Anda di halaman 1dari 11

Nama : Elza Febrianty Angraini

Kelas : 6 EGA

PEMBUATAN BIOETANOL DARI KULIT PISANG

I. TUJUAN PRAKTIKUM
Mahasiswa diharapkan dapat:
1. Membuat hidrolisat kulit pisang (glukosa) melalui hidrolisis dengan asam kuat.
2. Mengolah hidrolisat kulit pisang menjadi alkohol melalui proses fermentasi.

II. ALAT DAN BAHAN


1) Alat
a. Blender
b. Set distilasi
c. Botol kaca, selang kecil, gelas plastik
d. Termometer
e. Hot plate
f. Magnetic stirrer
g. Beaker glass 50 mL
h. Beaker glass 200 mL
i. Pengaduk kaca
j. Indikator universal
k. Pipet ukur
l. Ball filler

2) Bahan
a. Kulit pisang kering 120 g
b. HCl 0,5 N 8,3 ml
c. Gula 20 g
d. Urea 0,24 g
e. Ragi roti (saccharomyces cereviceae) 10 g
f. NaOH 24 butir

III. DASAR TEORI


Adanya krisis energi di dunia telah mendorong para peneliti untuk mendapatkan
bahan bakar alternatif sebagai penggantai bahan bakar yang berasal dari minyak bumi.
Bahan bakar alternatif yang layak dikembangkan adalah bahan bakar yang bersifat
renewable atau terbarukan, ramah lingkungan dan efisien, khususnya yang berasal dari
bahan nabati. Salah satu jenis bahan bakar nabati yang layak dikembangkan adalah
bioetanol, etanol yang diperoleh melalui proses fermentasi glukosa menggunakan enzim
yang dihasilkan oleh mikroorganisme Saccharomyces cerevisiae. Bioetanol tersebut
merupakan biofuel pengganti premium ataupun biokerosin (bahan bakar nabati untuk
memasak).
Biokerosin merupakan salah satu jenis bahan bakar alternatif yang prospektif pada
masa depan. Sebagai bahan bakar alternatif, biokerosin digunakan untuk memasak.
Biokerosin dapat diproduksi dengan menggunakan bahan baku berupa glukosa, pati, atau
selulosa. Bahan baku berupa glukosa atau gula sederhana misalnya adalah gula tebu dan
buah – buahan yang telah masak. Sumber pati yang dapat diolah menjadi biokerosin
contohnya adalah singkong, jagung, ubi jalar. Adapun sumber selulosa untuk bahan baku
biokerosin dapat berupa merang padi, klobot jagung, singkong, ilalang, kulit pisang, kulit
nanas, serat kayu dan sebagainya. Dibandingkan dengan glukosa, bahan baku berupa pati
atau selulosa lebih awet dan tidak mudah rusak oleh pengaruh lingkungan.
Jika digunakan bahan baku berupa pati atau selulosa, maka sebelum dilakukan tahap
fermentasi senyawa kompleks tersebut harus terlebih dahulu diuraikan sehingga terbentuk
gula sederhana. Pemecahan senyawa kompleks menjadi glukosa dapat dilakukan dengan
cara hidrolisis dengan katalis asam mineral encer. Apabila bahan baku berupa pati, maka
penguraian karbohidrat kompleks dapat dilakukan secara enzimatis menggunakan
cendawan aspergillus s.p. cendawan itu menghasilkan enzim alfaamilase dan glukoamilase
yang berperan mengurai pati menjadi gula sederhana. Setelah menjadi gula, dilakukan
fermentasi menjadi etanol dengan bantuan ragi roti (sacharomyces cereviceae).
Proses utama dalam pembuatan biokerosin adalah fermentasi glukosa. Fermentasi
merujuk pada proses yang meliputi pemecahan molekul organik besar menjadi molekul
yang lebih sederhana sebagai hasil kinerja dari suatu mikroorganisme. Reaksi yang terjadi
pada proses fermentasi biokerosin adalah :
C6H12O6 + khamir 2C2H5OH + 2CO2 + panas
Pada tahun 1930-an, G. Embden dan O. Meyerhof mempelajari mekanisme
fermentasi glukosa menjadi alkohol. Diketahui bahwa prosess fermentasi tersebut
merupakan suatu sekuen yang terdiri atas 12 tahapan reaksi. Sejumlah enzim diperlukan
untuk menjalankan serangkaian reksi tersebut. Enzim terpenting dalam proses fermentasi
adalah zymase, yang diperoleh dari sel khamir saccharomyces cereviceae.
Sejauh ini, bahan baku unggulan untuk produksi biokerosin di Indonesia adalah gula
tebu, jagung dan singkong. Akan tetapi bahan-bahan tersebut merupakan komoditas
pertanian yang ekonomis dan tergolong dalam komoditas pangan, maka perlu di upayakan
penggunaan bahan baku nonpangan untuk mendukung terwujudnya industri biofuel dalam
negeri. Bahan baku dari sumber nabati yang banyak mengandung selulosa merupakan
alternatif yang layak untuk dikembangkan. Salah satu jenis selulosa yang dapat digunakan
untuk substrat pada pembuatan biokerosin adalah limbah singkong, selain murah juga
tersedia melimpah di Indonesia. Selain itu kulit pisang juga dapat digunakan sebagai bahan
baku pembuatan bioetanol. (Tim Dosen Praktikum Teknologi Bioproses, 2013)

