Hialin Membran Disease
Hialin Membran Disease
II. Patofisologis
Patofisiologi Hyaline Membrane Disease (HMD) merupakan suatu keadaan dimana
paru secara anatomis maupun fisiologis imatur. Surfaktan dihasilkan sel alveolus tipe II
yang mulai tumbuh pada gestasi 22-24 minggu dan mulai mengeluarkan keaktifan pada
gestasi 24-26 minggu, yang mulai berfungsi pada masa gestasi 32-36 minggu.
Kekurangan surfaktan akan menyebabkan terjadinya atelektasis secara progresif dan
peningkatan distres pernafasan pada 24-48 jam pasca lahir secara anatomis, paru tidak
mampu melakukan ventilasi secara adekuat karena alveolus tidak berkembang dengan
baik sehingga permukaan area untuk teijadinya pertukaran gas kurang.
Pada HMD juga terdapat ketidaksempurnaan kapiler paru, serta banyak terdapat
mesenkim interstisial sehingga memperjauh jarak antara alveolus dan membrane sel
endothelial. Secara fisiologi, jumlah surfaktan yang kurang akan menyebabkan alveoli
kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk pemapasan berikutnya dibutuhkan tekanan
negatif intratoraks yang lebih besar dan usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini
akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia alveolar, retensi c02
dan asidosis.
Hipoksia alveolar akan menimbulkan: (1) oksigenasi jaringan menurun, sehingga akan
terjadi metabolisme anaerob dengan penimbunan asam laktat dan asam organik lainnya
yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi, (2) kerusakan endotel
kapiler dan epitel duktus alveolaris akan menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam
alveoli dan terbentuknya fibrin. Selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel
yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin.
Asidosis dan atelektasis juga menyebabkan terganggunya sirkulasi darah dari dan ke
jantung. Demikian pula aliran darah paru akan menurun dan hal ini akan mengakibatkan
berkurangnya pembentukan substansi surfaktan
IV. Komplikasi
Menurut cecily & sowden (2009) komplikasi RDS yaitu:
1. ketidakseimbangan asam basa
2. kebocoran udara (pneumothoraks, pneumomediastinum, pneumoperikardium,
pneumoperitonium, emfisema subkutan, emfisema interstisial pulmonal)
3. perdarahan pulmonal
4. penyakit paru kronis pada bayi
5. apnea
6. hipotensi sistemik
7. anemia
8. infeksi (pneumonia, septikemia, atau nosocomial)
9. perubahan perkembangan bayi dan perilaku orangtua
Komplikasi yang berhubungan dengan prematuritas
1. Paten Duktus Arteriosus (PDA) yang sering dikaitkan dengan hipertensi
pulmonal
2. perdarahan intraventrikuler
3. retinopati akibat prematuritas
4. kerusakan neurologis
5. Broncho Pnemonie Displasia(BPD)
Selain itu komplikasi yang terjadi pada HMD menurut National Health Lung and Blood
Institute adalah:
1. Perdarahan otak yang akan menyebabkan keterlambatan kognitive atau cerebral
palsy.
2. Komplikasi pembuluh darah, biasanya akan terjadi sepsis yang mengancam
jiwa.
3. Gangguan pencernaan yang disebut necrotizing enterocolitis (NEC)
4. Gangguan penglihatan (kebutaan)
5. Gagal ginjal
6. Komplikasi pada paru termasuk atelectasis, pnemotorax, perdarahan paru, BPD
(bronchopulmonary dysplasia).
V. Pengobatan
Pengobatan untuk HMD dilakukan sesegera setelah bayi dilahirkan. Pengobatan HMD
meliputi terapi surfaktan, support oksigen (ventilator/CPAP) dan terapi suportif seperti
obat-obatan, nutrisi, cairan pemantauan hemodinamik.
1. Surfaktan membantu menjaga paru tetap terbuka sehingga bayi dapat bernafas
saat dilahirkan. Terapi surfaktan diberikan segera setelah bayi lahir.
