Anda di halaman 1dari 51

ASUHAN KEPERAWATAN TN.

C DENGAN NEPHROLITHIASIS

RUANG DAHLIA BED 904 B

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR MINGGU

PRAKTIK KLINIK 2

KELAS A-2 KELOMPOK 3

Disusun oleh :

Anasthasya Amanda 1506758191

Lessy Alfiani Sri Fazar 1506690284

Maynia Meigas Gumbardania 1506690246

Nahla Savira Novelina 1506690233

Tia Sintiawati 1506690265

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
Praktikum Klinik II mengenai “Asuhan Keperawatan Klien dengan
Nephrolithiasis”. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas dan
persyaratan untuk menyelesaikan mata kuliah Praktikum Klinik II. Dalam
penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
penyusunan makalah ini, khususnya kepada :
1. Ns. Dikha Ayu Kurnia, S.Kep., M.Kep, Sp.KMB sebagai koordinator mata
ajar Praktikum Klinik II yang telah memberikan banyak arahan
2. Efy Afifah, S.Kp., M.Kes sebagai pembimbing yang telah meluangkan
waktu, tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan,
dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan makalah ini.
3. Ns. Mei Helita Yahwan, S.Kep sebagai CI di ruang Dahlia yang telah
memberikan banyak arahan kepada penulis.
4. Perawat dan staff di ruang Dahlia Rumah Sakit Umum Daerah Pasar
Minggu.
5. Rekan-rekan di kelas A2 Praktikum Klinik II.
6. Secara khusus kami menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta
yang telah memberikan dorongan dan bantuan yang besar.
7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Penulis menyadari
bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini, sehingga penulis
menerima segala masukan, kritik, maupun saran dari pembaca. Semoga makalah
ini dapat memberi manfaat kepada pembaca.

Depok, 28 September 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan........................................................................................................2
1.3 Manfaat Penulisan......................................................................................................2
BAB I TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................3
2.1 Definisi Nephrolithiasis..............................................................................................3
2.2 Faktor Risiko Nephrolithiasis.....................................................................................3
2.3 Manifestasi Klinis Nephrolithiasis..............................................................................6
2.4 Patofisiologi Nephrolitiasis........................................................................................7
2.5 Komplikasi Nephrolithiasis.......................................................................................9
2.6 Pemeriksaan Fisik, Diagnostik , dan Laboratorium pada Nephrolithiasis.................11
2.7 Penatalaksanaan Medis dan Non-Medis pada Nephrolithiasis..................................15
BAB III ANALISIS KASUS...........................................................................................23
3.1 Kasus........................................................................................................................23
3.2 Pengkajian................................................................................................................23
BAB IV RENCANA KEPERAWATAN........................................................................29
4.1 Analisis Data............................................................................................................29
4.2 Tujuan dan Kriteria Evaluasi....................................................................................31
4.3 Intervensi Keperawatan............................................................................................33
BAB V IMPLEMENTASI DAN EVALUASI................................................................37
BAB VI PENUTUP.........................................................................................................47
6.1 Kesimpulan...............................................................................................................47
6.2 Saran........................................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................48
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ginjal merupakan organ tubuh yang mempunyai fungsi utama untuk
memindahkan hasil metabolisme. Mineral tersebut bersama zat organik di urin
lainnya umumnya tereliminasi di saluran urin. Ginjal menyeimbangkan
pengeluaran zat-zat tersebut di dalam tubuh melalui makanan atau produksi.
Namun apabila volume urin sedikit (rendah), maka mineral-mineral tersebut
melampaui urin dan kristal (batu) dapat terbentuk. Nefrolitiasis atau batu ginjal
adalah keadaan dimana ditemukannya batu pada ginjal yang mengandung
komponen kristal dan matriks organik yang merupakan penyebab terbanyak
kelainan saluran kemih. Batu terbentuk di saluran kemih ketika konsentrasi urin
zat seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat meningkat. Komposisi
zat yang menyusun batu dibedakan menjadi batu kalsium, struvit, asam urat,
sistin, xanthine, triamteren, dan silikat. Namun yang paling sering terjadi pada
batu ginjal adalah batu kalsium. Penyebab utama batu ginjal yaitu stasis urin dan
supersaturasi urin dengan kristaloid yang tidak dapat larut (Black dan Hawks,
2009).
Salah satu penyakit ginjal yang paling sering terjadi di Indonesia adalah
batu ginjal. Menurut Kementerian Kesehatan Indonesia (2013), diperkirakan
prevalensi penderita yang terdiagnosa batu ginjal untuk umur diatas 15 tahun
sebesar 0,6% dari total penduduk Indonesia. Lima provinsi yang menduduki
posisi tertinggi masalah penyakit nephrolithiasis yaitu di daerah DI Yogyakarta
(1,2%), Aceh (0,9%), Jawa Barat, Jawa Tengah , dan Sulawesi Tengah masing-
masing (0,8%). Prevalensi penyakit nefrolitiasis meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, tertinggi pada umur 55-64 tahun 1,3%, menurun sedikit pada
umur 65-74 tahun 1,2% dan umur >75 tahun 1,1%. Prevalensi tertinggi pada
masyarakat tidak bersekolah dan tidak tamat SD 0,8% serta wiraswasta 0,8%.
Prevalensi di pedesaan sama tinggi dengan perkotaan 0,6%. Prevalensi penyakit
ini diperkirakan lebih sering pada laki-laki 0,8% dibandingkan perempuan 0,4%.
Hal ini terjadi dikarenakan adanya perbedaan aktivitas fisik, pola makan, serta
struktur anatomis yang berbeda. Secara garis besar pembentukan batu ginjal
dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik.
Berdasarkan uraian di atas maka diperlukan rencana asuhan keperawatan.
Penentuan diagnosis keperawatan dan penatalaksanaan yang tepat sangat
diperlukan untuk mempercepat penyembuhan klien. Penting sekali untuk tidak
hanya mengetahui asuhan keperawatan yang tepat untuk klien dengan
nephrolithiasis namun diperlukan juga mengetahui lebih jauh terkait perjalanan
penyakit sehingga diagnosa dan tindakan yang diambil dapat berjalan dengan
baik.

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Mengetahui dan memahami definisi dari nephrolithiasis


1.2.2 Mengetahui dan memahami faktor risiko dari nephrolithiasis
1.2.3 Mengetahui dan memahami patofisiologi dari nephrolithiasis
1.2.4 Mengetahui dan memahami manifestasi klinis dari nephrolithiasis
1.2.5 Mengetahui dan memahami komplikasi dari nephrolithiasis
1.2.6 Mengetahui dan memahami pengkajian untuk nephrolithiasis
1.2.7 Mengetahui dan memahami penatalaksanaan medis dan non-medis
untuk nephrolithiasis
1.2.8 Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada klien dengan
nephrolithiasis

1.3 Manfaat Penulisan

1.3.1 Manfaat teoritis


Untuk pengembangan ilmu pengetahuan mengenai asuhan
keperawatan klien dengan nephrolitiasis
1.3.2 Manfaat bagi penulis
Makalah ini dapat digunakan sebagai sarana penulis untuk lebih
memahami dan menguasai asuhan keperawatan yang dilakukan
terhadap klien dengan nephrolithiasis.
1.3.3 Manfaat bagi pembaca

2
Pembaca dapat menambah wawasan mengenai topik asuhan
keperawatan pada klien dengan nephrolithiasis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Nephrolithiasis
Urolithiasis adalah adanya batu (calculi) di saluran kemih.
Nefrolitiasis adalah pembentukan batu di ginjal. Sedangkan, pembentukan
batu di ureter disebut dengan ureterolithiasis.

(Williams & Hopper, 2014)

2.2 Faktor Risiko Nephrolithiasis


2.2.1 Faktor Risiko yang dapat dirubah

a. Diet
Beberapa nutrisi berperan penting dalam memodifikasi risiko
terbentuknya batu ginjal. Faktor makanan yang mempengaruhi
terbentuknya calculi diantaranya pemasukan kadar protein yang
banyak sehingga akan meningkatkan ekskresi asam urat, kelebihan
konsumsi teh dan jus buah yang nantinya akan meningkatkan kadar
oksalat pada urin, konsumsi kalsium dan oksalat yang berlebihan,
serta kurangnya konsumsi cairan sehingga meningkatkan konsentrasi
urin (Ignatavicius, & Workman, 2013., Knoll & Pearle, 2013 ).

3
b. Obesitas dan sindrom metabolic
Obesitas secara fisiologis dapat meningkatkan keasaman
kemih, ekskresi kalsium di urin, dan ekskresi urin asam urat. Faktor
metabolik yang mempengaruhi nephrolitiasis yaitu terjadi
keabnormalan akibat peningkatan kadar kalsium, asam oksalat, asam
urat, dan asam sitrat pada urin. Berikut ini tabel kerusakan metabolik
yang biasanya menyebabkan calculi (Ignatavicius, & Workman,
2013).

Defisit metabolic Etiologi


Hiperkalsemia primer Absortif : meningkatnya absorpsi
kalsium pada intestinal
Renal : penurunan tubular ginjal
untuk mengekskresikan kalsium
Hiperkalsemia sekunder Resorpsif : hiperparatiroidisme,
intoksikasi vitamin D, asidosis
tubular ginjal, immobilisasi yang
lama
Hyperoxaluria sekunder Diet: kelebihan oksalat dari
makanan seperti bayam, coklat,
bibit gandum, kacang tanah, dan
kulit jeruk nipis

Hyperuricemia Primer Gout adalah kelainan metabolisme


purin yang diturunkan (20% pasien
dengan gout memiliki batu asam
urat)
Hyperuricemia sekunder Peningkatan produksi atau
penurunan pembersihan purin dari
gangguan myeloproliferative,

4
diuretik tiazid, karsinoma

Struvite Terbuat dari magnesium amonium


fosfat dan apatit karbonat; dibentuk
oleh urea yang dipecah oleh bakteri

2.2.2 Faktor risiko tetap (tidak dapat diubah)


Faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi riwayat keluarga
Keluarga yang memliki riwayat batu ginjal, cystinuria, gout, dan
asidosis ginjal, serta hiperoxaaluria primer, dan cystinuria. Risiko
penyakit batu ginjal pada individu juga dapat berhubungan dengan
keturunan atau komponen genetik. Beberapa kondisi metabolik, seperti
hyperoxaluria primer, adalah hasil mutasi genetik yang mempengaruhi
jalur enzimatik spesifik yang terdefinisi dengan baik. hiperoxaluria
primer dapat diartikan juga sebagai sifat resesif autosomal yang
menghasilkan produksi oksalat tinggi (Ignatavicius, & Workman,
2013., Knoll & Pearle, 2013 ).
Namun, jelas bahwa bahkan untuk nefrolitiasis kalsium oksalat
umum, beberapa jumlah risiko awal bersifat genetik. Cystinuria
merupakan defek resesif autosomal dari metabolisme asam amino yang
mempercepat kristal sistin yang tidak larut dalam urin. riwayat keluarga
dengan penyakit batu ginjal memberikan sekitar 2,5 kali lebih tinggi
risiko individu membentuk calculi dibandingkan dengan mereka yang
tidak memiliki riwayat keluarga dengan penyakit batu ginjal ( Knoll, &
Pearle, 2013 ).

