Anda di halaman 1dari 7

Nama : Masdhuki Pramukti

NIM : 1804125062

Kelas : IK-A

MATKUL : SIG Kelautan,Pemetaan,dan Remotesensing

Review Jurnal Datum Geodetik

Menurut Heri Andreas et.al 2013 Posisi dalam definisi sederhana dapat diartikan sebagai
keberadaan relatif suatu objek (bisa berupa titik, garis, atau bidang) terhadap objek lainnya, atau
keberadaan kita terhadap lingkungan sekitar kita Posisi diperlukan untuk kita dapat menjawab
“dimana” letak suatu objek, “kemana” kita harus pergi untuk menemui suatu objek atau hal lain
sebagainya. Posisi suatu objek dapat dinyatakan secara kualitatif maupun kuantitatif. Contoh
pernyataan posisi secara kualitatif seperti pada sekumpulan orang kita dapat menerangkan posisi
si A berada di samping si B, atau posisi si A berada di belakang si C, si B berada di depan si D,
dan lain-lain. Sementara itu secara kuantitatif posisi suatu titik dapat dinyatakan dengan
koordinat, baik itu dalam ruang satu dimensi, dua dimensi, tiga dimensi, maupun empat dimensi
(1D, 2D, 3D, 4D).

Menurut Heri Andreas et.al 2013 Koordinat adalah suatu besaran (numeris) untuk
menyatakan letak atau posisi suatu titik di lapangan. Koordinat secara nilai atau besarannya
dapat dinyatakan dalam sistem geodetik, sistem toposentrik, koordinat sistem proyeksi,
geosentrik, dan lainlain. Untuk menjamin adanya konsistensi dan standardisasi, perlu adanya
suatu sistem yang menyatakan koordinat. Sistem ini disebut Sistem Referensi Koordinat atau
Sistem Referensi Geodesi dengan unsur-unsur atau parameter penyusunnya berupa Sistem
Referensi, Kerangka Referensi Koordinat dan Datum Koordinat. Datum Koordinat terbagi
menjadi beberapa jenis yaitu Datum Statik, Semi Dinamik, Dinamik, Semi Kinematik, dan
Kinematik.

Sistem Referensi adalah sistem (termasuk teori, konsep, deskripsi fisis dan geometris, serta
standar dan parameter) yang digunakan dalam pendefinisian koordinat dari suatu atau beberapa
titik dalam ruang (Abidin, 2000, 2001). Dalam pendekatan geodetik, ada 3 parameter yang
mendefinisikan Sistem Referensi, yaitu:
1) Lokasi titik asal (titik nol) dari Sistem Koordinat
2) Orientasi sumbu koordinat
3) Besaran yang digunakan dalam mendefinisikan posisi suatu titik dalam Sistem Koordinat
tersebut

Berdasarkan orientasi sumbunya, Sistem Referensi (koordinat) ini dibagi menjadi dua
jenis, yaitu:
1) Sistem terikat bumi (Conventional Terestrial System) sumbu-sumbunya ikut berotasi bersama
dengan bumi, umumnya digunakan untuk menyatakan posisi titik yang berada di bumi.
2) Sistem terikat langit (Conventional Inertial System) sumbu-sumbunya diikatkan kepada
benda-benda langit lain, umumnya digunakan untuk menyatakan posisi titik-titik dan objek-
objek angkasa (contoh: Sistem Satelit).
Datum Statik Didefinisikan ketika set (kumpulan) koordinat dari titik-titik bench mark jaring
Kerangka Koordinat, masing-masing memiliki satu nilai yang definitif dan bersifat tetap dalam
semua fungsi waktu. Datum Statik ini digunakan biasanya berdasarkan asumsi bumi yang
bersifat tetap, atau pengaruh dinamika bumi diasumsikan tidak akan mempengaruhi nilai
koordinat yang telah ditetapkan.
Datum Dinamik Didefinisikan ketika set (kumpulan) koordinat dari titik-titik bench mark
jaring Kerangka Koordinat, masing-masing memiliki nilai yang berubah-ubah dalam fungsi
waktu, mengikuti perubahan fisis bench mark akibat efek geodinamika dan deformasi. Penerapan
Datum Dinamik ini berdasarkan kenyataan bumi yang Benchmark (x,y,z) bersifat dinamis, yang
jelas akan mempengaruhi nilai koordinat yang ditetapkan.
