Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Etika Kristen Sebagai Garam dan Terang Dunia

Oleh:
Kelompok IV

1.
2.
3.
4.

SMK JIMERO
SORONG
2020

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,berkat rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah yang kami beri judul “ETIKA
KRISTEN SEBAGAI GARAM dan TERANG DUNIA”..
Kami sebagai penulis menyadari bahwa karya tulis kami tidaklah sempurna baik dalam
materi maupun sistematika penulisan. Maka kritik dan saran yang membangun kami perlukan
untuk perbaikan karya tulis selanjutnya.

Sorong, Maret 2020

Penulis

DAFTAR ISI
Kata Pengantar .......................................................................................................    1
Daftar Isi.................................................................................................................    2
BAB I   PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masala .......................................................................................    3
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................    3
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................................    3
1.4 Manfaat Penulisan ...............................................................................................    3
BAB II    LANDASAN TEORI..................................................................................      4
BAB III   HASIL DISKUSI
      3.1       Pengertian Etika dan Etika Kristen ...........................................................      6
     3.2       Garam dan Terang Dunia ..........................................................................      6
   3.3       Etika Kristen sebagai Garam dan Terang Dunia …………………………….....      9
BAB IV  PENUTUP
      4.1       Kesimpulan ...............................................................................................    13
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................    14

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Telah kita ketahui sebelumnya bahwa di negara Indonesia telah banyak dijumpai
bermacam-macam moral dan etika. Tapi, dari semuanya itu terkadang kita tidak bisa
membedakan yang mana termasuk moral dan yang mana termasuk etika.
Selain tidak dapat membedakan moral dan etika serta tidak jarang melanggarnya, kita
sebagai umat Kristen juga seringkali tidak tahu etika Kristen yang seharusnya diterapkan
untuk melandasi etika-etika yang akan kita lakukan. Untuk mencerminkan etika Kristen
ada dua macam, yang pertama etika Kristen sebagai garam dan terang dunia dan yang
kedua etika Kristen sebagai gambar Allah.
Oleh karena itu kami sebagai penulis berkeinginan untuk mengulas hasil diskusi kami
tentang etika Kristen, khususnya etika Kristen sebagai garam dan terang dunia.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana etika Kristen berperan sebagai garam dan terang dunia?

1.3 Tujuan Penulisan


Untuk mengetahui sejauh mana etika Kristen berperan sebagai garam dan terang dunia.

1.4 Manfaat Penulisan


Kita sebagai umat Kristen dapat memperluas wawasan dengan mengetahui etika Kristen
sebagai  garam dan terang dunia agar kehidupan kita dalam beretika lebih baik dan
tentunya sesuai dengan iman Kristen.

BAB II
LANDASAN TEORI

Sikap dan perilaku kita di tengah-tengah masyarakat, dapat mempengaruhi sikap serta perilaku
banyak orang. Demikian pula sebaliknya, sikap dan perilaku orang-orang di sekitar kita, dapat
pula mempengaruhi sikap serta perilaku kita.
Tuhan Yesus meminta kita anak-anakNya, untuk hidup sebagai garam dan terang dunia. Artinya,
setiap anak-anak Tuhan harus bisa menghadirkan pencerahan hidup kepada banyak orang
melalui sikap serta perilaku yang menabur banyak berkat dan membawa berkat bagi orang-orang
di sekitarnya.
Melayani di ladang Tuhan juga bisa dirupakan dengan menghadirkan besarnya keinginan untuk
mensharing atau mentransformasikan segenap berkat dan kasih Tuhan kepada banyak orang
melalui sikap serta perilaku yang sesuai dengan perintah dan kehendak Tuhan.
Barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah
hidup.  (I Yohanes 2 : 6)
Ketika anak-anak Tuhan menjalani hidup ini dengan menghadirkan Pribadi Kristus dalam sikap
dan perilaku hidup mereka sehari-hari, sudah selayaknyalah sikap serta perilaku yang
ditunjukkan anak-anak Tuhan, tidak membuat orang lain terjatuh ke dalam dosa.
"Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi
barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu."
(Galatia 6 : 8)
Anak-anak Tuhan seharusnya membuat kehidupan orang-orang di sekitarnya tidak lagi hambar
dan berada dalam terang kasih Tuhan serta penyertaan Roh Kudus karena dipenuhi oleh cinta
kasih yang ditunjukkan melalui sikap dan perilaku anak-anak Tuhan kepada orang-orang di
sekitar mereka. 
Anak-anak Tuhan harus mengingat bahwa di sekitar mereka masih banyak jiwa-jiwa yang belum
mengenal dan percaya kepada Kristus, atau jiwa-jiwa yang sudah percaya namun masih setengah
hati menjalani prinsip iman Kristen mereka.
Mereka inilah yang harus kita layani. Prinsip pelayanan Firman Tuhan yang paling mudah, dapat
kita lakukan dengan menunjukkan sikap dan perilaku kalau kita adalah bagian dari anak-anak
Tuhan. Dalam hal ini, kita menjadi garam serta terang dunia melalui sikap dan perilaku kita.
BAB III
HASIL DISKUSI

