Anda di halaman 1dari 64

TUGAS TEORI KEBIJAKAN PUBLIK

“TAHAPAN DALAM SIKLUS KEBIJAKAN PUBLIK”

Tulisan ini disusun sebagai

Tugas Terstruktur Mata Kuliah Teori Kebijakan Publik

Dosen pengampu: Prof. Dr. Paulus Israwan Setyoko

Disusun Oleh:

Yulianti F1B012018

Kelas A

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

2014

1
Daftar Isi
A. PENGERTIAN KEBIJAKAN PUBLIK .......................................................................................................... 4
B. TAHAPAN KEBIJAKAN PUBLIK MENURUT PARA AHLI ........................................................................... 6
C. AGENDA SETTING................................................................................................................................10
1. PENGERTIAN AGENDA SETTING/AGENDA KEBIJAKAN.................................................................... 10
2. MASALAH KEBIJAKAN......................................................................................................................11
3. PENGARUH DISTRIBUSI KEKUASAAN TERHADAP ISU KEBIJAKAN...................................................13
4. AKTIVITAS DALAM AGENDA SETTING .............................................................................................14
5. JENIS-JENIS AGENDA KEBIJAKAN .................................................................................................... 15
6. HUBUNGAN MASYARAKAT-PEMERINTAH DALAM AGENDA SETTING ........................................... 17
D. POLICY FORMULATION .......................................................................................................................18
1. PENGERTIAN FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK ................................................................................18
2. AKTOR-AKTOR PERUMUS KEBIJAKAN .............................................................................................19
3. Pembentukan kebijakan versus perumusan kebijakan .................................................................. 21
4. MODEL-MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK.......................................................................... 22
Gambar 1 kerangka kerja sistem yang dikembangkan oleh Easton ...........................................................23
Gambar 2.....................................................................................................................................................24
Model pembuatan kebijakan yang dikembangkan oleh Paine dan Naumes.............................................. 24
7. TAHAPAN DALAM FORMULASI KEBIJAKAN.....................................................................................28
8. TEORI FORMULASI KEBIJAKAN........................................................................................................ 30
E. POLICY IMPLEMENTATION..................................................................................................................34
1. PENGERTIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN.......................................................................................34
2. AKTOR IMPLEMENTASI KEBIJAKAN................................................................................................. 36
3. TEKNIK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ................................................................................................39
4. MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN................................................................................................40
5. PENDEKATAN-PENDEKATAN IMPLEMENTASI.................................................................................43
F. POLICY EVALUATION...........................................................................................................................48
1. PENGERTIAN EVALUASI KEBIJAKAN ................................................................................................48
2. TIPE-TIPE EVALUASI KEBIJAKAN ...................................................................................................... 50
3. EVALUATOR KEBIJAKAN ..................................................................................................................51
4. SIFAT-SIFAT EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ........................................................................ 52
Gambar perspektif what’s happening .................................................................................................... 54

2
G. POLICY CHANGE .................................................................................................................................. 55
H. POLICY TERMINATION.........................................................................................................................59

3
A. PENGERTIAN KEBIJAKAN PUBLIK
Beberapa pengertian kebijakan public dari para ahli (Winarno, 2007, pp. 16-23) sebagai berikut.

1. James Anderson
Kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang diterapkan oleh
seorang actor atau sejumlah actor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.
Pengertian ini dianggap tepat karena memusatkan perhatiian pada apa yang sebenarnya
dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Konsep ini juga
membedakan kebijakan dari keputusan yang merupakan pilihan diantara berbagai
alternative yang ada.
2. Robert Eyestone
Kebijakan public didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan
lingkungannya.
3. Thomas R. Dye
Kebijakan public adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan dan tidak
dilakukan. Batasan ini dianggap kurang cukup memberikan pembedaan yang jelas antara
apa yang diputuskan dan apa yang sebenarnya dilakukan pemerintah. Konsep ini
mencakup tindakan-tindakan seperti pengangkatan pegawai baru atau pemberian lisensi.
Tindakan yang sebenarnya berada diluar domain kebijakan public.
4. Richard Rose
Kebijakan public sebagai serangkian yang sedikit banyak berhubungan beserta
konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu
keputusan tersendiri. Kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan
sekedar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu.
5. Charles Friederich
Kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan
peluang-ppeluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi
dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan atau suatu maksud tertentu.
6. Amir Santoso

4
kebijakan public adalah “serangkaian intruksi dari para pembuat keputusan pelaksana
kebijakna yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.”
Pada dasarnya pandangan terhadap kebijakan public dapat dibagi kedalam dua kategori.
Pertama, pendapat ahli yang menyamakan kebijakan public dengan tindakan-tindakan
pemerintah. Para ahli cenderung menganggap bahwa semua tindakan pemerintah dapat
disebut sebagai kebijakan public. Kedua, berangkat dari para ahli yang memandang
kebijakan public yang memberikan pengertian khusus kepada pelaksanaan kebijakan.
Mereka memandang kebijakan public sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang
mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu, dan mereka yang menganggap
kebijakan public sebagai memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan
Jadi kebijakan public dipandang sebagai proses perumusan, implementasi dan evaluasi
kebijakan.
7. Jeffrey L. Presman dan Aaron Wildavsky
Kebijakan public sebagai suatu hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan
akibat-akibat yang bisa diramalkan.

Sementara itu pengertian kebijakan public dari beberapa tokoh lain (Kusumanegara , 2010, p. 4).

8. Rs. Parker
Kebijakan public adalah suatu tujuan tertentu atau serangkaian prinsip atau tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah pada periode tertentu dalam hubungannya dengan suatu
subjek atau tanggapan terhadap krisis.
9. Edward dan Sharkansky
Kebijakan public adalah apa yang dikatakan dan dilakukan pemerintah, mencakup:
tujuan-tujuan, maksud program pemerintah, pelaksanaan niat, dan peraturan.
10. Nakamura dan Smalwood
Kebijakan public adalah serangkaian instruksi dari pembuat keputusan kepada pelaksana
kebijakan yang menjelaskan tjuan-tujuan dan cara-cara mencapai tujuan tersebut.
11. James P. Lester dan Joseph Stewart Jr.
Kebijakan public merupakan kebijakan yang dibuat oleh otoritatif yang ditujukan dan
berdampak pada public serta ditujukan untuk mengatasi persoalan-persoalan public.

Masih banyak definisi kebijakan public (Pasolong, 2007, pp. 38-39)

5
12. Chandler dan Plano
Kebijakan public adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber-sumber daya yang
ada untuk memecahkan masalah public atau pemerintah.
Chandler dan Plano bahkan beranggapan bahwa kebijakan public merupakan suatu
bentuk investasu yang kontinu oleh pemerintah demi kepentingan orang-orang yang tidak
berdaya dalam masyarakat agar mereka dapat hidup dan ikut berpartisipasi dalam
pemerintah.
13. William N. Dunn
Kebijakan public adalah suatau rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang
dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas
pemerintah seperti pertahanan keamanan, energy, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan
masyarakat, kriminalitas, perkotaan dan lain-lain.
14. Shfritz dan Russel
Public policy “is whatever government desides to do or not to do”.
15. Chaizi Nasucha
Kebijakan public adalah kewenangan pemerintah dalam pembuatan suatu kebijakan yang
digunakan dalam perangkat peraturan hukum. Kebijakan tersebut untuk menyerap
dinamika sosial masyarakat, yang akan dijadikan acuan perumusan kebijakan agar
tercipta hubungan sosial yang harmonis.
16. Samodra Wibawa
Kebijakan public adalah setiap keputusan yang dibuat oleh suatu sistem politik negara,
provinsi, kabupaten dan desa,atau RW dan RT. Setiap sistem membuat kebijakan public
untuk public dan untuk itu sistem tersebut menghimpun serta mengerahkan sumber daya
public yang bersangkutan.

B. TAHAPAN KEBIJAKAN PUBLIK MENURUT PARA AHLI

Proses pembuatan kebijakan public merupakan proses yang kompleks karena melibatkkan
banyak proses maupun variable yang harus dikaji. Oleh karena itu, ahli politik membagi proses
kebijakan public dalam tahap-tahapan agar mudah mengkaji kebijakan public yang dibuat.

6
Berikut ada beberapa pendapat dari para ahli mengenai tahapan dalam pembuatan kebijakan
public:

1. James Anderson
1) Formulasi masalah
2) Formulasi kebijakan
3) Penentuan kebijakan
4) Implementasi kebijakan
5) Evaluasi kebijakan
2. AG. Subarsono
1) Penyusunan agenda
2) Formulasi kebijakan
3) Adopsi kebijakan
4) Implementasi kebijakan
5) Evaluasi kebijakan

*dalam Harbani Pasolong (2007:41)

3. Randal B. Ripley
1) Agenda setting
2) Formulation and legitimation of goals and programs
3) Program implementation
4) Evaluation of implementation

4. James P. Lester dan Joseph Stewart Jr.


1) Agenda setting
2) Formulasi kebijakan
3) Implementasi kebijakan
4) Evaluasi kebijakan
5) Perubahan kebijakan
6) Terminasi kebijakan

*dalam Solahuddin Kusumanegara (2010:11-15)

7
5. Herbert A. Simon (1947)
1) Inteligensi
2) Desain
3) Pilihan
6. Harold D. Lasswell (1956)
1) Inteligensi
2) Promosi
3) Preskpripsi
4) Invocation (perujukan ke kebijakan yang lebih tinggi)
5) Aplikasi
6) Terminasi (penghentian)
7) Evaluasi (appraisal)
7. R. Mack (1971)
1) Memutuskan untuk menetapkan (pengenalan problem)
2) Merumuskan alternative dan kriteria pemilihan
3) Menentukan keputusan yang terbaik
4) Melahirkan akibat kebijakan (effectuation)
5) Koreksi dan penambahan (supplementation)
8. R. Rose
1) Pengakuan public akan perlunya sebuah kebijakan (isu)
2) Isu masuk agenda kontroversi public
3) Masuk/diajukan tuntutan/permintaan
4) Terlibatnya pemerintah
5) Dikerahkannya sumber daya dan disingkirkannya (diciptakan) rintangan
6) Keputusan kebijakan (policy decisions)
7) Implementasi
8) Output
9) Evaluasi
10) Umpan balik (feedback)
9. W. Jenkins (1976)
1) Inisiasi

8
2) Informasi
3) Pertimbangan
4) Keputusan
5) Implementasi
6) Evaluasi
7) Terminasi (penghentian)
10. BW. Hogwood dan L.A. Gunn (1984)
1) Memutuskan untuk memutuskan (pencarian isu dan penentuan agenda)
2) Memutuskan cara bagaimana memutuskan
3) Mendefinisikan isu
4) Meramalkan, memperkirakan, forecasting
5) Menentukan tujuan dan prioritas
6) Analisis opsi.
7) Implementasi kebijakan, monitoring, dan control
8) Evaluasi dan review
9) Pemeliharaan kebijakan, penggantian dan penghentian
11. William N. Dunn
1) Penetapan agenda (agenda setting)
2) Perumusan kebijakan
3) Penerimaan kebijakan
4) Pelaksanaan kebijakan
5) Pengkajian kebijakan
6) Perbaikan kebijakan
7) Penerusan kebijakan
8) Pengakhiran kebijakan
*Samodra Wibawa (2011:6-7)

Dari pendapat para ahli diatas mengenai tahapan kebijakan public, dapat diambil garis berarnya
yaitu:

Stage I Agenda Setting

Stage II Policy Formulation

9
Stage III Policy Implementation

Stage IV Policy Evaluation

Stage V Policy Change

Stage VI Policy Termination

Penjelasan dari tahapan-tahapan diatas adalah:

C. AGENDA SETTING

1. PENGERTIAN AGENDA SETTING/AGENDA KEBIJAKAN


Agenda setting merupakan tahap dimana diputuskan masalah yang menjadi perhatian
pemerintah untuk dibuat menjadi kebijakan (Kusumanegara , 2010, p. 12). Pemerintah
dihadapkan pada berbagai issue (masalah) yang ada di sekitarnya. Untuk itu, pada saat tertentu
pemerintah harus memutuskan isu apa yang menjadi dasar dibuatnya suatu kebijakan public.

Agenda setting atau dikenal dengan agenda kebijakan (Winarno, 2007, p. 80) didefinisikan
sebagai tuntutan-tuntutan agar para pembuat kebijakan memilih atau merasa terdorong untuk
melakukan tindakan tertentu. Agenda kebijakan dapat dibedakan dari tuntutan politik secara
umum serta dengan istilah prioritas yang dimaksudkan untuk merujuk pada susunan pokok-pkok
agenda dengan pertimbangan bahwa satu agenda lebih penting dari agenda lain.

Cobb dan Elder (Winarno, 2007, p. 80)mendefinisikan agenda kebijakan sebagai “a set of politicl
conversies that will be viewed as falling within range of legitimate concerns meriting attention
by decision making body.” Sementara itu, Barbara Nelson menyatakan bahwa proses agenda
kebijakan berlangsung ketika pejabat public belajar mengenai masalah-masalah baru,
memutuskan untuk memberi perhatian secara personal dan memobilisasi organisasi yang mereka
miliki untuk merespon masalah tersebut. Agenda kebijakn merupakan arena pertarungan wacana
yang terjadi dalam lembaga pemerintah.

Tidak semua isu yang akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Isu-isu tersebut harus
berkompetisi satu sama lain dan masalah yang dianggap menang akan masuk kedalam agenda
kebijakan. Mengapa terjadi demikian? David Truman menyatakan bahwa kelompok-kelompok
akan berusaha mempertahankan diri dalam keadaan equilibrium yang layak, dan jika kondisi

10
sesuatu mengancam kondisi tersebut, maka mereka akan bereaksi melakukan penyesuaian diri.
Pada saat terjadi ketidakseimbangan sistem, maka kelompok-kelompok akan melakukan adaptasi
terhadap perubahan perubahan yang menggangu equilibrium tersebut. Konsep eqiliberium
Truman ini hanya menjelaskan seandainya disequiliberium terjadi dalam kelompok. Namum
konsep ini tidak mampu menjelaskan peran elit politik dalam mendorong suatu isu masuk ke
dalam agenda kebijakan. Padahal, Nelson mengungkap bahwa suatu proses kebijakan terjadi
sebagai hasil “belajar” elit politik.

Sedangkan Mark Rushefky menyatakan bahwa suatu isu menjadi agenda melalui konjungsi tiga
urutan.

 Pertama, pengidentifikasian yaitu tahap pengidentifikasian masalah yang didiskusikan


sebelumnya.
 Kedua, menitikberatkan pada kebijakan atau pemecahan masalah. Urutan ini, biasanya
terdiri dari para spesialis di bidang kebijakan, seperti misalnya para birokrat, staf
legislative, akademisi, para ahli dalam kelompok-kelompok kepentingan, dan proposal
yang dibawa oleh komunitas-komunitas tertentu.
 Ketiga, merupakan urutan politik (political stream). Pada urutan ini biasanya disusun dari
perubahan dalam administrasi dan pergantian partisipan atau ideology dalam lembaga
legislative.

2. MASALAH KEBIJAKAN
Mengapa suatu isu menjadi agenda setting pemerintah sedangkan lainnya tidak? Perlu dipahami
terlebih dahulu kondisi permasalahan yang berkembang di masyarakat. menurut Ripley
(Kusumanegara , 2010, p. 69) kondisi tersebut adalah:

 Ekstermitas masalah, yaitu isu yang dirasakan sangat membutuhkan pemecahan


 Konsentrasi masalah, yaitu jika isu dari berbagai sumber akan terkonsentras pada satu
area
 Cakupan masalah, yaitu jika isu yang dampaknya mencakup banyak orang
 Mountain climber problem, yaitu isu yang akan terus berkembang setelah program yang
telah dilakukan ternyata tidak bisa memecahkan masalah secara tuntas

11
 Analogi agenda setting, yaitu isu yang baru muncuk ternyata hanya analogi isu lama yang
belum berhasl diatasi
 Symbol, jika problem berhubungan dengan simbl-simbol nasional yang dianggap penting
dan sensitive
 Ketersediaan teknoologi, jika ada teknologi yang dapat memecahkan persoalan
 Ketidakhadiran peran swasta, jika persoalan yang tidak dapat dipecahkan melalui
mekanisme pasar, atau peran swasta yang lain.

Sebuah isu yang akhirnya menjadi agenda pemerinta mungkin tdak dinilai memenuhi semua
kondisi diatas. Suatu isu yang memebuhi satu kriteria kondisi sudah cukup menjadi agenda
pemerintah untuk dirumuskan pemecahannya melalui kebijakan. Namun semakin anyak kriteria
kondisi dimiliki suatu isu, semakin layak baginya diformulasikan dalam kebijakan.