2.2.3 Faktor Risiko konstektual


a. Cuaca
Risiko pembentukan batu ginjal telah dikaitkan dengan iklim
melalui sejumlah studi epidemiologi. Secara geografis, wilayah
dengan prevalensi batu ginjal yang lebih tinggi cenderung

5
berkorelasi dengan iklim panas dan / atau kering. Contohnya ,
Amerika Serikat bagian tenggara memiliki prevalensi penyakit batu
ginjal tertinggi. Suhu dan paparan sinar matahari merupakan faktor
lingkungan yang dapat menjelaskan variasi geografis dalam
prevalensi batu ginjal. Cuaca yang panas akan menyebabkan
peningkatan kehilangan cairan, penurunan frekuensi BAK, dan
peningkatan konsentrasi zat padat pada urin (Ignatavicius, &
Workman, 2013., Knoll & Pearle, 2013 )
.
b. Pekerjaan
Pekerja baja yang terkena suhu tinggi memiliki insiden
penyakit batu ginjal yang lebih tinggi (Atan et al. 2005, dalam Knoll
& Pearle, 2013 ). Demikian juga, pekerja kaca yang secara kronis
terkena suhu tinggi memiliki insiden penyakit batu ginjal yang lebih
tinggi. Analisis metabolik pada populasi ini menunjukkan bahwa
volume urin rendah, hipositraturia, dan pH urin rendah berkontribusi
terhadap pembentukan batu setelah paparan kronis terhadap kondisi
pekerjaan ini. Selain itu, pekerja dengan kurangnya tingkat
mobilitas fisik (immobilitas) juga berkontribusi dalam pembentukan
batu ginjal.

2.3 Manifestasi Klinis Nephrolithiasis


Berdasarkan buku White, Duncan, & Baumle (2013), penderita
urolithiasis (batu ginjal) umumnya menunjukkan tanda-gejala nyeri semu di
punggung dan nyeri ekstrim di panggul-paha-genital. Level atau derajat nyeri
yang dirasakan individu tergantung dari ukuran dan posisi kalkulusnya.
Biasanya, kalkulus yang di renal menyebabkan nyeri semu di bagian
punggung (dibawah rusuk dekat spinal); jika terletak didekat pelvis maka
memiliki ekspresif nyeri yang sama dengan penyakit apendiksitis atau
diventrikulis (Rucker et al, 2014 dalam Knoll & Pearle, 2013); jika terletak
di ureter maka akan ada nyeri pada perut-panggul-paha-genital (White,
Duncan, & Baumle, 2013).

6
Menurut Knoll & Pearle (2013), reseptor nyeri berada di lapisan
submukosa pada bagian pelvis, kapsula, dan ureter. Serat C akan
mentransmisikan impuls aferen yang diterima ke spinal cord
(T11=interpretasi nyeri). Ketika kalkulus mencapai ureter, penyumbatan
secara penuh akan terjadi dalam 24 jam. Sehingga tekanan di pelvis menurun
dan mengakibatkan aliran darah dan peristaltik menurun juga, sehingga
produksi urin menurun yang menyebabkan munculnya edema. Kemudian,
penderita urolithiasis umumnya juga mengalami nausea dan muntah,
hematuria, hipertensi, retensi (oliguria atau anuria), serta takikardi (Smeltzer,
et al, 2010).
2.4 Patofisiologi Nephrolitiasis
Menurut Black & Hawks (2014) urolitiasis merupakan pembentukan
batu di ginjal dan sewaktu-waktu dapat berpindah ke sistem urin bagian
bawah. Faktor primer yang menyebabkan terjadinya urolitiasis adalah
peningkatan konsentrasi (supersaturasi), kekurangan zat penghambat
(inhibitor) pembentukan urin, adanya nukleus untuk membentuk kristal, dan
gabungan dari faktor-faktor tersebut (Porth, 2008 dalam Black & Hawks,
2014)

3 (White, et al, 2013)


Faktor pertama yang menyebabkan urolitiasis adalah supersaturasi.
Supersaturasi atau peningkatan konsentrasi urin dipengaruhi oleh pH,
konsentrasi zat terlarut, ion-ion, dan kompleksitas ion. Ion-ion akan memiliki
peluang besar mengendap jika konsentrasi ion-ion yang ada semakin tinggi
dan besar pula. Selain itu, konsentrasi ion yang tinggi menyebabkan ion

7
mencapai tahap solubility product yang artinya akan terjadi proses
pengkristalan dan nukleasi.
Berbeda dengan konsentrasi ion, kompleksitas ion memiliki
pengaruh yang berkebalikan dalam pembentukan batu, misalnya natrium
berikatan dengan oksalat akan dapat menurunkan jumlah ion bebas sehingga
dapat menimilisir pembentukan batu. Sebaliknya peningkatan asam urat,
garam kalsium, magnesium, ammonium fosfat, dan cysteine akan membuat
urin menjadi jenuh sehingga peluang terbentuknya batu juga meningkat
( Porth, 2008).
Faktor selanjutnya adalah kurangnya zat penghambat pembentukan
batu seperti sitrat, magnesium,uropontin, dan neforkalsin. Penurunan
konsentrasi zat-zat penghambat kristalisasi ini dapat dikarenakan keadaan
asidosis metabolic misalnya pada orang yang berpuasa (Porth, 2008).
Apabila zat-zat penghambat kristalisasi tidak mencukupi di dalam ginjal
maka akan terjadi kristalisasi atau pembentukan batu (Black & Hawks,
2014).
Adanya nukleus juga dapat memengaruhi proses pembentukan batu
karena nukleus membantu proses agregasi (dijelaskan pada tahapan
pembentukan batu). Selain itu, imobilisasi dalam waktu yang lama juga
memengaruhi pembentukan batu disebabkan karena pergerakan kalsium
menuju tulang menjadi terhambat. Peningkatan jumlah kalsium dapat
meningkatkan cairan yang akan diekresikan, jika cairan yang masuk tidak
adekuat maka akan terjadi pengendapan dan akhirnya menjadi batu.
Setelah mengetahui faktor-faktor penyebab pembentukan batu,
selanjutnya akan dibahas mengenai tahap-tahap pembentukan batu (Black &
Hawks, 2014) diantaranya yaiu tahap pertama adalah nukleasi yang
merupakan tahap pembentukan kristal dalam sebuah larutan, yang dimana
kristal dibentuk dari urin yang mengalami supersaturasi (pengendapan urin
jenuh di komponen batu ginjal seperti kalsium, asam urat, amonium,
magnesium, fosfat, sistin). Kemudian, kristal-kristal tersebut berkumpul dan
semakin lama semakin banyak, sehingga kumpulan kristal yang lebih besar
akan membentuk inti sel atau nukleaus. Kemudian, kedua adalah proses

8
pertumbuhan yang dimana inti sel dapat tumbuh pada tingkat saturasi
dibawah dari yang dibutuhkan untuk pembentukkannya. Hal itu terjadi
karena kristal masih rapuh, sehingga kristal menarik materi lainnya, misalnya
kalsium berikatan dengan oksalat sehingga menjadi kalsium oksalat (White,
et al, 2013). Kemudian, proses yang ketiga adalah agregasi yang dimana
menghasilkan kristalisasi urin. Kristal tersebut terbagi menjadi dua, yaitu
kristal stabil dan kristal tidak stabil.
Kristal tidak stabil akan mudah dihancurkan, sedangkan kristal stabil
akan menjadi semakin banyak dan membesar. Kemudian, kristal tersebut
akan masuk ke saluran kemih hingga akhirnya terjebak didalamnya
(mengendap). Hal tersebut dipengaruhi oleh zat inhibitor seperti sitrat,
pirofosfat, dan magnesium. Jika zat inhibitor tidak ada, maka tidak terjadi
pencegahan pada proses kristalisasi, akibatnya akan terjadi pembentukan
batu setelah agresi kristal. Kemudian, yang terakhir adalah retensi yang
dimana tempat terbentuknya matrik berserabut (genetik urin seperti ikatan
mukoprotein) di dalam ginjal atau kandung kemih, hal ini mengakibatkan
terbentuknya suatu substansi tempat zat kristal akan menempel dalam ginjal ,
sehingga terbentuknya batu pada saluran kemih yang mengakibatkan
pengeluran urin menjadi terhambat (Price & Wilson, 2012).

2.5 Komplikasi Nephrolithiasis


1. Syok sepsis
Batu ginjal meningkatkan risiko infeksi saluran kemih karena
obstruksi aliran urin. Obstruksi yang tidak diobati dari batu di ureter atau
uretra juga bisa menghasilkan retensi urin dan kerusakan ginjal. Infeksi
saluran kemih (pielonefritis) terjadi ketika bakteri e.coli masuk ke ginjal
melalui aliran darah ke glomerulus, terjadi kolonisasi dan proses infeksi.
Kelanjutan dari infeksi yg berulang terbentuk jaringan parut sehingga
terjadi syok sepsis (Williams & Hopper, 2014).
2. Hidroureter
Hidroureter merupakan gangguan aliran urine karena ada
penumpukan air/urine atau gangguan obstruksi lainnya dalam ureter.

