Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

HUKUM ASURANSI

Tugas II

Hukum Agama

DOSEN PENGAMPU : Ketut Sendra, SPd, SH, MM, MH, AAIJ, QIP, CLU,
CRGP, CERG, QRGP, AMRP

Disusun oleh :

Adjie Rizki Pardani (201761201102)

Anasya Daffa Pertiwi (201761201107)

Bunga Nanda Sari (201761201113)

Laitul Husna (201761201005)

Rizki Ferdianto (201761201124)

Ummi Noviana (201761201012)

Yudhistira Adi Wiyanto (201761201132)

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN RISIKO DAN ASURANSI

2019
Adjie Rizky Pardani Anasya Daffa Pertiwi Bunga Nanda Sari

Yudhistira Adi W Lailatul Husna

Rizky Ferdianto Ummi Noviana


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga Tugas Makalah Hukum Asuransi yang
bertemakan Hukum Agama ini dapat terselesaikan.

Ucapan terima kasih juga kami tujukan kepada dosen pembimbing dalam
mata kuliah Hukum Asuransi, Bapak Ketut Sendra, SPd, SH, MM, MH, AAIJ,
QIP, CLU, CRGP, CERG, QRGP, AMRP yang telah memberikan kami
bimbingan, arahan serta nasihat dan ilmu yang sangat bermanfaat sehingga kami
dapat menyelesaikan Tugas Makalah Hukum Asuransi ini.

Makalah ini merupakan suatu pembelajaran untuk kami dan diharapkan


dengan adanya makalah ini dapat meningkatkan pemahaman mengenai Hukum
Asuransi. Selain itu, makalah ini juga dapat digunakan sebagai pembelajaran dan
referensi bagi rekan mahasiswa lainnya.

Demikian makalah ini kami susun dengan penuh kekurangan dan


ketidaksempurnaan semoga hasil kerja kami ini dapat memnuhi tanggung jawab
kami serta menjadi bekal sekaligus pembelajaran bagi kami untuk lebih baik lagi
di kemudian hari.

Jakarta, Juni 2019

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2

DAFTAR ISI............................................................................................................4

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................5

1.1 Latar Belakang..........................................................................................5

1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................6

2.1 Pengertian Hukum.....................................................................................6

2.2 Pengertian Agama.....................................................................................6

2.3 Pengertian Hukum Agama dan Penerapan Hukum Agama di Berbagai


Negara..................................................................................................................8

2.4 Keberlakuan hukum agama di indonesia.................................................13

2.5 Perbedaan Hukum Negara Dengan Hukum Agama................................19

BAB III PENUTUP...............................................................................................21

3.1 Kesimpulan..............................................................................................21

3.2 Saran dan kritik.......................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis, secara garis besar
memiliki tiga bentuk atau bidang hukum yang hidup dalam masyarakat, hukum
adat, hukum agama dan hukum positif. Ratusan tahun sebelum Belanda masuk
untuk menjajah dan membawa model tatanan hukum mereka serta menyebarkan
agama mereka ke Indonesia, bangsa ini telah memiliki tatanan hukum mereka
sendiri dan agamanya pada waktu itu, yakni buddha, hindu dan islam.

Masalah mulai muncul ketika salah satu agama menginginkan agar hukum
dalam agamanya yang harus dipakai untuk menjalankan kehidupan berbangsa dan
bernegara dan tentulah akan mengorbankan hak beragama dari pemeluk yang lain.
Masalah ini adalah masalah klasik yang terus diperdebatkan, dan beberapa
masalah itu muncul belakangan ini. Pertama, banyak masyarakat Indonesia yang
tidak mau memilih pemimpin yang tidak seiman dengan mereka dengan sebuah
alasan bahwa hal itu akan melanggar apa yang telah ditetapkan dalam Kitab Suci
masing-masing. Kedua, masalah pembubaran ibadah Natal yang dilakukan oleh
oknum tertentu di gedung Sabuga, Bandung. Mereka beralasan bahwa ibadah
tersebut tidak mendapat izin dari masyarakat dan pihak yang berwenang. Dua
masalah di atas (dan tentu juga masalah yang lain) akan memberikan sebuah
pertanyaan penting yaitu "bagaimana cara masyarakat Indonesia beragama dalam
NKRI yang ber-Bhineka Tunggal Ika?". Ketiga, pembakaran tempat ibadah di
Sumatera Utara beberapa waktu yang lalu.  

