Anda di halaman 1dari 19

TUGAS MANAJEMEN KEPERAWATAN

TEORI – TEORI MOTIVASI MENURUT BEBERAPA PARA AHLI

OLEH:
RAHMI RAMADHONA (1912142010151)

STIKes YARSI BUKITTINGGI SUMBAR


PRODI S1 KEPERAWATAN PROGSUS
T.A 2019/2020
TEORI – TEORI MOTIVASI MENURUT BEBERAPA PARA AHLI

A. Teori Motivasi Maslow ( Teori Kebutuhan Manusia)


Maslow mengatakan pada dasarnya kebutuhan
manusia dibagi dalam 5 tingkatan. Tingkatan yang tersusun
menyerupai piramida ini dimulai dorongan dari tingkat
bawah yang juga disebut Hirarki Kebutuhan Maslow.
Kebutuhan ini dimulai dari tingkatan yang paling bawah
yaitu kebutuhan biologis dasar sampai motif psikologi yang
lebih kompleks. Kebutuhan pada tingkatan berikutnya
tersebut akan terpenuhi jika pelaku telah menyelesaikan
minimal setengah dari kebutuhan sebelumnya. Seperti kebutuhan psikologi baru akan
terpenuhi jika kebutuhan dasarnya telah terpenuhi.
Teori Maslow dalam Reksohadiprojo dan Handoko (1996), membagi kebutuhan
manusia sebagai berikut :
1. Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan fisiologis merupakan hirarki kebutuhan manusia yang paling dasar yang
merupakan kebutuhan untuk dapat hidup seperti makan,minum, perumahan,
oksigen, tidur dan sebagainya.
2. Kebutuhan Rasa Aman
Apabila kebutuhan fisiologis relatif sudah terpuaskan, maka muncul kebutuhan
yang kedua yaitu kebutuhan akan rasa aman. Kebutuhan akan rasa aman ini
meliputi keamanan akan perlindungan dari bahaya kecelakaan kerja, jaminan akan
kelangsungan pekerjaannya dan jaminan akan hari tuanya pada saat mereka tidak
lagi bekerja.
3. Kebutuhan Sosial
Jika kebutuhan fisiologis dan rasa aman telah terpuaskan secara minimal, maka
akan muncul kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan untuk persahabatan, afiliasi dana
interaksi yang lebih erat dengan orang lain. Dalam organisasi akan berkaitan
dengan kebutuhan akan adanya kelompok kerja yang kompak, supervisi yang baik,
rekreasi bersama dan sebagainya.
4. Kebutuhan Penghargaan
Kebutuhan ini meliputi kebutuhan keinginan untuk dihormati, dihargai atas prestasi
seseorang, pengakuan atas kemampuan dan keahlian seseorang serta efektifitas
kerja seseorang.
5. Kebutuhan Aktualisasi diri
Aktualisasi diri merupakan hirarki kebutuhan dari Maslow yang paling tinggi.
Aktualisasi diri berkaitan dengan proses pengembangan potensi yang sesungguhnya
dari seseorang. Kebutuhan untuk menunjukkan kemampuan, keahlian dan potensi
yang dimiliki seseorang. Malahan kebutuhan akan aktualisasi diri ada
kecenderungan potensinya yang meningkat karena orang mengaktualisasikan
perilakunya. Seseorang yang didominasi oleh kebutuhan akan aktualisasi diri
senang akan tugas-tugas yang menantang kemampuan dan keahliannya.

Teori Maslow mengasumsikan bahwa orang berkuasa memenuhi kebutuhan yang


lebih pokok (fisiologis) sebelum mengarahkan perilaku memenuhi kebutuhan yang lebih
tinggi (perwujudan diri). Kebutuhan yang lebih rendah harus dipenuhi terlebih dahulu
sebelum kebutuhan yang lebih tinggi seperti perwujudan diri mulai mengembalikan
perilaku seseorang. Hal yang penting dalam pemikiran Maslow ini bahwa kebutuhan
yang telah dipenuhi memberi motivasi. Apabila seseorang memutuskan bahwa ia
menerima uang yang cukup untuk pekerjaan dari organisasi tempat ia bekerja, maka
uang tidak mempunyai daya intensitasnya lagi. Jadi bila suatu kebutuhan mencapai
puncaknya, kebutuhan itu akan berhenti menjadi motivasi utama dari perilaku.
Kemudian kebutuhan kedua mendominasi, tetapi walaupun kebutuhan telah terpuaskan,
kebutuhan itu masih mempengaruhi perilaku hanya intensitasnya yang lebih kecil.

