Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

GCG DAN STAKEHOLDER

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Etika Bisnis

Disusun Oleh:

Gymnastiar (10090317083)

MANAJEMEN

EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,

Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,

hidayah, dan inayah-Nya kepada kita. Tak lupa shalawat serta salam senantiasa kita curahkan

kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya.

Makalah ini telah disusun semaksimal mungkin untuk memenuhi salah satu tugas

individu mata Kuliah Etika Bisnis Universitas Islam Bandung tahun Akademik 2018.

Makalah ini membahas tentang Relevansi Etika Dalam Berbisnis.

Disini kami mengucapkan terimakasih banyak kepada dosen kami, karena telah

memberikan tugas makalah ini yang nantinya akan menambah wawasan kami mengenai

GCG dan Stakeholder. Dengan adanya tugas ini menambah wawasan kami terhadap etika

dalam berbisnis.
GCG DAN STAKEHOLDER

A.  Latar Belakang

Istilah ‘Stakeholders’ atau dinamakan pemangku kepentingan adalah kelompok atau individu
yang dukungannya diperlukan demi kesejahteraan dan kelangsungan hidup organisasi.
Pemangku kepentingan adalah seseorang, organisasi atau kelompok dengan kepentingan
terhadap suatu sumberdaya alam tertentu (Brown et al 2001). Stakeholder is a person who
has something to gain or lose through the outcomes of a planning process, programme or
project (Dialogue by Design 2008). Pemangku kepentingan mencakup semua pihak yang
terkait dalam pengelolaan terhadap sumberdaya. Menurut Witold Henisz guru besar pada
Sekolah Bisnis Wharton, termasuk semua orang dari politisi lokal dan nasional dan tokoh
atau pemimpin masyarakat, penguasa, kelompok paramiliter, LSM dan badan-badan
internasional. Dalam konteks perusahaan, Clarkson (dalam artikel tahun 1994) memberikan
definisi pemangku kepentingan secara lebih khusus sebagai suatu kelompok atau individu
yang menanggung suatu jenis risiko baik karena mereka telah melakukan investasi (material
ataupun manusia) di perusahaan tersebut (‘Stakeholders sukarela’), ataupun karena mereka
menghadapi risiko akibat kegiatan perusahaan tersebut (‘Stakeholders non-sukarela’).
Berdasarkan pandangan tersebut pemangku kepentingan adalah pihak yang akan dipengaruhi
secara langsung oleh keputusan dan strategi perusahaan.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pemangku kepentingan adalah seluruh
pihak yang terkait dengan isu dan permasalahan yang menjadi fokus kajian atau perhatian.
Misalnya terkait isu perikanan, maka makna pemangku kepentingan sebagai parapihak yang
terkait dengan isu perikanan, seperti nelayan, masyarakat pesisir, pemilik kapal, anak buah
kapal, pedagang ikan, pengolah ikan, pembudidaya ikan, pemerintah, pihak swasta di bidang
perikanan, dan sebagainya. Seorang pemangku kepentingan adalah seseorang yang
mempunyai sesuatu yang dapat iaperoleh at au akan kehilangan akibat dari sebuah proses
perencanaan atau proyek. Dalam banyak siklus, mereka disebut sebagai kelompok
kepentingan, dan mereka bisa mempunyai posisi yang kuat dalam menentukan hasil suatu
proses politik. Seringkali akan sangat bermanfaat bagi proyek penelitian untuk
mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan dan kepedulian berbagai pemangku
kepentingan, terutama jika proyek diracang bertujuan mempengaruhi kebijakan.
PEMBAHASAN

 Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder)