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Pengertian Hukum
1.2.2 Pengertian Agama Secara Umum Dan Luas
1.2.3 Pengertian Hukum Agama
1.2.4 Penerapan Hukum Agama Di Berbagai Negara
1.2.5 Permasalahan Hukum Agama

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum


Menurut salah satu pakar, yakni karl max hukum di definisikan sebagai
suatu cerminan dari hubungan hukum ekonomis suatu masyarakat dalam suatu
tahap perkembangan tertentu, secara sempit menurut Achmad ali, hukum adalah
“jika peraturannya sudah ada dan sudah jelas, dimana hakim tinggal
menerapkannya saja.”

Sedangkan secara luas menurut van eikema hommes, hukum adalah proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi
tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkret. Ini merupakan
konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan
mengingat peristiwa konkret.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum adalah sekumpulan peraturan,


sistem norma yang mengatur kehidupan warga masyarakat agar tertib, sejahtera
dan aman dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi.

2.2 Pengertian Agama


Menurut KBBI, pengertian agama adalah suatu ajaran dan sistem yang
mengatur tata keimanan/ kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan yang Maha
Kuasa, serta tata kaidah terkait pergaulan manusia dengan manusia serta
lingkungannya.

Kata “Agama” berasal dari bahasa Sansekerta yang secara umum berarti
suatu tradisi, dimana “A” artinya tidak dan “Gama” artinya kacau. Sehingga bila
dilihat dari asal katanya, definisi agama adalah suatu peraturan yang dapat
menghindarkan manusia dari kekacauan, serta mengarahkan manusia menjadi
lebih teratur dan tertib.

Kehadiran agama memiliki peran dan fungsi yang cukup banyak dalam
kehidupan manusia. Adapun beberapa fungsi agama adalah sebagai berikut:

- Sebagai pedoman hidup manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik


secara individu maupun kelompok.
- Sebagai sumber aturan tata cara hubungan manusia dengan
Tuhannya, dan juga sesama manusia.
- Sebagai pedoman bagi manusia dalam mengungkapkan rasa
kebersamaan dengan sesama manusia.
- Sebagai pedoman perasaan keyakinan manusia terhadap sesuatu
yang luar biasa (supranatural) di luar dirinya.
- Sebagai cara manusia mengungkapkan estetika/ keindahan alam
semesta dan segala isinya.
- Sebagai cara untuk memberikan identitas kepada manusia sebagai
umat dari suatu agama

Suatu agama tercipta karena manusia ingin mencapai tujuan tertentu di


dalam hidupnya, dan agama dianggap dapat membantu mencapai tujuan tersebut.
Adapun beberapa tujuan agama adalah sebagai berikut:

- Untuk membimbing manusia dalam menjalani kehidupannya


dengan cara lebih baik melalui pengajaran dan aturan, dimana
ajaran dan aturan tersebut dipercaya berasal dari Tuhan.
- Untuk menyampaikan firman Tuhan kepada umat beragama,
berupa ajaran-ajaran kebaikan dan aturan berperilaku bagi
manusia.
- Untuk membimbing manusia menjadi individu yang berakal baik
dan dapat menemukan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
- Untuk membuka jalan bagi manusia yang ingin bertemu dengan
penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, ketika mati kelak.
Menjelaskan definisi agama merupakan sesuatu yang sangat kompleks.
Penjelasan yang dikemukakan oleh para ahli tidak dapat menjawab secara tuntas
mengenai realitas agama dalam kehidupan manusia. Untuk memudahkan kita
memahami arti agama, maka kita perlu mengetahui unsur-unsur pokok yang
terkandung dalam agama itu sendiri.

2.3 Pengertian Hukum Agama dan Penerapan Hukum Agama di Berbagai


Negara
Hukum Agama adalah hukum yang mengatur keseluruhan persoalan dalam
kehidupan berdasarkan atas ketentuan agama tertentu. Agama sendiri merupakan
prinsip atau sebuah kepercayaan kepada Tuhan. Jika seseorang tidak memiliki
iman atau kepercayaan yang kuat maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut
telah melanggar norma atau hukum agama.

Selain hukum agama, ada pula istilah agama negara yakni agama yang
berstatus resmi sebagai indetitas dan falsafah utama di suatu negara. Umumnya
agama-agama ini memiliki lebih banyak hak dan lebih sedikit pembatasan di
negara tersebut dibanding dengan agama lain yang ada.

Hubungan antara agama dan negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga


bentuk yakni integrated (penyatuan antara agama dan negara), intersectional
(persinggungan antara agama dan negara), dan sekularistik (pemisahan antara
agama dan negara.

