasuk rekreasi, bimbingan sosial, mental serta
agama, sehingga mereka dapat menikmati hari tuanya dengan diliputi
ketentraman lahir batin (DEPSOS RI, 2003). Panti jompo adalah tempat
tinggal yang dirancang khusus untuk orang lanjut usia, yang didalamnya
disediakan semua fasilitas lengkap yang dibutuhkan orang lanjut usia
(Hurlock, 1996). Panti jompo adalah tempat dimana berkumpulnya orang-
orang lanjut usia yang baik secara sukarela ataupun diserahkan oleh pihak
keluarga untuk diurus segala keperluannya, dimana tempat ini ada yang
dikelola oleh pemerintah maupun pihak swasta (Zakiya, 2015). Adanya
panti jompo ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan lanjut dalam
rangka/ upaya mengatasi masalah kesehatannya secara mandiri dan
mewujudkan derajat kesehatannya secara optimal.

c. Karakteristik Panti Jompo


Menurut Siti (2012), panti jompo identik dengan tempat
penampungan bagi orang yang sudah tua. Kategori/ ciri-ciri orangtua yang
ditampung oleh panti jompo yaitu sebagai berikut : yang memang
sebatang kara dan tidak punya sanak saudara yang bisa merawatnya. Di
Panti Jompo ada petugas atau sukarelawan yang bisa menemani dan
merawat mereka melalui hari2 tua mereka,yang masih memiliki sanak
saudara bahkan yang masih memiliki anak dan cucu tapi tidak bisa
merawatnya.
Berbagai faktor para orang tua (manula) berada di panti jompo
antara lain sebagai berikut : Sibuk alias tidak ada waktu (dikarenakan
alasan semua orang dirumah kerja jadi tidak ada yang bisa memperhatikan
kebutuhan orang yang sudah renta tersebut). Hmm… Apakah alasan ini
bisa dibenarkan? Gimana waktu kita kecil sampai besar, apakah orang tua
kita bisa dengan alasan sibuk jadi kagak perlu ngurus kita? Jikalaupun
orangtua yang sibuk kerja and kagak bisa ngurus anaknya, apakah lantas
ditaruh di Panti Asuhan? Dan Tidak mau tahu (alasannya karena tidak
tauk kebutuhan dan tidak terbiasa mengurus orang tua, kalo di Panti
Jompo khan sudah ada tenaga ahli yang memang pekerjaannya mengurus
kebutuhan para manula) Hmm… Kalo yang ini kayaknya mengada-ada
yach? Waktu orang tua kita pertama kali punya anak juga pastinya mereka
kagak pernah dilatih untuk langsung bisa ngurus anak. Mereka bakal
belajar seiring berjalannya waktu.
d. Permasalahan Warga Binaan Di Panti Jompo
Masalah yang sering dihadapi oleh lansia yang tinggal di panti
jompo menurut Wreksoatmodjo (2013) adalah : 1) Lansia yang tinggal di
panti umumnya kurang merasa hidup bahagia, banyak lansia yang merasa
kesepian tinggal di panti padahal banyak 52 Konsep Diri Lansia di Panti
Jompo
lansia atau penghuni panti di sekeliling mereka, 2) Lansia yang
tinggal di panti merasa sedih karena keterbatasan ekonomi, meskipun
kebutuhan mereka sehari-hari terpenuhi. 3) Lansia yang tinggal di panti
tercukupi kebutuhan fisik (pangan, sandang dan papan) namun mereka
tetap merindukan dapat menikmati sisa hidupnya dengan tinggal bersama
keluarga. 4) Lansia yang tinggal di panti, pada umumnya adalah lansia
terlantar yang jauh dari anak dan cucu, akan cenderung kurang dapat
memaknai hidup, mereka menjalani hidup kurang semangat, kurang
optimis, dan merasa kesepian atau hampa, kurang memiliki tujuan yang
jelas baik jangka pendek maupun jangka panjang, kurang bertanggung
jawab terhadap diri sendiri, lingkungan dan masyarakat.5) Lansia yang
tinggal di panti cenderung merasa kurang bebas menentukan pilihandalam
hidupnya, mereka lebih senang tinggal di panti karena ada yang
mengurusnya walaupun mereka merasa terkekang, dan mereka merasa
tidak dapat bertindak sesuainilai-nilai yang diyakininya. 6) Para lansia
yang tinggal di panti kurang beraktifitas, baik aktifitas fisik
maupunaktifitas kognitif dan juga kurang aktif berpartisipasi dalam
kegiatan masyarakat. 7) Lansia penghuni panti banyak yang 8) mengalami
underweight (penurunan berat badan).Beberapa hasil penelitian di luar
negeri menunjukkan bahwa lansia yang tinggal di panti lebih beresiko
mengalami gangguan kognitif.