Sejarah Ide beberapa teori, seperti teori keagenan , ataupun beberapa ideologi,
seperti kapitalisme dan sosialisme, sangat dipengaruhi oleh paradigma managerial
capitalism  tersebut. Hal itu terlihat jelas dari peran sentral pemilik (shareholders) dan
manajemen dalam menjelaskan fenomena bisnis dan ekonomi di masyarakat. Hal ini berbeda
dengan konsep dalam teori pemangku kepentingan (stakeholder) yang memandang bahwa
kelangsungan perusahaan di dalam lingkungan bisnisnya tergantung pada berbagai pihak
pemangku kepentingan yang tidak hanya terbatas pada pemilik dan manajemen, seperti
misalnya pemerinah, karyawan, kreditur, dan konsumen. Institusi tercipta tidak hanya untuk
memenuhi kepentingan sendiri melainkan memenuhi kebutuhan macam-macam pihak yang
ada disekiarnya. Teori stakeholder paling tidak memiliki tiga pendekatan yang saling terkait:
deskriptif, instrumental, dan normatif.
Pendekatan teori deskriptif tersebut menguraikan karakteristik dan perilaku organisasi.
Misalnya dalam (Jawahar dan Mclaughlin, 2001), kedua peneliti menguraikan peran masing-
masing stakeholder pada siklus tahapan bisnis yang berbeda. Pendekatan teori instrumental
mencermati data empiris mengenai hubungan antara menejemen kelompok-kelompok
kepentingan dengan pencapaian tujuan organisasi. Pendekatan instrumental biasanya bisa
dinyatakan dalam kalimat ‘‘jika manajemen berperilaku… maka akan berakibat…’’
pendekatan normatif  membahas inti teori serta petunjuk moral etika yang menjadi pedoman
manajemen dalam mengelola perusahaan. Menurut pendekatan ini hungan antara manajemen
dengan stakeholder dilandasi oleh komitmen moral (Berman et al. 1999). Klaim
kelompok stakeholders tertentu dilandasi atas pandangan etika tertentu yang tidak selalu
terkait dengan tata nilai instrumental stakeholders. Artinya, memenuhi klaim yang dilandasi
pandangan etika ini tidak selalu menyebabkan tercapainya kepentingan strategis organisasi.
Beberapa orang menganggap teori pemangku kepentingan bukan ‘‘teori’’ karena tidak
memenuhi syarat sebagai teori, yaitu tidak terdiri dari proposisi yang bisa diuji. Mereka
menganggap ‘‘teori pemangku kepentingan’’ sebagai kerangka (framework) dimana dari situ
bisa ditarik berbagai pemikiran.

 Stakeholders
‘‘Stakeholders’’ atau pemangku kepentingan adalah ‘‘semua pihak yang menjadi sasaran
(alasan utama) pengembangan perusahaan’’ (all of the agents for whom the firm’s
development and good health are of prime concern) (Mercier, 1999, lihat Gambar 1).
Sementara itu (Freeman 1984) mengartikannya sebagai kelompok atau individu manapun
yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh upaya organisasi dalam merealisasi 
tujuannya (any group or individual that can affect or be affected by the realisation of a firm’s
objectives). Beberapa penulis mencoba membuat penggolongan lebih jauh, misalnya
‘‘pemangku kepentingan utama’’ (prime stakeholders atau disebut juga contractual
stakeholder), yaitu pihak-pihak yang memiliki hubungan kontraktual  dengan organisasi
(misalnya kreditur atau konsumen) dan pemangku kepentingan kedua
(secondary stakeholders atau kadangkala juga disebut diffuse stakeholder), yaitu semua pihak
yang mungkin dipengaruhi oleh tindakan organisasi walaupun dia tidak memiliki hubungan
kontraktual dengan organisasi. Cara lain penggolongan stakeholder adalah dengan
mengelompokkannya menjadi ‘‘internal stakeholder’’ yaitu, individu atau kelompok yang
berada dalam struktur organisasi bisnis yang memiiki pengaruh terhadap tujuan perusahaan.
(manajemen, karyawan, dan sebainya) dan ‘‘external stakeholder’’ yaitu, individu atau
kelompok yang berada diluar struktur organisasi bisnis yang memiliki pengaruh baik
langsung ataupun tidak langsung terhadap kebijakan dan proses bisnis (pemilik, pemerintah,
kreditur, dan sebagainya).

Keterkaitan Kepentingan
Konsep ‘‘pemangku kepentingan’’ (stakeholder) boleh dikatakan merupakan konsep yang
relative baru (fenomena abad 20). Berabad-abad kepentingan pemilik perusahaan
(stakeholder) mendominasi pembahasan mengenai korporsi. Bagaimana di bahas di bab
9, corporate charter ataupun UU perseroan terbatas dibangun sebetulnya adalah untuk
melindungi pemilik (Korten, 1996). Konsep ‘‘pemangku kepentingan’’ (stakeholders) konon
baru dikenal tahun 1963 dari memo internal di The Standford Research Institute. Istilah
‘‘stakeholders’’ tersebut memang diciptakan untuk membantah pandangan tradisional bahwa
pemilik adalah satu-satunya pihak yang memiliki kepentingan dan yang harus dilayani oleh
menejemen istilahnya: (it is the fiduciary duty of management to protect the interest
of shareholders). Pemikiran beberapa teori organisasi konvensional diwarnai oleh pandangan
tradisional tersebut. Misalnya, (Williamson 1984) menggunakan kerangka biaya transaksi
(transaction costs) untuk menunjukan bahwa pemegang saham butuh perhatian khusus
dibandingkan (stakeholder lainnya) karena ‘‘asset specifity’’. Begitupula dengan teori
keagenan yang pokok bahasanya berpusat pada agency costs yang muncul sebagai akibat
adanya kepentingan yang berbeda serta asimetri informasi antara pemilik (principal) dan
manajer sebagai agen (agents).