1. Bahan Baku
Amilum atau dalam bahasa sehari-hari disebut pati terdapat dalam berbagai jenis
tumbuh-tumbuhan yang disimpan dalam akar, batang buah, kulit, dan biji sebagai
cadangan makanan. Pati adalah polimer D-glukosa dan ditemukan sebagai karbohidrat
simpanan dalam tumbuh-tumbuhan, misalnya ketela pohon, pisang, jagung,dan lain-lain
(Poedjiadi A, 1994).

Kulit pisang digunakan karena mengandung karbohidrat. Karbohidrat tersebut diurai


terlebih dahulu melalui proses hidrolisis kemudian di fermentasi dengan menggunakan
Saccharomyces cereviseae menjadi alkohol. Bioetanol (C2H5OH) adalah cairan dari
fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme (Anonim,
2007). Bioetanol diartikan juga sebagai bahan kimia yang diproduksi dari bahan pangan
yang mengandung pati, seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, dan sagu. Bioetanol merupakan
bahan bakar dari minyak nabati yang memiliki sifat menyerupai minyak premium
(Khairani, 2007).
Komposisi kulit pisang ditunjukan pada tabel 1.
Tabel 1 Kandungan Kulit Pisang

Unsur Komposisi
Air 69,80 %
Karbohidrat 18,50%
Lemak 2,11%
Protein 0,32%
Kalsium 715mg/100gr
Pospor 117mg/100gr
Besi 0,6mg/100gr
Vitamin B 0,12mg/100gr
Vitamin C 17,5mg/100gr
(Anynomous, 1978)

Berdasarkan tabel 1, komposisi terbanyak kedua pada kulit pisang adalah


karbohidrat. Mengingat akan hal tersebut dan prospek yang baik di masa yang akan datang,
maka dari itu mencoba mencari peluang untuk memanfaatkan kulit pisang sebagai bahan
baku dalam pembuatan bioethanol (Prescott and Dunn, 1959).

2. Mikroorganisme pada Fermentasi


Alkohol dapat diproduksi dari beberapa bahan secara fermentasi dengan bantuan
mikroorganisme, sebagai penghasil enzim zimosa yang mengkatalis reaksi biokimia pada
perubahan substrat organic. Mikroorganisme yang dapat digunakan untuk fermentasi
terdiri dari yeast (ragi), khamir, jamur, dan bakteri. Mikroorganisme tersebut tidak
mempunyai klorofil, tidak mampu memproduksi makanannya dengan cara fermentasi, dan
menggunakan substrat organic untuk sebagai makanan.
Saccharomyces cereviseae lebih banyak digunakan untuk memproduksi alkohol
secara komersial dibandingkan dengan bakteri dan jamur. Hal ini disebabkan karena
Saccharomyces cereviseae dapat memproduksi alkohol dalam jumlah besar dan
mempunyai toleransi pada kadar alkohol yang tinggi. Kadar alkohol yang dihasilkan
sebesar 8-20% pada kondisi optimum. Saccharomyces cereviseae yang bersifat stabil, tidak
berbahaya atau menimbulkan racun, mudah di dapat dan malah mudah dalam
pemeliharaan. Bakteri tidak banyak digunakan untuk memproduksi alkohol secara
komersial, karena kebanyakan bakteri tidak dapat tahan pada kadar alkohol yang tinggi
(Sudarmadji K., 1989).

