Disusun Oleh:
Gymnastiar (10090317083)
MANAJEMEN
2018
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kita. Tak lupa shalawat serta salam senantiasa kita curahkan
Makalah ini telah disusun semaksimal mungkin untuk memenuhi salah satu tugas
individu mata Kuliah Etika Bisnis Universitas Islam Bandung tahun Akademik 2018.
Disini kami mengucapkan terimakasih banyak kepada dosen kami, karena telah
memberikan tugas makalah ini yang nantinya akan menambah wawasan kami mengenai
GCG dan Stakeholder. Dengan adanya tugas ini menambah wawasan kami terhadap etika
dalam berbisnis.
GCG DAN STAKEHOLDER
Istilah ‘Stakeholders’ atau dinamakan pemangku kepentingan adalah kelompok atau individu
yang dukungannya diperlukan demi kesejahteraan dan kelangsungan hidup organisasi.
Pemangku kepentingan adalah seseorang, organisasi atau kelompok dengan kepentingan
terhadap suatu sumberdaya alam tertentu (Brown et al 2001). Stakeholder is a person who
has something to gain or lose through the outcomes of a planning process, programme or
project (Dialogue by Design 2008). Pemangku kepentingan mencakup semua pihak yang
terkait dalam pengelolaan terhadap sumberdaya. Menurut Witold Henisz guru besar pada
Sekolah Bisnis Wharton, termasuk semua orang dari politisi lokal dan nasional dan tokoh
atau pemimpin masyarakat, penguasa, kelompok paramiliter, LSM dan badan-badan
internasional. Dalam konteks perusahaan, Clarkson (dalam artikel tahun 1994) memberikan
definisi pemangku kepentingan secara lebih khusus sebagai suatu kelompok atau individu
yang menanggung suatu jenis risiko baik karena mereka telah melakukan investasi (material
ataupun manusia) di perusahaan tersebut (‘Stakeholders sukarela’), ataupun karena mereka
menghadapi risiko akibat kegiatan perusahaan tersebut (‘Stakeholders non-sukarela’).
Berdasarkan pandangan tersebut pemangku kepentingan adalah pihak yang akan dipengaruhi
secara langsung oleh keputusan dan strategi perusahaan.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pemangku kepentingan adalah seluruh
pihak yang terkait dengan isu dan permasalahan yang menjadi fokus kajian atau perhatian.
Misalnya terkait isu perikanan, maka makna pemangku kepentingan sebagai parapihak yang
terkait dengan isu perikanan, seperti nelayan, masyarakat pesisir, pemilik kapal, anak buah
kapal, pedagang ikan, pengolah ikan, pembudidaya ikan, pemerintah, pihak swasta di bidang
perikanan, dan sebagainya. Seorang pemangku kepentingan adalah seseorang yang
mempunyai sesuatu yang dapat iaperoleh at au akan kehilangan akibat dari sebuah proses
perencanaan atau proyek. Dalam banyak siklus, mereka disebut sebagai kelompok
kepentingan, dan mereka bisa mempunyai posisi yang kuat dalam menentukan hasil suatu
proses politik. Seringkali akan sangat bermanfaat bagi proyek penelitian untuk
mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan dan kepedulian berbagai pemangku
kepentingan, terutama jika proyek diracang bertujuan mempengaruhi kebijakan.
PEMBAHASAN
Sejarah Ide beberapa teori, seperti teori keagenan , ataupun beberapa ideologi,
seperti kapitalisme dan sosialisme, sangat dipengaruhi oleh paradigma managerial
capitalism tersebut. Hal itu terlihat jelas dari peran sentral pemilik (shareholders) dan
manajemen dalam menjelaskan fenomena bisnis dan ekonomi di masyarakat. Hal ini berbeda
dengan konsep dalam teori pemangku kepentingan (stakeholder) yang memandang bahwa
kelangsungan perusahaan di dalam lingkungan bisnisnya tergantung pada berbagai pihak
pemangku kepentingan yang tidak hanya terbatas pada pemilik dan manajemen, seperti
misalnya pemerinah, karyawan, kreditur, dan konsumen. Institusi tercipta tidak hanya untuk
memenuhi kepentingan sendiri melainkan memenuhi kebutuhan macam-macam pihak yang
ada disekiarnya. Teori stakeholder paling tidak memiliki tiga pendekatan yang saling terkait:
deskriptif, instrumental, dan normatif.
