Anda di halaman 1dari 5

Takhrij Hadis “Ramadhan Diawali Rahmat”

Bulan Ramadhan kembali hadir, kegiatan keagamaan pun marak kembali. Maka tak heran
kalau para muballigh dan penceramah mulai penuh dengan kesibukan. Dalam
menyampaikan tabligh atau ceramahnya, seringkali mereka menyampaikan hadis-hadis
berkaitan dengan fadhilah (keutamaan) Ramadhan sebagai motivasi agar kaum muslimin
meningkatkan ibadah dan amal shaleh di bulan yang penuh berkah tersebut.

Kendati demikian, tidak selamanya hadis-hadis fadhilah Ramadhan yang mereka


sampaikan itu dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Memang, di antara hadis-hadis
itu ada yang shahih, tetapi juga tidak sedikit yang dha’if (lemah), bahkan parah tingkat
kedha’ifannya, alias maudhu’ (palsu). Salah satu hadis populer berkaitan
dengan fadhilah Ramadahn yang patut kita perhatikan adalah hadis yang artinya “Bulan
Ramadhan itu awalnya rahmat, tengahnya maghfirah, dan akhirnya pembebasan dari
neraka.”

Teks Hadis

Teks hadis tersebut adalah sebagai berikut :

ُ َ َ ‫أَ َّو ُل َشه ِْر َر َم‬ ‫صلَّى هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬


َ ‫َعنْ أَ ِبيْ ه َُري َْر َة َقا َل َقا َل َرس ُْو ُل هللا‬
ِ ‫ َوآ ِخ ُرهُ عِ ْت ٌق م َِن ال َّن‬Kٌ‫ان َرحْ َم ٌة َوأ ْو َسط ُه َم ْغف َِرة‬
‫ار‬ َ ‫ض‬

Dari Abu Hurairah, ai berkata, Rasulullah saw bersabda, “Awal bulan Ramadhan adalah
rahmat, pertengahannya adalah maghfirah, dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka.”

Takhrij Hadis

Hadis ini diriwayatkan oleh al-‘Uqaili, Ibnu ‘Adi, al-Khatib al-Baghdadi, al-Dailami dan Ibnu
‘Asakir. Susunan rawi dalam sanadnya adalah Sallam bin Sawwar, dari Maslamah bin al-
Shalt, dari al-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw.[1]

Menurut al-Suyuthi hadis ini dha’if (lemah), dan menurut Syaikh al-Albani, hadis ini Munkar.
[2] Kedua pernyataan ini tidak bertentangan, karena hadis Munkar adalah bagian dari hadis
dha’if. Hadis Munkar adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat rawi yang pernah
melakukan kesalahan yang parah, pelupa, atau ia seorang yang fasiq.[3] Hadis munkar
termasuk kategori hadis yang sangat lemah dan tidak dapat dipakai sebagai dalil apa pun.
Sebagai hadis dha’if (lemah), ia menempati urutan ketiga sesudah Matruk (semi palsu)
dan Maudhu’ (palsu).[4]

Sumber kedha’ifan hadis ini adalah dua orang rawi yang bernama Sallam bin Sawwar dan
Maslamah bin al-Shalt. Menurut ahlu al-naqd (kritikus hadis) Ibnu ‘Adi (w. 365 H), Sallam
bin Sawwar (Sallam bin Sulaiman bin Sawwar), Abu al-‘Abbas al-Tsaqafi adalah munkar
al-hadits (hadisnya munkar). Menurut Abu Hatim, “Ia rawi yang tidak kuat”.[5] Sementara
menurut Ibnu Hibban, “Tidak boleh dijadikan hujjah (pegangan), kecuali apabila ada rawi
lain yang meriwayatkan hadisnya.”[6]

Sedangkan Maslamah bin al-Shalt, menurut Abu Hatim al-Razi, Abdurrahman


menceritakan dari ayahnya “Dia matruk al-hadis (hadisnya Matruk)”.[7] Dalam ilmu hadis,
hadis Matruk adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat rawi yang dituduh sebagai
pendusta.[8] Maksudnya, dalam hadis Matruk rawinya dituduh sebagai pendusta ketika
meriwayatkan hadis, karena perilaku sehari-harinya dusta. Sementara dalam
hadis Maudhu’ rawinya adalah pendusta.[9] Hadis Maudhu’ (palsu) dan Matruk (semi palsu)
adalah sama-sama lahir dari rawi pendusta.

