Anda di halaman 1dari 24

Morfologi

Bagian dari tata bahasa yang membicarakan bentuk kata disebut morfologi. Pengertian tentang
bentuk belum jelas bila kita belum mengetahui lebih lanjut tentang wujudnya dan apa yang
menjadi ciri-cirinya.

Semua arus-ujaran yang sampai ke telinga kita terdengar sebagai suatu rangkaian kesatuan. Bila
kita berusaha memotong-motong suatu arus-ujaran yang sederhana seperti:

/pekerjaanmerekamemuaskan/

maka potongan-potongan (segmen) yang akan kita dapat yaitu potongan-potongan yang
merupakan kesatuan yang langsung membina kalimat itu adalah: pekerjaan, mereka dan
memuaskan . Unsur mereka di satu pihak tidak dapat dipecahkan lagi, sedangkan unsur
pekerjaan dan memuaskan masih dapat dipecahkan lagi menjadi: kerja dan pe-an , serta puas
dan me-kan.

Unsur-unsur kerja dan puas dapat pula dengan langsung membentuk kalimat seperti tampak
dalam contoh berikut:

•  Kerja itu belum selesai

•  Saya belum puas

Sebaliknya unsur-unsur pe-an dan me-kan tidak bisa langsung membentuk sebuah kalimat.
Unsur-unsur ini juga tidak bisa berdiri sendiri, selalu harus diikatkan kepada unsur-unsur lain
seperti puas, kerja, dan lain-lain. Untuk ikut serta dalam membentuk sebuah kalimat, unsur-
unsur pe-an dan me-kan pertama-tama harus digabungkan dengan unsur puas dan kerja.

A. Morfem

Kedua macam unsur itu, baik kerja dan puas , maupun pe-an dan me-kan mempunyai suatu
fungsi yang sama yaitu membentuk kata. Unsur pembentuk itu, baik yang bebas ( kerja dan puas
) maupun yang terikat ( pe-an dan me-kan ) dalam tata bahasa disebut morfem (dari kata morphe
= bentuk, akhiran ema = yang mengandung arti). Jadi dalam bahasa Indonesia kita dapati dua
macam morfem yaitu:

a. Morfem dasar atau morfem bebas , seperti: kerja, puas, bapak, kayu, rumah, tidur, bangun,
sakit, pendek, dan lain-lain.

b. Morfem terikat , seperti: pe-, -an, pe-an, ter-, ber-, me-, dan lain-lain.

Dalam tata bahasa Indonesia morfem dasar atau morfem bebas itu disebut kata dasar ,
sedangkan morfem terikat disebut imbuhan.
Batasan: Morfem adalah kesatuan yang ikut serta dalam pembentukan kata dan yang dapat
dibedakan artinya.

B. Alomorf

Dalam merealisasikan morfem-morfem tersebut, pada suatu ketika kita sampai kepada suatu
kenyataan bahwa morfem-morfem itu dapat juga mengalami variasi atau perubahan bentuk.
Misalnya morfem ber- dalam bahasa Indonesia dalam realisasinya dapat mengambil bermacam-
macam bentuk:

ber- be- bel-


berlayar bekerja belajar
bersatu berambut
bergirang beruang
berdiri berakit dan lain-lain.

Perubahan bentuk ber- menjadi be- atau bel- disebabkan oleh lingkungan yang dimasukinya.
Bila ber- memasuki suatu lingkungan kata yang mengandung fonem /r/ dalam suku kata pertama,
maka fonem /r/ dalam morfem ber- itu ditanggalkan. Dalam suatu kesempatan unsur /r/ itu
berubah menjadi /l/. Bentuk-bentuk variasi dari pada morfem itu disebut alomorf .

Batasan: Alomorf adalah variasi bentuk dari suatu morfem disebabkan oleh pengaruh
lingkungan yang dimasukinya.

Dalam Morfologi atau Ilmu Bentuk Kata dibicarakan bagaimana hubungan antara morfem
dengan morfem, antara morfem dengan alomorf, serta bagaimana pula menggabungkan morfem-
morfem itu untuk membentuk suatu kata.

C) Morfem Terikat

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, morfem dapat dibagi atas dua macam yaitu morfem
terikat dan morfem bebas. Morfem terikat dalam tata bahasa Indonesia dapat dibagi lagi atas
empat macam berdasarkan tempat terikatnya pada sebuah morfem dasar:

1. Prefiks (= awalan) : per-, me-, ter-, di-, dan lain-lain.


2. Infiks (= sisipan) : -el, -er, -em,
3. Sufiks (= akhiran) : -an, -kan, -i.
4. Konfiks : gabungan dari dua atau lebih dari ketiga macam morfem di atas yang bersama-
sama membentuk suatu kesatuan arti.

Morfem terikat dapat dibeda-bedakan lagi menurut fungsinya, ada yang berfungsi untuk
membentuk kata kerja, ada yang bertugas untuk membentuk kata benda, ada pula yang
digunakan untuk membentuk kata sifat. Pembagian yang kompleks adalah pembagian yang
didasarkan atas arti yang didukungnya. Tetapi arti yang didukungnya itu pun belum mutlak,
masih merupakan suatu kemungkinan; arti yang tepat harus selalu ditinjau dari suatu konteks.
D) Morfem Bebas dan Kata

Suatu morfem bebas telah dapat disebut sebagai kata. Sebaliknya konsep tentang kata tidak
hanya meliputi morfem bebas, tetapi juga meliputi semua bentuk gabungan antara morfem
terikat dengan morfem bebas, atau morfem dasar dengan morfem dasar. Berarti konsep kata, atau
tegasnya kata berdasarkan bentuknya dapat kita bagi atas:

1. Kata dasar
2. Kata berimbuhan, yang dapat dibagi lagi atas:
1. Kata yang berawalan (ber-prefiks).
2. Kata yang bersisipan (ber-infiks).
3. Kata yang berakhiran (ber-sufiks).
4. Kata yang berkonfiks.
3. Kata ulang
4. Kata majemuk

Baik kata dasar maupun kata-kata jadian (kata berimbuhan, berulang, dan majemuk), walaupun
di satu pihak terdapat perbedaan dalam morfologinya tetapi di pihak lain ada kesamaan dalam
fungsi dan dalam bidang arti. Fungsi dari segala macam bentuk kata ini adalah secara langsung
dapat membina sebuah kalimat. Sedangkan dalam bidang arti tiap-tiapnya mengandung suatu ide
tertentu. Ide yang terkandung dalam kata kerja lain dari pada ide yang ditimbulkan oleh kata
pekerjaan , dan keduanya lain dari pada ide yang terkandung dalam kata bekerja, mengerjakan,
dan dikerjakan. Masing-masing mewakili ide yang berlainan.

Batasan: Kesatuan-kesatuan yang terkecil yang diperoleh sesudah sebuah kalimat dibagi atas
bagian-bagiannya, dan mengandung suatu ide disebut kata.

