Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

Karakterisasi Isolat Enterococcus faecalis yang


Berasal dari Sumber yang Berbeda untuk Faktor
Virulensi dan Gen, Pola Resistensi Antibiotik,
Genotipe dan Produksi Biofilm.

Disusun Oleh:
Indri Vania 2018-16-102
Adelina 2018-16-104

Pembimbing:
Dr. Sari Dewiyani, drg, Sp.KG

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS PROF. DR. MOESTOPO (BERAGAMA)
JAKARTA
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI :...........................................................................................i

BAB I : PENDAHULUAN.........................................................................1

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA................................................................3

2.1 Enterococcus Faecalis...........................................................3

2.2 Faktor Virulensi E. Faecalis..................................................5

2.3 Pola Resistensi Antibiotik.....................................................7

2.4 Genotip dan Fenotip..............................................................7

2.5 Biofilm...................................................................................7

2.6 Bahan dan Metode Penelitian................................................8

2.7 Hasil Penelitian......................................................................10

2.8 Pembahasan Penelitian..........................................................16

BAB III : KESIMPULAN...........................................................................21

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................23

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Enterococcus adalah bakteri gram positif dan merupakan bakteri

oportunistik yang mendiami saluran pencernaan manusia dan hewan. Mereka

juga hadir dalam bentuk makanan, sebagai starter culture untuk produksi

keju dan sosis fermentasi. Beberapa strain tertentu tersedia sebagai probiotik

dalam pakan ternak. Namun, enterococcus telah diketahui sebagai penyebab

utama infeksi nosokomial dan semakin terisolasi dari aliran darah, saluran

kemih, dan situs bedah. Enterococcus faecalis menyebabkan 80 hingga 90%

dari infeksi enterococcal manusia, dan Enterococcus faecium menyebabkan

sebagian besar kasus yang tersisa (spesies enterococcal lainnya jarang

terlibat).1

Virulensi bakteri ini disebabkan karena kemampuannya dalam

pembentukan kolonisasi pada host, dapat bersaing dengan bakteri lain,

resisten terhadap mekanisme pertahanan host, menghasilkan perubahan

patogen baik secara langsung melalui produksi toksin atau secara tidak

langsung melalui rangsangan terhadap mediator inflamasi.2

Kebanyakan enterococcus memiliki ketahanan terhadap berbagai

antibiotik seperti sefalosporin, penisilin, aminoglikosida, glikopeptida, dan

lincosamid Studi baru-baru ini berfokus pada infeksi enterococcal dalam


kedokteran hewan secara paralel yaitu adanya pengaruh faktor hewan dalam

penularan enterococcus resisten terhadap manusia.1,2

Biofilm adalah komunitas mikroorganisme terstruktur yang dikemas

dalam matriks polimer yang dikembangkan sendiri dan dapat melekat pada

berbagai permukaan biotik dan abiotik ireversibel. Produksi biofilm telah

dilaporkan dalam beberapa infeksi enterococcal. Infeksi klinis utama telah

disebabkan oleh Enterococcus faecalis yang mampu menghasilkan biofilm2

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menyelidiki

virulensi faktor dan gen, pola resistensi antibiotik, genotipe, dan produksi

biofilm dari isolat Enterococcus faecalis berasal dari manusia, anjing dan

kucing dan menentukan keragaman genetik di antara mereka.2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Enterococcus Faecalis3


Enterococcus faecalis adalah bakteri gram positif, non-motil dan juga

berbentuk bulat. Bakteri ini memiliki ciri-ciri yang khas, sehingga lebih

mudah dibedakan dengan bakteri-bakteri yang lainnya dan juga merupakan

bakteri fakultatif anaerob dengan metabolisme fermentasi dan terbentuk

secara non-sporadis. Sel enterococcus faecalis berbentuk ovoid dan dalam

karakteristiknya kadang tunggal, berpasangan atau membentuk rantai yang

pendek dan biasanya mengalami elongasi pada arah rantai dengan diameter

0,5-1µm.

Enterococcus pada manusia bisa terdapat di saluran pencernaan, rongga

mulut dan vagina. Enterococcus juga terlibat dalam infeksi endodontik.

Khususnya Enterococcus faecalis, telah sering ditemukan pada saluran akar

yang sudah dilakukan obturasi yang menunjukkan tanda-tanda periodontitis

apikal kronis.

Enterococcus dapat bertahan di kondisi lingkungan yang keras.