3. Hidrolisis
Hidrolisis adalah reaksi kimia antara air dengan suatu zat lain yang menghasilkan
satu zat baru atau lebih dan juga dekomposisi suatu larutan dengan menggunakan air.
Proses ini melibatkan pengionan molekul air ataupun peruraian senyawa yang lain
(Pudjaatmaka dan Qodratillah, 2002). Karena reaksi antara pati dengan air berlangsung
sangat lambat, maka untuk memperbesar kecepatan reaksinya diperlukan penambahan
katalisator. Penambahan katalisator ini berfungsi untuk memperbesar keaktifan air,
sehingga reaksi hidrolisis tersebut berjalan lebih cepat. Katalisator yang sering digunakan
adalah asam sulfat, asam nitrat, dan asam klorida.
Dalam reaksi ini menggunakan katalis asam klorida sehingga persamaan reaksi yang
terbentuk sebagai berikut.
(C6H10O5)n+ nH2O n(C6H12O6)
(Agra dkk, 1973)

4. Fermentasi
Fermentasi adalah suatu proses oksidasi karbohidrat anaerob jenih atau anaerob
sebagian. Dalam suatu proses fermentasi bahan pangan seperti natrium klorida bermanfaat
untuk membatasi pertumbuhan organisme pembusuk dan mencegah pertumbuhan sebagian
besar organisme yang lain. Suatu fermentasi yang busuk biasanya adalah fermentasi yang
mengalami kontaminasi, sedangkan fermentasi yang normal adalah perubahan karbohidrat
menjadi alkohol.
Mikroba yang digunakan untuk fermentasi dapat berasal dari makanan tersebut dan
dibuat pemupukan terhadapnya. Tetapi cara tersebut biasanya berlangsung agak lambat dan
banyak menanggung resiko pertumbuhan mikroba yang tidak dikehendaki lebih cepat.
Maka untuk mempercepat perkembangbiakan biasanya ditambahkan mikroba dari luar
dalam bentuk kultur murni ataupun starter (bahan yang telah mengalami fermentasi
serupa).
Manusia memanfaatkan saccharomyces cereviseae untuk melangsungkan fermentasi,
baik dalam makanan maupun dalam minuman yang mengandung alcohol. Jenis mikroba
ini mampu mengubah cairan yang mengandung gula menjadi alcohol dan gas CO 2 secara
cepat dan efisien (Sudarmadji K., 1989).
Proses metabolisme pada Saccharomyces cereviseae merupakan rangkaian reaksi
yang terarah yang berlangsung pada sel. Pada proses ini terjadi serangkaian reaksi yang
bersifat merombak suatu bahan tertentu dan menghasilkan energi serta serangkaian reaksi
lain yang bersifat mensintesis senyawa-senyawa tertentu dengan membutuhkan energi.
Saccharomyces cereviseae sebenarnya tidak mampu langsung melakukan fermentasi
terhadap makromolekul seperti karbohidrat, tetapi karena mikroba tersebut memiliki enzim
yang disekresikan mampu memutuskan ikatan glikosida sehingga dapat difermentasi
menjadi alcohol atau asam.
Fermentasi bioethanol dapat didefenisikan sebagai proses penguraian gula menjadi
bioethanol dan karbondioksida yang disebabkan enzim yang dihasilkan oleh massa sel
mikroba.
Perubahan yang terjadi selama proses fermentasi adalah perubahan glukosa menjadi
bioethanol oleh sel-sel saccharomyces cereviseae.
C6H12O6 + saccharomyces cereviseae C2H5OH + 2CO2
Glukosa enzim zimosa etanol karbondioksida
(Sudarmadji K., 1989)
Fermentasi bioethanol dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain :
a. Media
Pada umumnya bahan dasar yang mengandung senyawa organik terutama glukosa