Pendekatan teori deskriptif tersebut menguraikan karakteristik dan perilaku organisasi.
Misalnya dalam (Jawahar dan Mclaughlin, 2001), kedua peneliti menguraikan peran masing-
masing stakeholder pada siklus tahapan bisnis yang berbeda. Pendekatan teori instrumental
mencermati data empiris mengenai hubungan antara menejemen kelompok-kelompok
kepentingan dengan pencapaian tujuan organisasi. Pendekatan instrumental biasanya bisa
dinyatakan dalam kalimat ‘‘jika manajemen berperilaku… maka akan berakibat…’’
pendekatan normatif membahas inti teori serta petunjuk moral etika yang menjadi pedoman
manajemen dalam mengelola perusahaan. Menurut pendekatan ini hungan antara manajemen
dengan stakeholder dilandasi oleh komitmen moral (Berman et al. 1999). Klaim
kelompok stakeholders tertentu dilandasi atas pandangan etika tertentu yang tidak selalu
terkait dengan tata nilai instrumental stakeholders. Artinya, memenuhi klaim yang dilandasi
pandangan etika ini tidak selalu menyebabkan tercapainya kepentingan strategis organisasi.
Beberapa orang menganggap teori pemangku kepentingan bukan ‘‘teori’’ karena tidak
memenuhi syarat sebagai teori, yaitu tidak terdiri dari proposisi yang bisa diuji. Mereka
menganggap ‘‘teori pemangku kepentingan’’ sebagai kerangka (framework) dimana dari situ
bisa ditarik berbagai pemikiran.
Stakeholders
‘‘Stakeholders’’ atau pemangku kepentingan adalah ‘‘semua pihak yang menjadi sasaran
(alasan utama) pengembangan perusahaan’’ (all of the agents for whom the firm’s
development and good health are of prime concern) (Mercier, 1999, lihat Gambar 1).
Sementara itu (Freeman 1984) mengartikannya sebagai kelompok atau individu manapun
yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh upaya organisasi dalam merealisasi
tujuannya (any group or individual that can affect or be affected by the realisation of a firm’s
objectives). Beberapa penulis mencoba membuat penggolongan lebih jauh, misalnya
‘‘pemangku kepentingan utama’’ (prime stakeholders atau disebut juga contractual
stakeholder), yaitu pihak-pihak yang memiliki hubungan kontraktual dengan organisasi
(misalnya kreditur atau konsumen) dan pemangku kepentingan kedua
(secondary stakeholders atau kadangkala juga disebut diffuse stakeholder), yaitu semua pihak
yang mungkin dipengaruhi oleh tindakan organisasi walaupun dia tidak memiliki hubungan
kontraktual dengan organisasi. Cara lain penggolongan stakeholder adalah dengan
mengelompokkannya menjadi ‘‘internal stakeholder’’ yaitu, individu atau kelompok yang
berada dalam struktur organisasi bisnis yang memiiki pengaruh terhadap tujuan perusahaan.
(manajemen, karyawan, dan sebainya) dan ‘‘external stakeholder’’ yaitu, individu atau
kelompok yang berada diluar struktur organisasi bisnis yang memiliki pengaruh baik
langsung ataupun tidak langsung terhadap kebijakan dan proses bisnis (pemilik, pemerintah,
kreditur, dan sebagainya).