B. Teori Motivasi Prestasi Mc. Clelland


Mc Clelland mengemukakan 6 karakteristik orang yang
mempunyai motivasi berprestasi tinggi, yaitu :
1. Memiliki tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi
2. Berani mengambil dan memikul resiko
3. Memiliki tujuan realistic
4. Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk
merealisasikan tujuan
5. Memanfaatkan umpan balik yang konkrit dalam semua
kegiatan yang dilakukan
6. Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah
diprogramkan.

KEBUTUHAN AKAN
PRESTASI

KEBUTUHAN AKAN KEBUTUHANUNTUK


KEKUASAAN BERAFILIASI

Konsep penting lain dari teori motivasi yang didasarkan dari kekuatan yang ada
pada diri manusia adalah motivasi prestasi menurut Mc Clelland seseorang dianggap
mempunyai apabila dia mempunyai keinginan berprestasi lebih baik daripada yang lain
pada banyak situasi Mc. Clelland menguatkan pada tiga kebutuhan menurut
Reksohadiprojo dan Handoko (1996 : 85) yaitu :
1. Kebutuhan akan Prestasi 
Kebutuhan akan prestasi adalah dorongan untuk mengungguli, berprestasi
sehubungan dengan seperangkat standar, bergulat untuk sukses. Ciri-ciri inidividu
yang menunjukkan orientasi tinggi antara lain bersedia menerima resiko yang relatif
tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja mereka,
keinginan mendapatkan tanggung jawab pemecahan masalah.

2. Kebutuhan akan Kekuasaan 


Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku
dalam suatu cara dimana orang-orang itu tanpa dipaksa tidak akan berperilaku
demikian atau suatu bentuk ekspresi dari individu untuk mengendalikan dan
mempengaruhi orang lain. McClelland menyatakan bahwa kebutuhan akan kekuasaan
sangat berhubungan dengan kebutuhan untuk mencapai suatu posisi kepemimpinan.

3. Kebutuhan untuk Berafiliasi 


Kebutuhan akan afiliasi atau bersahabat adalah hasrat untuk berhubungan antar
pribadi yang ramah dan akrab. Individu merefleksikan keinginan untuk mempunyai
hubungan yang erat, kooperatif dan penuh sikap persahabatan dengan pihak lain.
Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil dalam
pekerjaan yang memerlukan interaksi sosial yang tinggi. McClelland mengatakan
bahwa kebanyakan orang memiliki kombinasi karakteristik tersebut, akibatnya akan
mempengaruhi perilaku karyawan dalam bekerja atau mengelola organisasi.

Karakteristik dan sikap motivasi prestasi menurut Mcclelland adalah :


1. Pencapaian adalah lebih penting daripada materi.
2. Mencapai tujuan atau tugas memberikan kepuasan pribadi yang lebih besar daripada
menerima pujian atau pengakuan.
3. Umpan balik sangat penting, karena merupakan ukuran sukses (umpan balik yang
diandalkan, kuantitatif dan faktual).
C. Teori Motivasi Menurut Herzberg (Teori Dua Faktor)

Teori Dua Faktor (juga dikenal sebagai teori motivasi


Herzberg atau teori (hygiene-motivator). Teori ini
dikembangkan oleh Frederick Irving Herzberg (1923-2000),
seorang psikolog asal Amerika Serikat. Ia dianggap sebagai
salah satu pemikir besar dalam bidang manajemen dan teori
motivasi.
Frederick Herzberg menyatakan bahwa ada faktor-faktor
tertentu di tempat kerja yang menyebabkan kepuasan kerja,
sementara pada bagian lain ada pula faktor lain yang
menyebabkan ketidakpuasan. Dengan kata lain kepuasan dan
ketidakpuasan kerja berhubungan satu sama lain.

