NIM : 1710611201
Dalam Perspektif Agama Islam bahkan menganggap bahwa membunuh satu jiwa
manusia sama dengan membunuh manusia seluruhnya, firman Allah swt., “Oleh karena itu Kami
tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia,
bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka
bumi, maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan
manusia semuanya..” (QS. Al Maidah : 32)
Seorang yang membunuh orang lain bukan dikarenakan qishosh maka bagai membunuh
seluruh manusia, misalnya; bisa jadi orang yang terbunuh itu adalah kepala rumah tangga yang
memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya Seandainya ia dibunuh, berarti si pembunuh
itu telah menelantarkan keluarga yang terbunuh karena tidak ada yang memberikan nafkahnya
setelah itu dan efek terburuk bagi keluarga ini yang mungkin saja terjadi adalah juga kematian
karena kelaparan. Begitu pula sebaliknya jika si pembunuh tadi menahan diri untuk tidak
membunuh orang itu.
Dari penjelasan diatas tampak bahwa dasar dibolehkannya suatu alat itu digunakan dalam
pembunuhan hukuman mati adalah bahwa alat itu ketika digunakan tidak menyiksa dan
menyengsarakan korban tapi mempermudah serta mempercepat kematiannya sebagaimana hadits
Rasulullah saw : “Apabila kamu membunuh maka lakukanlah dengan cara yang baik dan apabila
kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik.” (HR. Muslim). Jadi, penggunaan
suntik mati dalam mengeksekusi tahanan diperbolehkan jika memang suntik mati itu tidak
membuat tahanan tersebut menderita, tersiksa dalam waktu yang lama dan lama menemui
ajalnya.
Perspektif Hukum
Sampai sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik dan jelas mengenai
mengenai euthanasia (Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas
permintaan sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Namun,
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) mengatur tentang perampasan nyawa
berdasarkan permintaan sendiri dan sering digunakan sebagai larangan melakukan euthanasia.
yakni dalam Pasal 344 KUHP yang bunyinya:
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.”
Perspektif HAM
Kehadiran euthanasia sebagai Hak Asasi Manusia berupa hak untuk mati, dianggap
sebagai sebuah konsekuensi logis dari adanya hak untuk hidup. Oleh karena setiap orang berhak
untuk hidup, maka setiap orang juga berhak untuk memilih kematian yang dianggap
menyenangkan bagi dirinya. Kematian yang menyenangkan inilah yang kemudian memunculkan
istilah Euthanasia. Dalam deklarasi PBB tentang hak-hak asasi manusia itu, yang diakui secara
jelas hanyalah the right to life. Sedangkan mengenai the right to die, berkembang berdasarkan
adanya suatu pengakuan baik nasional maupun internasional bahwa setiap individu mempunyai
“a right to life, free form torture, and cruel and inhuman treatment“. Disamping itu, the right to
life dalam perkembangannya pula menimbulkan adanya the right to health dari seseorang. Oleh
sebab itu, perkembangan daripada the right to die jelas tak dapat dipisahkan dari “the right to
life, health and freedom from forture or cruel inhuman treatment”. Berdasarkan uraian tersebut
diatas, dapat disimpulkan bahwa hak untuk mati merupakan suatu perkembangan dari adanya
hak untuk hudup yang telah diakui sebagai suatu hak asasi manusia.
B) Apakah dasar pertimbangan pemerintah untuk menolak legislasi kebijakan euthanasia dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Jelaskan pendapat saudara?
Jawab :
Menurut saya, pertimbangan pemerintah untuk tidak melegalkan adanya suntik mati dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku karena hak asasi manusia, khususnya hak hidup.
Jika kebijakan suntik mati dilegalkan dan dimasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan
bisa saja aturan tersebut disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab
dengan dalih agar korban mendapatkan hak mati secara bermartabat.
