HUKUM ASURANSI
Tugas II
Hukum Agama
DOSEN PENGAMPU : Ketut Sendra, SPd, SH, MM, MH, AAIJ, QIP, CLU,
CRGP, CERG, QRGP, AMRP
Disusun oleh :
2019
Adjie Rizky Pardani Anasya Daffa Pertiwi Bunga Nanda Sari
Ucapan terima kasih juga kami tujukan kepada dosen pembimbing dalam
mata kuliah Hukum Asuransi, Bapak Ketut Sendra, SPd, SH, MM, MH, AAIJ,
QIP, CLU, CRGP, CERG, QRGP, AMRP yang telah memberikan kami
bimbingan, arahan serta nasihat dan ilmu yang sangat bermanfaat sehingga kami
dapat menyelesaikan Tugas Makalah Hukum Asuransi ini.
Tim Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................6
3.1 Kesimpulan..............................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah mulai muncul ketika salah satu agama menginginkan agar hukum
dalam agamanya yang harus dipakai untuk menjalankan kehidupan berbangsa dan
bernegara dan tentulah akan mengorbankan hak beragama dari pemeluk yang lain.
Masalah ini adalah masalah klasik yang terus diperdebatkan, dan beberapa
masalah itu muncul belakangan ini. Pertama, banyak masyarakat Indonesia yang
tidak mau memilih pemimpin yang tidak seiman dengan mereka dengan sebuah
alasan bahwa hal itu akan melanggar apa yang telah ditetapkan dalam Kitab Suci
masing-masing. Kedua, masalah pembubaran ibadah Natal yang dilakukan oleh
oknum tertentu di gedung Sabuga, Bandung. Mereka beralasan bahwa ibadah
tersebut tidak mendapat izin dari masyarakat dan pihak yang berwenang. Dua
masalah di atas (dan tentu juga masalah yang lain) akan memberikan sebuah
pertanyaan penting yaitu "bagaimana cara masyarakat Indonesia beragama dalam
NKRI yang ber-Bhineka Tunggal Ika?". Ketiga, pembakaran tempat ibadah di
Sumatera Utara beberapa waktu yang lalu.
BAB II
PEMBAHASAN
Sedangkan secara luas menurut van eikema hommes, hukum adalah proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi
tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkret. Ini merupakan
konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan
mengingat peristiwa konkret.
Kata “Agama” berasal dari bahasa Sansekerta yang secara umum berarti
suatu tradisi, dimana “A” artinya tidak dan “Gama” artinya kacau. Sehingga bila
dilihat dari asal katanya, definisi agama adalah suatu peraturan yang dapat
menghindarkan manusia dari kekacauan, serta mengarahkan manusia menjadi
lebih teratur dan tertib.
Kehadiran agama memiliki peran dan fungsi yang cukup banyak dalam
kehidupan manusia. Adapun beberapa fungsi agama adalah sebagai berikut:
Selain hukum agama, ada pula istilah agama negara yakni agama yang
berstatus resmi sebagai indetitas dan falsafah utama di suatu negara. Umumnya
agama-agama ini memiliki lebih banyak hak dan lebih sedikit pembatasan di
negara tersebut dibanding dengan agama lain yang ada.
Berdasarkan sila pertama Pancasila dan pasal 29 inilah sejumlah ahli hukum
tata negara, seperti Ismail Suny, mengatakan bahwa sistem ketetanegaraan
Indonesia mengakui tiga bentuk kedualatan, yakni kedaulatan rakyat, kedaulatan
hukum dan kedaulatan Tuhan.Namun hanya dua kedaulatan yang diakui resmi dan
diwujudkan dalam bentuk lembaga negara, yakni kedaulatan rakyat dalam bentuk
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan kedaulatan hukum dalam bentuk
Mahkamah Konstitusi (MK). Pengakuaan akan eksistensi agama dalam kehidupan
bernegara diwujudkan terutama dalam bentuk pengakuan resmi lembaga-lembaga
keagamaan tertentu dalam negara serta adopsi nilai-nilai dan norma-norma agama
dalam sistem nasional dan pengambilan kebijakan publik, seperti legislasi hukum-
hukum agama (Islam) tertentu menjadi hukum nasional. Di samping itu, negara
juga mengakui eksistensi partai-partai politik dan organisasi-organisasi massa
yang berbasis agama. Hanya saja, kini terdapat perkembangan yang menarik
dalam orientasi politik warga yang sekaligus menggabungkan antara proses
sekularisasi dan desekularisasi. Di satu sisi, terjadi desekularisasi politik dengan
munculnya kembali partai-partai agama (Islam) dan akomodasi nilai-nilai dan
norma-norma agama dalam pengambilan kebijakan publik. Namun di sisi lain
terjadi perubahan orientasi politik warga santri yang tidak otomatis mendukung
partai-partai Islam tetapi justru banyak mendukung partai-partai nasionalis.