Faktor-faktor tertentu di tempat kerja tersebut oleh Frederick Herzberg


diidentifikasi sebagai hygiene factors (faktor kesehatan) dan motivation factors (faktor
pemuas).
Dua faktor ini oleh Frederick Herzberg dialamatkan kepada faktor intrinsik dan
faktor ekstrinsik, dimana faktor intrinsik adalah faktor yang mendorong karyawan
termotivasi, yaitu daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang, dan
faktor ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang, terutama dari
organisasi tempatnya bekerja.
Teori ini merupakan pengembangan dari teori hirarki kebutuhan Maslow. Dan
juga berhubungan erat dengan teori tiga faktor sosial McClelland.

1. Hygiene Factors
Hygiene factors (faktor kesehatan) adalah faktor pekerjaan yang penting untuk
adanya motivasi di tempat kerja. Faktor ini tidak mengarah pada kepuasan positif untuk
jangka panjang. Tetapi jika faktor-faktor ini tidak hadir, maka muncul ketidakpuasan.
Faktor ini adalah faktor ekstrinsik untuk bekerja. Faktor higienis juga disebut sebagai
dissatisfiers atau faktor pemeliharaan yang diperlukan untuk menghindari
ketidakpuasan. Hygiene factors (faktor kesehatan) adalah gambaran kebutuhan fisiologis
individu yang diharapkan untuk dipenuhi. Hygiene factors (faktor kesehatan) meliputi
gaji, kehidupan pribadi, kualitas supervisi, kondisi kerja, jaminan kerja, hubungan antar
pribadi, kebijaksanaan dan administrasi perusahaan.

2. Motivation Factors
Menurut Herzberg, hygiene factors (faktor kesehatan) tidak dapat dianggap
sebagai motivator. Faktor motivasi harus menghasilkan kepuasan positif. Faktor-faktor
yang melekat dalam pekerjaan dan memotivasi karyawan untuk sebuah kinerja yang
unggul disebut sebagai faktor pemuas. Karyawan hanya menemukan faktor-faktor
intrinsik yang berharga pada motivation factors (faktor pemuas). Para motivator
melambangkan kebutuhan psikologis yang dirasakan sebagai manfaat tambahan. Faktor
motivasi dikaitkan dengan isi pekerjaan mencakup keberhasilan, pengakuan, pekerjaan
yang menantang, peningkatan dan pertumbuhan dalam pekerjaan.

3. Kritik
Teori ini menurut Cushway dan Lodge, 1995 mengabaikan pekerja kerah biru.
Uang/gaji tidak dimasukkan sebagai faktor motivasi dan ini mendapat kritikan oleh para
ahli. Pekerjaan kerah biru sering kali dilakukan oleh mereka bukan karena faktor
intrinsik yang mereka peroleh dari pekerjaan itu, tetapi kerena pekerjaan itu dapat
memenuhi kebutuhan dasar.
Teori dua faktor juga memiliki keterbatasan lain yaitu variabel situasional.
Herzberg mengasumsikan adanya korelasi antara kepuasan dan produktivitas. Namun
penelitian yang dilakukan oleh Herzberg menekankan pada kepuasan dan mengabaikan
produktivitas. Tidak ada ukuran komprehensif kepuasan digunakan. Seorang karyawan
mungkin menemukan pekerjaannya diterima meskipun fakta bahwa ia mungkin
membenci obyek pekerjaannya.
Teori dua faktor menurut para ahli juga tidak bebas dari bias karena didasarkan
pada reaksi alami dari karyawan ketika mereka ditanya sumber kepuasan dan
ketidakpuasan di tempat kerja. Mereka akan menyalahkan ketidakpuasan pada faktor-
faktor eksternal seperti struktur gaji, kebijakan perusahaan dan hubungan dengan
karyawan lainnya. Juga, karyawan tentunya subyektif terhadap diri mereka sendiri untuk
menilai faktor kepuasan kerja.Mskipun mendapatkan kritik namun demikian teori dua
faktor Herzberg diterima secara luas oleh para ahli.
4. Implikasi Teori
Teori Dua-Faktor menyiratkan bahwa manajer harus fokus untuk menjamin
kecukupan faktor hygiene (faktor kesehatan) guna menghindari ketidakpuasan karyawan.
Juga, manajer harus memastikan bahwa pekerjaan sebagai perangsang dan bermanfaat
sehingga karyawan termotivasi untuk bekerja dan melakukannya lebih keras dan lebih
baik. Teori ini menekankan pada kerja pengayaan sehingga memotivasi karyawan.
Pekerjaan harus memanfaatkan keterampilan karyawan dan kompetensi mereka secara
maksimal. Berfokus pada faktor-faktor motivasi dapat meningkatkan kerja berkualitas.

