Anda di halaman 1dari 8

KAJIAN KOMPREHENSIF QS.

ALQADR
KAJIAN QS. ALQADR

A. Aspek Gramatika

‫إِنَّا أَنْ َزلْناهُ ِِف لَْي لَ ِة الْ َق ْد ِر‬


)‫ (إِنَّا‬adalah huruf yang diserupakan dengan fi’il asalnya adalah ‫ إنّنا‬dan nun
dibuang karena berkumpulnya beberapa nun (nun zaidah). ‫ نا‬adalah dhamir

muttashil mahal nashab menjadi isim inna dan ‫ أنزلناه‬adalah fi’il madhi mabni sukun
karena bersambungnya dengan dhamir na (dhamir muttashil) mahal nashab sebagai
fa’il. Huruf ha’ adalah dhamir muttashil mahal nashab sebagai maf’ul bih. Jumlah

fi’liyah ُ‫أَنْ َزلْناه‬ dalam mahal rafa’ sebagai khabar inna. Fi adalah huruf jar mabni

sukun dan tidak ada mahal dalam i’rab. ‫ ليلة‬mudhaf dan ‫ القدر‬mudhaf ilaih, jumlah jar
majrur ini dita’liqkan dengan fi’il “‫”أنزلنا‬. Jumlah ‫ إِنَّا أَنْ َزلْناهُ ِِف لَْي لَ ِة الْ َق ْد ِر‬adalah ibtida’iyyah

dn tidak mempunyai kedudukan dalam i’rab.


Inna (َّ‫ )إِن‬wa akhwatuha (Inna dan saudara-saudaranya) ialah sekelompok
huruf (kata depan) yang biasanya berada sebelum isim. Jika sebuah jumlah ismiyah
(kalimat yang tersusun dari mubtada’ dan khabar) didahului oleh Inna atau saudara-

saudaranya, maka akan mengakibatkan mubtada’ menjadi manshub dan dinamakan


isim Inna, dan khabar tetap marfu dan dinamakan khabar Inna, sehingga inna wa

akhwatuha disebut sebagai amil nawasikh (amil yang merusak tatanan susunan
mubtada khobar). Mengapa demikian, Karena sebelum mubtada’ dan khobar

kemasukan amil nawasikh (‘amil yang merusak susunan mubtada’ dan khobar)
mubtada’ adalah isim yang dibaca rafa’ yang sepi dari amil lafdhi dan khobar adalah
isim yang disandarkan kepada mubtada’).

Apabila huruf inna (‫)إ ّن‬ bersambung dengan huruf kaffa maa (‫)ما‬ termasuk

saudara-saudaranya atau huruf nashab, maka membatalkan (makfufah) pengamalan

huruf inna (‫ )إ ّن‬dan saudara-saudaranya terhadap isim inna. Tetapi huruf maa (‫)ما‬
tidak selalu membatalkan, terkadang ada juga (sangat jarang) yang pengamalannya

(inna) ditetapkan.

Masuknya huruf kaffah maa (‫)ما‬ pada huruf inna (‫)إ ّن‬ dan saudara-saudaranya

mempunyai dua fungsi, sebagai berikut:


1) Pencegah atau kaffah, yaitu mencegah pengamalan inna (‫ )إ ّن‬dan saudara-
saudaranya.

2) Pemantas atau muhayyiah, yaitu memantaskan huruf inna (‫ )إ ّن‬dan saudara-


saudaranya bisa masuk pada kalimat jumlah fi'liyah.

Kata innamaa (‫ = )إّّنا‬sesungguhnya hanya, terdiri dari dua kata atau huruf sebagai
berikut:

- Huruf nashab inna (‫)إ ّن‬ = sesungguhnya, adalah salah satu huruf nashab yang

merubah i'rab isim mubtada dari marfu' menjadi nashab.

- Huruf kaffah maa (‫ = )ما‬hanya, yang membatalkan perubahan i'rab mubtada dari
marfu' ke nashab, sehingga isim inna kembali marfu'.

Jadi kata innamaa (‫ )إّّنا‬disebut juga huruf kaffah makfufah, yaitu huruf yang
menegaskan dan juga membatalkan perubahan i'rab isim innna. Jadi isim inna tetap
marfu' bukan nashab.