Namun, Berdasarkan undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang HAM secara eksplisit jika
ditafsirkan luas undang-undang tersebut telah memberikan legalisasi hak mati atas keinginan
sendiri dan menjadi dasar hukum melegalkan eutanasia. Mati dengan cara yang bermartabat
dapat dilakukan melalui suntik eutanasia yang tidak merusak sendi peradaban manusia tentang
hak hidup dan hukuman mati melalui tembak mati yang selama ini dilegalkan oleh undang-
undang harus segera dihapuskan sudah saatnya bergeser menjadi hukuman mati melalui suntik
eutanasia . Hak mati harus dilakukan dengan cara yang bermartabat.
1. C) Menurut pendapat saya, Pasal 344 dan 345 KUHP erat kaitannya dengan masalah bunuh
diri. Perbedaannya terletak pada kehendak objek. Dalam Pasal 344 KUHP, kehendak mati datang
dari objek; sebaliknya dalam Pasal 345 KUHP objeknya mungkin masih ragu atau malah tidak
ada keinginan untuk bunuh diri. Dari sisi hukuman, sanksi Pasal 344 jauh lebih berat
dibandingkan pasal 345. Perbedaan ini berhubungan dengan filosofi lahirnya Pasal 344 KUHP.
Pembentuk undang-undang bertolak dari pemikiran bahwa setiap orang harus
menghormati jiwa orang lain. Ini juga sejalan dengan ajaran agama yang percaya bahwa nyawa
seseorang adalah kuasa Tuhan. Sedangkan dalam Pasal 345, orang lain hanya sekadar
mendorong atau pembantu seseorang melakukan bunuh diri, sehingga hukumannya lebih ringan.
Sesuai putusan Hoge Raad 8 Februari 1944, inti delik Pasal 344 adalah pembunuhan
sebagaimana disebut dalam Pasal 338 KUHP. Namun Sianturi menggarisbawahi frasa
‘permintaan yang sungguh-sungguh dan meyakinkan’ dalam Pasal 344. Ada lagi yang
menyebutnya ‘permintaan yang tegas (uitdrukkelijk) dan sungguh-sungguh (ernstig).
Pembuktiannya adalah melalui surat permintaan yang ditulis pasien sebelum meninggal
dunia. Jika tidak diberikan kesempatan untuk bisa membuktikan alasan melakukan Eutanasia,
berarti Indonesia tidak mengakui hak untuk mati sebagai salah satu hak insani manusia.
Indonesia hanya mengakui hak untuk hidup. Oleh karena itulah masa hukuman pidana dari 12
(dua belas) tahun menjadi 9 (sembilan) tahun karena melihat keputusan majelis hakim yang
meihat kasus-kasus yang sebelumnya terjadi di tengah masyarakat mengenai Eutanasia,
contohnya pemohon Eutanasia dalam keadaan sekarat menghadapi maut, putus asa, kemelaratan
yang luar biasa, atau selalu dirundung malang, dan hendak meminta permohonan Eutanasia
secara serius dan sungguh-sungguh.
2. A). Pengaturan Aborsi dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Permasalahan aborsi memperoleh legitimasi dan penegasan. Secara eksplisit, dalam undang
undang ini terdapat pasal-pasal yang mengatur mengenai aborsi, meskipun dalam praktek medis
mengandung berbagai reaksi dan menimbulkan kontroversi diberbagai lapisan masyarakat.
Meskipun undang-undang melarang praktik aborsi, tetapi dalam keadaan tertentu terdapat
kebolehan. Ketentuan pengaturan aborsi dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
dituangkan dalam Pasal 75, 76 , 77, dan Pasal 194.
Pertanggungjawaban Pidana Aborsi berdasarkan PP No.61 Tahun 2014
Pertanggungjawaban pidana korban perkosaan melakukan aborsi dapat dihilangkan dikarenakan
adanya alasan pemaaf akibat daya paksa (overmacht) yang diterimanya dari perkosaan dia
dipaksa untuk benarbenar melaksanakan apa yang dia tidak mau lakukan serta tidak dapat
menolaknya dan alasan pembenar yang tertulis didalam Pasal 31 Ayat (1) huruf b Peraturan
Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Dengan adanya alasan ini maka
korban perkosaan tidak dapat dijatuhkan pidana apabila melakukan aborsi dengan cara dan syarat
yang telah diatur didalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Reproduksi. Mengenai pertanggungjawaban mungkin apabila korban perkosaan melakukan
aborsi hanya akan bertanggungjawab dengan dirinya sendiri serta lingkungan masyarakat atau
dengan kata lain tanggungjawab moral dan sosial.