Bentuk hubungan antara agama dan negara di negara-negara Barat dianggap


sudah selesai dengan sekularismenya atau pemisahan antara agama dan negara.
Paham ini menurut The Encyclopedia of Religion adalah sebuah ideologi, dimana
para pendukungnya dengan sadar mengecam segala bentuk supernaturalisme dan
lembaga yang dikhususkan untuk itu, dengan mendukung prinsip-prinsip non-
agama atau anti-agama sebagai dasar bagi moralitas pribadi dan organisasi sosial
emisahan agama dan negara tersebut memerlukan proses yang disebut
sekularisasi, yang pengertiannya cukup bervariasi, termasuk pengertian yang
sudah ditinjau kembali. Menurut Peter L. Berger berarti “sebuah proses dimana
sektor-sektor kehidupan dalam masyarakat dan budaya dilepaskan dari dominasi
lembaga-lembaga dan simbol-simbol keagamaan”.

Proses sekularisasi yang berimplikasi pada marjinalisasi agama ini bisa


berbeda antara satu negara dengan negara lainnya, yang terutama dipengaruhi oleh
latar belakang budaya dan sejarah masing-masing masyarakatnya. Negara-negara
yang mendasarkan diri pada sekularisme memang telah melakukan pemisahan ini,
meski bentuk pemisahan itu bervariasi. Penerapan sekularisme secara ketat
terdapat di Perancis dan Amerika Serikat, sementara di negara-negara Eropaselain
Perancis penerapannya tidak terlalu ketat, sehingga keterlibatan negara dalam
urusan agama dalamhal-hal tertentu masih sangat jelas, seperti hari libur agama
yang dijadikan sebagai libur nasional, pendidikan agama di sekolah, pendanaan
negara untuk agama, keberadaan partai agama, pajak gereja dan
sebagainya.Bahkan sebagaimana dikatakan Alfred Stepan kini masih ada sejumlah
negara Eropa yang tetap mengakui secara resmi lembaga gereja (established
church) dalam kehidupan bernegara, seperti Inggris, Yunani dan negara-negara
Skandinavia (Norwegia, Denmark, Finlandia, dan Swedia)

Namun dalam kenyataannya, umat Islam tetap memperhatikan faktor agama


dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, meski negara itu telah melakukan
modernisasi dan sekularisasi politik bersamaan dengan proses globalisasi.Hal ini
sebenarnya tidak terlepas dari karakteristik ajaran Islam itu sendiri, yang tidak
hanya merupakan sistem teologis, tetapi juga cara hidup yang berisi standar etika
moral dan norma-norma dalam kehidupan masyarakat dan negara. Islam tidak
membedakan sepenuhnya antara hal-hal sakral dan profan, sehingga Muslim yang
taat menolak pemisahan antara agama dan negara. Oleh karena itu, sekularisasi
yang terjadi di negara-negara Muslim umumnya tidak sampai menghilangkan
orientasi keagamaan masyarakat dan negara. Bahkan adopsi sistem sekuler,
seperti sistem demokrasi dan penegakan hak asasi manusia, dalam banyak hal
dilakukan dengan pemberian legitimasi keagamaan melalui ijtihad dan
penyesuaian-penyesuaian tertentu

Dengan demikian, baik dalam konsep sistem ketatanegaraan maupun


realitas pada saat ini hubungan antara agama dan negara di Indonesia tetap dalam
bentuk yang kedua (intersectional) atau hubungan persinggungan antara agama
dan negara, yang berarti tidak sepenuhnya terintegrasi dan tidak pula sepenuhnya
terpisah. Dalam hubungan semacam ini terdapat aspek-aspek keagamaan yang
masuk dalam negara dan ada pula aspek-aspek kenegaraan yang masuk dalam
atau memerlukan legitimasi agama. Oleh karena itu, seringkali dikatakan bahwa
Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler. Negara
Indonesia adalah negara yang secara kelembagaan berbentuk sekuler tetapi secara
filosofis mengakui eksistensi agama dalam kehidupan bernegara. Bahkan agama
sebagai dasar negara secara eksplisit disebutkan dalam pasal 29 ayat 1, yakni
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Berdasarkan sila pertama Pancasila dan pasal 29 inilah sejumlah ahli hukum
tata negara, seperti Ismail Suny, mengatakan bahwa sistem ketetanegaraan
Indonesia mengakui tiga bentuk kedualatan, yakni kedaulatan rakyat, kedaulatan
hukum dan kedaulatan Tuhan.Namun hanya dua kedaulatan yang diakui resmi dan
diwujudkan dalam bentuk lembaga negara, yakni kedaulatan rakyat dalam bentuk
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan kedaulatan hukum dalam bentuk
Mahkamah Konstitusi (MK). Pengakuaan akan eksistensi agama dalam kehidupan
bernegara diwujudkan terutama dalam bentuk pengakuan resmi lembaga-lembaga
keagamaan tertentu dalam negara serta adopsi nilai-nilai dan norma-norma agama
dalam sistem nasional dan pengambilan kebijakan publik, seperti legislasi hukum-
hukum agama (Islam) tertentu menjadi hukum nasional. Di samping itu, negara
juga mengakui eksistensi partai-partai politik dan organisasi-organisasi massa
yang berbasis agama. Hanya saja, kini terdapat perkembangan yang menarik
dalam orientasi politik warga yang sekaligus menggabungkan antara proses
sekularisasi dan desekularisasi. Di satu sisi, terjadi desekularisasi politik dengan
munculnya kembali partai-partai agama (Islam) dan akomodasi nilai-nilai dan
norma-norma agama dalam pengambilan kebijakan publik. Namun di sisi lain
terjadi perubahan orientasi politik warga santri yang tidak otomatis mendukung
partai-partai Islam tetapi justru banyak mendukung partai-partai nasionalis.