Enterococcus dapat tumbuh pada suhu 10 ° C dan 45 ° C, pada pH 9,6, dalam

NaCl 6,5%, dan bertahan pada suhu 60 ° C selama 30 menit. E. faecalis dapat

beradaptasi di kondisi yang tidak menguntungkan. Saat sebelum terpapar di

kondisi stres sublethal, E. faecalis menjadi kurang sensitif terhadap kadar

natrium dodecyl sulfat yang biasanya mematikan, garam empedu,

hiperosmolaritas, panas, etanol, hidrogen peroksida, keasaman, dan

alkalinitas. Sel enterococcus faecalis yang kelaparan mempertahankan

viabilitasnya untuk waktu yang lama dan menjadi resisten terhadap iradiasi
UV, panas, natrium hipoklorit, hidrogen peroksida, etanol, dan asam .

Enterococcus. faecalis, lebih lanjut, dapat memasuki keadaan hidup tetapi

tidak dapat dibiakkan, suatu mekanisme bertahan hidup yang berasal dari

sekelompok bakteri ketika terpapar pada tekanan lingkungan, dan akan sadar

kembali setelah kembali ke kondisi yang menguntungkan. Kemampuan

enterococcus faecalis untuk mentolerir atau beradaptasi dengan kondisi

lingkungan yang keras menjadi suatu keunggulan dibandingkan spesies lain.

Kondisi ini menjelaskan kelangsungan hidupnya dalam infeksi saluran akar,

di mana nutrisi yang langka dan sarana yang terbatas.

Dalam studi in vitro, enterococcus faecalis telah terbukti menginvasi

tubulus dentin, sedangkan tidak semua bakteri memiliki kemampuan ini.

Dalam penelitian pada hewan, di mana kultur murni berbagai bakteri

diinokulasi secara terpisah ke dalam saluran akar, enterococcus faecalis, tidak

seperti yang lain, ditemukan dapat menjajah saluran akar dalam banyak kasus

dan bertahan hidup tanpa dukungan bakteri lain. enterococcus faecalis tahan

terhadap efek antimikroba dari kalsium hidroksida, mungkin sebagian karena

mekanisme pompa proton yang efektif yang mempertahankan tingkat pH

sitoplasma yang optimal. Selain itu, enterococcus faecalis, secara intrinsik

atau melalui akuisisi, mungkin resisten terhadap berbagai antibiotik, yang,

jika digunakan, dapat menggeser flora mikroba dalam mendukung

enterococcus faecalis.

2.2 Faktor Virulensi Enterococcus Faecalis3


Pada pencarian literatur untuk faktor virulensi enterococcus faecalis, yang

mungkin berhubungan dengan kolonisasi host, persaingan dengan bakteri

lain, resistensi terhadap mekanisme pertahanan host, dan produksi perubahan

patologis secara langsung melalui produksi racun atau secara tidak langsung

melalui induksi peradangan. Faktor-faktor yang paling banyak dipelajari

adalah: zat agregasi, adhesin permukaan, feromon seks, asam lipoteichoic,

superoksida ekstraseluler, gelatinase, hyaluronidase, dan cytolysin

(hemolysin).

Terdapat beberapa faktor virulensi yang dapat menyebabkan

enterococcus faecalis mampu bertahan dalam saluran akar, seperti:

a. Aggregation substance yaitu mengikat leukosit dan matriks

ekstraseluller, menyediakan faktor perlindungan terhadap imunitas

tubuh.

b. Adhesins surface yaitu perlekatan terhadap kolagen dentin atau

jaringan tubuh (host) dan pembentukan biofilm.

c. Sex pheromones yaitu kromosom yang dikodekan, kecil, peptida

hidrofobik, panjang 7 atau 8 asam amino. Resistensi antibiotik dan

sifat virulensi lainnya, seperti produksi sitolysin, dapat disebarkan di

antara strain E. faecalis melalui sistem feromon seks.

d. Lipoteichoic acid yaitu perlekatan terhadap jaringan tubuh,

menstimulasi produk sitokin dari monosit sehingga menyebabkan

inflamasi dan resistensi terhadap medikamen saluran akar.


e. Extraceluller superoxidase production yaitu merusak sel dan jaringan

pada proses inflamasi.

f. Gelatinase yaitu ekstraseluller zinc metalloprotase yang dapat

menghidrolisis kolagen dan hyaluronidase enzim lisis pada kerusakan

dentin dan jaringan periapikal.

g. Hyaluronidase merupakan enzim degradatif yang berhubungan

dengan kerusakan jaringan sebagai konsekuensi dari aktivitasnya.