9
Ureter yang mengalami hidroureter akan terjadi pelebaran/dilatasi.
Penyebab paling sering dari gangguan ini adalah adanya obstruksi atau
sumbatan di dalam ureter Williams & Hopper, 2014).
3. Hydronephrosis
Hidronefrosis adalah suatu kondisi yang dihasilkan dari obstruksi
yang tidak diobati di saluran kemih. Ginjal membesar saat urin terkumpul
di pelvis dan jaringan ginjal. Biasanya dapat diobati begitu kondisinya
terdeteksi. Sumbatan aliran urin dapat berasal dari striktur di ureter atau
uretra, dari batu ginjal, dari tumor, atau dari prostat membesar. Kapasitas
pelvis ginjal biasanya 5 sampai 8 mL. Obstruksi di panggul cepat
membesar pelvis ginjal. Tekanan ginjal meningkat ketika volume urin
meningkat. Pembesaran ginjal ini dapat berupa unilateral atau bilateral
(Williams & Hopper, 2014).
Penanganan hidronefrosis berupa menghilangkan obstruksi.
Penghapusan awal obstruksi dapat dilakukan dengan memasukkan kateter
urin. Koreksi jangka panjang dari obstruksi tergantung pada penyebabnya
dan termasuk perawatan dan operasi untuk mengurangi obstruksi dari
striktur, batu, tumor, atau pembesaran prostat. Kadang-kadang, obstruksi
tidak dapat dikurangi karena batu yang terlalu besar atau penghilangan
pertumbuhan tumor akan mengakibatkan kematian pasien. Dalam situasi
ini, stent, yang merupakan tabung kecil, dapat ditempatkan di dalam ureter
selama cystoscopy dan pyelogram (C & P) untuk menahan mereka terbuka
atau tabung nefrostomi dapat dimasukkan langsung ke pelvis ginjal untuk
mengalirkan air seni. Tabung nefrostomi keluar melalui sayatan di area
pinggang dan memungkinkan urin mengalir ke dalam kantong pengumpul,
sehingga fungsi ginjal dapat dipertahankan (Williams & Hopper, 2014).

4. Gagal ginjal
Gagal ginjal didiagnosis ketika ginjal tidak lagi berfungsi secara
memadai untuk mempertahankan proses tubuh normal. Hal ini
menghasilkan disfungsi di hampir semua bagian tubuh lainnya sebagai
akibat ketidakseimbangan dalam tingkat cairan, elektrolit, dan kalsium,

10
serta gangguan pembentukan RBC dan penurunan eliminasi produk
limbah. Gagal ginjal bisa akut, dengan onset gejala yang tiba-tiba, atau
kronis, terjadi secara bertahap dari waktu ke waktu (Williams & Hopper,
2014).

2.6 Pemeriksaan Fisik, Diagnostik , dan Laboratorium pada Nephrolithiasis


2.6.1 Pemeriksaan Fisik Nephrolithiasis
Batu ginjal dimulai dengan focus pada riwayat klien untuk
melakukan anamnesis. Elemen kunci termasuk riwayat keluarga yang
memiliki batu ginjal, durasi dan evolusi gejala, dan tanda atau gejala
sepsis. Riwayat masa kini (lingkungan tempat tinggal, pekerjaan,
nutrisi, rutinitas dan kebiasaan, jenis kelamin, usia, penggunaan obat-
obatan), riwayat masa lalu (penggunaan obat-obatan, dan pengobatan
yang telah dilakukan), biopsikososial (keadaan social dan ekonomi,
keadaan keluarga) [ CITATION Wil07 \l 3081 ].

1. Inspeksi: adakah lebam/lesi 2. Auskultasi: mendengar


perubahan warna/kulit bunyi bisin usus (aliran
berwarna sama dengan udara dan cairan yang
warna kulit bagian tubuh ditimbulkan akibat gerakan
lainnya/adakah tanda peristaltik) disetiap kuadran
distensi/atau keasimetrisan abdomen. Mengapa
area abdomen/CVA. auskultasi dulu? menghindari
terjadinya perubahan
frekuensi dan karakteristik
pergerakan usus yang lebih
sedikit [ CITATION Pot13 \l
3081 ]
3. Palpasi: pada daerah CVA 4. Perkusi : dilakukan pada
sebelah kanan dengan daerah panggul dengan byfist
meraba ginjal. Jika ginjal percussion (kidney punch).
teraba dan terjadi perubahan Sifat suara yang dihasilkan

11
struktur ginjal dari halus menentukan kepadatan
menjadi terasa kasar maka struktur yang menunjukan
ada indikasi pembesaran kelainan [ CITATION Pot13 \l
ginjal dan mungkin sudah 3081 ]. Normalnya pukulan
terjadi komplikasi. pada panggul tidak
menimbulkan rasa sakit. Jika
hadir rasa sakit makan dapat
mengindikasikan terjadi
infeksi pada ginjal atau
penyakit ginjal polikistik.

2.6.2 Pemeriksaan Diagnostik


5. CT Scan
CT scan jauh lebih cepat dibanding IVP. CT scans
merupakan penggunaan kombinasi antara x-rays dan teknologi
komputerisasi untuk menciptakan gambar saluran perkemihan
klien [ CITATION NIH17 \l 3081 ]. CT scans dapat digunakan baik
dengan media kontras ataupun tanpa media kontras. Media kontras
merupakan zat yang diinjeksikan ke rubuh dan digunakan agar
dapat melihat organ tubuh lebih baik ketika pemeriksaan [ CITATION
UWM15 \l 3081 ]. Pemeriksaan CT scan dipakai untuk pemeriksaan
lebih lanjut kelainan yang terdapat pada USG atau IVP. CT scan
dapat menujukkan ukuran dan lokasi batu ginjal dan kondisi yang
mungkin menjadi penyebab batu ginjal terjadi.
6. KUB (Kedney-Ureter-Bladder) Radiography
Meliputi foto polos ginjal, ureter, dan kandung kemih.
Pemeriksaan melalui KUB bertujuan untuk mengetahui
keabnormalan kalsifikasi (pengapuran) dan ukuran ginjal
klien[ CITATION Mor13 \l 3081 ]. Pada klien dengan diagnosis batu
ginjal, kalsifikasi sering ditemukan. Klien diletakkan pada posisi
telentang dengan sinar X terarah ke tubuhnya. Klien akan diminta
untuk menahan napasnya agar mendapatkan gambar yang jelas dan

12
tidak buram [ CITATION NIH17 \l 3081 ]. Pada keadaan terjadi
pembesaran massa ginjal, dapat ditandai dengan pergeseran lemak
perinefrik.
7. IVP (intravenous pyelogram)
IVP adalah suatu alat yang digunakan untuk melihat
gambaran kalkuli. IVP memberikan penjelasan detail mengenai
kalkuli (ukuran dan lokasi) dan sekitarnya (anatomi kalis dan
derajat obstruksi) [ CITATION Por01 \l 3081 ]. Keakuratan dari IVP
dapat dimaksimalkan dengan persiapan bowel dan efek buruk
untuk renal dari media kontras dapat diminimalisirkan dengan
klien terhidrasi baik. Langkah-langkah pada IVP ini membutuhkan
waktu lebih, sehingga tidak dapat digunakan pada waktu darurat.
8. Ultrasonography
Ultrasonography digunakan dalam penentuan diagnosis
dan manajemen urolithiasis. Walaupun ultrasonography ini cepat
dalam prosesnya, sensitive terhadap renal kalkuli, pemeriksaan
diagnostic ini hamper tidak dapat melihat batu ureteral (sensitivitas
19%) dimana hal ini lebih menujukkan gejala daripada renal
kalkuli. Namun, jika batu ureteral terlihat oleh ultrasound, maka
penemuan tersebut terrealibilitas (spesivitas 97%) [ CITATION
Por01 \l 3081 ].

13
[ CITATION Por01 \l 3081 ]
2.6.3 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium merupakan pemeriksaan terhadap pasien
yang dilakukan dengan cara mengambil spesimen dari tubuh pasien.
1. Urinalisis
Pada pemeriksaan urin, perawat membutuhkan bantuan pasien
untuk menjelaskan waktu timbulnya hematuria Perawat harus
mengetahui apakah pasien mengejan saat awal berkemih
(menandakan adanya bekuan darah). Pemeriksaan ini dilakukan
dengan mengambil sampel urin klien. Urinalisis dapat menunjukkan
apakah pada urin klien mengandung darah dan mineral yang dapat
membentuk batu ginjal [ CITATION NIH17 \l 3081 ]. Kandungan mineral
spesifik yang meningkat menjadi jenis batu ginjal seseorang, contoh
jika hasil menunjukkan klien kelebihan kalsium, kemungkinan pasien
mengalami batu ginjal jenis calcium oxalate

Sumber Gambar: [ CITATION Whi13 \l 3081 ]

14
Sumber gambar: [ CITATION Wil07 \l 3081 ]

2. Pemeriksaan BUN
Nitrogen urea darah (Blood Urea Nitrogen-BUN) adalah
pengukuran fungsi ginjal karena urin adalah hasil akhir dari
metabolisme protein yang dilakukan ginjal. Pada BUN yang
meningkat dapat mengindikasikan adanya insufisiensi renal.