Datum Semi Dinamik Didefinisikan ketika set (kumpulan) koordinat dari titik-titik bench
mark jaring Kerangka Koordinat, masing-masing memiliki satu nilai yang ditetapkan pada epoch
reference tertentu (freeze coordinates). Sebagai contoh kita tentukan epoch reference-nya ke 1
januari 2000 (epoch 2000.0). Dengan adanya epoch reference tersebut kita dapat mengadopsi
pengaruh geodinamika dan deformasi terhadap set (kumpulan) koordinat dengan pendekatan
Model Deformasi, yang disusun dari pemodelan geodinamika dan deformasi.
Sistem Referensi Geodesi di beberapa Negara terlihat cukup beragam. Namun secara umum
sistem yang dipilih mengadopsi atau menyesuaikan dengan Sistem Referensi Geodesi yang
bersifat global. Datum Koordinat yang dipilih di masing-masing negara terlihat menyesuaikan
dengan sistem dinamika bumi di masing-masing negara bersangkutan. Untuk daerah dynamic
region seperti New Zealand, Jepang, Turki, Papua New Guinea, South Korea, Israel terlihat
memilih Datum Koordinat Semi Dinamik. Sementara itu untuk daerah yang stabil secara
geodinamik, seperti Australia, Malaysia, Brunei terlihat memilih Datum Koordinat Statik.
Proses geodinamika dan deformasi akan secara jelas mempengaruhi pendefinisian Datum
Koordinat yang dibangun di wilayah Indonesia. Tugu atau bench mark yang dibangun di
lapangan sebagai bentuk realisasi kerangka secara fisik akan mengikuti efek geodinamika dan
deformasi. Sebagai konsekuensinya, nilai koordinat yang merepresentasikan tugu atau bench
mark akan terpengaruh dalam hal pendefinisian nilainya. Satu nilai koordinat tidak akan cukup
ketika efek geodinamika dan deformasi menyertainya. Dengan adanya perubahan fisik dari
bench mark, secara matematis maka nilai koordinat pun harus berubah, untuk menjaga
konsistensi posisi sebenarnya di lapangan.
Untuk menjamin adanya konsistensi dan standardisasi dari suatu koordinat, yang berlaku
untuk sistem lokal bahkan sampai global (dunia), maka perlu adanya suatu sistem yang
menyatakan koordinat. Sistem ini disebut Sistem Referensi Koordinat atau disebut juga Sistem
Referensi Geodesi, dengan unsur-unsur atau parameter penyusunnya berupa Sistem Referensi
dan Kerangka Referensi Koordinat pada sistem bumi statis, dan Sistem Referensi, Kerangka
Referensi Koordinat serta Datum Koordinat pada sistem bumi dinamis. Datum Koordinat
selanjutnya terbagi menjadi beberapa jenis yaitu Datum Statik, Semi Dinamik, Dinamik, Semi
Kinematik, dan Kinematik.
Datum geodetik merupakan himpunan parameter dan konstanta yang mengimplikasikan
hubungan (kedudukan dari orientasi spasial) elipsoid acuan terhadap bumi fisis atau geoid.
World Geodetic System (1984) (WGS84) harus digunakan sebagai dasar sistem referensi seluruh
dunia untuk peta laut hingga terdapat alternatif datum geodetik yang diadopsi oleh organisasi
internasional terkait untuk digunakan sebagai sistem referensi geodetik internasional untuk
pekerjaan kartografi baik di area darat maupun laut (IHO, 2017). ). Datum geodetik digunakan
sebagai referensi posisi horizontal dan posisi vertikal. Menurut IMO Safety of Navigation
Circular 213, datum horizontal adalah sistem referensi untuk menentukan posisi horizontal (x, y)
di permukaan bumi (IHO, 2017). Referensi vertikal pada peta adalah berdasarkan bidang
permukaan laut yang nilainya diperoleh dari pengamatan pasang surut air laut. Pada peta laut,
referensi tinggi yang digunakan adalah permukaan air rendah (chart datum) (IHO, 2006).
Suatu sistem koordinat titik di permukaan bumi posisinya ditentukan oleh pemotongan dua buah
garis lengkung bumi yaitu garis paralel (latitude) dan garis meridian (longitude) (Soendjojo &
Riqqi, 2017). Origin O sistem koordinat geodetik (datum geodetik) biasanya didefinisikan
berimpit dengan pusat massa bumi. (Prihandito, 2010).