Lester dan Stewart menyatakan bahwa suatu isu akan mendapatkan perhatian bila memenuhi
beberapa kriteria, yaitu

 pertama, bila suatu isu telah melampui proporsi suatu krisis dan tidak dapat terlalu lama
didiamkan, misalnya kebakaran hutan.
 Kedua, suatu isu akan mendapat perhatian bila isu tersebut bersifat partikularistas,
dimana isu tersebut menunjukkan dan mendratisir isu yang lebih besar seperti kebocoran
lapisan ozon dan pemanasan global.
 Ketiga, mempunyai aspek emosional dan mendapat perhatian media massa karena faktor
human interest.
 Keempat, mendorong munculnya pertanyaan menyangkut kekuasaan dan legitimasi, dan
masyarakat.
 Kelima isu tersebut sedang menjadi trend atau sedang diminati oleh banyak orang.

Dari bermacam isu kebijakan yang muncul ada tahap awal proses kebijakan, ternyata
mempunyai sifat yang berbeda antara yang satu dengan lainnya. Ada isu yang mudah
didefinisikan dan mudahpula dipecahkan. Namun adapula isu yang sulit didefinisikan dan
dipecahkan. Hal ini menyebabkan para pebuat kebijakan kesulitan memahami secara pasti
hubungan klausal masalah kebijakan dan solusinya. Jika sifat itu ternyata sulit didefinisikan dan
dipecahkan, maka para analis diharapkan lebih cermat mengobservasi karakteristik persoalannya

12
agar bisa dibuat solusi kebijakan yang tepat. Juga isu secara kontinu didefinisikan kembali
berdasarkan pada informasi baru atau pemahaman baru terhadap masalah ( Lester dan Stewart,
2000 dalam (Kusumanegara , 2010, p. 71)

3. PENGARUH DISTRIBUSI KEKUASAAN TERHADAP ISU KEBIJAKAN


Meskipun kriteria isu untuk menjadi agenda kebijakan terpenuhi, namun dalam praktek
sebenarnya tidak ada yang menjamin bahwa suatu isu secara otomatis akan dapat menembus
mulus pintu akses kekuasan dan menjadikannya sebagai agenda kebijakan public (Wahab, 2008,
p. 41).

Untuk memahami dengan baik mengapa isu tertentu reltif mudah menembus pintu-pintu
kekuasaan sementara isu yanglain tidak, memang bukan pekerjaan yang gampang. Kendati
demikian untuk keperluan itu kita dapat mengunakan pendekatan sosiologi kebijakan dengan
cara mencermati bagaiman peran dan pengaruh riil dari apa yang disebut sebagai agenda setters.
Dalam teori ini disebutkan pada umumnya yang secara potensial tergolonga agenda setter ini
adalah organisasi kelompok kepentingan, kelompok-kelompok pemrotes, para pejabat senior
pemrintah dan pembentuk opini, seperti editor surat kabar, dan sebagainya. Posisi dari kelompok
tertentu yang berpengaruh akan semakin kukuh jika mereka dipersepsikan sebagai memiliki
legitimasi dan kekuasaan atas isi tersebut, sehingga pandangan-pandangan mereka atas isu yang
diperdebatkan dianggap memiliki nilai keabsahan tertentu.

Proses masuknua isu menjadi agenda kebijakan public/pemerintah pada dasarnya merupakan
proses ang berdosis politik sangat tinggi. Artinya proses ini dpengaruhi secara kental oleh
bagaimana perwujudan dan distribus kekuasaan riil yang berlangsung disuatu negara, organisasi,
atau masyarakat secara keseluruhan. Itu sebabnya, dalam praktek politik kebijakan, bisa jadi
beberapa kelompok atau organisasi ternyata tidak mampu menebus pintu akses kekuasaan sama
sekali, sementara kelompok lain relative dapat menembus pintu akses itu, namun tak memiliki
daya resonansi dan dampak yang cukup besar pada diri policy-maker; sedangkan kelompok kecil
orang lainnya terbukti bukan hanya mampu menembus pintu akses, melainkan mampu
mempengaruhi secara nyata tahap proses penyusunan agenda kebijakan, hingga akhirnya
kebijakan public yang sebenarnya. Derajat polarisasi dan tingkat persaingan yang berlangsung
dikalangan para actor penting dalam suatu sistem politik pada kurun waktu tertentu, praktis dapat
pula dilihat dari sudut; siapa yang mampu menggulirkan isu (seraya menepis isu yang lain),

13
memasukkan isu yang digulirkan sebagai agenda kebijakan public yang diimpementasikan serta
berdampak nyata pada kehidupan sosial politik massa.

4. AKTIVITAS DALAM AGENDA SETTING


Aktivitas dalam agenda setting (Kusumanegara , 2010, p. 12)antara lain:

 Bagaimana masalah yang ada dirasakan keberadaanya oleh individu dan kelompok,
memutuskan bahwa pemerintah harus disertakan dalam masalah tersebut.
 Masalah diidentifikasikan. Memobilisasi dukungan untuk memasukkan problem itu
menjadi agenda pemerintah. Dalam tahap ini akan terjadi terjadi kompetisi dalam
berbagai bentuk. Pertama, banyak kelompok atau individu melakukan tindakan untuk
menarik perhatian actor-aktor pemerintah agar terlibat dalam masalah tertentu yang ada
dalam agenda. Terkadang masalah tertentu tidak masuk ke agenda. Pemerintah.
Sedangkan kapasitas pemerintah untuk memasukan daftar tuntutan untuk dilaksanakan,
dalam waktu yang telah ditetapkan, sifatnya terbatas. Jadi, dari sekian banyak isu
tidaklah seluruhnya mendapat perhatian dari pemerintah. Kedua, sekalipun dalam
banyak kelompok dan individu memperhatikan sebuah masalah yang bersifat umum,
disana ada kompetisi mengenai definisi spesifik tentang masalah kemudian, kompetisi
terjadi dalam kelompok-kelompok serta muncul pandangan-pandangan untuk
memobilisasi dukungan dan bagaimana melaksanakannya.

Masalah ada yang tidak mendapat perhatian para pembuat kebijakan sehingga tidak sampai
masuk kedalam agenda public. Menurut Peter Bachrach dan Morton Barazt, konsep tidak
membuat keputusan merupakan sarana yang digunakan untuk mencegah atau menghilangkan
tuntutan-tuntutan yang menghendaki perubahan dalam alokasi keuntungan-keuntungan dan hak-
hak istimewa dalam masyarakat sebelum mendapatkan akses kedalam pembuatan kebijakan.
Beberapa cara digunakan untuk menggagalkan suatu isu masuk ke agenda pemerintah yaitu
pertama dengan menggunakan cara kekerasan dan kedua dengan menggunakan nilai-nilai dan
kepercayaan yang berlaku, yaitu dengan budaya politik. Ketiga melalui pengendalian konflik.
Semua partai politik, organisasi, pemerintah, dan pemimpin harus terlibat dalam pengelolaan
konflik.

14
5. JENIS-JENIS AGENDA KEBIJAKAN
Roger W. Cobb dan Charles D. Elder mengidentifikasikan dua macam agenda pokok yaitu
agenda sistemik dan agenda lembaga/pemerintah. Agenda sistemik terdiri dari semua yang
menurut pandangan masyarakat politik pantas mendapat perhatian public dan mencakup masalah
yang secara yuridis berada pada wewenang pemerintah yang sah. Pokok agenda sistemik
misalkan kejahatan di jalanan yang tercantum tidak hanya pada satu agenda sistemik. Agenda
sistemik merupakan agenda pembahasan. Tindakan mengenai suatu masalah hanya akan ada
apabila masalah tersebut diajukan kepada pemerintah untuk diambil kewenagan dan tindakan
yang pantas.

Agenda lembaga atau agenda pemerintah terdiri dari masalah-masalah yang mendapatkan
perhatian sungguh-sungguh dari pejabat pemerintah. Pada tingkat nasional, agenda pemerintah
misalnya agenda presiden, agenda admnistratif, agenda pengendalian dan lain sebagainya.
Agenda lembaga merupakan agenda tindakan yang mempunyai sifat khusus dan dan elbih
konkret bila dibandingkan dengan agenda sistemik.

Pokok-pokok agenda lembaga dibedakan menjadi pokok-pokok agenda lama dan pokok-pokok
agenda baru. Pokok-pokok agenda lama tercantum secara teratur sedangkan pokok-pokok
agenda baru timbul dari keadaan atau kejadian tertentu. Pokok agenda lama cenderung
mendapatkan prioritas daripada pokok agenda baru. Alokasi waktu yang dilakukan juga terbatas,
serta agenda selalu sarat dengan masalah.

Apa yang menjadi perhatian public tidak sendirinya menjadi subjek dari kebijakan-kebijakan.
Sehingga perlu dipertanyakan bagaimana peran pemerintah dalam agenda seting? Peran
pemerintah mungkin terbatas pada agenda formal, namun kenyataanya pemerintah merupakan
penentu dalan agenda sistemik. Bisa saja pemerintah akan memotong jalur agenda sistemik
sebelum massuk ke agenda formal. Ada emapat kategori dalam hal ini yaitu:

 Membiarkan begitu saja agenda setting menjadi agenda formal. Dalam hal ini pemerintah
bersikap pasif (let it happen).
 Pemerintah mendorong masyarakat untuk mendefinisikan dan mengartikulasikan
masalah-masalah yang mereka rasakan (encourage it to happen)

15
 Pemerintah memainkan peranan yang aktif dalam mendefinisikan masalah yang timbul
dan merancang tujuan-tujuan yang hendak dicapai (make it happened)
 Pemerintah menghalangi agenda sistemik menjadi agenda formal dengan membatasi dan
bahkan menutup akses dan komunikasinya (do not let it happen). Dalam masyarakat ynag
terbuka, pemerintah tidak bisa mengontrol agenda sistemik, namun dalam masyarakat
yang tertutup pemerintah mengintervensi persoalan-persalan tertentu agar tidak
dibicarakan masyarakat.

Berkaitan dengan kompetisi yang muncul, Cobb dan Ross mengetengahkan tiga tipe agenda
setting untuk tipe-tipe kebijakan yang berbeda, yaitu:

 Tipe Outside Initiative, ditetapkan dimana situasi dimana berbagai kelompok yang tengah
berkompetisi diluar kekuasaan atau diluar struktur pemerintah melakukan tindakan-
tindakan seperti.
 Mengartikuasikan masalah-masalah
 Mencoba memperluas kepentingan-kepentinganya terhadap kelompok lain agar
menjadi agenda public
 Menciptakan tekanan terhadap pembuat keputusan agar kepentingan mereka
menjadi agenda formal.
Tipe kebijakan ini banyak digunakan pada area kebijakan redistributuf.

 Tipe inside access, menggambarkan pola agenda seting dan formulasi kebijakan yang
coba menyingkirkan partisipasi individu dan kelompok dari lingkaran pemerintah.
Usulan-usulan kebijakan berasal dari unit-unit yang ada dalam struktur pemerintah dan
kelompok yang dekat dengan lingkaran kekuasaan. Tipe ini lebih banyak digunakan pada
area kebijakan distributuf. Dalam kerangka tipe inside access pengaruk kelompok yang
beada dalam lingkaran pemerintah juga dominan dalam tahap formulasi, implementasi
dan evaluasi kebijakan.
 Tipe Mobilization, menjelaskan proses agenda setting dalam situasi dimana para
pemimpin politik mempunyai inisiatif atas kebijakan-kebijakan, namun inisiatif ini
terlaksana apabila ada dukungan masyarakat dalam implementasinya. Tipe ini digunakan

16
untuk area kebijakan redistributive golongan minoritas dan beberapa hal digunakan untu
kebijakan protective regulatory.

6. HUBUNGAN MASYARAKAT-PEMERINTAH DALAM AGENDA SETTING


Dalam Agenda settting muncul kompetisi dikalangan actor. Mereka mengeluarkan isu yang akan
dijadikan agenda pemerintah. Ripley (1985) (Kusumanegara , 2010, p. 71) menggambarkan
bahwa keterlibatan individu dan kelompok dalam kompetisi pada hakekatnya ditujukan untuk
menarik perhatian pemerintah terhadap kompetisi yang terjadi. Sebagai akibatnya pemerintah
ikut terlibat dalam pengembnagan isu-isu kebijakan. Selebihnya, individu maupun kelompok
mengembangkan kompetisi dalam penentapan isu yang bersifat umum serta masing-masing
berupaya mendefinisikan isu agar menjadi agenda kebijakan.

Menurut Davies ada tiga kegiatan yang dilakukan individu atau kelompok yang berkompetisi
yaitu:

 Inisiasi, adalah tahap muculnya masalah-masalah dalam masyarkkat yang mendorong


tuntutan masing-masing individu atau kelompok melakukan aksi.
 Difusi, yaitu kegiatan yang dilakukan actor yang berkompetisi mentransformasikan
maslah yang menjadi perhatian mereka menjadi masalah untuk pemerintah.
 Prosesing, adalah kegiatan mengkonversikan berbagai isu kedalam item-item agenda.
Dalam hal ini ada isu yang tidak berhasil dibuat kebijakan.

Sedangkan menurut Barbara Nelson ada empat kegiatan dalam agenda setting yaitu:

 Issue recognition, yaitu pengenalan masalah yang perlu diperhatikan secara serius oleh
pemerintah.
 Issue adoption, adalah kegiatan yang menunjukan adanya keputusan pemerintah untuk
merespon atau untuk tidak merespon isu-isu yang ditekankan oleh individu-individu atau
kelompok yang berkompetisi.
 Issue prioritization, adalah upaya memprioritaskan isu yang poensial untuk menjadi
agenda pemerintah.

17
 Issue maintenance, adalah kegiatan yangdilakukan berbagai pihak yang terlibat untuk
mempertahankan isu yang petotensial tersebut agar secara nyata menjadi kebijakan
public.

Ketika kompetisi terjadi dan berbagai kegiatan dalam agenda seting dilakukan, kemungkinan
pemerintah berada dalam dua posisi yaitu, pertama pemerintah tindak mempunyai agenda setting
sendiri atas isu yang muncul. Kedua pemerintah mungkin telah mempunya agendanya sendiri.
Dalam kasus yang pertama agenda yang popular (agenda sistemik) akan berpeluang untuk masuk
menjadi agenda public (agenda formal), sehingga berpeluang diformulasikan kebijakan.
Sedangkan kasus kedua, agenda formal berpeluang diformulasikan.

D. POLICY FORMULATION

1. PENGERTIAN FORMULASI KEBIJAKAN PUBLIK


Formulasi merupakan tahap yang terjadi setelah isu diagendakan. Raymond Bauer
(Kusumanegara , 2010, p. 85) menyatakan bahwa perumausan kebijakan public adalah proses
transformasi input menjadi output. Jika kita memperhatikan model sistem politik David Easton,
maka pendapat Bauer pada hakekatnya menunjukan aktivitas yang terjadi dalam proses konversi.
Jika demikian maka proses kebijakan publik bersifat politis karena actor, kepentingan, dan
interaksi antara actor menjadi focus utamanya (Lindblom, 1986). Disampng itu, dimensi politis
dalam formulasi dapat terjadi dalam serangkaian aktifitas yang terjadi didalamnya seperti:
mengkoleksi informasi, analisis informasi, diseminasi, pengembangan alternatif advokasi,
membangun koalisi, kompromi dan negosiasi.

Lester dan Stewart menyatakan formulasi kebijakan sebagai sebuah tahap dalam proses
kebijakan dalam mana sebuah isu yang menjadi agenda pemerintah diteruskan dalam bentuk
hukum public.pengagendaan isu pada dasarnya proses artikulasi dan agregasi yang merupakan
fungsi input. Sedangkan yang dimaksud hukum public adalah ouput sistem politik.

Hasil yang diharapkan dalam formulasi kebijakan adalah solusi terhadap masalah public.
Formulasi merupakan aktivitas kebijakan yang tidak netral dari politik, sehingga kebijakan ang
terbentuk merupakan resultante kompromi politik dari para actor yang berperan merumuskan
kebijakan.

18
Dalam upaya menyelesaikan masalah public, Deborah Stone menyarankan ada lima tipe solusi
yang perlu diformulasikan dalam kebijakan yaitu:

 Inducement, yaitu langkah kebijakan yang bersifat membujuk atau menekankan atas
suatu isu tertentu, misalnya kredit pajak (positif) dan penalty polusi (negative)
 Rules, langkah kebijakan yang menekankan pada pembentukan aturan-aturan dalam
bentuk regulasi-regulasi yang harus ditaati oleh masyarakat.
 Facts, langkah kebijakan berupa pembentukan jalur informas untuk mengajak kelmpok
target agar mau melakukan sesuatu yang dianggap menyelesaikan masalah.
 Rights, langkah kebijakan dengan memberikan hak-hak atau tugas-tugas kepada
masyarakat.
 Power, upaya kebijakan berupa penambahan bobot kekuasaan yang disebabkan adanya
tuntutan tertentu. misalnya memberi kekuasaan khsus kepada badan legislative untuk
memperbaiki pembuatan keputusan melalui bobot kekuasaan anggaran guna
mempengaruhi anggaran pemerintah.