Peran lain hyaluronidase adalah memasok nutrisi untuk bakteri.

h. Cytolisin, AS-48 dan bacteriocins yaitu memperoduksi toksin dan

menekan pertumbuhan bakteri lain.

Meskipun tidak secara ketat bertindak sebagai faktor virulensi, AS-48 dan

bakteriosin lainnya disebutkan karena kemungkinan kontribusinya terhadap

dominasi enterococcus faecalis pada infeksi endodontik persisten.

2.3 Pola Resistensi Antibiotik

Enterococcus faecalis resisten terhadap banyak antibiotik spektrum luas.

Resistensi enterococcus faecalis terhadap antimikroba diperoleh secara

intrinsik maupun acquired (didapat) melalui transfer gen. Resistensi acquired


diperoleh dari mutasi DNA atau dapat juga dari gen yang baru melalui

transfer plasmid dan transposons.4 Selain itu, adanya mekanisme yang

mempertahankan level pH cytoplasmic tetap optimal menyebabkan bakteri

tersebut juga resisten terhadap antimikroba kalsium hidroksida.5

2.4 Genotip dan Fenotip

Genotipe adalah suatu organisme yang memiliki komposisi kimiawi DNA

serta menimbulkan fenotip atau ciri-ciri organisme yang dapat diamati.

Genotip terdiri dari semua asam nukleat di dalam molekul DNA yang

mengkode sifat tertentu.6 Genotip dan fenotip enterococcus faecalis dapat

dikarakterisasi menggunakan kombinasi pendekatan mikrobiologi dan

biokimia yang didukung oleh informasi dari teknik biologi molekuler seperti

PCR konvensional dan real-time serta analisis sekuensing DNA.7

2.5 Biofilm

Biofilm adalah komunitas mikroorganisme terstruktur yang dikemas

dalam matriks polimer yang dikembangkan sendiri dan dapat melekat pada

berbagai permukaan biotik dan abiotik ireversibel.2 Biofilm menawarkan

beberapa manfaat pada sel anggotanya, yang terutama adalah toleransi

antimikroba. Empat mekanisme yang memberi toleransi ini pada sel yang

hidup dalam biofilm telah disarankan. Pertama adalah sifat penghalang fisik

dari matriks polisakarida ekstraseluler. Kedua adalah keadaan fisiologis

mikroorganisme biofilm.6
Sel bakteri yang berada di dalam biofilm tumbuh lebih lambat daripada

sel planktonik; akibatnya, sel biofilm mengambil agen antimikroba lebih

lambat. Penipisan nutrisi dapat memaksa bakteri memasuki fase pertumbuhan

yang tidak aktif atau tidak bergerak di mana mereka terlindungi dari

kematian. Mekanisme ketiga yang disarankan adalah heterogenitas metabolik.

Sel yang terletak lebih dalam di biofilm terkena kondisi lingkungan yang

berbeda dari yang ada di permukaan termasuk penurunan tekanan oksigen.8

2.6 Bahan dan Metode Penelitian

Sebanyak 72 isolat enterococcus faecalis, termasuk 39 manusia, 26 anjing

dan 7 kucing, digunakan dalam penelitian ini. Semua isolat secara fenotip

diidentifikasi ke tingkat spesies menggunakan metode konvensional dan

dikonfirmasi oleh reaksi berantai polimerase (PCR).9

a. Deteksi produksi gelatinase,AS,dan cytolysin.

Inokulum satu-koloni diluruskan pada pelat agar ToddHewitt yang

mengandung 3% gelatin dan diinkubasi secara aerobik pada suhu 37 °

C selama 48 jam. Hasil positif dicatat ketika halo yang jelas terlihat di

sekitar masing-masing koloni. Pengukuran AS dari enterococci

dilakukan dengan penggumpalan, seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Agar infus jantung otak yang dilengkapi dengan 5% darah kuda

digunakan untuk mendeteksi aktivitas cytolysin sebagaimana

didefinisikan di tempat lain.10


b. Deteksi PCR gen virulensi.