Analisa Kata

Karena kata itu dapat mengambil bermacam-macam bentuk oleh penggabungan antar morfem,
maka secara teoritis kata dapat pula diuraikan menurut urutan peristiwa terjadinya. Unsur-unsur
yang tergabung menjadi satu kata, tidak dapat bergabung begitu saja tetapi selalu mengikuti
suatu tata-tingkat yang tertentu dan teratur.

Marilah kita mulai mengambil suatu contoh yang sederhana: petani. Kita semua akan sepakat
bahwa kata itu dibentuk dari dua unsur yaitu pe dan tani. Tidak ada yang akan menyangkal
kenyataan ini.

Marilah kita mengambil contoh yang lain: perbuatan. Dengan contoh ini akan timbul beberapa
pendapat. Mungkin ada yang akan berpendapat bahwa perbuatan terjadi dari 3 unsur yaitu per-,
buat dan –an.

Kata perbuatan mengandung suatu ide yang lain sekali dari kata perbuat atau buatan. Berarti
masing-masing unsur per- dan –an dalam kedua kata tersebut juga mempunyai suatu tugas yang
khusus dalam membentuk arti. Sedangkan arti unsur-unsur per- dan –an dalam perbuatan
bukanlah gabungan dari kedua unsur itu, tetapi keduanya bersama-sama membentuk suatu arti
yang lain. Jadi, kedua bentuk itu, yang mempunyai kesatuan arti, pada suatu saat bergabung
dengan kata buat. Sebab itu dapatlah ditegaskan di sini bahwa kata perbuatan terbentuk dari dua
unsur yaitu buat dan konfiks pe-an.

Analisa semacam ini, yang dilakukan atas kata disebut analisa unsur bawahan terdekat. Dengan
analisa ini kita mencari unsur-unsur yang langsung membentuk kata-kata seperti petani,
perbuatan, dan lain-lain. Menurut tata-tingkat pembentukan, setiap unsur yang baru harus selalu
terdiri dari dua unsur yang lebih kecil. Tiap-tiap unsur yang langsung membentuk kata itu
disebut unsur bawahan terdekat.

Contoh: petani: unsur bawahan terdekatnya adalah pe- dan tani.

perbuatan: unsur bawahan terdekatnya adalah buat dan per-an.

A. Analisa Unsur

Dengan dasar-dasar pengertian tersebut kita menerapkan lagi analisa di atas, dengan unsur-unsur
yang lebih sulit, misalnya: menerangkan.

Kata dasar menerangkan adalah terang. Kini kita meneliti unsur manakah yang mula-mula
bergabung dengan terang. Apakah unsur-unsur me-kan bergabung begitu saja dengan terang?
Jika demikian dari manakah datangnya unsur n itu? Akan kita lihat nanti bahwa pembentukan
kata menerangkan terjadi tahap demi tahap.

Tahap I: Kata terang mula-mula bergabung dengan unsur –kan, sehingga terbentuklah kata
terangkan.

Tahap II: Apakah terangkan lalu bergabung dengan me- atau harus ada tahap-antara dahulu?
Andaikata terangkan digabung dengan me- maka kita akan mendapat *meterangkan. Sedangkan
kata yang hendak kita analis adalah menerangkan. Tahap II yang harus kita lalui adalah fonem t
mendapat proses nasalisasi (penyengauan) menjadi n.

Jadi Tahap II adalah: N (nasalisasi) + terangkan, hasilnya adalah *nerangkan.

Tahap III: Baru pada akhirnya kita menggabungkan me- dengan *nerangkan sehingga
terbentuklah kata menerangkan.

Jadi:

1. Unsur bawahan terdekat dari menerangkan adalah me- dan *nerangkan.


2. Unsur bawahan terdekat dari nerangkan adalah N (nasalisasi) dan terangkan.
3. Unsur bawahan terdekat dari terangkan adalah terang dsn –kan.

Inilah teknik dimana kita dapat menunjukkan secara teoritis terbentuknya sebuah kata dan tata-
tingkat unsur-unsur pembentukan suatu kata. Teknik ini akan kembali dibicarakan bila kita
membahas Sintaksis Bahasa Indonesia.
Tahap II seperti yang telah dituliskan di atas, dimana suatu fonem mendapat nasal, bukanlah
suatu hal yang baru dalam bahasa-bahasa Nusantara. Dalam dialek Jakarta misalanya, proses
nasalisasi ini masih sangat produktif untuk pembentukan kata kerja, seperti kopi-ngopi, kapur-
ngapur, surat-nyurat dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa pada jaman lampau nasalisasi
ini juga produktif untuk pembentukan kata kerja. Namun lambat laun mulai berkurang, dan
diambil alih oleh prefiks me-. Tetapi dalam pembentukan kata kerja, prefiks me- masih
membutuhkan nasalisasi, yang terjadi secara otomatis. Walaupun nasalisasi ini pada
kenyataannya sekarang selalu serempak terjadi dengan me- , dalam analisa kita harus memberi
tempat yang layak padanya agar kita bisa mengenal struktur tata-tingkat unsur-unsur itu sebaik-
baiknya.

* bentuk-bentuk yang bertanda bintang adalah bentuk hipotetis.

B) Nasalisasi

Nasalisasi adalah proses merubah atau memberi nasal pada fonem-fonem. Di atas telah
diterangkan bagaimana terjadinya nasal atas kata terang. Dalam menasalkan suatu fonem, orang
tidak berbuat sesuka hati tetapi harus mengikuti kaidah-kaidah tertentu.setiap fonem yang
dinasalkan haruslah mengambil nasal yang homorgan. Artinya nasal yang mempunyai artikulator
dan titik artikulasi yang sama seperti fonem yang dinasalkan itu.

Jadi: p dan b harus mengambil nasal m (karena sama-sama bilabial).

t dan d harus mengambil nasal n (karena sama-sama dental).


k dan g harus mengambil nasal ng (karena sama-sama velar) dan
sebagainya.

Dalam proses nasalisasi tersebut tampak pula bahwa: b, d, g, j, tidak pernah hilang bila
mengalami nasalisasi, sedangkan p, t, k, s hilang atau luluh. Hal ini terjadi karena b, d, g itu
adalah konsonan bersuara, sama seperti konsonan nasal itu. Jadi tidak perlu diadakan
penyesuaian lagi karena sifat fonem itu sama (bersuara). Sebaliknya, p, t, k, s adalah konsonan
yang tak bersuara yang harus disesuaikan dengan fonem nasal yang bersuara. Dalam
penyesuaian ini konsonan-konsonan yang tak bersuara itu mengalami peluluhan. Kecuali itu
fonem-fonem /r/, /y/, /l/, /w/ tampaknya tidak mendapat nasal, misalnya: merajai, meyakinkan,
mewarnai, melakukan dan sebagainya. Namun prinsip yang kita ambil adalah pembentukan
dengan prefiks me- harus melalui proses nasalisasi, maka kata-kata yang fonem awalnya adalah
r, y, l, w, juga harus mengalami proses nasalisasi. Nasalisasi semacam ini dikenal dengan istilah
zero (tidak ada).