2. AKTOR-AKTOR PERUMUS KEBIJAKAN


Actor merupakan penentu isi kebijakan dan dinamika tahap-tahap proses kebijakan. Lasswelian
menunjuk actor sebagai who gets what. Actor perumus kebijakan dapat dibedakan menjdi dua
yaitu actor resmi dan yang tidak resmi. Termasuk dalam kelompok resmi adalah:

 Badan-badan administrasi (agen-agen pemerintah)


Badan adminsitrasi sebagai pelaksana dari kebijakan public. Badan administrasi dapat
melakukan penyesuaian kebijakan ketika melaksanakan kebijakan. Oleh karena perannya
yang penting, sudah seharusnya para pembuat kebijakan (politik) melibatkan badan
administrator untuk ikut serta dalam formulasi kebijakan agar kebijakan dan
penerapannya bisa selaras.
 Presiden (eksekutif)
Keterlibatan presiden dalam perumusan kebijakan dapat dilihat pada komisi-komisi
presidensial, maupun dalam rapat-rapat cabinet. Bahkan presiden terlibat secara pribadi
dalam perumusan kebijakan.
 Lembaga legislative (kongres)

19
Lembaga ini bersama dengan eksekutif (presiden dan pembantu-pembantunya)
memegang peranan yang krusial dalam pembuatan kebijakan public.lembaga ini
berperan dalam melegislasi kebijakan baru maupun merevisi kebijakan yang dianggap
keliru. Setiap undang-undang yang menyangkut masalah public harus mendapatkan
persetujuan dari lembaga legislative, misalnya kebijakan menyangkut swadana rumah
sakit. Keterlibatan lembaga legislaif dapat dilihat dalam mekanisme dengar pendapat,
penyelidikan-penyelidikan dan kontak-kontak yang mereka lakukan dengan pejabat
adminsitrasi, kelompok-kelompok kepentingan dan lain sebagainya. Di negara
demokrasi, peran legislative dalam perumusan kebijakan didasaarkan pada keberadaan
mekanisme check and balances dengan eksekutif. Hal ini menyebabkan pergeseran
kekuasaan eksekutif tidak menggeser secara apriori kekuasan legislative.
 Lembaga yudikatif
Badan yudikatif di AS seringkali mempengaruhi substansi kebijakan public melalui
penggunaan kekuasaan penijauan yudisial dan penafsiran undang-undang terhadap kasus
yang diajukan kepadanya. Tinjauan yudisial merupakan kekuasaan pengadilan untuk
menentukan tindakan-tindakan yang akan diambil oleh cabang-cabang eksekutif maupun
legislative sesuai dengan konsesi atau tidak. Bila kebijakan yang diambil bertentangan
dengan konstitusi negara, maka lembaga yudikatif berhak membatalkan dan menetapkan
tidak sahnya suatu kebijakan.

Peran serta tidak resmi dalam perumusan kebijakan diikuti oleh kelompok-kelompok yang
meskipun aktif dalam proses perumusan kebijakan namun mereka tidak mempunyai kewenangan
yang saha untuk membuat kewenangan yang mengikat. Peran serta tersebut dilakukan oleh:

 Kelompok kepentingan
Kelompok ini memiliki peran penting dalam pembentukan kebijakan public hampir di
semua negara. kelompok kepentingan menjalankan fungsi artikulasi kepentingan, yaitu
menyatakan tuntutan dan memberikan alternative tindakan kebijakan. Kelompok ini
seringkali juga memberi informasi kepada pejabat public dan seringkali informasi yang
diberikan bersifat teknis mengenai sifat serta konsekuensi yang mungkin timbul dari
kebijakan yang diajukan.

20
Pengaruh kelompok kepentingan terhadap keputusan kebijakan tergantung pada fakor:
ukuran-ukuran keanggotaan kelompok, keuangan dan sumber-sumber lain, kepaduan,
kecakapan dari pemimpin kelompok, tidak adanya persaingan organisasi, tingkah laku
para pejabat pemerintah, dan tempat pengambilan keputusan dalam sistem politik. Suatu
kelompok kepentingan akan efektif untuk mempengaruhi suatu kebijakan, namun
cenderung tidak efektif mempengaruhi bidang kebijakan lainnya.
 Partai politik
Dalam masyarakat modern, partai-partai poitik cenderung melakukan agregasi
kepentingan. Partai tersebut berusaha mengubah tuntutan-tuntutan tertentu dari
kelompok kepentingan menjadi alternative kebijakan. Keinginan untuk memperoleh
dukungan saat pemilu mengharuskan partai politik memasukkan tuntutan-tuntutan yang
luas dalam masyarakat dan mencegah kelompok yang menonjol untuk menjauh.
 Warganegara individu
Peran warga negara dalam menyampaikan aspirasi dan masukan terhadap kebijakan.
Beberapa ilmuwan politik berspekulasi bahwa pemberian suara dalam pemilihan-
pemilihan yang murni mungkin merupakan suatu metode yang penting dari pengaruh
warga negara dalam pembentukan kebijakan karena hal tersebut memungkinkan warga
negara untuk memilih para pejabat dan sedikit banyak menginstruksikan pejabat-pejabat
ini mengenai kebijakan tertentu.

3. Pembentukan kebijakan versus perumusan kebijakan


Proses pembentukan kebijakan melibatkan aktivitas pembuatan keputusan yang cenderung
mempunyai cabang yang luas, mempunyai perspektif jangka panjang dan penggunaan sumber
daya yang krisis untuk meraih kesempatan yang diterma dalam kondisi lingkungan yang
berubah. Pembentukan kebijakan merupakan proses sosial yang dinamis dengan proses
intelektual yang lekat didalamnya. Ini berarti proses pembentukan kebijakan merupakan proses
yang melibatkan proses-proses sosial dan proses-proses intelektual.

Menurut Anderson perumusan kebijakan public meyangkut upaya menjawab pertanyaan


bagaimana berbagai alternative disepakati untuk masalah-masalah yang dikembangkan dan siapa
yang berpartisipasi. Sedangkan pembuatan kebijakan lebih merujuk pada aspek-aspek lain
seperti bagaimana masalah-masalah public menjadi perhatian para pembentuk kebijakan,

21
bagaimana proposal kebijakan dirumuskan untuk masalah-masalah khusus, dan bagaimana
proporsal tersebut dipilih diantara berbagai alternative yang berkompetisi. Pembentukan
kebijakan merupakan keseluruhan tahap dalam kebijakan public yeng berupa rangaian
keputusan.

4. MODEL-MODEL PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK


Penggunaan model berguna untuk memahami perumusan kebijakan dan analisis kebijakan.
Model yang dikembangkan oleh para ahli dimaksudkan untuk menyederhanakan proses
perumusan kebijakan yang sangat rumit, dan sekaligus mudah dimengerti.

1. Model sistem

Menurut Paine dan Naumes model ini merupakan model deskriptif karena lebih berusaha untuk
menggambarkan senyatanya yang terjadi dalam pembentukan kebijakan. Model ini menurut
Paine dan Naumes disusun hanya dari sudut pandang pembuat kebijakan. Para pembuat
kebijakan dilihat perannya dalam perencanaan dan pengkoordinasian untuk menemukan
pemecahan masalah yang akan, pertama menghitung kesempatan dan meraih atau menggunakan
dukungan internal dan eksternal; kedua, memuaskan permintaan lingkungan; ketiga, secara
khusus memuaskan keinginan atau kepentingan para pembuat kebijakan itu sendiri.

Paine dan Naumes menggambarkan model pembentukan kebijakan sebagai interaksi yang terjadi
antara lingkungan dengan para pembentuk kebijakan dalam suatu proses yang dinamis. Model
ini mengasumsikan bahwa dalam pembentukan kebijakan terjadi interaksi yang terbuka dan
dinamis antara para pembuat kebijakan dengan lingkungan. Interaksi yang terjadi dalam bentuk
masukan dan keluaran (input dan output). Keluaran dihasilakan oleh organisasi pada akhirnya
akan menjadi bagian lingkungan dan seterusnya akan berinteraksi dalam organisai. Paine dan
Naumes e,odifikasi pendekatan ini dengan menerapkan langsung pada proses pembuatan
kebijakan.

Menurut model sistem, kebijakan dipandang sebagai tanggapan dari sistem politik terhadap
tuntutan-tuntutan yang timbul dari lingkungan (David Easton) yang merupakan kondisi atau
keadaan yang berada diluar batas-batas sistem politik. Sistem politik adalah sekumpulan struktur
dan proses yang saling berhubungan yang berfungsi secara otoritatif untuk mengaloksikan nilai-
nilai bagi suatu masyarakat. konsep sistem menunjuk pada seperangkat lembaga dn kegiatan

22
yang dapat diidentifikasikan dalam masyarakat yang berfungsi mengubah tuntutan (demands)
menjadi keputusan yang otoritatif. Sistem menunjuk adanya hubungan timbal balik antara
elemen-elemen ynag membangun sistem politik serta mempunyai kemampuan dalam
menanggapi kekuatan-kekuatan yang berasal dari lingkungan (internal and eksternal
environment). Masukan diterima oleh sistem politik dalam bentuk tuntutan (demands) dan
dukungan (support).

Tuntutan timbul bila individu atau kelompok di luar sistem politik memainkan perannya dalam
mempengaruhi kebijakan public. Sedangkan dukungan bisa berupa sumber-sumber keungan
yang dimiliki oleh sistem politik, dan dukungan politik dari individu atau kelompok dengan cara
mereka menerima hasil pemilihan, mematuhi undang-undang, membayar pajak dan secara umum
mematuhi kebijakan.

Untuk mengubah tuntutan menjadi hasil-hasil kebijakan (policy outputs), suatu sistem harus
mampu mengatur penyelesaian atau konflik dan memberlakukan penyelesaian pada pihak yang
bersangkutan. Model ini memberikan manfaat dalam membantu mengorganisasikan
penyelidikan terhadap pembentukan kebijakan. Model ini juga menyadarkan mengenai beberapa
aspek penting dari proses perumusan kebijakan, seperti bagaimana masukan dari lingkungan
mempengaruhi substansi dan sifat kebijakan public, bagaimana kebijakan public memperngaruhi
lingkungan dan tuntutan berikut tindakannya? Faktor-faktor apa saja yang memainkan peran
penting yang mendorong timbulnya tuntutan kepada sistem politik.

Gambar 1
kerangka kerja sistem yang dikembangkan oleh Easton

INPUTS A POLITICAL OUTPUTS


SISTEM

Feedback

23
Gambar 2
Model pembuatan kebijakan yang dikembangkan oleh Paine dan
Naumes

Structure
Environmental forces Roles, Program
Eksternal and Internal Self-interest or value
Demands Poitical Resource
Requirements
Opportunities
Capabilities
Interaction
Support
Force and structure

Objective, Strategies
Change in
environmental forces
Role Performance

(Inputs ) (Feedback) Organization Outcomes

(Outputs )

Menurut Thomas R. Dye kegunaan teori sistem bagi studi kebijakan public bisa diringkas
sebagai berikut:

a. Dimensi-dimensi penting apa dari lingkungan yang menggerakkan tuntutan-tuntutan pada


sistem politik?
b. Karakteristik penting apa dari sistem politik yang memungkinkan untuk mengubah
tuntutan menjadi kebijakan public dan mempertahankan diri dalam suatu kurun waktu.
c. Bagaimana input lingkungan mepengaruhi karakter sistem politik?
d. Bagaiman karakteristik-karakteristik sistem politik mempengaruhi isi (content) kebijakan
public?
e. Bagaimana inputs lingkungan mempengaruhi isi kebijakan public?
f. Bagaimana kebijakan public mempengaruhi lingkungan dan karakter sistem politik
melalui umpan balik?

24
Kontribusi teori sistem terhadap analisis kebijakan public terletak dalam pertanyaan dalam enam
bidang penyelidikan diatas.

2. Model rasional komprehensif

Model ini merupakan model pembentukan kebijakan yang paling terkenal dan juga paling luas
diterima dikalangan para pengkaji kebijakan public. Pada dasarnya model ini terdiri dari
beberapa elemen yaitu:

a. Pembuat keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu.


b. Tujuan-tujuan, nilai-nilai atau sasaran yang mengarah pembuat keputusan dijelaskan dan
disusun menurut arti pentingnya.
c. Berbagai alternative untuk menyelesaikan masalah perlu diselidiki.
d. Konsekuensi-konsekuensi (biaya dan keuntungan) yang timbul dari setiap pemilihan
alternative yang diteliti.
e. Setiap alternative dan konsekuensi yang menyertainya dapat dibandingkan dengan
alternative-alternatif lainya. Pembuat keputusan memiliki alternative beserta
konsekuensi-konsekuensinya yang memaksimalkan pencapaian tujuan, nilai atau sasaran
yang hendak dicapai.

Keseluruhan proses tersebut akan menghasilkan keputusan yang rasional, yaitu keputusan yang
efektif untuk mencapai tujuan tertentu yang diinginkan (intended goal). Namun demikian banyak
kritik terhadap model kebijakan ini antara lain:

a. Pembuat keputusan tidak berhadapan dengan masalah-masalah yang konkret. Hal ini
menyebabkan masalah yang ada tidak terdefinisikan dengan jelas sehingga keputusan
yang dibuat tidak sesuai dengan masalah yang ada.
b. Teori rasional komprehensif tidak rasionalistis dalam tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh
para pembuat keputusan. Menurut teori rasional para pembuat kebijakan akan
mempunyai cukup informasi mengenai alternative-alternatif yang digunakan utuk
menanggulangi masalah. Pembuat keputusan akan membuat perbandingan alternative
berdasarkan besar biaya dan keuntungan secara tepat.
c. Pembuat keputusan biasanya dihadapkan pada situasi konflik daripada kesepakatan nilai.
Para pembuat keputusan mungkin mengacaukan nilai-nilai public dengan nilai-nilai

25
pribadi. Fakta-fakta dan nilai-nilai dapat dipisahkan dengan mudah tidak berlaku dan sulit
dilaksanakan.
d. Pembuat keputusan tidak memiliki motivasi untuk menetapkan kebijakan berdasarkan
tujuan masyarakat, tetapi sebaliknya mereka memaksimalkan kedudukan mereka serta
motivasi agar dipilih lagi dalam pemilihan mendatang.
e. Kelemahan alamiah yang dimiliki oleh manusia sehingga pembuat kebijakan tidak
mampu untuk membuat keputusan berdasarkan rasionalitas yang tinggi.
f. Meskipun pembuat kebijakan telah menggunakan teknik analisa komputer yang paling
maju tetapi mereka tidak memiliki kecakapan untuk menghitung rasio biaya dan
keuntungan secara tepat karena nilai-nilai yang berbeda.
g. Investasi-investasi yang besar dalam program dan kebijakan menyebabkan pembuat
keputusan tidak mempertimbangkan lagi alternatif yang telah ditetapkan oleh keputusan
sebelumnya.
h. Terdapat dalam mengumpulkan berbagai informs yang diperlukan untuk mengetahui
segala kemungkinan alternative dan konsekuensi dari masing-masing alternative,
termasuk dalam biaya pengumpulan informasi dan waktu yang dibutuhkan untuk
pengumpulannya.

Kritik-kritik diatas sebenarnya disebabkan oleh ketidakmampuan pembuat keputusan untuk


benar-benar mengambil keputusan sesuai dengan konsep model rasional. Sesungguhnya, model
pembuatan keputusan rasional dalam hal tertentu berhasil, seperti dalam meningkatkan dan
memperbesar efisiensi dan keefektifan kegiatan pemerintah melalui aplikasinya pada PPBS,
operation research, sistems analysis, cost benefit analysis, and cost-efectiveness analysis.

3. Model kepuasan

Simon dan March dalam menggunakan model mereka menggunakan pendekatan pembentukan
kebijakan dari dimensi perilaku. Mereka memberi tekanan pada aspek-aspek sosio-psokoogis
dalam pembuatan keputusan. Model Simon didasarkan pada premis bahwa kualitas yang terbaik
yang sebenarnya bisa dicapai oleh para pembuat kebijakan.

Kekuatan utama dari model ini adalah pandangannya realitis dan didasarkan pada aspek-aspek
sosio-psikologi dari yeori organisasi. Dalam perkembangan kebijakan public sekarang, para

26
pembuat kebijaka tidak berupaya keras memperbaiki pembentukan kebijakan diluar apa yang
menurut mereka memuaskan.salah satu kelemahan dari model ini adalah bahwa subtitusi
alternative-alternatif kepuasan untuk alternative optimal mengurangi kebutuhan untuk inovasi,
imajinasi, dan kreativitas di pihak administrator dalam pencariannya memperoleh alternative-
alternatif.

4. Model penambalan (the incremental model)

model ini muncul karena kritik terhadap model rasional komprehensif, sehingga berusaha untuk
menutupi kekurangan modal tersebut. Model ini menggambarkan secara actual cara-cara yang
dipakai para pejabat dalam membuat keputusan. Model ini berusaha menyesuaikan realitas
kehidupan praktis dengan mendasarkan pada pluralism dan demokrasi, maupun keterbatasan
kemampuan manusia.