[ CITATION Whi13 \l 3081 ]

2.7 Penatalaksanaan Medis dan Non-Medis pada Nephrolithiasis


Penderita nefrolitiasis sering mendapatkan keluhan rasa nyeri pada
pinggang kearah bawah dan depan. Klien dengan nephrolithiasis biasanya
mengalami gejala seperti nyeri, muntah, serta mual (White, Duncan, &

15
Baumle, 2013). Nyeri dapat bersifat kolik atau non kolik. Nyeri dapat
menetap dan terasa sangat hebat. Penatalaksaan yang dapat dilakukan antara
lain terapi farmakologis, terapi nutrisi, terapi medis dan pembedahan.
Terapi Farmakologi

Pada umumnya klien dengan nephrolithiasis mengalami nyeri akut


sehingga akan diberikan obat analgesik untuk merekadan rasa nyeri klien.
Terapi obat paling dibutuhkan dalam 24-36 jam pertama ketika nyeri paling
parah. Klien biasanya diberikan obat bius untuk menghilagkan nyeri
sementara. Kemudian terdapat antispasmodics seperti propantheline (Pro-
Banthine) yang dapat menstimulus spasme uretral (Black & Hawks, 2014;
White, Duncan, & Baumle, 2013; Williams & Hopper, 2014). Salah satu obat
yang diberikan untuk meredakan rasa nyeri klien adalah Nonsteroidal Anti-
Inflammatory Drugs (NSAIDs). Obat ini terbukti efektif dalam mengurangi
rasa nyeri pada klien karena dapat menghambat sintesis prostaglandin E,
mengurangi pembengakkan, dan mempermudah batu ginjal untuk keluar
(Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010). Selain itu, obat lain yang dapat
diberikan adalah opioid analgesic agents. Obat ini bermanfaat dalam
mencegah syok dan pingsan akibat nyeri (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever,
2010). Analgesik opioid sering diperlukan untuk mengontrol nyeri hebat yang
disebabkan oleh batu di saluran kencing. Agen opioid, seperti morfin
(Statex), sering diberikan IV untuk menghilangkan rasa sakit cepat. NSAID
seperti ketorolak (Toradol) pada fase akut mungkin cukup efektif. Ketika
NSAID digunakan, risiko perdarahan meningkat dan penggunaan lithotrips
gelombang kejut extracorporeal tertunda (Ignatavicius & Workman, 2013).

Pengobatan yang spesifik untuk nephrolithiasis, antara lain Thiazide


diuretics biasa diberikan pada klien dengan calculi. Berfungsi mengurangi
ekskresi kalsium pada urin sehingga dapat menghambat pembentukan batu
ginjal (Daniels & Nicoll, 2012). Allopurinol (Zyloprim), mengubah level
asam urat dan mencegah endapan asam urat (Black & Hawks, 2014; Williams
& Hopper, 2014). Potassium citrate dapat meningkatkan pH urin serhingga
menghambat pembentukan batu ginjal pada urin yang asam (Daniels &
Nicoll, 2012). Antispasmodic seperti propantheline bromide atau belladonna

16
diberikan pada klien untuk meredakan spasme pada otot-otot ureter (White,
Duncan, & Baumle, 2013). Acetazolamide (Diamox), menurunkan citrat
urinatia dan meningkatkan konsentrasi asam urat dalam urin (Williams &
Hopper, 2014). Aluminum hydroxide gel berfungsi untuk mengikat fosfat
berlebih pada saluran gastrointestinal. Fosfat yang telah terikat nantinya akan
di ekskresikan. Vitamin B6 (piridoksin), magnesium oxida, atau kolestiramin,
digunakan untuk menurunkan kalsium oksalat (Black & Hawks, 2014).

Pada kasus klien Tn C dengan neprolithiasis post op diberikan obat


sesuai indikasi seperti CaCO3 500 mg PO, Folid Acid 1 mg PO, Bicnat 500
mg PO, Crome 1 amp IV dan Asam Traneksamat 500 mg IV. Folid Acid
digunakan untuk mencegah dan mengobati tingkat folat darah rendah
(defisiensi folat), serta komplikasinya (anemia) dan ketidakmampuan usus
untuk menyerap nutrisi dengan benar. Asam folat juga digunakan untuk
defisiensi folat, termasuk kolitis ulserativa, penyakit hati, alkoholisme, dan
dialisis ginjal. CaCO3 (Kalsium karbonat) merupakan obat untuk mengatasi
asam lambung berlebih yang umumnya menjadi penyebab nyeri lambung,
nyeri ulu hati dan dispepsia serta sebagai pengikat fosfat untuk mengatasi
kelebihan fosfat dalam darah atau hiperfosfatemia yang terjadi akibat
kelainan fungsi ginjal. Natrium bikarbonat adalah obat yang digunakan untuk
menetralkan asam darah dan urine yang terlalu asam. Pada orang-orang yang
berisiko, urine yang terlalu asam dapat memicu timbulnya batu ginjal. Selain
itu, natrium bikarbonat juga dapat berperan sebagai antasida, yaitu obat yang
menetralkan asam lambung. Crome (carbazochrome sodium sulfonate) untuk
menghambat peningkatan permeabilitas kapiler dan memperkuat resistensi
kapiler. Obat ini bekerja dengan memperpendek waktu perdarahan tetapi
tidak memiliki efek pada koagulasi darah atau sistem fibrinolitik. Asam
traneksamat bekerja untuk mengurangi perdarahan dengan cara menghambat
aktivasi plasminogen menjadi plasmin pada pembekuan darah. Karena
plasmin berfungsi mendegradasi fibrin, maka asam traneksamat bekerja
menghambat degradasi fibrin, yang berujung pada meningkatnya aktivitas
pembekuan darah.

Terapi Nutrisi

17
Meningkatnya produksi batu ginjal dapat dikendalikan melalui terapi
nutrisi yang tepat. Terapi nutrisi untuk klien yang mengalami neprolithiasis
dilakukan dengan mengontrol asupan makanan dengan program diet, program
diet ini berdasarkan jenis endapan batu yang terdapat pada kandung kemih
seperti klien yang mengalami endapan batu karena kalsium tentunya
disarankan untuk menghindari makanan yang tinggi kalsium (White, Duncan,
& Baumle, 2013). Klien dengan batu ginjal yang terbentuk dari asam urat
dianjurkan untuk mengonsumsi makanan yang rendah purin untuk
mengurangi ekskresi asam urat pada urin klien harus membatasi makanan
yang kaya protein seperti daging, ikan, bebek, serta menghindari makanan
seperti daging olahan, teri, serta ikan sarden (Smeltzer, Bare, Hinkle &
Cheever, 2010). Sedangkan, klien dengan batu ginjal yang terbentuk dari
oksalat, dianjurkan untuk membatasi konsumsi makanan yang dapat
meningkatkan ekskresi oksalat seperti bayam, cokelat, kacang, asparagus,
brokoli dan teh (Black & Hawks, 2014).

Klien dianjurkan untuk mengonsumsi >4000 mL cairan per hari atau


diberi cairan tambahan melalui IV (White, Duncan, & Baumle, 2013).
Kondisi asam dapat meningkatkan risiko terbentuknya batu ginjal, karena itu
klien dengan batu ginjal harus mengurangi konsumsi makanan yang bersifat
asam. Selain pembuatan program diet, klien dengan neprolithiasis juga harus
melakukan aktivitas karena dengan melakukan aktivitas/latihan yang rutin
dapat memperbaiki endapan batu sehingga membuat endapan batu tersebut
dapat berjalan melewati sistem urinaria (White, Duncan, & Baumle, 2013).
Berjalan juga dapat membuat kalsium kembali ke tulang daripada kembali ke
darah dan membentuk endapan pospat, kalsium, dan keratin. Jika klien
sedang berada dalam kondisi berbaring usahakan perawat melakukan
posisioning agar klien tetap bisa bergerak/aktivitas walaupun sedang dalam
posisi istirahat (White, Duncan, & Baumle, 2013).

Terapi Medis

Penatalaksaanaan medis, dibagi menjadi beberapa penanganan sesuai


dengan kondisi, ukuran, serta jenis endapan pada bladder. Jika batu pada

18
bladder klien masih jumlah yang sedikit, batu endapan pada bladder dapat
keluar sendiri dengan tekanan peristaltik cairan. Biasanya urologi
memasukkan stent kateter kecil dan lembut ke dalam ureter atau uretra untuk
menjadikan drainase sementara endapan batu urin (White, Duncan, &
Baumle, 2013). Stent (cincin) dapat melebarkan diameter dari uretrer
sehingga endapan batu di dalam bladder dapat keluar melalui kateter. Terapi
medis dilakukan ketika batu ginjal berkuran besar dan sulit dikeluarkan
melalui urin meski telah mengonsumsi banyak cairan. Berikut merupakan
beberapa penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada klien dengan
batu ginjal yaitu dengan operasi terbuka dan operasi tertutup seperti
extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL), ureteroscopy, kemolisis
Percutaneous Nephrolithotomy  (PCNL), dan Uterescopic Stone
Removal (URS). Batu ginjal yang sudah tidak bisa ditangani melalui diet,
terapi medis, atau terapi farmakologi dapat diangkat melalui pembedahan.

Operasi batu ginjal harus dilakukan apabila pasien mengalami kondisi


yang cukup serius. Batu ginjal dengan ukuran kurang dari 5 mm biasanya bisa
disembuhkan tanpa operasi, namun jika ukuran batu ginjal melebihi 10 mm,
operasi mungkin diperlukan untuk mengeluarkan batu tersebut.