e. Konsep diri lansia di panti jompo


Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada
hidup manusia termasuk biologis, psikologis dan sosial (Kusumawati dan
Hartono, 2010). Lanjut usia suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh
semua orang yang dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari
oleh siapa saja (Nugroho, 2008). Menurut Pujiastuti dan Budiono (2003)
seseorang yang telah berumur lebih dari 60 tahun. Lansia merupakan
tahap akhir dari siklus hidup manusia yang merupakan proses alamiah
yang tidak dapat dihindari (Maryam, 2002). Lanjut usia terdiri dari
beberapa penggelompokan umur diantaranya sebagai berikut, (1) Usia
pertengahan Middle age 45-59 tahun, (2) lansia 60-74 tahun (elderly), (3)
lansia tua 75-90 tahun (old), (4) usia sangat tua (very old). Lanjut usia
dalam kehidupannya sehari-hari akan banyak mengalami kemunduran dan
perubahan-perubahan. Meliputi perubahan fisik, psikologis, perubahan
mental, kognitif dan perubahan spiritual dan ekonomi. Masalah fisik yang
ditemukan pada lansia adalah: Mudah jatuh dan mudah lelah. Kekacauan
mental akut, nyeri dada, berdebardebar, sesak nafas, pembengkakan, sulit
tidur, pusing, dan perubahanperubahan pada mental atau psikososial
sehingga akan mempengarui konsep diri ( Nugroho, 2008).
Konsep diri merupakan gambaran tentang diri kita, tentang apa
yang kita pikirkan dan kita rasakan dan merupakan kumpulan dari
berbagai pengalaman dan utamanya dalam hubungan dengan orang lain
interactional with other) (Tasmara, 2006). Penurunan konsep diri akan
mempengarui pola pemikiran lanjut usia terhadap perilakunya. Perubahan
konsep diri pada lanjut usia terutama disebabkan oleh kesadaran subyektif
yang terjadi yang sejalan dengan bertambahnya usia. Apabila lanjut usia
menyadari perubahan adanya perubahan fisik dan psikis yang terjadi pada
diri mereka maka akan berfikir dan bertingkah laku yang seharusnya
dilakukan oleh lanjut usia. Yentika, Y. (2018) 53
Lanjut usia akan banyak mengalami perubahan fisik kemampuan
dan fungsi tubuh yang akan mengkibatkan tidak stabilnya konsep diri
(Nugroho, 2008).
Konsep diri lansia dipengarui oleh pengalaman-pengalaman
sepanjang hidup lansia dan berkembang melalui proses yang sangat
kompleks yang melibatkan banyak komponen. Komponen konsep diri,
Gambaran diri atau citra diri, ideal diri, harga diri, identitas diri,
penampilan dan peran (Potter & perry, 2002) Gambaran diri atau citra diri
(body image) mencakup sikap individu terhadap tubuhnya sendiri,
termasuk penampilan fisik, struktur dan fungsinya yang dipengaruhi oleh
pertumbuhan.