D. Teori Motivasi Mc Gregor (Teori X dan Teori Y)

Gaya manajemen suatu perusahaan sangat


dipengaruhi oleh keyakinan dan asumsi manajemennya
terhadap apa yang merupakan dorongan kerja
karyawannya. Jika manajemennya yakin bahwa sebagian
dari karyawannya tidak menyukai pekerjaannya , maka
gaya manajemen akan cenderung ke gaya manajemen otoriter. Namun jika
manajemennya berasumsi sebagian besar karyawan atau anggota timnya menyenangi
pekerjaannya dan bangga ketika suatu pekerjaannya dapat diselesai dengan baik maka
gaya manajemennya akan cenderung mengadopsi ke gaya manajemen partisipatif atau
demokratik.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, seorang profesor manajemen di MIT Sloan
School of Management yang bernama Douglas McGregor kemudian mengemukakan dua
teori yang kontras yaitu Teori X dan Teori Y. Teori X dan Teori Y yang pada dasarnya
merupakan Teori Perilaku (behaviour theory) ini dimuat di buku Douglas McGregor
yang berjudul “The Human Side Enterprise” di tahun 1960.

1. Teori X
Teori X ini menyatakan bahwa pada dasarnya karyawan yang bekerja pada suatu
perusahaan secara alami tidak termotivasi dan tidak suka bekerja. Dengan asumsi dan
anggapan demikian, maka manajemen akan cenderung menggunakan gaya otoriter dalam
mengoperasikan perusahaannya. Menurut Teori X ini, manajemen harus secara tegas
melakukan intervensi untuk menyelesaikan suatu masalah atau pekerjaan.
Gaya Manajemen ini menyimpulkan bahwa pekerja pada dasarnya :
1. Tidak suka bekerja.
2. Perlu diawasi, dipaksa, diperingatkan untuk mengerjakan pekerjaannya.
3. Membutuhkan pengarahan dalam melaksanakan tugasnya.
4. Tidak menginginkan adanya tanggung jawab.
5. Tugas yang diberikan harus diawasi setiap langkah pengerjaannya.
Menurut pengamatan Douglas McGregor, karyawan yang bertipe X ini
sebenarnya hanya minoritas, namun untuk mengendalikan sebuah perusahaan yang
memiliki jumlah karyawan yang banyak atau perusahaan manufaktur yang berskala
besar, manajemen teori X ini mungkin diperlukan.

2. Teori Y
Teori Y ini menyatakan bahwa pada dasarnya karyawan yang bekerja pada suatu
perusahaan menyenangi pekerjaannya, termotivasi, kreatif, bangga terhadap hasil
kerjanya yang baik, bekerja dengan penuh tanggung jawab dan senang untuk menerima
tantangan. Dengan asumsi dan anggapan demikian, maka manajemen akan cenderang
menggunakan gaya manajemen partisipatif. Teori Y ini beranggapan bahwa
karyawannya.
1. Bertanggung jawab penuh atas semua pekerjaannya dan memiliki motivasi yang kuat
untuk mengerjakan semua pekerjaan yang diberikan kepadanya.
2. Hanya memerlukan sedikit bimbingan atau bahkan tidak memerlukan bimbingan
dalam menyelesaikan tugasnya.
3. Beranggapan bahwa pekerjaan adalah bagian dari hidupnya.
4. Dapat menyelesaikan tugas dan masalah dengan kreatif dan imajinatif.
Dalam organisasi atau perusahaan yang mengadopsi gaya manajemen berdasarkan
Teori Y ini, semua karyawan terlibat dalam pengambilan keputusan dan memiliki lebih
banyak tanggung jawab.