dan pati dapat digunakan sebagai substrat dalam proses fermentasi bioethanol (Prescott and
Dunn, 1959)
b. Suhu
Suhu optimum bagi pertumbuhan saccharomyces cereviseae dan aktivitasinya adalah
25-35oC. Suhu memegang peranan penting karena secara langsung dapat mempengaruhi
aktivitas saccharomyces cereviseae dan secara tidak langsung akan mempengaruhi kadar
bioethanol yang dihasilkan (Prescott and Dunn, 1959). Pada penelitian ini pertumbuhan
saccharomyces cereviseae dijaga pada suhu 27oC (Rhonny.A dan Danang J.W, 2003).
c. Nutrisi
Selain sumber karbon, saccharomyces cereviseae juga memerlukan sumber nitrogen,
vitamin dan mineral dalam pertumbuhannya. Pada umumnya sebagian besar
saccharomyces cereviseae memerlukan vitamin seperti biotin dan thiamin yang diperlukan
untuk pertumbuhannya. Beberapa mineral juga harus ada untuk pertumbuhan
Saccharomyces cereviseae seperti phospat, kalium, sulfur, dan sejumlah kecil senyawa besi
dan tembaga (Prescott and Dunn,1959).
d. pH
pH substrat atau media fermentasi merupakan salah satu faktor yang menentukan
kehidupan saccharomyces cereviseae. Salah satu sifat saccharomyces cereviseae adalah
bahwa pertumbuhan dapat berlangsung dengan baik pada kondisi pH 4 – 6 (Prescott and
Dunn, 1959).
e. Volume starter
Volume starter yang ditambahkan 3-7% dari volume media fermentasi. Jumlah
volume starter tersebut sangat baik dan efektif untuk fermentasi serta dapat menghasilkan
kadar alkohol yang relative tinggi (Monick, J. A., 1968).
Penambahan volume starter yang sesuai pada proses fermentasi adalah 5% dari
volume fermentasi (Prescott and Dunn, 1959).Volume starter yang terlalu sedikit akan
mengakibatkan produktivitas menurun karena menjadi lelah dan keadaan ini memperbesar
terjadinya kontaminasi. Peningkatan volume starter akan mempercepat terjadinya
fermentasi terutama bila digunakan substrat berkadar tinggi. Tetapi jika volume starter
berlebihan akan mengakibatkan hilangnya kemampuan bakteri untuk hidup sehingga
tingkat kematian bakteri sangat tinggi.
f.Waktu fermentasi
Waktu fermentasi yang normal yaitu 3-14 hari, jika waktunya terlalu cepat, bakteri
Saccharomyces cerevisiae masih dalam masa pertumbuhan, dan jika terlalu lama maka
bakteri akan mati dan etanol yang dihasilkan tidak maksimal.
g. Konsentrasi gula
Konsentrasi gula yang cocok adalah 10-18 %, jika konsentrasi gulanya rendah
menyebabkan fermentasi tidak optimal sedangkan apabila konsentrasi gulanya terlalu
tinggi akan menyebabkan terhambatnya perkembangan saccharomyces cereviseae.

5. Alkohol
Alkohol dapat dihasilkan dari tanaman yang banyak mengandung pati dengan
menggunakan bantuan dari aktivitas mikroba. Bioethanol merupakan senyawa organik
yang mengandung gugus hidroksida dan mempunyai rumus umum CnHn+1OH. Istilah
bioethanol dalam industri digunakan untuk senyawa etanol atau etil bioethanol dengan
rumus kimia C2H5OH. Etanol termasuk bioethanol primer yaitu bioethanol yang gugus
hidroksinya terikat pada atom karbon primer. Sifat-sifat bioethanol yang mudah menguap,
mudah terbakar, berbau spesifik, cairannya tidak berwarna, dan mudah larut dalam
air, eter, khloroform, dan aseton (Rhonny. A dan Danang J.W., 2003).