Pemikiran Edward Freeman tentang pendekatan stakeholder dimulai pada saat


Freeman bekerja di WARC (Wharton Applied Research Center, 1978 – awal 1980an).
WARC pada hakekatnya menjalankan fungsi seperti perusahan konsultan untuk berbagai
perusahaan . salah satu tugas yang kemudian melahirkan ide tentang pendekatan pemangku
kepentingan (stakeholder approach) adalah pada saat Freeman harus mengembangkan kasus
bisnis dan mengajar para eksekutif dari AT&T tersebut ada dua paper dan beberapa kasus
bisnis ditulis. Paper pertama, berisi uraian konseptual mengenai pendekatan pemangku
kepentingan sedangkan paper kedua, berisi aspek teknis bagaimana cara menggunakan
pendekatan stakeholder di perusahaan. Ide-ide dalam paper pertama sangat mempengaruhi
penulisan draf buku strategic mangemenet: stakeholder approach pada tahun 1982 (edisi 1
buku ini diterbitkan tahun 1984). Freeman mengaku bahwa dia bukanlah pencipta dan bukan
satu-satunya yang menelorkan ide stakeholder karena ide tersebut juga dia pelajari
dari Stanford Research Institute.

Perhatian utama Freeman pada saat-saat awal pengembangan ide tersebut adalah bagaimana
agar para eksekutif perusahaan bisa secara efektif berhubungan dengan para pemangku
kepentingan. Dalam konteks ini, Freeman menganjurkan bahwa dalam merancang strategi
unit of analysis yang tepat adalah hubungan dengan pemangku kepentingan (stakeholder
relationship) dan bukannya tugas teknis ‘‘formulating, implementing, evaluating, etc. Sejak
tahun 1984 perhatian peneliti menjadi semakin meluas walaupun sebagian telah terjadi
kesalahpahaman dalam memahaminya. 

 Elemen Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder)

Dalam pendekatan pemangku kepentingan ada beberapa elemen yang terkait secara logis.
Logika pemikiran pendekatan pemangku kepentingan bisa diringkas sebagai berikut
(Freeman, 2004):

1. Dengan melakukan hal pada poin (1) tersebut maka kamu harus memahami perilaku,
tatanilai, konteks/latar belakang berbagai pihak pemangku kepentingan termasuk konteks
sosial. Agar supaya sukses terus maka kita harus memiliki jawaban atas pertanyaan ini: ‘‘Apa
pendirian kita?’’ (what do we stand for?).
2. Ada beberapa poin penting untuk menjawab pertanyaan ‘‘what do we stand for?’’
atau strategi perusahaan tersebut.
3. Kita perlu memahami bagaimana hubungan antara pemangku kepentingan pada 3
tingkat analisis, yaitu: (a) rasional (atau perusahaan secara keseluruhan), (b) process, dan
(c) standard operating procedures.
4. Kita dapat memikirkan kembali bagaimana proses perencanaan stratejik selanjutnya
dijalankan agar bisa memasukan kepentingan pihak-pihak pemanagku kepentingan kita ke
dalam perencanaan perusahaan.
5. Kepentingan pemangku kepentingan harus diseimbangkan sepanjang waktu.

Dengan skemata seperti diatas, karena kepentingan semua pihak sudah dimasukan ke dalam
proses bisnis, maka pendekatan corporate social responsibility (CSR) secara terpisah seperti
yang dikenal saat ini menjadi tidak diperlukan.