3.1 PENGERTIAN ETIKA DAN ETIKA KRISTEN


Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai ilmu pengetahuan
tentang asas-asas akhlak (moral), dan etika juga dapat dipahami sebagai ilmu
pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia. Dalam artian lebih khusus, etika dirupakan dalam bentuk aturan
tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada.
Sebagai ilmu, etika mencari kebenaran dan sebagai filsafat, etika mencari
keterangan yang sedalam-dalamnya tentang nilai hidup yang dianut manusia serta
pembenarannya dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia. Etika pada
dasarnya bersifat sosial sebab berkenaan dengan kehidupan sosial dalam masyarakat.
Etika kristen adalah etika yang tumbuh atas dasar iman Kristen. Dalam iman
Kristen disadari bahwa Allah hakekatnya cinta kasih, cinta kasih Allah berwujud dalam
banyak hal, khususnya diwujudkan dalam Kristus. Sebaliknya respon kasih pihak
manusia kepada Allah itulah yang dinamakan iman Kristen. Etika Kristen bertumbuh
dalam suatu kebebasan,hubungan cinta kasih dan pengharapan. Etika Kristen bukanlah
suatu yang sudah baku membeku semacam resep mentah, tapi etika Kristen terbuka
menyingkapi hal-hal yang baru. Karena itu selain iman maka situasi dan konteks yang
dihadapi juga menjadi pertimbangan dalam menentukan sikap etis Kristen. Norma dasar
dalam etika Kristen antara lain Iman [Roma 12;3], kasih [Mat 22;37], sabar [Ams 14;29],
murah hati [Mat 5;2-5], tidak cemburu [Ayub 5;2], rendah hati [Luk 18;14], tidak
sombong [Yes 2;11,17], sopan [Roma 13;13], tidak mencari keuntungan sendiri [1 Kor
10;24], tidak pemarah [Kol 3;8], tidak menyimpan kesalahan [Mat 5;23.24], adil [1 Tim
6;11], toleran dan saling menghormati.