Operasi Tertutup

1. Extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL) merupakan prosedur


penembakan gelombang dari luar tubuh menembus jaringan untuk
menghancurkan batu ginjal. ESWL (Extracorporeal shock wave
lithotripsy) merupakan metode non-invansif untuk menghancurkan
endapan batu pada sistem urinaria menggunakan suara, ultrasonik atau
gelombang laser, gelombak syok keringpros untuk memecahkan endapan
batu menjadi kepingan yang kecil, sehingga dapat keluar melalui uretrer
(White, Duncan, & Baumle, 2013). Sebelum melakukan ESWL klien
diberikan sedasi sadar atau anestesi cahaya untuk memberikan rasa
nyaman akibat gelombang syok.
Prosedur ESWL membutuhkan waktu 30 menit-2 jam untuk
menghancurkan endapan batu pada bladder (White, Duncan, & Baumle,

19
2013). Gelombang ultrasonik membidik batu dan membuatnya hancur
pada kepingan yang kecil (White, Duncan, & Baumle, 2013). Prosedur
ini membuat klien tidak nyaman karena ketika ultrasonik membidik pada
bagian tubuh klien, ini akan menimbulkan memar pada bagian tubuh
klien. Setelah selesai menyelesaikan prosedur ESWL, ketika klien
berkemih kondisi urin akan sedikit berdarah selama 24-48 jam dan harus
disaring. Klien harus meminum air kurang lebih (3000-4000 mL/hari)
(White, Duncan, & Baumle, 2013; Williams & Hopper, 2104) untuk
mengurangi kontraindikasi. Klien juga harus menghindari konsumsi
aspirin dan obat yang memicu pembekuan darah (White, Duncan, &
Baumle, 2013). Kontraindikasi terapi ESWL diantaranya klien dengan
kondisi hamil, klien memiliki gangguan perdarahan, klien memiliki
infeksi ginjal, klien memiliki ginjal dengan struktur abnormal.
2. Ureteroscopy digunakan untuk endapan batu level tengah atau level
rendah gumpalannya (White, Duncan, & Baumle, 2013). Ureteroscopy
dilakukan dengan memasukan ureteroscope ke dalam ureter dan kemudian
memasukan laser, electrohydraulic lithotripter, atau alat ultrasound ke
dalam ureteroscope untuk menghancurkan dan mengangkat batu ginjal
(Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010). Ureteroscopy dipasang
melewati uretra dan bladder ke ureter. Penghapus endapan batu seperti
menggunakan cincin, atau menggunakan gelombang kejut.
3. Kemolisis merupakan proses pelarutan batu ginjal dengan menggunakan
cairan kimia seperti alkylating agents, acidifying agents, dan lain-lain.
Terapi ini merupakan terapi alternatif apabila klien berisiko mengalami
komplikasi dengan metode lain. Pada metode ini dilakukan pembedakan
percutaneous nephrostomy untuk dialirkan cairan kimia ke ginjal. Cairan
tersebut kemudian akan keluar dari ginjal melalui ureter atau nephrostomy
tube (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever, 2010).
4. Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)
Jika pengobatan dengan gelombang kejut “shock wave” ESWL
tidak berhasil atau batunya sangat besar (ukuran diatas 3 cm) maka
dilakukan operasi batu ginjal dengan cara PCNL. Indikasi yang biasa

20
untuk PCNL adalah batu yang lebih besar dari 20 mm, staghorn, batu
staghorn parsial. Kontraindikasi PCNL termasuk kehamilan, gangguan
pendarahan, infeksi saluran kemih yang tidak terkontrol (Ganpule,
Vijayakumar, Malpani, & Desai, 2016). Cara atau prosedurnya oleh ahli
operasi ginjal dengan cara membuat sayatan kecil pada kulit dibelakang
ginjal, kemudian dibuat lubang untuk memasukkan alat operasi neproskop
langsung kedalam ginjal yang ada batunya, kemudian mengeluarkan
batunya. Jika batunya cukup besar sehingga tidak dapat dikeluarkan
dengan alat tersebut, maka ditambah dengan alat gelombang kejut
pemecah batu, sehingga batu yang pecah lebih kecil dan dapat dikeluarkan
atau dapat keluar melalui urine.
Risiko atau potensi komplikasi operasi PCNL adalah perdarahan
akibat luka pada pembuluh darah atau jaringan ginjal akibat sayatan
daerah operasi, kemungkinan terjadi fistel antara arteri dan vena, dan
kemungkinan bengkak sekitar sayatan akibat penumpukan cairan. Pada
batu yang besar kadang-kadang diperlukan lebih dari satu kali atau
berulang operasi.
5. Uterescopic Stone Removal (URS)
Uteroscopy digunakan untuk mengeluarkan batu ginjal dari ureter
yang terletak di bagian ujung dan tengah ureter. Ahli operasi ginjal
memasukkan alat uteroscope terdiri dari saluran fiber-optik yang halus,
melalui saluran kencing uretra ke kandung kemih dan ke dalam ureter.
Batu ginjal yang ditemukan diambil dengan suatu kantong kecil, kalau
batu susah diambil maka batu dipecah dengan alat pancaran gelombang.
Dengan demikian batu dapat diambil dan sisanya yang lebih kecil dapat
keluar spontan.
Pembedahan
Pembedahan dilakukan sesuai dengan lokasi dan ukuran dari endapan
batu (White et al., 2013; Williams & Hopper, 2014). Pembedahan perlu
dilakukan pada klien dengan batu ginjal yang berukuran besar atau telah
mengalami komplikasi seperti obstruksi pada saluran perkemihan, infeksi pada
saluran kemih, kerusakan ginjal, atau sering terjadi perdarahan (Timby &

21
Smith, 2010). Macam-macam pembedahan antara lain, nephroscopic removal,
pyelolithotomy, percutaneous nephrolithotomy, ureterolithotomy, cystotomy
(White et al., 2013):
Nephroscopic removal prosedur endoskopik dengan melakukan insisi
kecil pada area lunak dibagian sisi klien antara ribs dan hip (White, Duncan, &
Baumle, 2013). Pyelolithotomy merupakan prosedur pengangkatan batu ginjal
yang ada pada pelvis ginjal. Prosedur pembedahan ini dilakukan ketika batu
ginjal menyumbat pelvis ginjal atau ketika ukuran batu ginjal terlalu besar
untuk diangkat melalui prosedur lain (White, Duncan, & Baumle, 2013).
Precutaneous nephrolithotomy merupakan prosedur endoskopik dimana dibuat
suatu potongan insisi kecil diantara pinggang dan tulang rusuk (White, Duncan,
& Baumle, 2013). Kateter dimasukan kedalam ginjal dan kemudian
ditembakan gelombang ultrasound pada batu ginjal untuk dihancurkan. Batu
ginjal yang telah hancur kemudian dikeluarkan melalui kateter.
Ureterolithotomy merupakan pembuatan suatu insisi dimana batu ginjal
dihilangkan dengan bantuan visualisasi (Timby & Smith, 2010).
Ureterolithotomy dilakukan pada klien dengan batu ginjal di daerah ureter.
Cystotomy merupakan prosedur pengangkatan batu ginjal yang ada pada
kantung kemih. Proses ini membutuhkan bantuan suatu alat yang dimasukan
dari uretra menuju kantung kemih untuk menghancurkan batu ginjal. Prosedur
ini juga disebut dengan cystolitholapaxy (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever,
2010).

2.8 WOC Nefrolithiasis

22
BAB III
ANALISIS KASUS
3.1 Kasus
Tn C yang berusia 50 tahun dengan diagnosis medis calculus of kidney.
Tn. C mengeluh nyeri saat BAK dan urin berdarah saat pertama kali masuk
rumah sakit. Klien dilakukan urinalisa dan pemeriksaan darah . Klien juga
dipersiapkan pemeriksaan foto polos abdomen dan berdasarkan hasil
pemeriksaan, terdapat nephrolitiasis sehingga klien direncanakan dilakukan
tindakan PCNL. Saat ini, Tn C post PCNL (Percutaneous Nephrolithotomy)
hari kedua, terpasang kateter nefrotomi sinistra dan DC (dower cateter)
dengan produksi urin berwarna kuning jernih.

3.2 Pengkajian

3.2.2 Identitas diri

23
Nama : Tn. C
Usia : 50 tahun
Tanggal lahir : 20 Januari 1968
Jenis kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Suku Bangsa : Sunda
Tanggal masuk : 23 September 2018
Diagnosis medis : Calculus of Kidney
Genogram

3.2.3 Anamnesa

- Keluhan Utama : Tn C mengatakan sering nyeri pinggang sebelah


kiri dan saat BAK sering terasa nyeri dan BAK tidak tuntas (saat
masuk RS)
- Pengkajian nyeri post Op
 P : Nyeri saat perubahan posisi : duduk
 Q : menjalar
 R : nyeri pada area pembedahan
 S : skala nyeri 4
 T : 3-5 menit
3.2.4 Pemeriksaan Fisik Umum
 BB sebelumnya : 89 kg
 BB sekarang : 85 kg
 TB : 167 cm
 TD : 154/105
 Nadi : 95 x/menit
 RR : 22x/menit
 Suhu : 36,1 °C

24
 Keadaan umum :
 Tingkat kesadaran : kompos mentis
 Pembesaran kelenjar getah bening : Tidak

3.2.5 Data Hasil Pengkajian

Aktivitas dan Istirahat Sistem Sirkulasi Integritas Ego


Data Objektif : Data Objektif : Data Objektif:
- Tn C dapat - TD : 154/105 mmHg - Tn C sangat kooperatif
berkomunikasi - Nadi : 95 x/menit dalam menceritakan
dengan baik - Tidak terdengar adanya proses penyakit yang
- Tn C tampak hanya suara S3 ataupun S4 dialaminya
berbaring di tempat - Suara jantung S1 dan S2 - Tn C dapat
tidur normal mengekpresikan
- Tidak ada distensi vena perasaannya saat
Data Subjektif: jugularis bercerita dengan baik
- Tn C mengatakan - Konjungtiva anemis
bahwa ia memiliki - CRT < 2 dtk
hambatan aktivitas Data Subjektif:
karena kaki sering - Tn C mengatakan bahwa
merasa kaku ia memiliki riwayat
- Tn C mengatakan hipertensi.
bahwa tidur malam 8
jam / hari.
- Tn C tidak memiliki
masalah tidur
Sistem Eliminasi Makanan dan Cairan Hygiene
Data Objektif : Data Objektif : Data Objektif :
- Bising usus 6x/menit - Berat badan Tn C : 85 - Tn C berpakaian
- Palpasi abdomen : kg. dengan rapi
lunak - Tinggi badan Tn C : 167 - Saat dipalpasi, rambut
- Tn C menggunakan cm. sedikit berminyak dan