Dlomir ha’ pada ُ‫أَنْ َزلْناه‬ kembali kepada Alquran meskipun sebelumnya tidak

disebutkan kata Alquran.


Huruf nun pada kata “anzalnaahu” dibaca panjang walaupun tanpa alif. Ini

mengingatkan kita, walupun itu menjelaskan dhamir nahnu sebagai subyek/pelaku


yang artinya kami (jamak), tapi Allah itu tunggal. Memang, Allah selalu menggunakan
“Kami” pada ayat tentang kekuasaan. Berbeda pada ayat tentang ketuhanan yang di

dalamnya mengandung ketauhidan, pasti Allah menggunakan kata “Aku”. Kemudian,


dilanjutkan dengan dhamir huwa sebagai obyek (tertulis hu) yang artinya dia/-nya

(tunggal maskulin/mudzakkar).

Kata ‫ أنزل‬morfologi (berdasarkan kaidah sharf), kata dasarnya adalah nazala


artinya turun, kata ini tak membutuhkan objek (fi’il lazim), lalu turunannya adalah

nazzala yang mengisyaratkan litaktsir yaitu menunjukkan peristiwa yang terjadi


secara berulang ulang.

Beberapa ulama berpendapat, bahwa kata nazzala biasanya digunakan


untuk menjelaskan proses turunnya Al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur-
angsur (munajjaman). Sementara kata anzala digunakan untuk menjelaskan
diturunkannya secara sekaligus. Dalam ayat tersebut, terlihat perbedaannya bahwa

kitab Taurat dan Injil diturunkan secara sekaligus, isyaratnya adalah dengan
menggunakan kata anzala, sementara Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-

angsur yang terlihat dari penggunaan kata nazzala.


Tetapi kata anzala ternyata digunakan juga saat menjelaskan tentang
diturunkannya Al-Qur’an seperti yang terdapat dalam surat al-Qadr ayat 1 berikut :

‫إِنَّا أَنْ َزلْنَاهُ ِِف لَْي لَ ِة الْ َق ْد ِر‬


Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam
kemuliaan.
Ada juga yang mengungkapkan bahwa kata anzala digunakan jika terkait

dengan waktu dan tempat tertentu, sedangkan kata nazzala tidak dikaitkan dengan

waktu.
Anzalnaahu” merupakan fi’il madhi yang artinya kata kerja lampau, dan kata “

Lain halnya seandainya yang dimaksud pada ayat 1 ini bukanlah Al-Quran yang
secara keseluruhan, melainkan berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad saw,
pastilah dhamir setelah kata “anzalnaa-” bukan huwa (tertulis hu), melainkan dhamir
hiya (tertulis haa) karena ayat Al-Quran termasuk muannats (feminim).

Ayat ‫إِنَّا أَنْ َزلْناهُ ِِف لَْي لَ ِة الْ َق ْدر‬ memberikan isyarat bahwa sebelum alquran

diturunkan dari langit dunia sampai ke dunia yaitu kepada Rasul Muhammad SAW
diturunkan sekaligus (30 juz) dari lauh mahfud ke langit dunia (baitul izza).

‫َوَما أ َْد َر َاك َما لَْي لَةُ الْ َق ْد ِر‬


Huruf wau adalah i’tiradhiyah tidak memiliki kedudukan dalam i’rab dan maa
adalah isim istifham dalam mahal rafa’ sebagai mubtada’ dan ‫أ َْد َر َاك‬ adalah fi’il madhi

َ ‫أَدْرَا‬
dan fa’ilnya berupa dhamir mustatir taqdirnya ‫أن‬. Adapun huruf kaf pada lafadz َ‫ك‬
adalah dhamir muttashil mahal nashab sebagai maf’ul bih awal, jumlah fi’liyah ini

dalam mahal rafa’ sebagai khabar.

Adapun maa pada jumlah ‫َما لَْي لَةُ الْ َق ْد ِر‬ adalah maa istifham dalam mahal rafa’

sebagai mubtada’ sedangkan ‫لَْي لَةُ الْ َق ْد ِر‬ adalah jumlah idlafah dalam mahal rafa’

sebagai khabar maa dan jumlah yang ta’liqkan dengan maa istifham ini disebut

sebagai َ ‫أَ ْد َر‬.