 Aspek Ideologi
Dalam sebuah artikel di tahun 1970 di majalah New York Times Magazine Milton Friedman
membuat pernyataan sebagai berikut yang kemudian menjadi sangat terkenal:  jika manajer
perusahaan mempertimbangkan aspek tanggungjawab sosial dalam membuat keputusan
bisnisnya maka dia sudah melanggar tanggungjawabnya (fiduciary obligations) pada pemilik
perusahaan. Tentu saja sebagai individu seorang eksekutif manajer boleh saja menggunakan
uangnya sendiri (bukan uang orang lain atau investor) untuk menjalankan ‘‘program-program
sosial’’ yang disukainya.
Pandangan Milton Friedmen konsisten dengan pemikiran Libertarisme (Rothbard, 1978) yang
mengatakan bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk menggunakan harta hak
miliknya sesuka dia termasuk melakukan kontrak dengan pihak-pihak lain dalam rangka
meningkatkan kemakmurannya sejauh itu tidak melanggar hak pihak lain. Den Uyl
mengajukan rangkaian logika untuk menunjukan mengapa stakeholder theory dari sudut
aliran libertarisme adalah keliru sebagai berikut:
1. Manajemen perusahaan menerima amanah titipan modal dari pemilik dan harus
mempertanggung-jawabkannya (fiduciary trust)
2. Pemilik hanya punya satu alasan mengapa dia memperkerjakan manajemen, yaitu
untuk memaksilmalkan laba (kemakmuran pemegang saham)
3. Manajemen akan melanggar fiduciary trust tersebut bilamana melakukan tindakan
yang dengan sengaja justru mengurangi atau tidak berkaitan dengan maksimalisasi laba
tersebut.
Pandangan tersebut, yang sering disebut ‘‘shareholder argument’’, bukannya tidak dapat
bantahan dari para pendukung teori pemangku kepentingan. Walaupun beberapa bantahan
dari pendukung stakeholder theory sendiri seperti merupakan upaya pengalihan isu. Salah
satu bantahan terhadap pendapat Den Uyl tersebut adalah yang datang kelompok ‘‘strategy
response’’. Menurut pandangan strategy response, pendekatan pemangku kepentingan justru
konsisten dengan pendapat Den Uyl (dan shareholder argument) karena jika kepentingan
stakeholder lain (selain pemegang saham) diperhatikan walaupun dalam jangka panjang
justru akan meningkatkan reputasi dan profitabilitas perusahaan akan membaik. Strategic
moves yang dilakukan perusahaan seperti dalam kegiatan ‘‘product safety’’ (produk harus
aman di konsumsi konsumen), ‘‘safe working environment’’ (lingkungan kerja yang aman),
‘‘earth first’’ (menjaga planet bumi supaya tidak tercemar) dalam jangka pendek memang
memakan biaya tapi dalam jangka panjang akan membuat perusahaan lebih disukai
pasar. menurut argumentasi ini dengan memperhatikan kepentikan para stakeholder lain
maka kepentingan pemegang saham (untuk mendapatkan keuntungan maksimal) juga akan
memperhatikan bahwa sekilas pandangan strategy response tersebut menunjukan adanya
konsistensi antara stakeholder theory dan shareholder argument,

Namun jika dicermati lebih detail ada beberapa kelemahan.


Pertama, tidak ada jaminan bahwa jika perusahaan melakukan aktivitas sosial yang dalam
jangka pendek merugikan dalam jangka panjang pasti akan menguntungkan pemegang
saham. Kedua, ada unsur ketidak-tulusan dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang
mementingkan para stakeholder lain, Karena kegiatan itu dilakukan sebetunya hanya jika
menguntungkan pemegang saham. Kegiatan sosial dilakukan manajemen lebih
merupakan cammouflag agar seolah-olah perusahan merupakan warga yang baik di
masyarakat (good citizenship). Bantahan yang lebih fundamental atas strategic
response datang dari pandangan yang disebut strategy counter response.

Argumentasi strategy counter response adalah demikian: perusahaan mendapatkan laba


dengan cara melayani konsumen sebaik mungkin. karena semua stakeholder pada
hakekatnya adalah konsumen dari perusahaan yang satu dengan yang lainnya, maka
memuaskan para stakeholder akan memaksimalkan laba juga.

sedangkan kegiatan-kegiatan social (charitable activities) hanya memberikan feedback yang


tidak jelas, maka perusahaan akan cenderung memilih jenis kegiatan bisnis dalam rangka
memuaskan semua stakeholder. Pandangan ini pun hampir sama dengan pendapat strategy
response dalam arti bahwa kemanfaatan upaya memuaskan para stakeholder akan
memaksimalkan kemakmuran pemegang saham juga diperoleh secara tidak langsung.
 
Bagaimana keterkaitan stakeholder theory dengan kapitalisme? Sistem masyarakat
kapitalisme biasanya ditandai adanya tiga hal :

1. persaingan,
2. sumber daya yang terbatas, dan
3. mentalitas winner-take-all dalam aktivitas bisnis di masyarakat.

Para pendukung teori stakeholder sepakat bahwa kapitalisme adalah baik (Freeman, et al.
2007) namun tiga asumsi sistem kapitalisme tersebut tidak memadai. Mereka menawarkan
konsep ‘‘stakeholder capitalism’’. Beberapa ciri pokok stakeholder capitalsm diuraikan
sebagai berikut: Pertama, dari pada para individu bersaing memperebutkan sumber daya
yang terbatas, lebih baik semua individu bisnis bekerja sama secara voluntir untuk
membangun masyarakat yang bisa sustainable dalam rangka mendapatkan nilai. Kedua,
individu-individu memiliki hak untuk melindungi dalam konteks mempertahankan
kesepakatan (dipoin 1). Ketiga, semua individu dapat ikut kerja sama dalam menerapkan
kesepakatan voluntir. Pandangan ini masih terlalu dini, utopis dan belum jelas aplikasinya
secara rill dalam kehidupan masyarakat. Pandangan tersebut cukup mengherankan jika
dibandingkan dengan pendapat (Adam Smith, 1776) – yang merupakan bapak Kapaitalisme
modern – yang menyatakan bahwa manakalah bisnis dibebaskan untuk mengejar laba dan
efisiensi, maka bisnis akhirnya akan menguntungkan kepentingan dirinya dan kepentingan
masyarakat keseluruhan.