Amplifikasi PCR menjadi sasaran untuk mendeteksi keberadaan gen

yang terlibat dalam ekspresi cylA, gelE, esp, asa1 dan hyl

menggunakan primer.11

c. Tes Kerentanan Antibiotik

Semua isolat diuji terhadap 12 antibiotik berbeda menggunakan

metode difusi cakram. Hasil tes kerentanan masing-masing antibiotik

dievaluasi sesuai dengan standar interpretasi CLSI.12

d. Deteksi Gen Van

Gen yang bertanggung jawab untuk resistensi terhadap vankomisin

(vanA, vanB, vanC1 / 2 dan vanD) diselidiki oleh PCR, seperti yang

dijelaskan sebelumnya.13

e. Antibiotip Isolat

Prosedur ini dilakukan dengan menggunakan koefisien korelasi

momen produk Pearson dan metode pasangan kelompok tak

tertimbang menggunakan analisis klaster aritmatika (UPGMA). Pola

kerentanan / resistensi antibiotik dianalisis untuk mendapatkan

dendrogram dengan nilai batas 70%.3

f. Amplikasi DNA-Polymerase Chain Reaction (RAPD-PCR) yang

Diamplifikasi Secara Acak.

Analisis RAPD-PCR dilakukan dengan menggunakan primer M13

(5'-GAG GGT GGC GGT TCT-3´) seperti dijelaskan sebelumnya

oleh Versalovic dan Lupski. Pengelompokan pola RAPD-PCR


dilakukan dengan analisis cluster UPGMA. Koefisien pengelompokan

strain dari kesamaan 70% untuk menerapkan RAPD.3

g. Pembentukan Biofilm

Kongo red agar digunakan untuk mendeteksi produksi biofilm. Koloni

hitam pada agar merah Kongo dievaluasi sebagai biofilm positif,

koloni tidak berwarna dievaluasi sebagai biofilm negatif.14

2.7 Hasil Penelitian2

a. Faktor virulensi dan gen

Distribusi faktor virulensi dan gen enterococcus faecalis menurut

isolatnya tersaji pada tabel 1.

Tabel 1. Distribusi faktor virulensi dan gen antar isolat Enterococcus faecalis

b. Kerentanan dan Fenotipe Antibiotik

Resistensi antibiotik / pola kerentanan 72 isolat enterococcus faecalis

disajikan pada Tabel 2. Tidak satu pun dari 14 isolat vancomycin yang

resisten, gen resistansi vancomycin (vanA, vanB, vanC1 / 2 atau

vanD) telah terdeteksi. Beberapa fenotipe resistensi antibiotik dari


isolat disajikan pada Tabel 3.

Tabel 2. Pola resistensi / kerentanan antibiotik isolat Enterococcus

faecalis
Tabel 3. Fenotipe resistensi antimikroba yang terdeteksi pada isolat

Enterococcus faecalis berdasarkan asalnya

c. Antibiotip

Antibiotip isolat yang dilakukan oleh UPGMA dan isolat manusia,

anjing dan kucing dikelompokkan menjadi 8, 2 dan 4 antibiotik,

masing-masing (Gambar 1, 2 dan 3). Isolat manusia dibagi menjadi

delapan kelompok (A-H) berdasarkan kesamaan 70%. Grup

direpresentasikan sebagai AHA1-A3 (n = 3); AHB (n = 1); AHC1-C2

(n = 2); AHD1D3 (n = 3); AHE1-E2 (n = 2), AHF1-F3 (n = 3);


AHG1-G4 (n = 5) dan AHH1-17 (n = 20). Isolat anjing dibagi

menjadi dua kelompok utama (A dan B) hingga tingkat kesamaan

70%. Grup diwakili sebagai ADA1-A7 (n = 8) dan ADB1B15 (n =

18). Isolat kucing dikelompokkan menjadi empat kelompok utama (A-

D) berdasarkan kesamaan 70%. Grup direpresentasikan sebagai ACA

(n = 1); ACB1-B2 (n = 2); ACC (n = 1) dan ACD1-D3 (n = 3).