3. Perbandingan antara Teori X dan Teori Y


Dibawah ini adalah beberapa perbandingan dan perbedaan antara Teori X dan Teori Y
dalam suatu manajemen perusahaan atau kelompok kerja, antara lain :
 Motivasi
Teori X menganggap karyawannya tidak suka terhadap pekerjaan, mereka bahkan
berusaha untuk menghindari pekerjaan dan tidak ingin adanya tanggung jawab.
Sebaliknya, Teori Y beranggapan semua karyawannya bekerja dengan motivasi dari
dirinya sendiri dan bersedia untuk bertanggung jawab atas pekerjaan yang
dilakukannya.
 Gaya Manajemen dan Pengendalian
Gaya Manajemen pada organisasi yang bertipe X adalah gaya manajemen otoriter dan
menggunakan sistem pengendalian terpusat. Sedangkan organisasi yang bertipe Y
mengadopsi gaya manajemen yang partisipatif, karyawan atau anggota tim terlibat
dalam pengambilan keputusan.
 Pengorganisasian Kerja
Manajemen yang menganggap karyawannya adalah bertipe X akan menggunakan
prinsip spesialisasi kerja untuk karyawannya dengan siklus kerja yang sama dan terus
menerus (mengerjakan pekerjaan yang sama secara rutin). Sedangkan di Teori Y,
Karyawan diberikan kebebasan yang lebih luas dalam mengembangkan keahliannya
dan diberikan kesempatan untuk memberikan saran dan perbaikan.
 Penilaian dan Penghargaan
Dalam memotivasi karyawan yang bertipe Teori X, Manajemen akan menggunakan
pendekatan “Kelinci dan Wortel” yaitu memberikan penghargaan kepada karyawan
yang berprestasi baik dan menghukum mereka yang berprestasi buruk. Sedangkan
bagi karyawan yang bertipe Teori Y, Manajemen akan memberikan motivasi dengan
cara melakukan promosi jabatan dan pengembangan karir yang lebih baik bagi
karyawannya.
E. Teori Motivasi Menurut William G Bill Ouchi (Teori Z)

Teori Z diciptakan oleh William G Bill Ouchi


seotrang profesor dari amerika serikat dan penulis buku
dibidang manajemen. Teori Z sudah banyak
diimplementasikan / dijalankan pada berbagai macam 
perusahaan di Amerika Serikat dan Jepang. Teori Z 
lebih menekankan pada peran dan posisi pegawai atau
karyawan dalam perusahaan yang dapat membuat para
pekerja menjadi lebih nyaman, lebih betah, lebih senang
dan merasa menjadi bagian penting dalam perusahaannya. Dengan demikian maka
karyawan tersebut  akan bekerja lebih efektif dan efisien dalam melakukan pekerjaan
yang dilakukannya.
Berikut ini adalah 5 syarat dan ciri dari perusahaan yang menerapkan teori z :
1. Tanggung jawab (responsibility) diberikan secara perorangan atau individual.
2. Karyawan bebas (free) bekerja menggunakan keterampilan yang dimilikinya.
3. Karyawan dipekerjakan seumur hidupnya dan apabila perusahaan tersebut mengalami
krisis keuangan, maka para pegawai tidak akan dipecat atau phk.
4. Pengambilan keputusan (decision) dilakukan dengan cara konsensus atau secara
terbuka (open). Walaupun pengambilan keputusan ini akan memakan waktu yang
lebih lama namun tingkat keberhasilan melaksanakan hasil keputusan yang didapat
akan lebih tinggi karena akan mendapat dukungan dari mayoritas pekerja.
5. Promosi (promotion) dilakukan perlahan-lahan dari bawah, dan proses evaluasi
prestasi dan promosi dilakukan dengan lebih  teliti agar tidak menimbulkan masalah
dengan para karyawan.
Buku yang pertama kali diterbitkan oleh William Ouchi pada tahun 1981
adalah Theori Z : How American Management Can Meet the Japanese Challenge, dan
pada akhirnya buku ini menjadi best seller di new york lebih dari 5 bulan.  Buku yang
diciptakan oleh william ouchi terinspirasi dari perusahaan-perusahaan jepang yang
menguasai pasar asia pada tahun 1980-an.