3.2 GARAM dan TERANG DUNIA


“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia
diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang
dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagi pula orang
tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah tempayan, melainkan di atas kaki
pelita sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya
terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan
memuliakan Bapamu yang di surga” (Mat 5:13-16).
Yesus tidak mengatakan, “Jadilah kamu garam dunia.”  Ayat-ayat padanannya
terdapat juga dalam Luk 14:34 dsj. dan juga dalam Mrk 9:50. Arti umum dari ayat ini
adalah bahwa fungsi para murid adalah serupa dengan fungsi-fungsi garam. Dari pelbagai
tulisan Perjanjian Lama kelihatan bahwa dalam kehidupan orang Yahudi, garam
digunakan dengan pelbagai cara guna mencapai banyak tujuan:
1. Garam adalah kebutuhan dasar manusia. “Kebutuhan pokok untuk hidup
manusia ialah: air, api, besi dan garam, terigu dan serta madu, air anggur, minyak
dan pakaian.” (Sir 39:26)
2. Sebagai bumbu penyedap (seasoning) agar makanan menjadi lebih enak
rasanya. “Dapatkah makanan tawar dimakan tanpa garam atau apakah putih telur
ada rasanya?” (Ayb 6:6)
3. Garam merupakan sebuah bagian penting dalam korban persembahan.  
 “Dan tiap-tiap persembahanmu yang berupa korban sajian haruslah
kaububuhi garam, janganlah kaulalaikan garam perjanjian Allah-mu dari
korban sajianmu; beserta segala persembahanmu haruslah
kaupersembahkan garam” (Im 2:13). 
 “Engkau harus membawanya ke hadapan TUHAN dan imam-imam harus
menaburkan garam ke atasnya dan mempersembahkannya sebagai korban
bakaran bagi TUHAN” (Yeh 43:24).
4. Elisa menggunakan garam untuk memurnikan mata air di Yerikho (2Raj 2:19-
22). 
5. Abimelekh menaburi kota Menara-Sikhem dengan garam  untuk mendatangkan
kutuk agar tanah gersang dan juga kutuk atas kota – setelah membunuh orang-
orang (Hak 9:45; bdk Ul 29:22-23; Yer 17:6; Zef 2:9).  
6. Garam sebagai tanda persahabatan permanen: perjanjian garam.  
 “Segala persembahan khusus, yakni persembahan kudus yang
dipersembahkan orang Israel kepada TUHAN, Aku berikan kepadamu dan
kepada anak-anakmu laki-laki dan perempuan bersama-sama dengan engkau;
itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya; itulah suatu ketetapan untuk
selama-lamanya; itu suatu perjanjian garam untuk selama-lamanya di
hadapan TUHAN bagimu serta bagi keturunanmu” (Bil 18:19). 
 Ketika Raja Abia dari Yehuda berperang dengan Yerobeam, dia berseru di
atas gunung Zemaraim: “Dengarlah kepadaku, Yerobeam dan seluruh Israel!
Tidakkah kamu tahu, bahwa TUHAN Allah Israel telah memberikan kuasa
kerajaan atas Israel kepada Daud dan anak-anaknya untuk selama-lamanya
dengan suatu perjanjian garam?” (2Taw 13:5).  
 Catatan: Sebuah perjanjian (covenant atau agreement) “ditanda-tangani” oleh
ke dua belah pihak dengan mencicipi garam. Kata dalam bahasa Arab untuk
‘garam’ adalah sama dengan “perjanjian” atau “pakta” (treaty) (R.H. Sykes,
1984, hal. 30).
7. Garam memiliki kualitas untuk menyembuhkan dan membersihkan.  
 “Berkatalah penduduk kota itu kepada Elisa: ‘Cobalah lihat! Letaknya kota ini
baik, seperti tuanku lihat, tetapi airnya tidak baik dan di negeri ini sering ada
keguguran bayi.’ Jawabnya: ‘Ambillah sebuah pinggan baru bagiku dan
taruhlah garam ke dalamnya.’ Maka mereka membawa pinggan itu
kepadanya. Kemudian pergilah ia ke mata air mereka dan
melemparkan garam itu ke dalamnya serta berkata: ‘Beginilah firman
TUHAN: Telah Kusehatkan air ini, maka tidak akan terjadi lagi olehnya
kematian atau keguguran bayi.’ Demikianlah air itu menjadi sehat sampai hari
ini sesuai dengan firman yang telah disampaikan Elisa” (2Raj 2:19-22). 
 “Kelahiranmu begini: Waktu engkau dilahirkan, pusatmu tidak dipotong dan
engkau tidak dibasuh dengan air supaya bersih; juga dengan garampun engkau
tidak digosok atau dibedungi dengan lampin” (Yeh 16:4).
8.  Garam merupakan sebuah gambaran penghakiman. Dalam Kej 19:26 istri Lot
dihakimi Allah; dia menjadi tiang garam karena tidak taat pada perintah Allah
agar tidak menoleh ke belakang.
 