Suatu sistem koordinat titik di permukaan bumi posisinya ditentukan oleh pemotongan dua
buah garis lengkung bumi yaitu garis paralel (latitude) dan garis meridian (longitude) (Soendjojo
& Riqqi, 2017). Origin O sistem koordinat geodetik (datum geodetik) biasanya didefinisikan
berimpit dengan pusat massa bumi. (Prihandito, 2010). Sistem koordinat titik di permukaan bumi
berbeda dengan sistem koordinat titik di peta. Pemindahan letak titik-titik pada permukaan bumi
ke bidang datar disebut proyeksi peta. Sistem proyeksi peta yang paling sering digunakan pada
peta laut adalah proyeksi Mercator karena mempunyai fitur navigasi yang berguna dimana garis
loxodromes atau rhumb digambarkan sebagai garis lurus, yaitu semua garis meridian
berpotongan pada sudut yang sama.
Laut Jawa merupakan salah satu laut di Indonesia dengan kepadatan lalu lintas pelayaran yang
tinggi sehingga perlu dilakukan pembaruan peta laut dengan kualitas data hidrografi yang lebih
baik untuk keamanan navigasi pelayaran. Data pembaruan untuk peta laut didapatkan dari proses
survei kelapangan dengan melakukan pengukuran secara langsung maupun BPI. Dari proses
survei, dihasilkan lembar lukis teliti yang dibuat dalam skala yang besar. Oleh karena itu pada
saat pembaruan dari peta laut perlu dilakukan generalisasi. Generalisasi pada peta laut
diantaranya sounding selection dan penyederhanaan simbol objek. Sounding selection
merupakan generalisasi dengan melakukan pemilihan titik kedalaman. Pada saat sounding
selection penting dalam menentukan titik kedalaman yang akan ditampilkan dimana kedalaman
yang ditampilkan harus selalu disertai nilai kedalaman terdangkal pada suatu area. Hal ini
berkaitan dengan tujuan dari pembuatan peta yaitu untuk keselamatan navigasi. Selain itu, juga
perlu diperhatikan tampilan dari peta laut agar tetap rapi dan informatif.
Setelah dilakukan proses pembaruan seperti digitasi, penambahan data dan informasi dan
validasi pada peta laut nomor 69 area Laut Jawa terdapat beberapa perubahan pada peta laut
terbaru tahun 2017 diantaranya perubahan nilai kedalaman, perubahan kontur dan perubahan lain
pada saat penambahan BPI .
Perubahan nilai dan penulisan kedalaman berdasarkan peraturan B 412.4 pada IHO S-4
dimana diperlukan untuk menarik perhatian pelaut pada fakta mengenai nilai kedalaman yang
dimasukkan tidak dapat diandalkan seperti dalam beberapa hal dikarenakan data berasal dari
survei lead line, kurangnya data sonar ataupun wilayah yang dicurigai seperti memiliki anomali
kedalaman maka nilai kedalaman harus dituliskan tegak.
Berdasarkan hasil kegiatan yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa saat ini
telah tersedia peta laut kertas Jawa bagian Tengah skala 1:500.000 edisi 10 tahun 2017. Produk
yang dihasilkan adalah peta laut edisi baru Jawa bagian Tengah dengan kualitas data hidrografi
yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan keamanan pelayaran navigasi pada Laut Jawa.
Perubahan pada pembaruan peta diantaranya perubahan nilai dan penulisan kedalaman dimana
penulisan nilai kedalamannya dalam bentuk tegak menjadi miring, perubahan garis kontur yang
memberikan informasi bahwa Laut Jawa telah mengalami pendangkalan dan terdapat
penambahan informasi objek yang diperoleh dari BPI nomor 11 sampai 29 tahun 2017 berupa
suar.
GPS atau Global Positioning System, merupakan sebuah alat atau suatu sistem navigasi yang
memanfaatkan satelit dan dapat digunakan untuk menginformasikan penggunanya dimana dia
berada (secara global) di permukaan bumi yang berbasiskan satelit. Survei GPS adalah sistem
untuk menentukan letak di permukaan bumi dengan bantuan penyelarasan (synchronization)
sinyal satelit. Sinyal ini diterima oleh alat penerima di permukaan, dan digunakan untuk
menentukan letak, kecepatan, arah, dan waktu. Sistem yang serupa dengan GPS antara lain
GLONASS Rusia, Galileo Uni Eropa, IRNSS India. Sistem GPS, yang nama aslinya adalah
NAVSTAR GPS (Navigation Satellite Timing and Ranging Global Positioning System). Pada
dasarnya GPS terdiri atas tiga segmen utama, yaitu segmen angkasa (space segment) yang
terutama terdiri dari satelit-satelit GPS, segmen sistem (control system segment) yang terdiri dari
stasiun-stasiun pemonitor dan pengontrol satelit, dan segmen pemakai (user segment) yang
terdiri dari pemakai GPS termasuk alat-alat penerima dan pengolah sinyal dan data GPS (Abidin,
2007).