Negara mengakui eksistenasi lembaga-lembaga keagamaan dalam negara


dan masyarakat. Hanya saja, terdapat perbedaan visi dan aspirasi di kalangan
warga tentang sejauh mana keterlibatan agama itu dalam negaraDalam konteks
ini, orientasi warga negara tentang keagamaan dalam konteks kehidupan negara
cukup bervariasi, yang secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga
bentuk. Pertama agama sebagai ideologi, yang didukung oleh mereka yang ingin
menjadikan agama sebagai ideologi negara, yang manifestasinya berbentuk
pelaksanaan ajaran agama (syari’ah dalam konteks Islam) secara formal sebagai
hukum positif. Orientasi kelompok ini pada agama lebih besar daripada
orientasinya pada wawasan kebangsaan, sehingga ia akan bisa menimbulkan
dilema jika dihadapkan pada realitas bangsa yang majemuk. Apalagi secara umum
kelompok ini memiliki sikap yang absolutis dan eksklusif dalam beragama, di
samping kadang-kadang melakukan politisasi agama untuk mendukung cita-cita
mereka: edua, agama sebagai sumber etika-moral (akhlak), yang didukung oleh
mereka yang memiliki orientasi kebangsaan lebih besar daripada orientasi
keagamaan. Orientasi ini hanya mendukung pelaksanaan etika-moral agama
(religio-ethics), dan menolak formalisasi agama dalam konteks kehidupan
bernegara. Posisi agama sebagai sumber pembentukan etika-moral ini
dimaksudkan agar bangsa ini memiliki landasan filosofis yang jelas tentang etika-
moral, tidak hanya berdasarkan kriteria baik dan buruk yang kadang-kadang bisa
sangat subyektif atau sangat temporal.Di satu sisi orientasi ini membawa hal yang
positif, karena dapat menghilangkan ketegangan antara kelompok Islam dengan
kelompok-kelompok lain serta sangat kondusif bagi terwujudnya integrasi bangsa
yang mejemuk ini. Namun di sisi lain, orientasi ini tidak cukup akomodatif
terhadap aspirasi umat agama tertentu yang berupaya sedapat mungkin
melaksanakan ajaran agama sepenuhnya.

Ketiga, agama sebagai sub-ideologi atau sebagai sumber ideologi jika kata
“sub-ideologi” dianggap bisa menimbulkan penolakan dari sebagian kelompok
masyarakat. Orientasi pertama memang sangat idealistis dalam konteks Islam,
tetapi kurang realistis dalam konteks masyarakat dan bangsa Indonesia yang
sangat plural. Sedangkan orientasi kedua sangat idealistis dalam konteks
kemajemuakn di Indonesia, tetapi kurang realistis dalam konteks agama
Islamsebagai agama mayoritas, yang ajarannya tidak hanya berupa etika-moral
melainkan juga sejumlah norma-norma dasar. Tarikan yang kuat ke arah salah
satu orientasi ini akan mengakibatkan semakin kuatnya tarikan ke arah orientasi
yang berlawanan, dan bahkan akan dapat menimbulkan konflik internal yang lebih
besar. Oleh karena itu, diperlukan jalan tengah di antara keduanya, yakni
menjadikan agama sebagai sub-ideologi atau sebagai salah satu sumber ideologi
Pancasila.

Orientasi ketiga tersebut lebih realitis dan moderat, karena meski orientasi
ini berupaya melaksanakan etika-moral serta hukum agama atau prinsip-
prinsipnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ia masih tetap mengakui
Pancasila sebagai ideologi negara. Karena Pancasila ini merupakan ideologi
terbuka dan fleksibel, maka agama dituntut untuk memberikan kontribusi dalam
penjabaran konsep-konsep operasional di berbagai bidang sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan dunia. Dalam hal inilah nilai-nilai dan norma-
norma agama menjadi input dan legitimasi bagi pembentukan dan penguatan
etika-moral serta sistem nasional dan kebijakan publik. Di samping itu, orientasi
ini mendukung pluralisme dan toleransi yang tinggi terhadap kemajemukan
bangsa ini, sehingga semua warga negara memiliki kedudukan yang sejajar.