Juga dapat dikatakan bahwa garam adalah bahan pengawet. Garam mengawetkan bahan
makanan supaya tidak cepat busuk, misalnya dilaburi pada daging agar tidak cepat rusak
(Ingat sayur asin, ikan asin dll.). Di tempat-tempat yang beriklim panas tanpa lemari
pendingin, garam masih digunakan seperti ini. 
Orang-orang Semit kuno malah menggunakan garam sebagai pupuk. Dengan demikian
ungkapan ‘garam bumi’ cukup alamiah -artinya wajar- apalagi kalau kita memperhatikan 
sebuah ayat Injil tentang garam yang sudah menjadi tawar: “Tidak ada lagi gunanya baik
untuk ladang maupun untuk pupuk, dan orang membuangnya saja.” (Luk 14:35)
Dalam Mat 5:13 soal garam sebagai ‘pupuk’ sudah tidak muncul, sehingga ayat ini sudah
kehilangan hubungannya dengan bidang agro. Metafora yang dikemukakan dalam Injil
Matius mengacu secara lebih langsung pada realitas para murid; dengan demikian
kata bumi menjadi sejajar dengan kata dunia (lihat 5:14), jadi ‘bumi’ bukan lagi berarti
tanah yang dapat digarap untuk pertanian, tetapi berarti ‘kemanusiaan yang universal’.
Garam itu bersifat merasuk (penetrating), meresap. Oleh karena itu garam baik untuk
menjadi bumbu penyedab dan bahan pengawet seperti diterangkan tadi.
“Kamu adalah garam dunia” (Mat 5:13). Hal ini berarti, bahwa para murid Yesus
(siapa pun dia) memainkan peranan penting dalam kemanusiaan. Seperti telah dikatakan
tadi bumi bukan lagi diartikan sebagai ‘tanah untuk pertanian’ tetapi kemanusiaan yang
bersifat universal.
“Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin
tersembunyi” (Mat 5:14). Dalam Injil Yohanes, Yesus berkata: “Akulah terang dunia;
siapa saja yang mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan
mempunyai terang kehidupan” (Yoh 8:12). Kemudian Yesus bersabda: “Selama Aku di
dalam dunia, Akulah terang dunia” (Yoh 9:5). Sekarang dalam Mat 5:14 ini, kita
disamakan dengan sang Guru sendiri – artinya para murid juga adalah terang dunia. Ini
merupakan pujian paling besar yang diberikan kepada orang kristiani secara pribadi.
Betapa tidak? Ketika Yesus menggunakan kata-kata ini, sebenarnya Dia menggunakan
sebuah ungkapan yang cukup familiar bagi orang-orang Yahudi yang mendengar kata-
kata itu. Orang-orang Yahudi sendiri berbicara tentang Yerusalem sebagai ‘terang bagi
orang-orang kafir’ dan seorang Rabi yang terkenal seringkali dipanggil/dijuluki ‘pelita
Israel’. Satu hal yang sangat diyakini oleh orang Yahudi, yaitu bahwa terang yang
bersinar dari bangsa mereka atau dari seorang hamba Allah (man of God) adalah ‘terang
yang dipinjami’. Pinjam dari siapa? Dari Allah. Yerusalem memang ‘terang bagi orang-
orang kafir’, tetapi Allah-lah yang menyalakan pelita Israel itu. Demikian pula dengan
kita orang-orang Kristiani. Terang kita adalah pencerminan terang Kristus sendiri
(dengan demikian syaratnya adalah pemuridan yang baik). Sinar yang memancar dari
orang-orang Kristiani datang dari kehadiran Kristus (Roh Kudus/Roh Kristus) dalam
diri/hati orang-orang itu.