Keterkaitan Kepentingan
Konsep ‘‘pemangku kepentingan’’ (stakeholder) boleh dikatakan merupakan konsep yang
relative baru (fenomena abad 20). Berabad-abad kepentingan pemilik perusahaan
(stakeholder) mendominasi pembahasan mengenai korporsi. Bagaimana di bahas di bab
9, corporate charter ataupun UU perseroan terbatas dibangun sebetulnya adalah untuk
melindungi pemilik (Korten, 1996). Konsep ‘‘pemangku kepentingan’’ (stakeholders) konon
baru dikenal tahun 1963 dari memo internal di The Standford Research Institute. Istilah
‘‘stakeholders’’ tersebut memang diciptakan untuk membantah pandangan tradisional bahwa
pemilik adalah satu-satunya pihak yang memiliki kepentingan dan yang harus dilayani oleh
menejemen istilahnya: (it is the fiduciary duty of management to protect the interest
of shareholders). Pemikiran beberapa teori organisasi konvensional diwarnai oleh pandangan
tradisional tersebut. Misalnya, (Williamson 1984) menggunakan kerangka biaya transaksi
(transaction costs) untuk menunjukan bahwa pemegang saham butuh perhatian khusus
dibandingkan (stakeholder lainnya) karena ‘‘asset specifity’’. Begitupula dengan teori
keagenan yang pokok bahasanya berpusat pada agency costs yang muncul sebagai akibat
adanya kepentingan yang berbeda serta asimetri informasi antara pemilik (principal) dan
manajer sebagai agen (agents).
Perhatian utama Freeman pada saat-saat awal pengembangan ide tersebut adalah bagaimana
agar para eksekutif perusahaan bisa secara efektif berhubungan dengan para pemangku
kepentingan. Dalam konteks ini, Freeman menganjurkan bahwa dalam merancang strategi
unit of analysis yang tepat adalah hubungan dengan pemangku kepentingan (stakeholder
relationship) dan bukannya tugas teknis ‘‘formulating, implementing, evaluating, etc. Sejak
tahun 1984 perhatian peneliti menjadi semakin meluas walaupun sebagian telah terjadi
kesalahpahaman dalam memahaminya.
Dalam pendekatan pemangku kepentingan ada beberapa elemen yang terkait secara logis.
Logika pemikiran pendekatan pemangku kepentingan bisa diringkas sebagai berikut
(Freeman, 2004):
1. Dengan melakukan hal pada poin (1) tersebut maka kamu harus memahami perilaku,
tatanilai, konteks/latar belakang berbagai pihak pemangku kepentingan termasuk konteks
sosial. Agar supaya sukses terus maka kita harus memiliki jawaban atas pertanyaan ini: ‘‘Apa
pendirian kita?’’ (what do we stand for?).
2. Ada beberapa poin penting untuk menjawab pertanyaan ‘‘what do we stand for?’’
atau strategi perusahaan tersebut.
3. Kita perlu memahami bagaimana hubungan antara pemangku kepentingan pada 3
tingkat analisis, yaitu: (a) rasional (atau perusahaan secara keseluruhan), (b) process, dan
(c) standard operating procedures.
4. Kita dapat memikirkan kembali bagaimana proses perencanaan stratejik selanjutnya
dijalankan agar bisa memasukan kepentingan pihak-pihak pemanagku kepentingan kita ke
dalam perencanaan perusahaan.
5. Kepentingan pemangku kepentingan harus diseimbangkan sepanjang waktu.
Dengan skemata seperti diatas, karena kepentingan semua pihak sudah dimasukan ke dalam
proses bisnis, maka pendekatan corporate social responsibility (CSR) secara terpisah seperti
yang dikenal saat ini menjadi tidak diperlukan.
Aspek Ideologi
Dalam sebuah artikel di tahun 1970 di majalah New York Times Magazine Milton Friedman
membuat pernyataan sebagai berikut yang kemudian menjadi sangat terkenal: jika manajer
perusahaan mempertimbangkan aspek tanggungjawab sosial dalam membuat keputusan
bisnisnya maka dia sudah melanggar tanggungjawabnya (fiduciary obligations) pada pemilik
perusahaan. Tentu saja sebagai individu seorang eksekutif manajer boleh saja menggunakan
uangnya sendiri (bukan uang orang lain atau investor) untuk menjalankan ‘‘program-program
sosial’’ yang disukainya.