Menurut model ini, kebijakan atau keputusan selalu bersifat serial, fragmentary, dan sebagian
besar remedial. Keputusan dan kebijakan merupakan hasil kompromi dan kesepakatan bersama
antara banyak partisipan. Inkrimentalisme mempunyai sifat realistis karena didasari kenyataan
bahwa para pembuat keputusan memiliki keterbatan.

5. Model pengamatan campuran (mixed scanning)

Penyelidikan campuran merupakan suatu bentuk pendekatan kompromi yang menggabungkan


penggunaan inkrementalis dan rasional. Pendekatan ini mengingatkan kenyataan bahwa
keputusan berubah secara besar-besaran dan proses keputusan yang berbeda adalah wajar sejalan
dengan sifat keputusan yang berubah-ubah.

6. Model kualitatif optimal

Dror mengemukakan model kualitatif optimal didasarkan pada asumsi-asumsi normative-


intrumental. Karakter utama dari modal ini adalah:

 Model ini adalah kualitatif bukan kuantitatif


 Komponen ini memiliki komponen rasional dan ekstrarasional
 Landasan pemikiran adalah rasional secara ekonomi
 Model in berkaitan dengan pembuatan metapolicy

27
 Model ini memiliki a build in feedback

7. TAHAPAN DALAM FORMULASI KEBIJAKAN


Masalah yang masuk dalam agenda kebijakan selanjutnya akan dibahasa oleh actor perumus
kebijakan. Masalah tersebut dibahas sesuai tingkat urgensinya dalam pemecahannya. Tahap
dalam formuasi kebijakan menurut Pasolong (2010:42-52) adalah dimana kebijakan dianalisis
kemudian dicari fomulasi terbaiknya melalui langkah-langkah sebagai berikut.

 Identifikasi masalah

Badjur (Pasolong, 2007, p. 42) i mengatakan bahwa pada dasarnya kebijakan public terjadi
karena adanya masalah yang perlu ditangani secara serius. Tanpa adanya masalah, barang kali
tidak akan pernah dibuat kebijakan public.

Informasi mengenai masalah kebijakan dapat diperoleh melalui sumber tertulis seperti indicator
sosial (social indicators), data sensus dan laporan-laporan survey nasional, jurnal, Koran, dan
sebagainya.

Pertanyaan penting yang harus dijawab pada tahap identifikasi masalah adalah:

 Apa isu itu benar-benar masalah?


 Siapa sasarannya?
 Apa alasan atau apa buktinya?
 Apa masalah itu sudah sangat mendesak/urgen?
 Apakah akibat negative yang terjadi akan signifikan apabila tidak segera diintervensi?

Jawaban-jawaban terhadap permasalahan tersebut tidak hanya membuat analisis menjadi tidak
rasional tetapi juga lebih etis. Analis tidak boleh melakukan apa yang disebut solving the wrong
problem (Howard Raiffa) atau errors of the third type (Dunn).

Dalam perumusan masalah ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, masalah yang
diusulkan harus berdasarkan informasi dan data yang bebas dari rekayasa. Kepalsuan data atau
informasi akan memperngaruhi proses formulasi kebijakan karena akan memberikan hasil yang
palsu juga. Hal ini terkesan bahwa masalah yang dirumuskan telah dipolitisir oleh elit yang
menggunakan kesempatan kekuasaanya. Kedua, cara pengolahan data. Pengolahan data

28
seringkali tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku. Kesalahan dalam pegolahan akan
memperngaruhi rumusan maslah. Ketiga, cara penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan
tidak boleh berlebihan atau sebaliknya. Diperlukan sebuah indicator tertentu yang dapat diterima,
misalnya kecenderungan menunjukan diatas rata-rata nasional atau jauh dibawah rata-rata
nasinal sehingga membutuhkan intervensi serius dan segera.

Berbagai metode yang sering digunakan dalam merumuskan masalah sehingga masalah dapat
dipahami dengan baik. Menurut Subarsono (Pasolong, 2007, p. 43) metode yang sering dipakai
adalah:

 Analisis batas yaitu usaha memetakan masalah melalui snowball samping dari
stakeholders. Ini disebabkan karena analisis kebijakan sering dihadapkan pada masalah
yang tidak jelas dan rumit, sehingga perlu minta bantuan stakeholders untuk
memberikan informasi yang berhubungan masalah yang bersangkutan.
 Analisis klasifikasi yakni mengklasifikasikan masalah ke dalam kategori-kategori
tertentu dengan tujuan untuk lebih memudahkan analisis.
 Analisis hirarkis yakni metode untuk menyusun masalah berdasarkan sebab-sebab yang
mungkin dari situasi masalah.
 Brainstorming yakni metode untuk merumuskan masalah melalui curah pendapat dari
orang-orang yang mengetahui kondisi yang ada.
 Analisis perspektif ganda yaitu metode untuk memperoleh pandangan yang bervariasi
dari perspektif yang berbeda mengenai suatu masalah dan pemecahannya.

 Identifikasi alternative

Apabila masalah telah diidentifikasikan maka selanjutnya adalah dicari teori yang mampu
mengidentifikasikan faktor-faktor penyebab, dan berdasarkan analisis tersebut mengembangkan
alternative- alternative kebijakan. Tahap ini membutuhkan sensivitas yang tinggi sebagai
ilmuwan dan politikus. Sebagai ilmuwan, seorang analis telah diperkenalkan dibangku kuliah
tentang berbagai penyebab timbulnya isu/masalah.

Sebagai poitisi, seorang analis dapat menilai seberapa besar perhatian pemerintah dan elit politik
yang telah diberikan dalam bentuk anggaran selama sekian lama kepada daerah untuk mengatasi

29
kemiskinan yang terjadi. Aspek teoritis dan praktis harus menjadi acuan dalam
mengidentifikasikan alternative kebijakan.

 Seleksi alternative
Dalam tahap ini, seorang perencana akan melalukan seleksi alternative terbaik untuk
diajukan ke poicy makers.
 Pengesahan kebijakan
Adalah proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip-prinsip
yang diakui dan ukuran-ukuran yang diterima. Landasan utamanya adalah variable
sosial seperti sistem nilai masyarakat, ideology negara, sistem politik, dan sebagainya.
Menurut James Andeson proses pengesahan kebijakan biasanya diawali kegiatan
persuasion and bargaining. Orang mencari dukungan orang lain bahwa pilihannya
benar, bermanfaat bagi masyarakat, sesuai dengan kebutuhan yang mendesak, sehingga
orang lain membenarkan dan mendukung tindakan tersebut.
Kegiatan bargaining oleh Andeson diyakini sebagai proses dimana dua orang atau lebih
yang mempunyai kekuasaan atas otoritas mengatur/menyesuaikan setidak-tidaknya
dengan tujuan yang tidak mereka sepakati agar dapat merumuskan serangkaian tindakan
yang dapat diterima bersama tetapi tidak terlalu ideal bagi mereka.

8. TEORI FORMULASI KEBIJAKAN


Teori formulasi kebijakan dirumuskan oleh Dye (Pasolong, 2007, pp. 52-57) ada sembilan model
yaitu:

a. Teori kelembagaan

Yaitu teori yang sederhana yang mengatakan bahwa tugas membuat kebijakan adalah tugas
pemerintah. Oleh karena itu, apapun yang dilakukan oleh pemerintah dapat disebut sebagai
kebijakan public. Teori ini hanya mendasarkan pada fungsi kelembagaan dan pemerintah disetiap
sector dan tingkatan dalam formulasi kebijakan.

b. Teori proses

30
Berasumsi bahwa politik merupakan sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses. Teori ini
memberikan rujukan tentang bagaimana kebijakan dibuat atau seharusnya dibuat, namun
memberikan tekanan pada substansi seperti yang harus ada.

c. Teori kelompok

Teori yang mengendalikan kebijakan sebagai titik keseimbangan. Inti teori ini adalah interaksi
kelompok akan menghasilkan keseimbangan yang terbaik. Individu dan keoompok kepentingan
berinteraksi secara formal dan informal, dan secara langsung atau melalui media massa
menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah untuk melahirkan kebijakan public yang
dibutuhkan. Teori kelompok pada dasarnya adalah abstraksi dari formulasi kebijakan yang akan
dibuat. Wibawa (1994:9 dalam Pasolong, 2010:54).

d. Teori elit

Teori ini berasumsi bahwa dalam masyarakat terdapat dua kelompok, yaitu pemegang kekuasaan
(elit) dan yang tidak memiliki kekuasaan (massa). Teori berkembang dari kenyataan bahwa
sedemokratis apapun, selalu ada bias didalam formulasi kebijakan, karena pada akhirnya
kebijakan yang dibuat merupakan preferensi politik dari elit.

e. Teori rasional

Yaitu teori yang mengedepankan gagasan bahwa kebijakan public sebagai maksimum sosial gain
berarti pemerintah memberikan manfaat yang terbaik terhadap masyarakat. teori ini mengatakan
bahwa proses formulasi kebijakan harus didasarkan pada keputusan yang sudah diperhitungkan
tingkat rasionalitasnya. Teori ini lebih mengedepankan aspek efisiensi. Adapun langkah-langkah
dalam memformulasi kebijakan adalah:

 Mengetahui preferensi public dan kecenderungannya


 Menentukan pilihan-pilihan
 Mengetahui konsekuensi masing-masing pilihan
 Menilai rasional nilai sosial yang dikorbankan
 Memilih alternative kebijakan yang paling efisien.

f. Teori inkrementalis

31
Teori ini berasumsi bahwa kebijakan public merupakan variasi ataupun kelanjutan dari kebijakan
masa lalu. Pendekatan ini digunakan ketika pengambilan kebijakan berhadapan dengan waktu,
ketersediaan informasi dan kecukupan dana untuk melakukan evaluasi kebijakan secara
komprehensif.

g. Teori permainan

Teori permainan muncul setelah berbagai pendekatan yang sangat rasional tidak dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang muncul dan sulit diterangkan dengan fakta-fakta yang tersedia,
karena sebagian besar dari fakta tersembunyi. Teori permainan adalah sangat abstrak dan
deduktif dalam formulasi kebijakn. Teori ini didasari oleh formulsi yang rasional. Namun,
kondisi kompetisi, tingkat keberhasilan kebijakan tidak hanya ditentukan oleh faktor perumusan
kebijakn, tetapi juga oleh actor-aktor lain. Konsep kunci dari teori permainan adalah strategi.
Konsep kunci yaitu bukan yang paling optimum, namun yang paling aman dari serangan lawan.
Jadi, pada dasarnya teori ini memiliki tingkat konservatis yang tinggi karena pada intinya adalah
strategi defensive. Inti dari teori permainan adalah bahwa ia mengakomodasi kenyataan riil,
bahwa setiap warga negara, setiap pemerintah, setiap masyarakat tidak hidup dalam vakum.
Ketika ia mengambil keputusan, lingkungan tidak pasif, melainkan membuat keputusan yang
bisa menurunkan keefektifan keputusan.

h. Teori pilihan public

Teori ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi keputusan kolektif dari individu-
individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut. Kebijakan ini sendiri berdasarkan teori
ekonomi pilihan public, yang mengasumsikan bahwa manusia homo economicus yang memiliki
kepentingan yang harus dipuaskan.

Inti dari teori ini adalah, setiap kebijakan public yang dibuat oleh pemerintah harus merupakan
pilihan public yang menjadi penguna. Proses formulasi kebijakan public melibatkan public
melalui kelompok-kelompok kepentingan. Secara umum teori ini merupakan konsep yang paling
demokratis karena memberi ruang yang luas kepada public untuk mengkontribusikan pilihan-
pilihannya kepada pemerintah sebelum keputusan diambil. Hal ini sejalan dengan pemikiran
John Locke, mengatakan bahwa pemerintah merupakan lembaga yang muncul dari kontrak sosial
diantara individu warga masyarakat.

32
i. Teori sistem

Teori ini dipelopori oleh David Easton yang melakukan analogi sistem biologi. Pada dasarnya
sistem biologi merupakan prosesn interaksi antara makluk hidup dan lingkungannya, yang pada
akhirnya menciptakan kelangsungan perubahan hidup yang relative stabil. Dalam teori ini
dikenal tiga komponen yaitu; input, proses, dan output. Salah satu kelemahan dari teori ini
adalah terpusatnya perhatian pada tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah, dan pada
akhirnya kita kehilangan apa yang tidak pernah dilakukan oleh pemerintah. Formulasi kebijakan
dengan menggunakan teori sistem mengasumsikan bahwa kebijakan merupakan hasik dari sistem
(politik). Penggunaan teori ini merupakan pendekatan yang paling sederhana namun cukup
komprehensif, meskipun tidak memadai lagi untuk digunakan sebagai landasan perumusan
kebijakan dan atau pengambilan keputusan.

j. Teori demokrasi

Di negara-negara berkembang belakangan ini seringa mengeaborasi semua teori yang berintikan
bahwa pengambilan keputusan harus sebanyak mungkin mengelaborasi suara stakeholders.
Menurut Nugroho (2006:98 dalam Pasolong, 2010:67) dikatakan sebagai teori model demokrasi
karena menghendaki agar setiap pemilik hak demorasi diikutsertakan sebanyak munngkin. Teori
ini berkembang dinegara yang baru saja mengalami transisi ke demokrasi.

Teori ini biasanya dikaitkan dengan implementasi Good Governance bagi pemerintah yang
menggunakan agar dalam membuat kebijakan, para konstituen dan pemanfaat diakomodasi
keberadaannya. Teori model demokrasi ini kemudian dikembangkan menjadi model democratic
governance. Istilah ini dikembangkan antara lain oleh March dan Olsen. Kedua ahli ilmu sosial
ini mendefinisikan democratic governance sebagai demokrasi yang perlu dipelajari sebagai
budaya, kayakinan dan etos yang dikembangkan melalui interpretasi dan praktik March dan
Olsen mengalami democratic governance sebagai budaya politik yang demokratis.

33
E. POLICY IMPLEMENTATION

1. PENGERTIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN


Setelah proses legislasi kebijakan selesai, maka kebijakan public diimplementasian. Dalam tahap
implementasi, isi kebijakan dan akibat-akibatnya mungkin akan mengalami modifikasi dan
elaborasi bahkan mungkin akan dinegasikan. Bernadine R. wijaya dan Susilo Supardo (2006:81
dalam (Pasolong, 2007, p. 57) mengatakan bahwa implementasi adalah proses
mentransformasikan suatu rencana ke daam praktik.

Oraang sering menganggap bahwa implementasi hanya merupakan pelaksanaan dari apa yang
diputuskan legislative atau para pengambil keputusan, seolah-olah tahap ini kurang berpengaruh.
Akan tetapi dalam kenyataan dapat dilihat sendiri bahwa baiknya rencana yang telah dibuat tidak
ada gunana apabila tidak dilaksanakan dengan baik dan benar. Ia membutuhkan pelaksana yang
benar-benar jujur, untuk menghasilkan apa yang menjadi tujuannya, dan benar-benar
memperlihatkan rambu-rambu pemerintah yang berlaku. Sayangnya, implementasi sering
digunakan sebagai ajang melayani kepentingan kelompok, pribadi dan bahkan kepentingan
partai. Implementasi pada dasarnya operasionalisasi dari berbagai aktivitas guna mencapai
tujuan.

Hinggis (1985) mendefinisikan implementasi sebagai rangaian dari berbagai kegiatan yang
didalamnya sumber daya manusia menggunakan sumber daya yang lain untuk mencapai sasaran
strategis.Grindel (1980), implementasi sering dilihat sebagai proses yang penuh dengan muatan
politik dimana mereka yang berkepentingan berusaha untuk mempengaruhinya. Gordon (1986),
mengatakan bahwa implementasi berkenaan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan pada
realisasi program. Dalam hal ini, administrator mengatur cara untuk mengorganisir,
menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi.mengorganisir berarti
mengatur sumber daya, unit-unit dan metode-metode untuk melaksanakan program. Melakukan
interpretasi berkenaan dengan mendefinisikan istilah-istilah program ke dalam rencana-rencana
dan petunjuk-petunjuk yang dapat diterima dan feasible. Menerapkan berarti menggunakan
instrument-instrumen atau memberikan pelayanan rutin, melakukan pembayaran-pembayaran.
Atau dengan kata lain implementasi merupakan tahap realisasi tujuan-tujuan program. Dalam hal
ini perlu diperhatikan adalah persiapan implementasi, yaitu memikirkan dan menghitung secara

34
matang berbagai kemungknan keberhasilan dan kegagalan, termasuk hambatan dan peluang-
peluang yang ada dan kemampuan organisasi yang diserah tugas melaksanakan program.

Sebagaimana diungkap oleh Laswell dan Stewart (2000), implementasi adalah tahapan yang
dilakukan setelah aturan hukum ditetapkan melalu proses politik. Implementasi lebih bersifat non
politik, yaitu administrative. James Andeson (1979) menyatakan bahwa implementasi
kebijakan/program merupakan bagian dari proses administrasi. Proses administrasi oleh
Anderson digunakan untuk menunjukan desain atau pelaksanaan sistem administrasi yang terjadi
pada setiap saat. Proses administrasi merupakan konsekuensi terhadap pelaksanaan, isi dan
dampak kebijakan.