SRGI adalah suatu terminologi modern yang sama dengan terminologi Datum Geodesi
Nasional (DGN) yang lebih dulu didefinisikan, yaitu suatu sistem koordinat nasional yang
konsisten dan kompatibel dengan sistem koordinat global. SRGI mempertimbangkan perubahan
koordinat berdasarkan fungsi waktu, karena adanya dinamika bumi. Secara spesifik, SRGI 2013
adalah sistem koordinat kartesian 3-dimensi (X, Y, Z) yang geosentrik. Implementasi praktis di
permukaan bumi dinyatakan dalam koordinat Geodetik lintang, bujur, tinggi, skala, gayaberat,
dan orientasinya beserta nilai laju kecepatan dalam koordinat planimetrik (toposentrik) termasuk
bagaimana nilai-nilai koordinat tersebut berubah terhadap waktu.
SRGI (Sistem Referensi Geospasial Indonesia) tunggal sangat diperlukan untuk mendukung
kebijakan Satu Peta (One Map) bagi Indonesia. Dengan satu peta maka semua pelaksanaan
pembangunan di Indonesia dapat berjalan serentak tanpa tumpang tindih kepentingan. Dalam
realisasinya sistem referensi geospasial ini dinyatakan dalam bentuk Jaring Kontrol Geodesi
Nasional dimana setiap titik kontrol geodesi akan memiliki nilai koordinat yang teliti baik nilai
koordinat horizontal, vertikal maupun gaya berat.
GAMIT merupakan program yang memasukkan algorithma hitung kuadrat terkecil dengan
parameter berbobot untuk mengestimasi posisi relatif dari sekumpulan stasiun, parameter orbit
dan rotasi bumi, zenith delay dan ambiguitas fase melalui pengamatan double difference.
Kelebihan dari perangkat lunak ini adalah bisa memasukkan data koreksi atmosfer, pasang surut
laut, dan pemodelan cuaca. Pembobotan stasiun pengamatan, tujuh informasi stasiun, koordinat
pendekatan, pengaturan sesi pengamatan dapat dilakukan dengan perangkat lunak ilmiah ini.
Hasil keluaran dari perangkat lunak GAMIT berupa estimasi dan matrik kovarian dari posisi
stasiun dan parameter orbit dan rotasi bumi yang kemudian dimasukkan pada GLOBK (Bahlevi,
2013 dalam Laksana, 2014).
GLOBK adalah satu paket program yang dapat mengkombinasikan hasil pemrosesan data
survei terestris ataupun data survei ekstra terestris. Kunci dari data input pada GLOBK adalah
matriks kovarian dari koordinat stasiun, parameter rotasi bumi, parameter orbit, dan koordinat
hasil pengamatan lapangan. Input file digunakan h-file dari hasil pengolahan dengan GAMIT
atau GIPSY atau Bernesse.
Berdasarkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Batas Daerah [Dept. Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah, 2001], pekerjaan penetapan dan penegasan batas daerah di laut akan mencakup
dua kegiatan utama yaitu :
1) Penetapan batas daerah secara kartometrik di peta, dan
2) Penegasan batas melalui survey di lapangan.
Berdasarkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Batas Daerah, peta dasar yang harus
digunakan dalam penetapan batas daerah di laut secara kartometrik adalah sebagai berikut :
a. Peta Laut dan peta Lingkungan Laut Nasional untuk batas propinsi, dan
b. Peta Laut dan peta Lingkungan Pantai Indonesia untuk batas daerah kabupaten dan kota.
Dalam hal ini peta dasar yang digunakan untuk memplot titik-titik batas wilayah daerah laut
secara kartometrik sebaiknya mempunyai sistem yang sama untuk seluruh wilayah Indonesia.
Penggunaan peta dasar yang sistemnya berbeda-beda oleh setiap daerah akan sangat
memungkinkan timbulnya konflik batas antara daerah-daerah yang berbatasan.
