Anda di halaman 1dari 14

METABOLISME OBAT

I. ISI

Metabolisme obat sering juga disebut biotransformasi, metabolisme obat


terutama terjadi dihati, yakni di mambran endoplasmic reticulum (mikrosom) dan
dicytosol. Tempat metabolisme yang lain (ekstrahepatik) adalah : dinding usus,
ginjal, paru , darah, otak dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut
lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu.
Dengan perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian
berubah menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik.
Metabolisme mempunyai tiga tujuan utama, yaitu memberikan energi
kepada tubuh, untuk memecah suatu senyawa yang lebih sederhana atau
biosintesa senyawa-senyawa yang lebih kompleks, dan untuk biotransformasi
senyawa-senyawa asing menjadi senyawa yang lebih polar, larut dalam air dan
dalam struktur yang terionisasi sehingga dapat dieliminasi dengan mudah.
Aktivitas metabolisme atau dalam beberapa pustaka disebut dengan kemampuan
metabolisme, kapasitas metabolisme atau kecepatan metabolisme, semuanya
merujuk pada proses oksidasi enzimatik di hati oleh enzim mikrosomal oksidase.
Pada dasarnya metabolisme obat memiliki dua efek penting dalam
perjalanan obat di dalam tubuh yaitu obat akan menjadi lebih hidrofilik sehingga
akan lebih cepat diekskresi melalui ginjal, karena metabolit yang kurang larut
lemak tidak mudah direabsorpsi dalam tubulus ginjal dan metabolit yang
dihasilkan dari proses metabolisme umumnya kurang aktif daripada obat asalnya.
Namun tidak semua obat akan mengalami hal tersebut, karena pada beberapa obat,
metabolitnya memiliki aktivitas yang sama atau lebih aktif daripada obat aslinya,
contohnya Diazepam.
Proses metabolisme terdiri dari tiga fase yaitu reaksi fase I, reaksi fase II
dan reaksi fase III. Reaksi fase I meliputi biotransformasi suatu obat menjadi
metabolit yang lebih polar melalui pemasukan atau pembukaan (unmasking) suatu
gugus fungsional (misalnya –OH, - NH2, -SH). Metabolisme reaksi fase I
meliputi reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis, hidrasi dan isomerasi. Oksidasi
merupakan reaksi yang paling banyak terjadi dalam reaksi fase I, reaksi ini
dikatalisis oleh suatu kelas enzim yang penting yang disebut sebagai sistem
oksidase kelas campuran mikrosomal yaitu sitokrom P- 450. Reaksi fase II terjadi
apabila obat atau metabolit obat dari reaksi fase I tidak cukup polar untuk bisa
diekskresi dengan cepat oleh ginjal, sehingga pada reaksi fase II ini, obat atau
metabolit akan dibuat menjadi lebih hidrofilik melalui konjugasi dengan senyawa
endogen dalam hati yang dimana golongan enzim-enzim yang berbeda akan
bereaksi dengan tipe senyawa yang berbeda juga sebagai contoh sintesis UDP-
asam glukuronat hanya dapat terjadi apabila terjadi reaksi glukuronidasi dengan
enzim UDPGlukuroniltransferase Sedangkan reaksi fase III dianggap oleh para
peneliti sebagai metabolisme lebih lanjut dari konjugat glutation yang
menghasilkan konjugat sistein dan asam merkapturat.
Metabolisme obat dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu
polimorfisme, penyakit tertentu, penggunaan bersama alcohol, jenis kelamin,
makanan, dan kebiasaan merokok. Keragaman genetik dimanifestasikan dengan
perbedaan dalam nukleotida tunggal atau keseluruhan gen yang mengkode protein
tertentu. Hal tersebut akan menyebabkan adanya populasi yang mengekspresikan
protein yang strukturnya berbeda dengan protein pada populasi mayoritas.
Perbedaan ini dapat berupa substitusi suatu asam amino tunggal dengan asam
amino lainnya, atau keseluruhan urutan asam amino berubah. Keadaan ini
dinamakan polimorfisme. Polimorfisme merupakan variasi genetic yang muncul
paling sedikit 1 % atau lebih dalam sebuah populasi. Efek yang ditimbulkan dari
polimorfisme ini sangat luas. Protein akibat polimorfisme tidak akan efisien atau
bahkan tidak berfungsi sama sekali.
Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas metabolism obat
1. Faktor genetic
Adanya variasi genetic yang mempengaruhi tingkat aktivitas enzim akan
memberikan pula variasi dalam kecepatan metabolism obat. Variasi genetic ini
bisa dalam bentuk variasi enzim yang berperan penting dalam ikatan atau
transport obat. Succiniicholine sebagai contoh, hanya dimetabolisme setengah
kali orang normal pada orang yang secara genetic kekurangan enzim
pseudocholinesterase. Perbedaan dalam kecepatan metabolism juga tampak
pada asetilasi dari isoniazid, dimana terjadi perbedaan dalam proses asetilasi
pada orang-orang Jepang, Eskimo, Amerika Latin dan Amerika negro.
Penelitian yang dilakukan oleh Branch membuktikan adanya pengaruh
genetic dan lingkunga dalam disposisi obat. Hal ini ditunjukkan oleh adanya
perbedaan yang bermakna pada waktu peruh eliminasi dan klirens antipirin
pada orang Inggris dan orang Sudan. Pada orang Sudan, harga paruh waktu
eliminasi antipirin hampir dua kali orang Inggris.
2. Faktor umur dan jenis kelamin
Beberapa penelitian membuktikan adanya oengaruh kecepatan metabolism
obat karena pengaruh umur dan jenis kelamin. Pada orang tua (rata-rata 77
tahun) waktu paruh antipirin dan phenilbutazon masing-masing 45% dan 29%
lebih besar dibanding control (rata-rata 26 tahun). Oleh Alvares ditunjukkan
bahwa kecepatan metabolism obat pada anak-anak hapir dua kali lebih besar
dibanding orang dewasa. Alas an yang dipakai untuk menjelaskan keadaan ini
adalah adanya perbedaan pada perbandingan berat hati terhadap berat badan.
Pada anak-anak umur 2 tahun, harga rasio ini (40-50%) lebih besar, sedang
pada anak-anak umur 6 tahun 30% lebih besar dibanding orang dewasa.
Walaupun pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan metabolism baru
dilaporkan terjadi pada tikus, tetapi oleh O’ Malley ditunjukkan bahwa
kecepatan metabolism obat pada wanita lebih besar dibanding pria.
3. Faktor interaksi obat
Beberapa obat disebabkan oleh sifat lipofiliknya yang sangat tinggi, tidak
saja diterima oleh enzim pada tempat aktifnya tetapi secara tidak spesifik
berikatan dengan membrane lipofil pada reticulum endoplasma. Pada keadaan
iini mereka dapat menginduksi enim mikrosom, atau secara kompetitif dapat
menghambat metabolism obat lain yang diberikan bersama-sama. Hal ini dapat
menyebabkan eek terapi suatu obat menjadi menurun, atau menyebabkan efek
toksik pada obat-obat dengan indeks terapi yang sempit. Sebagai contoh pada
orang yang rutin diberi barbiturate, sedatihipnotik atau tranquilizer akan
mempercepat metaolisme dari wartarin atau dikumarol, sehingga dosis yang
diperlukan menjadi lebih besar. Sebaiknnya dikumarol menghambat
metabolism dari tenitoin sehingga dapat menyebabkan efek toksik seperti
alaxia dan drowsiness.
4. Faktor penyakit
Penyakit-penyakit akut atau kronis yang mempengaruhi fungsi hati akan
mempengaruhi juga metabolism obat. Penyeki-penyakit seperti: hepatitis
alkoholik, cirrhosis alkoholik aktif atau inaktif, hemochromatis. Hepatitis
kronis aktif, cirrhosis empedu atau hepatitis akut karena virus dapat merusak
enzim metabolic di hati terutama microsomal oksidase, dan karena itu
mempengaruhi juga eliminasi obat. Sakit jantung juga dilaporkan menghambat
metabolisme obat. Hal ini disebabkan karena aliran ke hati terganggu, sehingga
untuk obat-obat yang aliran darah merupakan tahap penentu metabolismenya
juga akan terhambat. Penyakit-penyakit seperti kanker hati, sakit paru-paru,
hipotiroid, malaria, skistosomiasis juga menghambat aktivitas metabolism obat.
5. Faktor nutrisi
Oleh Anderson dan Mucklow ditunjukkan bahwa pada subjek yang
mengkonsumsi protein setiap harinya, waktu paruh antipirinnya lebih pendek
dibanding subjek vegetarian. Kecepatan metabolism obat juga dihambat pada
keadaan defisiensi vitamin A, riboflavin, asam askorbat, vitamin E, atau unsur-
unsur seperti kalsium, magnesium, seng serta tembaga.

Beberapa obat dan bahan kimia dapat mempengaruhi aktivitas enzim


mikrosom hati. Senyawa golongan barbiturate dan beberapa obat lain serta
senyawa- senyawa kimia seperti chlordane dan DDT, polychlorinated biphenyls
dan kebiasaan merokok dapat menginduksi enim mikrosom hati sehinga
kecepatan metabolism meningkat. Wood membuktikan bahwa meskipun umur
mempengaruhi klirens hepatic, tetapi dipengaruhi juga oleh faktor-faktor
lingkungan seperti kebiasaan merokok.
Aktivitas enzim mikrosom dapat dihambat oleh pemakaian obat-obat
tertentu seperti: proadifen, climetidin, secobarbital, furoxen. Mekanisme kerjanya
dapat berupa hambatan kompetitif terhadap obat-obat lain atau interaksi seccara
kovalen dari metabolit intermediet yang dapat bereaksi dengan protein lain dalam
sitokrom sehingga aktivitas enzim terhambat.
Walaupun jaringan seperti sistem gastrointestinal, paru, kulit, dan ginjal
memiliki kemampuan tertentu dalam memetabolisme obat, hepar merupakan
organ utama yang berperan dalam memetabolisme obat dimana semua zat,
terutama yang diberikan peroral akan dimetabolisme oleh hepar. Secara garis
besar, metabolisme obat-obatan dalam hepar akan terjadi dalam sel mikrosom
untuk menjadikan obat tersebut lebih larut air dengan mengadakan reaksi fase 1
lalu mengadakan reaksi fase 2 untuk beberapa hasil metabolisme fase 1. Reaksi
fase 1 terjadi di retikulum edoplasmik halus, sitosol, dan mitokondria. Secara
garis besar, metabolisme fase 1 terdiri atas proses hidrolisis, reduksi, dan oksidasi
yang bertujuan untuk menghasilkan senyawa yang lebih hidrofilik.
Pada metabolisme fase 1, enzim sitokrom P450 yang terutama terdapat
pada retikulum endoplasma hepatosit merupakan enzim yang paling penting.
Dalam retikulum endoplasma, elektron akan ditransfer dari NADPH ke dalam
sitokrom P450 membentuk NADPH-sitokrom P450 yang bersama sitokrom P450
berinteraksi melakukan oksidasi. Siklus oksidasi tersebut memerlukan sitokrom
P450, sitokrom P450 reduktase, NADPH, dan molekul oksigen. Hasil proses ini
menghasilkan substrat teroksidasi, namun apabila proses ini terganggu akan
terbentuk anion superoksida atau hidrogen peroksida yang bersifat toksin.
Metabolisme fase 2 menyebabkan parent drug atau metabolit fase 1 yang
mengandung gugusan kimia sesuai sering mengalami coupling atau konjugasi
dengan substansi endogen menghasilkan suatu konjugasi obat. Pada umumnya
konjugat adalah molekul-molekul yang polar dan mudah diekskresikan dan pada
umumnya bersifat inaktif. Pembentukan konjugat memerlukan intermediet
berenergi tinggi dan enzim-enzim transfer yang spesifik. Transferase ini terletak
di dalam kromosom atau sitosol. Transferase ini mengkatalisa reaksi coupling 13
atau substansi endogen yang diaktifkan dengan suatu obat atau reaksi coupling
dari suatu obat yang diaktifkan dengan suatu substansi endogen.
Berbagai macam obat-obatan, substansi kimia, dan logam dapat
menyebabkan toksisitas ginjal. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa gagal ginjal
akut dari yang mudah disembuhkan sampai kerusakan ginjal permanen, yang
mana memerlukan tindakan dialisis atau transplantasi ginjal. Beberapa faktor
terlibat dalam sensitivitas ginjal terhadap sejumlah zat toksik, meskipun aliran
darah ke ginjal yang tinggi dan peningkatan konsentrasi produk yang diekskresi
diikuti reabsorpsi air dari cairan tubulus merupakan faktor yang paling utama.
Meskipun ginjal mengisi kurang dari 1% massa tubuh, tetapi organ ini menerima
sekitar 25% cardiac output. Jadi, jumlah yang signifikan dari substansi kimia
eksogen dan/atau metabolitnya dibawa ke ginjal.
Faktor penting kedua yang mempengaruhi sensitivitas ginjal terhadap
substansi kimia adalah kemampuannya dalam memekatkan cairan tubulus dan,
sebagai konsekuensinya, air dan garam dibuang, sehingga konsentrasi substansi
kimia menjadi tinggi di dalam tubulus. Oleh karena itu, kadar nontoksik suatu
substansi kimia di dalam plasma dapat mencapai toksik di dalam ginjal.
Karakteristik transportasi di dalam tubulus ginjal juga berperan dalam pelepasan
konsentrasi toksik potensial substansi kimia ke dalam sel. Jika suatu substansi
kimia diekskresi secara aktif dari dalah ke dalam lumen tubulus, maka akan
terakumulasi di dalam sel tubulus proksimal, atau jika suatu substansi kimia
direabsorpsi dari lumen tubulus, maka akan melewati sel-sel tubulus dalam
konsentrasi relatif tinggi.
Biotransformasi substansi kimia menjadi zat yang reaktif, kemudian
menjadi metabolit yang toksik adalah kunci terjadinya toksisitas pada ginjal.
Banyak reaksi aktivasi yang ditemukan di dalam hati, juga ditemukan di dalam
ginjal dan banyak zat toksik dapat teraktivasi di dalam organ-organ tersebut,
seperti acetaminophene, bromobenzene, khloroform, dan carbon tetrachloride.
Salah satu manifestasi dari paparan zat toksik pada ginjal adalah terjadinya
nekrosis tubular akut (NTA). NTA adalah kesatuan klinikopatologik yang ditandai
secara morfologik oleh destruksi sel epitel tubulus dan secara klinik oleh supresi
akut fungsi ginjal. NTA adalah lesi ginjal yang reversibel dan timbul pada suatu
sebaran kejadian klinik. Kebanyakan kasus ini, disebabkan trauma berat,
pankreatitis akut sampai septikaemia, pada umumnya mempunyai suatu periode
tidak cukup aliran darah ke organ-organ perifer, biasanya disertai hipotensi jelas
dan syok. Gambaran NTA disertai dengan syok disebut NTA iskemik. Bentuk
lain, disebut NTA nefrotoksik, yang disebabkan oleh sejumlah racun, meliputi
logam-logam berat (timah, merkuri, arsen, emas, kromium, bismuth, dan
uranium), pelarut organik (CCl4, kloroform), dan sejumlah obat seperti
gentamisin, dan antibiotik lain.
Kecepatan biotransformasi umumnya bertambah bila konsentrasi obat
meningkat. Hal ini berlaku sampai titik dimana konsentrasi menjadi demikian
tinggi hingga seluruh molekul enzim yang melakukan pengubahan ditempati
terus-menerus oleh molekul obat dan tercapainya kecepatan biotransformasi yang
konstan. Sebagai contoh dapat dikemukakan natrium salisilat dan etanol bila
diberikan dengan dosis yang melebihi 5000mg dan 20g, pada grafik konsentrasi-
waktu dari etanol. Kecepatan biotransformasi konstan ini tampak dari turunnya
secara konstan pula dari konsentrasinya dalam darah.
Obat lain yang terkenal mengakibatkan induksi enzim adalah barbiturat,
anti-epileptika(fenitoin, primidon, karbamazepin), klofibrat, alkohol (pada
penggunaan kronis), fenilbutazon, griseofulvin dan spironolakton. Bahan
penyegar dan produk makanan dapat juga mengandung indikator enzim, misal
minum kopi (kofein). Interaksi dalam metabolisme obat berupa induksi atau
inhibisi enzim metabolisme, terutama enzim CYP. Induksi berarti peningkatan
sintesis enzim metabolismr pada tingkat transkipsi sehingga terjadi peningkatan
kecepatan metabolisme obat yang menjadi substrat enzim yang bersangkutan,
akibatnya diperlukan peningkatan dosis obat tersebut, berarti terjadi toleransi
farmakokinetik karena melibatkan sintesis enzim maka diperlukan waktu
beberapa hari (3 hari sampai 1 minggu) sebelum dicapai efek yang maksimal.
Induksi dialami oleh semua enzim mikrosomal, jadi enzim CYP (kecuali 2D6)
dan UGT.
Inhibitor enzim juga sering disebut antimetabolit karena terjadi
metabolisme subtrat yang terputus (Qantagonis) dan selanjutnya aksi enzim juga
terhambat. Dengan menghambat kerja enzim yang berkaitan dengan terhadap
pengaduan kecepatan suatu reaksi adalah sangat efektif inhibitor di bagi 2
kelompok inhibitor reversibel dan inhibitor irreversibel.
Inhibitor reversibel dapat bersifat kompetitif atau non-kompetitif
tergantung dalam titik masuk dalam bagian reaksi enzim subrat. Inhibitor
reversibel aktif dengan enzim untuk kekuatan interotamik yang lemah.
Inhibitor irreversibel akan membentuk ikatan yang tetap dengan enzim
diharapkan obat memberi efek farmakologi yang lama sehingga pemberian obat
tidak sering . Hal ini disebabkan karena tingkan inhibisi tidak terpengaruh oleh
kuners obat dan bahan. Untuk inhibitor irreversibel ini lebih sering diberikan
pemberian obat karena adanya sintesa kembali dari enzim segar.
Inhibisi enzim metabolisme adalah hambatan terjadi langsung, dengan
akibat peningkatan kadar obat yang menjadi substrat dari enzim yang dihambat
juga terjadi secara langsung untuk mencegah terjadi terjadinya toksisitas,
diperlukan penurunan dosis obat yang bersangkutan atau bahkan tidak boleh
diberikan bersama penghambatnya (kontra indikasi) jika akibatnya
membahayakan. Hambatan pada umumnya bersifat kompetitif (karena merupakan
substrat dari enzim yang sama), tetapi juga dapat bersifat non kompetitif (bukan
substrat dari enzim yang bersangkutan atau ikatannya irreversibel).

Mekanisme interaksi obat dapat melalui beberapa cara, yakni 1) interaksi


secara farmasetik (inkompatibilitas); 2) interaksi secara farmakokinetik dan 3)
interaksi secara farmakodinamik.

1. Interaksi farmasetik: Interaksi farmasetik atau disebut juga


inkompatibilitas farmasetik bersifat langsung dan dapat secara fisik atau kimiawi,
misalnya terjadinya presipitasi, perubahan warna, tidak terdeteksi (invisible), yang
selanjutnya menyebabkan obat menjadi tidak aktif. Contoh: interaksi karbcnisilin
dengan gentamisin terjadi inaktivasi; fenitoin dengan larutan dextrosa 5% terjadi
presipitasi; amfoterisin B dengan larutan NaCl fisiologik, terjadi presipitasi.

2. Interaksi farmakokinetik: Interaksi dalam proses farmakokinetik, yaitu


absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME) dapat meningkatkan
ataupun menurunkan kadar plasma obat.6 Interaksi obat secara farmakokinetik
yang terjadi pada suatu obat tidak dapat diekstrapolasikan (tidak berlaku) untuk
obat lainnya meskipun masih dalam satu kelas terapi, disebabkan karena adanya
perbedaan sifat fisikokimia, yang menghasilkan sifat farmakokinetik yang
berbeda. Contohnya, interaksi farmakokinetik oleh simetidin tidak dimiliki oleh
H2-bloker lainnya; interaksi oleh terfenadin, aztemizole tidak dimiliki oleh
antihistamin non-sedatif lainnya.
Interaksi yang terjadi pada proses absorpsi gastrointestinal Mekanisme
interaksi yang melibatkan absorpsi gastrointestinal dapat terjadi melalui beberapa
cara: (1) secara langsung, sebelum absorpsi; (2) terjadi perubahan pH cairan
gastrointestinal; (3) penghambatan transport aktif gastrointestinal; (4) adanya
perubahan flora usus dan (5) efek makanan. Interaksi yang terjadi secara langsung
sebelum obat diabsorpsi contohnya adalah interaksi antibiotika (tetrasiklin,
fluorokuinolon) dengan besi (Fe) dan antasida yang mengandung Al, Ca, Mg,
terbentuk senyawa chelate yang tidak larut sehingga obat antibiotika tidak
diabsorpsi. Obat-obat seperti digoksin, siklosporin, asam valproat menjadi inaktif
jika diberikan bersama adsorben (kaolin, charcoal) atau anionic exchange resins
(kolestiramin, kolestipol).
Terjadinya perubahan pH cairan gastrointestinal, misalnya peningkatan pH
karena adanya antasida, penghambat-H2, ataupun penghambat pompa-proton akan
menurunkan absorpsi basa-basa lemah (misal, ketokonazol, itrakonazol) dan akan
meningkatkan absorpsi obat-obat asam lemah (misal, glibenklamid, glipizid,
tolbutamid). Peningkatan pH cairan gastrointestinal akan menurunkan absorpsi
antibiotika golongan selafosporin seperti sefuroksim aksetil dan sefpodoksim
proksetil.
Mekanisme interaksi melalui penghambatan transport aktif
gastrointestinal, misalnya grapefruit juice, yakni suatu inhibitor protein transporter
uptake pump di saluran cerna, akan menurunkan bioavailabilitas beta-bloker dan
beberapa antihistamin (misalnya, fexofenadin) jika diberikan bersama-sama.7
Pemberian digoksin bersama inhibitor transporter efflux pump Pglikoprotein (a.l.
ketokonazol, amiodarone, quinidin) akan meningkatkan kadar plasma digoksin
sebesar 60-80% dan menyebabkan intoksikasi (blokade jantung derajat-3),
menurunkan ekskresinya lewat empedu, dan menurunkan sekresinya oleh sel-sel
tubulus ginjal proksimal.
Adanya perubahan flora usus, misalnya akibat penggunaan antibiotika
berspektrum luas yang mensupresi flora usus dapat menyebabkan menurunnya
konversi obat menjadi komponen aktif. Efek makanan terhadap absorpsi terlihat
misalnya pada penurunan absorpsi penisilin, rifampisin, INH, atau peningkatan
absorpsi HCT, fenitoin, nitrofurantoin, halofantrin, albendazol, mebendazol
karena pengaruh adanya makanan. Makanan juga dapat menurunkan metabolism
lintas pertama dari propranolol, metoprolol, dan hidralazine sehingga
bioavailabilitas obat-obat tersebut meningkat, dan makanan berlemak
meningkatkan absorpsi obat-obat yang sukar larut dalam air seperti griseovulvin
dan danazol.
Mekanisme interaksi dapat berupa (1) penghambatan (inhibisi)
metabolisme, (2) induksi metabolisme, dan (3) perubahan aliran darah hepatik.9
Hambatan ataupun induksi enzim pada proses metabolisme obat terutama berlaku
terhadap obat-obat atau zat-zat yang merupakan substrat enzim mikrosom hati
sitokrom P450 (CYP).10 Beberapa isoenzim CYP yang penting dalam
metabolisme obat, antara lain: CYP2D6 yang dikenal juga sebagai debrisoquin
hidroksilase dan merupakan isoenzim CYP pertama yang diketahui, aktivitasnya
dihambat oleh obat-obat seperti kuinidin, paroxetine, terbinafine; CYP3A yang
memetabolisme lebih dari 50% obat-obat yang banyak digunakan dan terdapat
selain di hati juga di usus halus dan ginjal, antara lain dihambat oleh ketokonazol,
itrakonazol, eritromisin, klaritromisin, diltiazem, nefazodon; CYP1A2 merupakan
ezim pemetabolis penting di hati untuk teofilin, kofein, klozapin dan R-warfarin,
dihambat oleh obat-obat seperti siprofloksasin, fluvoksamin.11" ' TABEL 1
menunjukkan contoh isoenzim CYP serta beberapa contoh substrat, inhibitor dan
induktornya.
Interaksi inhibitor CYP dengan substratnya akan menyebabkan
peningkatan kadar plasma atau peningkatan bioavailabilitas sehingga
memungkinkan aktivitas substrat meningkat sampai terjadinya efek samping yang
tidak dikehendaki. Berikut ini adalah contoh-contoh interaksi yang melibatkan
inhibitor CYP dengan substratnya:
(1) Interaksi terfenadin, astemizol, cisapride (substrat CYP3A4/5) dengan
ketokonazol, itrakonazol, etitromisin, atau klaritromisin (inhibitor poten
CYP3A4/5) akan meningkatkan kadar substrat, yang menyebabkan toksisitas
berupa perpanjangan interval QT yang berakibat terjadinya aritmia ventrikel
(torsades de pointes) yang fatal (cardiac infarct).
(2) Interaksi triazolam, midazolam (substrat) dengan ketokonazol,
eritromisin (inhibitor) akan meningkatkan kadar substrat, meningkatkan
bioavailabilitas (AUC) sebesar 12 kali, yang berakibat efek sedasi obat-obat
sedative di atas meningkat dengan jelas.
Induktor atau zat yang menginduksi enzim pemetabolis (CYP) akan
meningkatkan sistensis enzim tersebut. Interaksi induktor CYP dengan
substratnya menyebabkan laju kecepatan metabolisme obat (substrat) meningkat
sehingga kadarnya menurun dan efikasi obat akan menurun; atau sebaliknya,
induksi CYP menyebabkan meningkatnya pembentukan metabolit yang bersifat
reaktif sehingga memungkinkan timbulnya risiko toksik. Berikut adalah
contohcontoh interaksi yang melibatkan induktor CYP dengan substratnya:
(1) Kontraseptik oral (hormon estradiol) dengan adanya induktor enzim
seperti rifampisin, deksametason, menyebabkan kadar estradiol menurun sehingga
efikasi kontraseptik oral menurun
(2) Asetaminofen (parasetamol) yang merupakan substrat CYP2E1,
dengan adanya induktor enzim seperti etanol, ENH, fenobarbital yang diberikan
secara terus menerus (kronik), menyebabkan peningkatan metabolisme
asetaminofen menjadi metabolit reaktif sehingga meningkatkan risiko terjadinya
hepatotoksisitas.
(3) Teofilin (substrat CYP1A2) pada perokok (hidrokarbon polisiklik
aromatik pada asap sigaret adalah induktor CYP1A2), atau jika diberikan bersama
karbamazepin (induktor), akan meningkatkan metabolisme teofilin sehingga
diperlukan dosis teofilin lebih tinggi. Tetapi jika pemberian karbamazepin
dihentikan sementara dosis teofilin tidak diubah, dapat terjadi intoksikasi teofilin
yang berat.

3. Interaksi farmakodinamik. Interaksi farmakodinamik adalah interaksi


antara obat yang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik
yang sama sehingga terjadi efek yang aditif, sinergistik, atau antagonistik, tanpa
ada perubahan kadar plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya. Interaksi
farmakodinamik umumnya dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan
dengan obat yang berinteraksi, karena klasifikasi obat adalah berdasarkan efek
farmakodinamiknya. Selain itu, umumnya kejadian interaksi farmakodinamik
dapat diramalkan sehingga dapat dihindari sebelumnya jika diketahui mekanisme
kerja obat.
Contoh interaksi obat pada reseptor yang bersifat antagonistik misalnya:
interaksi antara Pbloker dengan agonis-p2 pada penderita asma; interaksi antara
penghambat reseptor dopamin (haloperidol, metoclo-pramid) dengan levodopa
pada pasien parkinson. Beberapa contoh interaksi obat secara fisiologik serta
dampaknya antara lain sebagai berikut: interaksi antara aminogliko-sida dengan
furosemid akan meningkatkan risiko ototoksik dan nefrotoksik dari
aminoglikosida; Pbloker dengan verapamil menimbulkan gagal jantung, blok AV,
dan bradikardi berat; benzodiazepin dengan etanol meningkatkan depresi susunan
saraf pusat (SSP); kombinasi 178 Media Litbang Kesehatan Volume XVIII
Nomor 4 Tahun 2008 obat-obat trombolitik, antikoagulan dan anti platelet
menyebabkan perdarahan.
Penggunaan diuretik kuat (misal furosemid) yang menyebabkan perubahan
keseimbangan cairan dan elektrolit seperti hipokalemia, dapat meningkatkan
toksisitas digitalis jika diberikan bersama-sama. Pemberian furosemid bersama
relaksan otot (misal, d-tubokurarin) menyebabkan paralisis berkepanjangan.
Sebaliknya, penggunaan diuretik hemat kalium (spironolakton, amilorid) bersama
dengan penghambat ACE (kaptopril) menyebabkan hiperkalemia. Kombinasi anti
hipertensi dengan obat-obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID) yang
menyebabkan retensi garam dan air, terutama pada penggunaan jangka lama,
dapat menurunkan efek antihipertensi.
DAFTAR PUSTAKA

Artawan, I. W.B. 1989, “Studi Metabolisme Obat Pada Manusia Dengan


Eliminasi Antipirin Sebagai Indicator”, Skripsi, Universitas Airlangga,
Surabaya.

Gitawati, R. 2008, “Interaksi Obat dan Implikasinya”, Jurnal Media Litbang


Kesehatan, vol. 18, no. 4, 176-179.

Sanjoyo, R.. 2015, “Metabolisme Obat”. (on-line). From


https://dokumen.tips/documents/metabolisme-obat-559395eee4fee.html.
diakses pada tanggal 14 September 2017

Wahyudi, A.A., Wiryatini, N.N., & Ali, K.T. 2011, “Metabolisme Obat”. (on-
line). From http://farmasi.unud.ac.id/ind/wp-content/uploads/metob-10-
revisi-jadi.pdf. diakses pada tanggal 14 September 2017
MAKALAH FARMAKOLOGI I

METABOLISME OBAT

Oleh:

PRIMA WINDI ASTUTI (08061181621005)

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2017

Anda mungkin juga menyukai