‫ سد مسدت مفعول‬lafadz ‫اك‬
Kata “lailah” (‫)لَيلَة‬ dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan malam.

Padahal tak sepenuhnya tepat. Karena lailah (‫ )لَيلَة‬dengan huruf ta (‫ )ة‬di belakang
berbeda dengan lail (‫)لَيل‬ tanpa huruf ta (‫)ة‬. Yang sebenarnya malam adalah

terjemahan dari kata lail (‫)لَيل‬. Lawannya nahar (‫)نَ َهار‬. Artinya siang. Sedang lailah
(‫ )لَيلَة‬adalah lawan dari yaum (‫)يَوم‬. Artinya hari. Bukan siang. Karena hari mencakup
siang dan malam. Kita sering mendengar kata “siang hari” dan “malam hari.”

Demikian juga lailah (‫)لَيلَة‬, ia tidak hanya malam saja tapi juga mencakup siangnya.

Kalender dalam Islam, berdasarkan ayat-ayat Al-Quran, menggunakan lailah

(‫)لَيلَة‬. Bukan yaum (‫ )يَوم‬karena hari baru dimulai dari terbenamnya matahari bukan
dari terbitnya fajar. Kemudian berubah menjadi yaum (‫ )يَوم‬setelah Islam berasimilasi
dengan budaya para pemeluknya. Dalam kitab al-Jami’ li Ahkam al-Quran al-
Qurthubi (w. 671 H.) mengemukakan riwayat dari para sahabat bahwa mereka

berpuasa lima (lailah) bersama Rasulullah Saw tapi orang-orang non Arab berbeda.

Mereka menggantinya dengan yaum (‫ )يَوم‬karena kalender mereka matahari.

Dalam Al-Quran masa pertemuan yang dijanjikan antara Nabi Musa dengan
Allah tiga pulah lailah. Lalu disempurnakan 10 lagi sehingga menjadi sempurna 40
lailah (QS al-A’raf: 142). Yang dimaksud lailah bukan hanya malamnya saja, tapi

siangnya juga. Yaitu 24 jam. Demikian pula yang dimaksud Lailatul Qadr sebenarnya
bukan hanya malamnya saja, tapi juga siangnya. Hanya saja malamnya punya
kelebihan sebagaimana akan penulis bahas saat menafsirkan “hingga terbit fajar.”

Yaitu penggalan surah al-Qadr ayat 5.


Dalam kalimat metafora adakalanya yaum dimaksudkan nahar (siang) dan

lailah dimaksudkan lail (malam). Dalam kitab-kitab Fiqih ditemukan kata “yaumun wa

lailatun (‫)يَوم َولَيلَة‬, yaitu sehari semalam atau 24 jam, yakni siang berikut malamnya
dan malam berikut siangnya. Tapi dalam surah al-Qadar ayat 1 tentang Lailatul
Qadr, juga tentang lailah di ayat-ayat yang lain, tidak sedang dimaksudkan metafora
tapi lailah yang sebenarnya.

Huruf ta (‫ )ة‬pada kata lailah (‫ )لَيلَة‬menunjukan satu, yakni Lailatu Qadr hanya
terjadi satu malam (hari) bukan 30 hari. Tapi al-Razi (w. 606 H.) dalam Mafatih al-
Ghaib tidak demikian. Kata lailah, menurutnya tidak berarti menunjukan satu malam

(hari), tapi bisa pula menunjuk seluruh hari-hari Ramadhan, yaitu 29 hari atau 30
hari.
ِ ْ‫لَْي لَةُ الْ َق ْد ِر َخْي ر ِّمن اَل‬
‫ف َش ْهر‬ ْ
‫لَْي لَةُ الْ َق ْد ِر‬ jumlah idhafah(mudhaf dan mudhaf ilaih) berkedudukan sebagai mubtada’

sedangkan ‫خْي ر‬
َ sebagai khabar dan ‫َش ْهر‬ ِ ْ‫ ِّمن اَل‬dita’liqkan keduanya kepada lafadz .
‫ف‬ ْ
‫خ ْي‬.
َ Adapun jumlah ِ ْ‫َخْي ر ِّمن اَل‬
‫ف َش ْهر‬ adalah isti’nafiyah bayaniyah, sekan-akan
ْ
sebagai jawaban terhadap pertanyaan esensi keagungan lailatul qadr dan takdirnya “