Secara luas, implementasi dapat didefinisikan sebagai proses administrasi dari hukum (statute)
yang didalamnya tercakup keterlibatan berbagai actor, organisasi, prosedur, dan teknik yang
dilakukan agar kebijakan yang ditetapkan mempunyai akibat, yaitu tercapainya suatu tujuan.
Dari dua pengertian implementasi diatas dapat ditafsirkan bahwa kebijakan-kebijakan
diimplementasikan belum tentu dapat mencapai tujuannya.

Selain pengertian diatas, implementasi kebijakan dipahami sebagai suatu proses, output, dan
outcome. Implementasi dapat dikonseptualisasikan sebagai proses karena didalamnya terjadi
beberapa rangkaian aktivitas yang berkelanjutan.

Implementasi juga diartikan sebagai outputs, yaitu melihat apakah aktivitas dalam rangka
mencapai tujuan program telah sesuai dengan arahan atau bahkan mengalami penyimpangan.
Selain itu, implementasi juga dikonseptualisasikan sebagai outcomes, yang terfokus pada akibat
yang ditimbulkan dari adanya implementasi kebijakan, yaitu apakah implementasi suatu
kebijakan mengurangi masalah atau bahkan menambah masalah dalam masyarakat.

Studi implementasi mencakup fenomena yang luas dan bahkan overlapping dengan studi
evaluasi (Ripey, 1985). Sekalipun fenomenanya kompleks, para pengkaji implementasi
kebijakan disarankan untuk mempertimbangkan berbagai aspek pemahaman seperti: proses,
output, dan outcme. Juga perlu diperhatikan bermacam actor yang terlibat, organisasi, dan teknik
pangawasannya.

35
2. AKTOR IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Terdapat beberapa actor yang terlbat dalam proses implementasi, baik dari pemerintah maupun
masyarakat, dan identifikasikan berasal dari kalangan birokrasi, legislative, lembaga peradilan,
kelompok-kelompok penekan, dan organisasi-organisasi komunitas (Anderson, 1979; Lester dan
Stewart, 2000 dalam (Kusumanegara , 2010, p. 100)

 Birokrasi

Birokrasi dipandang sebagai agen administrasi yang bertanggung jawab pada implementasi
kebijakan. Pandangan ini berlaku untuk implementasi kebijakan negara maju maupun negara
yang sedang berkembang. Birokrasi mempnyai kewenangan yang besar untuk sepenuhnya
menguasai area implementasi kebijakan dalam wilayah operasinya karena mereka mendapat
amndat dari lembaga legislative. Hal ini juga disebabkan peraturan perundangan yang dibuat
legislative dan presiden bersifat umum dan tidak mengatur secara mendetail segala aspek teknis
yang dibutuhkan agar implementasi berbagai program mencapai tujuannya. Dengan kata lain,
para partisipan yang terlibat dalam perumusan undang-undang tidak mengembangkan berbagai
ketentuan/kebijakan dalam guidelines yang rinci dan operasional. Hal ini mungkin disebabkan
oleh kompleksitas masalah yang dihadapi, keterbatasan waktu, kepentingan/ nilai partisipan, atau
bahkan kurangnya informasi. Akibatnya birokrasi mempnyai kewenangan melakukan diskresi
kebijakan. Secara konseptula diskresi merupakan tindakan yang ditempuh oleh administrator
untuk menyelesaian masalah kasus tertentu (yang terjadi dalam implementasi) yang tidak atau
belum diatur dalam regulasi yang baku (Dwiyanto, 2002 dalam (Kusumanegara , 2010, p. 101)

Peran birokrasi yang dominan dalam area implementasi cukup menjadikannya sebagai actor
yang powerfull. Karena kekuatan birokrasi atas diskresi kebijakan tanpa disertai dengan control
eksternal yang memadai menyebabkan birokrasi kuat pula secara politik. Kekuatan birokrasi
dalam diskresi ditambah dengan rekruitmen birokrat tanpa melalui pemilihan menyebabkan
birokrasi berada dalam posisi yang berseberangan dengan demokrasi (Gruber, 1988). Birokrasi
dan demokrasi merupakan dua konsep yang dilematis. Jika pemerintahan demokratis
menekankan pluralisme sementara birokrasi menekankan pada efektivitas implementasi
kebijakan. Disatu pihak pluralism menghenaki adanya peran public dalam proses kebijakan,
termasuk peran control. Disisi lain, control akan menghilangkan kreativitas birokrasi dalam
melakukan diskresi sehingga memungkinkan hambatan pencapaian tujuan kebijakan secara
36
efektif (Smith, 1988). Sekalipun deskresi secara teoritis dianggap penyimpangan, namun dalam
konteks masyarakat yang dinamis diperlukan agar suatu kebijakan dapat melakukan penyesuaian
dengan aspirasi masyarakat (Dwiyanto, 2002 dalam (Kusumanegara , 2010, p. 102)

 Badan Legislatif

Secara tradisional ada pandangan dalam ilmu administrasi negara yaitu politik dan administrsi
adalah aktivitas yang terpisah. Politik dianggapa lebih memusatkan perhatiannya pada aktivitas
merumuskan kebijakan public yang ditangani oleh lembaga politis negara, yaitu legislative dan
eksekutif. Sedangkan kebijakan administrasi lebih terkonsentrasi pada implementasi kebijakan
yang ditangani oleh agen-agen administrative (birokasi) yang bervariasi. Kenyataannya banyak
agen administrasi yang jstru terlibat dalam prumusan kebijakan disamping tugas utamanya
mengimplementasikan kebijakan public. Hal ini terjadi saat birokrasi membuat serangkaian
peraturan pendukung kebijakan yang sudah ada.

Sedangkan lembaga legislative dapat juga terlibat dalam implementasi kebijakan ketika mereka
ikut menentukan peraturan yang spesifik dan mendetail. Semakin mendetail legislasi yang
dibuat, akan semakin terbatas ruang gerak yang dimiliki agen-agen administrasi. Misalnya,
legislasi menetapkan adanya adanya pembatasan spesifik sumber biaya suatu proyek yang
ditetapkan dalam undang-undang. Agen-agen administrasi tidak mungkin menolak kecuali harus
melaksanakan. Namun dengan mempertimbangkan berbagai resiko tertentu administrasi tertentu
administrasi dapat melakukan penolakan (ini terjadi dalam negara demokratis). Keadaan ini
dapat berbeda kalau ada ketentuan yang lebih leluasa, misalnya jika sumber dana tidak dibatasi.
Dalam kasus ini menjadikan para legislator akan terus berupaya mempengaruhi tindakan agen
administrasi dalam pelaksanaan kebijakan.

Sebagaimana yang telah menjadi kecenderungan di berbagai negara, sekarang ini para legislator
lebih sering terlibat dalam implementasi kebijakan dengan membuat peraturan-peraturan
mendetail agar diskresi kebijakan yang dilakukan birokrasi dalam implementasi kebijakan tidak
menyimpang dari ketentuan seharusnya (Lester dan Stewart, 2000 dalam (Kusumanegara , 2010,
p. 1004). Upaya perluasan fungsi sekarang dianggap semakin penting karena tujuan kebijakan
dapat tidak tercapai karena adanya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan birokrasi.

 Lembaga Peradilan

37
Lembaga peradilan merupakan cabang yudisial yang menangani hukum public. Namun lembaga
peradilan dapat terlibatkan dalam proses implementasi kebijakan ketika muncul tuntutan
masyarakat atas kebijakan publk tertentu yang implementasinya dianggap merugikan masyarakat
sehingga menjadi perkara hukum. Menanggapi tuntutan tersebut, lembaga peradilan dapat
merevisi ketentuan-ketentuan impementasi agar tidak merugikan masyarakat. dalam banyak
kasus, pengaruh paling besar lembaga peradilan terhadap implementasi kebijakan public adalah
melalui interpretasi aparat hukum terhadap berbagai statute, aturan administrative, dan regulasi
serta review mereka terhdapa kasus adminsitratif yan dihadapi.

Anderson menjelaskan bahwa produk hukum (kebijakan public) akan dilaksanakan melalui
tindakan-tindakan yudisial. Yang terpenting dari peranan lembaga ini adalah pengaruhnya dalam
menginterpretasikan UU, peraturan-peraturan dn cara pengaturan adminsitratif, dan kewenangan
untuk meninjau kebijakan admnsitrasi yang telah atau sedang dilaksanakan

 Kelompok kepentingan/ penekan

Banyaknya diskresi yang dilakukan oleh birokrasi, maka banya kelompok kepentingan yang ada
dalam masyarakat yang berusaha mempengaruhi berbagai peraturan implementasi seperti
pedoman dan regulasi. Tindakan kelompok penekan menekan kebijakan pemerintah dimaksud
agar mereka memperoleh keuntungan dengan adanya implementasi program tersebut. Di banyak
negara berkembang, kelompok penekan diharuskan terlibat dalam formulasi dan implementasi
program yang didanai oleh lembaga-lembaga asing. Pelibatan ini disebabkan banyak program
yang dilaksanakan tertutup dari peran lembaga non pemerintah, sehingga keuntungan yang
diperoleh akibat implementasi suatu program lebih banyak dinikmati oleh kalangan pemerintah
sendiri.

Ketidakleluasan aparat administrasi dalam melaksanakan kebijakan, maka begitu kebijakan


disetujui, berbagai kelompok kepentinan yang memperjuangkan aspirasi mereka ke lembaga
legislative beralih ke lembaga administrative. Memanfaatkan peluang atas ketidakleluasaan ini,
maka kelompok kepentingan yang paling berhasil mempengaruhi tindakan-tindakan agen
adminstrasi mempunyai pengaruh yang besar dalam pelaksanan dan menerima dampak dari
kebijakan. Misalnya kebijakan lisensi, maka kelompok yang diberi lisensi tersebut sering kali
terlibat dominan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Akibat buruk dari praktek ini adalah

38
kepentingan-kepentingan kelompok menjadi focus sentral dalam kegiatan administrasu, bukan
berfokus pada kepentingan public.

 Organisasi komunitas

banyak program yang dirancang untu melaksanakan kebijakan yang berlabel pro pembangunan
masyarakat. dengan sendirinya masyarakat baik secara individu maupun kelompok terlibat dalam
implementasi program itu baik sebagai subjek maupun objek program.

Banyak kelompok yang terlibat dalam pelaksanaan implementasi suatu kebijakan atau program.
Selain actor diatas, bisa juga partai politik dan staf eksekutif juga ikut berpengaruh dalam
pelaksanaan kebijakan. Anderson menyarankan agar kajian analisis kebijakan seharusnya
memfokuskan perhatian untuk menjabab masalah penting dalam area pelaksanaan kebijakan,
yaitu kelompok mana yang paling berpengaruh.

3. TEKNIK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN


Implementasi kebijakan memerlukan perangkat yang digunakan untuk mengetahui kesesuaian
pelaksanaan suatu program dengan kebijakan public yang menjadi acuannya. Lester dan Stewart
(2000 dalam (Kusumanegara , 2010, p. 108) menyatakan bahawa perdebatan yang muncul
tentang persoalan implementasi kebijakan public mengarah pada dua pendekatan, yaitu
pendekatan command and control dan pendekatan economic incentive (market). Pendekatan
command and control menyertakan mekanisme yang Nampak koersif untuk menyelaraskan
pelaksanaan dengan kebijakan acuan. Mekanisme tersebut misalnya rancangan baku, inspeksi,
dan pemberian sanksi jika terjadi pelanggaran. Sedangkan pendekatan economic incentive
menggunakan sarana perpajakan, subsidi, atau penalty agar pelaksanaan sesuai dengan kebijakan
acuan.

Pendekatan command and control dianggap para penentangnya terlalu kaku, mengabaikan
inisiatif dan inovasi dalam pencapaian tujuan kebijakan, dan menyia-yiakan sumber daya
masyarakat. para penganut economic incentive berpandangan bahwa sebaiknya para individu
diberi ruang yang cukup untuk membuat keputusannya sendiri, mempunyai kebebasan dan
kerelaan bertindak untuk mencapai tujuan yang diinginkan dengan biaya sosial serendah
mungkin.

39
Penggunaan pendekatan tersebut tergantung pada keyakinan para actor yang terlibat dalam
implementasi kebijakan. Tidak ada satupun skema acuan pencapaian tujuan yang bekerja dengan
baik jika diantara actor implementasi mempunyai pandangan yeng berbeda tentang bagaimana
cara yang tepat untuk mencapainya. Bada akhirnya diperlukan bargaining dan negosiasi diantara
actor-aktor yang terlibat atau bahkan komunitas yang lebih luas lagi untuk menetapkan cara yeng
terbaik untuk mencapai tujuan.

4. MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN


Semakin kompleks suatu masalah kebijakan maka semakin mendalam analisis yang dilakukan,
semakin diperlukan teori atau model yang relative operasional – model yang mampu
menjelaskan hubungan kausalitas antar variable. Ada beberapa model implementasi kebijakan
yaitu (Wahab, 2008, pp. 71-108):

a. Model yang dikembangkan oleh Brian w. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978;1986)

Model mereka seringkali disebut sebagai “the top down approach”. Menurut Hogwood dan
Gunn, untuk mengimplementasikan kebijakn secara sempurna maka diperlukan beberapa
persyaratan tertentu. syarat-syarat itu adalah:

a) Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan


menimbulkan gangguan/kendala yang serius.
b) Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup
memadai.
c) Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia.
d) Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh hubungan kausalitas yang
andal.
e) Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai
penghubungnya.
f) Hubungan ketergantungan harus kecil.
g) Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan.
h) Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat.
i) Komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

40
j) Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan
kepatuhan yang sempurna.
b. Model yang dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn (1975), disebut sebagai A
Model of Policy Implementation Process (model implemntasi kebijakaan)

Van Meter dan Van Horn dalam teorinya beranjak dari suatu argument bahwa perbedaan-
perbedaan dalam proses implementasi dipengaruhi oleh sifat kebijakn yang akan dilaksanakan.
Mereka menawarkan suatu pendekatan yang mencoba untuk menghubungkan antara isu
kebijakan dengan implementasi dan suatu model konseptual yang mempertalikan kebijakan
denga prestasi kerja (performance). Kedua ahli ini menegaskan bahwa perubahan, control, dan
kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep yang pentng dalam prosedur-prosedur
implementasi. Dengan memanfaatkan konsep-konsep tersebut, maka permasalahan yang erlu
dikaji dalam hubungan ini adalah hambatan apakah yang terjadi dalam mengenalkan perubahan
terhadap organisasi? Seberapa jauh tingkat efektivitas mekanisme-mekanisme control pada
setiap jenjang struktur? Seberapa pentingkah rasa keterikatan masing-masing orang dalam
organisasi?

Atas dasar pandangan seperti ini Van Meter dan Van Horn kemudian berusaha untuk membuat
tipologi kebijakan menurut:

o Jumlah masing-masing perubahan yang dihasilkan dan,


o Jangkauan atau ingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang
terlibat dalam proses implementasi.

Alasan dikemukannya hal ini adalah bahwa proses implementasi ini dipengaruhi oleh dimensi-
dimensi kebijakan semacam itu, yaitu implementasi kebanyakan akan berhasil apabila perubahan
yang dikehendaki relative sedikit, sememntara kesepakatan terhadap tujuann dilapangan relative
tinggi. Hal lain yang dikemukakan oleh kedua ahli diatas ialah bahwa jalan yang
menghubungkan kebijakan dan prestasi kerja dipisahkan oleh sejumlah variable bebas yang
saling berkaitan. Variable bebas itu ialah:

a) Ukuran dan tujuan kebijakan


b) Sumber-sumber kebijakan
c) Ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksana

41
d) Komunikasi antar organisasi terkait dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
e) Sikap para pelaksana, dan
f) Lingkungan ekonomi, sosial, politik.

Variable-variabel kebijakan bersangkut paut dengan tujuan-tujuan yang telah digariskan dan
sumber-sumber yang tersedia. Pusat perhatian pada badan-badan pelaksana meliputi baik
organisasi formal maupun informal; sedangkan komunikasi antar anggota terkait berdasarkan
kegiatan-kegiatan pelaksanaanya mencakup antar hubungan di dalam lingkungan sistem politik
dan dengan kelompok-kelompok sasaran. Akhirnya, pusat perhatian pada sikap para pelaksana
mengantarkan kita ke telaah mengenai orientasi dari mereka yang mengoperasionalkan program
di lapangan.

c. Model yang dikembangkan oleh Daniel Mazmania dan Paul A. Sabatier dikenal dengan
A Frame work for Implementation Analysis (kerangkan analisis implementasi)

Kedua ahli berpendapat bahwa peran penting dari analisis implementasi kebijakan adalah
mengidentifikasikan variable-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal
pada keseluruhan proses implementasi. Variable-variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan
menjadi tiga kategori besar yaitu (variable bebas/independen):

a) Mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan. Tersusun dari:


 Kesukaran-kesukaran teknis
 Keragaman perilaku kelompok sasaran
 Prosentase kelompok sasaran disbanding jumlah penduduk
 Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan
b) Kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses
implementasi, tersusun dari:
 Kejelasan dan konsistensi tujuan
 Digunakannya teori kausal yang memadai
 Ketepatan alokasi sumber dana
 Keterpaduan hirarki dalam dan diantara lembaga pelaksana
 Aturan-aturan keputusan dari badan pelaksana
 Rekruitmen pejabat pelaksana

42
 Akses formal pihak luar.
c) Pengaruh langsung berbagai variable politik terhadap keseimbangan dukungan bagi
tujuan yang terat dalam keputusan kebijakan tersebut. Variable tersebut terdiri:
 Kondisi sosial ekonomi dan teknologi
 Dukungan public
 Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok-kelompok
 Dukungan dari pejabat atasan
 Komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat-pejabat pelaksana.