Surfaktan eksoge terdiri dari 2 macam, yaitu Natural surfaktan (dari mamalia)
dan sintetis surfaktan. Nama dagang surfaktan yang ada adalah Exosurf,
Survanta, Infrasurf, BLES, Curosurf dan Survaxin.
Selain itu, pada ibu sebelum melahirkan preterm diberikan terapi kortikosteroid
(dexametason). Obat ini dapat mempercepat produksi surfaktan pada janin.
2. Terapi oksigen (ventilator/CPAP). PEEP pada CPAP dapat membantu mencegah
terjadinya atelectasis paru pada bayi preterm.
3. Terapi suportif berupa pemantauan hemodinamik (vital sign), pemantauan
saturasi oksigen, pemberian nutrisi enteral maupun parenteral dan cairan
3. Shake test
Selain prosedur pemeriksaan diatas yang mungkin hanya dapat dilakukan di
rumah sakit besar ada pemeriksaan sederhana untuk menentukan kematangan
paru dengan cara memeriksa adanya surfaktan dalam paru. Beberapa
pemeriksaaan mempunyai nilai diagnostik yang tinggi. Banyak cara
pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui kematangan paru antara
lain: rasio lesitin-spingomielin (l:s), uji gelembung mikro dan uji kocok cairan
lambung. Rasio l:s dapat diperiksa pada cairan ketuban. Pada kehamilan 31 –32
minggu rasio l:s adalah 1:1dan pada usia kehamilan 35 minggu rasionya adalah
2:1. Berikut ini adalah petunjuk untuk menentukan kematangan paru dengan
rasio l:s
a. L:s = 2:1 paru sudah matur, hanya 2% bayi dalam kondisi ini yang
akan menderita HMD
b. L:s = 1,5-1,9:1 50% bayi pada kondisi ini akan menderita HMD
c. L:s = <1,5:1 73% bayi akan menderita HMD
Salah satu uji yang sederhana untuk mengetahui maturitas paru yang dapat
dilakukan di rumah sakit kecil adalah uji kocok cairan lambung atau shake test. Pada
dasarnya pemeriksaan uji kocok cairan lambung dilakukan agar dapat mengetahui di
antara bayi yang menderita HMD dengan yang tidak HMD dan uji kocok menurut
clement (1972) dapat diartikan sebagai berikut. Uji kocok (shake test) adalah suatu
uji diagnostik yang menggunakan cairan lambung bayi baru lahir bersama etanol
96% dengan pengenceran tertentu untuk mengetahui kematangan dan kemampuan
paru dalam memproduksi surfaktan dengan terlihatnya gelembung udara yang
membentuk cincin menutupi permukaan cairan didalam tabung reaksi. Penggunaan
cairan lambung sebagai bahan uji kocok karena surfaktan diproduksi sel-sel epitel
saluran nafas dan dilepas ke saluran napas (cairan paru), paru bayi berhubungan
dengan air ketuban. Di dalam kandungan bayi menelan air ketuban yang dibuktikan
dengan kesamaan ph antara air ketuban dengan cairan lambung.
Tata cara melakukan uji kocok paru adalah: (Pelatihan NICU Sardjito 2019)
a. Siapkan alat: sonde feeding fr 5, panjang 40 cm, dyspo 2,5 ml, tabung
reaksi/botol, etanol 96%., Nacl0,9%.
b. Melakukan uji kocok: mencuci tangan, memasukkan sonde feeding
melalui salah satu lubang hidung sampai ke lambung, hisap cairan
lambung sebanyak 1 cc dengan menggunakan dyspo, masukkan cairan
lambung 0,5 cc kedalam tabung reaksi, beserta 0,5 cc Nacl 0,9% dan 1cc
etanol (96%) dengan perbandingan 1 : 1 : 2 kocok kuat-kuat selama 15
detik, diamkan dan letakkan tegak lurus diatas meja selama 15 menit dan
baca hasil.
c. Pembacaan hasil:
Positif bila terlihat gelembung udara yang membentuk cincin
menutupi 2/3 permukaan cairan dalam tabung reaksi. Artinya
surfaktan terdapat pada cairan dalam jumlah yang cukup.
Negatif bila tidak terlihat gelembung artinya; tidak terdapat
surfaktan didalam cairan dan kemungkinan bayi untuk menderita
HMD lebih besar.
VII. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis menurut cecily & sowden (2009)
yaitu:
a. Perbaiki oksigenasi dan pertahankan volume paru optimal
b. Penggantian surfaktan melalui selang endotrakeal
c. Tekanan jalan napas positif secara kontinu melalui kanul nasal untuk
mencegah kehilangan volume selama ekspirasi
d. Pemantauan transkutan dan oksimetri nadi
e. Pertahankan kestabilan suhu
f. Berikan asupan cairan, elektrolit, dan nutrisi yang tepat
g. Pantau nilai gas darah arteri, hb dan ht serta bilirubin
h. Lakukankan transfusi darah seperlunya
i. berikan obat yang diperlukan
2. Penatalaksanaan keperawatan menurut surasmi (2003) penatalaksanan
keperawatan terhadap RDS meliputi tindakan pendukung yang sama dalam
pengobatan pada bayi prematur dengan tujuan mengoreksi ketidakseimbangan.
Pemberian minum per oral tidak diperbolehkan selama fase akut penyakit ini
karena dapat menyebabkan aspirasi. Pemberian minum dapat diberikan melalui
perenteral ataupun sonde.
VIII. Clinical Pathway
Cecily & sowden (2009). Buku saku keperawatan pedriatik. Edisi 5. Jakarta: EGC
Gomella t, cunningham m, eyal f, zenk k. Infectious diseases. Neonatology:
management, procedures, on-call problems, diseases and drugs 4th ed new york,
ny: lange medical books/mcgraw-hill. 2004:434- 68.
Fajariyah, sri utami dkk.2016. Terapi surfaktan pada penyakit membran hyalin. Jurnal
kedokteran dan kesehatan, volume 3, no. 3, oktober 2016: 194-202. Departemen
ilmu kesehatan anak fk unsri/RSMH Palembang.
RSUP Dr. Sardjito. 2019. Buku Materi Pendidikan dan Pelatihan High Care dan
Intensive Care Neonatus Bagi Perawat. Yogyakarta: RSUP Dr. Sardjito
2. Diagnosa keperawatan
Setelah didapatkan data dari pengkajian, data tersebut dianalisis selanjutnya
semua masalah yang ditemukan dirumuskan menjadi diagnosa keperawatan
untuk menentukan intervensi keperawatan (cecily & sowden, 2009). Diagnosa
keperawatan yang sering muncul (nanda, 2018).
a. gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar-
kapiler
b. pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi
c. resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, terpajan kuman
pathogen
d. hipotermia berhubungan dengan adaptasi lingkungan luar Rahim
3. Intervensi keperawatan
Intervensi keperawatan merupakan tahap ketiga dalam proses keperawatan .
Intervensi disusun berdasarkan nanda (2018), noc dan nic.
4. Implementasi keperawatan
Iimplementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke
status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan. Implemetasi keperawatan adalah kategori serangkaian perilaku
perawat yang berkoordinasi dengan pasien, keluarga, dan anggota tim kesehatan
lain untuk membantu masalah kesehatan pasien yang sesuai dengan perencanaan
dan kriteria hasil yang telah ditentukan dengan cara mengawasi dan mencatat
respon pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan
5. Evaluasi keperawatan
Menurut surasmi (2013) evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi
proses keperawatan yg menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan,
rencana tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Mengakhiri
rencana tindakan (klien telah mencapai tujuan yg ditetapkan)