F. KASUS PERCOBAAN BUNUH DIRI


1. Pengertian
Bunuh diri: Segala perbuatan dengan tujuan untuk membinasakan dirinya sendiri
dan yang dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang tahu akan akibatnya, yang
dilakukan dalam waktu singkat.
Pada umumnya tindakan bunuh diri merupakan cara ekspresi orang yang penuh
stress. Perilaku bunuh diri berkembang dalam rentang diantaranya :
a. Suicidal ideation, pada tahap ini merupakan proses contemplasi dari suicide, atau
sebuah metoda yang digunakan tanpa melakukan aksi/tindakan, bahkan klien
pada tahap ini tidak akan mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan.
Walaupun demikian, perawat perlu menyadari bahwa pasien pada tahap ini
memiliki pikiran tentang keinginan untuk mati.
b. Suicidal intent, Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah melakukan
perencanaan yang konkrit untuk melakukan bunuh diri.
c. Suicidal threat, Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan
hasrat yan dalam  bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya.
d. Suicidal gesture, Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang
diarahkan pada diri sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya
tetapi sudah pada percobaan untuk melakukan bunuh diri. Tindakan yang
dilakukan pada fase ini pada umumnya tidak mematikan, misalnya meminum
beberapa pil atau menyayat pembuluh darah pada lengannya. Hal ini terjadi
karena individu memahami ambivalen antara mati dan hidup dan tidak berencana
untuk mati. Individu ini masih memiliki kemauan untuk hidup, ingin di
selamatkan, dan individu ini sedang mengalami konflik mental. Tahap ini sering
di namakan “Crying for help” sebab individu ini sedang berjuang dengan stress
yang tidak mampu di selesaikan.
e. Suicidal attempt, Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang mempunyai
indikasi individu ingin mati dan tidak mau diselamatkan misalnya minum obat
yang mematikan . walaupun demikian banyak individu masih mengalami
ambivalen akan kehidupannya.
2. Penyebab Bunuh diri
a. Faktor genetic dan teori biologi
Faktor genetic mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri pada keturunannya.
Disamping itu adanya penurunan serotonin dapat menyebabkan depresi yang
berkontribusi terjadinya resiko buuh diri.
b. Teori Sosiologi
Emile Durkheim membagi suicide dalam 3 kategori yaitu : Egoistik (orang yang
tidak terintegrasi pada kelompok social), atruistik (Melakukan suicide untuk
kebaikan masyarakat) dan anomic ( suicide karena kesulitan dalam berhubungan
dengan orang lain dan beradaptasi dengan stressor).
c. Teori Psikologi
Sigmund Freud dan Karl Menninger meyakini bahwa bunuh diri merupakan hasil
dari marah yang diarahkan pada diri sendiri.
d. Penyebab lain
1) Adanya harapan untuk reuni dan fantasy
2) Merupakan jalan untuk mengakhiri keputusasaan dan ketidak berdayaan
3) Tangisan untuk minta bantuan
4) Sebuah tindakan untuk menyelamatkan muka dan mencari kehidupan yang
lebih baik
3. Motif bunuh diri
Pada dasarnya, segala sesuatu itu memiliki hubungan sebab akibat (ini adalah
sistematika). Dalam hubungan sebab akibat ini akan menghasilkan suatu alasan atau
sebab tindakan yang disebut motif.
Motif bunuh diri ada banyak macamnya. Disini penyusun menggolongkan dalam
kategori sebab, misalkan :
1) Dilanda keputusasaan dan depresi
2) Cobaan hidup dan tekanan lingkungan.
3) Gangguan kejiwaan / tidak waras (gila).
4) Himpitan Ekonomi atau Kemiskinan (Harta / Iman / Ilmu)
5) Penderitaan karena penyakit yang berkepanjangan.
4. Pengkajian Resiko Bunuh Diri
Sebagai perawat perlu mempertimbangkan pasien memiliki resiko apabila menunjukkan
perilaku sebagai berikut :
a. Menyatakan pikiran, harapan dan perencanaan tentang bunuh diri
b. Memiliki riwayat satu kali atau lebih melakukan percobaan bunuh diri.
c. Memilki keluarga yang memiliki riwayat bunuh diri.
d. Mengalami depresi, cemas dan perasaan putus asa.
e. Memiliki ganguan jiwa kronik atau riwayat penyakit mental
f. Mengalami penyalahunaan NAPZA terutama alkohol
g. Menderita penyakit fisik yang prognosisnya kurang baik
h. Menunjukkan impulsivitas dan agressif
i. Sedang mengalami kehilangan yang cukup significant atau kehilangan yang
bertubi-tubi dan secara bersamaan
j. Mempunyai akses terkait metode untuk melakukan bunuh diri misal pistol, obat,
racun.
k. Merasa ambivalen tentang pengobatan dan tidak kooperatif dengan pengobatan
l. Merasa kesepian dan kurangnya dukungan sosial.
Banyak instrument yang bisa dipakai untuk menentukan resiko klien melakukan bunuh diri
diantaranya dengan SAD PERSONS

NO SAD PERSONS Keterangan

Laki laki lebih komit melakukan suicide 3


kali lebih tinggi dibanding wanita, meskipun
1 Sex (jenis kelamin)
wanita lebih sering 3 kali dibanding laki laki
melakukan percobaan bunuh diri

Kelompok resiko tinggi : umur 19 tahun atau


2 Age ( umur) lebih muda, 45 tahun atau lebih tua dan
khususnya umur 65 tahun lebih.

35 – 79% oran yang melakukan bunuh diri


3 Depression
mengalami sindrome depresi.

4 Previous attempts 65- 70% orang yang melakukan bunuh diri


(Percobaan sudah pernah melakukan percobaan
sebelumnya) sebelumnya

65 % orang yang suicide adalah orang


5 ETOH ( alkohol)
menyalahnugunakan alkohol

Rational thinking Loss Orang skizofrenia dan dementia lebih sering


6 ( Kehilangan berpikir melakukan bunuh diri disbanding general
rasional) populasi

Orang yang melakukan bunuh diri biasanya


Sosial support lacking (
kurannya dukungan dari teman dan saudara,
7 Kurang dukungan
pekerjaan yang bermakna serta dukungan
social)
spiritual keagaamaan