Gambar 1. Pola Antibiotipe Enterococcus faecalis yang diisolasi

dari manusia dan dendrogram yang diperoleh UPGMA


Gambar 2. Pola antibiotik Enterococcus faecalis yang diisolasi

dari anjing dan dendrogram yang diperoleh UPGMA

Gambar 3. Pola antibiotik Enterococcus faecalis diisolasi

dari kucing dan dendrogram yang diperoleh UPGMA

d. RAPD-PCR

Di antara manusia, anjing dan kucing mengisolasi sembilan, 12 dan 2

profil yang berbeda ditentukan oleh RAPD-PCR, masing-masing

(Gambar 4 dan 5). Analisis pola RAPD-PCR isolat manusia

mengungkapkan adanya sembilan jenis RAPD (A-I) berdasarkan 70%

kesamaan. Isolat diwakili dalam empat kelompok: C (n = 3), D (n =

2), F (n = 10), I (n = 19) dan 5 tipe unik (masing-masing terdiri dari


satu isolat). Isolat anjing dikelompokkan menjadi 12 tipe unik (AL)

berdasarkan 70% kesamaan: tipe A (n = 1), B (n = 1), C (n = 1), D (n

= 2), E (n = 2) 2), F (n = 2), G (n = 7), H (n = 3), I (n = 1), J (n = 3), K

(n = 2), dan L (n = 1). Isolat kucing diklasifikasikan menjadi dua

kelompok (A dan B) dengan 70% kesamaan. Isolat disajikan dalam

dua tipe utama: tipe A (n = 2), dan tipe B (n = 5).

Gambar 4. Pola RAPD dari Enterococcus faecalis yang diisolasi dari

manusia dan dendrogram yang diperoleh UPGMA

Gambar 5. Pola RAPD dari Enterococcus faecalis yang diisolasi dari

anjing dan dendrogram diperoleh UPGMA


e. Produksi Biofilm

Sembilan (34,6%) dari 26 isolat anjing ditemukan positif untuk

produksi biofilm. Padahal itu tidak terdeteksi produksi biofilm pada

manusia dan kucing.

2.8 Pembahasan Penelitian

Pada sebuah penilitian dilaporkan bahwa 28,6% isolat manusia dan

26,9% isolat hewan positif mengandung gelatinase. 15 Hasil serupa juga telah

dilaporkan oleh peneliti lain.16,17 Dalam penelitian ini, gelatinase dan gelE

terdeteksi pada 23,1% dan 69,2%; di 73,1% dan 38,5%; di 42,9% dan 14,3%

dari isolasi manusia, anjing dan kucing, masing-masing.2 Gen gelE terdeteksi

di 52,8% dari semua isolat dan dengan demikian merupakan faktor yang

paling umum yang kami uji seperti yang dikutip oleh beberapa penulis.2,18,19

AS yang dikodekan oleh asa1 telah menemukan peran tambahan dari

protein ini dalam virulensi enterococcal.20 Insiden yang tinggi dari gen ini

pada E. faecalis telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya.13 Sebaliknya,

gen ini tidak ditemukan pada isolat E. faecalis.21 Dalam penelitian ini, AS dan

asa1 terdeteksi pada 23,1% dan 53,8% isolat manusia; 7,7% dan 50% dari

isolat anjing. Pada isolat kucing di penilitian ini, tidak adanya gen AS dan

asa1 menunjukkan virulensi rendah dan kemampuan strain yang berkurang

menjadi sifat virulensi.2


E. faecalis penghasil sitolisin telah terbukti mematikan pada hewan

dan infeksi manusia, juga terkait dengan peningkatan keparahan infeksi. 22

Pada penelitian lain menunjukkan bahwa 28,6% isolat manusia bersifat

hemolitik dibandingkan dengan 6,4% isolat hewan.15 Insiden sitolisin dalam

penelitian ini lebih rendah daripada yang dilaporkan sebelumnya oleh

beberapa peneliti.2, 19, 20

Esp tersebut merupakan gen virulensi yang paling jarang terdeteksi

pada isolat anjing dan kucing, pengamatan ini sesuai dengan laporan

sebelumnya.22 Namun, prevalensi yang rendah pada manusia yang terisolasi

berbeda dengan penelitian lain.11,18 Gen esp tidak terdeteksi dalam penelitian

ini, yang sesuai dengan temuan penelitian lain. 17,23 Namun hal ini berbeda

dengan temuan beberapa peneliti.13,15

Kerangka baca terbuka (hylEfm) dengan homologi gen hyaluronidase

yang dijelaskan sebelumnya telah diidentifikasi pada isolat E. faecium.