25
kateter urin (DC) dan - IMT = 30,5 kg/m tidak terdapat
kateter nefrotomi. (obesitas) benjolan pada kepala
- Kateter nefrotomi, - Turgor kulit normal Data Subjektif :
produksi : 1400 cc/24 - Membran mukosa mulut - Tn C mengatakan
jam warna kuning kering dapat makan dan
jernih (26/09/2018) - Gigi Tn C berlubang dan berpakaian secara
- Produksi DC : 400 gusi tidak berdarah mandiri
cc/24 jam warna - Tn C tampak tidak - Tn C mengatakan ia
kuning jernih menghabiskan makanan mandi (lap) setiap
(26/09/2018) sebelumnya sore oleh keluarga
- Kateter nefrotomi, Data Subjektif:
produksi : 2250 cc/24 - Tn C mengatakan makan
jam warna kuning 3 kali sehari (sarapan,
jernih (27/09/2018) siang, dan malam)
- Produksi DC : 1500 - Tn C mengatakan bahwa
cc/24 jam warna nafsu makan berkurang
kuning jernih selama dirawat di rumah
(27/09/2018) sakit
- Tidak ada stoma - Tn C mengatakan bahwa
Data Subjektif: ia mengalami penurunan
- Tn C mengatakan berat badan selama sakit
bahwa ia belum sekitar 4 kg
pernah BAB post - Tn C mengatakan tidak
PCNL. menyukai makanan
rumah sakit
- Tn C mengatakan tidan
mau dan tidak berselara
untuk makan
Neurosensori Nyeri/ Ketidaknyamanan Pernapasan
Data Objektif : Data Objektif : Data Objektif :
- Tn C kooperatif pada - Frekuensi napas :
- Pengkajian nyeri post Op
saat wawancara 22x / menit
P : Nyeri saat
pengkajian - Kedalaman nafas:

26
- Memori Tn C baik perubahan posisi : normal
- Respon mendengar duduk - Bunyi nafas :
normal, dan tidak  Q : menjalar vesikuler
menggunakan alat  R : nyeri pada area Data Subjektif:
bantu dengar pembedahan - Tn C mengatakan
- Tn C menggunakan  S : skala nyeri 4 bahwa ia tidak
kacamata  T : 3-5 menit merokok
- Konjungtiva anemis - Tn C tampak masih
Data Subjektif : menahan nyeri
- Tn C mengatakan - Tn C masih takut untuk
tidak pernah bergerak
mengalami cedera / Data Subjektif :
trauma otak - Tn C mengatakan sering
nyeri pinggang sebelah
kiri dan saat BAK sering
terasa nyeri dan BAK
tidak tuntas (sebelum
masuk RS)
- Tn C memiliki riwayat
BAK berdarah DS :
- Klien mengeluh nyeri
pada bagian luka insisi
post operasi
- Klien mengatakan
kakinya sering merasa
kaku
Keamanan Interaksi Sosial Penyuluhan /
Data Objektif : Data Objektif : Pembelajaran
- Suhu : 36.1° C - Tn C Bicara jelas
Data Subjektif :
- Integritas kulit - Tn C tidak memiliki
- Bahasa dominan :
terlihat baik gangguan komunikasi
bahasa Indonesia
Data Subjektif :
- Tn C mengatakan

27
- Tn C mengatakan bahwa kakaknya pernah
ia sering bersosialisasi mengalami gagal
dengan masyarakat di ginjal (meninggal)
lingkungannya - Tn C mengatakan
bahwa harapannya
terhadap perawatan
yang dijalani yaitu ia
bisa sembuh dan
menjegal agar tidak
mengalami gagal
ginjal
- Hasil Lab :
Hb = 11,9 g/dl
Hematokrit = 35%
Leukosit = 14, 4 x 103
/µL
Trombosit =2,37 x
105/ µL
Eritrosit 4,14 x 106 /
µL
Ureum = 96
Kreatinine = 3,68
mg/dl
Natrium 143 mEq/L
Kalium = 5.5 mEq/L
Klorida 108 mEq/L

- Obat – obatan :
CaCO3 500 mg PO
Folid Acid 1 mg PO
Bicnat 500 mg PO
Crome 1 amp IV

28
Asam Traneksamat
500 mg IV

BAB IV
RENCANA KEPERAWATAN
4.1 Analisis Data

Symptoms Etiologi Masalah Keperawatan

Data Objektif Luka insisi operasi Nyeri Akut


 Klien masih takut
bergerak
 Klien tampak menahan
nyeri
 Skala nyeri klien 4
 TD 154/105
 Nadi : 95 x/menit
 RR : 22x/menit
 Suhu : 36,1 oC
 Pasien terpasang

29
nefrostomi sinistra dan FC
Data Subjektif
 Klien mengeluh nyeri
pada bagian luka insisi
post operasi
 Klien mengatakan
kakinya sering merasa
kaku
 Klien mengatakan tidak
nafsu makan selama
dirawat
Data Objektif Operasi ginjal Intoleransi Aktivitas
- Pasien terlihat hanya membuat pasien masih (00092)
berbaring di tempat tidur merasakan nyeri 
- Pasien terpasang sulit duduk, berdiri,
nefrostomi sinistra dan dan berjalan 
DC Intoleransi aktivitas
- TD: 154/105 mmHg
- Nadi: 95 x/menit
- RR: 22 x/menit
- Suhu: 36,1 oC
Data Subjektif
- Pasien mengatakan
bahwa kakinya sering
merasa kaku
- Pasien mengatakan
masih merasa nyeri pada
bagian luka opearsinya
- Pasien mengatakan
dapat makan dan
berpakaian secara
mandiri

30
- Pasien mengatakan ia
mandi (lap) setiap sore
dibantu oleh keluarga
Data Objektif : Penurunan Motivasi Defisit Perawatan Diri:
- Klien tampak tidak Makan
menghabiskan makanan
sebelumnya
- Klien tampak tidak
termotivasi
- Klien tampak lemas tidak
bersemangat.
- Kalium = 5,5 mEq/L
Data Subjektif:
- Klien mengatakan ia
tidak menyukai makanan
di RS
- Klien mengatakan tidak
berselera untuk makan
- Klien mengatakan malas
untuk makan.

4.2 Tujuan dan Kriteria Evaluasi

Diagnosa Keperawatan NOC

Kode : 00132 Kriteria Evaluasi:


Domain 12 Kenyamanan Tingkat Nyeri (2102)
Class 1 Indikator:
Diagnosis : Nyeri Akut b/d luka 210201 Klien melaporkan berkurangnya
insisi pasca operasi atau tidak adanya nyeri.
Definisi : Pengalaman sensorik dan 210206 Klien tidak memperlihatkan
emosional yang tidak ekspresi karena nyeri.
menyenangkan terkait

31
dengan kerusakan
jaringan aktual atau
potensial, atau yang
digambarkan.
Kode Diagnosis: 00092 Kriteria hasil:
Domain IV: aktivitas/rest Intoleransi aktivitas (0005)
Kelas 4: Kardiovaskuler/pulmonary - Berpartisipasi dalam kegiatan yang
Diagnosis : Intoleransi aktivitas diinginkan.
berhubungan dengan - Mencapai peningkatan aktivitas
imobilisasi rutin, seperti perawatan diri
Definisi : Energi - Mencapai peningkatan toleransi
fisiologis/psikologis yang aktivitas yang dapat diukur,
tidak cukup untuk dibuktikan oleh menurunnya
bertahan/aktivias harian kelemahan dan kelelahan serta
dibutuhkan/diinginkan tanda-tanda vital dalam batas wajar
tidak lengkap selama aktivitas.
Konservasi Energi (0002)
- Mampu menyeimbangkan aktivitas
dan istirahat dengan menggunakan
tidur siang sebagai kegiatan ntuk
memulihkan energi
Kode : 00102 0303 Perawatan diri: makan
Domain 4 Aktivitas/ Istirahat - 030314 menghabiskan
Class 5 Perawatan DIri makanannya
Diagnosis: Defisit Perawatan Diri: 1009 Status Nutrisi: asupan nutrisi
Makan Berhubungan - 100906 asupan mineral
dengan Penurunan 1209 Motivasi
Motivasi - 120912 Menyelesaikan tugas
Definisi : Hambatan kemampuan - 120915 Mengekspresikan
untuk melakukan atau keinginan untuk
menyelesaikan aktivitas melakukannya
makan sendiri 2109 Level ketidaknyamanan
- 210925 Kehilangan nafsu

32
makan

4.3 Intervensi Keperawatan

Diagnosa NIC Rasional


Keperawatan
Nyeri akut Manajemen nyeri Manajemen Nyeri
berhubungan dengan 1. Melakukan pengkajian 1. Mengetahui nyeri
luka insisi pasca nyeri komprehensif (lokasi, yang dirasakan oleh
operasi karakteristik, onset/durasi, klien
frekuensi, kualitas, 2. Klien dapat
intensitas atau beratnya mengetahui nyeri
nyeri, dan faktor pencetus) yang dirasakan
2. Gunakan strategi 3. Klien dapat menerima
komunikasi terapeutik keadaan saat sedang
untuk mengetahui merasakan nyeri
pengalaman nyeri dan 4. Klien dapat
sampaikan penerimaan mengetahui kegiatan
pasie terhadap nyeri yang berhubungan
3. Tentukan akibat dari dengan nyeri yang
pengalaman nyeri terhadap dirasakan
kualitas hidup pasien (tidur, 5. Klien dapat mengatur
nafsu makan, pengertian, lingkungan agar tetap
perasaan, hubungan, nyaman
performa kerja, dan 6. Klien dapat
tanggung jawab peran) menangani nyeri yang
4. Kaji bersama klien dirasakan

33
faktor-faktor yang dapat
menurunkan atau
memperberat nyeri
5. Kendalikan faktor
lingkungan yang dapat
mempengaruhi respon klien
terhadap ketidaknyamanan
(suhu ruangan,
pencahayaan, suara bising)
6. Dorong klien untuk
memoitor nyeri dan
menanginya dengan tepat
Kolaborasi (Dokter &
Farmasi) 1. Klien merasa nyeri
1. Memastikan berkurang dengan
perawatan analgesic pengobatan yang
pasien dilakukan dengan dijalani
pemantauan yang ketat

Intoleransi Aktivitas Mandiri


Manajemen Energi (0180)  Mengetahui penyebab
1. Mengidentifikasi klien tidak banyak
penyebab klien tidak aktivitas
banyak aktivitas
2. Menentukan aktivitas  Klien dapat
yang dapat klien lakukan meningkatkan energinya
sesuai dengan kondisi klien dengan aktivitas yang
3. Memantau aktivitas dipilih sesuai dengan
klien yang membuat klien kondisinya
merasa sakit  Klien dapat mengurangi
4. Membantu klien aktivitas tersebut
melakukan aktivitas rutin,
seperti perawatan diri  Klien dapat menjaga