Jadi hadis ini Munkar dan Matruk, dua kategori hadis dha’if yang cukup berat, alias syadid
al-dha’fi. Oleh sebab itu, hadis ini tidak bisa dijadikan dalil dan tidak layak disampaikan
dalam ceramah atau pengajian, kecuali disertai penjelasan tentang kedha’ifan hadis
tersebut.[10]

Riwayat lain

Dalam disiplin ilmu hadis, sebuah hadis yang dha’if dapat meningkat kualitasnya
menjadi Hasan Lighairih (hasan karena dukungan eksternal) apabila ada riwayat (sanad)
lain yang sama kualitasnya, tetapi hal ini dengan syarat bahwa kedha’ifan hadis tersebut
bukan karena ia diriwayatkan oleh rawi pendusta atau fasiq.[11]

Berkaitan dengan hadis di atas, terdapat riwayat lain, bahkan dapat dikatakan bahwa hadis
yang kita bahas ini adalah merupakan penggalan dari riwayat ini, karena riwayatnya lebih
panjang. Hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut :

‫ك‬ ٌ ‫ار‬ َ ‫ أَ ُّي َها ال َّناسُ َق ْد أَ َظلَّ ُك ْم َش ْه ٌر َعظِ ْي ٌم َش ْه ٌر ُم َب‬: ‫ان َف َقا َل‬ َ ‫صلَّى هللا َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم فِيْ آخ ِِر َي ْو ٍم مِنْ َشعْ َب‬ َ ‫ان َقا َل َخ َط َب َنا َرس ُْو ُل هللا‬ َ ‫َعنْ َس ْل َم‬
‫ْض ًة‬ َ
َ ‫ان َك َمنْ أدَ ى َف ِري‬ Kَ ‫ب ِف ْي ِه ِب َخصْ لَ ٍة م َِن ْال َخي ِْر َك‬ َ َّ‫ْض ًة َوقِ َيا َم لَ ْيلِ ِه َت َطوُّ عًا َمنْ َت َقر‬ َ
َ ‫َش ْه ٌر فِ ْي ِه لَ ْيلَ ٌة َخ ْي ٌر مِنْ أ ْلفِ َشه ٍْر َج َع َل هللا صِ َيا َم ُه َف ِري‬
‫اسا ِة‬ ْ ُ ْ َ
َ ‫ص ْب ُر ث َوا ُب ُه ال َج َّنة َو َش ْه ُر الم َُو‬ َّ ‫صب ِْر َوال‬َّ ‫ْضة فِ ْي َما سِ َواهُ َوه َُو َش ْه ُر ال‬ ً َ ‫ان َك َمنْ أَدَى َس ْب ِعي َْن َف ِري‬ َ ‫فِ ْي َما سِ َواهُ َو َمنْ أَدَى فِ ْي ِه َف ِري‬
Kَ ‫ْض ًة َك‬
‫ِص‬َ ‫ان لَ ُه م ِْث ُل أَجْ ِر ِه مِنْ غَ ي ِْر اَنْ َي ْن َتق‬ َ ‫ار َو َك‬ ُ
ِ ‫ان َم ْغف َِر ًة لِذ ُن ْو ِب ِه َوعِ ْتقَ َر َق َب ٍة م َِن ال َّن‬
Kَ ‫صا ِئمًا َك‬َ ‫ِن َمنْ َف َّط َر فِ ْي ِه‬
ِ ‫َو َش ْه ٌر ي ُْزدَ ا ُد ِف ْي ِه ِر ْز ُق ْالم ُْؤم‬
‫شرْ َب ِة َما ٍء أَ ْو م ُْذ َق ِة‬ ُ ‫ َعلَى َتمْ َر ٍة أَ ْو‬K‫صا ِئ ًما‬َ ‫اب َمنْ َف َّط َر‬ َ ‫الث َو‬ َّ ‫ْس ُكلُّ َنا َن ِج ُد َما ُي ْفطِ ُر الصَّا ِئ ُم َف َقا َل يُعْ طِ ي هللا َه َذا‬ َ ‫مِنْ أَجْ ِر ِه َشيْ ٌء َقالُ ْوا لَي‬
ُ َ
‫ابن خزيمة‬- .‫ار‬ ِ ‫ َوه َُو َش ْه ٌر أوَّ لُ ُه َرحْ َم ٌة َواَ ْو َسط ُه َم ْغف َِرةٌ َوآ ِخ ُرهُ عِ ْت ٌق م َِن ال َّن‬ ‫لَ َب ٍن‬-

Dari Salman, ia berkata : Pada akhir bulan Sya’ban Rasulullah saw mengkhutbahi kami,
beliau bersabda : Hai manusia ! bulan yang agung, bulan yang penuh dengan berkah,
bulan yang padanya ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan telah menaungi
kamu. Allah tetapkan shaum sebagai satu kewajiban, dan shalat pada malamnya
sebagai tathawu’ (sunat). Siapa yang mendekatkan (melaksanakan) sesuatu kebaikan
(sunat), maka (pahalanya) seperti (pahala) bagi orang yang menunaikan kewajiban. Dan
siapa yang menunaikan kewajiban, (pahalanya) seperti (pahala) yang menunaikan
kewajiban sebanyak tujuh puluh kali. Bulan itu adalah bulan (penuh dengan) kesabaran dan
bersabar itu pahalanya adalah surga. Bulan penuh dengan kebaikan, bulan yang akan
bertambah rizki seorang mukmin. Barang siapa memberi makan yang shaum pada bulan itu
baginya maghfirah bagi dosa-dosanya dan lehernya akan terlepas dari api neraka, dan
baginya (orang yang memberi makan) akan mendapat pahala seperti pahala yang diberikan
kepada yang shaum tanpa terkurangi sedikitpun dari pahalanya itu. Para sahabat bertanya,
kami semua tidak mendapatkan sesuatu untuk memberi makan yang shaum, beliau
menjawab : Allah akan memberi pahala seperti ini kepada orang yang memberi makan
yang shaum walaupun hanya dengan sebiji kurma, atau seteguk air, atau sesuatu yang
dicampur dengan susu. Dan bulan itu adalah bulan yang awalnya penuh rahmat,
pertengahannya penuh maghfirah dan akhirnya pembebasan dari neraka.

Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya dan juga yang lainnya
dengan sedikit perbedaan redaksi. [12] Namun sayang, hadis ini pun dha’if karena pada
sanadnya terdapat rawi yang bernama Ali bin Zaid bin Jud’an, Yusuf bin Ziyad  al-Nahdi,
dan Iyyas bin Ghafar.

Menurut ahlu al-naqd (kirtikus hadis) Yahya bin Ma’in, “Ali bin Zaid bin
Jud’an adalah laisa bihujjah (tidak dapat dijadikan hujjah)”. Menurut Abu Zur’ah, “Ali bin
Zaed bin Jud’an laisa bi al-qawiy (tidak kuat)”, dan begitu pula menurut ulama yang lainnya
seperti Abu Hatim, An Nasai dan Ibnu Khuzaimah. Menurut Imam Ibnu Hajar, "Ia dha’if".
[13]

Berkaitan dengan Yusuf bin Ziyad al-Nahdi. Mengenai kedha’ifannya ditegaskan oleh al-
Nasai. Sementara al-Bukhari dan Abu Hatim menyatakan dia sebagai rawi yang “Munkar
al-Hadits (hadisnya diinkari)”. Dan al-Daraquthni menyatakan, “Dia rawi yang termasyhur
dalam meriwayatkan hadis-hadis yang bathil.”[14] Dalam ilmu kritik rawi hadis (al-jarh wa
al-ta'dil), rawi yang mendapatkan penilaian seperti di atas, apabila ia meriwayatkan hadis,
maka hadisnya itu tidak dapat dijadikan dalil dalam agama.[15]

Imam Ibnu Khuzaimah sendiri yang meriwayatkan hadis tersebut nampaknya masih
meragukan otentisitas hadis tersebut. Sebagaimana sebelum menuturkan hadis tersebut
beliau menyebutkan :

‫إن صح الخبر‬ ,‫باب فضائل شهر رمضان‬

"Bab tentang fadhilah-fadhilah bulan Ramadhan, apabila hadis berikut ini shahih"[16]

Dr. Muhammad Mustafa al-A'zhami menyatakan, "Hadis ini sanadnya dha’if", Imam al-
Albana (al-Fathu al-Rabani 9/233) menyatakan, "Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam
kitab Shahih-nya, kemudian berkata, 'jika hadisnya shahih'. Diriwayatkan pula oleh Abu
Syaikh Ibnu Hiban dalam al-Tsawab, Ali bin Zaed bin Jud'an dha’if."[17]

Pada riwayat al-Baihaqi dan al-Haitsami[18], selain diriwayatkan melalui rawi-rawi dha’if di
atas, juga terdapat pada sanadnya rawi yang majhul (tidak dikenal) yaitu Iyyas bin Ghafar.
Menurut Ibnu Hajar, “Aku tidak mengenal rawi bernama Iyyas.”[19]

Dengan keterangan tersebut, hadis riwayat Ibnu Khuzaimah ini tidak dapat memperkuat
hadis riwayat al-‘Uqaili di atas, dan begitu pula sebaliknya, karena yang menjadi faktor
kedha’ifan keduanya sangat fatal.

Memang ada pendapat, bahwa hadis dha’if dapat dijadikan dalil untuk beramal kebaikan
(fadhail al-a'mal), tetapi ada syarat-syarat tertentu, antara lain kedha’ifan hadis tersebut
tidak parah. Sementara hadis fadhilah Ramadhan yang ini kedha’ifannya cukup parah.
Dengan demikian, hadis ini tidak dapat dijadikan dalil apapun.

Bila Ramadhan dengan berbagai bentuk ibadah yang disyariatkan di dalamnya adalah
sebuah "anugerah terindah" bagi setiap muslim, maka dengan dha’ifnya hadis tersebut
tidak menyebabkan "bulan penuh berkah" itu berkurang atau hilang keberkahannya, karena
tak sedikit fadhilah-fadhilah Ramadhan telah diungkap dalam berbagai hadis yang shahih.
Dan banyaknya hadis shahih tersebut cukup menjadi bukti agungnya bulan Ramadhan ini,
sekaligus menjadi motivasi yang tinggi bagi setiap muslim untuk memaksimalkan ibadah
dan menggapai derajat taqwa di dalamnya. Wallahu a'lam bi al-shawab

Referensi;

[1] HR. Ibnu ‘Adi, al-Kamil Fi al-Dhu’afa’ al-Rijal 3/331, al-‘Uqaili, al-Dhu’afa’ al-Kabir 2/162,


al-Dailami, al-Firdaus al-Akhbar 1/68. Lihat pula,  al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir 1/432, al-
Munawi, Faidhu al-Qadir 3/86, al-Albani, Silsilat al-Ahadits al-Dha’ifah 4/70.

[2] al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir 1/432, al-Albani, Silsilat al-Ahadits al-Dha’ifah 4/70.

[3] Al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, hlm. 94.

[4] Al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, hlm. 94.

[5] Mizan al-I’tidal 2/178.

[6] al-Majruhin 1/342.

[7] al- Jarhu Wa al-Ta’dil 8/269, al-Dhu’afa’ Wa al-Matrukin 3/119.


[8] al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, hlm. 93.

[9] al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, hlm.  64-65.

[10] Lihat, Musthafa ‘Azami, Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsin, hlm. 84.

[11] al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, hlm. 64-65.

[12] HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah 3/191, al-Baihaqi, Syu’abu al-


Iman 3/305-306, al-Haitsami, Musnad al-Harits 1/412, al-Khatib al-Bagdadi, Maudhih
Auham al-Jam’i Wa al-Tafriq 2/149 dengan sedikit perbedaan redaksi.

[13] Al- Jarhu Wa al-Ta’dil 6/185, Tahdzib al-Kamal 20/434-446, Taqrib al-Taqrib 1/413.

[14] Lisan al-Mizan 6/321, Mizan al-I’tidal 4/465, al-Majruhin 3/133.

[15] Ushul al-Takhrij Wa al-Dirasat al-Asanid, hal. 166.

[16] Shahih Ibnu Khuzaimah 2/910.

[17] Tahqiq Shahih Ibnu Khuzaimah 2/910.

[18] Lihat. al-Baihaqi, Syu'ab al-Iman 3/305-306 dan al-Haitsami, Musnad al-


Harits 1/412, al-Muthalib al-'Aliyah 2/322 no. 1050.

[19] Tahqiq Syu’ab al-Iman 3/305.

***

Penulis: Ahmad Wandi, koordinator Pusat Kajian Hadis Pemuda Persis (Lembaga Kajian
Turats Dan Pemikiran Islam PP. Pemuda Persis), Wakil Ketua PD. Pemuda Persis Kab.
Bandung Barat, Ketua PC. Pemuda Persis Lembang.

Anda mungkin juga menyukai