Pandangan Milton Friedmen konsisten dengan pemikiran Libertarisme (Rothbard, 1978) yang
mengatakan bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk menggunakan harta hak
miliknya sesuka dia termasuk melakukan kontrak dengan pihak-pihak lain dalam rangka
meningkatkan kemakmurannya sejauh itu tidak melanggar hak pihak lain. Den Uyl
mengajukan rangkaian logika untuk menunjukan mengapa stakeholder theory dari sudut
aliran libertarisme adalah keliru sebagai berikut:
1. Manajemen perusahaan menerima amanah titipan modal dari pemilik dan harus
mempertanggung-jawabkannya (fiduciary trust)
2. Pemilik hanya punya satu alasan mengapa dia memperkerjakan manajemen, yaitu
untuk memaksilmalkan laba (kemakmuran pemegang saham)
3. Manajemen akan melanggar fiduciary trust tersebut bilamana melakukan tindakan
yang dengan sengaja justru mengurangi atau tidak berkaitan dengan maksimalisasi laba
tersebut.
Pandangan tersebut, yang sering disebut ‘‘shareholder argument’’, bukannya tidak dapat
bantahan dari para pendukung teori pemangku kepentingan. Walaupun beberapa bantahan
dari pendukung stakeholder theory sendiri seperti merupakan upaya pengalihan isu. Salah
satu bantahan terhadap pendapat Den Uyl tersebut adalah yang datang kelompok ‘‘strategy
response’’. Menurut pandangan strategy response, pendekatan pemangku kepentingan justru
konsisten dengan pendapat Den Uyl (dan shareholder argument) karena jika kepentingan
stakeholder lain (selain pemegang saham) diperhatikan walaupun dalam jangka panjang
justru akan meningkatkan reputasi dan profitabilitas perusahaan akan membaik. Strategic
moves yang dilakukan perusahaan seperti dalam kegiatan ‘‘product safety’’ (produk harus
aman di konsumsi konsumen), ‘‘safe working environment’’ (lingkungan kerja yang aman),
‘‘earth first’’ (menjaga planet bumi supaya tidak tercemar) dalam jangka pendek memang
memakan biaya tapi dalam jangka panjang akan membuat perusahaan lebih disukai
pasar. menurut argumentasi ini dengan memperhatikan kepentikan para stakeholder lain
maka kepentingan pemegang saham (untuk mendapatkan keuntungan maksimal) juga akan
memperhatikan bahwa sekilas pandangan strategy response tersebut menunjukan adanya
konsistensi antara stakeholder theory dan shareholder argument,
1. persaingan,
2. sumber daya yang terbatas, dan
3. mentalitas winner-take-all dalam aktivitas bisnis di masyarakat.
Para pendukung teori stakeholder sepakat bahwa kapitalisme adalah baik (Freeman, et al.
2007) namun tiga asumsi sistem kapitalisme tersebut tidak memadai. Mereka menawarkan
konsep ‘‘stakeholder capitalism’’. Beberapa ciri pokok stakeholder capitalsm diuraikan
sebagai berikut: Pertama, dari pada para individu bersaing memperebutkan sumber daya
yang terbatas, lebih baik semua individu bisnis bekerja sama secara voluntir untuk
membangun masyarakat yang bisa sustainable dalam rangka mendapatkan nilai. Kedua,
individu-individu memiliki hak untuk melindungi dalam konteks mempertahankan
kesepakatan (dipoin 1). Ketiga, semua individu dapat ikut kerja sama dalam menerapkan
kesepakatan voluntir. Pandangan ini masih terlalu dini, utopis dan belum jelas aplikasinya
secara rill dalam kehidupan masyarakat. Pandangan tersebut cukup mengherankan jika
dibandingkan dengan pendapat (Adam Smith, 1776) – yang merupakan bapak Kapaitalisme
modern – yang menyatakan bahwa manakalah bisnis dibebaskan untuk mengejar laba dan
efisiensi, maka bisnis akhirnya akan menguntungkan kepentingan dirinya dan kepentingan
masyarakat keseluruhan.