3.3 ETIKA KRISTEN sebagai GARAM dan TERANG DUNIA


Kehadiran murid-murid Kristus di atas bumi adalah untuk menjaga agar
masyarakat manusia ini jangan sampai runtuh secara total. Pada saat kedatangan Tuhan
Yesus untuk kedua kalinya nanti (parousia), dunia kita yang penuh dengan kedosaan ini
akan berantakan, baik dilihat dari sudut moral, spiritual dan politik ( 2Tes 2:5-12).
Sekarang umat beriman harus menjalani kehidupan yang utuh, kehidupan yang bersih
…… di dalam dunia yang begitu korup. Jadi, kalau Yesus mengatakan kepada para
murid-Nya, “Kamu adalah garam dunia”, maka yang Ia maksudkan di sini adalah, bahwa
para murid harus menghentikan/meng-counter proses pembusukan dunia ini. Dengan
apa? ….. Dengan Injil, yakni Kabar Baik Tuhan kita Yesus Kristus. Satu-satunya harapan
yang akan menyelamatkan manusia adalah Yesus Kristus, lewat Injil-Nya. Lihat sabda
Yesus di awal karya-Nya dalam masyarakat seperti tercatat dalam Injil Markus:
“Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada
Injil!” (Mrk 1:15).
Garam itu mempunyai sifat merasuk. Secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit
tetapi pasti, garam merasuki – menyerap ke dalam –  bahan seperti daging, ikan atau
sayur yang telah diolesi atau dilabur dengan garam itu. Demikian pula Gereja harus
merasuki, menyerap ke tengah-tengah dunia, ke mana-mana menyebarkan Kabar Baik
Tuhan kita Yesus Kristus. Apabila Gereja (artinya kita-kita ini) berhenti memberitakan
Kabar Baik itu, maka Gereja berhenti berfungsi sebagai ‘garam dunia’. Ingatlah apa yang
dikatakan oleh Paus Paulus VI: “Gereja ada untuk mewartakan Injil” (Evangelii
Nuntiandi, 14).
Garam itu digunakan juga sebagai bumbu penyedap (seasoning). Kita semua para
murid Kristus berfungsi sebagai bumbu penyedap bagi dunia yang sedang mau mati ini.
Mengapa? Karena dunia sekarang memang sedang dilanda oleh budaya kematian, budaya
maut. Lihat saja acara-acara dan berita-berita di TV dan berita media masa lainnya.
Bagaimana caranya kita menjadi bumbu penyedap dalam masyarakat? Dengan membawa
pesan yang berisikan harapan. Sungguh dunia ini akan hambar tanpa-rasa dan tanpa-
harapan apabila tidak ada yang menggaraminya. Lewat bicara dan hidup kita, kita
perkenalkan, kita tanamkan peradaban cinta kasih, sesuai juga dengan anjuran Paus 
Yohanes Paulus II. Sungguh bukan omong kosong. Bayangkan sebuah acara, pesta dsb.
kalau tidak dihadiri oleh orang yang suka humor, ‘penuh sukacita’ yang akan membuat
pesta menjadi ‘hidup’, yang menjiwai pesta itu. Satu persatu orang akan meninggalkan
acara itu, karena membosankan.
Sebagai garam, kita para murid Kristus, juga harus membawa angin segar, angin
pembaharuan, rasa cinta akan kehidupan dalam apa saja yang kita lakukan dan setiap saat
kita bertemu dengan sesama kita. Dalam dunia yang menderita karena penuh kebosanan,
keterasingan (alienasi), ketakutan dll., para murid Kristus harus membawa ke tengah-
tengah saudara-saudari kita dalam masyarakat, semangat hidup, entusiasme yang penuh,
sukacita, kepercayaan akan sesuatu yang baik. Sebagai ‘garam’, seorang murid Kristus
tidak bersikap masa bodoh atas pelbagai masalah yang dihadapi oleh sesamanya.
Sebaliknya, sebagai ‘garam’ seorang murid Kristus adalah pembawa Kabar Baik. Apapun
masalah yang dihadapi “….. Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk
mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia” (Rm 8:28). Mengapa? Karena
kita berada di tangan Allah, maka kita semua diciptakan dari cinta kasih-Nya, dengan
demikian kita terus-menerus dikelilingi dan ditopang oleh cinta-Nya yang kreatif.
 “Jika garam itu menjadi tawar ……” (Mat 5:13). Garam memang dapat
menjadi tawar. Apabila garam dibiarkan kena exposed pada atmosfir, cepat atau lambat
garam itu akan kehilangan rasa asinnya. Mula-mula kelembaban memasukinya dan
kemudian merusaknya. Kalau dicampur dengan air yang cukup banyak, maka garam pun
dapat kehilangan rasa asinnya. Garam juga dipakai oleh orang-orang Semit kuno – yang
sampai sekarang kadang-kadang masih dilakukan oleh tukang roti Arab – untuk melaburi
dasar dari oven: untuk mendorong pembakaran dari bahan bakar yang kurang baik,
seperti kotoran unta yang telah dikeringkan. Setelah kurang lebih 15 tahun, daya garam
itu sebagai katalisator habislah dan garam itu pun dibuang (Kata Semit untuk oven
adalah arca yang juga mempunyai arti ‘bumi’. Maka itu ketika Yesus mengatakan:
“Kamu adalah garam bumi”; bisa saja orang menerjemahkannya “Kamu adalah garam
oven”; tetapi seperti dikatakan tadi, bahwa ayat ini berpadanan dengan ayat tentang
‘terang dunia’, maka ‘garam oven’ menjadi tidak relevan. ‘Garam yang sudah kehilangan
rasa’ itu menjadi sekedar bahan-bahan sisa di bumi dengan sedikit rasa (ada rasa, tapi
sedikit saja), karena sodium khlorida-nya sudah tidak ada. Oleh karena itu ada ungkapan
orang Persia: “Tidak benar terhadap garam” yang artinya adalah tidak setia, tidak
tahu berterima kasih.
Apa bahayanya kalau para murid Kristus kehilangan rasa? Dari luar kelihatan
seperti orang beriman, berbicara seperti orang beriman, akan tetapi di dalam mereka
sudah mati secara rohani: membusuk dari dalam! Sebagai garam, seorang murid Kristus
harus mempunyai garam dalam dirinya. Bagaimana orang dapat kehilangan rasa asinnya
itu? Karena dibiarkan kena exposed pada atmosfir yang salah. Kebanyakan exposure dan