Ada persoalan lain yang timbul dalam nasalisasi. Mengapa kadang-kadang kita mendapat
bentuk-bentuk kembar seperti: menertawakan dan mentertawakan?

Untuk menjawab persoalan di atas, baiknya kita melihat bentuk-bentuk seperti:


mempertahankan, memperbaiki, mempersatukan dan sebagainya. Fonem /p/ di sini tidak
diluluhkan, walaupun /p/ adalah konsonan tak bersuara. Sebaliknya bentuk-bentuk seperti
mengeluarkan, mengemukakan, mengetengahkan mengalami peluluhan pada fonem awalnya: /k/.
Selanjutnya kata-kata asing seperti sabot, koordinir, dan lain-lain tetap mempertahankan
konsonan awalnya walaupun konsonan itu tak bersuara.

Jawaban dari semua persoalan di atas ialah pada prinsipnya peluluhan berlaku pada kata-kata
dasar, bukan pada afiks (imbuhan). Kata tertawa oleh sebagian orang dianggap atau dirasakan
terdiri dari prefiks ter- dan kata dasar tawa. Oleh karena itu dibentuklah kata jadian
mentertawakan. Sebagian lagi menganggap tertawa adalah kata dasar karena itu fonem /t/
diluluhkan sehingga terdapat bentuk menertawakan. Kata keluar juga dianggap sebagai satu kata
dasar, karena itu dibentuk kata turunan mengeluarkan. Sedangkan bentuk-bentuk seperti
mengetengahkan, mengemukakan dibentuk secara analogi mengikuti bentuk mengeluarkan.

Sebaliknya, kata-kata asing yang terasa tidak familiar tetap mempertahankan konsonan-konsonan
tak bersuara untuk menjaga jangan sampai menimbulkan kesalahpahaman.

Ringkasnya, nasalisasi harus memenuhi ketentuan-ketentuan berikut:

1. Nasalisasi berlangsung atas dasar homogen.


2. Dalam nasalisasi konsonan bersuara tidak luluh, konsonan tak bersuara diluluhkan.
3. Nasalisasi hanya berlangsung pada kata-kata dasar, atau yang dianggap kata dasar.
4. Fonem-fonem y, r, l, dan w dianggap mengalami proses nasalisasi juga tetapi nasalisasi
yang zero.

Catatan: Kata-kata yang mulai dengan vokal dan fonem /h/ mengambil nasal ng. Hal ini tidak
menyalahi prinsip homorgan, karena alat-alat ucap yang menghasilkan buyi-bunyi ujaran itu
berada dalam rongga laring dan faring. Untuk itu ia harus mencari nasal yang terdekat, yaitu ng.

B) Nasalisasi

Nasalisasi adalah proses merubah atau memberi nasal pada fonem-fonem. Di atas telah
diterangkan bagaimana terjadinya nasal atas kata terang. Dalam menasalkan suatu fonem, orang
tidak berbuat sesuka hati tetapi harus mengikuti kaidah-kaidah tertentu.setiap fonem yang
dinasalkan haruslah mengambil nasal yang homorgan. Artinya nasal yang mempunyai artikulator
dan titik artikulasi yang sama seperti fonem yang dinasalkan itu.

Jadi: p dan b harus mengambil nasal m (karena sama-sama bilabial).

t dan d harus mengambil nasal n (karena sama-sama dental).


k dan g harus mengambil nasal ng (karena sama-sama velar) dan
sebagainya.

Dalam proses nasalisasi tersebut tampak pula bahwa: b, d, g, j, tidak pernah hilang bila
mengalami nasalisasi, sedangkan p, t, k, s hilang atau luluh. Hal ini terjadi karena b, d, g itu
adalah konsonan bersuara, sama seperti konsonan nasal itu. Jadi tidak perlu diadakan
penyesuaian lagi karena sifat fonem itu sama (bersuara). Sebaliknya, p, t, k, s adalah konsonan
yang tak bersuara yang harus disesuaikan dengan fonem nasal yang bersuara. Dalam
penyesuaian ini konsonan-konsonan yang tak bersuara itu mengalami peluluhan. Kecuali itu
fonem-fonem /r/, /y/, /l/, /w/ tampaknya tidak mendapat nasal, misalnya: merajai, meyakinkan,
mewarnai, melakukan dan sebagainya. Namun prinsip yang kita ambil adalah pembentukan
dengan prefiks me- harus melalui proses nasalisasi, maka kata-kata yang fonem awalnya adalah
r, y, l, w, juga harus mengalami proses nasalisasi. Nasalisasi semacam ini dikenal dengan istilah
zero (tidak ada).

Ada persoalan lain yang timbul dalam nasalisasi. Mengapa kadang-kadang kita mendapat
bentuk-bentuk kembar seperti: menertawakan dan mentertawakan?

Untuk menjawab persoalan di atas, baiknya kita melihat bentuk-bentuk seperti:


mempertahankan, memperbaiki, mempersatukan dan sebagainya. Fonem /p/ di sini tidak
diluluhkan, walaupun /p/ adalah konsonan tak bersuara. Sebaliknya bentuk-bentuk seperti
mengeluarkan, mengemukakan, mengetengahkan mengalami peluluhan pada fonem awalnya: /k/.
Selanjutnya kata-kata asing seperti sabot, koordinir, dan lain-lain tetap mempertahankan
konsonan awalnya walaupun konsonan itu tak bersuara.

Jawaban dari semua persoalan di atas ialah pada prinsipnya peluluhan berlaku pada kata-kata
dasar, bukan pada afiks (imbuhan). Kata tertawa oleh sebagian orang dianggap atau dirasakan
terdiri dari prefiks ter- dan kata dasar tawa. Oleh karena itu dibentuklah kata jadian
mentertawakan. Sebagian lagi menganggap tertawa adalah kata dasar karena itu fonem /t/
diluluhkan sehingga terdapat bentuk menertawakan. Kata keluar juga dianggap sebagai satu kata
dasar, karena itu dibentuk kata turunan mengeluarkan. Sedangkan bentuk-bentuk seperti
mengetengahkan, mengemukakan dibentuk secara analogi mengikuti bentuk mengeluarkan.

Sebaliknya, kata-kata asing yang terasa tidak familiar tetap mempertahankan konsonan-konsonan
tak bersuara untuk menjaga jangan sampai menimbulkan kesalahpahaman.

Ringkasnya, nasalisasi harus memenuhi ketentuan-ketentuan berikut:

1. Nasalisasi berlangsung atas dasar homogen.


2. Dalam nasalisasi konsonan bersuara tidak luluh, konsonan tak bersuara diluluhkan.
3. Nasalisasi hanya berlangsung pada kata-kata dasar, atau yang dianggap kata dasar.
4. Fonem-fonem y, r, l, dan w dianggap mengalami proses nasalisasi juga tetapi nasalisasi
yang zero.