Kemudian faktor dan gen ini telah diteliti oleh beberapa penulis pada isolat

E. faecalis.11, 23 Dalam penelitian ini, semua isolat ditemukan negatif untuk

gen hyl.2

Hasil yang diperoleh dari uji fenotipik menunjukkan persentase yang

menghasilkan bahwa hemolisin, gelatinase atau AS lebih rendah,

dibandingkan dengan karakterisasi genotipik. Ini mungkin karena adanya gen

yang tidak terdeteksi atau fakta bahwa deteksi oleh PCR dari gen tunggal di

dalam operon. Hasil yang bertentangan dari penelitian ini dan penyelidikan
lain mengenai terjadinya faktor virulensi di antara isolat mungkin disebabkan

oleh perbedaan reservoir di berbagai negara atau asal ekologi strain,

sensitifitas metode deteksi, jumlah dan jenis sampel yang diperiksa di dalam

studi ini.2

Vankomisin, dalam beberapa kasus, merupakan satu-satunya

antibiotik yang masih efektif dalam pengobatan infeksi enterokokus

nosocomial.13 Pada bidang resistensi antibiotik, salah satu masalah terbaru

yang paling menantang adalah munculnya enterococci resisten vankomisin

(VRE) di seluruh dunia.23 Selain beberapa laporan VRE yang ada pada hewan

ternak, terdapat sejumlah studi terbatas yang berhubungan dengan kolonisasi

VRE pada hewan pendamping, meskipun VRE telah dicatat di saluran usus

anjing dan kucing.16, 23


Tidak ada resistensi terhadap vankomisin yang

ditemukan dalam beberapa penelitian tentang enterococci dari anjing dan

kucing.19 Dalam penelitian ini hanya 13 isolat manusia dan satu anjing yang

ditemukan resisten terhadap vankomisin secara fenotip. 2 Namun, semua isolat

negatif untuk gen van seperti yang baru-baru ini dilaporkan. 9 Dalam

penelitian ini, semua isolat ditemukan resisten terhadap kanamisin dan asam

nalidiksat. Resistensi bacitracin dan oxytetracyclin diamati paling sering

dibandingkan dengan antibiotik lain. Hasil serupa telah dilaporkan oleh

peneliti lain.19 Penelitian ini menunjukkan bahwa di antara isolat manusia

yang resisten terhadap berbagai antibiotik diamati pada frekuensi yang lebih

tinggi daripada isolat anjing dan kucing seperti yang dilaporkan


sebelumnya.10 Untungnya, isolat pada penelitian ini tetap sangat rentan

terhadap ampisilin, penisilin, amoksisilin, norfloksasin, dan sefalotin.2

Antibiotipe isolat Enterococcus dengan beberapa metode dilakukan

berdasarkan profil resistensi antibiotik yang berbeda.19 Isolat E. faecalis yang

resisten terhadap antibiotik telah dikelompokkan dan distribusi tersebar telah

dicatat, menunjukkan bahwa resistensi tidak terkait dengan klon tertentu.

Dalam penelitian ini isolat manusia, anjing dan kucing dikelompokkan

menjadi 8, 2 dan 4 kelompok.2

Genotipe spesies Enterococcus yang dapat dibuat dengan RAPD-PCR

telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya.19 Dalam sebuah studi yang

dilakukan pada manusia di Iran menyebutkan pola kesamaan yang dibangun

untuk isolat E. faecalis oleh RAPD-PCR, telah menunjukkan adanya empat

cluster yang berbeda (A, B, C, D).24 Pada sebuah penelitian telah melaporkan

bahwa spesies VRE menunjukkan profil RAPD yang beragam dengan

beberapa pengelompokan strain berdasarkan latar belakang individu.25 Pada

penelitian ini profil RAPD-PCR pada isolat manusia menunjukkan 9 jenis,

dimana 4 diantaranya dominan. Ini menunjukkan bahwa isolat tersebar secara

poliklon di pengaturan penelitian ini. Berdasarkan RAPD-PCR, dapat

dibedakan 12 kelompok utama pada isolat anjing dan 2 pada isolat kucing.