Organized plan Adanya perencanaan yang spesifik terhadap


8 (perencanaan yang bunuh diri merupakan resiko tinggi
teroranisasi)

No spouse ( Tidak Orang duda, janda, single adalah lebih


9
memiliki pasangan) rentang disbanding menikah

Orang berpenyakit kronik dan terminal


10 Sickness
beresiko tinggi melakukan bunuh diri.

BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa konsep diri lansia yang
hidup dipanti jompo ada menurun atau merosot yakni merasa tua, tidak berguna, tidak ada
yang mau menerima dan merawatnya.dan adajuga sebagian yang memiliki konsep diri bagus
yaitu merasa banyak teman dan tidak jenuh ketika seperti keadaan di rumah. Semua pihak
setidaknya dapat memahami bahwa banyak penurunan yang akan dialami oleh lansia, dan
sebagai anak kita harus paham bahwa orantua butuh kita.
Bunuh diri adalah segala perbuatan dengan tujuan untuk membinasakan dirinya sendiri dan
yang dengan sengaja dilakukan oleh seseorang yang tahu akan akibatnya, yang dilakukan
dalam waktu singkat.

B. SARAN
 Penulis berharap agar Pembaca dapat mengerti tentang keperawatan keluarga mulai dari
Definisi sampai dengan hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam keperawatan
keluarga.
 Mahasiswa selaku calon perawat dapat lebih mengenal tentang pembahasan ini, dan dapat
mensosialisasikan kepada masyarakat luas disekitarnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ananda Ruth Naftali, dkk. (2017). Kesehatan spiritual dan kesiapan lansia dalam menghadapi
kematian. Vol 25, No 2, Hal 124-135
Anis Ika Nur Rahman, dkk. (2012). Kualitas hidup lanjut usia. Volume 3 nomor 2. Halaman 126.
Bonar. (2011). Emotional Intelegence dan Psychological well-being pada mansia lanjut Anggota
lanjut Berbasis keagamaan di jakarta . volume 13 nomor 12

CAPTAIN, C, ( 2008). Assessing suicide risk, Nursing made incredibly easy, Volume 6(3),
May/June 2008, p 46–53

Carpenito, LJ (2008). Nursing diagnosis : Aplication to clinical practice, Mosby St


Louis.Riyawan.com |Kumpulan Artikel & Makalah Keperawtan Farmasi

Cicilia Pali. (2016). Gambaran kebahagiaan lansia yang tinggal di panti werda. Volume 4 nomor
Hurlock. (1996). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.
Jakarta: Erlangga.
DEPSOS RI. (2003). Rencana Aksi Nasional untuk Kesejahteraan Lanjut Usia. Jakarta:
Departemen Sosial Republik Indonesia.
H. Jalali. (2008). Psikologi pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Indarwati & tri joko raharjo. (2014). Peranan pekerja social dalam meningkatkan Kesejahteraan.
Lansia.Volume 3 nomor 3. Halaman 24.

Kaplan and Saddock (2005). Comprehensive textbook of Psychiatry, Mosby, St Louis.

Nuri Nazari, dkk. (2016). Family support and characteristics of the caring family on the erderly
nutrition.Volume 4 nomor 2.
Nindi Ayu Prabasari. (2017). Pengalaman keluarga dalam merawat lansia di rumah Volume 5
nomor 1 Halaman 58. 54 Konsep Diri Lansia di Panti Jompo
Nugroho, Wahjudi. (2008). Keperawatan Gerontik & Geriatrik. Ediisi 3. Jakarta : Kedokteran
eeg.
Parulian Gultom, dkk. (2016). Hubungan aktivitas spiritual dengan tingkat depresi pada lansia di
balai lanjut usia senja cerah kota manado.
Ratna Wulandari. (2014). Gambaran tingkat kemandirian lansia dalam pemenuhan ADL.
Volume 1 nomor 2. Halaman 145.
Ratna Dwi. (2014). Identifikasi factor-faktro yang mempengaruhi konsep diri siswa. Jakarta:
UNY.
Rahayu, Hiswani, & Ramelah. (2003). Gambaran Lanjut Usia Yang Tinggal di Panti. UPTD:
Abdi.

Stuart, GW and Laraia (2005). Principles and practice of psychiatric nursing, 8ed. Elsevier
Mosby, Philadelphia

Shives, R (2008). Basic concept of psychiatric and Mental Health Nursing, Mosby, St Louis.

Varcarolis, E M (2000). Psychiatric Nursing Clinical Guide, WB Saunder Company,


Philadelphia.

Anda mungkin juga menyukai