F. Teori Motivasi Menurut Victor Vroom (Teori Harapan)


Teori harapan kadang disebut teori
ekspektansi  atau  expectancy theory of
motivation dikemukakan oleh Victor Vroom pada
tahun 1964. Vroom lebih menekankan pada faktor
hasil (outcomes), ketimbang kebutuhan (needs)
seperti yang dikemukakan
oleh Maslow and Herzberg.
Teori ini menyatakan bahwa intensitas
kecenderungan untuk melakukan dengan cara
tertentu tergantung pada intensitas harapan bahwa kinerja akan diikuti dengan hasil
yangpasti dan pada daya tarik dari hasil kepada individu.
Vroom dalam Koontz, 1990 mengemukakan bahwa orang-orang akan termotivasi
untuk melakukan hal-hal tertentu guna mencapai tujuan apabila mereka yakin bahwa
tindakan mereka akan mengarah pada pencapaian tujuan tersebut.
Sehubungan dengan tingkat ekspektansi seseorang Craig C. Pinder (1948) dalam
bukunya Work Motivation berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat harapan atau ekspektansi seseorang yaitu:
1. Harga Diri
2. Keberhasilan waktu melaksanakan tugas
3. Bantuan yang dicapai dari seorang supervisor dan pihak bawahan
4. Informasi yang diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas
5. Bahan-bahan baik dan peralatan baik untuk bekerja.
Sementara teori harapan menyatakan bahwa motivasi karyawan adalah hasil dari
seberapa jauh seseorang menginginkan imbalan (Valence), yaitu penilaian bahwa
kemungkinan sebuah upaya akan menyebabkan kinerja yang diharapkan (Expectancy),
dan keyakinan bahwa kinerja akan mengakibatkan penghargaan (Instrumentality ).
Singkatnya, Valence adalah signifikansi yang dikaitkan oleh individu tentang hasil yang
diharapkan. Ini adalah kepuasan yang diharapkan dan tidak aktual bahwa seorang
karyawan mengharapkan untuk menerima setelah mencapai tujuan. Harapan adalah
keyakinan bahwa upaya yang lebih baik akan menghasilkan kinerja yang lebih baik.
Harapan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kepemilikan keterampilan yang sesuai
untuk melakukan pekerjaan, ketersediaan sumber daya yang tepat, ketersediaan informasi
penting dan mendapatkan dukungan yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan.

Notasi matematis Expectancy Theori adalah :

M =[ ( E−P ) ][ ( P−O ) V ]

Dimana :
M = Motivasi (Motivation)
E = Penghargaan (Expectation)
P = Prestasi (Performance)
O = Hasil (Outcome)
V = Penilaian (Value)
Jadi harapan seseorang mewakili keyakinan seorang individu bahwa tingkat
upaya tertentu akan diikuti oleh suatu tingkat kinerja tertentu. Sehubungan dengan tingkat
ekspektansi seseorang Craig C. Pinder (1948) dalam bukunya Work
Motivation berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat harapan atau ekspektansi seseorang yaitu :
1. Harga diri
2. Keberhasilan waktu melaksanakan tugas (Bantuan yang dicapai dari seorang
supervisor dan pihak bawahan)
3. Informasi yang diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas
4. Bahan-bahan baik dan peralatan baik untuk bekerja
Kelebihan Expectancy Theory diantaranya :
 Expectancy Theory mendasarkan diri pada kepentingan individu yang ingin mencapai
kepuasan maksimal dan ingin meminimalkan ketidakpuasan
 Expectancy Theory menekankan pada harapan dan persepsi, apa yang nyata dan
aktual.
 Expectancy Theory menekankan pada imbalan atau pay-off.
 Expectancy Theory sangat fokus terhadap kondisi psikologis individu dimana tujuan
akhir dari individu untuk mencapai kesenangan maksimal dan menghidari kesulitan.
Keterbatasan Expectancy Theory antara lain :

 Expectancy Theory tampaknya terlalu idealis karena hanya individu tertentu saja yang
memandang korelasi tingkat tinggi antara kinerja dan penghargaan.
 Penerapan teori ini terbatas sebab tidak langsung berkorelasi dengan kinerja di
banyak organisasi. Hal ini terkait dengan parameter lain juga seperti posisi, tanggung
jawab usaha, pendidikan, dan lain-lain.