kompromi dengan dunia menghancurkan ‘rasa’ seorang murid Kristus. Kebanyakan
kompromi dengan dunia membuat seorang murid Kristus tidak ada bedanya dengan
orang-orang lain dalam dunia. Murid Kristus menjadi sombong, mencari keuntungan diri
sendiri, pemarah dan cemburu. Dia tidak lagi menjadi ‘tanda lawan’ bagi masyarakat di
sekitarnya; dia tidak lagi mampu memenuhi fungsinya dalam dunia, artinya tidak akan
mampu untuk mengubah atau mentransformasikan dunia. Dalam ayat ini Yesus
mengingatkan para murid: (1) untuk tidak mengkompromikan iman-kepercayaan mereka,
(2) untuk tidak melakukan dilusi (campur-aduk) kebenaran dengan ketidak-benaran
seperti yang dilakukan oleh mereka yang menganut paham liberalisme dalam
penghayatan iman kristiani mereka, (3) untuk tidak mengkompromikan perilaku mereka
dengan dunia. Karena kalau para murid Kristus mulai melakukan segala macam
kompromi ini, maka proses pembusukan akan mulai menjangkiti diri mereka masing-
masing.
“Dibuang dan diinjak orang” (Mat 5:13). Ada unsur parabolis dalam teks ini,
yang tidak perlu diterapkan secara harfiah pada ‘nasib akhir’ seorang murid Yesus.
Ungkapan ‘dibuang’ mempunyai arti ganda. Lihat Mat 13:48 “Perumpamaan tentang jala
besar’ dimana diceritakan bahwa ikan yang tidak baik itu dibuang. Lihat juga nas-nas
dalam Mat yang berkaitan dengan hukuman kekal. Dengan kekecualian Mat 8:12, semua
nas termaksud berbicara mengenai umat manusia berdosa pada umumnya (Mat 13:42).
Yang lebih sering adalah mengenai murid-murid Kristus yang tidak setia (Mat 7:19;
13:48,50; 18:8,9; 22:13). Sebenarnya Yesus memperingatkan para murid-Nya untuk tidak
menghianati panggilan mereka sebagai ‘pengawet’ dan ‘bumbu penyedap’, artinya
sebagai orang-orang yang memberikan orientasi kepada dunia.
Terang pertama-tama dan terutama dimaksudkan untuk dapat
dilihat. Sebenarnya tidak ada kemuridan yang bersifat rahasia, karena kerahasiaan dapat
menghancurkan kemuridan itu atau kemuridan itu menghancurkan kerahasiaan itu.
Kekristenan/ Kristianitas seseorang harus secara sempurna kelihatan oleh semua orang.
Kemudian, kekristenan ini tidak boleh hanya kelihatan di dalam ruang lingkup Gereja,
karena kalau demikian halnya tidak banyak gunanya bagi siapa pun. Kekristenan bahkan
harus lebih kelihatan pada kegiatan-kegiatan seseorang dalam tata-dunia. Kekristenan
kita haruslah kelihatan pada waktu kita berbicara dengan pegawai rendahan kita, pada
waktu kita memesan makanan dan minuman dalam restoran, pada waktu kita berbelanja,
dalam hal bahasa yang kita gunakan sehari-hari, dalam hal buku-buku yang kita baca dan
lain sebagainya. Seorang Kristiani adalah Kristen di pabrik, di kantor, di ruang sekolah,
di dalam ruang bedah, di bengkel, di dapur, di lapangan golf, seperti juga di gereja. Yesus
tidak mengatakan “Engkau adalah terang gereja”, tetapi “Engkau adalah terang dunia”.
Dan dalam kehidupan seseorang di dunia, kekristenannya harus jelas kelihatan kepada
semua orang.
Terang adalah pemandu. Seorang kristiani harus menjadi panutan. Salah satu
hal yang diperlukan dunia ini adalah orang yang siap untuk menjadi pusat kebaikan:
pemimpin yang baik. Ada banyak orang di dunia yang tidak memiliki kekuatan moral dan
keberanian untuk memegang prinsip tertentu kalau tidak ada yang memimpin mereka.
Apabila ada seseorang yang cukup kuat untuk dapat diandalkan, maka mereka pun akan
melakukan hal yang benar. Adalah tugas orang kristiani untuk menjadi terang yang
membimbing orang-orang yang lemah dan kurang berani.
Terang seringkali dapat menjadi ‘terang tanda peringatan’. Peringatan
macam apa? Peringatan untuk stop kalau ada bahaya di depan. Kadang-kadang tugas
orang kristianilah untuk memperingatkan orang-orang. Suatu tugas yang sulit. Orang
Kristiani adalah terang yang dapat dilihat, terang yang memimpin dan terang yang
menjadi tanda peringatan.
“Orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang,
melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah”
(Mat 5:15). Perumpamaan tentang pelita yang diletakkan di atas kaki dian juga dapat
dibaca dalam Luk 11:33; Mrk 4:21 dan Luk 8:16. Mungkin sekali konstek asli adalah
upaya para lawan Yesus untuk mencegah Dia – “sang Terang”, untuk memberitakan
Kabar Baik. Tetapi pelita telah dinyalakan dan terang itu bercahaya, bukan untuk ditutupi
kembali, tetapi untuk memberi terang kepada semua pihak. Ketiga penulis Injil
menggunakan perumpamaan ini untuk konteks yang berbeda-beda.
Injil Matius telah mengkombinasikan perumpamaan tentang pelita ini (Mat 5:15)
dengan ‘kota yang terletak di atas gunung (bukit)’ (Mat 5:14b). Mat 5:14b tidak
mempunyai paralel dalam Injil sinoptik yang lain, tetapi ada ucapan Yesus yang yang
mendekati dalam Oxyrhynchus Papyrus 1:7 = Injil Tomas 32 à Yesus berkata: sebuah
kota yang terletak di atas sebuah bukit yang tinggi dan atas sebuah fondasi yang kokoh,
tidak dapat direndahkan atau disembunyikan (Hendrickx, hal. 41). Dalam Injil Matius
mau dikatakan bahwa ‘terang tidak dapat menjadi bukan terang’, tetapi kekuatannya
untuk menerangi dapat diambil dengan menaruh pelita itu di bawah gantang, dengan
demikian rumah itu tidak dapat diterangi. Akan tetapi kalau gantang itu dibalik dan
dijadikan sebagai kaki dian, maka terang itu dapat berfungsi lagi dalam rumah sederhana