Catatan: Kata-kata yang mulai dengan vokal dan fonem /h/ mengambil nasal ng. Hal ini tidak
menyalahi prinsip homorgan, karena alat-alat ucap yang menghasilkan buyi-bunyi ujaran itu
berada dalam rongga laring dan faring. Untuk itu ia harus mencari nasal yang terdekat, yaitu ng.
Kata Dasar

Umumnya kata dasar dalam bahasa Indonesia, dan juga semua bahasa yang serumpun dengan
bahasa Indonesia, terjadi dari dua suku kata; misalnya: rumah, lari, nasi, padi, pikul, jalan, tidur
dan sebagainya. Seorang ahli bahasa Jerman, Otto von Dempwolff, dalam penelitiannya tentang
bahasa Indonesia telah menetapkan dua macam pola susunan kata dasar dalam bahasa Indonesia.
Pola itu disebutnya Pola Kanonik atau Pola Wajib , yaitu:

1. Pola Kanonik I: K-V-K-V, maksudnya tata susun bunyi yang membentuk suatu kata
dasar terdiri dari: Konsonan-Vokal-Konsonan-Vokal, misalnya: padi, lari, paku, tiga,
dada, dan sebagainya.
2. Pola Kanonik II: K-V-K-V-K, maksudnya di samping Pola Kanonik I kata-kata dasar
Indonesia dapat juga tersusun dari Konsonan-Vokal-Konsonan-Vokal-Konsonan,
misalnya: rumah, tanah, batang, sayap, larang, dan lain-lain.

Kita tidak menyangkal akan apa yang telah dikemukakan oleh von Dempwolff. Tetapi, andaikata
kita menerima secara mutlak Pola Kanoniknya itu sebagai dasar yang absolut, maka bagaimana
kita harus menerapkan kata-kata seperti tendang, banting, panggil, aku, api, anak, dan lain-lain?
Berarti kita sekurang-kurangnya menambahkan beberapa macam rumus lagi agar bisa
menampung semua kata dasar yang terdapat dalam bahasa Indonesia, misalnya: K-V-K-K-V-K,
V-K-V-K, V-K-V. Dan semua rumus ini sekurang-kurangnya baru mengenai kata-kata dasar.
Jika kita membahas kata-kata pada umumnya, tentu akan lebih banyak lagi.

Oleh karena itu kita mengambil suatu dasar lain yang lebih sempit yaitu berdasarkan suku kata (
silaba ). Bila kita berusaha untuk memecah-mecahkan kata dasar bahasa Indonesia menjadi
sukukata-sukukata, maka kta akan sampai kepada satu kesimpulan bahwa ada tiga macam
struktur sukukata dalam bahasa Indonesia yaitu: V, V-K, K-V , dan K-V-K . Dengan demikian
kata-kata dasar dalam bahasa Indonesia dibentuk dari kemungkinan-kemungkinan gabungan dari
ketiga jenis silaba itu, misalnya:

ru - mah (K-V + K-V-K)


ka - ta (K-V + K-V)
a - pa (V + K-V)
lem - but (K-V-K + K-V-K)
na - ik (K-V + V-K)
a - ir (V + V-K) dan lain-lain.

A. Akar Kata

Jika kita memperhatikan lagi dengan cermat akan bentuk-bentuk kata dasar, tampaklah bahwa
ada banyak kata yang memiliki bagian yang sama. Seorang ahli bahasa dari Austria bernama
Renward Brandsetter telah mencurahkan minatnya sepenuhnya dalam hal ini. Ia akhirnya sampai
pada kesimpulan bahwa kata-kata dasar dalam bahasa Indonesia dalam sejarah pertumbuhannya,
pernah terbentuk dari suatu unsur yang lebih kecil yang disebut akar kata . Kata-kata seperti
bukit, rakit, bangkit, ungkit, dan lain-lain dapat dipulangkan kepada suatu unsur dasar yaitu vkit.

Dengan demikian dalam bahasa Indonesia kita mendapat bermacam-macam akar kata seperti:
vtun : tuntun, santun, pantun.
vtas : batas, atas, pentas, petas, retas , dan lain-lain. .
vlut : kalut, balut, salu, belut, dan lain-lain.
vlit : lilit, kulit, sulit, belit, dan lain-lain.

B. Arti Akar Kata

Pada umunya kita masih bisa mencari dan menemukan arti dari akar kata-kata dalam bahasa
Indonesia. Tetapi sering juga kita terbentur dengan adanya kata-kata yang menganndung akar
kata yang sama tetapi tidak terdapat kemiripan arti, misalnya:

v lut mengandung arti : menggulung, melibat;


Karo : ulut = menggulung
Melayu : bulut = bungkus dengan cepat

Tetapi apa arti akar kata Ilut yang terdapat dalam kata-kata seperti:

kalut = pikiran yang kacau


belut = sejenis binatang air?

Persoalan di atas tidak perlu memusingkan kita, bila kita ingat bahwa dalam bahasa Indonesia
sekarang pun terdapat homonim-homonim, di mana bentuk kata-kata itu sama tetapi tidak ada
kemiripan arti, misalnya:

Bisa = dapat, sanggup.


Bisa = racun.

Jadi dalam masa purba pun tentu terdapat homonim-homonim pada akar kata. Hanya kita
menghadapi kesulitan sekarang, sebab tidak dapat mencari arti yang tepat lagi atau kadang gagal
sama sekali. Seandainya akar-akar kata itu masih produktif dipakai dalam pembentukan baik
pembentukan kat maupun pembentukan macam lainnya, maka akan lebih mudah untuk mencari
artinya. Lain halnya dengan kata-kata yang homonim dalam bahasa Indonesia sekarang; kita
dapat menemukan artinya dengan mudah karena kita bisa mendapat kata-kata itu dalam suatu
konteks. Dengan demikian kita dapat menafsirkan artinya berdasarkan hubungannya dalam
konteks tertentu.

C. Pembentukan Kata Dasar

Dari bermacam-macam akar kata itu dapat dibentuk kata-kata dasar seperti yang ada sekarang
dalam bahasa Indonesia. Pembentukan kata dasar tersebut dilakukan dengan berbagai cara:

a. Reduplikasi akar kata: gak + gak > gagak

lit + lit > lilit


tun + tun > tuntun, dan lain-lain.

b. Mendapat formatif (pembentuk) awalan: a-, i-, u-, ka-, sa-, ta-
ka + bur > kabur
se + bar > sebar
a + lir > alir

c. Mendapat formatif sisipan er, el, um, dan in:

king + er > kering


kan + um > kuman

d. Mendapat formatif akhiran: -an, -en, -n, dan -i

e. Penggabungan antar akar kata:

ruk + sak > rusak (ruk = merusak, sak = membinasakan)

f. Ada pula kata dasar yang hany terdiri dari satu akar kata. Dalam hal ini kita dapati kata-kata
dasar yang menyatakan:

1. 1. Interjeksi: ah, hai, dan lain-lain.