G. Teori Motivasi Menurut J. S. Adam (Teori keadilan)

Teori keadilan menyatakan bahwa


manusia mempunyai pikiran, perasaan, dan
pandangan yang mempengaruhi pekerjaan
mereka. Teori ini diciptakan secara khusus
untuk memprediksi pengaruh imbalan terhadap
perilaku manusia. Adam mengemukakan bahwa
individu-individu akan membuat perbandingan-
perbandingan tertentu terhadap suatu
pekerjaan.  
Perbandingan-perbandingan tersebut
sangat mempengaruhi kemantapan pikiran dan perasaan mereka mengenai imbalan, serta
menghasilkan perubahan motivasi dan perilaku. Teori ini menjelaskan bahwa individu
membandingkan rasio usaha mereka dan imbalan dengan rasio usaha dan imbalan pihak
lain yang dianggap serupa (similar). Teori motivasi ini didasarkan pada asumsi bahwa
orang-orang dimotivasi oleh keinginan untuk diperlakukan secara adil dalam
pekerjaannya. Persepsi keadilan tersebut akan menjelaskan berbagai sikap dan perilaku
kerja. Teori ini berbasis  pada teori pertukaran sosial (Tyler, 1994). Setiap individu
mengharapkan bahwa mereka akan mendapatkan pertukaran usaha dan imbalan secara
adil dari organisasi.
Teori keadilan mempunyai empat asumsi dasar,  yaitu :
1. Individu berusaha untuk menciptakan dan mempertahankan satu kondisi keadilan.
2. Apabila dirasakan ada kondisi ketidakadilan, kodisi ini menimbulkan ketegangan
yang memotivasi individu untuk menguranginya atau menghilangkannya.
3. Semakin besar persepsi ketidakadilannya, semakin besar motivasinya untuk bertindak
mengurangi kondisi ketegangan itu.
4. Individu akan mempersepsikan ketidakadilan yang tidak menyenangkan (misalnya,
menerima gaji terlalu sedikit) lebih cepat daripada ketidakadilan yang menyenangkan
(misalnya, mendapatkan gaji terlalu besar).

Elemen teori ini bersandar pada tiga asumsi :


1. Teori ini menganggap bahwa orang mengembangkan kepercayaannya tentang apa
yang menyebabkan hasil yang adil dan sebanding atas kontribusi yang diberikan
dalam pekerjaannya.
2. Teori ini beranggapan bahwa orang cenderung membandingkan apa yang
dipersepsikan harus menjadi tukaran mereka dengan organisasi atau majikan dengan
apa yang ditukarkan orang lain dengan organisasi atau majikannya.
3. Teori ini juga beranggapan bahwa ketika orang percaya bahwa hal tersebut tidak
sebanding, maka mereka termotivasi untuk melakukan sesuatu.

Terdapat empat ukuran penting di dalam teori tersebut :