Sedangkan variable tergantngnya adalah tahapan-tahapan dalam proses implementasi. Proses


implementasi ditinjau dari tahapan-tahapannya yaitu:

a) Output-output kebijakan (keputusan-keputsan) dari badan-badan pelaksana


b) Kepatuhan kelompok-kelompok sasaran terhadap keputusan tersebut.
c) Dampak nyata keputusan-keputusan badan pelaksana
d) Persepsi terhadap dampak keputusan tersebut.
e) Evaluasi sistem politik terhadap undang-undang, baik berupa perbaikan-perbaikan
mendasar (atau upaya untuk melaksanakan perbaikan) dan muatan/isinya.

Dalam hubungan ini perlu diingat, bahwa setiap tahap akan berpengaruh terhadap tahapan yang
lainnya, misalkan tingkat kesediaan kelompok sasaran akan mengindahkan atau mematuhi
ketentuan-ketentuan yang termuat dalam keputusan kebijakan dari badan-badan (instansi)
pelakasanaan akan berpengaruh terhadap dampak nyata (actual impact) keputusan-keputusan
tersebut.

5. PENDEKATAN-PENDEKATAN IMPLEMENTASI
Beberapa pendekatan implementasi digunakan untuk meningkatkan efektivitas implementasi
yang menyandarkan pendekatan dari atas atau top down. Beberapa pendekatan tersebut adalah
(Wahab, 2008, pp. 110-120):

a. Pendekatan Struktural

Struktur organisasi tertentu hanya cocok digunakan untuk tipe tugas dan lingkungan tertentu
pula. Analisis organisasi modern telah memberikan sumbangan yang berharga pada studi

43
implementasi, karena rancang bangun kebijakan dan rancangan bangun organisasi, sedapat
mungkin dipertimbangkan secara bersamaan. Untuk menyederhanakan masalah yang luas kita
perlu menarik perbedaan antara perencanaan mengenai perubahan dan perencanaan untuk
melakukan perubahan.

Perencanaan mengenai perubahan berarti bahwa perubahan ditimbulkan dari dalam organisasi
atau sepenuhnya berada dibawah kendali organsasi, baik arah, laju maupun waktunya. Disini
implementasi dipandang sebagai persoalan teknis atau persoalan manajerial. Perencanaan untuk
melakukan perubahan, berlangung apabila dipaksakan oleh faktor eksternal/ organisasi lain atau
kekuatan-kekuatan lingkungan atau jika proses itu sukar untuk diramalkan , dikontrol, atau
dibendung. Implementasi akan membutuhkan pendekatan yang lebih adaptif, proses pembuatan
kebijakan secara keselurhan lebih bersifat linier, dan hubungan antara kebijakan dengan
implementasi akan mendekati apa yang oleh Barrett dan Fudge sebagai Policy—Action—Policy
continuum.

Bentuk organisasi yang cocok untuk merencanakan perubahan tersebut dapat bersifat agak
birokratik, seperti model Weber. Sedangkan organisasi yang cocok untuk melakukan
perencanaan perubahan adalah organisasi yang tidak terlalu mementingkan perincian tugas dan
kurang menekankan struktur yang hirarkis. Struktur yang bersifat organis dianggap cocok dalam
lingkungan yang mengalami perubahan dan ketidakpastian yang tinggi. Struktur seperti itu
mampu menyresuaikan diri dengan cepat dan efektif, sebagian karena mereka memiliki
kemampuan untuk mengelola informasi, khususnya bila dibandingkan dengan organisasi
birokrasi yang tradiisonal.

Struktur yang bersifat organis cocok untuk situasi implementasi dimana kita memerlukan
merancang bangun struktur-struktur yang mampu melaksanakan suatu kebijakan senantiasa
berubah bila dibandingkan dengan merancng struktur bangun untuk struktur khusus untuk
program yang sekali selesai. Namun karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, bentuk struktur
yang organis seringklai tidak mudah diterima dikalangan dinas-dinas pemerintah, semisal
kebutuhan pertanggungjawaban dan keharusan untuk terlihat konsisten dan seragam dalam
menangani kasus yang serupa. Untuk itu, bentuk struktur yang kompromis mungkin adalah
struktur matrik dimana departemen-departemen vertikal bersilang dengan tim-tim proyek antar
departemen horizontal yang dikepalai oleh pimpinan-pimpinan proyek. Kombinasi struktur yang

44
bersifat birokratik dan andhokrasi ini mengandug kelemahan tertenu, misalnya adanya
kewenangan ganda, tetapi bagaimanapun ia lebih luwes bila dibandingkan struktur-struktur
model mesin pemerinta yang selama ini ada.

b. Pendekatan procedural dan manajerial

Upaya mengembangkan proses-proses dan prosedur-prosedur yang tepat—termasuk prosedur


managerial beserta teknik-teknik yang relevan penting bagi implementasi program. Kita tarik
garis pembeda antara perencanaan mengenai perubahan dan perencanaan untuk melakukan
perubahan. Dalam hal pertama implementasi dipandang sebagai masalah teknis atau manajerial.
Disini prosedur-prosedur yang dimaksud menyangkut penjadwalan, perencanaan, dan
pengawasan.

Dengan demikian logikanya adalah sesudah identifikasi masalah dan pemilihan kebijakan yang
dilihat dari sudut biaya dan efektivitas paling memenuhi syarat, maka tahap implementasi itu
mencakup urutan sebagai berikut:

 Mendesain program beserta perincian tugas dan perumusan tujuan yang jelas, penentuan
ukuran prestasi kerja, biaya dan waktu.
 Melaksanakan program, dengan mendayagunakan struktur-struktur dan personalia, dana
dan sumber-sumber, prosedur-prosedur dan metode-metode yang tepat.
 Membangun sistem penjadwalan, monitoring, dan sarana-sarana pengwasan yang tepat
guna menjamin bahwa tndakan-tindakan yang tepat dan benar dapat segera dilaksanakan.

Namun pendekatan ini mengasumsikan adanya tingkat kemampuan pengawasan yang sangat
tinggi atas pelaksanaan dan hasil akhir satu program dan dianggap terisolasi dari lingkungan.

Teknik manajerial yang merupakan perwujudan dari pendekatan perencanaan jaringan kerja dan
pengawasan (network planning and control—NPC) yang menyajikan suatu kerangka kerja
dimana proyek dapat direncanakan dan implementasinya dapat diawasi dengan cara
mengidentifikasikan tugas-tugas yang harus diselesaikan, hubungan antara tugas tersebut, dan
urutan logis dimana tugas harus dilaksanakan. Bentuk jaringan kerja yang canggih misalnya
program evaluation and review technique (PERT) memungkinkan untuk memperkirakan secara
tepat jangka waktu yang tepat dalam menyelesaikan tiap tugas, mendukung lintasan kritis

45
dimana setiap keteledoran akan menghambat penyelesaian keseluruhan proyek, memonitor setiap
luang waktu yang tersedia bagi penyelesaian tugas dalam jaringan kerja, dan merealokasikan
sumber-sumber guna memungkinkan kegiatan-kegiatan yang terletak disepanjang lintasan kritis
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Analisis jaringan kerja juga digunakan dalam menyelesaikan tugas-tugas pemerintahan sehari-
hari, misal penjadwalan kontrak pembangunan gedung. Penggunaan sebagai sarana/instrument
pengendalian/pengawasan tergantung pada sejauh mana jaringan kerja itu benar-benar
komunikastif, dapat diterima oleh semua kaangan, layak dan dapat dipercaya.

c. Pendekatan keperilakuan

Perilaku manusia beserta segala sikapnya harus dipengaruhi kebijakan jika ingin kebijakan
diimplementasikan dengan baik. Pendekatan keperilakuan didasari bahwa seringkali terdapat
penolakan terhadap perubahan. Alternative-alternatif yang tersedia jarang sekali yang
sesederhana seperti menerima atau menolak, dan sebenarnya terbentang spectrum kemungkinan
reaksi sikap, mulai dari penerimaan aktif hingga pasif, acuh tak acuh, dan penolakan pasif hingga
aktif.

Mungkin terdapat perasaan khawatir terhadap perubahan itu sendiri, karena perubahan berart
ketidakpastian dan toleransi yang rendah dari beberapa orang terhadap situasi yang tidak pasti
tersebut. Untuk menghindari atau mengurangi penolakan, informasi yang lengkap mengenai
perubahan yang diharapkan disediakan sejak awal, yang meliputi alasan, tujuan, dan sarana yang
digunakan. Selain itu harus ada kontak yang ekstensif dengan pihak-pihak yang akan
dipengaruhi perubahan. Penerapan analisis keperilakuan pada masalah manajemen yang paling
dikenal adalah pengembangan organisasi/organizational development. Pengembangan organisasi
adalah suatu proses untuk menimbulkan perubahan-perubahan yang diinginkan dalam suatu
organisasi melalui penerapan ilmu keperilakuan. OD juga merupakan salah satu bentuk
konsultasi manajemen dimana seorang konsultan bertindak sebagai agen perubahan untuk
mempengaruhi seluruh budaya organisasi, termasuk sikap dan perilaku para pegawai yang
menduduki posisi kunci.

Bentuk lain dari pendekatan keperilakuan ialah management by objective (MBO). MBO adalah
sebuah pendekatan yang menggabungkan unsur-unsur yang terdapat dalam pendekatan

46
procedural/manajerial dengan unsur-unsur yang termuat dalam analisis keperilakuan. MBO
berusaha untuk menjembatani antara tujuan yang telah dirumuskan secara spesifik dengan
implementasinya. Unsur-unsur pokok yang biasanya melekat pada MBO ialah: Pertama, harus
ada penjenjangan tujuan. Kedua proses untuk mencapai tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran yang
berbaung dibawah MBO harus bersifat interaktif. Ketiga, harus ada suatu sistem penilaian atas
prestasi kerja yang mencakup suatu kombinasi monitoring kemampuan manajemen dan
pengawasan melekat dan evaluasi bersama terhadap kemajuan-kemajuan oleh tiap-tiap manajer
dan atasan-atasan mereka.

d. Pendekatan politik

Pengertian politik lebih mengacu pada pola-pola kekuasaan dan pengaruh diantara dan
diingkungan organisasi. Alasannya adalah implementasi suatu kebijakan mungkin direncanakan
secara seksama, baik dilihat dari sudut organisasinya, prosedurnya, manajemennya, dan
pengaruh perilaku, tetapi tidak memperhitungkan realita kekuasaan maka mustahil kebijakan
tersebut dapat berhasil. Pendekatan politik secara fundamental menentang asumsi yang
diketengahkan oleh ketiga pendahulunya khususnya pendekatan keperilakuan. Pada umumnya
ilmuwan ilmu sosial menentang asumsi bahwa konflik adalah bentuk penyimpangan yang dapat
disembuhkan dengan cara penyempurnaan kemampuan komunikasi antar pribadi. Konflik yang
ada didalam organisasi dan kelompok sosial merupakan gejala endemis, karena tidak bisa hanya
diatasi lewat komunikasi dan koordinasi.

Dengan demikian, keberhasilan suatu program kebijakan pada akhirnya tergantung pada
kesediaan dan kemampuan kelompok yang dominan dari kelompok untuk memaksakan
kehandaknya. Apabila kelompok dominan tidak ada mungkin implementasi kebijakan hanya bisa
dicapai melalui proses panjang yang bersifat incremental dan saling pengertian diantara mereka
yang terlibat. Analisis mengenai aspek politis dari implementasi kebijakan makin penting bila
menyangkut berbagai lembaga pemerintah, mengingat kenyataan bahwa sebagian besar
kebijakan pemerintah pusat sebenarnya tidak dilakuak oleh departemen pemerintah pusat.
Pemerintah daerah dan instansi lain juga mengeluarkan kebijakan yang membutuhkan
persetujuan dari organisasi lainnya. Badan tertentu memiliki keleluasaan bertindak dengan
implementasi disamping memiliki kekuatan menawar (bargaining power) dalam hubungannya
dengan instansi lain, baik pada saat implementasi maupun pada awal ketika akibat/dampak

47
implementasi didiskusikan. Jika lebih dari dua organisasi yang terlibat, maka ruang lingkup
keleluasaan bertndak itu akan semakin besar, misalnnya karena kemungkinan muncul
persekongkolan diantara beberapa organisasi ataupun saling pengertian.

F. POLICY EVALUATION

1. PENGERTIAN EVALUASI KEBIJAKAN


Sebagian besar ahli kebijakan berpendapat (Kusumanegara , 2010, p. 121) bahwa tahap akhir
dari proses kebijakan disebut tahapan evaluasi. Lester dan Stewart (2000) menyatakan evaluasi
kebijakan pada hakekatnya mempelajari konsekuensi-konsekuensi kebijakan public. Kajian yang
memberi deskripsi dan eksplanasi atas eksistensi kebijakan tidak termasuk dalam studi evaluasi.

Badjuri dan Admin (2003: 132, dalam (Pasolong, 2007, p. 60) mengatakan bahwa evaluasi
kebijakan salah satu tahapan penting kebijakan. Keban (2004:74 dalam (Pasolong, 2007, p. 60),
salah satu bidang pentng yang digunakan untuk mengawasai jalannya proses implementasi
adalah monitoring. Di dalam proses monitoring ini dilakukan pengamatan langsung ke lapangan
dan hasil-hasil sementara untuk dinilai tingkat efisiensi dan efektiitasnya, semua biaya yang
dikeluarkan selama proses implementasi dibanding dengan hasil sementara yang diperoleh,
sementara tingkat efektivitasnya selalu dikaitkan dengan apakah suatu hasil sementara yang
didapatkan merupakan hasil yang memang dirancang atau tidak.

Evaluasi digunakan untuk memperlajari tentang hasil yang diperoleh dalam suatu proses untuk
dikaitkan dengan pelaksanaannya, mengendalikan tingkah laku dari orang-orang yang
bertanggungjawab terhadap pelaksanaan program, dan mempengaruhi respon dari mereka yang
berada diluar lingkungan politik. Evaluasi, tidak saja berguna untuk menjustifikasikan kegunaan
dari program yang sedang berjalan, tetapi juga untuk melihat kegunaan program dan insiatif
baru, meningkatkan efektivitas manajemen dan administrasi program, dan
mempertanggungjawabkan hasil kepada pihak yang mensponsori program tersebut. (Rossi dan
Freeman, 1993:3 dalam (Pasolong, 2007, p. 60)

Anderson (1979) berpendapat evaluasi kebijakan memusatkan perhatian pada estmasi, penilaian,
dan taksiran terhadap implementasi (proses) dan akibat-akibat (dampak) kebijakan. Sebagai
aktivitas fungsional, evaluasi kebijakan sebenarnya dapat dilakukan terhadap keseluruhan tahap-

48
tahap kebijakan bukan hanya tahap akhirnya saja. Umpamanya menetapkan dan membuat
estimasi atas konsekuensi dari berbagai alternative kebijakan sehubungan dengan masalah yang
dihadapi, dalam rangka mengadopsi salah satu alternative yang dianggap paling baik.

Evaluasi kebijakan sebagai suatu aktivitas suatu fungsional telah dilakukan sejak lama, bahkan
sejak kebijakan public mulai dikenal. Para pembuat kebijakan dan administrator selalu membuat
penilaian terhadap berbagai dampak dari kebijakan, program, dan proyek tertentu. dalam
melakukan penilaian diketahui banyak faktor yang berpengaruh seperti: ideology, kepentingan-
kepentingan pribadi, atau kriteria nilai lainnya. Sebuah program misalnya, karena dampaknya,
dinilai “sosialistik” dan dapat ditolak oleh kelompok masyarakat lain (yang tidak menyukai
sosialisme). Contoh lainnya program pengurangan pajak bisa saja dinilai baik oleh para elevator
dari partai politik karena dapat menambah jumah suara bagi parpol tersebut. Program pemberian
kompensasi bagi para pengangguran dapat dinilai buruk karena evaluator lebih tahu banyak siapa
yang paling banyak mendapat keuntungan dalam masyarakat. dalam studi evaluasi terhadap
program yang sama sangat terbuka kemungkinan terjadinya konflik karena adanya perbedaan
dari evaluatornya, kriteria juga berbeda, dan akhirnya kesimpulannya juga berbeda. Salah satu
program yang terpenting adalah unsur subjektivitas dalam evaluasi. Memang dalam evaluasi
diperlukan adanya unsur objektivitas dan bebas nilai, namun dalam kenyataan evaluasi sangat
bersifat politis, misalnya adanya kecenderungan melaporkan hasil yang sukses meskipun dalam
kenyataan tidak sukses, sebagai akibat kepentingan tertentu seperti keinginan mendapat promosi,
mendapatkan proyek baru atau program baru lagi, malu kalau membeberkan kelemahan dan
sebagainya.