2. 2. Onomatope: sar, sir, sur, sis, dan lain-lain.
3. 3. Kata-kata yang menyatakan sesuatu yang terjadi tiba-tiba. Kata-kata semacam ini
banyak terdapat dalam bahasa Sunda dan Jawa, misalnya: bes, cup, rep, jlog, dan lain-
lain.
4. 4. Bahasa bayi: mam, mak, pak, dan lain-lain.
5. 5. Kata-kata yang dipakai untuk panggilan orang: cih, nung, kak, kang, bi, dan lain-lain.

6. D. Hukum van der Tuuk dan Kesepadanan Bunyi

7. Di antara ahli bahasa Eropa yang pernah mengadakan perbandingan bahasa-bahasa


Nusantara adalah H. N. van der Tuuk. Dari hasil penelitian, baik yang diadakan oleh ahli-
ahli lain maupun oleh van der Tuuk sendiri, akhirnya tercapai suatu pendapat bahwa
harus dengan tegas dibedakan dua macam trill (bunyi getar), yaitu /r/ palatal dan /R/
uvular. Fonem /R/ uvular biasanya berganti-gantian dengan /g/ dan /h/, sedangkan /r/
prepalatal biasanya bertukar dengan /d/ dan /l/. Pertukaran antara fonem-fonem ini di
antara berbagai bahasa Nusantara dikenal dengan nama Hukum van der Tuuk I dan
Hukum van der Tuuk II.

8. Yang dimaksud dengan Hukum van der Tuuk I adalah saling bertukar antara fonem R-G-
H, serta Hukum van der Tuuk II adalah pertukaran antara donem R-D-L.

9. Sesungguhnya ada hubungan-hubungan yang teratur abtara fonem-fonem berbagai


bahasa Nusantara. Kita dapat memperbanyak hubungan-hubungan ini misalnya antara b
dan w. Ini sama sekali tidak berarti bahwa fonem /b/ dalam bahasa X akan selalu berganti
dengan fonem /w/ dalam bahasa Y. Pertukaran ini tidak mutlak.

10. Oleh karena itu harus diadakan koreksi terhadap istilah yang dipakai oleh ahli-ahli
tersebut. Kita tidak bisa mempergunakan istilah IhukumI dalam hubungan ini, dan juga
kita harus menghindari pemakaian istilah berganti atau bertukar . Bukti mana yang
menjelaskan bahwa /b/ berubah menjadi /w/ atau /w/ berubah menjadi /b/? Secara
deskriptif kita hanya bisa mencatat bahwa ada kesepadanan atau korespondensi antara
bunyi-bunyi tersebut. Oleh karena itu untuk selanjutnya kita mempergunakan istilah lain
yaitu kesepadanan bunyi atau korespondensi bunyi.

11. Jadi dalam berbagai bahasa Nusantara terdapat kesepadanan bunyi atau korespondensi-
korespondensi bunyi tertentu, misalnya:

12. 1. Ada kesepadanan bunyi antara /b/ dan /w/:


13. tebu ( Melayu) — tewu (Ngaju Dayak)
14. besi (Melayu) — wesi (Jawa)

15. 2. Ada kesepadanan bunyi antara /r/ - /d/ - /l/:


16. padi (Melayu) — pari (Lampung) — palay (Tagalog)

17. 3. Ada kesepadanan bunyi antara /r/ - /g/ - /h/


18. Pari (Melayu) — padi (Bali) — pagi (Tagalog)

KD. Hukum van der Tuuk dan Kesepadanan Bunyi

Di antara ahli bahasa Eropa yang pernah mengadakan perbandingan bahasa-bahasa Nusantara
adalah H. N. van der Tuuk. Dari hasil penelitian, baik yang diadakan oleh ahli-ahli lain maupun
oleh van der Tuuk sendiri, akhirnya tercapai suatu pendapat bahwa harus dengan tegas dibedakan
dua macam trill (bunyi getar), yaitu /r/ palatal dan /R/ uvular. Fonem /R/ uvular biasanya
berganti-gantian dengan /g/ dan /h/, sedangkan /r/ prepalatal biasanya bertukar dengan /d/ dan /l/.
Pertukaran antara fonem-fonem ini di antara berbagai bahasa Nusantara dikenal dengan nama
Hukum van der Tuuk I dan Hukum van der Tuuk II.

Yang dimaksud dengan Hukum van der Tuuk I adalah saling bertukar antara fonem R-G-H, serta
Hukum van der Tuuk II adalah pertukaran antara donem R-D-L.

Sesungguhnya ada hubungan-hubungan yang teratur abtara fonem-fonem berbagai bahasa


Nusantara. Kita dapat memperbanyak hubungan-hubungan ini misalnya antara b dan w. Ini sama
sekali tidak berarti bahwa fonem /b/ dalam bahasa X akan selalu berganti dengan fonem /w/
dalam bahasa Y. Pertukaran ini tidak mutlak.

Oleh karena itu harus diadakan koreksi terhadap istilah yang dipakai oleh ahli-ahli tersebut. Kita
tidak bisa mempergunakan istilah IhukumI dalam hubungan ini, dan juga kita harus menghindari
pemakaian istilah berganti atau bertukar . Bukti mana yang menjelaskan bahwa /b/ berubah
menjadi /w/ atau /w/ berubah menjadi /b/? Secara deskriptif kita hanya bisa mencatat bahwa ada
kesepadanan atau korespondensi antara bunyi-bunyi tersebut. Oleh karena itu untuk selanjutnya
kita mempergunakan istilah lain yaitu kesepadanan bunyi atau korespondensi bunyi.

Jadi dalam berbagai bahasa Nusantara terdapat kesepadanan bunyi atau korespondensi-
korespondensi bunyi tertentu, misalnya:
1. Ada kesepadanan bunyi antara /b/ dan /w/:

tebu ( Melayu) — tewu (Ngaju Dayak)


besi (Melayu) — wesi (Jawa)

2. Ada kesepadanan bunyi antara /r/ - /d/ - /l/:

padi (Melayu) — pari (Lampung) — palay (Tagalog)

3. Ada kesepadanan bunyi antara /r/ - /g/ - /h/

Pari (Melayu) — padi (Bali) — pagi (Tagalog)

Morfologi II - Kata

Hampir semua tatabahasa sekarang mendasarkan pembagian jenis kata menurut Aristoteles.
Sebenarnya Aristoteles sendiri tidak membagi kata-kata atas sepuluh jenis kata. Ia hanya
meletakkan sisetmatikanya. Pembagian jenis kata mula-mula terdiri dari 8 jenis kata.