Pelibatan agama dalam penguatan etika-moral (akhlak) bangsa saat ini


sangat dibutuhkan, terutama ketika kondisi akhlak bangsa ini secara umum masih
sangat lemah, seperti maraknya kebohongan, korupsi, penipuan, kekerasan,
radikalisme, pemerkosaan, egoisme, keserakahan dan sebagainya, baik dalam
kehidupan masyarakat maupun kehidupan politik, hukum dan birokrasi. Demikian
pula, kini semakin banyak terjadi kenakalan remaja, penyalahgunaan narkoba,
perkelaian antar kelompok, pergaulan bebas, pornografi, pornoaksi, dan
sebagainya. Penguatan akhlak ini kini menjadi sangat penting untuk memperkuat
etika politik dalam proses konsolidasi demokrasi yang sudah berlangsung sejak
tahun 2004 tetapi kurang berjalan dengan mulus, tidak seperti proses transisi
demokrasi yang telah dilewati dengan sukses antara tahun 1998 sampai 2004

Di samping itu, agama menjadi sumber atau input bagi pengambilan


kebijakan publik, agar perundang-undangan dan kebijakan publik itu sejalan atau
tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama (Islam) serta sesuai dengan
aspirasi umat. Dalam kenyataannya, ajaran-ajaran agama itu di samping
mengandung nilai-nilai yang bersifat universal, juga mengandung nilai-nilai dan
norma-norma yang bersifat pertikular, dan oleh karenanya, aspirasi umat itu juga
adakalanya bersifat umum (universal) dan adakalanya bersifat khusus (partikualr).
Hanya saja, seringkali aspirasi Islam itu hanya diidentifikasikan pada bentuk
aspirasi yang bersifat khusus (partikular), sehingga gerakan-gerakan Islam yang
muncul umumnya menggunakan tema-tema aspirasi khusus tersebut, yang
notabene bersifat ideologis atau “fundamentalistis”. Pada hal ajaran Islam itu tidak
hanya mencakup hal-hal yang termasuk dalam aspirasi khsusus, tetapi juga
aspirasi umum (universal). Sebagaimana diketahui filosofi ajaran Islam (maqashid
al-syariah) itu dimaksudkan untuk memelihara dan menghormati lima hal, yakni:
agama, jiwa, akal, kehormatan, harta benda, atau dalam bahasa lain untuk
memelihara dan meningkatkan eksistensi manusia, baik dalam konteks ekonomi,
kesehatan, pendidikan, tempat tinggal maupun makanan.

2.4 Keberlakuan hukum agama di indonesia


1. Keberlakukan Agama Islam

Jauh sebelum penjajah datang ke indonesia, walaupun masih dalam


perdebatan bahwa masuknya islam ke indonesia. Ada pendapat yang
mengatakan islam masuk pada abad ke-1 hijriah atau abad ke – 7 masehi,
ada pula yang mengatakan pada abad ke-7 hijriah atau abad ke-13 masehi.
berlakunya hukum islam bagi sebagian penduduk hindia beanda berkaitan
dengan munculnya kerajaan-kerajaan islam setelah runtuhnya kerajaan
majapahit pada sekitar 1518 M. Menurut C. Snouck Hurgronje sendiri,
bahwa pada abad ke-16 di hindia Belanda sudah menucul kerajaan-
kerajaan islam, seperti mataram, banten dan cirebon yang berangsur-
angsur mengislamkan seluruh penduduknya. Namun, sebelum kedatangan
isam ke indonesia, masyarakat sendiri telah hidup dalam suasana hukum
adat. Hubungan antara hukum islam dnegan hukum adat banyak
diungkapkan oleh beberapa teori, yaitu :