Variasi kebijakan evaluasi lainnya memusatkan pada beberapa pertanyaan terhadap pelaksanaan
kebijakan atau program. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah: apakah program telah dilaksanakan
secara apa adanya (sesuai dengan peraturan)? Apa dan berapa biaya finansialnya? Siapa yang
menerima keuntungan dari suatu program dan berapa besarnya? Apakah program yang
dilaksanakan merupakan duplikasi dari program lainnya? Apakah standar legal dan prosedur
dilaksanakannya dalam suatu program?

Untuk dapat melakukan evaluasi, diperlukan rncian tentang apa yang perlu dievaluasi,
pengukuran terhadap kemajuan yan diperoleh dengan mengumpulkan data, dan analisis terhadap
data yang ada terutama berkaitan dengan output dan outcome yang diperoleh untuk kemudian

49
dibandingkan dengan tujuan suatu program. Hubungan sebab aibat harus diteliti secara cermat
antara kegiatan program dengan output dan outcome yang Nampak. Pertanyaan kunci yang
sering diungkapkan dalam proses evaluasi adalah apakah outcome yang muncul merupakan
kebutuhan pedesaan yang meningkat dua tahun terakhir benar-benar dipengaruhi oleh partisipasi
mereka dalam program pengembangan kecamatan, atau faktor lain. Kalau memang dipengaruhi
oleh faktor lain, maka evaluator tidak dapat mengklaim bahwa program tersebut telah efektif.

Variasi berikutnya adalah yang paling dianggap maju dan paling mendapat perhatian saat ini
adalah evaluasi yang sistematis dan objektif terhadap suatu program untuk mengukur dampaknya
kepada masyarakat, dan apakah suatu program telah sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
Anderson (1979) menyebutnya sebagai evaluasi sistematis.

Evaluasi sistematis memusatkan perhatian dan kesesuaian antara dapak dari program dengan
kebutuhan public, atau apakah dampak program telah menjawab masalah-masalah yang dihadapi
public. Beberapa pertanyaan yang diajukan dalam evaluasi sistematis adalah; apakah hasil
program telah sesuai dengan tujuannya? Bagaimana perbandingan biaya dan manfaat yang
diperolehnya? Siapa yang paling diuntungkan oleh kebijakan? Peristiwa-peristiwa baru apa saja
muncul sebagai konsekuensi dari kebijakan?

Secara demikian, evaluasi sistematis menjelaskan baik pembuat kebijakan dan public tentang
akibat actual dari kebijakan dan membuka peluang terbuaknya diskusi kebijakan sesuai dengan
relitas. Selanjutnya evaluasi dapa digunakan untuk memodifikasi suatu kebijakan atu program
dan menyesuaikannya dengan kebutuhan masa depan.

2. TIPE-TIPE EVALUASI KEBIJAKAN


James Anderson (Winarno, 2007, p. 227)membagi evaluasi kebijakan kedalam tiga tipe. Masing-
masing tipe evaluasi yang diperkenalkan ini didasari oleh pemahaman para evaluator terhadap
evaluasi. Tipe tersebut yaitu:

 Tipe pertama, evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional. Evaluasi


kebijakan dipandang sebagai kegiatan yang sama pentingnya dengan kebijakan itu
sendiri. Para pembentuk kebijakan dan administrator selalu membuat pertimbangan-
pertimbangan mengenai manfaat dan dampak dari kebijakan-kebijakan, program-
program. Dan proyek-proyek.

50
 Tipe kedua, tipe evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau
program-program tertentu. tipe evaluasi seperti ini berangkat dari pertanyaan mendasar
mengenai: apakah program dilakanakan sebagaimana mestinya? Berapa biayanya? Siapa
yang menerima manfaat dan jumahnya? Apakah terdapat duplikasi atau kejenuhan
dengan program-program lain? Apakah ukuran-ukuran dasar dan prosedur secara sah
diikuti?
 Tipe ketiga, tipe evaluasi kebijakan sistematis. Evaluasi sistematik melihat secara objektif
program-program kebijakan yang dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi
masyarakat yang melihat sejauh mana tujuan-tujuan yang telah dinyatakan tersebut
tercapai.

Namun demikian, suatu evaluasi tidak selamanya digunakan untuk hal-hal baik. Dalam hal ini,
Carol Weiss (Winarno, 2007, p. 229) mengatakan bahwa para pembuat keputusan program
evaluasi untuk menunda keputusan-keputusan , untuk mengesahkan dan membenarkan
keputusan-keputusan yang sudah dibuat, untuk membebaskan diri dari kontroversi tentang
tujuan-tujuan masa depan dengan mengelakkan tanggungjawab, mempertahankan program
dalam pandangan pemiliknya, pemberi dana, atau masyarakat, serta untuk memenuhi syarat-
syarat pemerintah atau yayasan dengan ritual evaluasi. Selain itu evaluasi digunakan untuk
meraih tujuan-tujuan politik tertentu. oleh karena itu, otivasi evaluator dalam melakukan evaluasi
dibedakan menjadi dua yaitu motivasi untuk malayani kepentingan public dan motvasi untuk
melayani kepentingan pribadi.

3. EVALUATOR KEBIJAKAN
Pada kenyataanya banyak lembaga dalam masyarakat yang berkepentingan dengan evaluasi
kebijakan. Lester dan Steward (2000) menggolongkan para evaluator dalam dua kelompok, yaitu
evaluator internal dan evaluator eksternal. Evaluator internal berasal dari lembaga legislative dan
eksekutif beserta cabang-cabangnya (birokrasi). Salah kelebihan yang perlu dipertimbangkan
bahwa evaluator internal terdiri dari mereka yang mengetaui secara deail dan terlibat dalam
proses kebijakan. Namun ada beberapa kelemahannya yaitu:

 Para evaluator internal mungkin tidak mempunyai keterampilan yang baik untuk
melakukan evaluasi.

51
 Karena kebijakan yang dievaluasi melibatkan banyak organisasi, maka evaluasi yang
lengkap tidak dapat diperoleh dengan menguji akibat-akibat yang ditimbulkan dari
kegiatan satu organisasi saja. Pelibatan banyak organisasi akan memakan biaya yang
cukup besar.
 Kegiatan evaluasi bisa saja dipengaruhi oleh keinginan para evaluator internal untuk
tidak melakukan perubahan kebijakan, sehingga hasil kebijakan akan menyarankan
pemerinta untuk melakukan kegiatan serupa yang dievaluasi.

Evaluator eksternal terdiri dari lembaga-lembaga penelitian privat, media komunikasi massa,
kelompok penekan, dan organisasi-organisasi kepentingan public. Mereka melakukan studi
evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan yang telah menimbulkan dampak pada masyarakat
maupun organisasi pemerintah. Di Indonesia contohnya, perguruan tinggi mempunyai lembaga
didalamnya yang terlibat dalam pengumpulan data mengenai performa kebijakan tertentu yang
merupakan bagiam kegiatan evaluasi. Pusat studi kebijakan dan kependudukan UGM pernah
melakukan government decentralization survey ((GDS) terhadap daerah-daerah otonom di
Indonesia untuk mengevaluasi pelaksanaan dan dampak penerapan desentralisasi di bawah UU
No. 22 Tahun 1999.

Disamping bagian yang ada di universitas, evaluator lainya adalah kelompok kepentingan seperti
Indonesian Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan lain-
lain yang melakukan evaluasi atas dampak spesifik kebijakan seperti korupsi, tingkat
keterjaminan barang-barang konsumsi, dan lain-lain kebijakan yang mempunyai relevansi
dengan kelompok kepentingan atau penekan.

4. SIFAT-SIFAT EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN


Dalam tahapan agenda building, formulasi dan legitimasi, jarang dilakukan evaluasi oleh
ilmuwan politik. Ilmuwan poitik hanya cenderung untuk mendiskripsikan dan menganalisis saja
terhadap tahapan agenda building, formulasi dan legitimasi. Meskipun demikian mereka juga
melakukan studi studi deskriptif dan analits terhadap implementasi kebijakan. Disamping itu,
mereka juga mendeskripsikan dan menganalisis dampak kebijakan. Beberapa sifat-sifat evaluasi
kebijakan adalah sebagai berikut (Kusumanegara , 2010, pp. 127-132).

a. Perspektif compliance

52
Ada dua perspektif utama dalam studi evaluasi implementasi kebijakan yaitu; compliance dan
what’s happening. Perspektif compliance (kepatuhan) melihat agen-agen administrasi dan
individu-individu yang ada didalamnya bersifat fungsional dalam suatu tatanan hirarki
administrasi. Dengan kata lain, perspektif ini menunjukkan adanya batas-batas kedudukan yang
superior dan subordinat dalam unit-unit birokrasi dan para birokrat.

Pertanyaan-pertanyaan yang berkembang dalam compliance adalah berkisar dengan kepatuhan


dari agen-agen dan birokrat-birokrat yang ada dalam posisi subordinat kepada perintah-perintah
mereka yang ada di posisi superior. Jika derajat kepatuhan tinggi maka implementasi sudah dapat
dikatakan baik. Sebaliknya jika derajatnya rendah maka implementasinya dinilai buruk.
Implementasi buruk juga disebabkan oleh adany perintah yang tidak jelas dari superior pada
subordinat.

Perspektif compliance banyak digunakan di dalam studi politik dari tingkah laku organisasi.
Dalam studi ini, program itu sendiri bukanlah perhatian pokok karena dianggap sebagai sekedar
benda yang dihasilkan oleh karakter dan kualitas tingkah laku organisasi. Asumsinya adalah jika
hubungan yang terjadi dalam organisasi berjalan sesuai ketentuan maka program dengan
sendirinya akan berjalan dengan baik. Kelemahan yang dimiliki program compliance adalah:

 Banyak faktor-faktor nonbirokrasi yang mempengaruhi tujuan-tujuan yang akan dicapai


birokrasi.
 Ada beberapa program dirancang dengan tidak baik, sehingga sesempurna apapun
tingkah laku, ketaatan, dan koordinasi dalam organisasi, maka tidak mungkin dapat
berjalan dengan baik. Kelemahan ini mendorong timbulnya pertanyaan mengenai makna
dari implementasi dan keberhasilan implementasi program.

Terlepas dari kelemahan diatas, perlu ditegaskan bahwa implementasi program berhasil adalah
performa dan dampaknya sesuai dengan yang diinginkan. Jika implementasi berhasil maka
program juga berhasil. Dalam studi mengenai perspektif compliance, berbagai fenomena terlibat
di dalamnya. Studi tidak terbatas hanya pada sebuah birokrasi, namun seluruh birokras dari pusat
hingga local. Disamping itu, tidak tertutup pula pengaruh yang beraal dari luar lingkungan
pemerintah, sehingga perlu dilakukan penelitian tenang kepatuhan dari unit-unit nonpemerintah.

b. Perspektif what’s happening

53
Perspektif what’s happening mempunyai asumsi bahwa banyak faktor yang mempengaruhi
implementasi kebijakan. Berdasarkan asumsi tersebut, studi diarahkan untuk menentukan dan
membuat spesifikasi terhadap faktor-faktor yang berpengaruh pada implementasi. Studi what’s
happening digambarkan sebagai berikut.

Gambar perspektif what’s happening


Sumber: Randall B. Repley (Kusumanegara , 2010, p. 129)

Program
Environment Consequences
and result

Implementation

Penjelasan terhadap perspektif what’s happening dimulai dengan membuat kategori variable X
dan Y. jika kita melakukan sesuatu (X) maka akibat yang diinginkan (Y) akan terjadi. Variable X
dalam formulasi sederhana adalah treatment program-program, khusus beberapa faktor lainnya
seperti organisasi-organisasi dengan kekhususan tertentu, proses birokrasi yang akan
memfasilitasi implementasi yang diinginkan, serta target populasi yaitu siapa-siapa yang akan
memperoleh manfaat dari sebuah program. Sedangkan variable Y adalah akibat-akibat yang
diinginkan.

Begitu implementasi berjalan, maka menetapkan peristiwa-peristiwa apa yang terjadi (what’s
happen) diperlukan kerja lapangan yang sistematis-substansial. Dalam tahap ini, para analis
dapat segera mengkoleksi data yang dibutuhkan untuk membuat kesimpulan yang menjawab
berbagai pertanyaan mengenai implementasi dan dampaknya. Pertanyaan-pertanyaan ini
mengenai implementasi dalam peran fasilitatfnya, dan tidak diperkenankan meakukannya
sebagai fenomena yang sama sekali tiak berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan perihal

54
performa program baik berjalan jangka pendek, dan dampak atau bahkan dampak jangka
panjang.

Dalam hal ini analis dapat mengajukan berapa pertanyaan singkat:

 Apakah X menyebabkan Y?
 Mengapa X menyebabkan Y? atau mengapa X tidak menyebabkan Y?
 Dalam hal apa X menyebabkan Y atau bagian-bagian dari Y?

G. POLICY CHANGE
Setelah evaluasi tahap berikutnya dalam siklus kebijakan adalah perubahan kebijakan disusul
dengan terminasi. Dalam dua tahap ini kebijakan direiew dan mungkin akan dihentikan atau
mengalami perubahan. Setelah itu siklus kebijakan dimulai dari awal lagi, kebijakan akan
direfomulasi dan direimplementasi. Para ilmuwan politik biasanya berpandangan bahwa
pembuatan kebijakan merupakan akibat dari perjuangan kekuasaan dari berbagai kelompok
dimasyarakat dengan berbagai sumberdaya dan kepentingan. Perjuangan tesebut terjadi struktur
kelembagaan yang ada dalam lingkungan sosial ekonomi yang berubah-ubah. Dengan demikian
impikasinya adalah perubahan dan terminasi kebijakan menjadi sangat penting untuk diobservasi
oleh ilmuwan politik karena dipandang sebagai awal keanjutan dari perjuangan kekuasaan dalam
kehidupan politik.

Konsep perubahan kebijakan menunjuk pada pergantian satu atau lebih kebijakan dengan satu
atau lebih kebijakan lain. Perubahan kebijakan dapat terjadi dalam tiga bentuk (Easton, 1992
dalam (Kusumanegara , 2010, p. 143) :

 Perubahan sedikit/tambal sulam dari kebijakan yang telah dievaluasi.


 Perubahan statute baru dalam area kebijakan public tertentu.
 Perubahan drastic dari kebijakan public sebagai konsekuensi dari munculnya pilihan-
piihan baru.

Jarang ditemukan kebijkan yang terus terpelihara seperti bentuknya semula dalam berkali-kali
perputaran siklus. Revisi terhadap kebijakan tergantung pada berbagai faktor yang muncul pada
saat kebijakan dinilai memecahkan masalah atau tidak, keterampilan mengadministrasikan

55
kebijakan saat implementasi, munculnya cacat saat implementasi, dan ketika berbagai kekuatan
poitik menaruh perhatian pada kebijakan.

Hogwood dan Gunn ( dalam Lester dan Steward, 2000 dalam (Kusumanegara , 2010, p. 144)
mengetengahkan tiga alasan untuk perubahan kebijakan dinegara barat yaitu:

a. Pemerintah memperluas aktivitasnya dalam kebijakan tertentu, sehingga tumpang tindaih


dengan program yang sedang berjalan.
b. Kebijakan itu sendiri yang menciptakan kondisi yang mensyaratkan perubahan karena
ketidakmampuannya menciptakan efek samping sesuai yang diharapkan. Kekeliruan
proses di legislative (pada saat perubahan) dianggap sebagai sebab perubahan kebijakan.
Dalam hala ini agar tidak terjadi perubahan kebijakan, anggota legislative bekerja lebih
baik lagi.
c. Tingkat relativitas keberlanjutan pertumbuhan ekonomi dan implikasi finansialnya
menyebabkan suatu kebijakan yang ada kemudian dianggap tidak diperlukan lagi, hanya
bersifat pemborosan, dan tidak tepat. Untuk menghindari resiko politik, kebijakan tidak
diberhentikan namun hanya dirubah.