‫ومافضائلها ؟‬
‫وح فِ َيها بِِإ ْذ ِن َرِِّّبِم ِّمن ُك ِّل أ َْمر‬ُّ ‫تَنَ َّزُل ٱلْ َملَئِ َكةُ َو‬
ُ ‫ٱلر‬
Lafadz “tanazzalu” pada ayat di atas bukanlah fiil madhi melainkan fiil mudhori,
karena jika madhi seharusnya berbunyi tanazzala, tetapi di sini berbunyi tanazzalu

mengikuti mengikuti wazan yatafa’alu (‫)يَتَ َفعَّ ُل‬ . Tetapi antara tanazzalu dan wazan

yatafa’alu ternyata tidaklah sesuai. Karena memang di dalam kalimat tanazzalu ini

asal sebenarnya adalah tatanazzalu (‫)تَتَ نَ َّزُل‬ , yang kemudian huruf mudhara’ahnya

yang berupa ta’ dibuang karena mengikuti salah satu qoidah sharf yang
membolehkan pembuangan huruf mudhara’ah yang berupa ta’ di dalam wazan

tafaa’ala (‫)تفاعل‬ dan tafa’’ala (‫)تفعل‬


ّ . Pembuangan ta’ ini dibolehkan karena alasan
untuk meringankan dalam pelafalan. Bagi orang Arab mengucapkan dua huruf yang
sama yang berdampingan itu susah dan berat.

Jadi, tanazzalu itu bukanlah fiil madhi melainkan mudhori yang asalnya
tatanazzalu. Yang menyimpan dhamir muannast hiya dan marji’ dhamirnya ke

kalimat al malaikah yang berbentuk muannast karena terdapat ta’ marbuthah.


Akan tetapi kalimat tanazzal ini bukan hanya terdapat di surat Al Qadar saja,

ada juga di dalam surat Fussilat ayat 30, yang berbunyi ‫تَتَ نَ َّزُل َعلَْي ِه ُم الْ َمآلئِ َكة‬ dan

berbeda dengan yang tertulis di surat Al Qodar. Jika di dalam surat Al Qodar ta'
mudhara’ah fiil tatanazzalu itu dibuang, di dalam surat Fussilat ini justru tidak

dibuang. Dan pembungan ta’ ini hukumnya diperbolehkan. Tetapi apa perbedaannya
antara tatanazzalu di surat Al Qadar yang dibuang ta’ mudhara’ahnya dengan
tatanazzalu di surat Fussilat yang tidak dibuang ta’ mudhara’ahnya. Tentunya bukan

tidak ada alasan kedua perbedaan ini, dan inilah salah keindahan dan keistimewaan
Al Quran. Kalimat tanazzalu maupun tatanazzalu, keduanya mempunyai makna yang

sama yaitu turunnya Malaikat ke bumi. Karena kalimatnya berbeda maka


sebenarnya di dalam maknanya pun ada perbedaannya. Tatanazzalu di dalam surat
Fussilat mempunyai makna turunnya Malaikat ke bumi yang tidak hanya sekali
melainkan setiap saat ketika telah datang ajal setiap orang yang ada di bumi.
Sedangkan tanazzalu di dalam surat Al Qadar mempunyai makna turunnya Malaikat

ke bumi hanya sekali yaitu di malam lailatul qadar saja. Dan hal ini sesuai dengan

qonun ta’biriy di dalam Al Quran, yang menyatakan memotong atau membuang


salah satu huruf pada fiil jika ahdast (kejadiannya) lebih sedikit atau lebih pendek

dan jika ahdastnya (kejadiaannya) lebih banyak atau lebih panjang maka fiil tadi
ditulis secara sempurna tanpa ada yang dibuang.