Ketika orang-orang Eropa lainnya berusaha menyusun tata bahasa dari bahasa-bahasa mereka
menurut contoh tatabahasa Yunani-Latin, maka ditambahkan lagi jenis kata baru sesuai dengan
sifat bahasa mereka yaitu Kata Sandang serta Kata Seru diberi status sebagai satu jenis kata.
Dengan demikian kesepuluh jenis kata itu diterima dalam semua tatabahasa yang disusun
berdasarkan tatabahasa Eropa.

Pembagian ini oleh kebanyakan orang dianggap keramat atau dianggap sebagai suatu dasar yang
tak dapat dirubah lagi karena sudah mencapai titik kesempurnaan. Tetapi bila kita berpikir lebih
dalam bahwa dasar pembagian itu bertolak dari kaidah-kaidah filsafat, sedangkan bahasa tidak
selamanya harus diperlakukan dengan dasar-dasar filsafat, maka sudah tentu ada kelemahan-
kelemahan dari pembagian di atas. Bahwa pengertian dan konsep yang diberikan kepada masing-
masingnya itu mungkin masih dapat diterima, tetapi menempatkan kesepuluhnya dalam suatu
klasifikasi yang disebut jenis kata agaknya sulit untuk diterima oleh ahli-ahli bahasa modern.

Walaupun demikian sebaiknya kita mengikuti dahulu cara pembagian mereka (Tradisional),
memahami dasar-dasar yang dipergunakan untuk mengadakan klasifikasi jenis kata ini,
menunjukkan kekurangan-kekurangannya, baru kemudian kita berusaha memberi suatu
pembagian lain yang bertolak dari dasar-dasar yang lebih riil.

1. Pembagian Jenis Kata Menurut Tatabahasa Tradisional

Kesepuluh jenis kata yang biasa dibaca dalam tatabahasa tradisional adalah sebagai berikut:

1. Kata Benda atau Nomina


2. Kata Kerja atau Verba
3. Kata Sifat atau Adjektif
4. Kata Ganti atau Pronomina
5. Kata Bilangan atau Numeralia
6. Kata Keterangan atau Adverbia
7. Kata Sambung atau Konjuksi
8. Kata Depan atau Preposisi
9. Kata Sandang atau Artikel
10. Kata Seru atau Interjeksi

2. Pembagian Jenis Kata Baru

Bila kita memperhatikan pembagian jenis kata menurut tatabahasa tradisional tampaklah bahwa
ada kekacauan dalam penggolongan jenis kata itu. Kekacauan itu terjadi karena tidak tegas
diadakan perbedaan antara jenis kata dan fungsi kata. Kita lihat misalnya kata-kata seperti: di,
ke, pada, dengan, dari, dimasukkan dalam kata depan , tetapi di tempat lain gabungan kata-kata
itu dengan suatu kata benda dijadikan kata keterangan . Begitu pula kata perangkai dimasukkan
dalam satu jenis kata tetapi di pihak lain dimasukkan pula dalam kata keterangan.

Kata ganti dalam segala strukturnya tidak banyak berbeda dengan kata benda, karena memang
kata-kata itu hanya menggantikan kata-kata benda dalam keadaan tertentu. Kata seru , seperti
ternyata dalam batasan yang diberi oleh berbagai tatabahasa, telah menunjukkan bahwa bidang
geraknya adalah kalimat , jadi tidak bias disebut begitu saja sebagai suatu jenis kata. Apa yang
disebut kata seru itu sudah sebulat-bulatnya merupakan kalimat, atau lebih tegas miniaturnya
kalimat, karena bentuk tersebut sudah disertai dengan intonasi yang selengkap-lengkapnya
seperti pada jenis-jenis kalimat lainnya.

Pendeknya, penggolongan dengan cara kerja Aristoteles tidak dapat diterima begitu saja. Harus
diadakan penyempurnaan atau sama sekali merubah cara kerja tersebut. Pada abad ke-16,
seorang ahli tatabahasa Spanyol, Sanches de las Brozas, telah mengajukan suatu pembagian jenis
kata yang lebih rasional dan struktural atas: nomen, verbum, dan particular . Tetapi pada abad
ke-19 ahli-ahli tatabahasa barat lainnya kembali lagi ke dalam alam pikiran Yunani-Latin, dan
mengajukan 10 jenis kata seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Baca selanjutnya...

Pembagian Jenis Kata Baru

Bila kita memperhatikan pembagian jenis kata menurut tatabahasa tradisional tampaklah bahwa
ada kekacauan dalam penggolongan jenis kata itu. Kekacauan itu terjadi karena tidak tegas
diadakan perbedaan antara jenis kata dan fungsi kata. Kita lihat misalnya kata-kata seperti: di,
ke, pada, dengan, dari, dimasukkan dalam kata depan, tetapi di tempat lain gabungan kata-kata
itu dengan suatu kata benda dijadikan kata keterangan. Begitu pula kata perangkai dimasukkan
dalam satu jenis kata tetapi di pihak lain dimasukkan pula dalam kata keterangan.

Kata ganti dalam segala strukturnya tidak banyak berbeda dengan kata benda, karena memang
kata-kata itu hanya menggantikan kata-kata benda dalam keadaan tertentu. Kata seru, seperti
ternyata dalam batasan yang diberi oleh berbagai tatabahasa, telah menunjukkan bahwa bidang
geraknya adalah kalimat, jadi tidak bias disebut begitu saja sebagai suatu jenis kata. Apa yang
disebut kata seru itu sudah sebulat-bulatnya merupakan kalimat, atau lebih tegas miniaturnya
kalimat, karena bentuk tersebut sudah disertai dengan intonasi yang selengkap-lengkapnya
seperti pada jenis-jenis kalimat lainnya.

Pendeknya penggolongan dengan cara kerja Aristoteles tidak dapat diterima begitu saja. Harus
diadakan penyempurnaan atau sama sekali merubah cara kerja tersebut. Pada abad ke-16,
seorang ahli tatabahasa Spanyol, Sanches de las Brozas, telah mengajukan suatu pembagian jenis
kata yang lebih rasional dan struktural atas: nomen, verbum, dan particular. Tetapi pada abad ke-
19 ahli-ahli tatabahasa barat lainnya kembali lagi ke dalam alam pikiran Yunani-Latin, dan
mengajukan 10 jenis kata seperti yang telah diuraikan sebelumnya.

Dengan adanya perkembangan Linguistik Modern, persoalan di atas sekali lagi timbul dalam
pembahasan-pembahasan mereka. Ahli-ahli Linguistik Modern berusaha mencari suatu kaidah
untuk menggolong-golongkan jenis kata yang lebih struktural. Walaupun belum terdapat suatu
ketentuan yang diterima oleh segenap ahli-ahli Linguistik Modern, namun dasar yang digunakan
untuk mengadakan penggolongan baru, dapat memberi keyakinan bahwa dasar itu lebih seragam
dan rasional.