o Teori Reception In Complexu


Van den berg dalam teortinya, reception in complexu
mengatakan “selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan,
menurut ajarann ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika
memeluk agama harus juga mengikuti hukum agama itu
dengan sertia” dengan demikian, menurut teori ini bagi setiap
penduduk berlaku hukum agamanya masing-mamsing, dengan
mana dapat dikatakan bahwa sesungguhnya hukum adat itu
juga merupakan bagian hukum agamanya karena merupakan
karena hasil rsepsi dari agama. Maka dari itu, kemudian pada
tahun 1885 diterbitkanlaj Regeeringsreglement pasal 75 ayat 3
yang berbunyi oleh hamik indonesia itu hendaklah
diberlakukan undang-undang agama (gosdienstigewetten) dan
kebiasaan penduduk indonesia”
o Teori Receptie
Menurut teori resepsi, hukum agama tidak otomatis
berlaku bagi penganut agama tersebut. Hukum agama tersebut
berlaku bagi penganut agama tersebut, jika ia sudah diterima
(di resepsi) oleh dan telah menjadi hukum adat mereka. Teori
ini dikemukakan oleh cornelis van vollenhoven dan cristian
snoouck hurgronje. Penerapan teori ini dimuat dalam pasal 134
ayat 2 IS (Indsiche Staatseregeling) tahun 1929, yang berbunyi
“dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang islam
akan diselesaikan oleh hakim agama islam, apabila hukum adat
mereka menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain
dengan suatu ordonansi” pemikiran snouck hurgronje tentang
teori ini sejalan dengan pendapatnya tentang pemisahan antara
agama dan politik. Pandangannya itu sesuai pula dengan
sarannya kepada pemerintah hindia Belanda tentang politik
islam hindia Belanda.
Snouck hurgronje menyarankan agar pemerintah hindia
Belanda bersifat netral terhadap ibadah agama dan bertindak
tegas terhadap ibadah agama dan setiap kemungkinan
perlawanan orang islam fanatik. Islam dipandangnya seabgai
ancaman yang harus dikekang dan ditempatkan di bawah
pengawasan yang ketat

o Teori Receptie Exit


Pada saat penyusunan piagam jakarta, terdapat dua
pandangan yaitu pandangan yang menginginkan indonesia
didirikan sebagai negara islam (dipelopori oeh supomo) dan
pandangan lain yang diemukakan oleh Moh.Hatta yaitu negara
sebagai negara persatuan nasional yang memisahkan urusan
negara dan urusan islam.
Menurut pakar hukum adat hazairinm bahwasannya
hukum agama itu bagi rakyat islam dirasakannya sebagai
bagiann dari perkara imannya. Pada akhirnya tentang
keberadaan dan berlakunya teori resepsi ini setalah indonesia
tentang keberadaan dan berlakunya teori resepi ini setelah
indonesia merdeka, hazairin mengemukakan bahwa “bahwa
teori resepsi baik sebagai teori maupun sebagai ketetapan
dalam pasal 134 ayat 2 indisch staatsregeling sebagai konstitusi
Belanda telah lama modar (mati), yaitu terhapus dengan
berlakunya UUD 1945, sebagai konstitusi Negara Republik
Indonesia” jadi , menurut hazairin teori resepsi yang
menyatakan bahwa hukum islam baru berlaku bagi orang islam
jika sudah diterima dan menjadi bagian dari hukum adatnya,
sebagaimana dikemukakan oleh C. Snoouck Hurgronje telah
dihapus dengan berlakunya UUD 1945.
menurut teori ini, pemberlakuan hukum islam tidak harus
didsarkan atau ada ketergantungan kepada hukum adat.
o Teori Receptio A Contrario
Menurut teori resepsi exit, pemberlakukan hukum islam
tidak harus didasarkan atau ada ketergantungan kepada hukum
adat. Pemahaman demikian lebih dipertegas lagi antara lain
dengan berlakunya UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan
yang memberlalukan hukum islam bagi orang islam (pasal 2
ayat 1), UU no 7 tahun 1989 tentang peradilan agama instruksi
presiden no 1 tahun 19991 tentang kompilasi hukum islam di
indonesia (KHI)
Dalam perkembangan selanjutnya menurut sayuti
thalib, ternyata dalam masyarakat telah berkembang lebih
jauuh dari pendapat hazairin diatas. Di beberapa daerah yang
dianggap sangat kuat adanya, terlihat ada kecenduerungan teori
resepsi dari snouck hurgronje itu dibalik.
Umpama di aceh, masyarakatnya mengehendaki agar
soal-soal perkawinan dan soal warisan diatur menurut hukum
islam. Apanila ada ketentuan adat di dalamnya, boleh saja
dilakukan atau dipakai, tetapi dengan satu ukuran, yaitu tida
boleh bertentengan dengan hukum islam.
Dengan demikian yang ada seakrang adalah kebaikan
dari teori resepi yaitu hukum adat baru berlaku kalai tidak
bertentangan dengan hukum islam.
2. Keberlakukan hukum agama kristen
Belanda dan Portugis merupakan dua negara yang
meperkenalkan agama kristen, yaitu krsten protestan dan kristen katolik di
indonesia. Sebagaimana kita ketahui bahwa indonesia merupakan negara
yang kaya akan sumber daya alam, komdiiti utama yang menguntungkan
serta melimpahnya rempah-rempah membuat bangsa barat tertarik datang
ke indonesia. Melalui bangsa Portugis yang datang ke indonesia itulah
agama kristen katolik tersebar ke indonesia. Begitu pula dengan kristem
protestan yang tersebar hingga ke indonesia melalui bangsa belada yang
datang kemudian.
Sebelum bangsa-bangsa eropa tiba di indonesia, pada umumnya
rakyat telah memeluk agama hindu, buddha dan islam, keberadaan agama-
agama itu didukung dengan berdirinya kerajaan-kerajaan bercorakk hindu-
buddha dan islam. Dalam beberapa abad lamanya kebudayaan hindu,
buddha, atau islam telah melekat di hati sebagian besar masyarakat
indonesia. Munculnya upaya perluasan kekuasaan kaum kolonial diikuti
oleh upaya penyebaran agama kristen, namun pada tahap awal sulit untuk
berkembang. Faktor-faktor penyebab sulit berkembangnya agama kristen
di indonesia, yaitu :
- Pada umumnya agama kristen dianggap identik dengan agaam
penjajah
- Pemerintahan kolonial tidak mengahargai prinsip persamaan
derajat manusia
- Sebagian besar rakyat indonesia telah menganut agama islam,
hindu, dan buddha
Menyadari akan kelemahan-kelemahan itu, para misionaris,
biarawan, pendeta, ataupun pekabar injil menerapkan upaya lain yang
dapat menarik simpati masyarakat. Upaya-upaya itu antara laun
menyebarkan agama lain, mendirikan sekolah-sekolah, membanun rumah
sakit, memberi santunan kepada rakyat miskin, membela kepentingan
rakyat akibat penindasan kaum kolonial, dsb. Berkat kerja kerasnya,,
akhirnya agama kristen mulai berkembang di indonesia.
Agama kristen kemudian lebih berkembang di daerah-daerah
yang tidak tersentuh islam dan agama-agama lainnya maka dari itu tidak
pernah terjadi perang melawan potugis atau Belanda yang dilatarbelakangi
persoalan agama. Timbulnya reaksi masyarakat indonesia terhadap kaum
kolonialis/ imperalis lebih disebabkan oleh sikap kesewenang-wenangan,
ketidakadilan dan penginjakan rasa manusia
Karena pada saat itu agama kristen dibawa oleh negara-negara
yang lama menduduki indonesia, serta lebih banyak berkembang di daerah
yang sedikit tersentuh oleh agamam lain maka tidak terasa pertentangan
yang kentara antara hukum adat sekitar dengan agama kristen dengan
sendirinya agama kristen terinternalisasi ke dalam kehirupan masyarakat.
Hingga saat ini, aturan-aturan hukum kristen di indonesia memberikan
pengaruh kepada hukum keluarga dan hukum perkawinan.
3. Keberlakukan hukum agama hindu dan buddha
Masuknya agama hindu dan buddha ke indonesia diejlaskan beberapa
teori, yaitu