IV. PROSEDUR KERJA PEMBUATAN BIOETANOL


Tahap preparasi
- Menyiapkan kulit pisang,timbang.
- Mencuci, memotong kulit pisang menjadi ukuran yang lebih kecil, selanjutnya
dilakukan penjemuran selama ± 3 hari
- Kulit pisang yang telah dikeringkan kemudian diblender dengan penambahan air
dengan perbandingan 1 : 4 (kulit pisang 120 gr dan air 480 gr) agar menjadi bubur
- Menyaring bubur kulit pisang dan mengambil filtratnya.

Tahap Pembuatan Bioetanol


- Jumlah filtrate yang telah dihasilkan dihidrolisis dengan HCl pada suhu 120℃ selama
35 menit.
- Menambahkan gula 10% dan urea 0,12% dari volume hidrolisat pada filtrat
- Menambahkan 24 butir NaOH pada campuran filtrate
- Mengecek pH, jika pH <4 tambahkan NaOH
- Menambahkan ragi roti yang diaktifkan air hangat sebanyak 5%
- Saat campuran menjadi keruh dan berwarna coklat, Cairan dimasukkan ke botol yang
sudah disterilisasi dan tunggu sampai fermentasi berakhir.
- Waktu fermentasi sekitar 3 – 5 hari.
- Saat fermentasi berakhir dilakukan penyaringan terhadap campuran
- Campuran hasil penyaringan di distilasi pada suhu 78-85oC selama 75 menit
- Distilat yang dihasilkan merupakan produk bioethanol.

Kulit pisang

dicuci, dipotong-potong, dijemur ± 3


hari
Kulit pisang kering
diblender dengan campuran kulit pisang 120 gram
dan air 480 ml

Bubur kulit pisang

Disaring dan diambil filtratnya


200 ml filtrat

Filtrat dihidrolisis dengan HCl 8,3 ml dipanaskan pada


suhu 120ºC selama 35 menit
Filtrat berwarna coklat pekat
Filtrat ditambah gula 10% dan urea 0,12% dari
volume hidrolisat
Campuran filtrat + 24 butir NaOH

Cek pH. Jika pH <4 tambahkan NaOH :


Filtrat berwarna coklat pekat + gula + urea

Tambahkan ragi roti yang diaktifkan air hangat 5%


Campuran menjadi keruh dan berwarna coklat

Cairan dimasukkan botol yang sudah disterilisasi dan tunggu


sampai fermentasi berakhir.
Campuran menjadi keruh dan berwarna coklat

Fermentasi berakhir dan campuran disaring


Campuran hasil penyaringan

distilasi pada suhu 78-85oC selama 75 menit


Bioetanol

Gambar IV.1 Blok Diagram Prosedur Pembuatan Bioetanol dari Kulit Pisang

V. DATA PENGAMATAN

No. PERLAKUAN HASIL PENGAMATAN


1 Kulit pisang dicuci
Kulit pisang dipotong-potong
Kulit pisang dijemur ± 3 hari
2 Kulit pisang kering diblender dengan campuran kulit
pisang 120 gram dan air 480 ml
3 Disaring dan diambil filtratnya
4 Filtrat dihidrolisis dengan HCl 8,3 ml dipanaskan pada
suhu 120ºC selama 35 menit
5 Filtrat ditambah gula 10% dan urea 0,12% dari volume
hidrolisat
6 Cek Ph. Jika Ph <4 tambahkan NaOH
7 Tambahkan ragi roti yang diaktifkan air hangat 5%
8 Cairan dimasukkan botol yang sudah disterilisasi dan
tunggu sampai fermentasi berakhir.
9 Proses Fermentasi:
Hari I

Hari IV
10 Penyaringan dengan corong buchner
11 Distilasi antara suhu 78 ºC – 85 ºC
12. Rendemen yang dihasilkan
13. Pengujian:
Uji Nyala

Uji Densitas

Anda mungkin juga menyukai