Temuan ini menyiratkan bahwa enterococci secara genetik dan fenotip

beragam yang konsisten dengan temuan penulis lain yang telah melaporkan

variabilitas genetik yang cukup besar pada spesies Enterococcus.2,26


Prevalensi produksi biofilm yang dilaporkan sebelumnya untuk isolat

komensal bervariasi.14,15 Dalam penelitian ini, produksi biofilm terdeteksi

hanya pada sembilan (34,6%) dari 26 isolat anjing. Hasil ini menunjukkan

bahwa mungkin ada lebih dari satu faktor yang menentukan produksi biofilm

pada enterococci.2
BAB 3

KESIMPULAN

Enterococcus faecalis adalah patogen oportunistik baik pada manusia

maupun hewan. Kemampuan alami enterococci untuk memperoleh,

mengakumulasi, dan berbagi elemen ekstrakromosom yang mengkode sifat-

sifat virulensi.23

Pada hasil yang diperoleh dari uji fenotipe menunjukkan persentase

yang menghasilkan hemolisin, gelatinase atau AS lebih rendah, dibandingkan

dengan karakterisasi genotipik. Dalam beberapa kasus, strain pada penelitian

ini juga memiliki gen virulensi yang tidak terdeteksi dan sekarang diketahui

bahwa sinyal lingkungan mungkin berperan dalam ekspresi gen. Namun

demikian, tidak satupun dari karakter biologis yang terdeteksi harus dianggap

sebagai penanda patogenisitas yang pasti; mereka dapat berkontribusi pada

potensi virulensi enterococci, tetapi ini mungkin tergantung pada faktor

virulensi tambahan yang ada.2

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa anjing dan kucing yang

sehat merupakan sumber enterococci yang resisten antimikroba dan dapat

berperan sebagai reservoir. Hasilnya juga menunjukkan bahwa pola RAPD-

PCR antara strain Enterococcus dari manusia, anjing dan kucing adalah

heterogen dan sangat beragam. Demonstrasi keragaman pola RAPD di


tingkat spesies akan sangat penting untuk memahami ekologi molekuler

enterococci di usus hewan dan manusia.2


DAFTAR PUSTAKA

1. Biavasco F. et al. VanA-Type Enterococci from Humans, Animals,

and Food: Species Distribution, Population Structure, Tn1546 Typing

and Location, and Virulence Determinants. Applied and

Environmental Microbiology. 2007.

2. Gulhan T. et al. Characterization of Enterococcus faecalis isolates

originating from different sources for their virulence factors and

genes, antibiotic resistance patterns, genotypes and biofilm

production. Iranian Journal of Veterinary Research, Shiraz University.

2015. 261-266.

3. Kayaoglu, G. Virulence Factors of Enterococcus Faecalis:

Relationship to Endodontic Disease. Critical Reviews in Oral Biology

& Medicine. 2004. 15(5). 308-320.

4. Kundabala M, Suchitra U. Enterococcus faecalis: An endodontic

pathogen. J Endod. 2002: 11-3.

5. Evan M, Davies JK, Sundqvist G, Fidgor D. Mechanisms involved in

the resistence of the Enteococcus faecalis to calcium hydroxide. Int

Endod J 2002;35: 221-8.

6. Anonim.Genotype. (diakses pada tanggal 30 juli 2020). Tersedia dari:

https//biologydictionary.net/genotype

7. Mubarak,Z et al. Phenotype and Genotype of Enterococcus Faecalis


Isolated from Root Canal and Saliva of Primary Endodontic Patients.

Journal of Dentistry Indonesia. 2016: 17-24

8. Saber SE, Soha AH. Development of an intracanal

mature Enterococcus faecalis biofilm and its susceptibility to some

antimicrobial intracanal medications; an in vitro study. Eur J Dent.

2012; 6(1): 43–50.

9. Furlaneto-Maia L, Rocha KR, Siqueira VL, Furlaneto MC.

Comparison between automated system and PCR-based method for

identification and antimicrobial susceptibility profile of clinical

Enterococcus spp. Rev. Inst. Med. Trop. Sao Paulo. 2014;56:97–103.

10. Gulhan T, Boynukara B, Durmus A, Kiziroglu I, Sancak YC. Enteric

bacteria and some pathogenic properties of Enterococcus faecalis,

Enterococcus faecium and Escherichia coli strains isolated from wild

ducks and gulls. Fresen. Environ. Bull. 2012;21:1961–1966

11. Vankerckhoven V, Autgaerden T, Vael C, Lammens C, Chapelle S,

Rossi R, Jabes D, Goossens H. Development of a multiplex PCR for

the detection of asa1, gelE, cylA, esp, and hyl genes in enterococci

and survey for virulence determinants among European hospital

isolates of Enterococcus faecium. J. Clin. Microbiol. 2004;42:4473–

4479.