 Tipologi Pemangku Kepentingan


Secara umum stakeholder dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu: Pertama, stakeholder
primer atau ‘‘Key stakeholder’’ adalah mereka yang pada akhirnya terpengaruh baik secara
positif atau negatif oleh tindakan organisasi. Kedua, stakeholder sekunder adalah
‘‘Perantara’’, yaitu orang atau organisasi yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh
tindakan organisasi. Hal yang sama diungkapkan oleh Clarkson yang membagi stakeholder
menjadi dua. Stakeholder primer, adalah ‘‘pihak dimana tanpa partisipasinya yang
berkelanjutan organisasi tidak dapat bertahan’’. Contohnya adalah pemegang saham,
investor, pekerja, pelanggan, dan pemasok. Sementara, stakeholder sekunder, didefinisikan
sebagai ‘‘pihak yang mempengaruhi atau di pengaruhi oleh perusahaan’’. Contohnya adalah
media dan berbagai kelompok kepentingan tertentu. Perusahaan tidak bergantung pada
kelompok ini untuk kelangsungan hidupnya, tapi mereka bisa mempengaruhi kinerja
perusahaan dengan mengganggu kelancaran bisnis perushaan. Dalam pandangan perusahaan
sebagai sebuah entitas bisnis stakeholder dipandang sebagai individu atau kelompok yang
dipengaruhi oleh dan/atau memiliki kepentingan dalam operasi dan tujuan perusahaan.
PENGERTIAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG)

• Good Corporate Governance pada dasarnya merupakan suatu sistem (input, Proses, output)
dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang kepentingan
(stakeholders) terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan
komisaris, dan dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan

• Cadbury Committee of United Kingdom


Cadbury, Good Corporate Governance adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan
perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan
dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholder khususnya,
danstakeholder pada umumnya. Hal ini berkaitan dengan peraturan kewenangan pemilik,
direktur, manajer, pemegang saham, dan sebagainya.

• Forum for Corporate Governance in Indonesia FCGI (2006)


Pengertian Good Corporate Governance menurut Forum for Corporate Governance in
Indonesia – FCGI (2006) tidak membuat definisi tersendiri tetapi mengambil definisi dari
Cadbury Commite of Uniter Kingdom, yang kalau diterjemahkan adalah: “seperangkat
peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham pengurus (pengelola)
perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal
dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan
kata lain suatu system yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan”

• menurut Sukrisno Agoes (2006)


Mendefinisikan tata kelola perusahaan yang baik sebagai suatu system yang mengatur
hubungan peran dewan komisaris, peran direksi, pemegang saham, dan pemagku kepentingan
lainnya. Tata kelola perusahaan yang baik juga disebut sebagai suatu proses yang transparan
atas penentuan tujuan perusahaan,pencapaiannya dan penilaian kinerjanya.

• Organization for Economic Cooperation and Development (OCED) ( dalam Tjager dkk,
2004).
Mendefinisikan GCG sebagai suatu struktur yang terdiiri atas para pemegang saham,
direktur, manajer, seperangkat tujuan yang ingin dicapai perusahaan dan alat – alat yang
ingin yang akan digunakan dalam mencapai tujuan dan memantau kinerja.

• Menurut Wahyudi Prakarsa (2007:120)


GCG adalah mekanisme ublictrative yang mengatur hubungan-hubungan antara
manajemen perusahaan, komisaris, direksi, pemegang saham dan kelompok-kelompok
kepentingan (stakeholders) yang lain. Hubungan-hubungan ini dimanifestasikan dalam
bentuk berbagai aturan permainan dan ublic intensif sebagai kerangka kerja yang diperlukan
untuk menentukan tujuan-tujuan perusahaan dan cara-cara pencapaian tujuan-tujuan serta
pemantauan kinerja yang dihasilkan.
TUJUAN-TUJUAN GCG

Berdasarkan berbagai definisi GCG yang disampai di atas dapat diketahui ada lima macam
tujuan utama Good Corporate Governance yaitu :
• Untuk dapat mengembangkan dan meningkatkan nilai perusahaan.
• Untuk dapat mengelola sumber daya dan resiko secara lebih efektif dan efisien.
• Untuk dapat meningkatkan disiplin dan tanggung jawab dari organ perusahaan demi
menjaga kepentingan para shareholder dan stakeholder perusahaan.
• Untuk meningkatkan kontribusi perusahaan (khusunya perusahaan-perusahaan pemerintah)
terhadap perekonomian nasional.
• Meningkatkan investasi nasional; dan
• Mensukseskan program privat-isasi perusahaan-perusahaan pemerintah.