34
5. Membantu klien untuk kebersihannya dan
menjadwalkan waktu memenuhi kebutuhan
istirahat dasarnya
6. Memantau TTV klien  Klien dapat menyimpan
sebelum dan setelah energinya
aktivitas.  Mengetahui perubahan
7. Mencatat TTV klien TTV yang terjadi pada
setiap hari pasien sebelum dan
sesuadah aktivitas
 Mengetahui
perkembangan
kesehatan klien
Defisit Perawatan Mandiri 1. Menghindari
Diri: Makan 1. Mengidentifikasi alergi terjadinya alergi yang
Berhubungan dengan makanan klien meningmbulkan
Penurunan Motivasi 2. Menentukan makanan ketidaknyamanan atau
pilihan klien membahayakan pasien
3. Arahkan keluarga untuk 2. Dengan pasien
membawakan makanan memilih makananya
kesukaan klien yang sendiri, akan
sesuai nutrisi dibutuhkan meningkatkan
klien ketika sedang di keinginan untuk
rumah sakit   makan
4. Memberikan lingkungan 3. Makanan kesukaan
bersih, bed nyaman. klien dapat
5. Membawa barang meningkatkan
kesukaan dari rumah keinginan untuk
6. Fasilitasi penggunaan makan
barang pribadi, seperti 4. Klien dapat
baju. mengetahui kegiatan
7. Mengarahkan keluarga yang berhubungan
klien untuk membuat dengan nyeri yang
kartu atau memberikan dirasakan

35
hadiah kepada klien 5. Klien dapat mengatur
Kolaborasi dengan Gizi lingkungan agar tetap
1. Mengatur diet nyaman
(menurunkan kalium 6. Klien dapat
klien) dengan Gizi menangani nyeri yang
dirasakan
7. Klien merasa nyeri
berkurang dengan
pengobatan yang
dijalani
Kolaborasi dengan Gizi
1. Pasien memiliki kadar
kalium diatas normal

36
BAB V

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

A. Diagnosis Nyeri Akut berhubungan dengan Luka Insisi Pasca Operasi

Hari/Tanggal Implementasi Evaluasi

Selasa, 25 Mandiri Subjektif:


September 1. Mengkaji nyeri secara - Klien mengeluh nyeri
2018 komprehensif (lokasi pada bagian luka insisi
karakteristik, onset/durasi, post operasi
frekuensi, kualitas, intensitas - Klien mengatakan
atau beratnya nyeri, dan faktor kakinya terasa kaku
pencetus) Objektif:
2. Gunakan strategi komunikasi - Klien tampak hanya
terapeutik untuk mengetahui berbaring di tempat tidur
pengalaman nyeri dan - Skala nyeri klien 4
sampaikan penerimaan pasien - TD (154/105 mmHg),
terhadap nyeri Nadi (95 x/menit), RR
3. Memantau TTV klien (22 x/menit) Suhu (36,1
Kolaborasi o
C)
4. Memastikan perawatan Analisis: Nyeri akut klien
analgesic pasien dilakukan teratasi sebagian.
dengan pemantauan yang ketat Planning:
RTL Anjurkan klien untuk selalu
1. Menentukan akibatdari meminum obat yang
pengalaman nyeri terhadap diberikan
kualitas hidup pasien, nafsu Anjurkan keluarga untuk
makan, pengertian, memantau klien tepat
perasaan) minum obat.
2. Mengkaji bersama klien

37
faktor-faktor yang dapat
menurunkan atau
memperberat nyeri
3. Tindakan nonfarmakologi
seperti relaksasi nafas dalam
4. Memantau TTV dan Skala
nyeri klien
Rabu, 26 1. Menentukan akibat dari Subjektif :
September pengalaman nyeri terhadap - Klien mengatakan tidur
2018 kualitas hidup pasien, tidur, selama 8 jam
nafsu makan, pengertian, - Klien mengatakan tidak
perasaan) nafsu makan
2. Mengkaji bersama klien - Klien mengatakan sudah
faktor-faktor yang dapat sedikit nyeri yang
menurunkan atau dirasakan
memperberat nyeri - Klien mengatakan sudah
3. Tindakan nonfarmakologi bisa duduk sebentar
seperti relaksasi nafas dalam Objektif :
4. Memantau TTV dan Skala - Skala nyeri klien 3
nyeri klien - Klien tampak sudah
RTL tidak meringis menahan
1. Mengendalikan faktor nyeri
lingkungan yang
dapat - TD (170/100 mmHg),
mempengaruhi respon klien Nadi (86 x/menit), RR
terhadap ketidaknyamanan (20 x/menit), Suhu (36,0
2. Mengurangi faktor-faktor o
C)
yang dapat mencetuskan Analisis :
atau meningkatkan nyeri Klien merasa sudah tidak
(keadaan monoton, terlalu nyeri dan sudah
ketakutan, kelelahan, dan mampu duduk dan
kurang pengetahuan) melakukan relaksasi nafas
3. Dorong klien
untuk dalam -> teratasi sebagian
memonitor dan menanganii

38
nyeri dengan tepat Planning
4. Tindakan nonfarmakologi Anjurkan klien untuk
seperti relaksasi nafas dalam melakukan aktivitas yang
5. Memantau TTV dan skala dapat menurunkan nyeri
nyeri klien yang dirasakan
Kamis, 27 1. Mengendalikan faktor Subjektif :
September lingkungan yang dapat - Klien mengatakan sudah
2018 mempengaruhi respon klien mulai berjalan-jalan
terhadap ketidaknyamanan - Klien mengatakan sudah
2. Mengurangi faktor-faktor bisa duduk dan berdiri
yang dapat mencetuskan Objektif :
atau meningkatkan nyeri - Skala nyeri klien 2
(keadaan monoton, - TD (160/100 mmHg),
ketakutan, kelelahan, dan Nadi (82 x/menit), RR
kurang pengetahuan) (20 x/menit) Suhu 36,1
3. Dorong klien untuk o
C
memonitor dan menangani - Klien tampak sudah
nyeri dengan tepat mampu berjalan-jalan
4. Memantau TTV dan skala Analisis
nyeri klien Klien sudah mampu
RTL mengontrol nyeri yang
1. Mengurangi faktor-faktor dirasakan dengan relaksasi
yang dapat mencetuskan nafas dalam
atau meningkatkan nyeri Planning
(keadaan monoton, Anjurkan pasien untuk
ketakutan, kelelahan, dan melakukan aktivitas yang
kurang pengetahuan) bisa dilakukan dan tetap
2. Dorong klien untuk melakukan relaksasi nafas
memonitor dan menangi dalam saat nyeri yang
nyeri dengan tepat dirasakan timbul.
3. Memantau TTV dan skala
nyeri klien

39
B. Diagnosis : Intoleransi Aktivitas

Diagnosis: Intoleransi Aktivitas

Hari/Tanggal Implementasi Evaluasi


Selasa, 25 1. Mengidentifikasi penyebab klien Data Subjektif:
September 2018 tidak banyak beraktivitas - Klien mengatakan tidak banyak
2. Mengidentifikasi aktivitas yang beraktivitas karena masih merasa
biasa klien lakukan nyeri dan kakinya sering kaku
3. Melatih aktivitas yang bisa - Klien mengatakan membatasi
dilakukan klien selama di RS, aktivitasnya dan hanya berbaring di
misalnya perawatan diri tempat tidur karena terpasang
(menggosok gigi, makan dan nefrostomi kiri dan DC
minum, mandi, berpakaian), - Klien mengatakan bahwa ia selalu
duduk, berdiri, serta jalan-jalan di melakukan perawatan diri, seperti
sekitar ruang dahlia. makan dan minum, menggosok gigi,
RTL: dan berpakaian. Semua itu dilakukan
1. Memotivasi klien agar selalu sendiri
melakukan aktivitas yang biasa - Klien mengatakan belum mandi
klien lakukan secara rutin semenjak selesai operasi.
2. Memantau perkembangan - Klien mengatakan aktivitas yang
aktivitas klien dilakukan hanya duduk dan
3. Melatih aktivitas lain yang bisa berbaring.
klien lakukan di RS, seperti Data Objektif:
mandi yang dapat dibantu - Pasien terlihat hanya berbaring di
dengan keluarga dan berdiri serta tempat tidur
berjalan - Pasien terpasang nefrostomi sinistra
4. Mencatat TTV klien setiap hari dan DC
- TD (154/105 mmHg), Nadi (95
x/menit), RR ( 22 x/menit)
- Suhu: 36,1 C
Analisis:
Klien mengalami intoleransi aktivitas

40
karena klien masih merasa nyeri pada
luka opearsinya, pemasangan
nefrostomi sinistra dan DC, dan kakinya
sering kaku  teratasi sebagian
Planning:
Anjurkan pasien untuk terus melakukan
aktivitas yang masih bisa dilakukan
secara rutin. Kemudian, anjurkan
keluarga untuk membantu pasien dalam
melakukan mandi minimal 1 hari 1 kali
dan berdiri serta berjalan.
Rabu, 26 September 1. Memantau perkembangan Data Subjektif:
2018 aktivitas klien - Klien mengatakan sudah mandi
2. Melatih aktivitas lain yang bisa (dilap) kemarin sore dengan bantuan
klien lakukan di RS, seperti istri
mandi yang dapat dibantu - Klien mengatakan hari ini sudah
dengan keluarga dan berdiri menggosok gigi
3. Memotivasi klien agar selalu - Klien mengatakan sejak kemarin
melakukan aktivitas sudah mulai berlatih duduk lebih
4. Mencatat TTV klien setiap hari lama dan berdiri
RTL - Klien merasa tidak lelah atau merasa
1. Memantau aktivitas sesak setelah latihan lebih banyak
perkembangan klien duduk dan berdiri
2. Melatih aktivitas lain yang bisa - Klien mengatakan punya riwayat
klien lakukan di RS, seperti hipertensi
berjalan-jalan disekitar ruangan Data Objektif
3. Memotivasi klien agar selalu - TD (170/100 mmHg), Nadi (86
melakukan aktivitas yang biasa x/menit), RR (20 x/menit)
klien lakukan secara rutin - Suhu (36,0 C)
4. Membantu klien untuk - Klien terlihat mampu duduk dengan
menjadwalkan waktu istirahat tegak dan berdiri sambil berjalan
5. Memantau TTV klien sebelum pelan-pelan
dan setelah aktivitas. Analisis :