- Teori Waisya

Penyebaran agama hindu ke indonesia dibawa oleh orang-


orang india berkasta waisya, karena mereka terdiri atas para
pedagang yang datang dan kemudian menetap di salah satu
wilayah di indonesia. Bahkan banyak di antara pedagang itu yang
menikah dengan wanita setempat.

- Teori Ksatria

Penyebaran agama hindu ke indonesia dibawa oleh orang-


orang india berkasta ksatria. Hal ini disebabkan terjadi kekacuan
politik di india, sehingga para ksatria yang kalaj melarikan diri ke
indonesia. Mereka lalu mendirikan kerajaan-kerajaan dan
menyebarkan agama hindu.

- Teori Brahmana

Menyatakan bahwa penyebaran agama hindu dilakukan oleh


kaum brahmana. Kedatangan mereka ke indonesia untuk memenuhi
undangan kepala suku yang tertarik dengan agama hindu, kaum
brahmana yang datang ke indonesia inilah yang mengajarkan agama
hindu kepada masyrakat.

- Teori Arus Balik

Penyebaran agama hindu buddha dilakukann oleh masyarakat


pribumi. Masyrakat pribumi banya yang dikrim ke negeri india untuk
menuntut ilmu disana, sekembalinya pelajar tersebut membawa ajaran
hindu-buddha kemudian menyebarkan di bumi nusantara.

Agama hindu buddha terinternalisasi ke dalam kehidupan


masyrakat di indonesia melalui berdirinya kerajaan-kerajaan. Pada
waktu itu, terbentuknya kerajaan hindu-budha seolah malah menjadi
elemen terbentuknya beberapa kebudayaan/adat di masyrakat.
Sehingga banyaknya perpecahan bukanlah karena perbenturan agama
dengan adat, melainkan antar kepentingan kerajaan itu sendiri.