Proses penetapan dan penegasan batas di laut, hanya titik-titik acuan (reference points)
yang direpresentasikan di daerah pantai dengan suatu pilar atau tugu. Titik-titik lainnya seperti
titik awal dan titik batas, adalah titik-titik yang digambarkan pada peta batas dan koordinatnya
dibaca secara kartometrik dan dicantumkan pada peta batas. Karena tidak memungkinkan, di
lapangan titik-titik ini tidak ditandai dengan pilar atau tugu, dan oleh sebab itu dinamakan
titiktitik koordinat. Dalam RPP Batas Daerah disebutkan bahwa penentuan koordinat titik acuan
dilakukan menggunakan sistem satelit navigasi GPS (Global Positioning System) [Abidin, 2000],
relatif terhadap jaring titik geodesi nasional. Rancangan peraturan pemerintah ini tidak
menspesifikasikan secara khusus metode dan strategi penentuan posisi dengan GPS yang harus
diterapkan dalam penentuan koordinat pilar acuan beserta ketiga pilar bantunya. Ketelitian
koordinat titik acuan yang harus dicapai pun tidak dispesifikasikan. Metode penentuan posisi
yang perlu diterapkan dalam penentuan koordinat titik acuan adalah metode survei GPS [Abidin
et al., 1995], yaitu metode statik diferensial menggunakan data fase yang pengolahan datanya
dilakukan secara post-processing.
Proses penetapan dan penegasan batas di laut, tahap pengukuran batas adalah tahap
penentuan titik-titik batas di atas peta, berdasarkan titik-titik awal dan garis-garis dasar yang
telah dipilih, serta pembacaan koordinat titik-titik batas tersebut secara kartometrik. Dalam hal
ini RPP Batas Daerah telah menjelaskan secara cukup rinci tata cara penetapan titik batas dan
penarikan garis batas untuk beberapa kondisi berbeda yang mungkin ditemui di lapangan.
Terkait dengan penentuan koordinat titik-titik batas sebaiknya koordinat definitif dari titik-titik
batas tidak dibaca dari peta secara kartometrik. Penentuan koordinat titik-titik awal dapat
dilakukan secara kartometrik. Sedangkan koordinat titik-titik batas sebaiknya dihitung dengan
prinsip-prinsip perhitungan geodetik berdasarkan koordinat titik-titik awal serta tata cara
penetapan batas yang telah ditetapkan seperti prinsip sama jarak (equidistance) dan prinsip garis
tengah (median line) (Djunarsjah, 2001). Untuk itu sebaiknya disiapkan suatu perangkat lunak
perhitungan titik batas dan penetapan gaatris bas yang berbasiskan pada windows programming,
sehingga dapat digunakan secara mudah oleh para operator di tingkat kabupaten dan kota di
daerah-daerah. Dalam hal ini koordinat titik-titik batas daerah di laut (maupun di darat)
sebaiknya diberikan dalam bentuk koordinat geodetic (lintang, bujur) dan juga koordinat UTM
(Easting, Northing) yang mengacu pada datum geodetik yang digunakan secara nasional, yaitu
Datum Geodetik Nasional 1995 (DGN 1995) yang menggunakan ellipsoid referensi WGS
(World Geodetic System) 1984.
Secara prinsipil RPP Batas Daerah telah memberikan standarisasi serta spesifikasi teknis
yang cukup baik dalam penetapan dan penegasan batas daerah di laut. Pekerjaan penetapan dan
penegasan batas daerah di laut mencakup penetapan batas dari aspek yuridis, pengukuran
koordinat batas di lapangan, dan pemetaan kawasan perbatasan di atas peta ataupun di atas basis
data digital. Kenyataan telah membuktikan bahwa penegasan batas wilayah masih jauh dari
memadai. Salah satu kendala yang dihadapi adalah teknologi. Untuk itu sangat diperlukan
campur tangan dari pihak yang berkompeten di bidangnya.
Aspek-aspek Geodetik dalam Hukum Laut sesuai UNCLOS III termuat dalam bagian 11,
bab 2, pasal 5, 6, 7, 9, 10, 13, 14, dan 16 ; bagian IV, pasal 47 ; bagian V, pasal 75. Berdasarkan
pasal-pasal yang termuat dalam UNCLOS III, aspek-aspek Geodetik tersebut adalah (Mira et al,
1992):
1. Garis dasar (baseline),
2. Tinggi pasut (pasang surut) rendah (low tide elevation),
3. Garis air rendah (low water line),
4. Koordinat geografi (geographic coordinat),
5. Datum geodesi (geodetic datum),
6. Peta dan chart (map dan chart).
Menurut Rais (2000), peta adalah abstraksi bentuk grafik dunia nyata pada selembar kertas,
disajikan dalam tanda-tanda (titik, garis, dan luasan), warna-warna, simbol-simbol, dan
diskalakan. Peta juga merupakan proyeksi matematik dari dunia nyata ke bidang (dunia maya)
yang diskalakan. Adapun chart adalah peta tematik (peta dengan tema tertentu) yang dibuat
khusus untuk keperluan navigasi (pelayaran).