1. Orang : individu yang merasakan bahwa dirinya diperlakukan adil atau tidak adil.
2. Perbandingan dengan orang lain : Setiap kelompok atau orang yang serupa
dibandingkan oleh seseorang sebagai pembanding rasio usaha dan imbalan.
3. Masukan (input) : karakteristik individual yang dibawa ke dalam pekerjaan, seperti
keberhasilan usaha dan karakteristik bawaan.
4. Perolehan (outcome) : Apa yang diterima individu dari pekerjaannya (penghargaan,
upah dan tunjangan).
Berdasarkan pada rasio tersebut, ketidakadilan akan muncul ketika individu
mempersepsikan bahwa rasio antara masukan dan perolehan yang diperolehnya lebih
besar atau kurang dibandingkan pihak lain yang dijadikan referensi oleh individu
tersebut.
Manfaat yang dapat diperoleh manajer dari teori keadilan untuk meningkatkan
performa pegawai :
1. Menyarankan bahwa manajer perlu menyediakan hasil akhir yang dipersepsikan oleh
individu sebagai relevan dengan kebutuhannya. Sebagai contoh, sebuah penelitian
pegawai perusahaan pelayanan umum menunjukkan bahwa jaminan pekerjaan
merupakan hasil akhir terpenting bagi pegawai administrasi, sementara pekerja
produksi mementingkan upah di atas semua hasil akhir lainnya. Kesempatan untuk
maju menempati urutan kedua bagi pekerja produksi tetapi relatif tidak begitu penting
bagi pekerja administrasi.
2. Manajer perlu merencanakan sistem kompensasi yang dapat menghindari dampak
yang merusak performa dari ketidakadilan imbalan yang kurang. Peningkatan dalam
absensi, perputaran pegawai dan perilaku yang mengganggu merupakan gejala
percobaan untuk menghilangkan ketidakadilan yang dipersepsikan.
3. Manajer perlu untuk selalu mengingat bahwa imbalan berlebihan tidak selalu
berakibat produksi bertambah atau perbaikan performa. Individu mampu untuk
merasionalisasikan imbalan lebih yang sangat besar. Juga dalam hal manajer mampu
menciptakan ketidakadilan imbalan lebih, pegawai dengan cepat dapat menyesuaikan
diri dengan tingkat imbalan yang tinggi. Hal ini mungkin terjadi terutama dalam
situasi dimana pekerja tidak jelas mengetahui tingkat performa, kualifikasi
sebelumnya dan tingkat kompensasi dari sumber referensi.
Dari sisi siapa yang digunakan untuk memberi penilaian atas keadilan akan
menjadi penting (Pinder, 1984) atau penilaian subyektif keadilan (dalam Faturochman,
2002). Selanjutnya individu akan memilih siapa yang menjadi referensi pembanding
untuk menetapkan persepsi adil atau tidak (Festinger, 1959 dalam Pinder, 1984). Jika
individu mempersepsikan ketidakadilan maka individu tersebut akan merubah upaya
kerja untuk mencapai keadilan (changing effort to restore equity) atau merubah cara
pandang/ kognisi untuk mencapai keadilan (changing cognitions to restore equity).
Beberapa contoh pemulihan keadilan yang dilakukan individu atau karyawan (Gibson et
al., 1985) :
1. Perubahan masukan. Karyawan dapat menentukan bahwa ia akan mempergunakan
lebih sedikit waktu atau usaha untuk pekerjaan.
2. Perubahan perolehan. Karyawan dapat menetukan untuk memproduksi unit lebih
banyak karena penerapan sistem upah per potong.
3. Perubahan sikap. Karyawan dapat bersikap kurang bersungguh-sungguh terhadap
pekerjaannya.
4. Mengubah/ mengganti orang yang menjadi pembanding. Perubahan orang yang
digunakan sebagai pembanding dalam upaya memulihkan keadilan.
5. Mengubah masukan atau perolehan orang yang dijadikan pembanding. Upaya ini
dapat pula dilakukan untuk memulihkan keadilan.
6. Mengubah situasi. Keluar dari pekerjaan tersebut adalah upaya untuk mengubah
perasaan tidak adil.
Inti teori ini terletak pada pandangan bahwa manusia terdorong untuk
menghilangkan kesenjangan antara usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi
dengan imbalan yang diterima. Artinya, apabila seorang pegawai mempunyai persepsi
bahwa imbalan yang diterimanya tidak memadai, dua kemungkinan dapat terjadi, yaitu :
1. Seorang akan berusaha memperoleh imbalan yang lebih besar
2. Mengurangi intensitas usaha yang dibuat dalam melaksanakan tugas yang menjadi
tanggung jawabnya.
Dalam menumbuhkan suatu persepsi tertentu, seorang pegawai biasanya
menggunakan empat macam hal sebagai pembanding, hal itu antara lain :        
1. Harapannya tentang jumlah imbalan yang dianggapnya layak diterima berdasarkan
kualifikasi pribadi, seperti pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan dan
pengalamannya;
2. Imbalan yang diterima oleh orang lain dalam organisasi yang kualifikasi dan sifat
pekerjaannnya relatif sama dengan yang bersangkutan sendiri;
3. Imbalan yang diterima oleh pegawai lain di organisasi lain di kawasan yang sama
serta melakukan kegiatan sejenis;
4. Peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jumlah dan jenis imbalan
yang pada nantinya akan menjadi hak dari para pegawai yang bersangkutan.

Anda mungkin juga menyukai