PRINSIP-PRINSIP GCG

Prinsip-prinsip Dasar penerapan good corporate governance yang dikemukakan oleh


Forum for Corporate Governance in Indonesia (2001: 31) adalah sebagai
berikut :
• Fairness (Perlakuan yang Setara)
Merupakan prinsip agar para pengelola memperlakuan yang sama terhadap para pemegang
saham, terutama kepada pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing, dengan
keterbukaan informasi yang penting serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dan
perdagangan saham oleh orang dalam (insider trading).
• Transparency (Transparansi)
Hak-hak para pemegang saham yang harus diberi informasi dengan benar dan tepat waktu
mengenai perusahaan, dapat ikut berperan serta dalam pengambilan keputusan mengenai
perubahan-perubahan yang mendasar atas perusahaan dan turut memperoleh bagian dari
keuntungan perusahaan.
• Accountability (Akuntablitas)
Adalah Prinsip di mana para pengelola berkewajiban untuk membina system akuntansi yang
efektif untuk menghasilkan laporan keuangan (financial statement ) yang dapat dipercaya.
Untuk itu diperlukan penjelasan fungsi, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban setiap organ
sehingga pengelolaan berjalan efektif.
• Responsibility (Prinsip Tanggung jawab)
Peranan pemegang saham harus diakui sebagaimana ditetapkan oleh ubli dan kerja sama yang
aktif antara perusahaan serta pemegang kepemtingan dalam menciptakan kesejahteraan.
• Indepandency (kemandirian)
Sebagai tambahan prinsip dalam pengelolaan BUMN, artinya suatu keadaan dimana para
pengelola dalam mengambil suatu keputusan bersifat professional, mandiri, bebas dari
konflok kepentingan dan bebas dari tekanan / pengaruh dari manapun yang bertentangan
dengan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip – prinsip pengelolaan yang sehat.
• Fairness (kesetaraan dan kewajaran)
Prinsip ini menuntut adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholder sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku. Diharapkan fairness dapat menjadi ublic
pendorong yang dapat memonitor dan memberikan jaminan perlakuan yang adil di antara
beragam kepentingan dalam perusahaan.

MANFAAT GCG
Menurut Tjager dkk (2003) mengatakan bahwa paling tidak ada lima alas an mengapa
mengapa penerapan GCG itu bermanfaat, yaitu:
• Berdasarka survey yang telah dilakukan oleh McKinsey & Company menunjukkan bahwa
para investor institusional lebih menaruh kepercayaan terhadap perusahaan-perusahaan di
Asia yang telah menerapkan GCG.
• Berdasarkan berbagai analisis ternyata ada indikasi keterkaitan antara terjadinya krisis
financial dan krisis berkepanjangan di Asia denngan lemahnya tata kelola perusahaan.
• Internasionalisasi pasar – termasuk liberalisasi pasar financial dan pasar modal menuntut
perusahaan untuk menerapkan GCG.
• Kalau GCG bukan obat mujarab untuk keluar dari krisis system ini dapat menjadi dasar
bagi beberkembangnya system nilai baru yang lebih sesuai dengan lanskap bisnis yang kini
telah banyak berubah.
• Secara teoris, praktik GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan.
Menurut Mas Ahmad Daniri (2005;14) jika perusahaan menerapkan mekanisme penerapan
Good Corporate Governance (GCG) secara konsisten dan efektif maka akan dapat
memberikan manfaat antara lain:
• Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung oleh pemegang saham
akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen.
• Mengurangi biaya modal (Cost of Capital).
• Meningkatkan nilai saham perusahaan di mata ublic dalam jangka panjang.
• Menciptakan dukungan para stakeholder dalam lingkungan perusahaan terhadap
keberadaan perusahaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan.

GCG DAN HUKUM PERSEORANGAN DI INDONESIA

Definisi Perseroan Terbatas menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007
(“UUPT”), berbunyi: “Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut (“Perseroan”), adalah
badan hokum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasar perjanjian, melakukan
kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya”
Beberapa ketentuan lama yang masih relevan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 masih dipertahankan. Namun ada beberapa ketentuan baru yang ditambahkan,
antara lain:
• Dimungkinkan mengadakan RUPS dengan memanfaatkan teknologi informasi yang ada
seperti: telekonferensi, video konferensi dan yang lainnya
• Kejelasan mengenai tata cara pengajuan dan pemberian pengesahan status badan hokum
dan pengesahan Anggaran Dasar Perseroan
• Memperjelas dan mempeertegas tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris,
termasuk mengatur mengenai komisaris independen dan komisaris utusan
• Kewajiban perseroan untuk melaksanakan tanggung jawab hokum dan lingkungan

ORGAN KHUSUS DALAM PENERAPAN GCG, YAITU:


• Komisaris Independen
• Direktur Independen
• Komite Audit
• Sekretaris Perusahaan
Komisaris Direktur Independen
Indra Surya dan ivan Yustiavandana (2006) mengungkapkan ada dua pengertian independen
terkait konsep Komisaris Direktur Independen tersebut
Pertama, Komisaris dan Direktur Independen adalah seseorang yang ditunjuk untuk mewakili
pemegang saham independen (pemegang saham minoritas). Sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Perseroan, anggota Direksi dan Komisaris diangkat dan diberhentikan oleh
RUPS, sedangkan keputusan yang diambil dalam RUPS didasarkan atas perbandingan jumlah
suara para pemegang saham Kedua, Komisaris dan Direktur Independen adalah pihak yang
ditunjuk tidak dalam kapasitas mewakili pihak manapun dan semata-mata ditunjuk
berdasarkan latar belakang pengetahuan, pengalaman dan keahlian hokumlonal yang
dimilikinya untuk sepenuhnya menjalankan tugas demi kepentingan perusahaan. Keberadaan
Komisaris Independen telah diatur Bursa Efek Indonesia melalui peraturan BEI sejak tanggal
20 Juli 2001 mengenai beberapa hokuml tentang Komisaris Independen adalah sebagai
berikut:
· Komisaris Independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham
Pengendali Perusahaan tercatat yang bersangkutan sekurang-kurangnya enam bulan sebelum
menunjukkan sebagai direktur tidak terafiliasi.
· Tidak memiliki hubungan afiliasi Komisaris dan Direktur lainnya dari perusahaan
Tercatat yang bersangkutan.
· Tidak bekerja rangkap sebagai direksi pada perusahaan lain
· Tidak menjadi Orang Dalam pada lembaga atau profesi perpanjang pada pasar modal
yang jasanya digunakan oleh Perusahaan Tercatat selama enam bulan sebelum penunjukan
sebagai direktur

Komite Audit
Menurut Subur (2003) yang dikutip I Putu Sugiartha Sanjaya, syarat-syarat yang harus
dipenuhi untuk menjadi anggota Komite Audit adalah sebagaiberikut:
· Anggota Komite Audit harus memiliki keseimbangan keterampilan dan pengalaman dengan
latar belakang usaha yang luas.
· Anggota Komite Audit harus independen, objektif dan hokumlonal.
· Anggota Komite Audit harus memiliki integritas, dedikasi, pemahaman yang baik mengenai
organisasi, lingkungan bisnis serta risiko dan hokuml.
· Paling sedikit anggota komite audit harus memiliki pengertian yang baik tentang analisa dan
penyusunan laporan keuangan.
· Ketua Komite Audit harus memiliki kemampuan untuk memimpin dan terampil
berkomunikasi dengan baik. Selain hal tersebut, menurut Keputusan Ketua Bapepam Nomor:
Kep-41/PM/2003 menambahkan bahwa anggota Komite Audit tidak merangkap jabatan yang
sama pada perusahaan lain pada periode yang sama.
Keberadaan Komite Audit diatur melalui Surat Edaran Bapepam Nomor SE-03/PM/2002
(bagi perusahaan publik) dan Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-103/MBU/2002 (bagi
BUMN). Komite Audit terdiri dari sedikitnya tiga orang, diketuai oleh Komisaris Independen
perusahaan dengan dua orang eksternal yang independen serta menguasai dan memiliki latar
belakang akuntansi dan keuangan.Kewenangan Komite Audit dibatasi oleh fungsi mereka
sebagai alat bantu DK, sehingga tidak memiliki otoritas eksekusi apapun (hanya sebatas
rekomendasi kepada DK), kecuali untuk hal spesifik yang telah memperoleh hak kuasa
eksplisit dari DK, misalmya mengevaluasi dan menentukan komposisi auditor eksternal, dan
memimpin suatu investigasi khusus.Pada akhirnya, suatu Dewan Komisaris yang aktif,
canggih, ahli, beragam dan yang terpenting independen yang menjalankan fungsinya secara
efektif dan dibantu oleh Komite Audit adalah yang paling baik untuk ditempatkan dalam
memastikan implementasi Good Corporate Governance berjalan dengan baik sehingga
kecurangan (fraud) maupun keterpurukan bisnis dapat dihindari. (Alison)

Sekretaris Perusahaan (Corporate Secretary)


Jabatan sekretaris perusahaan menempati posisi yang sangat tinggi dan strategis karena orang
dalam jabatan ini berfungsi sebagai pejabat penghubung (liason officer) tau semacam public
relations/ investor relations antara perusahaan dengan pihak diluar perusahaan.tugas utama
sekretaris perusahaan antara lain menyimpan dokumen perusahaan, Daftar Pemegang Saham,
risalah rapat direksi dan RUPS, serta menyimpan dan menyediakan informasi penting lainnya
bagi kepentingan seluruh pemangku kepentingan.