Menurut Lester dan Steward (2000 dalam (Kusumanegara , 2010, p. 144), dalam beberapa kasus
perubahan kebijakan terjadi dalam beberapa bentuk yaitu:

a. Perubahan kebijakan hanya berbentuk linear. Misalnya perubahan kebijakan


ketenagakerjaan yang ditangani pemerintah dengan kebijakan pelatihan kerja yang
ditangani pemerintah bekerja ama dengan pihak swasta.
b. Penggabungan (merger) beberapa program yang dianggap cocok. Misalnya
penggabungan program-program kesehatan dengan program kesejahteran.
c. Pemisahan satu program menjadi dua atau beberapa paket program. Hal ini disebabkan
munculnya konflik antar program ketika diimplementasikan.
d. Perubahan program secara nonlinear. Beberapa perubahan kebjakan bersifat kompleks
dan meliputi elemen perubahan lainnya. Misalnya program bantuan sementara untuk
keluarga miskin berubah menjadi program bantuan untuk anak-anak terbelakang.

Ada tiga model perubahan kebijakan yaitu: Tesis Siklikal, Tesis Policy-Learning, dan Tesis Zig
Zag (Lester dan Steward, 2000 dalam (Kusumanegara , 2010, p. 145). Tesis Siklikal

56
berargumentasi adanya perubahan berkelanjutan antara tujuan public dengan kepentingan privat.
Dalam politik di Amerika Serikat ada siklus kekuasaan antara konservatisme dan liberalism.
Dalam waktu-waktu tertentu konservatisme dianggap solusi atas permasalah nasional dan
liberalism pada waktu yang lain. Misalnya Theodore Roosevelt mengantarkan program
Progressive pada 19011, Franklin D. Roosevelt mengeluarkan kebijakan New Deal antara era
1930-an, John F. Kennedy memperkenalkan program New Frontier pada 1960an. Alternatifnya,
Ronald Regand mengeluarkan kebijakan konservatif pada era 1980an, yang sebenarnya
merupakan pengulangan konservatisme tahun 1950an dan era Harding-Coolidge 1920an.

Model Tesis Siklikal nampaknya tidak mudah diterapkan dinegara-negara yang respon politiknya
terhadap problem nasionalnya tidak didasarkan pada siklus dua ideology seperti AS. Di
Indonesia pernah dikenal era ideology-ideologi dan kebijakan public didasarkan preferensi
ideologis para penguasa era politik aliran pasca kemerdekaan 1945 dan demokrasi terpimpin.
Saat itu preferensi ideologis yang memberikan warna kuat dalam diskursus kebijakan public
adalah Nasionalisme, Islam, Komunisme, Sosialisme, Demokrasi, Dan Tradisionalisme Jawa.
Beberapa diskursus kebijakan misalnua tentang penerapan syariat Islam, nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing, desentralisasi politik, landreform, pengebangan usahawan pribumi
(program Benteng), koperasi, dan sebagainya, tanpa disertai dengan siklus sebagaimana di AS.

Penjelasan Tesis Policy Learning mengenai perubahan kebijakan berasal dari studi yang
dilakukan Paul Sabatier dan kawan-kawan. Paul Sebatier telah mengembangkan kerangka
konseptual proses kebijakan sebagai fungsi dari tiga faktor, yaitu:

a. Interaksi kompetitif antara koalisi advokasi didalam subsistem kebijakan (masyarakat).


Koalisis advokasi adalah aktor-aktor dari bermacam organisasi public dan privat yang
mempunyai seperangkat sistem kepercayaan dan berusaha merealisasi tujuan sepanjang
waktu.
b. Perubahan-perubahan yang terjadi diluar subsistem kebijakan (peristiwa yang terjadi di
luar masyarakat)
c. Efek dari parameter sistem yang relative stabil.

Kerangka kerja menghasilkan tiga premis untuk perubahan kebijakan yaitu:

57
a. Memahami proses perubahan kebijakan memerlukan waktu yang lama, karena observasi
dilakukan terhadap keseluruhan tahap yang terjadi pada siklus kebijakan.
b. Cara yang berguna untuk memahami perubahan kebijakan adalah dengan memfokuskan
perhatian pada subsistem kebijakan yang merupakan arena interaksi koalisi advokasi.
c. Kebijakan public dapat dikonseptualisasikan sama dengan sistem keyakinan, yaitu
seperangkat nilai prioritas dan asumsi kausal tentang cara-cara merealisasikannya.

Berikutnya adalah Tesis Zig Zag yang dijelaskan oleh Edwin Amenta dan Theda Scocpol
berkaitan dengan studi terhadap kebijakan public di AS. Mereka berpendapat adanya pola yang
tidak teratur dalam sejarah kebijakan public di AS. Pola yang tidak teratur ini dicirikan seperti
zigzag atau stimulus dan respon (backlash). Efek zigzag dan backlash terjadi dalam pergeseran
kebijakan sesuai dengan ideology pemerintah yang menguntungkan masing-masing kelompok.
Mereka berpendapat bahwa konsep perjuangan kelas atau kompetisi kelompok dalam masyarakat
digunakan sebagai penjelas pergeseran kebijakan yang tidak teratur itu. Misalnya pada akhir
abad ke 19 politik AS ditandai oleh pembelanjaan uang negara dan patronase dikalangan kulit
putih. Kebijakan dirancang oleh para republican yang radikal dan keuntungan kebijakan
didistribusikan secara partisan.

Pada era Progressive (1900-1930) diusahakan tindakan eliminasi atas patronase politik masa
sebelumnya. Kebijakan bergeser pada upaya pemenuhan kebutuhan fundamental bagi rakyat.
Seperti reformasi pelayanan sipil, pemilihan langsung terhadap administrator, legislasi
pembatasan jam kerja bagi wanita, dan berbagai program yang memberikan jaminan kesehatan
dan keamanan. Pada masa ini kaum Demokrat menetapkan dirinya sendiri seperti kelompok
democrat sosial.

Pada era New Deal (1930-1950) berbagai program jaminan sosial dan kesejahteraan mensyarakat
semakin ditekan. Kebijakan ini merupakan jawaban tehadap depresi ekonomi, bukan kelanjutan
pengeliminasian politik patronase dari republican dan bukan pula sebagai upaya melanjutkan
incremental kebijakan kaum democrat era Progressive. Pada masa ini diadopsi teori ekonomi
Keynesian, dan pemerintah federal melancarkan kebijakan redistribusi kesejahteraan secara
massif melalui pembentukan program sosial secara luas dan intervensi negara dalam bidang
ekonomi. Pada era setelahnya, misalnya New Federalism 1970-1980, kebijakan public ternyata

58
tidak bergeser kembali kearah patronese politik. Sehingga tidak terjadi siklus sebagaimana
dijelaskan oleh Tesis Siklikal di atas.

Sepertinya, tesis zigzag dapat dipakai untuk menggambarkan kebijakan public di Indonesia
berdasarkan sejarah. Jika pada masa demokrasi parlementer dan orde Soekarno sistem
kepercayaan (ideology) Nampak mewarnai kebijakan, maka pada masa berikutnya (orde
Soeharto) kebijakan tertuju pada upaya pengembangan prestasu ekonomi di tingkat nasional,
patronase dikalangan birokrasi (termasuk militer), intervensi negara yang kuat dalam aspek-
aspek kehidupan masyarakat. Pada era reformasi kebijakan public cenderung mencerminkan
preferensi koalisi partai dan sebagai respon atas tekanan internasional, misalnya menaikkan
bahan bakar minyak (BBM) tahun 2004. Jadi perubahan kebijakan tidak berlangsung siklis
namun cenderung zigzag.

H. POLICY TERMINATION
Istilah terminasi kebijakan mengarah pada penghapusan agensi, mengarahkan kembali kebijakan
dasar, penghapusan program, penghapusan sebagian (agensi, kebijakan dasar, dan program), dan
pengurangan anggaran. Sebagai konsep, terminasi kebijakan menjadi objek pembahasan dalam
studi kebijakan public mulai tahun 1970an. Ketika itu, para ilmuwan menitikberatkan perhatian
pada penghapusan eksistensi organisasi sebagai cara untuk mengakhiri kebijakan atau program
yang dianggap gagal mencapai tujuannya. Terminasi sebenarnya merupakan fase tersulit
dilakukan dalam siklus kebijakan public.

Seketika keputusan dibuat; kebijakan, program, dan para agensinya segera membentuk dan
mempunyai cara kehidupan sendiri. Munculnya tuntutan politik agar kebijakan diterminasi
biasanya disebabkan terkontaminasinya implementasi kebijakan dan komponen-komponennya
oleh kepentingan pribadi ataupun kepentingan jangka pendek actor yang terlibat. Sehingga
kebijakan atau program mengalami masalah pembiayaan. Berkaitan dengan itu, kelompok koalisi
antiterminasi segera melakukan mobilisasi dan mengunakan segala sumber daya yang dimilik
untuk mempertahankan kebijakan, program, dan organisasi yang dituntut untuk diterminasi.
Feneomena tersebut menunjukkan bahwa upaya terminasi memakan biaya yang tidak sedikit.

59
Sejak 1970an perhatian terhadap terminasi kian meningkat disebabkan oleh dua alasan pokok,
yaitu:

a. Beberapa kebijakan dan program ternyata tidak efektif sehingga perlu dihauskan.
b. Adanya suasana politik yang tidak mendukung pelaksanaaan program serta pengurangan
fiscal yang biasanya berwujud penyusutan anggaran.

Terminasi kebijakan dapat terjadi pada negara maju maupun negara berkembang dengan
berbagai bentuk. Menurut Lester dan Stewart bentuk-bentuk terminasi adalah:

a. Terminasi fungsional yaitu terminasi yang terarah pada tindakan seluruh area kebijakan,
meliputi baik organisasi maupun kebijakannya sendiri. Namun terminasi bentuk seperti
ini jarang ditemukan. Namun dalam kasus yang sensitive seperti pergantian rezim politik
sangat mungkin terjadi terminasi fungsional. Misalnya penghapusan seluruh area
kebijakan otonomi daerah di bawah UU No. 18 Tahun 1965 oleh pemerintah orde Baru
karena dianggap bermuatan ideologis komunis dan secara politis counter productive bagi
strategi penciptaan stabilitas politik.
b. Terminasi organisasi yaitu tertuju pada penghapusan seluruh organisasi yang terlibat
dalam implementasi kebijakan atau program, akibat dari kegagalannya mencapai tujuan.
Contohnya adalah penghapusan Departemen Penerangan pada masa Abdurrahman Wahid
di Indonesia. Depatemen Penerangan dihapaskan karena selama ini berfungsi hanya
sebagai penyambung lidah pemerintah kepada rakyat, tidak sebaliknya. Sehingga tidak
sesuai dengan reformasi politik yang lebih mengutamakan pada permberdayaan politik
rakyat.
c. Terminasi kebijakan yaitu tertuju kepada penghapusan sebuah kebijakan ketika teori dan
pendekatan yang mendukung sudah tidak dipercaya kebenarannya oleh actor-aktor
formal. Contohnya adalah PP No. 10 tahun 1959 yang dikeluarkan pada masa cabinet
Djuanda. Peraturan tersebut menetapkan pelarangan usaha kecil milik orang asing
ditingkat desa setelah Desember 1959. Peraturan pemerintah ini mempunyai semangat
pribuminisme perdagangan sebagaimana kebijakan sebelumnya, namun dalam
perkembangannya, para elit birokrat, militer, dan Soekarno dalam sistem politik
demokrasi terpimpin tidak antusias terhadap tujuan kebijakan itu. Akhirnya kebijakan
itupun menghilang.

60
d. Terminasi program dilakukan untuk mengeliminasi program-program spesifik. Terminasi
bentuk ini sering dilakukan karena konstituensinya terbatas sehingga tidak memerlukan
biaya besar dibandingkan dengan menghapus program dengan konstituensi yang
cakupannya luas. Contohnya adalah penghapusan program sosial seperti revenue sharing
program, yaitu semacam program pemerataan pendapatan yang dilakukan dalam
pemerintahan Nixon 1972. Program ini akhirnya dihapuskan pada 1986 karena
pemerintah federal menanggung beban deficit anggaran yang cukup besar. Di Indonesia
pernah pula terjadi penghapusan program, misal Program Banteng pada decade 1950an
karena kegagalan implementasinya, yaitu kegagalan memunculkan wirausahawan
pribumi yang difasilitasi oleh pemerintah dan penggunaan uang negara yang tidak
semestinya seperti penyalahgunaan kredit dalam skala besar.

Dalam studi terminasi kebijakan ada dua pendekatan yang sering digunakan oleh para ahli yaitu:
terminasi big bang dan long whimper. Dalam pendekatan big bang, pihak pemegang otoritas
kebijakan menetapkan terminasi secara desisif dalam dilakukan dalam waktu cepat, sehingga
tidak memberi kesempatan kepada oposisi untuk mengorganisir kekuatan lawan langkah
terminasi. Lebih ekstrim lagi pemegang otoritas segera menutup isu terminasi dengan kekuatan
pamungkas. Terminasi semacam ini terjadi jika kebijakan sepenuhnya merupakan arena
pertarungan politik kedalam jangka waktu yang lama dan melibatkan begitu banyah partisipan.

Pendeketan kedua adalah long whimper menunjukkan terminasi sebagai akhir dari proses
penurunan sumberdaya organisasi dalam waktu yang lama. Proses yang terjadi disebut juga
dekrementalisme, yaitu konsep yang menggambarkan penurunan anggaran organisasi secara
perlahan atau posisi organisasi yang tersudut dari waktu ke waktu, dan kahirnya perlahan-lahan
tereliminasi (Lester dan Stewart, 2000 dalam (Kusumanegara , 2010, p. 153)

Terminasi kebijakan tidak sepenuhnya didasarkan pada alasan rasional dan administrasi semata,
namun nilai-nilai politik dan ideology merupkan variable kunci untuk menjelaskan langkah ynag
dilakukan terminasi. Munculnya kebijakan terminasi, pertimbangan-pertimbangan politk lebih
mengemuka dibandingkan pertimbangan evaluasi.

Terminasi dengan alasan politik ditunjukan dengan adanyaa oposisi terhadap kebijakan yang
sedang berjalan yang kemudian dinilai buruk karena bertentangan dengan nilai-nilai dan

61
kepentingan sosial, politik dan ekonomi para oposan. Namun ada kalanya terminasi diputuskan
secara rasional misalkan demi mengurangi pemborosan pengeluaran negara atau penggantian
kebijakan denga kebijakan baru yang dianggap lebih berguna bagi masyarakat.

Untuk kebutuhan praktis, ada beberapa strategi untuk melaukan terminasi kebijakan
sebagaimana diungkapkan oleh Robert Behn (Lester dan Stewart, 2000 dalam (Kusumanegara ,
2010, p. 153) berikut:

a. Para terminator disarankan untuk tidak mengumbar informasi secara dini mengenai
terminasi kebijakan tertentu sehingga memberikan peluang pada oposisi untuk
mengorganisir pendukungnya. Informasi baru diungkap jika mempunyai justifikasi
komprehensif secara formal (memperoleh landasan hukum).
b. Terminator akan lebih berhasil menghapus kebijakan jika memperluas pendukungnya
hingga keluar basis pendukungnya secara tradisional.
c. Memfokuskan terminasi pada kebijakan atau program yang secara politis tidak merusak.
d. Memanfaatkan ideology untuk memberi perspektif baru bahwa kebijakan yang akan
dieleminasi bersifat merusak.
e. Menciptakan langkah-langkah yang akan menggagalkan terjadinya kompromi berbagai
kelompok yang mendukung kebijakan yang akan dieleminasi.
f. Menggunakan para outsider mengembangkan isu-isu yang mungkin menguntungkan
kebijakan yang akan dihapus.
g. Menghndari pemungutan suara di lembaga legislative, karena para legislator biasanya
berorientasi pada dukungan bukan pada permusuhan. Sehingga pemungutan suara di
legislative sangat mungkin menggagalkan terminasi kebijakan-kebijakan yang popular.
h. Para terminator dari birokrasi disarankan menghindari konflik antara kekuatan
konstitusional presiden dan legislative.
i. Menerima peningkatan biaya terminasi dalam jangka pendek.
j. Menawarkan pekerjaan alternative bagi pekerja yang terlibat dalam program yang
dieliminasi, serta memberi biaya pengganti pada organisasi klien yang terlibat dalam
program.

62
k. Menciptakan kasus yang menimbulkan persepsi bahwa kebijakan baru yang lebih baik
perlu diadopsi tetapi dengan persyaratan adanya penghapusan kebijakan yang sedang
berjalan (yang menjadi sasaran terminasi).
l. Karena terminasi merupakan cara yang sulit, maka supaya tidak counter productive para
terminator disarankan melakukan terminasi tidak sembarangan dan tergesa-gesa.
Terminasi dilakukan hanya jika benar-benar diperlukan dan dianggap sangat penting serta
terpaksa.

63
Daftar Pustaka

Kusumanegara , S. (2010). Model dan Aktor dalam Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gava Media.

Pasolong, H. (2007). Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta.

Wahab, S. (2008). Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta:
Bumi Aksara.

Wibawa , S. (2011). Politik Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Winarno, B. (2007). Kebijakan Publik Teori dan Konsep. Yogyakarta: Media Pressindo.

64

Anda mungkin juga menyukai