Untuk sementara, berdasarkan struktur morfologisnya, kata-kata dapat dibagi atas empat jenis
kata yaitu:

1. Kata Benda
2. Kata Kerja
3. Kata Sifat
4. Kata Tugas

Yang dimaksud dengan struktur morfologis adalah bidang bentuk yang memberi ciri khusus
terhadap kata-kata itu. Bidang bentuk itu meliputi kesamaan morfem-morfem yang membentuk
kata-kata itu, atau juga kesamaan ciri dan sifat dalam membentuk kelompok katanya. Dengan
demikian kita mempunyai suatu dasar penggolongan yang sama dikenakan kepada semua kata
dalam suatu bahasa. Tiap-tiap bahasa mempuyai cara khusus untuk kedua segi dalam bidang
morfologi ini.

Morfologi III - Imbuhan

1. Prefiks atau awalan

Prefiks atau awalan adalah suatu unsur yang secara struktural diikatkan di depan sebuah kata
dasar atau bentuk dasar.

2. Sufiks atau akhiran


Sufiks atau akhiran adalah semacam morfem terikat yang dilekatkan di belakang suatu morfem
dasar.

3. Konfiks

Konfiks adalah gabungan dari dua macam imbuhan atau lebih yang bersama-sama membentuk
satu arti.

Di sini perlu ditegaskan bahwa antara konfiks dan gabungan imbuhan ada perbedaan besar. Pada
gabungan imbuhan tiap-tiap unsur tetap mempertahankan arti dan fungsinya masing-masing.
Bentuk-bentuk seperti mempercepat, mempersatukan, dibesarkan, san lain-lain masing-masing
mengandung makna dan fungsi tersendiri. Imbuhan me + per, me + per + kan, dan di + kan di
sini bukanlah konfiks tetapi merupakan gabungan imbuhan dari prefiks dan sufiks.

Sebaliknya, bentuk-bentuk seperti pertahanan, kebesaran, permainan, dan lain-lain mengandung


struktur yang berbeda dengan bentuk-bentuk di atas. Karena di sini bentuk per – an dan ke – an
tidak dapat ditafsirkan secara tersendiri, tatapi bersama-sama membentuk satu arti dan bersama-
sama pula membentuk satu fungsi. Bantuk ini dalam realisasinya terbelah, tetapi pembelahan itu
tidak mengurangi hakekatnya sebagai satu morfem. Morfem semacam ini desibut morfem
terbelah. Bentuk-bentuk semacam ini tidak janggal dalam bahasa Indonesia. Kata-kata seperti
tali, gunung, dan lain-lain juga jelas merupakan satu kesatuan tetapi kadang-kadang bentuk itu
mengalami proses pembelahan yaitu ketika disisipkan infiks –em padanya, menjadi temali dan
gemunung. Proses pembelahan pada kata atau morfem terikat bukan persoalan baru, tetapi tidak
pernah diberi tempat yang wajar. Oleh karena itu Tatabahasa Tradisional memperlakukan
konfiks-konfiks sebagai gabungan biasa dari prefiks dan sufiks. Kita harus memulangkan
kedudukannya yang sebenarnya sebagai suatu bentuk (morfem) dengan satu kesatuan fungsi dan
arti.

4. Gabungan Imbuhan

Gabungan imbuhan adalah pemakaian beberapa imbuhan sekaligus pada suatu kata dasar, yang
masing-masing mempertahankan arti dan fungsinya. Imbuhan-imbuhan yang biasa dipakai
bersama-sama adalah: me-kan, mem-per-kan, di-per-kan, ter-kan, ber-kan, dan lain-lain.

5. Infiks

Infiks adalah semacam morfem terikat yang disispkan pada sebuah kata antara konsonan pertama
dan vokal pertama. Jenis morfem ini sekarang tidak produktif lagi; pemakaiannya terbatas pada
beberapa kata saja. Infiks yang ada dalam bahasa Indonesia hanyalah: -el, -er, dan –em.

Konfiks

Konfiks adalah gabungan dari dua macam imbuhan atau lebih yang bersama-sama membentuk
satu arti.
Di sini perlu ditegaskan bahwa antara konfiks dan gabungan imbuhan ada perbedaan besar. Pada
gabungan imbuhan tiap-tiap unsur tetap mempertahankan arti dan fungsinya masing-masing.
Bentuk-bentuk seperti mempercepat, mempersatukan, dibesarkan, san lain-lain masing-masing
mengandung makna dan fungsi tersendiri. Imbuhan me + per, me + per + kan , dan di + kan di
sini bukanlah konfiks tetapi merupakan gabungan imbuhan dari prefiks dan sufiks.

Sebaliknya, bentuk-bentuk seperti pertahanan, kebesaran, permainan, dan lain-lain mengandung


struktur yang berbeda dengan bentuk-bentuk di atas. Karena di sini bentuk per – an dan ke – an
tidak dapat ditafsirkan secara tersendiri, tatapi bersama-sama membentuk satu arti dan bersama-
sama pula membentuk satu fungsi . Bantuk ini dalam realisasinya terbelah, tetapi pembelahan itu
tidak mengurangi hakekatnya sebagai satu morfem. Morfem semacam ini desibut morfem
terbelah. Bentuk-bentuk semacam ini tidak janggal dalam bahasa Indonesia. Kata-kata seperti
tali, gunung, dan lain-lain juga jelas merupakan satu kesatuan tetapi kadang-kadang bentuk itu
mengalami proses pembelahan yaitu ketika disisipkan infiks –em padanya, menjadi temali dan
gemunung. Proses pembelahan pada kata atau morfem terikat bukan persoalan baru, tetapi tidak
pernah diberi tempat yang wajar. Oleh karena itu Tatabahasa Tradisional memperlakukan
konfiks-konfiks sebagai gabungan biasa dari prefiks dan sufiks. Kita harus memulangkan
kedudukannya yang sebenarnya sebagai suatu bentuk (morfem) dengan satu kesatuan fungsi dan
arti.

Di antara konfiks-konfiks yang penting dalam bahasa Indonesia adalah:

1. Konfiks per-an

A. Bentuk

Bentuk konfiks per-an dapat mengalami variasi bentuk berdasarkan:

a. Lingkungannya.

    Contoh: persatuan, perjanjian,, pelajaran, pekerjaan, perambatan, dan lain-lain.

b. Dasar kata dari mana kata itu dibentuk.

- Jika pembentukannya mempergunakan kata benda sebagai kata dasar maka akan mengambil
bentuk pe-an. Contoh: pekuburan, pedesaan.

- Jika pembentukannya berasal dari suatu kata kerja yang mempergunakan awalan ber-, maka
kata benda itu akan mengambil bentuk per-an atau pe-an, sesuai dengan awalan ber- dengan
alomorfnya. Contoh: perbuatan, pelayaran.

- Jika pembentukannya berasal dari satu kata kerja yang mempergunakan awalan me- maka ia
akan mengambil bentuk pe + N + an. Contoh: pembaharuan, penyatuan, penguburan,
pemburuan, dan lain-lain.