12. Wayne,PA. Performance standards for antimicrobial susceptibility

testing; twenty-first informational supplement approved standard

CLSI.2011: 76–79.
13. Sharifi Y, Hasani A, Ghotaslou R, Naghili B, Aghazadeh M, Milani

M, Bazmani A. Virulence and antimicrobial resistance in enterococci

isolated from urinary tract infections. Adv. Pharm. Bull. 2013;3:197–

201.

14. Ciftci A, Findik A, İça T, Bas B, Onuk EE, Güngördü S. Slime

production and antibiotic resistance of Enterococcus faecalis isolated

from arthritis in chickens. J. Vet. Med. Sci. 2009;71:849–853

15. Tsikrikonis, G; Maniatis, AN; Labrou, M; Ntokou, E; Michail, G;

Daponte, A; Stathopoulos, C; Tsakris, A and Pournaras, S.

Differences in biofilm formation and virulence factors between

clinical and fecal enterococcal isolates of human and animal origin.

Microb. Pathog. 2012: 52: 336-343.

16. Han, D; Unno, T; Jang, J; Lim, K; Lee, SN; Ko, GP; Sadowsky, MJ

and Hur, HG. The occurrence of virulence traits among high-level

aminoglycosides resistant Enterococcus isolates obtained from feces

of humans, animals, and birds in South Korea. Int. J. Food Microbiol.

2011: 144: 387-392.

17. Olsen, RH; Schønheyder, HC; Christensen, H and Bisgaard, M.

Enterococcus faecalis of human and poultry origin share virulence

genes supporting the zoonotic potential of E. faecalis. Zoonoses

Public Hlth. 2012:59: 256-263.

18. Dupre, I; Zanetti, S; Schito, AM; Fadda, G and Sechi, LA. Incidence

of virulence determinants in clinical Enterococcus faecium and


Enterococcus faecalis isolates collected in Sardinia (Italy). J. Med.

Microbiol. 2003:52: 491- 498.

19. Ghosh, A; KuKanich, K; Brown, CE and Zurek, L. Resident cats in

small animal veterinary hospitals carry multi-drug resistant

enterococci and are likely involved in cross-contamination of the

hospital environment. Front. Microbiol. 2012: 3: 1-14.

20. Sun, J; Sundsfjord, A and Song, X. Enterococcus faecalis from

patients with chronic periodontitis: virulence and antimicrobial

resistance traits and determinants. Eur. J. Clin. Microbiol. Infect. Dis.

2012: 31: 267-272.

21. Kafil, HS; Mobarez, AM and Moghadam, MF. Adhesion and

virulence factor properties of Enterococci isolated from clinical

samples in Iran. Indian J. Pathol. Microbiol. 2013: 56: 238-242.

22. Hallgren, A; Claesson, C; Saeedi, B; Monstein, HJ; Hanberger, H and

Nilsson, LE. Molecular detection of aggregation substance,

enterococcal surface protein, and cytolysin genes and in vitro

adhesion to urinary catheters of Enterococcus faecalis and E. faecium

of clinical origin. Int. J. Med. Microbiol. 2009: 299: 323-332.

23. Lopez, M; Tenorio, C and Torres, C. Study of vancomycin resistance

in faecal enterococci from healthy humans and dogs in Spain a decade

after the avoparcin ban in Europe. Zoonoses Public Hlth. 2013: 60:

160-167.

24. Pourakbari, B; Mahmoudi, S; Aghdam, MK; Sabouni, F; Eshaghi, H;


Alizadeh, S and Mamishi, S. Clonal spread of vancomycin resistance

Enterococcus faecalis in an Iranian referral pediatrics center. J. Prev.

Med. Hyg. 2013: 54: 87-89.

25. Getachew, Y; Hassan, L; Zakaria, Z; Zaid, CZ; Yardi, A; Shukor, RA;

Marawin, LT; Embong, F and Aziz, SA. Characterization and risk

factors of vancomycinresistant Enterococci (VRE) among animal-

affiliated workers in Malaysia. J. Appl. Microbiol. 2012: 113: 1184-

1195

26. Getachew, YM; Hassan, L; Zakaria, Z; Saleha, AA; Kamaruddin, MI

and Che Zalina, MZ. Characterization of vancomycin-resistant

Enterococcus isolates from broilers in Selangor, Malaysia. Trop.

Biomed. 2009: 26: 280-288.

Anda mungkin juga menyukai