Ketiga, agama sebagai sub-ideologi atau sebagai sumber ideologi jika kata
“sub-ideologi” dianggap bisa menimbulkan penolakan dari sebagian kelompok
masyarakat. Orientasi pertama memang sangat idealistis dalam konteks Islam,
tetapi kurang realistis dalam konteks masyarakat dan bangsa Indonesia yang
sangat plural. Sedangkan orientasi kedua sangat idealistis dalam konteks
kemajemuakn di Indonesia, tetapi kurang realistis dalam konteks agama
Islamsebagai agama mayoritas, yang ajarannya tidak hanya berupa etika-moral
melainkan juga sejumlah norma-norma dasar. Tarikan yang kuat ke arah salah
satu orientasi ini akan mengakibatkan semakin kuatnya tarikan ke arah orientasi
yang berlawanan, dan bahkan akan dapat menimbulkan konflik internal yang lebih
besar. Oleh karena itu, diperlukan jalan tengah di antara keduanya, yakni
menjadikan agama sebagai sub-ideologi atau sebagai salah satu sumber ideologi
Pancasila.
Orientasi ketiga tersebut lebih realitis dan moderat, karena meski orientasi
ini berupaya melaksanakan etika-moral serta hukum agama atau prinsip-
prinsipnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ia masih tetap mengakui
Pancasila sebagai ideologi negara. Karena Pancasila ini merupakan ideologi
terbuka dan fleksibel, maka agama dituntut untuk memberikan kontribusi dalam
penjabaran konsep-konsep operasional di berbagai bidang sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan dunia. Dalam hal inilah nilai-nilai dan norma-
norma agama menjadi input dan legitimasi bagi pembentukan dan penguatan
etika-moral serta sistem nasional dan kebijakan publik. Di samping itu, orientasi
ini mendukung pluralisme dan toleransi yang tinggi terhadap kemajemukan
bangsa ini, sehingga semua warga negara memiliki kedudukan yang sejajar.
- Teori Waisya
- Teori Ksatria
- Teori Brahmana
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Agama merupakan suatu norma, petunjuk bagi manusia dari Tuhan
agar menjalani kehidupan dengan baik. Indonesia merupakan negara yang
memiliki ras, suku, dan agama yang beragam, sudah sepatutnya
masyarakat indonesia saling memiliki tenggang rasa kepada ras lain dan
umat agama lain. Zaman memang berubah, akan tetapi hukum agama tidak
akan berubah, dan maka hukum negara akan menyesuaikan peraturannya
dengan zaman akan tetapi tidak akan keluar dari hukum agama, terutama
negara Indonesia.
https://www.kompasiana.com/arisipahelut/584bb8588d7a61563792fd81/hukum-
negara-vs-hukum-agama diakses pada 1 juli pukul 17:59
https://www.academia.edu/28153800/KEBERLAKUAN_HUKUM_AGAMA_DI
_INDONESIA diakses pada 1 juli pukul 17:59
https://www.kompasiana.com/arisipahelut/584bb8588d7a61563792fd81/hukum-
negara-vs-hukum-agama diakses pada 1 juli pukul 17:59
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/07/03/masalah-agama-negara-dan-
ham-masih-sering-terjadi-di-indonesia diakses pada 1 juli pukul 17:59