GCG DALAM BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN)


Pada awalnya tujuan dibentuknya BUMN adalah merupakan penjabaran dan implementasi
pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi dan air kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Berdasarkan peraturan yang ada, dapat dibedakan tiga jenis bentuk hokum BUMN yaitu
Persero, Perusahaan Umum (Perum), dan perusahaan jawatan (Perjan). Tjager dkk (2003)
selanjutnya mengungkapkan bahwa rendahnya kinerja BUMN ini ada kaitannya dengan
belum efektifnya penerapan tata kelola perusahaan yang baik di BUMN tersebut. Contohnya
pemberian remunerasi yang berlebihan kepada direksi. Tujuan GCG diatur dalam pasal 4
adalah:
• Memaksimalkan nilai BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan,
akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan memiliki daya
saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional.
• Mendorong pengelolaan BUMN secara professional, transparan, dan efesien, serta
memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemendirian organ.
• Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi
nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku,
serta kesadaran akan adanya tanggung jawab social BUMN terhadap para pemangku
kepentingan maupun kelestarian lingkungan di sekitar BUMN.
• Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional.
• Menyukseskan program privatisasi.

GCG DAN PENGAWASAN PASAR MODAL DI INDONESIA


Secara formal, pasar modal dapat didefinisikan sebagai pasar dimana berbagai instrument
keuangan jangka panjang hoku diperjual belikan, baik dalam bentuk hutang maupun modal
sendiri, baik yang terbitkan oleh pemerintah maupun perusahaan swasta. Keberadaan pasar
modal ditentukan oleh lembaga-lembaga penunjang pasar modal, antara lain:
• Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan;
• Bursa Efek;
• Lembaga Kliring;
• Investor;
• Akuntan public;
• Konsultan hokum.

GOOD CORPORATE GOVERNANCE PERBANKAN DI INDONESIA

Menyadari tata kelola perbankan di Indonesia masih lemah, dalam upaya menata kembali
manajemen dan kegiatan perbankan di Indonesia, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan
No 8/4/PBI/2006 pada tanggal 30 januari 2006 tentang implementasi GCG oleh Bank-bank
komersial. Secara garis besar, peraturan ini mengatur tentang :
• Prosedur pengelolaan melalui penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas, tanggung
jawab, independensi dan kesetaraan
• Tujuan implementasi GCE, minimal untuk merealisasikan:
> Kejelasan tugas dan tanggung jawab Dewan komisaris dan Dewan Dereksi
> Kelengkapan dan implementasi tugas komite dan unit pelaksana fungsi internal audit bank
> Kinerja ketaan, fungsi auditor internal dan eksternal
> Implementasi manajemen resiko termasuk system pengendalian internal
> Ketentuan dalam pihak-pihak terkait dan dana dalam jumlah besar
> Rencana strategi bank
> Transparansi kondisi keuangan dan non-keuangan
> Jumlah komposisi, kriteria dan independensi Dewan Komisaris
> Jumlah, komposisi, kriteria dan independensi Dewan Direksi
> Komite
> Ketaatan, Fungsi Auditor Eksternal dan Internal
> Implementasi Management Resiko
> Ketentuan Dana
> Rencana Strategis Bank
> Aspek Transparansi Kondisi Bank
> Konflik Kepentingan dan Pelaporan Internal
> Laporan dan Asesmen Implementasi GCG
> Implementasi GCG di Cabang Luar Negeri
> Sanksi-sanksi
> Ketentuan Peralihan
> Ketentuan Penutup.

Lima Prinsip yang menjadi Pilar Pelaksanaan GCG


a.Transparansi
Prinsip ini harus dijalankan dalam upaya menghadirkan akses yang adil terhadap semua
informasi tentang kinerja keuangan dan operasional Perusahaan.
b.Akuntabilitas
Manajemen dan staf dari semua tingkatan juga diharuskan untuk mengembangkan
akuntabilitas tinggi dalam setiap tindakan yang diambil dan dalam menjaga hubungan yang
bermanfaat dengan para pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya serta dalam
menjaga kepatuhan terhadap peraturan.
c.Pertanggungjawaban
Prinsip ini membutuhkan komitmen dari seluruh elemen organisasi untuk menunjukkan
integritas dan tanggung jawab mereka dalam proses pengambilan keputusan, dalam
mempertahankan kepentingan dan aset pemegang saham Perusahaan dan manajemen risiko
untuk menjamin kelangsungan bisnis.
d.Kemandirian
Kami menggunakan kebebasan sebagai sebuah organisasi dengan integritas yang tinggi
dengan memastikan bahwa semua manajemen bebas dari konflik kepentingan dan / atau
pengaruh pihak lain.
e.Kewajaran
Kami menganut prinsip untuk memastikan bahwa seluruh pemegang saham dan pemangku
kepentingan lainnya menerima perlakuan yang sama, termasuk peluang yang adil bagi
karyawan untuk mendapatkan promosi karir, pelatihan dan pendidikan, dan akses terhadap
informasi.

Anda mungkin juga menyukai