Koordinat geografi adalah parameter sudut lintang dan bujur yang mendefinisikan posisi
titik pada permukaan bumi (IHO, 1993). Posisi titik dipermukaan bumi (lintang dan bujur)
ditentukan berdasar apa yang disebut datum geodesi, yaitu suatu bidang referensi geodetik dalam
hubungannya dengan geoid dan sistem referensi astronomi. Sesuai dengan UNCLOS III (IHO,
1993), titik-titik dasar garis pantai, titik-titik dasar batas teritorial dan titik-titik dasar ZEE harus
dilaporkan koordinatnya. Koordinat-koordinat tersebut berupa daftar koordinat lintang (L) dan
bujur (B) dalam sistem tertentu untuk Indonesia berdasarkan referensi Speroid Nasional
Indonesia (SNI) yang merupakan adopsi dari GRS 1967. Penentuan referensi ini sudah barang
tentu berdasarkan datum Indonesia, begitu pula peta dan chart yang memuat wilayah Indonesia
dengan laut teritorial dan ZEE dibuat berdasarkan sistem referensi dan sistem proyeksi yang
berlaku di Indonesia. Untuk peta lingkungan laut Bakosurtanal sudah menerbitkan Peta
Lingkungan Laut Indonesia yang memuat batas laut teritorial dan ZEE.
Daftar pustaka
Abidin, H.Z. (2000). Penentuan Posisi Dengan GPS dan Aplikasinya. P.T. Pradnya Paramita,
Jakarta. Edisi ke 2. ISBN 979-408-377-1. 268 pp.
Abidin, H.Z. (2001). Geodesi Satelit. P.T. Pradnya Paramita, Jakarta. Edisi pertama. ISBN 979-
408-462-X.
Abidin, H.Z. 2001. GEO-INFORMATIKA Vol. 8 No. 2-3, Beberapa Pemikiran Tentang
Penetapan dan Penegasan Batas di Laut.
Abidin, H.Z. 2007. Penentuan Posisi dengan GPS dan Aplikasinya, Cetakan Ketiga. Jakarta .PT.
Pradnya Paramita.
Andreas, Heri,. Sarsito, A, Dina, Meilano, Irwan. 2013. Tinjauan Sistem Referensi Geodesi Di
Beberapa Negara. Bandung : Institut Teknologi Bandung.
Djunarsjah, E. 2001. Catatan Kuliah: Aspek Teknik Hukum Laut. Bandung: ITB.
IHO (International Hydrographic Organization), 1993. A Mannual on Techical Aspects of the
United Nations Convention on Law of the Sea – 1982. International Hydrographic Bureau,
Monaco.
IHO. (2006). A Manual on Technical Aspects of The United Nations Convention on The Law of
The Sea. IHO Publication C-51, International Hydrographic Bureau, Monaco.
IHO. (2017). Regulations for International (INT) Charts and Chart Specifications of the IHO.
IHO Publication S-4, International Hydrographic Bureau, Monaco.
Laksana, Indra. 2014. Penentuan Posisi Stasiun GNSS CORS Undip Pada Tahun 2013 dan 2014
Menggunakan Software Gamit. Skripsi. Program Studi Teknik Geodesi Universitas
Diponegoro, Semarang.
Mira, S., W.N. Sulasdi dan S.B. Hasan, 1992. Problem Areas of the Geodetic Aspect of the Law
of the Sea Related to the Indonesian Archipelagic State. Dalam: Geodetic Aspect of the
Law of the Sea. Agency for Surveys and Mapping - Indonesian Surveyors Association,
June. Denpasar, Indonesia.
Prihandito, A. (2010). Proyeksi Peta. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Rais, J. 2000. Slide Kuliah SPL 64I: Inventarisasi dan Evaluasi Sumber Daya Alam. Program
Studi SPL IPB. Bogor, Indonesia.
Soendjojo, H., dan Riqqi, A. (2017). Kartografi. Penerbit ITB, Bandung, Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai