Anda di halaman 1dari 37

TUGAS TENTANG REVOLUSI INDUSTRI DAN REVOLUSI PRANCIS

A.REVOLUSI INDUSTRI
Revolusi Industri terjadi pada periode antara tahun 1750-1850 di mana terjadinya perubahan secara besar-besaran
di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi serta memiliki dampak yang mendalam
terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di dunia. Revolusi Industri dimulai dari Britania Raya dan kemudian
menyebar ke seluruh Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang, dan menyebar ke seluruh dunia.
Revolusi Industri menandai terjadinya titik balik besar dalam sejarah dunia, hampir setiap aspek kehidupan sehari-
hari dipengaruhi oleh Revolusi Industri, khususnya dalam hal peningkatan pertumbuhan penduduk dan pendapatan
rata-rata yang berkelanjutan dan belum pernah terjadi sebelumnya. Selama dua abad setelah Revolusi Industri, rata-
rata pendapatan perkapita negara-negara di dunia meningkat lebih dari enam kali lipat. Seperti yang dinyatakan oleh
pemenang Hadiah Nobel, Robert Emerson Lucas, bahwa: "Untuk pertama kalinya dalam sejarah, standar hidup
rakyat biasa mengalami pertumbuhan yang berkelanjutan. Perilaku ekonomi yang seperti ini tidak pernah terjadi
sebelumnya". [1]

Inggris memberikan landasan hukum dan budaya yang memungkinkan para pengusaha untuk merintis terjadinya
Revolusi Industri.  Faktor kunci yang turut mendukung terjadinya Revolusi Industri antara lain: (1) Masa perdamaian
[2]

dan stabilitas yang diikuti dengan penyatuan Inggris dan Skotlandia, (2) tidak ada hambatan dalam perdagangan
antara Inggris dan Skotlandia, (3) aturan hukum (menghormati kesucian kontrak), (4) sistem hukum yang sederhana
yang memungkinkan pembentukan saham gabungan perusahaan (korporasi), dan (5) adanya pasar bebas
(kapitalisme).
[3]

Revolusi Industri dimulai pada akhir abad ke-18, di mana terjadinya peralihan dalam penggunaan tenaga kerja di
Inggris yang sebelumnya menggunakan tenaga hewan dan manusia, yang kemudian digantikan oleh penggunaan
mesin yang berbasis menufaktur. Periode awal dimulai dengan dilakukannya mekanisasi terhadap industri tekstil,
pengembangan teknik pembuatan besi dan peningkatan penggunaan batubara. Ekspansi perdagangan turut
dikembangkan dengan dibangunnya terusan, perbaikan jalan raya dan rel kereta api.  Adanya peralihan dari
[4]

perekonomian yang berbasis pertanian ke perekonomian yang berbasis manufaktur menyebabkan terjadinya
perpindahan penduduk besar-besaran dari desa ke kota, dan pada akhirnya menyebabkan membengkaknya
populasi di kota-kota besar di Inggris.
[5]

Awal mula Revolusi Industri tidak jelas, tetapi T.S. Ashton menulisnya kira-kira 1760-1830. Tidak ada titik pemisah
dengan Revolusi Industri II pada sekitar tahun 1850, ketika kemajuan teknologi dan ekonomi mendapatkan
momentum dengan perkembangan kapal tenaga-uap, rel, dan kemudian di akhir abad tersebut perkembangan mesin
pembakaran dalam dan perkembangan pembangkit tenaga listrik.
Faktor yang melatarbelakangi terjadinya Revolusi Industri adalah terjadinya revolusi ilmu pengetahuan pada abad ke
16 dengan munculnya para ilmuwan seperti Francis Bacon, René Descartes, Galileo Galilei serta adanya
pengembangan riset dan penelitian dengan pendirian lembaga riset seperti The Royal Improving Knowledge, The
Royal Society of England, dan The French Academy of Science. Adapula faktor dari dalam seperti ketahanan politik
dalam negeri, perkembangan kegiatan wiraswasta, jajahan Inggris yang luas dan kaya akan sumber daya alam.
Istilah "Revolusi Industri" sendiri diperkenalkan oleh Friedrich Engels dan Louis-Auguste Blanqui di pertengahan
abad ke-19. Beberapa sejarawan abad ke-20 seperti John Clapham dan Nicholas Crafts berpendapat bahwa proses
perubahan ekonomi dan sosial yang terjadi secara bertahap dan revolusi jangka panjang adalah sebuah ironi. [6]

 Produk domestik bruto (PDB) per kapita negara-negara di dunia meningkat setelah Revolusi Industri dan
[7]

memunculkan sistem ekonomi kapitalis modern.  Revolusi Industri menandai dimulainya era pertumbuhan


[8]

pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi kapitalis.  Revolusi Industri dianggap sebagai peristiwa paling
[9]

penting yang pernah terjadi dalam sejarah kemanusiaan sejak domestikasi hewan dan tumbuhan pada
masa Neolitikum. [10]

Etimologi]
Awal mula penggunaan istilah "Revolusi Industri" ditemukan dalam surat oleh seorang utusan
dari Paris bernama Louis-Guillaume Otto pada tanggal 6 Juli 1799, yang mana di saat itu dia menuliskan bahwa
Prancis telah memasuki era industrialise..  Dalam buku terbitan tahun 1976 yang berjudul: Keywords: A Vocabulary
[11]

of Culture and Society, Raymond Williams menyatakan bahwa kata itu sebagai sebutan untuk istilah "industri".
Revolusi Industri adalah perubahan besar, secara cepat, dan juga radikal yang memengaruhi kehidupan corak
manusia sering disebut revolusi. Istilah revolusi biasanya digunakan dalam melihat perubahan politik atau sistem
pemerintahan. Namun, Revolusi Industri di Inggris pada hakikatnya adalah perubahan dalam cara
pembuatan barang-barang yang semula dikerjakan dengan tangan (tenaga manusia) kemudian digantikan dengan
tenaga mesin. Dengan demikian, barang-barang dapat dihasilkan dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif
singkat.

Latar belakang[sunting | sunting sumber]


Revolusi Industri untuk kali pertamanya muncul di Inggris. Adapun faktor-faktor yang menyebabkannya adalah
sebagai berikut:

 Situasi politik yang stabil. Adanya Revolusi Agung tahun 1688 yang mengharuskan raja bersumpah setia
kepada Bill of Right sehingga raja tunduk kepada undang-undang dan hanya menarik pajak berdasarkan atas
persetujuan parlemen.
 Inggris kaya bahan tambang, seperti batu bara, biji besi, timah, dan kaolin. Di samping itu, wol juga sangat
menunjang industri tekstil.
 Adanya penemuan baru di bidang teknologi yang dapat mempermudah cara kerja dan meningkatkan hasil
produksi, misalnya alat-alat pemintal, mesin tenun, mesin uap, dan sebagainya.
 Kemakmuran Inggris akibat majunya pelayaran dan perdagangan sehingga dapat menyediakan modal yang
besar untuk bidang usaha. Di samping itu, di Inggris juga tersedia bahan mentah yang cukup karena Inggris
mempunyai banyak daerah jajahan yang menghasilkan bahan mentah tersebut.
 Pemerintah memberikan perlindungan hukum terhadap hasil-hasil penemuan baru (hak paten) sehingga
mendorong kegiatan penelitian ilmiah. Lebih-lebih setelah dibentuknya lembaga ilmiah Royal Society for
Improving Natural Knowledge maka perkembangan teknologi dan industri bertambah maju.
 Arus urbanisasi yang besar akibat Revolusi Agraria di pedesaan mendorong pemerintah Inggris untuk
membuka industri yang lebih banyak agar dapat menampung mereka.

Perkembangan[sunting | sunting sumber]
Pada akhir abad Pertengahan kota-kota di Eropa berkembang sebagai pusat kerajinan dan perdagangan. Warga
kota (kaum Borjuis) yang merupakan warga berjiwa bebas menjadi tulang punggung perekonomian kota. Mereka
bersaing secara bebas untuk kemajuan dalam perekonomian. Pertumbuhan kerajinan menjadi industri melalui
beberapa tahapan, seperti berikut.
Sistem Domestik
Tahap ini dapat disebut sebagai tahap kerajinan rumah (home industry). Para pekerja bekerja di rumah masing-
masing dengan alat yang mereka miliki sendiri. Bahkan, kerajinan diperoleh dari pengusaha yang setelah selesai
dikerjakan disetorkan kepadanya. Upah diperoleh berdasarkan jumlah barang yang dikerjakan. Dengan cara kerja
yang demikian, majikan yang memiliki usaha hanya membayar tenaga kerja atas dasar prestasi atau hasil. Para
majikan tidak direpotkan soal tempat kerja dan gaji.
Manufaktur
Setelah kerajinan industri makin berkembang diperlukan tempat khusus untuk bekerja agar majikan dapat
mengawasi dengan baik cara mengerjakan dan mutu produksinya. Sebuah manufaktur (pabrik) dengan puluhan
tenaga kerja didirikan dan biasanya berada di bagian belakang rumah majikan. Rumah bagian tengah untuk tempat
tinggal dan bagian depan sebagai toko untuk menjual produknya. Hubungan majikan dengan pekerja (buruh) lebih
akrab karena tempat kerjanya jadi satu dan jumlah buruhnya masih sedikit. Barang-barang yang dibuat kadang-
kadang juga masih berdasarkan pesanan.
Sistem pabrik
Tahap sistem pabrik sudah merupakan industri yang menggunakan mesin. Tempatnya di daerah industri yang telah
ditentukan, bisa di dalam atau di luar kota. Tempat tersebut untuk tempat kerja, sedangkan majikan tinggal di tempat
lain. Demikian juga toko tempat pemasaran hasil industri diadakah di tempat lain. Jumlah tenaganya kerjanya
(buruhnya) sudah puluhan, bahkan ratusan. Barang-barang produksinya dibuat untuk dipasarkan.
Berbagai jenis penemuan[sunting | sunting sumber]
Adanya penemuan teknologi baru, besar peranannya dalam proses industrialisasi sebab teknologi baru dapat
mempermudah dan mempercepat kerja industri, melipatgandakan hasil, dan menghemat biaya. Penemuan-
penemuan yang penting, antara lain sebagai berikut.

 Kumparan terbang (flying shuttle) ciptaan John Kay (1733). Dengan alat ini proses pemintalan dapat
berjalan secara cepat.
 Mesin pemintal benang (spinning jenny) ciptaan James Hargreves (1767) dan Richard Arkwright (1769).
Dengan alat ini hasilnya berlipat ganda.
 Mesin tenun (merupakan penyempurnaan dari kumparan terbang) ciptaan Edmund Cartwight (1785).
Dengan alat ini hasilnya berlipat ganda.
 Cottongin, alat pemisah biji kapas dari serabutnya ciptaan Whitney (1794). Dengan alat ini maka kebutuhan
kapas bersih dalam jumlah yang besar dapat tercukupi.
 Cap selinder ciptaan Thomas Bell (1785). Dengan alat ini kain putih dapat dilukis pola kembang 200 kali
lebih cepat jika dibandingkan dengan pola cap balok dengan tenaga manusia.
 Mesin uap, ciptaan James Watt (1769). Dari mesin uap ini dapat diciptakan berbagai peralatan besar yang
menakjubkan, seperti lokomotif ciptaan Richard Trevethiek (1804) yang kemudian disempurnakan oleh George
Stepenson menjadi kereta api penumpang. Kapal perang yang digerakkan dengan mesin uap diciptakan
olehRobert Fulton (1814). Mesin uap merupakan inti dari Revolusi Industri sehingga James Watt sering
dianggap sebagai Bapak Revolusi Industri I'. Penemuan-penemuan baru selanjutnya, semakin lengkap dan
menyempurnakan. Hal ini merupakan hasil Revolusi Industri II dan III, seperti mobil, pesawat terbang, industri
kimia dan sebagainya.
Selain itu, Revolusi Industri merupakan masa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menimbulkan
penemuan-penemuan baru, seperti berikut:

 Tahun 1750: Abraham Darby menggunakan batu bara (cokes) untuk melelehkan besi untuk mendapatkan
nilai besi yang lebih sempurna.
 Tahun 1800: Alessandro Volta penemu pertama baterai
 Tahun 1802: Symington menemukan kapal kincir.
 Tahun 1807: Robert Fulton membuat kapal api yang telah menggunakan baling-baling yang dapat
menggerakkan kapal. Kapal itu diberi nama Clermont yang mengarungi Lautan Atlantik pertama kali. Kapal ini
berangkat dari Paris dan berlabuh di New York. Selanjutnya, Robert Fulton berhasil membuat kapal perang
pertama (1814) yang telah digerakkan oleh mesin uap.
 Tahun 1804: Richard Trevethick membuat kereta uap
 Tahun 1832: Samuel Morse membuat telegraf.
 Tahun 1872: Alexander Graham Bell membuat pesawat telepon.
 Tahun 1887: Daimler membuat mobil.
 Tahun 1903: Wilbur Wright dan Orville Wright membuat pesawat terbang

Dampak[sunting | sunting sumber]
Revolusi Industri mengubah Inggris menjadi negara industri yang maju dan modern. Di Inggris muncul pusat-pusat
industri, seperti Lancashire, Manchester, Liverpool, dan Birmingham. Seperti halnya revolusi yang lain, Revolusi
Industri juga membawa akibat yang lebih luas dalam bidang ekonomi, sosial dan politik, baik di negeri Inggris sendiri
maupun di negara-negara lain.

Akibat di bidang ekonomi[sunting | sunting sumber]


Barang melimpah dan harga murah
Revolusi Industri telah menimbulkan peningkatan usaha industri dan pabrik secara besar-besaran melalui proses
mekanisasi. Dengan demikian, dalam waktu singkat dapat menghasilkan barang-barang yang melimpah. Produksi
barang menjadi berlipat ganda sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang lebih luas. Akibat pembuatan
barang menjadi cepat, mudah, serta dalam jumlah yang banyak sehingga harga menjadi lebih murah.
Perusahaan kecil gulung tikar
Dengan penggunaan mesin-mesin maka biaya produksi menjadi relatif kecil sehingga harga barang-barang pun
relatif lebih murah. Hal ini membawa akibat perusahaan tradisional terancam dan gulung tikar karena tidak mampu
bersaing.
Perdagangan makin berkembang
Berkat peralatan komunikasi yang modern, cepat dan murah, produksi lokal berubah menjadi produksi internasional.
Pelayaran dan perdagangan internasional makin berkembang pesat.
Transportasi semakin lancar
Adanya penemuan di berbagai sarana dan prasarana transportasi yang makin sempurna dan lancar. Dengan
demikian, dinamika kehidupan masyarakat makin meningkat.

Akibat di bidang sosial[sunting | sunting sumber]


Berkembangnya urbanisasi
Berkembangnya industrialisasi telah memunculkan kota-kota dan pusat-pusat keramaian yang baru. Karena kota
dengan kegiatan industrinya menjanjikan kehidupan yang lebih layak maka banyak petani desa pergi ke kota untuk
mendapatkan pekerjaan. Hal ini mengakibatkan terabaikannya usaha kegiatan pertanian.
Upah buruh rendah
Akibat makin meningkatnya arus urbanisasi ke kota-kota industri maka jumlah tenaga kerja makin melimpah.
Sementara itu, pabrik-pabrik banyak yang menggunakan tenaga mesin. Dengan demikian, upah tenaga kerja
menjadi murah. Selain itu, jaminan sosial pun berkurang sehingga kehidupan mereka menjadi susah. Bahkan para
pengusaha banyak memilih tenaga buruh wanita dan anak-anak yang upahnya lebih murah.
Munculnya golongan pengusaha dan golongan buruh
Di dalam kegiatan industrialisasi dikenal adanya kelompok pekerja (buruh) dan kelompok pengusaha (majikan) yang
memiliki industri atau pabrik. Dengan demikian, dalam masyarakat timbul golongan baru, yakni golongan pengusaha
(kaum kapitalis) yang hidup penuh kemewahan dan golongan buruh yang hidup dalam kemiskinan.
Adanya kesenjangan antara majikan dan buruh
Dengan munculnya golongan pengusaha yang hidup mewah di satu pihak, sementara terdapat golongan buruh yang
hidup menderita di pihak lain, maka hal itu menimbulkan kesenjangan antara pengusaha dan buruh. Kondisi seperti
itu sering menimbulkan ketegangan-ketegangan yang diikuti dengan pemogokan kerja untuk menuntut perbaikan
nasib. Hal ini menimbulkan kebencian terhadap sistem ekonomi kapitalis, sehingga kaum buruh condong kepada
paham sosialis.
Munculnya revolusi sosial
Pada tahun 1820-an terjadi huru hara yang ditimbulkan oleh penduduk kota yang miskin dengan didukung oleh kaum
buruh. Gerakan sosial ini menuntut adanya perbaikan nasib rakyat dan buruh. Akibatnya, pemerintah mengeluarkan
undang-undang yang menjamin perbaikan nasib kaum buruh dan orang miskin. Undang-undang tersebut, antara lain
sebagai berikut:

1. Tahun 1832 dikeluarkan Reform Bill atau Undang-Undang Pembaharuan Pemilihan. Menurut undang-


undang ini, kaum buruh mendapatkan hak-hak perwakilan di dalam parlemen.
2. Tahun 1833 dikeluarkan Factory Act atau Undang-Undang Pabrik. Menurut undang-undang ini, kaum buruh
mendapatkan jaminan sosial. Di samping itu, undang-undang juga berisi larangan pengunaan tenaga kerja
anak-anak dan wanita di daerah tambang di bawah tanah.
3. Tahun 1834 dikeluarkan Poor Law Act atau Undang-Undang Fakir Miskin. Oleh karena itu, didirikan pusat-
pusat penampungan dan perawatan para fakir miskin sehingga tidak berkeliaran.
4. Makin kuatnya sifat individualisme dan menipisnya rasa solidaritas. Dengan adanya Revolusi Industri sifat
individualitas makin kuat karena terpengaruh oleh sistem ekonomi industri yang serba uang. Sebaliknya,
makin menipisnya rasa solidaritas dan kekeluargaan.
Akibat di bidang politik[sunting | sunting sumber]
Munculnya gerakan sosialis
Kaum buruh yang diperlakukan tidak adil oleh kaum pengusaha mulai bergerak menyusun kekuatan untuk
memperbaiki nasib mereka. Mereka kemudian membentuk organisasi yang lazim disebut gerakan sosialis. Gerakan
sosialis dimotivasi oleh pemikiran Thomas Marus yang menulis buku Otopia. Tokoh yang paling populer di dalam
pemikiran dan penggerak paham sosialis adalah Karl Marx dengan bukunya Das Kapital.
Munculnya partai politik
Dalam upaya memperjuangkan nasibnya maka kaum buruh terus menggalang persatuan. Apalagi dengan makin
kuatnya kedudukan kaum buruh di parlemen mendorong dibentuknya suatu wadah perjuangan politik, yakni Partai
Buruh. Partai ini berhaluan sosialis. Di pihak pengusaha menggabungkan diri ke dalam Partai Liberal.
Munculnya imperialisme modern
Kaum pengusaha/kapitalis umumnya mempunyai pengaruh yang kuat dalam pemerintahan untuk melakukan
imperialisme demi kelangsungan industrialisasinya. Dengan demikian, lahirlah imperialisme modern, yaitu perluasan
daerah-daerah sebagai tempat pemasaran hasil industri, mencari bahan mentah, penanaman modal yang surplus,
dan tempat mendapatkan tenaga buruh yang murah. Dalam hal ini, Inggris yang menjadi pelopornya.

Pengaruh Revolusi Industri terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan politik di


Indonesia[sunting | sunting sumber]
Revolusi Industri yang terjadi di Eropa dan Inggris khususnya membawa dampak di bidang sosial, ekonomi, dan
politik. Di bidang sosial munculnya golongan buruh yang hidup menderita dan berusaha berjuang untuk memperbaiki
nasib. Gerakan kaum buruh inilah yang kemudian melahirkan gerakan sosialis yang menjadi lawan dari kapitalis.
Bahkan kaum buruh akhirnya bersatu dalam suatu wadah organisasi, yakni Partai Buruh. Di bidang ekonomi,
perdagangan makin berkembang. Perdagangan lokal berubah menjadi perdagangan regional dan internasional.
Sebaliknya, di bidang politik, Revolusi Industri melahirkan imperialisme modern.

Perubahan di bidang politik[sunting | sunting sumber]


Sejak VOC dibubarkan pada tahun 1799, Indonesia diserahkan kembali kepada pemerintahan Kerajaan Belanda.
Pindahnya kekuasaan pemerintahan dari VOC ke tangan pemerintah Belanda tidak berarti dengan sendirinya
membawa perbaikan. Kemerosotan moral di kalangan para penguasa dan penderitaan penduduk jajahan tidak
berubah. Usaha perbaikan bagi penduduk tanah jajahan tidak dapat dilaksanakan karena Negeri Belanda sendiri
terseret dalam perang dengan negara-negara besar tetangganya. Hal ini terjadi karena Negeri Belanda pada waktu
itu diperintah oleh pemerintah boneka dari Kerajaan Prancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte. Dalam situasi
yang demikian, Inggris dapat memperluas daerah kekuasaannya dengan merebut jajahan Belanda, yaitu Indonesia.
Hindia Belanda di bawah Daendels (1808–1811)[sunting | sunting sumber]
Dalam usaha mengadakan pembaharuan pemerintahan di tanah jajahan, di Negeri Belanda ada dua golongan yang
mengusulkannya.

 Golongan Konservatif dengan tokohnya Nenenberg yang menginginkan untuk mempertahankan sistem
politik dan ekonomi seperti yang dilakukan oleh VOC.
 Golongan Liberal dengan tokohnya Dirk van Hogendorp yang menghendaki agar pemerintah Hindia
Belanda menjalankan sistem pemerintahan langsung dan menggunakan sistem pajak. Sistem penyerahan
paksa yang dilakukan oleh VOC agar digantikan dengan sistem penyerahan pajak.
Di satu pihak pemerintah condong kepada pemikiran kaum konservatif karena kebijaksanaannya akan
mendatangkan keuntungan yang cepat dan mudah dilaksanakan. Di pihak lain, pemerintah juga ingin menjalankan
pembaharuan yang dikemukakan oleh kaum Liberal. Gagasan pembaharuan pemerintahan kolonial dimulai
semenjak pemerintahan Daendels. Sebagai gubernur jenderal pemerintahan Belanda di Indonesia, Daendels banyak
melakukan langkah-langkah baru dalam pemerintahan. Daendels mengadakan perombakan pemerintahan secara
radikal, yakni meletakkan dasar-dasar pemerintahan menurut sistem Barat. Langkah- langkah tersebut, antara lain:

 Pemerintahan kolonial dipusatkan di Batavia dan berada di tangan gubernur jenderal.


 Pulau Jawa dibagi menjadi sembilan prefecture. Hal ini untuk mempermudah administrasi pemerintahan.
 Para bupati dijadikan pegawai pemerintah Belanda di bawah pemerintahan prefect.
 Mengadakan pemberantasan korupsi dan penyelewengan dalam pungutan (contingenten) dan kerja paksa.
 Kesultanan Banten dan Cirebon dijadikan daerah pemerintah Belanda yang disebut
pemerintah gubernemen.
 Berbagai upacara di istana Surakarta dan Yogyakarta disederhanakan.
Pada awal pemerintahannya, Daendels menentang sistem kerja paksa dan merombak sistem feodal. Akan tetapi,
tugas untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris menyebabkan Daendels terpaksa harus
mengadakan penyerahan kerja paksa secara besar-besaran (dengan menggunakan pengaruh penguasa pribumi)
untuk membangun jalan-jalan dan benteng-benteng pertahanan. Demikian juga karena kas negara kosong
menyebabkan ditempuhnya cara-cara lama untuk mengisi kas negara. Dengan demikian, kehidupan rakyat pribumi
tetap menderita. Ketika akhirnya Inggris menyerbu Pulau Jawa, Daendels sudah dipanggil kembali ke Eropa.
Penggantinya tidak mampu menahan serangan Inggris dan terpaksa menyerah. Dengan demikian, Indonesia berada
di bawah kekuasaan Inggris.
Masa pemerintahan Raffles (1811–1816)[sunting | sunting sumber]
Setelah Indonesia (khususnya Pulau Jawa) jatuh ke tangan Inggris, oleh pemerintah Inggris dijadikan bagian dari
jajahannya di India. Gubernur Jenderal East India Company (EIC), Lord Minto yang berkedudukan di Calcuta (India)
kemudian mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai wakil gubernur untuk Indonesia (Jawa). Raffles didampingi
oleh suatu badan panasihat yang disebut Advisory Council. Tugas yang utama adalah mengatur pemerintahan dan
meningkatkan perdagangan, serta keuangan. Sebagai seorang yang beraliran liberal, Raffles menginginkan adanya
perubahan-perubahan dalam pemerintahan di Indonesia (Jawa). Selain bidang pemerintahan, ia juga melakukan
perubahan di bidang ekonomi. Ia hendak melaksanakan kebijaksaaan ekonomi yang didasarkan pada dasar-dasar
kebebasan sesuai dengan ajaran liberal. Langkah-langkah yang diambil oleh Raffles dalam bidang pemerintahan
dan ekonomi adalah sebagai berikut.

 Mengadakan penggantian sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguasa pribumi dengan
sistem pemerintahan kolonial ala barat. Untuk memudahkan sistem administrasi pemerintahan, Pulau Jawa
dibagi menjadi delapan belas karesidenan.
 Para bupati dijadikan pegawai pemerintah sehingga mereka mendapat gaji dan bukan lagi memiliki tanah
dengan segala hasilnya. Dengan demikian, mereka bukan lagi sebagai penguasa daerah, melainkan sebagai
pegawai yang menjalankan tugas atas perintah dari atasannya.
 Menghapus segala bentuk penyerahan wajib dan kerja paksa atau rodi. Rakyat diberi kebebasan untuk
menanam tanaman yang dianggap menguntungkan.
 Raffles menganggap bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik semua tanah yang ada di daerah tanah
jajahan dan para penggarap sawah adalah penyewa tanah pemerintah. Oleh karena itu, para petani mempunyai
kewajiban membayar sewa tanah kepada pemerintah. Sewa tanah atau landrente ini harus diserahkan sebagai
suatu pajak atas pemakaian tanah pemerintah oleh penduduk. Sistem sewa tanah semacam itu oleh pemerintah
Inggris dijadikan pegangan dalam menjalankan kebijaksanaan ekonominya selama berkuasa di Indonesia.
Sistem ini kemudian juga diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda setelah Indonesia diserahkan kembali
kepada Belanda.
Perubahan di Bidang Sosial Ekonomi[sunting | sunting sumber]
Sejak awal abad ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai peperangan
baik di Negeri Belanda sendiri (pemberontakan rakyat Belgia), maupun di Indonesia (terutama perlawanan
Diponegoro) sehingga Negeri Belanda harus menanggung hutang yang sangat besar. Untuk menyelamatkan Negeri
Belanda dari bahaya kebrangkrutan maka Johanes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia
dengan tugas pokok menggali dana semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas negara, membayar hutang,
dan membiayai perang. Untuk melaksanakan tugas berat itu, van den Bosch memusatkan kebijaksanaannya pada
peningkatan produksi tanaman ekspor. Untuk itu, yang perlu dilakukan ialah mengerahkan tenaga rakyat tanah
jajahan untuk melakukan penanaman tanaman yang hasilnya laku di pasaran dunia dan dilakukan dengan sistem
paksa. Setelah tiba di Indonesia (1830) van den Bosch menyusun program kerja sebagai berikut.

 Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak banyak dan pelaksanaannya
sulit.
 Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenis-jenis tanaman yang sudah ditentukan
oleh pemerintah.
 Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil tanamannya kepada pemerintah
Belanda.
Apa yang dilakukan oleh van den Bosch itulah yang kemudian dikenal dengan nama sistem tanam paksa atau
cultuur stelsel. Sistem tanam paksa yang diajukan oleh van den Bosch pada dasarnya merupakan gabungan dari
sistem tanam wajib (VOC) dan sistem pajak tanah (Raffles). Pelaksanaan sistem tanam paksa banyak menyimpang
dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan eskploitasi agraria semaksimal mungkin.
Akibat Tanam Paksa Bagi Indonesia (Khususnya Jawa)[sunting | sunting sumber]

1. Sawah ladang menjadi terbengkalai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga
penghasilan menurun drastis.
2. Beban rakyat semakin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, membayar
pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila gagal panen.
3. Akibat bermacam-macam beban menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
4. Timbulnya bahaya kemiskinan yang makin berat.
5. Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit di mana-mana sehingga angka kematian meningkat
drastis.
Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843), Demak (1849) dan
Grobogan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun drastis. Penyakit busung
lapar (hongorudim) juga berkembang di mana-mana.

Akibat Tanam Paksa Bagi Belanda[sunting | sunting sumber]


Apabila sistem tanam paksa telah menimbulkan malapetaka bagi bangsa Indonesia, sebaliknya bagi bangsa Belanda
berdampak sebagai berikut.

1. Mendatangkan keuntungan dan kemakmuran rakyat Belanda.


2. Hutang-hutang Belanda dapat terlunasi.
3. Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
4. Kas Negeri Belanda yang semula kosong, dapat terpenuhi.
5. Berhasil membangun Amsterdam menjadi kota pusat perdagangan dunia.
6. Perdagangan berkembang pesat.
Sistem tanam paksa yang mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia, khusunya Jawa, menimbulkan reaksi
dari berbagai pihak, seperti golongan pengusaha, Baron Van Hoevel, dan Edward Douwes Dekker. Akibat adanya
reaksi tersebut, pemerintah Belanda secara berangsur-angsur menghapuskan sistem tanam paksa. Sesudah tahun
1850, kaum Liberal memperoleh kemenangan politik di Negeri Belanda. Mereka juga ingin menerapkan asas-asas
liberalisme di tanah jajahan. Dalam hal ini kaum Liberal berpendapat bahwa pemerintah semestinya tidak ikut
campur tangan dalam masalah ekonomi, tugas ekonomi haruslah diserahkan kepada orang-orang swasta, dan agar
kaum swasta dapat menjalankan tugasnya maka harus diberi kebebasan berusaha. Sesuai dengan tuntutan kaum
Liberal maka pemerintah kolonial segera memberikan peluang kepada usaha dan modal swasta untuk menanamkan
modal mereka dalam berbagai usaha di Indonesia, terutama perkebunan-pekebunan di Jawa dan di luar Jawa.
Selama periode tahun 1870–1900 Indonesia terbuka bagi modal swasta Barat. Oleh karena itu masa ini sering
disebut zaman Liberal. Selama masa ini kaum swasta Barat membuka perkebunan-perkebunan
seperti, kopi, teh, gula dan kina yang cukup besar di Jawa dan Sumatra Timur. Selama zaman Liberal (1870–1900),
usaha-usaha perkebunan swasta Barat mengalami kemajuan pesat dan mendatangkan keuntungan yang besar bagi
pengusaha. Kekayaan alam Indonesia mengalir ke Negeri Belanda. Akan tetapi, bagi penduduk pribumi, khususnya
di Jawa telah membawa kemerosotan kehidupan, dan kemunduran tingkat kesejahteraan. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, seperti berikut.

1. Adanya pertumbuhan penduduk yang meningkat pada abad ke-19, sementara itu jumlah produksi pertanian
menurun.
2. Adanya sistem tanam paksa dan kerja rodi yang banyak menimbulkan penyelewengan dan penyalahgunaan
dari pihak pengusaha sehingga membawa korban bagi penduduk.
3. Dalam mengurusi pemerintahan di daerah luar Jawa, pemerintah Belanda mengerahkan beban keuangan
dari daerah Jawa sehingga secara tidak langsung Jawa harus menanggung beban keuangan.
4. Adanya sistem perpajakan yang sangat memberatkan penduduk.
Adanya krisis perkebunan pada tahun 1885 yang mengakibatkan perusahaan- perusahaan mengadakan
penghematan, seperti menekan uang sewa tanah dan upah kerja baik di pabrik maupun perkebunan. Pada akhir
abad ke-19 muncullah kritik-kritik tajam yang ditujukan kepada pemerintah Hindia Belanda dan praktik liberalisme
yang gagal memperbaiki nasib kehidupan rakyat Indonesia. Para pengkritik itu menganjurkan untuk memperbaiki
rakyat Indonesia. Kebijaksanaan ini didasarkan atas anjuran Mr. C. Th. van Deventer yang menuliskan buah
pikirannya dalam majalah De Gids (Perinstis/Pelopor) dengan judul Een Ereschuld (Berhutang Budi) sehingga
dikenal politik etis atau politik balas budi. Gagasan van Deventer terkenal dengan nama Trilogi van Deventer.
REVOLUSI PERANCIS

Revolusi Prancis (bahasa Prancis: Révolution française; 1789–1799), adalah suatu periode


sosial radikal dan pergolakan politik di Prancis yang memiliki dampak abadi terhadap sejarah Prancis,
dan lebih luas lagi, terhadap Eropa secara keseluruhan. Monarki absolut yang telah memerintah Prancis
selama berabad-abad runtuh dalam waktu tiga tahun. Rakyat Prancis mengalami transformasi sosial
politik yang epik; feodalisme, aristokrasi, dan monarki mutlak diruntuhkan oleh kelompok politik
radikal sayap kiri, oleh massa di jalan-jalan, dan oleh masyarakat petani di perdesaan.[1] Ide-ide lama
yang berhubungan dengan tradisi dan hierarki monarki, aristokrat, dan Gereja Katolik digulingkan secara
tiba-tiba dan digantikan oleh prinsip-prinsip baru; Liberté, égalité, fraternité (kebebasan, persamaan, dan
persaudaraan). Ketakutan terhadap penggulingan menyebar pada monarki lainnya di seluruh Eropa,
yang berupaya mengembalikan tradisi-tradisi monarki lama untuk mencegah pemberontakan rakyat.
Pertentangan antara pendukung dan penentang Revolusi terus terjadi selama dua abad berikutnya.
Di tengah-tengah krisis keuangan yang melanda Prancis, Louis XVI naik takhta pada tahun 1774.
Pemerintahan Louis XVI yang tidak kompeten semakin menambah kebencian rakyat terhadap monarki.
Didorong oleh sedang berkembangnya ide Pencerahan dan sentimen radikal, Revolusi Prancis pun
dimulai pada tahun 1789 dengan diadakannya pertemuan Etats-Généraux pada bulan Mei. Tahun-tahun
pertama Revolusi Prancis diawali dengan diproklamirkannya Sumpah Lapangan Tenis pada bulan Juni
oleh Etats Ketiga, diikuti dengan serangan terhadap Bastille pada bulan Juli, Deklarasi Hak Asasi
Manusia dan Warga Negara pada bulan Agustus, dan mars kaum wanita di Versailles yang memaksa
istana kerajaan pindah kembali ke Paris pada bulan Oktober. Beberapa tahun kedepannya, Revolusi
Prancis didominasi oleh perjuangan kaum liberal dan sayap kiri pendukung monarki yang berupaya
menggagalkan reformasi.
Sebuah negara republik didirikan pada bulan Desember 1792 dan Raja Louis XVI dieksekusi setahun
kemudian. Perang Revolusi Prancis dimulai pada tahun 1792 dan berakhir dengan kemenangan Prancis
secara spektakuler. Prancis berhasil menaklukkan Semenanjung Italia, Negara-Negara Rendah, dan
sebagian besar wilayah di sebelah barat Rhine – prestasi terbesar Prancis selama berabad-abad.
Secara internal, sentimen radikal Revolusi berpuncak pada naiknya kekuasaan Maximilien
Robespierre, Jacobin, dan kediktatoran virtual oleh Komite Keamanan Publik selama Pemerintahan
Teror dari tahun 1793 hingga 1794. Selama periode ini, antara 16.000 hingga 40.000 rakyat Prancis
tewas.[2] Setelah jatuhnya Jacobin dan pengeksekusian Robespierre, Direktori mengambilalih kendali
negara pada 1795 hingga 1799, lalu ia digantikan oleh Konsulat di bawah pimpinan Napoleon
Bonaparte pada tahun 1799.
Revolusi Prancis telah menimbulkan dampak yang mendalam terhadap perkembangan sejarah Modern.
Pertumbuhan republik dan demokrasi liberal, menyebarnya sekularisme, perkembangan ideologi modern,
dan penemuan gagasan perang total adalah beberapa warisan Revolusi Prancis.[3] Peristiwa berikutnya
yang juga terkait dengan Revolusi ini adalah Perang Napoleon, dua peristiwa restorasi monarki
terpisah; Restorasi Bourbon dan Monarki Juli, serta dua revolusi lainnya pada tahun 1834 dan 1848 yang
melahirkan Prancis modern.

Penyebab[sunting | sunting sumber]
Artikel utama:  Penyebab Revolusi Prancis
Pemerintah Prancis menghadapi krisis keuangan pada tahun 1780-an, dan Louis XVI dikritik karena tidak mampu menangani

masalah ini.

Sebagian besar sejarawan berpendapat bahwa sebab utama Revolusi Prancis adalah ketidakpuasan


terhadap Ancien Régime. Lebih khusus, para sejarawan juga menekankan adanya konflik kelas dari
perspektif Marxis; hal yang umum terjadi pada akhir abad ke-19. Perekonomian yang tidak sehat, panen
yang buruk, kenaikan harga pangan, dan sistem transportasi yang tidak memadai adalah hal-hal yang
memicu kebencian rakyat terhadap pemerintah. Rentetan peristiwa yang mengarah ke revolusi dipicu
oleh kebangkrutan pemerintah karena sistem pajak yang buruk dan utang yang besar akibat keterlibatan
Prancis dalam berbagai perang besar. Upaya Prancis dalam menantang Inggris – kekuatan militer utama
di dunia pada saat itu – dalam Perang Tujuh Tahun berakhir dengan bencana, menyebabkan hilangnya
jajahan Prancis di Amerika Utara dan hancurnya Angkatan Laut Prancis. Tentara Prancis dibangun
kembali dan kemudian berhasil menang dalam Perang Revolusi Amerika, tetapi perang ini sangat mahal
dan secara khusus tidak menghasilkan keuntungan yang nyata bagi Prancis. Sistem keuangan Prancis
terpuruk dan kerajaan tidak mampu menangani utang negara yang besar. Karena dihadapkan pada krisis
keuangan ini, raja lalu memanggil Majelis Bangsawan pada tahun 1787, pertama kalinya selama lebih
dari satu abad.
Sementara itu, keluarga kerajaan hidup nyaman di Versailles dan terkesan acuh tak acuh terhadap krisis
yang semakin meningkat. Meskipun secara teori pemerintahan Raja Louis XVI berbentuk monarki
absolut, tetapi dalam praktiknya ia sering ragu-ragu dan akan mundur jika menghadapi oposisi yang
kuat. Louis XVI memang berusaha mengurangi pengeluaran pemerintah, tetapi lawannya
di parlement berhasil menggagalkan upayanya untuk memberlakukan reformasi yang lebih luas.
Penentang kebijakan Louis semakin banyak dan berupaya menjatuhkan kerajaan dengan berbagai cara,
misalnya dengan membagikan pamflet yang melaporkan informasi palsu dan dilebih-lebihkan untuk
mengkritik pemerintah dan aparatnya, yang semakin memperkuat opini publik dalam melawan monarki.[4]
Faktor lainnya yang dianggap sebagai penyebab Revolusi Prancis adalah kebencian terhadap
pemerintah, yang muncul seiring dengan berkembangnya cita-cita Pencerahan. Ini termasuk kebencian
terhadap absolutisme kerajaan; kebencian oleh masyarakat petani, buruh, dan kaum borjuis terhadap
hak-hak istimewa yang dimiliki oleh kaum bangsawan; kebencian terhadap Gereja Katolik atas
pengaruhnya dalam kebijakan publik dan di lembaga-lembaga negara; keinginan untuk
memperjuangkan kebebasan beragama; kebencian para pendeta perdesaan miskin terhadap uskup
aristokrat; keinginan untuk mewujudkan kesetaraan sosial, politik, ekonomi, serta (khususnya saat
Revolusi berlangsung) republikanisme; kebencian terhadap Ratu Marie Antoinette, yang dituduh sebagai
seorang pemboros dan mata-mata Austria; serta kemarahan terhadap Raja karena memecat bendahara
keuangan Jacques Necker, salah satu orang yang dianggap sebagai wakil rakyat di kerajaan.[5]
Krisis keuangan[sunting | sunting sumber]

Karikatur Etats Ketiga yang membawa Etats Pertama (pendeta) dan Etats Kedua (bangsawan) di punggungnya.

Louis XVI naik takhta menjadi raja Prancis di tengah-tengah krisis keuangan; negara sudah hampir
bangkrut dan pengeluaran negara melebihi pendapatan.[6] Krisis ini terutama sekali disebabkan oleh
keterlibatan Prancis dalam Perang Tujuh Tahun dan Perang Revolusi Amerika.[7] Pada bulan Mei 1776,
menteri keuangan Turgot dipecat setelah ia gagal melaksanakan reformasi keuangan. Setahun
kemudian, seorang warga asing bernama Jacques Necker ditunjuk menjadi Bendahara Keuangan.
Necker tidak bisa menjadi menteri keuangan resmi karena ia adalah seorang Protestan.
Necker menyadari bahwa sistem pajak di Prancis sangat regresif; masyarakat kelas bawah dikenakan
pajak yang lebih besar,[8] sementara kaum bangsawan dan pendeta diberikan banyak pengecualian.
[9]
 Necker beranggapan bahwa pembebasan pajak untuk kaum bangsawan dan pendeta harus dikurangi,
dan mengusulkan untuk meminjam lebih banyak uang agar permasalahan keuangan negara bisa teratasi.
Necker menerbitkan sebuah laporan untuk mendukung anggapannya ini, yang menunjukkan bahwa
defisit negara menembus angka 36 juta livre. Necker juga mengusulkan pembatasan
kekuasaan parlement.[8]
Usulan Necker ini tidak diterima dengan baik oleh para menteri Raja, dan Necker, yang berharap bisa
memperkuat posisinya, berpendapat bahwa ia harus diangkat sebagai menteri, tetapi Raja menolaknya.
Necker dipecat dan Charles Alexandre de Calonne ditunjuk menjadi bendahara yang baru.[8] Calonne
dengan cepat menyadari situasi keuangan negara yang sedang kritis dan mengusulkan
pembentukan kode pajak yang baru.[10]
Usulan Calonne ini termasuk penarikan pajak bumi yang konsisten, yang juga dipungut pada kaum
bangsawan dan pendeta. Karena ditentang oleh parlement, Calonne mengadakan pertemuan
dengan Majelis Bangsawan, berharap mendapat dukungan. Namun bukannya mendukung rencana
Calonne, Majelis malah melemahkan posisi Calonne dengan mengkritiknya. Sebagai tanggapan, untuk
pertama kalinya sejak 1614, Raja memanggil Etats-Généraux pada bulan Mei 1789. Pemanggilan ini
sekaligus menjadi pertanda bahwa monarki Bourbon sedang dalam keadaan lemah dan tunduk pada
tuntutan rakyatnya.[11]

tats-Généraux 1789[sunting | sunting sumber]
Artikel utama:  Etats-Généraux 1789
Etats-Généraux (wakil rakyat dari berbagai golongan) terbagi menjadi tiga golongan (etats): pendeta
(Etats Pertama), kaum bangsawan (Etats Kedua), dan sisanya adalah rakyat biasa Prancis
(Etats Ketiga).[12] Dalam pertemuan terakhir Etats-Généraux pada tahun 1614, masing-masing golongan
memiliki satu suara, dan dua diantaranya bisa membatalkan suara ketiga. Parlement Paris khawatir
bahwa pemerintah akan berusaha meng-gerrymander majelis untuk mencurangi hasil. Oleh sebab itu,
mereka memutuskan bahwa susunan Etats harus sama dengan susunan 1614.[13] Aturan Etats 1614 ini
berbeda dengan praktik pada majelis daerah; di daerah-daerah, masing-masing anggota memiliki satu
suara dan Etats Ketiga memiliki anggota dua kali lipat lebih banyak dari Etats lainnya. Sebagai contoh,
di Dauphiné, majelis provinsi sepakat untuk menggandakan jumlah anggota Etats Ketiga, mengadakan
pemilihan keanggotaan, dan memperbolehkan satu suara per anggota, bukannya satu suara per etats.[14]
Sebelum pertemuan berlangsung, "Komite Tiga Puluh", sebuah kelompok liberal yang beranggotakan
warga Paris, mulai melakukan agitasi terhadap suara etats. Kelompok ini sebagian besarnya terdiri dari
orang-orang kaya, dan mereka berpendapat bahwa sistem suara di Etats-Généraux harus sama dengan
sistem yang berlaku di Dauphiné. Kelompok ini beranggapan bahwa sistem lama sudah tidak efisien
karena "rakyatlah yang berdaulat".[15] Necker lalu menggelar Sidang Kedua Majelis, yang menghasilkan
keputusan penolakan terhadap usulan perwakilan ganda, dengan suara 111-333.[15][16]
Pemilihan diadakan pada musim semi 1789; persyaratan hak pilih untuk Etats Ketiga adalah harus laki-
laki kelahiran Prancis atau naturalisasi, setidaknya berusia 25 tahun, berkediaman di lokasi tempat
pemilihan berlangsung, dan membayar pajak.
Pour être électeur du tiers état, il faut avoir 25 ans, être français ou naturalisé, être domicilié au lieu de
vote et compris au rôle des impositions.[17]
Pemilihan menghasilkan 1.201 delegasi, yang terdiri dari: 291 bangsawan, 300 pendeta, dan 610
anggota Etats Ketiga.[16] Untuk mengarahkan delegasi, "Dokumen Keluhan" (Cahiers de Doléances)
disusun sebagai pengarah yang memuat daftar permasalahan yang dihadapi negara.[12][13][18]
Pamflet yang disebarkan oleh para bangsawan dan pendeta liberal semakin merebak setelah dicabutnya
penyensoran pers.[15] Abbé Sieyès, seorang teoretikus dan pendeta Katolik, berpendapat mengenai
betapa pentingnya keberadaan Etats Ketiga dalam pamflet Qu'est-ce que le tiers état? (bahasa Inggris:
"What is the Third Estate?"), yang diterbitkan pada bulan Januari 1789. Ia menegaskan: "Apa
itu Etats Ketiga? Segalanya. Apa posisinya dalam tatanan politik? Tidak ada. Ia ingin menjadi apa?
Sesuatu."[13][19]

Pertemuan Etats-Généraux pada tanggal 5 Mei 1789 di Versailles.

Etats-Généraux kembali menggelar pertemuan di Grands Salles des Menus-Plaisirs, Versailles, pada


tanggal 5 Mei 1789. Pertemuan ini dibuka dengan pidato tiga jam oleh Necker. Etats Ketiga menuntut
agar verifikasi deputi secara kredensial harus dilakukan bersama oleh semua deputi, bukannya masing-
masing etats memverifikasi anggotanya secara internal; negosiasi dengan etats lainnya gagal
mewujudkan hal ini.[18] Golongan rakyat jelata bersitegang dengan kaum pendeta yang menjawab kalau
mereka membutuhkan lebih banyak waktu untuk memutuskan. Necker pada akhirnya memutuskan
bahwa setiap etats harus memverifikasi anggotanya masing-masing dan "Raja bertindak sebagai
penengah".[20] Namun, negosiasi dengan dua etats lainnya tetap tidak berhasil.[21]
Majelis Nasional (1789)[sunting | sunting sumber]
Artikel utama:  Majelis Nasional (Revolusi Prancis)

Majelis Nasional mengambil Sumpah Lapangan Tenis (sketsa oleh Jacques-Louis David).

Pada 10 Juni 1789, Abbé Sieyès pindah keanggotaan menjadi Etats Ketiga, dan sekarang mengikuti
pertemuan sebagai Communes (Rakyat Biasa). Ia mengajak dua etats lainnya untuk ikut serta, tetapi
ajakannya ini tidak diindahkan.[22] Etats Ketiga yang sekarang menjadi lebih radikal mendeklarasikan diri
sebagai Majelis Nasional, majelis yang bukan berasal dari etats, tetapi dari golongan "Rakyat". Mereka
mengajak yang lainnya untuk bergabung, tetapi menegaskan bahwa "dengan atau tanpa bantuan,
mereka tetap akan mengatasi permasalahan bangsa."[23]
Dalam upayanya untuk tetap mengontrol dan mencegah Majelis mengadakan pertemuan, Louis XVI
memerintahkan penutupan Salle des États, tempat Majelis biasanya mengadakan pertemuan. Di saat
yang bersamaan, cuaca tidak memungkinkan Majelis untuk menggelar pertemuan di luar ruangan,
sehingga Majelis pada akhirnya memindahkan pertemuan mereka ke sebuah lapangan tenis dalam
ruangan. Di tempat ini, mereka mengambil Sumpah Lapangan Tenis pada 20 Juni 1789, yang
menyatakan bahwa Majelis tidak akan berpisah hingga mereka bisa memberikan sebuah konstitusi bagi
Prancis.[24]
Mayoritas perwakilan pendeta segera bergabung dengan Majelis, serta 47 orang dari kaum bangsawan.
Pada tanggal 27 Juni, pihak kerajaan secara terang-terangan telah menunjukkan penentangannya
terhadap Majelis, dan sejumlah besar pasukan militer mulai diterjunkan ke seantero Paris dan Versailles.
Dukungan bagi Majelis juga mengalir dari warga Paris dan dari kota-kota lainnya di Prancis. Pada tanggal
9 Juli, majelis itu disusun kembali menjadi Majelis Konstituante Nasional.[24]

Majelis Konstituante Nasional (1789–1791)[sunting | sunting sumber]


Artikel utama:  Majelis Konstituante Nasional

Penyerbuan Bastille[sunting | sunting sumber]


Artikel utama:  Penyerbuan Bastille

Sementara itu, Necker semakin dimusuhi oleh keluarga kerajaan Prancis karena dianggap memanipulasi
opini publik secara terang-terangan. Ratu Marie Antoinette, adik Raja Comte d'Artois, dan anggota
konservatif lainnya dari dewan privy mendesak Raja agar memecat Necker sebagai penasihat keuangan.
Pada 11 Juli 1789, setelah Necker menerbitkan laporan keuangan pemerintah kepada publik, Raja
memecatnya, dan segera merestrukturisasi kementerian keuangan tidak lama berselang.[25]
Kebanyakan warga Paris menganggap bahwa tindakan Louis secara tak langsung ditujukan pada Majelis
dan segera memulai pemberontakan terbuka setelah mereka mendengar kabar tersebut pada keesokan
harinya. Mereka juga khawatir terhadap banyaknya tentara – kebanyakan tentara asing – yang
ditugaskan untuk menutup Majelis Konstituante Nasional. Dalam sebuah pertemuan di Versailles, Majelis
bersidang secara non-stop untuk berjaga-jaga jika nanti tempat pertemuan digusur secara tiba-tiba. Paris
dengan cepat dipenuhi oleh berbagai kerusuhan, kekacauan, dan penjarahan. Massa juga mendapat
dukungan dari beberapa Garda Prancis yang dipersenjatai dan dilatih sebagai tentara.[26]
Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara, 26 Agustus 1789.

Pada tanggal 14 Juli, para pemberontak mengincar sejumlah besar senjata dan amunisi di benteng dan
penjara Bastille, yang juga dianggap sebagai simbol kekuasaan monarki. Setelah beberapa jam
pertempuran, benteng jatuh ke tangan pemberontak pada sore harinya. Meskipun terjadi gencatan
senjata untuk mencegah pembantaian massal, Gubernur Marquis Bernard de Launay dipukuli, ditusuk,
dan dipenggal, kepalanya diletakkan di ujung tombak dan diarak ke sekeliling kota. Walaupun hanya
menahan tujuh tahanan (empat pencuri, dua bangsawan yang ditahan karena tindakan tak bermoral, dan
seorang tersangka pembunuhan), Bastille telah menjadi simbol kebencian terhadap Ancien Régime.
Di Hôtel de Ville (balai kota), massa menuduh prévôt des marchands (setara dengan wali kota) Jacques
de Flesselles sebagai pengkhianat, dan membantainya.[27]
Raja Louis yang khawatir dengan tindak kekerasan terhadapnya mundur untuk sementara
waktu. Marquis de la Fayette mengambilalih komando Garda Nasional di Paris. Jean-Sylvain Bailly,
presiden Majelis pada saat Sumpah Lapangan Tenis, menjadi wali kota di bawah struktur pemerintahan
baru yang dikenal dengan komune. Raja mengunjungi Paris pada tanggal 17 Juli dan menerima sebuah
simpul pita triwarna, diiringi dengan teriakan Vive la Nation ("Hidup Bangsa") dan Vive le Roi ("Hidup
Raja").[28]
Necker kembali menduduki jabatannya, tetapi kejayaannya berumur pendek. Necker memang seorang
ahli keuangan yang cerdik, tetapi sebagai politisi, ia kurang terampil. Necker dengan cepat kehilangan
dukungan rakyat setelah menuntut amnesti umum.[29]
Setelah kemenangan Majelis, situasi di Prancis masih tetap memburuk. Kekerasan dan penjarahan
terjadi di seantero negeri. Kaum bangsawan yang mengkhawatirkan keselamatan mereka berbondong-
bondong pindah ke negara tetangga. Dari negara-negara tersebut, para émigré ini mendanai kelompok-
kelompok kontra-revolusi di Prancis dan mendesak monarki asing untuk memberikan dukungan
pada kontra-revolusi.[30]
Pada akhir Juli, semangat kedaulatan rakyat telah menyebar di seluruh Prancis. Di daerah pedesaan,
rakyat jelata mulai membentuk milisi dan mempersenjatai diri melawan invasi asing: beberapa di
antaranya menyerang châteaux kaum bangsawan sebagai bagian dari pemberontakan agraria umum
yang dikenal dengan "la Grande Peur" ("Ketakutan Besar"). Selain itu, rumor liar dan paranoia kolektif
menyebabkan meluasnya kerusuhan dan kekacauan sipil yang berkontribusi terhadap runtuhnya hukum
dan kacaunya ketertiban.[31]
Perumusan konstitusi baru[sunting | sunting sumber]
Pada tanggal 4 Agustus 1789, Majelis Konstituante Nasional menghapuskan feodalisme (meskipun pada
saat itu telah terjadi pemberontakan petani yang hampir mengakhiri feodalisme). Keputusan ini
dituangkan dalam dokumen yang dikenal dengan Dekret Agustus, yang menghapuskan seluruh hak
istimewa kaum Estate Kedua dan hak dîme (menerima zakat) yang dimiliki oleh Estate Pertama. Hanya
dalam waktu beberapa jam, bangsawan, pendeta, kota, provinsi, dan perusahaan kehilangan hak-hak
istimewanya.
Pada tanggal 26 Agustus 1789, Majelis menerbitkan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara,
yang memuat pernyataan prinsip, bukannya konstitusi dengan efek hukum. Majelis Konstituante Nasional
tidak hanya berfungsi sebagai legislatif, tetapi juga sebagai badan untuk menyusun konstitusi baru.
Necker, Mounier, Lally-Tollendal dan yang lainnya tidak berhasil mencapai kesepakatan dengan senat,
yang keanggotaannya ditunjuk oleh Raja dan dicalonkan oleh rakyat. Sebagian besar bangsawan
mengusulkan agar majelis tinggi dipilih oleh kaum bangsawan. Sidang segera dilakukan pada hari itu,
yaang memutuskan bahwa Prancis akan memiliki majelis tunggal dan unikameral. Kekuasaan Raja
terbatas hanya untuk "menangguhkan veto"; ia bisa menunda implementasi undang-undang, tetapi tidak
bisa membatalkannya. Pada akhirnya, Majelis menggantikan provinsi bersejarah di Prancis dengan
83 départements, yang dikelola secara seragam menurut daerah dan jumlah penduduk.
Di tengah kegiatan Majelis yang disibukkan dengan urusan konstitusional, krisis keuangan terus
berlanjut, sebagian besarnya belum terselesaikan, dan defisit negara semakin meningkat. Honoré
Mirabeau kemudian memimpin gerakan untuk mengatasi permasalahan ini, dan Majelis memberi Necker
hak penuh untuk mengelola keuangan negara.
Mars perempuan di Versailles[sunting | sunting sumber]
Artikel utama:  Mars perempuan di Versailles

Lukisan Mars perempuan di Versailles, 5 Oktober 1789.

Dipicu oleh rumor telah diinjak-injaknya simpul pita nasional saat penerimaan pengawal Raja pada
tanggal 1 Oktober 1789, kerumunan perempuan mulai berkumpul di pasar Paris pada tanggal 5 Oktober
1789. Kerumunan pertama berbaris menuju Hôtel de Ville, menuntut agar pejabat kota segera menindak
permasalahan mereka.[32] Para perempuan ini mencurahkan segala permasalahan ekonomi yang mereka
hadapi, terutama masalah kekurangan roti. Mereka juga menuntut agar kerajaan menghentikan upayanya
dalam memblokir Majelis Nasional, dan menyerukan agar Raja dan keluarganya segera pindah ke Paris
sebagai bentuk itikad baik dalam mengatasi kemiskinan yang semakin meluas.
Karena mendapatkan respon yang tidak memuaskan dari pejabat kota, sebanyak 7.000 wanita bergerak
menuju Versailles dengan membawa meriam dan berbagai senjata ringan. Sekitar 20.000 pasukan Garda
Nasional di bawah komando La Fayette ditugaskan untuk mengawasi jalannya protes, tetapi situasi
menjadi tidak terkendali. Massa yang marah menyerbu istana, membunuh beberapa penjaga. La Fayette
akhirnya berhasil membujuk Raja untuk menyetujui permintaan massa, dan Raja beserta keluarganya
bersedia untuk kembali ke Paris. Pada tanggal 6 Oktober 1789, Raja dan keluarga kerajaan pindah dari
Versailles ke Paris di bawah "perlindungan" dari Garda Nasional.[33]
Revolusi dan Gereja[sunting | sunting sumber]
Artikel utama:  Dekristenisasi Prancis selama Revolusi Prancis dan  Konstitusi Sipil Pendeta

Dalam karikatur ini, biarawan dan biarawati menikmati kebebasan mereka setelah dekret 16 Februari 1790.

Revolusi ini menyebabkan perubahan besar kekuasaan, dari yang sebelumnya dikuasai oleh Gereja
Katolik Roma menjadi dikuasai negara. Berdasarkan Ancien Régime, Gereja menjadi pemilik tanah
terbesar di Prancis, memiliki sekitar 10% tanah kerajaan.[34] Gereja dibebaskan dari kewajiban membayar
pajak kepada pemerintah, dan juga berhak menerima dîme (zakat) 10% dari pajak penghasilan, sering
kali dikumpulkan dalam bentuk bahan pangan, dan hanya sebagian kecil dari dîme tersebut yang
diberikan kepada masyarakat miskin.[34] Kekuatan dan kekayaan Gereja yang begitu besar telah
menimbulkan kebencian dari beberapa kelompok. Kelompok minoritas penganut Protestan yang tinggal
di Prancis seperti Huguenots, menginginkan rezim yang anti-Katolik dan berhasrat untuk membalas
dendam kepada para pendeta yang melakukan diskriminasi terhadap mereka. Pemikir Pencerahan
seperti Voltaire membantu mengobarkan semangat anti-Katolik dengan merendahkan Gereja Katolik dan
mendestabilisasi monarki Prancis.[35] Menurut sejarawan John McManners, "Pada abad kedelapan belas,
takhta Prancis dan altar berhubungan erat; dan hubungan ini runtuh..."[36]
Kebencian terhadap Gereja melemah kekuatannya saat dibukanya pertemuan Etats-Généraux pada
bulan Mei 1789. Gereja memiliki sekitar 130.000 anggota pendeta dalam Etats Pertama. Ketika Majelis
Nasional didirikan pada bulan Juni 1789 oleh Etats Ketiga, para pendeta memilih untuk bergabung
dengan Majelis.[37] Majelis Nasional mulai memberlakukan reformasi sosial dan ekonomi. Undang-undang
baru pada tanggal 4 Juli 1789 menghapuskan kewenangan gereja untuk memungut zakat. Dalam
upayanya untuk mengatasi krisis keuangan, pada tanggal 2 November 1789, Majelis memutuskan bahwa
properti Gereja menjadi "milik negara".[38] Properti ini digunakan untuk mendukung peredaran mata uang
baru, assignats. Dengan demikian, mulai saat itu keberlangsungan Gereja juga menjadi tanggungjawab
negara, termasuk membayar para pendeta untuk merawat orang-orang miskin, orang sakit, dan yatim
piatu.[39] Pada bulan Desember, Majelis mulai menjual tanah-tanah milik Gereja kepada penawar tertinggi
untuk meningkatkan pendapatan negara. Hal ini efektif menaikkan nilai assignats sebesar 25% dalam
waktu dua tahun.[40] Pada musim gugur 1789, undang-undang baru yang menghapuskan sumpah
monastik dirumuskan, dan pada 13 Februari 1790, semua ordo keagamaan dibubarkan.
[41]
 Para biarawan dan biarawati disarankan untuk kembali ke kehidupan pribadi mereka, dan beberapa di
antaranya akhirnya menikah.[42]
Konstitusi Sipil Pendeta, yang disahkan pada tanggal 12 Juli 1790, menetapkan bahwa pendeta adalah
pekerja negara. Keputusan ini membentuk sistem pemilihan pastor dan uskup paroki, serta menetapkan
upah bagi para pendeta. Sebagian besar pendeta Katolik keberatan dengan sistem pemilihan ini karena
hal itu berarti bahwa mereka secara efektif menolak otoritas Paus di Roma atas Gereja Prancis. Akhirnya,
pada bulan November 1790, Majelis Nasional mulai mewajibkan "sumpah setia pada Konstitusi Sipil" bagi
semua pendeta Katolik.[42] Hal ini menyebabkan timbulnya perpecahan antara pendeta yang mengambil
sumpah dengan pendeta yang tetap setia kepada Paus. Secara keseluruhan, 24% dari semua pendeta di
Prancis telah mengambil sumpah.[43] Pendeta yang menolak bersumpah setia pada konstitusi akan
"dibuang, dideportasi secara paksa, atau dieksekusi dengan tuduhan pengkhianat."[40] Paus Pius VI tidak
pernah mengakui Konstitusi Sipil Pendeta ini, yang berakibat pada semakin terisolasinya Gereja Prancis.
Selama Pemerintahan Teror, upaya besar-besaran de-Kristianisasi di Prancis terjadi, termasuk
memenjarakan dan membantai para pendeta, serta pengrusakan Gereja dan gambar-gambar relijius di
seluruh Prancis. Upaya untuk menggantikan kedudukan Gereja Katolik dilakukan, misalnya dengan
mengganti festival agama dengan festival sipil. Pembentukan Kultus Akal Budi adalah langkah terakhir
dalam de-Kristenisasi radikal di Prancis. Peristiwa ini menyebabkan munculnya kekecewaan dan
penentangan terhadap Revolusi di seluruh Prancis. Warga sering kali menolak de-Kristenisasi dengan
cara menyerang agen revolusioner dan menyembunyikan pendeta yang sedang diburu. Pada
akhirnya, Robespierre dan Komite Keamanan Publik dipaksa untuk menentang kampanye dengan
menggantikan Kultus Akal Budi yang bersifat deistik, walaupun masih non-Kristen.[44] Konkordat
1801 antara Napoleon dan Gereja mengakhiri periode de-Kristenisasi dan mulai membentuk aturan-
aturan yang mengatur mengenai hubungan antara Gereja Katolik dengan negara, yang tetap berlaku
hingga tahun 1905, kemudian diubah oleh Republik Ketiga dengan memisahkan urusan Gereja dengan
urusan negara pada tanggal 11 Desember 1905. Penganiayaan terhadap pendeta menyebabkan
munculnya gerakan-gerakan kontra-revolusi, yang berpuncak dalam Pemberontakan Vendee.

Kemunculan berbagai faksi[sunting | sunting sumber]


Untuk diskusi lebih jelas, lihat  Majelis Konstituante Nasional.

Faksi-faksi dalam majelis tersebut mulai bermunculan. Kaum ningrat Jacques Antoine Marie Cazalès dan
pendeta Jean-Sifrein Maury memimpin yang kelak dikenal sebagai sayap kanan yang menentang
revolusi. "Royalis Demokrat" atau Monarchien, bersekutu dengan Necker, cenderung mengorganisir
Prancis sejajar garis yang mirip dengan model Konstitusi Inggris: mereka termasuk Jean Joseph
Mounier, Comte de Lally-Tollendal, Comte de Clermont-Tonnerre, dan Pierre Victor Malouet, Comte de
Virieu.
"Partai Nasional" yang mewakili faksi tengah atau kiri-tengah majelis tersebut termasuk Honoré
Mirabeau, Lafayette, dan Bailly; sedangkan Adrien Duport, Barnave dan Alexander Lameth mewakili
pandangan yang lebih ekstrem. Yang hampir sendiri dalam radikalismenya di sisi kiri adalah
pengacara Arras Maximilien Robespierre.
Sieyès memimpin pengusulan legislasi pada masa ini dan berhasil menempa konsensus selama
beberapa waktu antara pusat politik dan pihak kiri.
Di Paris, sejumlah komite, wali kota, majelis perwakilan, dan distrik-distrik perseorangan mengklaim
otoritas yang bebas dari yang. Kelas menengah Garda Nasional yang juga naik pamornya di bawah
Lafayette juga perlahan-lahan muncul sebagai kekuatan dalam haknya sendiri, begitupun majelis yang
didirikan sendiri lainnya.
Melihat model Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, pada tanggal 26 Agustus 1789, majelis
mendirikan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warganegara. Seperti Deklarasi AS, deklarasi ini terdiri
atas pernyataan asas daripada konstitusi dengan pengaruh resmi.
Ke arah konstitusi[sunting  |  sunting sumber]
Untuk diskusi lebih lanjut, lihat Ke arah Konstitusi.
Majelis Konsituante Nasional tak hanya berfungsi sebagai legislatur, tetapi juga sebagai badan untuk
mengusulkan konstitusi baru.
Necker, Mounier, Lally-Tollendal, dll tidak berhasil mengusulkan sebuah senat, yang anggotanya
diangkat oleh raja pada pencalonan rakyat. Sebagian besar bangsawan mengusulkan majelis
tinggi aristokrat yang dipilih oleh para bangsawan. Kelompok rakyat menyatakan pada hari itu: Prancis
akan memiliki majelis tunggal dan unikameral. Raja hanya memiliki "veto suspensif": ia dapat menunda
implementasi hukum, tetapi tidak bisa mencabutnya sama sekali.
Rakyat Paris menghalangi usaha kelompok Royalis untuk mencabut tatanan baru ini: mereka berbaris di
Versailles pada tanggal 5 Oktober 1789. Setelah sejumlah perkelahian dan insiden, raja dan keluarga
kerajaan merelakan diri dibawa kembali dari Versailles ke Paris.
Majelis itu menggantikan sistem provinsi dengan 83 département, yang diperintah secara seragam dan
kurang lebih sederajat dalam hal luas dan populasi.
Awalnya dipanggil untuk mengurusi krisis keuangan, hingga saat itu majelis ini memusatkan perhatian
pada masalah lain dan hanya memperburuk defisit itu. Mirabeau kini memimpin gerakan itu untuk
memusatkan perhatian pada masalah ini, dengan majelis itu yang memberikan kediktatoran penuh dalam
keuangan pada Necker.
Ke arah Konstitusi Sipil Pendeta[sunting | sunting sumber]
Untuk diskusi lanjutan, lihat Konstitusi Sipil Pendeta.

Ke tingkatan yang tidak lebih sempit, majelis itu memusatkan perhatian pada krisis keuangan ini dengan
meminta bangsa mengambil alih harta milik gereja (saat menghadapi pengeluaran gereja) melalui hukum
tanggal 2 Desember 1789. Agar memonter sejumlah besar harta benda itu dengan cepat, pemerintah
meluncurkan mata uang kertas baru, assignat, diongkosi dari tanah gereja yang disita.
Legislasi lebih lanjut pada tanggal 13 Februari 1790 menghapuskan janji biara. Konstitusi Sipil Pendeta,
yang disahkan pada tanggal 12 Juli 1790 (meski tak ditandatangani oleh raja pada tanggal 26
Desember 1790), mengubah para pendeta yang tersisa sebagai pegawai negeri dan meminta mereka
bersumpah setia pada konstitusi. Konstitusi Sipil Pendeta juga membuat gereja Katolik sebagai tangan
negara sekuler.
Menanggapi legislasi ini, uskup agung Aix dan uskup Clermont memimpin pemogokan pendeta dari
Majelis Konstituante Nasional. Sri Paus tak pernah menyetujui rencana baru itu, dan hal ini menimbulkan
perpecahan antara pendeta yang mengucapkan sumpah yang diminta dan menerima rencana baru itu
("anggota juri" atau "pendeta konstitusi") dan "bukan anggota juri" atau "pendeta yang keras hati" yang
menolak berbuat demikian.
Dari peringatan Bonjour ke kematian Mirabeau[sunting | sunting sumber]
Untuk diskusi lebih detail tentang peristiwa antara  14 Juli 1790 - 30 September  1791, lihat  Dari
peringatan Bastille ke kematian Mirabeau.
Majelis itu menghapuskan perlengkapan simbolik ancien régime, baringan lapis baja, dll., yang lebih
lanjut mengasingkan bangsawan yang lebih konservatif, dan menambahkan pangkat émigré.
Pada tanggal 14 Juli 1790, dan beberapa hari berikutnya, kerumuman di Champ-de-Mars memperingati
jatuhnya Bastille; Talleyrand melakukan sumpah massal untuk "setia pada negara, hukum, dan raja"; raja
dan keluarga raja ikut serta secara aktif.
Para pemilih awalnya memilih anggota Dewan Jenderal untuk bertugas dalam setahun, tetapi
dengan Sumpah Lapangan Tenis, commune tersebut telah sepakat bertemu terus menerus hingga
Prancis memiliki konstitusi. Unsur sayap kanan kini mengusulkan pemilu baru, tetapi Mirabeau menang,
menegaskan bahwa status majelis itu telah berubah secara fundamental, dan tiada pemilu baru yang
terjadi sebelum sempurnanya konstitusi.
Pada akhir 1790, beberapa huru-hara kontrarevolusi kecil-kecilan pecah dan berbagai usaha terjadi untuk
mengembalikan semua atau sebagian pasukan pasukan terhadap revolusi yang semuanya gagal.
Pengadilan kerajaan, dalam kata-kata François Mignet, "mendorong setiap kegiatan antirevolusi dan tak
diakui lagi." [1]
Militer menghadapi sejumlah kerusuhan internal: Jenderal Bouillé berhasil meredam sebuah
pemberontakan kecil, yang meninggikan reputasinya (yang saksama) untuk simpatisan kontrarevolusi.
Kode militer baru, yang dengannya kenaikan pangkat bergantung senioritas dan bukti kompetensi
(daripada kebangsawanan) mengubah beberapa korps perwira yang ada, yang yang bergabung dengan
pangkat émigré atau menjadi kontrarevolusi dari dalam.
Masa ini menyaksikan kebangkitan sejumlah "klub" politik dalam politik Prancis, yang paling menonjol di
antaranya adalah Klub Jacobin: menurut 1911 Encyclopædia Britannica, 152 klub berafiliasi dengan
Jacobin pada tanggal 10 Agustus 1790. Saat Jacobin menjadi organisasi terkenal, beberapa pendirinya
meninggalkannya untuk membentuk Klub '89. Para royalis awalnya mendirikan Club des Impartiaux yang
berumur pendek dan kemudian Club Monarchique. Mereka tak berhasil mencoba membujuk dukungan
rakyat untuk mencari nama dengan membagi-bagikan roti; hasilnya, mereka sering menjadi sasaran
protes dan malahan huru-hara, dan pemerintah kotamadya Paris akhirnya menutup Club Monarchique
pada bulan Januari 1791.
Di tengah-tengah intrik itu, majelis terus berusaha untuk mengembangkan sebuah konstitusi. Sebuah
organisasi yudisial membuat semua hakim sementara dan bebas dari tahta. Legislator menghapuskan
jabatan turunan, kecuali untuk monarki sendiri. Pengadilan juri dimulai untuk kasus-kasus kejahatan. Raja
akan memiliki kekuasaan khusus untuk mengusulkan perang, kemudian legislator memutuskan apakah
perang diumumkan atau tidak. Majelis itu menghapuskan semua penghalang perdagangan dan
menghapuskan gilda, ketuanan, dan organisasi pekerja: setiap orang berhak berdagang melalui
pembelian surat izin; pemogokan menjadi ilegal.
Di musim dingin 1791, untuk pertama kalinya majelis tersebut mempertimbangkan legislasi
terhadap émigré. Debat itu mengadu keamanan negara terhadap kebebasan perorangan untuk pergi.
Mirabeau menang atas tindakan itu, yang disebutnya "patutu ditempatkan di kode Drako." [2]
Namun, Mirabeau meninggal pada tanggal 2 Maret 1791. Mignet berkata, "Tak seorang pun yang
menyamainya dalam hal kekuatan dan popularitas," dan sebelum akhir tahun, Majelis Legislatif yang baru
akan mengadopsi ukuran "drako" ini.
Pelarian ke Varennes[sunting  |  sunting sumber]
Untuk diskusi lebih jelas, lihat  Pelarian ke Varennes.

Louis XVI, yang ditentang pada masa revolusi, tetapi menolak bantuan yang kemungkinan berbahaya ke
penguasa Eropa lainnya, membuat kesatuan dengan Jenderal Bouillé, yang menyalahkan emigrasi dan
majelis itu, dan menjanjikannya pengungsian dan dukungan di kampnya di Montmedy.
Pada malam 20 Juni 1791, keluarga kerajaan lari ke Tuileries. Namun, keesokan harinya, sang Raja yang
terlalu yakin itu dengan sembrono menunjukkan diri. Dikenali dan ditangkap
di Varennes (di département Meuse) di akhir 21 Juni, ia kembali ke Paris di bawah pengawalan.
Pétion, Latour-Maubourg, dan Antoine Pierre Joseph Marie Barnave, yang mewakili majelis, bertemu
anggota kerajaan itu di Épernay dan kembali dengan mereka. Dari saat ini, Barnave became penasihat
dan pendukung keluarga raja.
Saat mencapai Paris, kerumunan itu tetap hening. Majelis itu untuk sementara menangguhkan sang raja.
Ia dan Ratu Marie Antoinette tetap ditempatkan di bawah pengawalan.
Hari-hari terakhir Majelis Konstituante Nasional[sunting | sunting sumber]
Untuk diskusi lebih jelas, silakan lihat  Hari-hari terakhir Majelis Konstituante Nasional.
Dengan sebagian besar anggota majelis yang masih menginginkan monarki
konstitusional daripada republik, sejumlah kelompok itu mencapai kompromi yang membiarkan Louis XVI
tidak lebih dari penguasa boneka: ia terpaksa bersumpah untuk konstitusi, dan sebuah dekret
menyatakan bahwa mencabut sumpah, mengepalai militer untuk mengumumkan perang atas bangsa,
atau mengizinkan tiap orang untuk berbuat demikian atas namanya berarti turun tahta secara de facto.
Jacques Pierre Brissot mencadangkan sebuah petisi, bersikeras bahwa di mata bangsa Louis XVI
dijatuhkan sejak pelariannya. Sebuah kerumunan besar berkumpul di Champ-de-Mars untuk
menandatangani petisi itu. Georges Danton dan Camille Desmoulins memberikan pidato berapi-api.
Majelis menyerukan pemerintah kotamadya untuk "melestarikan tatanan masyarakat". Garda Nasional di
bawah komando Lafayette menghadapi kerumuman itu. Pertama kali para prajurit membalas serangan
batu dengan menembak ke udara; kerumunan tidak bubar, dan Lafayette memerintahkan orang-
orangnya untuk menembak ke kerumunan, menyebabkan pembunuhan sebanyak 50 jiwa.
Segera setelah pembantaian itu pemerintah menutup banyak klub patriot, seperti surat kabar radikal
seperti L'Ami du Peuple milik Jean-Paul Marat. Danton lari ke Inggris; Desmoulins dan Marat lari
bersembunyi.
Sementara itu, ancaman baru dari luar muncul: Leopold II, Kaisar Romawi Suci, Friedrich Wilhelm II dari
Prusia, dan saudara raja Charles-Phillipe, comte d'Artois mengeluarkan Deklarasi Pilnitz yang
menganggap perkara Louis XVI seperti perkara mereka sendiri, meminta pembebasannya secara penuh
dan pembubaran majelis itu, dan menjanjikan serangan ke Prancis atas namanya jika pemerintah
revolusi menolak syarat tersebut.
Jika tidak, pernyataan itu secara langsung membahayakan Louis. Orang Prancis tidak mengindahkan
perintah penguasa asing itu, dan ancaman militer hanya menyebabkan militerisasi perbatasan.
Malahan sebelum "Pelarian ke Varennes", para anggota majelis telah menentukan untuk menghalangi
diri dari legislatur yang akan menggantikan mereka, Majelis Legislatif. Kini mereka mengumpulkan
sejumlah hukum konstitusi yang telah mereka sahkan ke dalam konstitusi tunggal, menunjukkan keuletan
yang luar biasa dalam memilih untuk tidak menggunakan hal ini sebagai kesempatan untuk revisi utama,
dan mengajukannya ke Louis XVI yang dipulihkan saat itu, yang menyetujuinya, menulis "Saya mengajak
mempertahankannya di dalam negeri, mempertahankannya dari semua serangan luar; dan
menyebabkan pengesahannya yang tentu saja ditempatkan di penyelesaian saya". Raja memuji majelis
dan menerima tepukan tangan penuh antusias dari para anggota dan penonton. Majelis mengakhiri masa
jabatannya pada tanggal 29 September 1791.
Mignet menulis, "Konstitusi 1791... adalah karya kelas menengah, kemudian yang terkuat; seperti yang
diketahui benar, karena kekuatan yang mendominasi pernah mengambil kepemilikan lembaga itu...
Dalam konstitusi ini rakyat adalah sumber semua, tetapi tak melaksanakan apapun." [3]
Majelis Legislatif dan kejatuhan monarki[sunting | sunting sumber]
Untuk penjelasan lebih jelas tentang peristiwa antara 1 Oktober  1791  -  19 September 1792, lihat Majelis
Legislatif dan jatuhnya monarki Prancis.

Majelis Legislatif[sunting | sunting sumber]


Di bawah Konstitusi 1791, Prancis berfungsi sebagai monarki konstitusional. Raja harus berbagi
kekuasaan dengan Majelis Legislatif yang terpilih, tetapi ia masih bisa mempertahankan vetonya dan
kemampuan memilih menteri.
Majelis Legislatif pertama kali bertemu pada tanggal 1 Oktober 1791, dan jatuh dalam keadaan kacau
hingga kurang dari setahun berikutnya. Dalam kata-kata 1911 Encyclopædia Britannica: "Dalam mencba
memerintah, majelis itu sama sekali gagal. Majelis itu membiarkan kekosongan keuangan,
ketidakdisiplinan pasukan dan angkatan laut, dan rakyat yang rusak moralnya oleh huru-hara yang aman
dan berhasil."
Majelis Legislatif terdiri atas sekitar 165 anggota Feuillant (monarkis konstitusional) di sisi kanan, sekitar
330 Girondin (republikan liberal) dan Jacobin (revolusioner radikal) di sisi kiri, dan sekitar 250 wakil yang
tak berafiliasi dengan faksi apapun.
Sejak awal, raja memveto legislasi yang mengancam émigré dengan kematian dan hal itu menyatakan
bahwa pendeta non-juri harus menghabiskan 8 hari untuk mengucapkan sumpah sipil yang diamanatkan
oleh Konstitusi Sipil Pendeta. Lebih dari setahun, ketidaksetujuan atas hal ini akan menimbulkan krisis
konstitusi.
Perang[sunting | sunting sumber]
Politik masa itu membawa Prancis secara tak terelakkan ke arah perang terhadap Austria dan sekutu-
sekutunya. Sang Raja, kelompok Feuillant dan Girondin khususnya menginginkan perang. Sang Raja
(dan banyak Feuillant bersamanya) mengharapkan perang akan menaikkan popularitasnya; ia juga
meramalkan kesempatan untuk memanfaatkan tiap kekalahan: yang hasilnya akan membuatnya lebih
kuat. Kelompok Girondin ingin menyebarkan revolusi ke seluruh Eropa. Hanya beberapa Jacobin radikal
yang menentang perang, lebih memilih konsolidasi dan mengembangkan revolusi di dalam negeri. Kaisar
Austria Leopold II, saudara Marie Antoinette, berharap menghindari perang, tetapi meninggal pada
tanggal 1 Maret 1792.
Prancis menyatakan perang pada Austria (20 April 1792) dan Prusia bergabung di pihak Austria
beberapa minggu kemudian. Perang Revolusi Prancis telah dimulai.
Setelah pertempuran kecil awal berlangsung sengit untuk Prancis, pertempuran militer yang berarti atas
perang itu terjadi dengan Pertempuran Valmy yang terjadi antara Prancis dan Prusia (20
September 1792). Meski hujan lebat menghambat resolusi yang menentukan, artileri Prancis
membuktikan keunggulannya. Namun, dari masa ini, Prancis menghadapi huru-hara dan monarki telah
menjadi masa lalu.
Krisis konstitusi[sunting | sunting sumber]

10 Agustus 1792 di Komune Paris

Artikel utama:  10 Agustus (Revolusi Prancis) dan  Pembantaian September

Pada malam 10 Agustus 1792, para pengacau, yang didukung oleh kelompok revolusioner baru Komuni
Paris, menyerbu Tuileries. Raja dan ratu akhirnya menjadi tahanan dan sidang muktamar Majelis
Legislatif menunda monarki: tak lebih dari sepertiga wakil, hampir semuanya Jacobin.
Akhirnya pemerintahan nasional bergabung pada dukungan commune. Saat commune mengirimkan
sejumlah kelompok pembunuh ke penjara untuk menjagal 1400 korban, dan mengalamatkan surat
edaran ke kota lain di Prancis untuk mengikuti conth mereka, majelis itu hanya bisa melancarkan
perlawanan yang lemah. Keadaan ini berlangsung terus menerus hingga Konvensi, yang diminta menulis
konstitusi baru, bertemu pada tanggal 20 September 1792 dan menjadi pemerintahan de facto baru di
Prancis. Pada hari berikutnya konvensi itu menghapuskan monarki dan mendeklarasikan republik.
Tanggal ini kemudian diadopsi sebagai awal Tahun Satu dari Kalender Revolusi Prancis.
Konvensi[sunting | sunting sumber]

Eksekusi Louis XVI

Untuk penjelasan lebih lanjut tentang peristiwa antara  20 September 1792-  26 September 1795,


lihat Konvensi Nasional.

Kuasa legislatif di republik baru jatuh ke Konvensi, sedangkan kekuasaan eksekutif jatuh ke sisanya
di Komite Keamanan Umum. Kaum Girondin pun menjadi partai paling berpengaruh dalam konvensi dan
komite itu.
Dalam Manifesto Brunswick, tentara kerajaan dan Prusia mengancam pembalasan ke penduduk Prancis
jika hal itu menghambat langkah majunya atau dikembalikannya monarki. Sebagai akibatnya, Raja Louis
dipandang berkonspirasi dengan musuh-musuh Prancis. 17 Januari 1793 menyaksikan tuntutan mati
kepada Raja Louis untuk "konspirasi terhadap kebebasan publik dan keamanan umum" oleh mayoritas
lemah di konvensi. Eksekusi tanggal 21 Januari menimbulkan banyak perang dengan negara Eropa
lainnya. Permaisuri Louis yang kelahiran Austria, Marie Antoinette, menyusulnya ke guillotine pada
tanggal 16 Oktober.
Saat perang bertambah sengit, harga naik dan sans-culottes (buruh miskin dan Jacobin radikal)
memberontak; kegiatan kontrarevolusi mulai bermunculan di beberapa kawasan. Hal ini mendorong
kelompok Jacobin merebut kekuasaan melalui kup parlemen, yang ditunggangi oleh kekuatan yang
didapatkan dengan menggerakkan dukungan publik terhadap faksi Girondin, dan dengan memanfaatkan
kekuatan khayalak sans-culottes Paris. Kemudian persekutuan Jacobin dan unsur-unsur sans-
culottes menjadi pusat yang efektif bagi pemerintahan baru. Kebijakan menjadi agak lebih radikal.

Guillotine: antara 18.000-40.000 jiwa dieksekusi selama Pemerintahan Teror

Komite Keamanan Publik berada di bawah kendali Maximilien Robespierre, dan Jacobin melepaskan


tali Pemerintahan Teror (1793-1794). Setidaknya 1200 jiwa menemui kematiannya dengan guillotine dsb;
setelah tuduhan kontrarevolusi. Gambaran yang sedikit saja atas pikiran atau kegiatan kontrarevolusi
(atau, pada kasus Jacques Hébert, semangat revolusi yang melebihi semangat kekuasaan) bisa
menyebabkan seseorang dicurigai, dan pengadilan tidak berjalan dengan teliti.
Pada tahun 1794 Robespierre memerintahkan tokoh-tokoh Jacobin yang ultraradikal dan moderat
dieksekusi; namun, sebagai akibatnya, dukungan rakyat terhadapnya terkikis sama sekali. Pada
tanggal 27 Juli 1794, orang-orang Prancis memberontak terhadap Pemerintahan Teror yang sudah
kelewatan dalam Reaksi Thermidor, yang menyebabkan anggota konvensi yang moderat menjatuhkan
hukuman mati buat Robespierre dan beberapa anggota terkemuka lainnya di Komite Keamanan Publik.
Pemerintahan baru itu sebagian besar tersusun atas Girondis yang lolos dari teror, dan setelah
mengambil kekuasaan menuntut balas dengan penyiksaan yang juga dilakukan terhadap Jacobin yang
telah membantu menjatuhkan Robespierre, melarang Klub Jacobin, dan menghukum mati sejumlah
besar bekas anggotanya pada apa yang disebut sebagai Teror Putih.
Konvensi menyetujui "Konstitusi Tahun III" yang baru pada tanggal 17 Agustus 1795;
sebuah plebisit meratifikasinya pada bulan September; dan mulai berpengaruh pada tanggal 26
September 1795.
tats-Généraux 1789[sunting | sunting sumber]
Artikel utama:  Etats-Généraux 1789

Etats-Généraux (wakil rakyat dari berbagai golongan) terbagi menjadi tiga golongan (etats): pendeta
(Etats Pertama), kaum bangsawan (Etats Kedua), dan sisanya adalah rakyat biasa Prancis
(Etats Ketiga).[12] Dalam pertemuan terakhir Etats-Généraux pada tahun 1614, masing-masing golongan
memiliki satu suara, dan dua diantaranya bisa membatalkan suara ketiga. Parlement Paris khawatir
bahwa pemerintah akan berusaha meng-gerrymander majelis untuk mencurangi hasil. Oleh sebab itu,
mereka memutuskan bahwa susunan Etats harus sama dengan susunan 1614.[13] Aturan Etats 1614 ini
berbeda dengan praktik pada majelis daerah; di daerah-daerah, masing-masing anggota memiliki satu
suara dan Etats Ketiga memiliki anggota dua kali lipat lebih banyak dari Etats lainnya. Sebagai contoh,
di Dauphiné, majelis provinsi sepakat untuk menggandakan jumlah anggota Etats Ketiga, mengadakan
pemilihan keanggotaan, dan memperbolehkan satu suara per anggota, bukannya satu suara per etats.[14]
Sebelum pertemuan berlangsung, "Komite Tiga Puluh", sebuah kelompok liberal yang beranggotakan
warga Paris, mulai melakukan agitasi terhadap suara etats. Kelompok ini sebagian besarnya terdiri dari
orang-orang kaya, dan mereka berpendapat bahwa sistem suara di Etats-Généraux harus sama dengan
sistem yang berlaku di Dauphiné. Kelompok ini beranggapan bahwa sistem lama sudah tidak efisien
karena "rakyatlah yang berdaulat".[15] Necker lalu menggelar Sidang Kedua Majelis, yang menghasilkan
keputusan penolakan terhadap usulan perwakilan ganda, dengan suara 111-333.[15][16]
Pemilihan diadakan pada musim semi 1789; persyaratan hak pilih untuk Etats Ketiga adalah harus laki-
laki kelahiran Prancis atau naturalisasi, setidaknya berusia 25 tahun, berkediaman di lokasi tempat
pemilihan berlangsung, dan membayar pajak.
Pour être électeur du tiers état, il faut avoir 25 ans, être français ou naturalisé, être domicilié au lieu de
vote et compris au rôle des impositions.[17]
Pemilihan menghasilkan 1.201 delegasi, yang terdiri dari: 291 bangsawan, 300 pendeta, dan 610
anggota Etats Ketiga.[16] Untuk mengarahkan delegasi, "Dokumen Keluhan" (Cahiers de Doléances)
disusun sebagai pengarah yang memuat daftar permasalahan yang dihadapi negara.[12][13][18]
Pamflet yang disebarkan oleh para bangsawan dan pendeta liberal semakin merebak setelah dicabutnya
penyensoran pers.[15] Abbé Sieyès, seorang teoretikus dan pendeta Katolik, berpendapat mengenai
betapa pentingnya keberadaan Etats Ketiga dalam pamflet Qu'est-ce que le tiers état? (bahasa Inggris:
"What is the Third Estate?"), yang diterbitkan pada bulan Januari 1789. Ia menegaskan: "Apa
itu Etats Ketiga? Segalanya. Apa posisinya dalam tatanan politik? Tidak ada. Ia ingin menjadi apa?
Sesuatu."[13][19]
Pertemuan Etats-Généraux pada tanggal 5 Mei 1789 di Versailles.

Etats-Généraux kembali menggelar pertemuan di Grands Salles des Menus-Plaisirs, Versailles, pada


tanggal 5 Mei 1789. Pertemuan ini dibuka dengan pidato tiga jam oleh Necker. Etats Ketiga menuntut
agar verifikasi deputi secara kredensial harus dilakukan bersama oleh semua deputi, bukannya masing-
masing etats memverifikasi anggotanya secara internal; negosiasi dengan etats lainnya gagal
mewujudkan hal ini.[18] Golongan rakyat jelata bersitegang dengan kaum pendeta yang menjawab kalau
mereka membutuhkan lebih banyak waktu untuk memutuskan. Necker pada akhirnya memutuskan
bahwa setiap etats harus memverifikasi anggotanya masing-masing dan "Raja bertindak sebagai
penengah".[20] Namun, negosiasi dengan dua etats lainnya tetap tidak berhasil.[21]
Majelis Nasional (1789)[sunting | sunting sumber]
Artikel utama:  Majelis Nasional (Revolusi Prancis)

Majelis Nasional mengambil Sumpah Lapangan Tenis (sketsa oleh Jacques-Louis David).

Pada 10 Juni 1789, Abbé Sieyès pindah keanggotaan menjadi Etats Ketiga, dan sekarang mengikuti
pertemuan sebagai Communes (Rakyat Biasa). Ia mengajak dua etats lainnya untuk ikut serta, tetapi
ajakannya ini tidak diindahkan.[22] Etats Ketiga yang sekarang menjadi lebih radikal mendeklarasikan diri
sebagai Majelis Nasional, majelis yang bukan berasal dari etats, tetapi dari golongan "Rakyat". Mereka
mengajak yang lainnya untuk bergabung, tetapi menegaskan bahwa "dengan atau tanpa bantuan,
mereka tetap akan mengatasi permasalahan bangsa."[23]
Dalam upayanya untuk tetap mengontrol dan mencegah Majelis mengadakan pertemuan, Louis XVI
memerintahkan penutupan Salle des États, tempat Majelis biasanya mengadakan pertemuan. Di saat
yang bersamaan, cuaca tidak memungkinkan Majelis untuk menggelar pertemuan di luar ruangan,
sehingga Majelis pada akhirnya memindahkan pertemuan mereka ke sebuah lapangan tenis dalam
ruangan. Di tempat ini, mereka mengambil Sumpah Lapangan Tenis pada 20 Juni 1789, yang
menyatakan bahwa Majelis tidak akan berpisah hingga mereka bisa memberikan sebuah konstitusi bagi
Prancis.[24]
Mayoritas perwakilan pendeta segera bergabung dengan Majelis, serta 47 orang dari kaum bangsawan.
Pada tanggal 27 Juni, pihak kerajaan secara terang-terangan telah menunjukkan penentangannya
terhadap Majelis, dan sejumlah besar pasukan militer mulai diterjunkan ke seantero Paris dan Versailles.
Dukungan bagi Majelis juga mengalir dari warga Paris dan dari kota-kota lainnya di Prancis. Pada tanggal
9 Juli, majelis itu disusun kembali menjadi Majelis Konstituante Nasional.[24]

Majelis Konstituante Nasional (1789–1791)[sunting | sunting sumber]


Artikel utama:  Majelis Konstituante Nasional

Penyerbuan Bastille[sunting | sunting sumber]


Artikel utama:  Penyerbuan Bastille

Sementara itu, Necker semakin dimusuhi oleh keluarga kerajaan Prancis karena dianggap memanipulasi
opini publik secara terang-terangan. Ratu Marie Antoinette, adik Raja Comte d'Artois, dan anggota
konservatif lainnya dari dewan privy mendesak Raja agar memecat Necker sebagai penasihat keuangan.
Pada 11 Juli 1789, setelah Necker menerbitkan laporan keuangan pemerintah kepada publik, Raja
memecatnya, dan segera merestrukturisasi kementerian keuangan tidak lama berselang.[25]
Kebanyakan warga Paris menganggap bahwa tindakan Louis secara tak langsung ditujukan pada Majelis
dan segera memulai pemberontakan terbuka setelah mereka mendengar kabar tersebut pada keesokan
harinya. Mereka juga khawatir terhadap banyaknya tentara – kebanyakan tentara asing – yang
ditugaskan untuk menutup Majelis Konstituante Nasional. Dalam sebuah pertemuan di Versailles, Majelis
bersidang secara non-stop untuk berjaga-jaga jika nanti tempat pertemuan digusur secara tiba-tiba. Paris
dengan cepat dipenuhi oleh berbagai kerusuhan, kekacauan, dan penjarahan. Massa juga mendapat
dukungan dari beberapa Garda Prancis yang dipersenjatai dan dilatih sebagai tentara.[26]

Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara, 26 Agustus 1789.

Pada tanggal 14 Juli, para pemberontak mengincar sejumlah besar senjata dan amunisi di benteng dan
penjara Bastille, yang juga dianggap sebagai simbol kekuasaan monarki. Setelah beberapa jam
pertempuran, benteng jatuh ke tangan pemberontak pada sore harinya. Meskipun terjadi gencatan
senjata untuk mencegah pembantaian massal, Gubernur Marquis Bernard de Launay dipukuli, ditusuk,
dan dipenggal, kepalanya diletakkan di ujung tombak dan diarak ke sekeliling kota. Walaupun hanya
menahan tujuh tahanan (empat pencuri, dua bangsawan yang ditahan karena tindakan tak bermoral, dan
seorang tersangka pembunuhan), Bastille telah menjadi simbol kebencian terhadap Ancien Régime.
Di Hôtel de Ville (balai kota), massa menuduh prévôt des marchands (setara dengan wali kota) Jacques
de Flesselles sebagai pengkhianat, dan membantainya.[27]
Raja Louis yang khawatir dengan tindak kekerasan terhadapnya mundur untuk sementara
waktu. Marquis de la Fayette mengambilalih komando Garda Nasional di Paris. Jean-Sylvain Bailly,
presiden Majelis pada saat Sumpah Lapangan Tenis, menjadi wali kota di bawah struktur pemerintahan
baru yang dikenal dengan komune. Raja mengunjungi Paris pada tanggal 17 Juli dan menerima sebuah
simpul pita triwarna, diiringi dengan teriakan Vive la Nation ("Hidup Bangsa") dan Vive le Roi ("Hidup
Raja").[28]
Necker kembali menduduki jabatannya, tetapi kejayaannya berumur pendek. Necker memang seorang
ahli keuangan yang cerdik, tetapi sebagai politisi, ia kurang terampil. Necker dengan cepat kehilangan
dukungan rakyat setelah menuntut amnesti umum.[29]
Setelah kemenangan Majelis, situasi di Prancis masih tetap memburuk. Kekerasan dan penjarahan
terjadi di seantero negeri. Kaum bangsawan yang mengkhawatirkan keselamatan mereka berbondong-
bondong pindah ke negara tetangga. Dari negara-negara tersebut, para émigré ini mendanai kelompok-
kelompok kontra-revolusi di Prancis dan mendesak monarki asing untuk memberikan dukungan
pada kontra-revolusi.[30]
Pada akhir Juli, semangat kedaulatan rakyat telah menyebar di seluruh Prancis. Di daerah pedesaan,
rakyat jelata mulai membentuk milisi dan mempersenjatai diri melawan invasi asing: beberapa di
antaranya menyerang châteaux kaum bangsawan sebagai bagian dari pemberontakan agraria umum
yang dikenal dengan "la Grande Peur" ("Ketakutan Besar"). Selain itu, rumor liar dan paranoia kolektif
menyebabkan meluasnya kerusuhan dan kekacauan sipil yang berkontribusi terhadap runtuhnya hukum
dan kacaunya ketertiban.[31]
Perumusan konstitusi baru[sunting | sunting sumber]
Pada tanggal 4 Agustus 1789, Majelis Konstituante Nasional menghapuskan feodalisme (meskipun pada
saat itu telah terjadi pemberontakan petani yang hampir mengakhiri feodalisme). Keputusan ini
dituangkan dalam dokumen yang dikenal dengan Dekret Agustus, yang menghapuskan seluruh hak
istimewa kaum Estate Kedua dan hak dîme (menerima zakat) yang dimiliki oleh Estate Pertama. Hanya
dalam waktu beberapa jam, bangsawan, pendeta, kota, provinsi, dan perusahaan kehilangan hak-hak
istimewanya.
Pada tanggal 26 Agustus 1789, Majelis menerbitkan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara,
yang memuat pernyataan prinsip, bukannya konstitusi dengan efek hukum. Majelis Konstituante Nasional
tidak hanya berfungsi sebagai legislatif, tetapi juga sebagai badan untuk menyusun konstitusi baru.
Necker, Mounier, Lally-Tollendal dan yang lainnya tidak berhasil mencapai kesepakatan dengan senat,
yang keanggotaannya ditunjuk oleh Raja dan dicalonkan oleh rakyat. Sebagian besar bangsawan
mengusulkan agar majelis tinggi dipilih oleh kaum bangsawan. Sidang segera dilakukan pada hari itu,
yaang memutuskan bahwa Prancis akan memiliki majelis tunggal dan unikameral. Kekuasaan Raja
terbatas hanya untuk "menangguhkan veto"; ia bisa menunda implementasi undang-undang, tetapi tidak
bisa membatalkannya. Pada akhirnya, Majelis menggantikan provinsi bersejarah di Prancis dengan
83 départements, yang dikelola secara seragam menurut daerah dan jumlah penduduk.
Di tengah kegiatan Majelis yang disibukkan dengan urusan konstitusional, krisis keuangan terus
berlanjut, sebagian besarnya belum terselesaikan, dan defisit negara semakin meningkat. Honoré
Mirabeau kemudian memimpin gerakan untuk mengatasi permasalahan ini, dan Majelis memberi Necker
hak penuh untuk mengelola keuangan negara.
Mars perempuan di Versailles[sunting | sunting sumber]
Artikel utama:  Mars perempuan di Versailles

Lukisan Mars perempuan di Versailles, 5 Oktober 1789.

Dipicu oleh rumor telah diinjak-injaknya simpul pita nasional saat penerimaan pengawal Raja pada
tanggal 1 Oktober 1789, kerumunan perempuan mulai berkumpul di pasar Paris pada tanggal 5 Oktober
1789. Kerumunan pertama berbaris menuju Hôtel de Ville, menuntut agar pejabat kota segera menindak
permasalahan mereka.[32] Para perempuan ini mencurahkan segala permasalahan ekonomi yang mereka
hadapi, terutama masalah kekurangan roti. Mereka juga menuntut agar kerajaan menghentikan upayanya
dalam memblokir Majelis Nasional, dan menyerukan agar Raja dan keluarganya segera pindah ke Paris
sebagai bentuk itikad baik dalam mengatasi kemiskinan yang semakin meluas.
Karena mendapatkan respon yang tidak memuaskan dari pejabat kota, sebanyak 7.000 wanita bergerak
menuju Versailles dengan membawa meriam dan berbagai senjata ringan. Sekitar 20.000 pasukan Garda
Nasional di bawah komando La Fayette ditugaskan untuk mengawasi jalannya protes, tetapi situasi
menjadi tidak terkendali. Massa yang marah menyerbu istana, membunuh beberapa penjaga. La Fayette
akhirnya berhasil membujuk Raja untuk menyetujui permintaan massa, dan Raja beserta keluarganya
bersedia untuk kembali ke Paris. Pada tanggal 6 Oktober 1789, Raja dan keluarga kerajaan pindah dari
Versailles ke Paris di bawah "perlindungan" dari Garda Nasional.[33]
Revolusi dan Gereja[sunting | sunting sumber]
Artikel utama:  Dekristenisasi Prancis selama Revolusi Prancis dan  Konstitusi Sipil Pendeta

Dalam karikatur ini, biarawan dan biarawati menikmati kebebasan mereka setelah dekret 16 Februari 1790.

Revolusi ini menyebabkan perubahan besar kekuasaan, dari yang sebelumnya dikuasai oleh Gereja
Katolik Roma menjadi dikuasai negara. Berdasarkan Ancien Régime, Gereja menjadi pemilik tanah
terbesar di Prancis, memiliki sekitar 10% tanah kerajaan.[34] Gereja dibebaskan dari kewajiban membayar
pajak kepada pemerintah, dan juga berhak menerima dîme (zakat) 10% dari pajak penghasilan, sering
kali dikumpulkan dalam bentuk bahan pangan, dan hanya sebagian kecil dari dîme tersebut yang
diberikan kepada masyarakat miskin.[34] Kekuatan dan kekayaan Gereja yang begitu besar telah
menimbulkan kebencian dari beberapa kelompok. Kelompok minoritas penganut Protestan yang tinggal
di Prancis seperti Huguenots, menginginkan rezim yang anti-Katolik dan berhasrat untuk membalas
dendam kepada para pendeta yang melakukan diskriminasi terhadap mereka. Pemikir Pencerahan
seperti Voltaire membantu mengobarkan semangat anti-Katolik dengan merendahkan Gereja Katolik dan
mendestabilisasi monarki Prancis.[35] Menurut sejarawan John McManners, "Pada abad kedelapan belas,
takhta Prancis dan altar berhubungan erat; dan hubungan ini runtuh..."[36]
Kebencian terhadap Gereja melemah kekuatannya saat dibukanya pertemuan Etats-Généraux pada
bulan Mei 1789. Gereja memiliki sekitar 130.000 anggota pendeta dalam Etats Pertama. Ketika Majelis
Nasional didirikan pada bulan Juni 1789 oleh Etats Ketiga, para pendeta memilih untuk bergabung
dengan Majelis.[37] Majelis Nasional mulai memberlakukan reformasi sosial dan ekonomi. Undang-undang
baru pada tanggal 4 Juli 1789 menghapuskan kewenangan gereja untuk memungut zakat. Dalam
upayanya untuk mengatasi krisis keuangan, pada tanggal 2 November 1789, Majelis memutuskan bahwa
properti Gereja menjadi "milik negara".[38] Properti ini digunakan untuk mendukung peredaran mata uang
baru, assignats. Dengan demikian, mulai saat itu keberlangsungan Gereja juga menjadi tanggungjawab
negara, termasuk membayar para pendeta untuk merawat orang-orang miskin, orang sakit, dan yatim
piatu.[39] Pada bulan Desember, Majelis mulai menjual tanah-tanah milik Gereja kepada penawar tertinggi
untuk meningkatkan pendapatan negara. Hal ini efektif menaikkan nilai assignats sebesar 25% dalam
waktu dua tahun.[40] Pada musim gugur 1789, undang-undang baru yang menghapuskan sumpah
monastik dirumuskan, dan pada 13 Februari 1790, semua ordo keagamaan dibubarkan.
[41]
 Para biarawan dan biarawati disarankan untuk kembali ke kehidupan pribadi mereka, dan beberapa di
antaranya akhirnya menikah.[42]
Konstitusi Sipil Pendeta, yang disahkan pada tanggal 12 Juli 1790, menetapkan bahwa pendeta adalah
pekerja negara. Keputusan ini membentuk sistem pemilihan pastor dan uskup paroki, serta menetapkan
upah bagi para pendeta. Sebagian besar pendeta Katolik keberatan dengan sistem pemilihan ini karena
hal itu berarti bahwa mereka secara efektif menolak otoritas Paus di Roma atas Gereja Prancis. Akhirnya,
pada bulan November 1790, Majelis Nasional mulai mewajibkan "sumpah setia pada Konstitusi Sipil" bagi
semua pendeta Katolik.[42] Hal ini menyebabkan timbulnya perpecahan antara pendeta yang mengambil
sumpah dengan pendeta yang tetap setia kepada Paus. Secara keseluruhan, 24% dari semua pendeta di
Prancis telah mengambil sumpah.[43] Pendeta yang menolak bersumpah setia pada konstitusi akan
"dibuang, dideportasi secara paksa, atau dieksekusi dengan tuduhan pengkhianat."[40] Paus Pius VI tidak
pernah mengakui Konstitusi Sipil Pendeta ini, yang berakibat pada semakin terisolasinya Gereja Prancis.
Selama Pemerintahan Teror, upaya besar-besaran de-Kristianisasi di Prancis terjadi, termasuk
memenjarakan dan membantai para pendeta, serta pengrusakan Gereja dan gambar-gambar relijius di
seluruh Prancis. Upaya untuk menggantikan kedudukan Gereja Katolik dilakukan, misalnya dengan
mengganti festival agama dengan festival sipil. Pembentukan Kultus Akal Budi adalah langkah terakhir
dalam de-Kristenisasi radikal di Prancis. Peristiwa ini menyebabkan munculnya kekecewaan dan
penentangan terhadap Revolusi di seluruh Prancis. Warga sering kali menolak de-Kristenisasi dengan
cara menyerang agen revolusioner dan menyembunyikan pendeta yang sedang diburu. Pada
akhirnya, Robespierre dan Komite Keamanan Publik dipaksa untuk menentang kampanye dengan
menggantikan Kultus Akal Budi yang bersifat deistik, walaupun masih non-Kristen.[44] Konkordat
1801 antara Napoleon dan Gereja mengakhiri periode de-Kristenisasi dan mulai membentuk aturan-
aturan yang mengatur mengenai hubungan antara Gereja Katolik dengan negara, yang tetap berlaku
hingga tahun 1905, kemudian diubah oleh Republik Ketiga dengan memisahkan urusan Gereja dengan
urusan negara pada tanggal 11 Desember 1905. Penganiayaan terhadap pendeta menyebabkan
munculnya gerakan-gerakan kontra-revolusi, yang berpuncak dalam Pemberontakan Vendee.

Kemunculan berbagai faksi[sunting | sunting sumber]


Untuk diskusi lebih jelas, lihat  Majelis Konstituante Nasional.

Faksi-faksi dalam majelis tersebut mulai bermunculan. Kaum ningrat Jacques Antoine Marie Cazalès dan
pendeta Jean-Sifrein Maury memimpin yang kelak dikenal sebagai sayap kanan yang menentang
revolusi. "Royalis Demokrat" atau Monarchien, bersekutu dengan Necker, cenderung mengorganisir
Prancis sejajar garis yang mirip dengan model Konstitusi Inggris: mereka termasuk Jean Joseph
Mounier, Comte de Lally-Tollendal, Comte de Clermont-Tonnerre, dan Pierre Victor Malouet, Comte de
Virieu.
"Partai Nasional" yang mewakili faksi tengah atau kiri-tengah majelis tersebut termasuk Honoré
Mirabeau, Lafayette, dan Bailly; sedangkan Adrien Duport, Barnave dan Alexander Lameth mewakili
pandangan yang lebih ekstrem. Yang hampir sendiri dalam radikalismenya di sisi kiri adalah
pengacara Arras Maximilien Robespierre.
Sieyès memimpin pengusulan legislasi pada masa ini dan berhasil menempa konsensus selama
beberapa waktu antara pusat politik dan pihak kiri.
Di Paris, sejumlah komite, wali kota, majelis perwakilan, dan distrik-distrik perseorangan mengklaim
otoritas yang bebas dari yang. Kelas menengah Garda Nasional yang juga naik pamornya di bawah
Lafayette juga perlahan-lahan muncul sebagai kekuatan dalam haknya sendiri, begitupun majelis yang
didirikan sendiri lainnya.
Melihat model Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, pada tanggal 26 Agustus 1789, majelis
mendirikan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warganegara. Seperti Deklarasi AS, deklarasi ini terdiri
atas pernyataan asas daripada konstitusi dengan pengaruh resmi.
Ke arah konstitusi[sunting  |  sunting sumber]
Untuk diskusi lebih lanjut, lihat Ke arah Konstitusi.
Majelis Konsituante Nasional tak hanya berfungsi sebagai legislatur, tetapi juga sebagai badan untuk
mengusulkan konstitusi baru.
Necker, Mounier, Lally-Tollendal, dll tidak berhasil mengusulkan sebuah senat, yang anggotanya
diangkat oleh raja pada pencalonan rakyat. Sebagian besar bangsawan mengusulkan majelis
tinggi aristokrat yang dipilih oleh para bangsawan. Kelompok rakyat menyatakan pada hari itu: Prancis
akan memiliki majelis tunggal dan unikameral. Raja hanya memiliki "veto suspensif": ia dapat menunda
implementasi hukum, tetapi tidak bisa mencabutnya sama sekali.
Rakyat Paris menghalangi usaha kelompok Royalis untuk mencabut tatanan baru ini: mereka berbaris di
Versailles pada tanggal 5 Oktober 1789. Setelah sejumlah perkelahian dan insiden, raja dan keluarga
kerajaan merelakan diri dibawa kembali dari Versailles ke Paris.
Majelis itu menggantikan sistem provinsi dengan 83 département, yang diperintah secara seragam dan
kurang lebih sederajat dalam hal luas dan populasi.
Awalnya dipanggil untuk mengurusi krisis keuangan, hingga saat itu majelis ini memusatkan perhatian
pada masalah lain dan hanya memperburuk defisit itu. Mirabeau kini memimpin gerakan itu untuk
memusatkan perhatian pada masalah ini, dengan majelis itu yang memberikan kediktatoran penuh dalam
keuangan pada Necker.
Ke arah Konstitusi Sipil Pendeta[sunting | sunting sumber]
Untuk diskusi lanjutan, lihat Konstitusi Sipil Pendeta.

Ke tingkatan yang tidak lebih sempit, majelis itu memusatkan perhatian pada krisis keuangan ini dengan
meminta bangsa mengambil alih harta milik gereja (saat menghadapi pengeluaran gereja) melalui hukum
tanggal 2 Desember 1789. Agar memonter sejumlah besar harta benda itu dengan cepat, pemerintah
meluncurkan mata uang kertas baru, assignat, diongkosi dari tanah gereja yang disita.
Legislasi lebih lanjut pada tanggal 13 Februari 1790 menghapuskan janji biara. Konstitusi Sipil Pendeta,
yang disahkan pada tanggal 12 Juli 1790 (meski tak ditandatangani oleh raja pada tanggal 26
Desember 1790), mengubah para pendeta yang tersisa sebagai pegawai negeri dan meminta mereka
bersumpah setia pada konstitusi. Konstitusi Sipil Pendeta juga membuat gereja Katolik sebagai tangan
negara sekuler.
Menanggapi legislasi ini, uskup agung Aix dan uskup Clermont memimpin pemogokan pendeta dari
Majelis Konstituante Nasional. Sri Paus tak pernah menyetujui rencana baru itu, dan hal ini menimbulkan
perpecahan antara pendeta yang mengucapkan sumpah yang diminta dan menerima rencana baru itu
("anggota juri" atau "pendeta konstitusi") dan "bukan anggota juri" atau "pendeta yang keras hati" yang
menolak berbuat demikian.
Dari peringatan Bonjour ke kematian Mirabeau[sunting | sunting sumber]
Untuk diskusi lebih detail tentang peristiwa antara  14 Juli 1790 - 30 September  1791, lihat  Dari
peringatan Bastille ke kematian Mirabeau.
Majelis itu menghapuskan perlengkapan simbolik ancien régime, baringan lapis baja, dll., yang lebih
lanjut mengasingkan bangsawan yang lebih konservatif, dan menambahkan pangkat émigré.
Pada tanggal 14 Juli 1790, dan beberapa hari berikutnya, kerumuman di Champ-de-Mars memperingati
jatuhnya Bastille; Talleyrand melakukan sumpah massal untuk "setia pada negara, hukum, dan raja"; raja
dan keluarga raja ikut serta secara aktif.
Para pemilih awalnya memilih anggota Dewan Jenderal untuk bertugas dalam setahun, tetapi
dengan Sumpah Lapangan Tenis, commune tersebut telah sepakat bertemu terus menerus hingga
Prancis memiliki konstitusi. Unsur sayap kanan kini mengusulkan pemilu baru, tetapi Mirabeau menang,
menegaskan bahwa status majelis itu telah berubah secara fundamental, dan tiada pemilu baru yang
terjadi sebelum sempurnanya konstitusi.
Pada akhir 1790, beberapa huru-hara kontrarevolusi kecil-kecilan pecah dan berbagai usaha terjadi untuk
mengembalikan semua atau sebagian pasukan pasukan terhadap revolusi yang semuanya gagal.
Pengadilan kerajaan, dalam kata-kata François Mignet, "mendorong setiap kegiatan antirevolusi dan tak
diakui lagi." [1]
Militer menghadapi sejumlah kerusuhan internal: Jenderal Bouillé berhasil meredam sebuah
pemberontakan kecil, yang meninggikan reputasinya (yang saksama) untuk simpatisan kontrarevolusi.
Kode militer baru, yang dengannya kenaikan pangkat bergantung senioritas dan bukti kompetensi
(daripada kebangsawanan) mengubah beberapa korps perwira yang ada, yang yang bergabung dengan
pangkat émigré atau menjadi kontrarevolusi dari dalam.
Masa ini menyaksikan kebangkitan sejumlah "klub" politik dalam politik Prancis, yang paling menonjol di
antaranya adalah Klub Jacobin: menurut 1911 Encyclopædia Britannica, 152 klub berafiliasi dengan
Jacobin pada tanggal 10 Agustus 1790. Saat Jacobin menjadi organisasi terkenal, beberapa pendirinya
meninggalkannya untuk membentuk Klub '89. Para royalis awalnya mendirikan Club des Impartiaux yang
berumur pendek dan kemudian Club Monarchique. Mereka tak berhasil mencoba membujuk dukungan
rakyat untuk mencari nama dengan membagi-bagikan roti; hasilnya, mereka sering menjadi sasaran
protes dan malahan huru-hara, dan pemerintah kotamadya Paris akhirnya menutup Club Monarchique
pada bulan Januari 1791.
Di tengah-tengah intrik itu, majelis terus berusaha untuk mengembangkan sebuah konstitusi. Sebuah
organisasi yudisial membuat semua hakim sementara dan bebas dari tahta. Legislator menghapuskan
jabatan turunan, kecuali untuk monarki sendiri. Pengadilan juri dimulai untuk kasus-kasus kejahatan. Raja
akan memiliki kekuasaan khusus untuk mengusulkan perang, kemudian legislator memutuskan apakah
perang diumumkan atau tidak. Majelis itu menghapuskan semua penghalang perdagangan dan
menghapuskan gilda, ketuanan, dan organisasi pekerja: setiap orang berhak berdagang melalui
pembelian surat izin; pemogokan menjadi ilegal.
Di musim dingin 1791, untuk pertama kalinya majelis tersebut mempertimbangkan legislasi
terhadap émigré. Debat itu mengadu keamanan negara terhadap kebebasan perorangan untuk pergi.
Mirabeau menang atas tindakan itu, yang disebutnya "patutu ditempatkan di kode Drako." [2]
Namun, Mirabeau meninggal pada tanggal 2 Maret 1791. Mignet berkata, "Tak seorang pun yang
menyamainya dalam hal kekuatan dan popularitas," dan sebelum akhir tahun, Majelis Legislatif yang baru
akan mengadopsi ukuran "drako" ini.
Pelarian ke Varennes[sunting  |  sunting sumber]
Untuk diskusi lebih jelas, lihat  Pelarian ke Varennes.

Louis XVI, yang ditentang pada masa revolusi, tetapi menolak bantuan yang kemungkinan berbahaya ke
penguasa Eropa lainnya, membuat kesatuan dengan Jenderal Bouillé, yang menyalahkan emigrasi dan
majelis itu, dan menjanjikannya pengungsian dan dukungan di kampnya di Montmedy.
Pada malam 20 Juni 1791, keluarga kerajaan lari ke Tuileries. Namun, keesokan harinya, sang Raja yang
terlalu yakin itu dengan sembrono menunjukkan diri. Dikenali dan ditangkap
di Varennes (di département Meuse) di akhir 21 Juni, ia kembali ke Paris di bawah pengawalan.
Pétion, Latour-Maubourg, dan Antoine Pierre Joseph Marie Barnave, yang mewakili majelis, bertemu
anggota kerajaan itu di Épernay dan kembali dengan mereka. Dari saat ini, Barnave became penasihat
dan pendukung keluarga raja.
Saat mencapai Paris, kerumunan itu tetap hening. Majelis itu untuk sementara menangguhkan sang raja.
Ia dan Ratu Marie Antoinette tetap ditempatkan di bawah pengawalan.
Hari-hari terakhir Majelis Konstituante Nasional[sunting | sunting sumber]
Untuk diskusi lebih jelas, silakan lihat  Hari-hari terakhir Majelis Konstituante Nasional.
Dengan sebagian besar anggota majelis yang masih menginginkan monarki
konstitusional daripada republik, sejumlah kelompok itu mencapai kompromi yang membiarkan Louis XVI
tidak lebih dari penguasa boneka: ia terpaksa bersumpah untuk konstitusi, dan sebuah dekret
menyatakan bahwa mencabut sumpah, mengepalai militer untuk mengumumkan perang atas bangsa,
atau mengizinkan tiap orang untuk berbuat demikian atas namanya berarti turun tahta secara de facto.
Jacques Pierre Brissot mencadangkan sebuah petisi, bersikeras bahwa di mata bangsa Louis XVI
dijatuhkan sejak pelariannya. Sebuah kerumunan besar berkumpul di Champ-de-Mars untuk
menandatangani petisi itu. Georges Danton dan Camille Desmoulins memberikan pidato berapi-api.
Majelis menyerukan pemerintah kotamadya untuk "melestarikan tatanan masyarakat". Garda Nasional di
bawah komando Lafayette menghadapi kerumuman itu. Pertama kali para prajurit membalas serangan
batu dengan menembak ke udara; kerumunan tidak bubar, dan Lafayette memerintahkan orang-
orangnya untuk menembak ke kerumunan, menyebabkan pembunuhan sebanyak 50 jiwa.
Segera setelah pembantaian itu pemerintah menutup banyak klub patriot, seperti surat kabar radikal
seperti L'Ami du Peuple milik Jean-Paul Marat. Danton lari ke Inggris; Desmoulins dan Marat lari
bersembunyi.
Sementara itu, ancaman baru dari luar muncul: Leopold II, Kaisar Romawi Suci, Friedrich Wilhelm II dari
Prusia, dan saudara raja Charles-Phillipe, comte d'Artois mengeluarkan Deklarasi Pilnitz yang
menganggap perkara Louis XVI seperti perkara mereka sendiri, meminta pembebasannya secara penuh
dan pembubaran majelis itu, dan menjanjikan serangan ke Prancis atas namanya jika pemerintah
revolusi menolak syarat tersebut.
Jika tidak, pernyataan itu secara langsung membahayakan Louis. Orang Prancis tidak mengindahkan
perintah penguasa asing itu, dan ancaman militer hanya menyebabkan militerisasi perbatasan.
Malahan sebelum "Pelarian ke Varennes", para anggota majelis telah menentukan untuk menghalangi
diri dari legislatur yang akan menggantikan mereka, Majelis Legislatif. Kini mereka mengumpulkan
sejumlah hukum konstitusi yang telah mereka sahkan ke dalam konstitusi tunggal, menunjukkan keuletan
yang luar biasa dalam memilih untuk tidak menggunakan hal ini sebagai kesempatan untuk revisi utama,
dan mengajukannya ke Louis XVI yang dipulihkan saat itu, yang menyetujuinya, menulis "Saya mengajak
mempertahankannya di dalam negeri, mempertahankannya dari semua serangan luar; dan
menyebabkan pengesahannya yang tentu saja ditempatkan di penyelesaian saya". Raja memuji majelis
dan menerima tepukan tangan penuh antusias dari para anggota dan penonton. Majelis mengakhiri masa
jabatannya pada tanggal 29 September 1791.
Mignet menulis, "Konstitusi 1791... adalah karya kelas menengah, kemudian yang terkuat; seperti yang
diketahui benar, karena kekuatan yang mendominasi pernah mengambil kepemilikan lembaga itu...
Dalam konstitusi ini rakyat adalah sumber semua, tetapi tak melaksanakan apapun." [3]
Majelis Legislatif dan kejatuhan monarki[sunting | sunting sumber]
Untuk penjelasan lebih jelas tentang peristiwa antara 1 Oktober  1791  -  19 September 1792, lihat Majelis
Legislatif dan jatuhnya monarki Prancis.

Majelis Legislatif[sunting | sunting sumber]


Di bawah Konstitusi 1791, Prancis berfungsi sebagai monarki konstitusional. Raja harus berbagi
kekuasaan dengan Majelis Legislatif yang terpilih, tetapi ia masih bisa mempertahankan vetonya dan
kemampuan memilih menteri.
Majelis Legislatif pertama kali bertemu pada tanggal 1 Oktober 1791, dan jatuh dalam keadaan kacau
hingga kurang dari setahun berikutnya. Dalam kata-kata 1911 Encyclopædia Britannica: "Dalam mencba
memerintah, majelis itu sama sekali gagal. Majelis itu membiarkan kekosongan keuangan,
ketidakdisiplinan pasukan dan angkatan laut, dan rakyat yang rusak moralnya oleh huru-hara yang aman
dan berhasil."
Majelis Legislatif terdiri atas sekitar 165 anggota Feuillant (monarkis konstitusional) di sisi kanan, sekitar
330 Girondin (republikan liberal) dan Jacobin (revolusioner radikal) di sisi kiri, dan sekitar 250 wakil yang
tak berafiliasi dengan faksi apapun.
Sejak awal, raja memveto legislasi yang mengancam émigré dengan kematian dan hal itu menyatakan
bahwa pendeta non-juri harus menghabiskan 8 hari untuk mengucapkan sumpah sipil yang diamanatkan
oleh Konstitusi Sipil Pendeta. Lebih dari setahun, ketidaksetujuan atas hal ini akan menimbulkan krisis
konstitusi.
Perang[sunting | sunting sumber]
Politik masa itu membawa Prancis secara tak terelakkan ke arah perang terhadap Austria dan sekutu-
sekutunya. Sang Raja, kelompok Feuillant dan Girondin khususnya menginginkan perang. Sang Raja
(dan banyak Feuillant bersamanya) mengharapkan perang akan menaikkan popularitasnya; ia juga
meramalkan kesempatan untuk memanfaatkan tiap kekalahan: yang hasilnya akan membuatnya lebih
kuat. Kelompok Girondin ingin menyebarkan revolusi ke seluruh Eropa. Hanya beberapa Jacobin radikal
yang menentang perang, lebih memilih konsolidasi dan mengembangkan revolusi di dalam negeri. Kaisar
Austria Leopold II, saudara Marie Antoinette, berharap menghindari perang, tetapi meninggal pada
tanggal 1 Maret 1792.
Prancis menyatakan perang pada Austria (20 April 1792) dan Prusia bergabung di pihak Austria
beberapa minggu kemudian. Perang Revolusi Prancis telah dimulai.
Setelah pertempuran kecil awal berlangsung sengit untuk Prancis, pertempuran militer yang berarti atas
perang itu terjadi dengan Pertempuran Valmy yang terjadi antara Prancis dan Prusia (20
September 1792). Meski hujan lebat menghambat resolusi yang menentukan, artileri Prancis
membuktikan keunggulannya. Namun, dari masa ini, Prancis menghadapi huru-hara dan monarki telah
menjadi masa lalu.
Krisis konstitusi[sunting | sunting sumber]

10 Agustus 1792 di Komune Paris

Artikel utama:  10 Agustus (Revolusi Prancis) dan  Pembantaian September

Pada malam 10 Agustus 1792, para pengacau, yang didukung oleh kelompok revolusioner baru Komuni
Paris, menyerbu Tuileries. Raja dan ratu akhirnya menjadi tahanan dan sidang muktamar Majelis
Legislatif menunda monarki: tak lebih dari sepertiga wakil, hampir semuanya Jacobin.
Akhirnya pemerintahan nasional bergabung pada dukungan commune. Saat commune mengirimkan
sejumlah kelompok pembunuh ke penjara untuk menjagal 1400 korban, dan mengalamatkan surat
edaran ke kota lain di Prancis untuk mengikuti conth mereka, majelis itu hanya bisa melancarkan
perlawanan yang lemah. Keadaan ini berlangsung terus menerus hingga Konvensi, yang diminta menulis
konstitusi baru, bertemu pada tanggal 20 September 1792 dan menjadi pemerintahan de facto baru di
Prancis. Pada hari berikutnya konvensi itu menghapuskan monarki dan mendeklarasikan republik.
Tanggal ini kemudian diadopsi sebagai awal Tahun Satu dari Kalender Revolusi Prancis.
Konvensi[sunting | sunting sumber]

Eksekusi Louis XVI

Untuk penjelasan lebih lanjut tentang peristiwa antara  20 September 1792-  26 September 1795,


lihat Konvensi Nasional.