orang-orang di Palestina di kala itu yang cuma mempunyai satu ruangan. Terang seperti
ini tidak bisa untuk tidak kelihatan, seperti juga sebuah kota yang terletak di atas bukit
(Mat 5:14b) tidak bisa untuk tidak kelihatan.
Orang-orang Eseni di Qumran menamakan diri mereka ‘anak-anak terang’, tetapi
mereka hidup suci-suci sendiri dalam gua-gua; tidak bedanya dengan pelita yang ditutup
dengan gantang. Sebaliknya, para murid Kristus harus membawa terang ke tengah-tengah
dunia. Mereka harus menggenapi nubuat Hamba Yahwe yang harus membawa terang ke
dunia kepada bangsa-bangsa (Yes 42:6; 49:6). Bagaimana Yesus bisa mengatakan ini dan
mengapa penulis Injil Matius mencatatnya, apalagi dia sudah tahu bahwa Yesus adalah
penggenapan nubuat itu? Karena bagi penulis Injil Matius, Yesus Kristus dan Gereja
adalah satu tak terpisahkan. Kita harus selalu mengingat, bahwa Gereja adalah Sakramen
Kristus ( Lumen Gentium, 1).
“Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya
mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga”
(Mat 5:16). Pelita yang harus memberi terang pertama-tama adalah sebuah acuan pada
‘melakukan perbuatan yang baik’ (Mat 5:16). Siapa saja yang menolak atau gagal
melakukan perbuatan yang baik adalah seperti seseorang yang menyalakan pelita, tetapi
kemudian menyembunyikannya di bawah gantang. Akan tetapi mereka yang melakukan
perbuatan-perbuatan yang baik, hanya akan menjadi terang apabila mereka
melakukannya sedemikian rupa sehingga siapa saja yang melihat mereka akan merasa
terpimpin untuk memuliakan Allah Bapa. Hal ini bertentangan sekali dengan sikap dari
mereka yang tidak berniat untuk berfungsi sebagai terang dunia, tetapi hanya mau bersih-
bersih sendiri atau murni-murni sendiri (lihat contoh orang-orang Eseni di atas).
Kemuridan selalu tercermin pada fungsinya, yaitu melayani orang lain, melayani dunia
manusia. Tanpa pelayanan seperti itu tidak ada kemuridan yang sejati.
Kemuliaan Allah ini dicapai tidak secara langsung, artinya melalui orang-orang,
di depan merekalah perbuatan-perbuatan baik itu dilakukan. Ide yang sama dapat
ditemukan baik dalam Perjanjian Lama (lihat Yes 45:14-15) maupun Perjanjian Baru
(1Tes 4:12). Akan tetapi satu-satunya ayat paralel yang dekat adalah 1Ptr 2:12
à “Milikilah cara hidup yang baik di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah,
supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai pelaku kejahatan, mereka dapat
melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah pada hari Ia
melawat mereka.”
Akan tetapi orang tidak boleh melakukan perbuatan-perbuatan baik agar supaya
dapat dilihat oleh orang lain (lihat Mat 6:1, 16-18; 23:5, 28). Para murid harus hati-hati
terhadap segala segala lagak-lagu yang sok gaya. Mereka harus setia dan Allah akan
mengurus kemuliaan-Nya sendiri. Kalau dipahami sedemikian, maka Mat 5:16 tidak
bertentangan dengan Mat 6:1-18. Dua nas tersebut berbicara mengenai dua macam
masalah yang berbeda. Dalam Mat 5:16 penulis Injil mengingatkan pembaca akan
bahayanya kalau terang seseorang itu tersembunyi, sedangkan dalam Mat 6:1-18 penulis
Injil berbicara mengenai orang yang mencari kehebatan diri sendiri. Motif-lah yang
membuat perbedaan: Kalau terang bercahaya untuk kemuliaan manusia, maka itu berarti
soal lagak-lagu yang sok gaya demi kehebatan diri sendiri. Sebaliknya kalau terang
bercahaya untuk kemuliaan Bapa surgawi, maka itu adalah kesalehan yang sejati.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Di zaman kita ini juga ada banyak orang terbuang, lelah, jenuh dengan yang
namanya agama dan sebenarnya jauh di lubuk hati mereka, mereka muak dengan agama
karena para pemimpin agama mereka (bukan tidak cerdas dan pandai dalam berkata-kata)
tapi karena punya hidup yang tidak konsisten dan tidak manunggal.  Inilah kebutuhan
zaman ini teman-teman: dibutuhkan orang-orang yang mengasihi Tuhan dengan segenap
hatinya, segenap kekuatannya dan segenap hidupnya.  Bukan hanya lewat pelayanan dan
aktifitas-aktifitas rohani serta Etika Kristen ia tampil saleh tapi dalam seluruh aspek
kehidupannyaia benar-benar memancarkan kasih Tuhan itu.
Inilah kondisi riil yang melatarbelakangi tuntutan kita sebagai umat Allah untuk
menjadi garam dan terang dunia.  Mengapa?  Karena dunia dipenuhi oleh orang-orang
yang hanya pandai meneriakkan jargon-jargon rohani tanpa aksi-aksi yang konkret. 
Dunia dipenuhi orang-orang yang punya standar hidup ganda: di pelayanan dan Gereja
dia begitu saleh, tapi di bangku kuliah, di rumah orang tuanya dan di tempat kostnya, ia
hidup tidak bedanya seperti orang-orang kafir yang tidak tau Etika Kristen yang
seharusnya melandasi setiap perbuatannya.  Dan saat melihat semua ini, kami
menyimpulkan bahwa dunia seperti ini adalah dunia yang sangat gelap.  Tapi yang
menarik Galatia 4:4 mengatakan bahwa dalam “setelah genap waktunya, maka Allah
mengutus Anak-Nya. . . “  Setelah genap waktunya tentu bicara soal waktu yang tepat
menurut Allah.  Tapi bukankah saat itu dunia ada dalam kegelapan dan tanpa
pengharapan dan ada berbagai risiko yang mengancam orang-orang yang berani hidup
berbeda?  Tapi inilah waktu yang tepat menurut Allah.  Mengapa?  Karena dunia seperti
ini haus menantikan orang-orang yang benar-benar tulus dan murni di hadapan Allah,
serta membutuhkan orang-orang yang harusnya menjadi pelopor Etika Kristen dalan
kehidupan kita.