2.5 Perbedaan Hukum Negara Dengan Hukum Agama


Sudah dipaparkan sebelumnya bahwa hukum negara berdampingan dengan
hukum agama, akan tetapi terdapat berpedaan diantara keduanya, yakni :

- Enam agama yang Indonesia anut tidak pernah dilahirkan dari


kebudayaan Indonesia tetapi hasil dari pengajaran "guru agama"
dari bangsa lain yang membawa agama tersebut masuk ke
Indonesia. Oleh karena agama-agama tersebut dilahirkan dalam
konteks yang berbeda dengan Indonesia, maka hukum agama yang
dilahirkan dalam konteks bangsa asal agama tersebut akan sangat
berbeda dengan konteks hidup bangsa Indonesia. Contoh, dalam
Alkitab terdapat ritual Perjamuan Kudus yang memakan Roti dan
Anggur. Namun di akan sangat sulit melaksanakan Perjamuan
Kudus dengan memakan Roti dan Anggur di pedalaman Papua.
Oleh sebab itu, mereka yang berada di pedalaman menggunakan
sagu dan saguer (minuman dari pohon aren). 
- Hukum negara memberikan kebebasan kepada para pemeluk
agama untuk menganut dan melaksanakan kepercayaan yang
diyakini. Hukum negara sebenarnya telah dengan tepat
memberikan porsi kepada agama-agama di Indonesia untuk
melaksanakan kepercayaannya masing-masing. Akan sangat
berbahaya bagi Indonesia jika tidak memberikan porsi yang tepat
bagi para pemeluk agama. Namun masalah muncul saat beberapa
oknum pemeluk agama memaksakan kehendaknya, yang notabene
bukan kehendak atau pengajaran dari agama yang dianut. 
- Enam agama besar di dunia lahir di benua Asia, tetapi mengapa
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi banyak diperoleh
dari benua barat. Jika berbicara yang seharusnya maka agama yang
lahir di Asia harus memberikan kontribusi yang besar bagi
kehidupan umat manusia di dunia. Sebenarnya, kemajuan itu tidak
hanya ditentukan oleh agama yang lahir di Asia, namun bagaimana
mengelola pemerintahan dan manusia yang ada dalam bangsa
tersebut. Hal ini mengarahkan kita untuk berpikir bahwa
seharusnya agama juga harus membantu negara untuk menjalankan
pembangunan. Namun, persoalan yang terjadi, agama lebih sering
menghambat negara untuk menjalankan pembangunan
- Harus diakui bahwa Indonesia adalah negara yang unik dengan
berbagai suku, agama, ras dan golongan. Masing-masing kelompok
tentu ingin menunjukkan eksistensinya di Indonesia. Namun para
pendiri bangsa telah memberikan sebuah dasar negara yang tepat
bagi kita untuk mengelola perbedaan-perbedaan itu. Pancasila
menjadi sebuah dasar dan juga pengayom bagi masyarakat untuk
menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila
memberikan arah yang jelas bagi tujuan kehidupan bangsa
Indonesia. oleh sebab itu, negara dan semua agama di Indonesia
wajib menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila yang kita miliki.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Agama merupakan suatu norma, petunjuk bagi manusia dari Tuhan
agar menjalani kehidupan dengan baik. Indonesia merupakan negara yang
memiliki ras, suku, dan agama yang beragam, sudah sepatutnya
masyarakat indonesia saling memiliki tenggang rasa kepada ras lain dan
umat agama lain. Zaman memang berubah, akan tetapi hukum agama tidak
akan berubah, dan maka hukum negara akan menyesuaikan peraturannya
dengan zaman akan tetapi tidak akan keluar dari hukum agama, terutama
negara Indonesia.

3.2 Saran dan kritik


Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan
jauh dari kesempurnaan.
Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada
banyak sumber yang dapatdipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam
kesimpulan di atas. 
DAFTAR PUSTAKA
Masykuri Abdillah. Hubungan Agama dan Negara dalam konteks modernisasi politik di
era reformasi. Universitas Islam Negeri

https://www.kompasiana.com/arisipahelut/584bb8588d7a61563792fd81/hukum-
negara-vs-hukum-agama diakses pada 1 juli pukul 17:59

https://www.academia.edu/28153800/KEBERLAKUAN_HUKUM_AGAMA_DI
_INDONESIA diakses pada 1 juli pukul 17:59

https://www.kompasiana.com/arisipahelut/584bb8588d7a61563792fd81/hukum-
negara-vs-hukum-agama diakses pada 1 juli pukul 17:59

http://www.tribunnews.com/nasional/2013/07/03/masalah-agama-negara-dan-
ham-masih-sering-terjadi-di-indonesia diakses pada 1 juli pukul 17:59

Anda mungkin juga menyukai