Kuasa legislatif di republik baru jatuh ke Konvensi, sedangkan kekuasaan eksekutif jatuh ke sisanya
di Komite Keamanan Umum. Kaum Girondin pun menjadi partai paling berpengaruh dalam konvensi dan
komite itu.
Dalam Manifesto Brunswick, tentara kerajaan dan Prusia mengancam pembalasan ke penduduk Prancis
jika hal itu menghambat langkah majunya atau dikembalikannya monarki. Sebagai akibatnya, Raja Louis
dipandang berkonspirasi dengan musuh-musuh Prancis. 17 Januari 1793 menyaksikan tuntutan mati
kepada Raja Louis untuk "konspirasi terhadap kebebasan publik dan keamanan umum" oleh mayoritas
lemah di konvensi. Eksekusi tanggal 21 Januari menimbulkan banyak perang dengan negara Eropa
lainnya. Permaisuri Louis yang kelahiran Austria, Marie Antoinette, menyusulnya ke guillotine pada
tanggal 16 Oktober.
Saat perang bertambah sengit, harga naik dan sans-culottes (buruh miskin dan Jacobin radikal)
memberontak; kegiatan kontrarevolusi mulai bermunculan di beberapa kawasan. Hal ini mendorong
kelompok Jacobin merebut kekuasaan melalui kup parlemen, yang ditunggangi oleh kekuatan yang
didapatkan dengan menggerakkan dukungan publik terhadap faksi Girondin, dan dengan memanfaatkan
kekuatan khayalak sans-culottes Paris. Kemudian persekutuan Jacobin dan unsur-unsur sans-
culottes menjadi pusat yang efektif bagi pemerintahan baru. Kebijakan menjadi agak lebih radikal.
Guillotine: antara 18.000-40.000 jiwa dieksekusi selama Pemerintahan Teror

Komite Keamanan Publik berada di bawah kendali Maximilien Robespierre, dan Jacobin melepaskan


tali Pemerintahan Teror (1793-1794). Setidaknya 1200 jiwa menemui kematiannya dengan guillotine dsb;
setelah tuduhan kontrarevolusi. Gambaran yang sedikit saja atas pikiran atau kegiatan kontrarevolusi
(atau, pada kasus Jacques Hébert, semangat revolusi yang melebihi semangat kekuasaan) bisa
menyebabkan seseorang dicurigai, dan pengadilan tidak berjalan dengan teliti.
Pada tahun 1794 Robespierre memerintahkan tokoh-tokoh Jacobin yang ultraradikal dan moderat
dieksekusi; namun, sebagai akibatnya, dukungan rakyat terhadapnya terkikis sama sekali. Pada
tanggal 27 Juli 1794, orang-orang Prancis memberontak terhadap Pemerintahan Teror yang sudah
kelewatan dalam Reaksi Thermidor, yang menyebabkan anggota konvensi yang moderat menjatuhkan
hukuman mati buat Robespierre dan beberapa anggota terkemuka lainnya di Komite Keamanan Publik.
Pemerintahan baru itu sebagian besar tersusun atas Girondis yang lolos dari teror, dan setelah
mengambil kekuasaan menuntut balas dengan penyiksaan yang juga dilakukan terhadap Jacobin yang
telah membantu menjatuhkan Robespierre, melarang Klub Jacobin, dan menghukum mati sejumlah
besar bekas anggotanya pada apa yang disebut sebagai Teror Putih.
Konvensi menyetujui "Konstitusi Tahun III" yang baru pada tanggal 17 Agustus 1795;
sebuah plebisit meratifikasinya pada bulan September; dan mulai berpengaruh pada tanggal 26
September 1795.
Direktorat[sunting | sunting sumber]
Untuk informasi lebih banyak tentang peristiwa antara 26 September  1795  -  9 November  1799,
lihat Direktorat Prancis.
Konstitusi baru itu melantik Directoire (bahasa Indonesia: Direktorat) dan menciptakan legislatur
bikameral pertama dalam sejarah Prancis. Parlemen ini terdiri atas 500 perwakilan (Conseil des Cinq-
Cents/Dewan Lima Ratus) dan 250 senator (Conseil des Anciens/Dewan Senior). Kuasa eksekutif
dipindahkan ke 5 "direktur" itu, dipilih tahunan oleh Conseil des Anciens dari daftar yang diberikan
oleh Conseil des Cinq-Cents.
Régime baru bertemu dengan oposisi dari Jacobin dan royalis yang tersisa. Pasukan meredam
pemberontakan dan kegiatan kontrarevolusi. Dengan cara ini pasukan tersebut dan jenderalnya yang
berhasil, Napoleon Bonaparte memperoleh lebih banyak kekuasaan.
Pada tanggal 9 November 1799 (18 Brumaire dari Tahun VIII) Napoleon mengadakan kup yang
melantik Konsulat; secara efektif hal ini memulai kediktatorannya dan akhirnya (1804) pernyataannya
sebagai kaisar, yang membawa mendekati fase republikan spesifik pada masa Revolusi Prancis.

Dampak terjadinya revolusi Prancis[sunting | sunting sumber]


Revolusi Prancis memiliki banyak dampak terhadap keberlangsungan pemerintahan Prancis sendiri
maupun terhadap negara lain seperti Indonesia sekalipun belum memiliki bentuk negara. Adapaun
dampak terjadinya revolusi Prancis dapat dibagi menjadi beberapa bidang seperti dibawah ini:
Bidang Politik[sunting  |  sunting sumber]
Dengan membaca ulasan di atas tentunya kita dapat memahami dampak apa yang terjadi di bidang
politik dengan adanya revolusi Prancis. Namun tidak ada salahnya jika kita singgung sedikit mengenai
dampak politik tersebut.
Dampa utama yang ditimbulkan revolusi Prancis terhadap sistem politik jelas berupa kekuasaan absolut
yang sangat dicam oleh rakyat. Lebih dari itu, paham liberal yang muncul dengan adanya revolusi
Prancis sangat pesat menyebar hingga ke penjuru dunia seperti Spanyol, Jerman, Rusia, Austria, dan
Italia. Dengan adanya revolusi Prancis tumbuh pula paham demokrasi, parlementer, republik, dan lain
sebagainya yang tentunya juga mulai tumbuh di negara lain.
Bidang Sosial[sunting | sunting sumber]
Dalam perjuangan revolusi Prancis jelas dapat kita ketahui bahwa stratifikasi sosial di negara tersebut
dihapuskan, memberikan hak dan kewajiban yang sama terhadap seluruh rakyat serta memberikan
kebebasan dalam menentukan agama, pendidikan, dan pekerjaan.
Bidang Ekonomi[sunting | sunting sumber]
Dihapusnya sistem gilde, yakni sistem dalam peraturan perdagangan. Dengan dihapusnya sistem ini
maka perdagangan dan industri dapat berkembang dengan cukup baik di Prancis pasca revolusi Prancis.
Disisi lain kehidupan petani juga memiliki peningkatan, hal ini tidak lain karena dihapusnya pajak feodal
dan selain sebagai penggarap tanah, petani juga diberikan hak untuk memiliki tanah. Dengan demikian
pendapatan dan taraf hidup petani perlahan semakin meningkat.

Pengaruh Revolusi Prancis Terhadap Indonesia[sunting | sunting sumber]


Salah satu wilayah yang terkena dampak positif dari terjadinya revolusi Prancis adalah Indonesia.
Meskipun pada saat itu kedaulatan NKRI dan kemerdekaan Indonesia belum menemu jalannya, tetapi
peristiwa revolusi Prancis memberikan inspirasi bagi para tokoh di Indonesia. Beberapa paham yang turut
dijadikan sebagai motor penggerak massa mencari jalan Indonesia dalam kebabasan dan kemerdekaan
adalah sebagai berikut:
Paham Nasionalisme[sunting | sunting sumber]
Sebagaimana catatan sejarah yang ada, paham nasionalisme muncul dan berkembang di daratan Eropa.
Setelah adanya revolusi Prancis paham ini menyebar dengan cepat di daratan Asia dan Afrika, tidak
terkecuali Indonesia dalam melawan negara imperialis Barat yang telah lama berkongko di Indonesia.
Boedi Oetomo adalah salah satu organisasi nasional yang telah mengikuti paham nasionalisme dan
berdiri pada tanggal 20 Mei 1908. Dari organisasi nasional pertama di Indonesia ini kemudian paham
nasionalisme semakin terkenal dan menyebar di Indonesia sehingga bermunculan pergerakan nasional di
Indonesia.
Paham Demokrasi[sunting | sunting sumber]
Meskipun tidak secara langsung terkena dampak dari terjadinya revolusi Prancis, tetapi secara tidak
langsung paham demokrasi yang mulai muncul di Indonesia pada Abad ke-20 merupakan bukti
menyebarnya paham demokrasi ke seluruh penjuru dunia. Hal ini dibuktikan pada saat pemerintah
Belanda yang pada waktu itu berkuasa di Indonesia memutuskan kaum bumi putera wajib militer guna
memperkuat keamanan. Mendengar keputusan tersebut yang terjadi pada tahun 1916 ini maka Boedi
Oetomo mengirimkan wakilnya yakni Dwidjosewoyo untuk melakukan perundingan dan negosiasi
terhadap para pemimpin Belanda di Indonesia. Dari hasil negosiasi tersebut pemerintah Belanda tidak
jadi memberikan wajib militer bagi penduduk pribumi melainkan diganti dengan pendirian Volksraad yakni
Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Belanda yang diresmikan pada tanggal 16 bulan Desember tahun
1916.
Selain hal tersebut diatas, bukti paham demokrasi muncul di Indonesia setelah adanya revolusi Prancis
ialah adanya tuntutan Indonesia Ber-parlemen. Bentuk perjuangan dan asas yang dianut dalam sistem
parlemen tetunya sedikit banyak terinspirasi oleh perjuangan rakyat Prancis pada masa revolusi Prancis.
Dengan adanya paham ini kemudian partai-partai politik di Indonesia bergabung membentuk wadah baru
yang disebut dengan Gabungan Politik Indonesia atau yang sering disingkat GAPI. Dalam perjuangannya
GAPI menyerukan bahwa Indonesia Berparlemen. Hal ini dilakukan guna menghindari paham fasisme
yang pada saat itu sangat meresahkan dunia khususnya pada masa perang dunia II.
Persatuan[sunting  |  sunting sumber]
Sebagaimana kita ketahui bahwa revolusi Prancis dapat berjalan dengan lancar karena adanya
persatuan dari rakyat-nya. Hal itu pula menginspirasi Indonesia untuk menumbuhkan sikap persatuan
dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Salah satu bukti awal lahirnya persatuan di Indonesia setelah
adanya revolusi Prancis adalah digunakannya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Hal ini
diikrarkan oleh para pemuda Indonesia yang kemudian kita kenal dengan “Sumpah Pemuda”.
Direktorat[sunting | sunting sumber]
Untuk informasi lebih banyak tentang peristiwa antara 26 September  1795  -  9 November  1799,
lihat Direktorat Prancis.

Konstitusi baru itu melantik Directoire (bahasa Indonesia: Direktorat) dan menciptakan legislatur


bikameral pertama dalam sejarah Prancis. Parlemen ini terdiri atas 500 perwakilan (Conseil des Cinq-
Cents/Dewan Lima Ratus) dan 250 senator (Conseil des Anciens/Dewan Senior). Kuasa eksekutif
dipindahkan ke 5 "direktur" itu, dipilih tahunan oleh Conseil des Anciens dari daftar yang diberikan
oleh Conseil des Cinq-Cents.
Régime baru bertemu dengan oposisi dari Jacobin dan royalis yang tersisa. Pasukan meredam
pemberontakan dan kegiatan kontrarevolusi. Dengan cara ini pasukan tersebut dan jenderalnya yang
berhasil, Napoleon Bonaparte memperoleh lebih banyak kekuasaan.
Pada tanggal 9 November 1799 (18 Brumaire dari Tahun VIII) Napoleon mengadakan kup yang
melantik Konsulat; secara efektif hal ini memulai kediktatorannya dan akhirnya (1804) pernyataannya
sebagai kaisar, yang membawa mendekati fase republikan spesifik pada masa Revolusi Prancis.

Dampak terjadinya revolusi Prancis[sunting | sunting sumber]


Revolusi Prancis memiliki banyak dampak terhadap keberlangsungan pemerintahan Prancis sendiri
maupun terhadap negara lain seperti Indonesia sekalipun belum memiliki bentuk negara. Adapaun
dampak terjadinya revolusi Prancis dapat dibagi menjadi beberapa bidang seperti dibawah ini:
Bidang Politik[sunting  |  sunting sumber]
Dengan membaca ulasan di atas tentunya kita dapat memahami dampak apa yang terjadi di bidang
politik dengan adanya revolusi Prancis. Namun tidak ada salahnya jika kita singgung sedikit mengenai
dampak politik tersebut.
Dampa utama yang ditimbulkan revolusi Prancis terhadap sistem politik jelas berupa kekuasaan absolut
yang sangat dicam oleh rakyat. Lebih dari itu, paham liberal yang muncul dengan adanya revolusi
Prancis sangat pesat menyebar hingga ke penjuru dunia seperti Spanyol, Jerman, Rusia, Austria, dan
Italia. Dengan adanya revolusi Prancis tumbuh pula paham demokrasi, parlementer, republik, dan lain
sebagainya yang tentunya juga mulai tumbuh di negara lain.
Bidang Sosial[sunting | sunting sumber]
Dalam perjuangan revolusi Prancis jelas dapat kita ketahui bahwa stratifikasi sosial di negara tersebut
dihapuskan, memberikan hak dan kewajiban yang sama terhadap seluruh rakyat serta memberikan
kebebasan dalam menentukan agama, pendidikan, dan pekerjaan.
Bidang Ekonomi[sunting | sunting sumber]
Dihapusnya sistem gilde, yakni sistem dalam peraturan perdagangan. Dengan dihapusnya sistem ini
maka perdagangan dan industri dapat berkembang dengan cukup baik di Prancis pasca revolusi Prancis.
Disisi lain kehidupan petani juga memiliki peningkatan, hal ini tidak lain karena dihapusnya pajak feodal
dan selain sebagai penggarap tanah, petani juga diberikan hak untuk memiliki tanah. Dengan demikian
pendapatan dan taraf hidup petani perlahan semakin meningkat.

Pengaruh Revolusi Prancis Terhadap Indonesia[sunting | sunting sumber]


Salah satu wilayah yang terkena dampak positif dari terjadinya revolusi Prancis adalah Indonesia.
Meskipun pada saat itu kedaulatan NKRI dan kemerdekaan Indonesia belum menemu jalannya, tetapi
peristiwa revolusi Prancis memberikan inspirasi bagi para tokoh di Indonesia. Beberapa paham yang turut
dijadikan sebagai motor penggerak massa mencari jalan Indonesia dalam kebabasan dan kemerdekaan
adalah sebagai berikut:
Paham Nasionalisme[sunting | sunting sumber]
Sebagaimana catatan sejarah yang ada, paham nasionalisme muncul dan berkembang di daratan Eropa.
Setelah adanya revolusi Prancis paham ini menyebar dengan cepat di daratan Asia dan Afrika, tidak
terkecuali Indonesia dalam melawan negara imperialis Barat yang telah lama berkongko di Indonesia.
Boedi Oetomo adalah salah satu organisasi nasional yang telah mengikuti paham nasionalisme dan
berdiri pada tanggal 20 Mei 1908. Dari organisasi nasional pertama di Indonesia ini kemudian paham
nasionalisme semakin terkenal dan menyebar di Indonesia sehingga bermunculan pergerakan nasional di
Indonesia.
Paham Demokrasi[sunting | sunting sumber]
Meskipun tidak secara langsung terkena dampak dari terjadinya revolusi Prancis, tetapi secara tidak
langsung paham demokrasi yang mulai muncul di Indonesia pada Abad ke-20 merupakan bukti
menyebarnya paham demokrasi ke seluruh penjuru dunia. Hal ini dibuktikan pada saat pemerintah
Belanda yang pada waktu itu berkuasa di Indonesia memutuskan kaum bumi putera wajib militer guna
memperkuat keamanan. Mendengar keputusan tersebut yang terjadi pada tahun 1916 ini maka Boedi
Oetomo mengirimkan wakilnya yakni Dwidjosewoyo untuk melakukan perundingan dan negosiasi
terhadap para pemimpin Belanda di Indonesia. Dari hasil negosiasi tersebut pemerintah Belanda tidak
jadi memberikan wajib militer bagi penduduk pribumi melainkan diganti dengan pendirian Volksraad yakni
Dewan Perwakilan Rakyat Hindia Belanda yang diresmikan pada tanggal 16 bulan Desember tahun
1916.
Selain hal tersebut diatas, bukti paham demokrasi muncul di Indonesia setelah adanya revolusi Prancis
ialah adanya tuntutan Indonesia Ber-parlemen. Bentuk perjuangan dan asas yang dianut dalam sistem
parlemen tetunya sedikit banyak terinspirasi oleh perjuangan rakyat Prancis pada masa revolusi Prancis.
Dengan adanya paham ini kemudian partai-partai politik di Indonesia bergabung membentuk wadah baru
yang disebut dengan Gabungan Politik Indonesia atau yang sering disingkat GAPI. Dalam perjuangannya
GAPI menyerukan bahwa Indonesia Berparlemen. Hal ini dilakukan guna menghindari paham fasisme
yang pada saat itu sangat meresahkan dunia khususnya pada masa perang dunia II.
Persatuan[sunting  |  sunting sumber]
Sebagaimana kita ketahui bahwa revolusi Prancis dapat berjalan dengan lancar karena adanya
persatuan dari rakyat-nya. Hal itu pula menginspirasi Indonesia untuk menumbuhkan sikap persatuan
dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Salah satu bukti awal lahirnya persatuan di Indonesia setelah
adanya revolusi Prancis adalah digunakannya bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Hal ini
diikrarkan oleh para pemuda Indonesia yang kemudian kita kenal dengan “Sumpah Pemuda”.

Anda mungkin juga menyukai