2. B) Prosedur untuk melakukan pengguguran kandungan tidak diatur lebih lanjut, hanya
ditentukan sebelum dilakukannya pengguguran kandungan wajib dimulai tahap tindakan
konseling.
Seharusnya, sebelum sampai pada tahapan bimbingan konseling, terlebih dahulu
diperlukan pembuktian tentang kebenaran adanya kejahatan perkosaan yang mengakibatkan
kehamilan. Dengan demikian, pembuktian pembenaran pengguguran kandungan menurut Pasal
75 UU No.36/2009 merupakan fakta hukum yang perlu diuji kebenaran materiilnya melalui
proses penegakan hukum.
Apakah sebelumnya perlu diajukan permohonan tertentu untuk melakukan pengguguran
kandungan sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi? Hal ini perlu mendapatkan perhatian
lebih lanjut dalam implementasinya, karena di samping untuk tujuan pencegahan
penyalahgunaan ketentuan Pasal 75 UU Kesehatan 2009, juga ditujukan untuk secara selektif
dalam melakukan pengguguran kandungan, khususnya terhadap korban perkosaan.
5. Dalam menyikapi problem tersebut, manakah yang lebih didahulukan, formulasi Rancangan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ataukah mempersiapkan kultur hukum
masyarakat Indonesia dengan peningkatan kesadaran hukum masyarakat. Jelaskan pendapat
saudara dengan menggunakan teori hukum sebagai pisau analisa?
Jawab :
Menurut saya diantara formulasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
ataukah mempersiapkan kultur hukum masyarakat Indonesia dengan peningkatan kesadaran
hukum masyarakat, yang lebih didahulukan adalah formulasi Rancangan Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Seksual. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
Seksual merupakan upaya Perlindungan oleh negara kepada setiap warga negara, khususnya
terhadap perempuan dan anak.
Upaya perumusan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual adalah
salah satu upaya negara untuk menegakkan amanat konstitusi yang menegaskan jaminan hak
setiap warga negara untuk mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk diskriminasi.
Penegasan hak ini sejalan dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Kekerasan Seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia,
kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan.
Kebanyakan Korban Kekerasan Seksual adalah perempuan dan anak perempuan sehingga
Kekerasan Seksual juga merupakan kekerasan berbasis gender, yang menyasar pada manusia
karena jenis kelaminnya perempuan atau mengalami diskriminasi karena relasi kuasa yang
timpang. Kekerasan ini sangat berpotensi terjadi di dalam masyarakat yang memiliki struktur
sosial dan budaya yang merendahkan dan memojokkan perempuan, mengabaikan anak dan tidak
mengakui atau menghargai adanya kondisikondisi khusus di dalam masyarakat. Kekerasan ini
terjadi di dalam relasi yang sangat personal, di dalam lingkup keluarga atau rumah tangga, dan di
wilayah publik. Meskipun, telah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur beberapa
bentuk Kekerasan Seksual namun sangat terbatas bentuk dan lingkupnya.
Namun payung hukum yang tersedia belum sepenuhnya mampu merespon fakta
Kekerasan Seksual yang berkembang dimasyarakat. Pada umumnya sistem hukum lebih
memberi fokus pada Penanganan dan penindakan pelaku. Dalam pengaturan KUHP lebih
menekankan pada delik kekerasan yang berdampak secara fisik saja, hanya sebatas yang
mengakibatkan kematian, luka, ataupun pingsan. KUHP tidak memberikan pengaturan secara
eksplisit terhadap kejahatan kekerasan seksual non fisik. Oleh karena itu, upaya pemerintah
bersama DPR dalam merumuskan RUU Penghapusan Kekerasan seksual harus didukung oleh
semua pihak, termasuk kalangan akademisi dan utamanya aparat penegak hukum. Dengan
demikian, setelah formulasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sudah
berjalan, kultur hukum masyarakat Indonesia dengan sendirinya mengikuti dan membuat
peningkatan kesadaran hukum masyarakat.