41
Klien sudah mampu melakukan
perawatan diri yang telah dianjurkan
seperti mandi dan berdiri, tetapi klien
perlu latihan berjalan lagi  teratasi
sebagian
Planning:
Anjurkan pasien untuk terus melakukan
aktivitas yang masih bisa dilakukan
secara rutin. Kemudian, anjurkan
keluarga untuk membantu pasien dalam
latihan berjalan dan anjurkan pasien
untuk istirahat secukupnya.
Kamis, 27 1. Memantau aktivitas Data Subjektif:
September 2018 perkembangan klien - Klien mengatakan sudah mandi
2. Melatih aktivitas lain yang bisa (dilap) kemarin sore dengan bantuan
klien lakukan di RS, seperti istri
berjalan-jalan disekitar ruangan - Klien mengatakan hari ini sudah
3. Memotivasi klien agar selalu menggosok gigi
melakukan aktivitas yang biasa - Klien mengatakan sudah mampu
klien lakukan secara rutin berdiri dan berjalan-jalan disekitar
4. Membantu klien untuk ruang dahlia secara mandiri
menjadwalkan waktu istirahat - Klien merasa lelah dan pusing
5. Memantau TTV klien sebelum selesai latihan jalan-jalan kemarin,
dan setelah aktivitas. sehingga langsung istirahat
Data Objektif:
RTL: - TD (160/100 mmHg), Nadi (82
1. Memotivasi klien agar selalu x/menit), RR (20 x/menit)
melakukan aktivitas yang biasa - Suhu 36,1 C
klien lakukan secara rutin - Klien terlihat mampu berjalan
2. Membantu klien untuk seperti biasanya.
menjadwalkan waktu istirahat Analisis:
3. Memantau TTV klien sebelum Klien sudah mampu melakukan
dan setelah aktivitas. perawatan diri, duduk, berdiri, dan

42
berjalan secara mandiri  teratasi
Planning:
Anjurkan pasien untuk sering
melakukan latihan dan jadwalkan waktu
istirahat pasien agar energi yang
digunakan cukup.

C. Diagnosis Defisit Perawatan Diri: Makan

Diagnosis: Defisit Perawatan Diri: Makan

Hari/Tanggal Implementasi Evaluasi


Selasa, 1. Mengidentifikasi alergi Data Subjektif:
25/ 09/ 2018 makanan pasien - Pasien mengatakan tidak memiliki
2. Menentukan makanan pilihan alergi terhadap makanan dan jenis
pasien obat apapun
3. Memberikan lingkungan bersih, - Pasien dapat mengidentifikasikan
bed nyaman. makanan pilihannya
4. Fasilitasi penggunaan barang - Pasien mengatakan senang dengan
pribadi, seperti baju bednya yang digantikan sprei nya
Data Objektif
RTL - Pasien tampak senang dengan
1. Memastikan makanan pilihan intervensi perawat
pasien ada dalam porsi Analisis
makanannya - Masalah teratasi sebagian karena
2. Tetap memberikan kenyamana pasien masih makan sebagian kecil
lingkungan pasien dari porsi seharusnya.
Planning
- Menganjurkan klien untuk tetap
makan sedikit namun sering.
Rabu, 1. Mengatur diet (menurunkan Data Subjektif:
26/ 09/ 2018 kalium pasien) - Pasien mengatakan ia memahami
2. Membawa barang kesukaan dari bahwa kaliumnya melebihi batas
rumah normal

43
3. Arahkan keluarga untuk - keluarga mengatakan ia senang
membawakan makanan kesukaan mengetahui ada hal yang dapat
pasien yang sesuai nutrisi dilakukan untuk pasien
dibutuhkan klien ketika sedang di - pasien mengatakan merasa cukup
rumah sakit nyaman dengan kamarnya
4. Memberikan lingkungan bersih, Data Objektif
bed nyaman. - Pasien antusias mengenai
RTL pengetahuan yang diketahui
 Memonitor kepuasan pasien - Pasien terlihat lebih semangat
terhadap makanan yang - Pasien mulai menunjukkan
didapatkannya. keinginannya untuk makan
 Memonitor makanan pasien, Analisis :
apakah habis atau tidak. Pasien mulai memakan makanannya
karena terdapat makanan yang
dipilihnya kemarin ketika menentukan
bersama dan pasien memakan cemilan –
masalah teratasi sepenuhnya hari ini
Planning:
Menganjurkan klien untuk tetap makan
sedikit namun sering.
Memberikan semangat kepada klien
setiap diakhir shift.
Kamis, 1. Memantau perkembangan Data Subjektif:
27/ 09/ 2018 keinginan makan pasien. - Pasien mengatakan ia melaksanakan
2. Mengatur diet (menurunkan diet yang diberikan
kalium pasien) - Pasien mengatakan senang karena
3. Membawa barang kesukaan dibawakan makanan kesukaan oleh
dari rumah keluarga (biskuit regal)
4. Arahkan keluarga untuk - Pasien menyatakan bahwa ia mulai
membawakan makanan memakan sebagian besar
kesukaan pasien yang sesuai makanannya walaupun masih belum
nutrisi dibutuhkan klien ketika habis sepenuhnya
sedang di rumah sakit Data Objektif:

44
5. Memberikan lingkungan - Pasien terlihat lebih semangat
bersih, bed nyaman - Pasien menghabiskan sebagian
besar porsi makanannya
RTL: - Pasien terlihat puas dengan sprei
 Menjaga motivasi pasien dalam nya yang sering diganti.
rutinitas makannya selama rawat Analisis:
inap Masalah teratasi. Pasien mulai
 Memonitor intake nutrisi (fokus: menunjukkan keinginan makan, dan
kalium diet) menghabiskan sebagian besar
 Memonitor kebersihan makanannya, serta terlihat termotivasi
lingkungan klien untuk menjaga dari hari ke hari. Pasien memahami diet
kenyamanan. kalium yang harus dilakukannya
Planning:
 Anjurkan keluarga untuk
memperhatikan rutinitas makan
pasien dan memperhatikan makanan
yang disukai dan tidak disukai.
 Anjurkan pasien untuk terus
semangat dalam menjalani
perawatannya
 Meneruskan diet kalium hingga
pengambilan darah selanjutnya
 Memberikan semangat di akhir shift

BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan

45
Tn C yang berusia 50 tahun dengan diagnosis medis calculus of
kidney. Tn. C mengeluh nyeri saat BAK dan urin berdarah saat pertama kali
masuk rumah sakit. Klien dilakukan urinalisa dan pemeriksaan darah . Klien
juga dipersiapkan pemeriksaan foto polos abdomen dan berdasarkan hasil
pemeriksaan, terdapat nephrolitiasis sehingga klien direncanakan dilakukan
tindakan PCNL. Saat pengkajian, Tn C post PNCL dan mengeluh nyeri pada
bagian luka insisi post operasi, mengatakan kakinya sering merasa kaku, dan
tidak nafsu makan selama dirawat. Oleh karena intu dapat diangkat diagnosis
keperawatan diantaranya nyeri akut, intoleransi aktivitas, dan defisit perawatan
diri : makan.

6.2 Saran
Sebagai calon perawat, dibutuhkan kompetensi yang dapat
meningkatkan status kesejahteraan pasien. Kompetensi tersebut diantaranya
seorang perawat harus selalu memperhatikan tanda-tanda vital klien, harus
melihat respon klien ketika sedang melakukan intervensi, perhatikan juga
kenyamanan klien. Salah satu ciri khas perawat adalah caring, maka dari itu
perawat harus bersikap caring kepada seluruh pasien tanpa membeda-bedakan
status pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Arvind P. Ganpule, A. P., Vijayakumar, M., Malpani, A., & Desai, M. R. (2016).
International Journal of Surgery: Percutaneous nephrolithotomy
(PCNL) a critical review. India: Elsevier

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.


(2013). Jakarta: Riset Kesehatan Dasar.

46
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Medical surgical nursing: clinical
management for positive outcomes. Singapore: Elsevier

Bulechek, G. M., Dochterman, J. M., Butcher, H. K., & Wagner, C. (2013).


Nursing Intervensions Classification (6th ed.). Philadelphia: Elsevier.

Daniels, R., & Nicoll, L. (2012). Contemporary medical surgical nursing. USA:
Delmar Cengage Learning.

Ignatavicius, D.D & Workman, M.L. (2013). Medical - Surgical Nursing: Patient
- centered collaborative care , 7th Edition. United States of America :
Saunders, an imprint of Elsevier Inc.

Knoll, T & Pearle, M.S. (2013). Clinical Management of Urolithiasis. New


York : Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Herdman, T.H., dan Kamitsuru, S. (2017). NANDA international nursing


diagnoses: definition and classification, 2015-2017, 10th ed. Oxford:
Wiley – Blackwell.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., dan Swanson, E. (2013). Nursing
Outcomes Classification (NOC) fifth Edition. St Louis, Missouri:
Mosby, Inc.

Porth C.M and Martin G. (2008). Pathophysiology: Concepts of Altered Health


States. 8th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams 7 Wilkins

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2012). Pathophysiology: Clinical concepts of


disease processes, 6th ed. Singapore: Elsevier.

Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. (2010). Brunner &
Suddarth’s Textbook of Medical-Surgical Nursing, 12 th Edition.
China : Wolters Kluwer Health / Lippincott Williams & Wilkins.

Timby, K. B., & Smith, N. E. (2010). Introductory Medical-Surgical Nursing


10th edition. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.
White, L., Duncan, G., & Baumle, W. (2013). Medical-surgical nursing: an
integrated approach (3rd ed.). USA: Delmar Cengage Learning.

47
Williams, L. S., & Hopper, P. D. (2014). Understanding Medical Surgical
Nursing (3rd edition). Philadelphia: F.A David Company

48

Anda mungkin juga menyukai