Anda di halaman 1dari 3

MANAQIB SURGI MUFTI SYEKH JAMALUDIN

Berperang tanpa konfrontasi. Berjuang tanpa senjata. Dihormati petinggi Belanda, tetapi tidak pernah
mengkhianati bangsa. Begitulah sosok Syekh Jamaluddin Al-Banjari atau Tuan Guru Surgi Mufti.
Dilahirkan di Desa Dalam Pagar, Astambul, Martapura pada tahun 1817, putra pasangan Haji Abdul
Hamid Kosasih dan Hj. Zaleha ini, tumbuh di lingkungan agama yang kuat.

Dia adalah keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari alias Datuk Kalampayan. Sejak remaja, dia
sudah menimba ilmu di tanah suci Makkah Al-Mukarromah. “Dia termasuk jaringan ulama Haramain
(tanah haram). Baru sekitar tahun 1894, beliau kembali ke Banjarmasin di masa-masa konfrontasi
dengan Belanda.

Sekembalinya ke tanah Banjar, Surgi Mufti dihadapkan dengan dua pilihan. Apakah ikut konfrontasi
menghadap penjajah dan bergabung dengan pasukan Pangeran Antasari, atau memilih berdakwah
meski harus ‘berkawan’ dengan Belanda. Pada tahun 1899, Syeikh Jamaluddin akhirnya memutuskan
menjalankan dakwahnya setelah Belanda mengangkatnya sebagai mufti.

Jabatan mufti adalah jabatan penting pada masa itu, setarap dengan menteri atau hakim. Putusannya
adalah menjalankan syariah hukum Islam bagi warga Banjar.

Tidak hanya itu, Mufti Jamaluddin juga terkenal sebagai ahli falaqiyah (astronomi). “Dialah yang
memutuskan awal dan akhir Ramadan, berdasarkan perhitungan hilal yang dia kuasai. Bahkan urusan
bertani di masa itu, kapan waktunya bercocok tanam yang baik, juga menjadi bidang yang dikuasainya.

Sebagai ulama dan pendakwah, kekuatan ilmunya sudah mencapai titik tertinggi dengan berbagai
karomah yang dimiliki. Dalam sebuah ceramah di hadapan murid-muridnya, Surgi Mufti mengatakan
bahwa di setiap ada air pasti ada ikannya. Ternyata pernyataan ini terdengar petinggi Belanda dan
memanggilnya untuk melakukan tes kebenaran ucapannya.

“Jika ada air ada ikan, maka apakah mungkin di dalam air kelapa juga ada ikannya,” tantang petinggi
Belanda, meragukan ucapan Syeikh Jamaluddin. Akhirnya sebiji kelapa muda dibawa kehadapan Surgi
Mufti. Kelapa muda ini pun di belah, seketika airnya muncrat dan saat bersamaan seekor ikan sepat
menggelepar keluar dari buah kelapa tadi.
Sejak kejadian itu, petinggi Belanda semakin menaruh hormat kepada Syekh Jamaluddin. Sebab tidak
hanya ahli ibadah dan kuat dalam agama, tetapi juga piawai dalam perkara dunia. Sebagai bentuk
penghargaannya, pihak Belanda saat itu menjuluki Syeikh Jamaluddin Al-Banjari sebagai Surgi Mufti.

Istilah surgi itu berarti suci, mufti artinya pemimpin. Julukan ini diberikan oleh Belanda karena sikap
istiqomahnya beliau yang memiliki kesucian hati dan tekun beribadah.

Meski hidup dan tumbuh di lingkungan Pemerintah Belanda, namun kelebihan Surgi Mufti tetap bergaya
ulama. Keteguhannya beribadah menjadi bukti, betapa kekuatan ilmu agama lebih mulia daripada
urusan dunia.

Tak salah pula jika kepemimpinannya disukai Belanda, dan dakwahnya dinantikan murid-muridnya.
karomah Surgi Mufti yang lain adalah saat beliau melakukan perjalanan dari Sungai Jingah menuju Desa
Dalam Pagar. Di perjalanan itu salah satu warga melapor perhiasan emas mereka terjatuh dan hilang di
sungai. Dengan merentangkan salah satu tangannya ke sungai, perhiasan yang tenggelam itu tiba-tiba
ada di tangannya.

Bahkan dalam perjalanan menggunakan jukung itu, Surgi Mufti memakai jukung bocor. Berhari-hari di
jalan, jukungnya baru tenggelam setelah sampai di Martapura.

Di bidang sosial kemasyarakatan, Surgi Mufti juga berandil dalam membuka jalur jalan dari Desa Dalam
Pagar menuju Desa Kelampayan. “Bahkan dialah yang membuat atang (cungkup) makam datuknya,
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.

Tepat tanggal 8 Muharram 1348 Hijriyah, Surgi Mufti meninggal dunia pada hari Sabtu, pukul 15.00
WITA menjelang Sholat Ashar di Sungai Jingah. Surgi Mufti dimakamkan di kubah yang dibangunnya,
jauh sebelum meninggal dunia. Kubah ini dulunya dijadikannya sebagai tempat menerima murid-
muridnya.

Anda mungkin juga menyukai