• Good Corporate Governance pada dasarnya merupakan suatu sistem (input, Proses, output)
dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang kepentingan
(stakeholders) terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan
komisaris, dan dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan
• Organization for Economic Cooperation and Development (OCED) ( dalam Tjager dkk,
2004).
Mendefinisikan GCG sebagai suatu struktur yang terdiiri atas para pemegang saham,
direktur, manajer, seperangkat tujuan yang ingin dicapai perusahaan dan alat – alat yang
ingin yang akan digunakan dalam mencapai tujuan dan memantau kinerja.
Berdasarkan berbagai definisi GCG yang disampai di atas dapat diketahui ada lima macam
tujuan utama Good Corporate Governance yaitu :
• Untuk dapat mengembangkan dan meningkatkan nilai perusahaan.
• Untuk dapat mengelola sumber daya dan resiko secara lebih efektif dan efisien.
• Untuk dapat meningkatkan disiplin dan tanggung jawab dari organ perusahaan demi
menjaga kepentingan para shareholder dan stakeholder perusahaan.
• Untuk meningkatkan kontribusi perusahaan (khusunya perusahaan-perusahaan pemerintah)
terhadap perekonomian nasional.
• Meningkatkan investasi nasional; dan
• Mensukseskan program privat-isasi perusahaan-perusahaan pemerintah.
PRINSIP-PRINSIP GCG
MANFAAT GCG
Menurut Tjager dkk (2003) mengatakan bahwa paling tidak ada lima alas an mengapa
mengapa penerapan GCG itu bermanfaat, yaitu:
• Berdasarka survey yang telah dilakukan oleh McKinsey & Company menunjukkan bahwa
para investor institusional lebih menaruh kepercayaan terhadap perusahaan-perusahaan di
Asia yang telah menerapkan GCG.
• Berdasarkan berbagai analisis ternyata ada indikasi keterkaitan antara terjadinya krisis
financial dan krisis berkepanjangan di Asia denngan lemahnya tata kelola perusahaan.
• Internasionalisasi pasar – termasuk liberalisasi pasar financial dan pasar modal menuntut
perusahaan untuk menerapkan GCG.
• Kalau GCG bukan obat mujarab untuk keluar dari krisis system ini dapat menjadi dasar
bagi beberkembangnya system nilai baru yang lebih sesuai dengan lanskap bisnis yang kini
telah banyak berubah.
• Secara teoris, praktik GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan.
Menurut Mas Ahmad Daniri (2005;14) jika perusahaan menerapkan mekanisme penerapan
Good Corporate Governance (GCG) secara konsisten dan efektif maka akan dapat
memberikan manfaat antara lain:
• Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung oleh pemegang saham
akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen.
• Mengurangi biaya modal (Cost of Capital).
• Meningkatkan nilai saham perusahaan di mata ublic dalam jangka panjang.
• Menciptakan dukungan para stakeholder dalam lingkungan perusahaan terhadap
keberadaan perusahaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan.
Definisi Perseroan Terbatas menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007
(“UUPT”), berbunyi: “Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut (“Perseroan”), adalah
badan hokum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasar perjanjian, melakukan
kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya”
Beberapa ketentuan lama yang masih relevan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 masih dipertahankan. Namun ada beberapa ketentuan baru yang ditambahkan,
antara lain:
• Dimungkinkan mengadakan RUPS dengan memanfaatkan teknologi informasi yang ada
seperti: telekonferensi, video konferensi dan yang lainnya
• Kejelasan mengenai tata cara pengajuan dan pemberian pengesahan status badan hokum
dan pengesahan Anggaran Dasar Perseroan
• Memperjelas dan mempeertegas tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris,
termasuk mengatur mengenai komisaris independen dan komisaris utusan
• Kewajiban perseroan untuk melaksanakan tanggung jawab hokum dan lingkungan
Komite Audit
Menurut Subur (2003) yang dikutip I Putu Sugiartha Sanjaya, syarat-syarat yang harus
dipenuhi untuk menjadi anggota Komite Audit adalah sebagaiberikut:
· Anggota Komite Audit harus memiliki keseimbangan keterampilan dan pengalaman dengan
latar belakang usaha yang luas.