DAFTAR PUSTAKA
William Barclay, “The Daily Study Bible: The Gospel of Matthew Volume I”,         Edinburgh,
Scotland: The Saint Andrew Press, 1975.
DOKUMEN KONSILI VATIKAN II (terjemahan R. Hardawiryana SJ), Jakarta:      Dokumentasi
dan Penerangan KWI/Obor, 1993.
Nil Guillemette SJ, “A Kingdom for All”, Makati, Philippines: St. Paul Publications,          1988.
Herman Hendrickx CICM, “The Sermon on the Mount”, Makati, Philippines: St.
Paul       Publications, 1990.
 John P. Meir, “Matthew”, Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1990.
Frank Mihalic SVD, “1000 Stories You Can Use – Volume One”, Manila,
Philippines:       Divine Word Publications, 1989. [FM]
George T. Montague SM, “Companion God – A Cross-Cultural Commentary on
the            Gospel of Matthew”, New York, NY: Paulist Press, 1989.
Kevin O’Sullivan OFM, “The Sunday Readings Cycle A (1), Chicago, Illinois:       Franciscan
Herald Press, 1971.
Paus Paulus VI, Imbauan Apostolik Evangelii Nuntiandi (Mewartakan Injil), 8       Desember
1975 (terjemahan  J. Hadiwikarta Pr), Jakarta: Departemen            Dokumentasi dan Penerangan
KWI, 1990.
R.H. Sykes, “Matthew – Presenting Jesus the King”, Scarborough, Ontario:
Everyday       Publications Inc., 1984

Anda mungkin juga menyukai