Kata “malaikah” (‫)مالئكة‬ adalah fa’il dari tanazzalu. Ladaz malaikah adalah

bentuk jamak dan mufradnya “malak” (‫)ملك‬. Asalnya dari kata “alaka ya’luku

alukatan” (‫)ألك – يألك – ألوكة‬, artinya mengirim pesan khusus. Ada yang

mengatakan, aslinya berasal dari kata “la’aka yal’aku” (‫)ألك – يؤلك‬, artinya juga

mengutus/mengirim. Bentuk mufrad malak tersebut aslinya adalah ma’lak (‫ )مألك‬atau

mal’ak (‫)مؤلك‬, artinya utusan. Karena agak susah diucapkan, hamzah yang di

tengah itu dibuang sehingga menjadi malak (‫)ملك‬. Oleh karena itu hamzah ini

muncul lagi pada bentuk jamak, mala’ikah (‫)مالئكة‬. Secara khusus, untuk

membantah anggapan keliru bangsa Arab, ada ungkapan eksplisit dan implisit. Yang
secara eksplisit menyatakan bahwa malaikat bukan perempuan dan tidak berjenis

kelamin misalnya Qs al-Isra’: 40, ash-Shaffat: 150, dan az-Zukhruf: 19. Adapun yang

implisit, tampak dari cara Al-Qur’an memperlakukan kata “malak” dan “malaikah”.
Dalam bentuk mufrad, kata malak diperlakukan sbg mudzakkar, misalnya dalam Qs

Yusuf: 31 disebut “malakun kariim” (‫)ملك كرمي‬, artinya malaikat yang mulia. Bentuk
na’at-man’ut (kata benda yang diiringi kata sifat) ini mudzakkar-mudzakkar. Tetapi
ketika jamak, kadang kata malaikah diperlakukan sebagai mudzakkar (laki-laki) dan
kadang mu’annats (perempuan). Dalam Qs al-Baqarah: 30-34, dalam kisah Adam,

seluruh dhamir (kata ganti) yang merujuk kepada malaikah adalah dhamir jama’

mudzakkar. Misalnya pada kata qaaluu (‫ )قالوا‬dan dhamir hum (‫ )ىم‬yang berulang-
ulang muncul di sana. Ciri serupa muncul di banyak tempat lainnya dalam Al-Qur’an.
Uniknya, ketika kata malaikah didahului oleh fi’il (kata kerja), tiba-tiba dhamir yang

dipakai berubah menjadi mu’annats. Misalnya) 93 : ‫ (آل عمران‬.…ُ‫فَنَ َادتْوُ امل َالئِ َكة‬,
َ
ِ ِ
)651: ‫َى ْل يَْنظُُرْو َن إََِّّل أَ ْن تَأْتيَ ُه ُم امل َالئ َكةُ )اَّلنعام‬
َ
Tapi perlakuan begini ternyata tidak selalu demikian, sebab kadang dhamir

pada fi’il-nya juga mudzakkar, misalnya:

٠ٓ : ‫ — احلجر‬.… ُ‫فَ َس َج َد امل َالئِ َكة‬


َ
ِ
٥٢ : ‫… َونُِّزَل امل َالئ َكةُ تَْن ِزيْ اال — الفرقان‬
َ
Kata malak (‫ )ملك‬sendiri adalah mudzakkar, namun ketika diubah ke bentuk
jamak malah menjadi muannats, mala’ikah (‫)مالئكة‬. Tampaknya, Al-Qur’an hendak
menunjukkan bahwa malaikat tidak bisa disebut laki-laki atau perempuan sebagai
lazimnya makhluk dalam persepsi dan nalar manusiawi, sehingga dhamir (kata ganti)
yang dipakai pun bisa mudzakkar atau mu’annats.Mereka diciptakan dalam satu

jenis saja, tidak berpasang-padangan, dan jelasnya istilah “jenis kelamin” tidak ada
dalam dunia mereka.

Lafadz ‫وح‬
ُ ‫ٱلر‬
ُّ ‫َو‬ diperbolehkan menjadi mubtada’ dan lafadz ‫ فيها‬menjadi

khabarnya atau bisa juga lafadz ‫وح‬


ُ ‫ٱلر‬
ُّ ‫ َو‬diathafkan terhadaf fail (malaikah) dan lafadz
‫ فيها‬sebagai dzaraf atau hal. Adapun firman Allah

Anda mungkin juga menyukai