· Anggota Komite Audit harus independen, objektif dan hokumlonal.
· Anggota Komite Audit harus memiliki integritas, dedikasi, pemahaman yang baik mengenai
organisasi, lingkungan bisnis serta risiko dan hokuml.
· Paling sedikit anggota komite audit harus memiliki pengertian yang baik tentang analisa dan
penyusunan laporan keuangan.
· Ketua Komite Audit harus memiliki kemampuan untuk memimpin dan terampil
berkomunikasi dengan baik. Selain hal tersebut, menurut Keputusan Ketua Bapepam Nomor:
Kep-41/PM/2003 menambahkan bahwa anggota Komite Audit tidak merangkap jabatan yang
sama pada perusahaan lain pada periode yang sama.
Keberadaan Komite Audit diatur melalui Surat Edaran Bapepam Nomor SE-03/PM/2002
(bagi perusahaan publik) dan Keputusan Menteri BUMN Nomor KEP-103/MBU/2002 (bagi
BUMN). Komite Audit terdiri dari sedikitnya tiga orang, diketuai oleh Komisaris Independen
perusahaan dengan dua orang eksternal yang independen serta menguasai dan memiliki latar
belakang akuntansi dan keuangan.Kewenangan Komite Audit dibatasi oleh fungsi mereka
sebagai alat bantu DK, sehingga tidak memiliki otoritas eksekusi apapun (hanya sebatas
rekomendasi kepada DK), kecuali untuk hal spesifik yang telah memperoleh hak kuasa
eksplisit dari DK, misalmya mengevaluasi dan menentukan komposisi auditor eksternal, dan
memimpin suatu investigasi khusus.Pada akhirnya, suatu Dewan Komisaris yang aktif,
canggih, ahli, beragam dan yang terpenting independen yang menjalankan fungsinya secara
efektif dan dibantu oleh Komite Audit adalah yang paling baik untuk ditempatkan dalam
memastikan implementasi Good Corporate Governance berjalan dengan baik sehingga
kecurangan (fraud) maupun keterpurukan bisnis dapat dihindari. (Alison)
Menyadari tata kelola perbankan di Indonesia masih lemah, dalam upaya menata kembali
manajemen dan kegiatan perbankan di Indonesia, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan
No 8/4/PBI/2006 pada tanggal 30 januari 2006 tentang implementasi GCG oleh Bank-bank
komersial. Secara garis besar, peraturan ini mengatur tentang :
• Prosedur pengelolaan melalui penerapan prinsip transparansi, akuntabilitas, tanggung
jawab, independensi dan kesetaraan
• Tujuan implementasi GCE, minimal untuk merealisasikan:
> Kejelasan tugas dan tanggung jawab Dewan komisaris dan Dewan Dereksi
> Kelengkapan dan implementasi tugas komite dan unit pelaksana fungsi internal audit bank
> Kinerja ketaan, fungsi auditor internal dan eksternal
> Implementasi manajemen resiko termasuk system pengendalian internal
> Ketentuan dalam pihak-pihak terkait dan dana dalam jumlah besar
> Rencana strategi bank
> Transparansi kondisi keuangan dan non-keuangan
> Jumlah komposisi, kriteria dan independensi Dewan Komisaris
> Jumlah, komposisi, kriteria dan independensi Dewan Direksi
> Komite
> Ketaatan, Fungsi Auditor Eksternal dan Internal
> Implementasi Management Resiko
> Ketentuan Dana
> Rencana Strategis Bank
> Aspek Transparansi Kondisi Bank
> Konflik Kepentingan dan Pelaporan Internal
> Laporan dan Asesmen Implementasi GCG
> Implementasi GCG di Cabang Luar Negeri
> Sanksi-sanksi
> Ketentuan Peralihan
> Ketentuan Penutup.