B. Fungsi
Fungsi per-an adalah untuk membentuk kata benda.

C. Arti

Arti yang mungkin didukung oleh konfiks per-an adalah:

a. Menyatakan tempat.

    Contoh: perhentian, pelabuhan, persembunyian, pengadilan, perapian, percetakan.

b. Menyatakan hasil perbuatan.

    Contoh: permainan, penyerahan, pertanyaan, pelantikan, pertahanan, perhitungan.

c. Menyatakan peristiwa itu sendiri atau hal perbuatan.

    Contoh: pengajaran, pencaharian, pendidikan, peraturan.

2. Konfiks ke-an

a. Bentuk

Tidak mengalami perubahan.

b. Fungsi

Pada umumnya konfiks ke-an berfungsi untuk membentuk kata benda.

c. Arti

Arti yang mungkin didukung oleh konfiks ke-an adalah:

a. Menyatakan tempat atau daerah.

    Contoh: kedutaan, kesultanan, kementerian, keinderaan.

b. Menyatakan sesuatu hal atau peristiwa yang telah terjadi.

    Contoh: kenyataan, kebersihan, ketuhanan, kewajiban, keindahan.

c. Kena atau menderita sesuatu hal.

    Contoh: kehujanan, kepanasan, kesiangan, kekurangan.

d. Suatu perbuatan yang dilakukan tanpa sengaja.


    Contoh: kelupaan, ketiduran, keguguran.

e. Menyatakan terlalu.

    Contoh: kebesaran, ketinggian, kepahitan.

f. Mengandung sedikit sifat seperti yang disebut dalam kata dasar.

   Contoh: kekanak-kanakan, kemerah-merahan, keputih-putihan.

KGabungan Imbuhan

Gabungan imbuhan adalah pemakaian beberapa imbuhan sekaligus pada suatu kata dasar, yang
masing-masing mempertahankan arti dan fungsinya. Imbuhan-imbuhan yang biasa dipakai
bersama-sama adalah: me-kan, mem-per-kan, di-per-kan, ter-kan, ber-kan, dan lain-lain.

1. Gabungan me-kan, di-kan, me-per-kan, di-per-kan

A. Fungsi

Fungsi dari pada gabungan itu dapat ditinjau dengan memperhatikan fungsi tiap-tiap bentuk.
Karena semua bentuk itu berfungsi untuk membentuk kata kerja maka gabungan itu juga
berfungsi membentuk kata kerja.

B. Arti

a. Mengandung arti kausatif atau menyebabkan terjadinya suatu proses.

    Contoh: memperbesarkan, meninggikan.

b. Menjadikan sebagai atau menganggap sebagai.

    Contoh: memperhambakan, memperbudakkan.

c. Mengandung arti intensitas, mengeraskan arti yang disebut dalam kata dasar dan dapat berarti
menyuruh.

    Contoh: memperdengarkan, memperebutkan, mempertahankan.

2. Gabungan mem + per + i atau di + per + i

A. Fungsi

Membentuk kata kerja.

B. Arti
a. Mengandung arti kausatif yaitu menyebabkan terjadinya suatu proses yang terkandung dalam
kata dasar. Kausatif ini sebenarnya dinyatakan oleh per-.

    Contoh: memperbaiki, memperbaharui.

b. Menyatakan intensitas.

    Contoh: mempelajari.

3. Gabungan ber-kan

A. Fungsi

Membentuk kata kerja.

B. Arti

a. Penguat dan dapat berarti memakai sebagai.

    Contoh: berdasarkan, bersenjatakan, beribukan, berbataskan.

b. Keringkasan dari akan.

    Contoh: berharapkan, beemimpikan.

c. Ada pula yang dipakai hanya sekedarsebagai pemanis.

    Contoh: bertaburkan, bersuntingkan.

4. Gabungan ber-an

A. Fungsi

Membentuk kata kerja.

B. Arti

a. Mengandung arti saling, terutama bila kata itu diulang.

    Contoh: berkenalan, bersalaman, berkirim-kiriman.

b. Perbuatan terjadi berulang-ulang, atau tetap berlangsung atau pelakunya banyak.

    Contoh: berhamburan, berkeliaran, becucuran, berebutan.

Infiks
Infiks adalah semacam morfem terikat yang disispkan pada sebuah kata antara konsonan pertama
dan vokal pertama. Jenis morfem ini sekarang tidak produktif lagi; pemakaiannya terbatas pada
beberapa kata saja. Infiks yang ada dalam bahasa Indonesia hanyalah: -el, -er, dan –em.

A. Fungsi

Membentuk kata-kata baru, dan biasanya tidak berbeda jenis kata dengan kata dasarnya.

B. Arti

a. Banyak dan bermacam-macam.

    Contoh: tali > temali, gigi > gerigi

b. Menyatakan intensitas dan frekuensi.

    Contoh: getar > gemetar, guruh > gemuruh

c. Mempunyai sifat atau memiliki hal yang disebut dalam kata dasar; dapat pula berarti yang
melakukan.

    Contoh: gembung > gelembung, tunjuk > telunjuk, turun > temurun, gilang > gemilang

Kata Ulang

Kata ulang disebut juga reduplikasi.

1. Macam-Macam Kata Ulang

Berdasarkan macamnya bentuk perulangan dalam bahasa Indonesia dapat kita bagi menjadi
empat macam:

a. Reduplikasi atas suku kata awal, atau di sebut juga dwipurwa. Dalam bentuk perulangan ini
vokal dari suku kata awal mengalami pelemahan dan bergeser ke posisi tengah menjadi e
(pepet).

    Contoh: tatangga > tetangga

                 luluhur   > leluhur

                 luluasa   > leluasa


b. Reduplikasi atas seluruh bentuk dasar. Ulangan ini di sebut ulangan utuh. Ulangan utuh ada
dua     macam, yaitu ulangan atas bentuk dasar yang berupa kata dasar atau disebut juga
dwilingga,         dan ulangan atas bentuk dasar berupa kata jadian berimbuhan.

    Contoh: rumah > rumah-rumah         kejadian > kejadian-kejadian

                 anak  > anak-anak              pencuri   > pencuri-pencuri

c. Reduplikasi yang juga terjadi atas seluruh suku kata, namun pada salah satu lingganya terjadi
perubahan suara pada suatu fonem atau lebih. Perulangan macam ini disebut dwilingga salin
suara.

    Contoh: gerak-gerak > gerak-gerik

                 sayur-sayur > sayur-mayur

d. Reduplikasi dengan mendapat imbuhan, baik pada lingga pertama maupun pada lingga kedua.
Ulangan macam ini disebut ulangan berimbuhan.

    Contoh: bermain-main, berkejar-kejaran, melihat-lihat, tarik-menarik.

2. Fungsi

Kata ulang berfungsi sebagai alat untuk membentuk jenis kata, dan dapat dikatakan bahwa
perulangan sebuah kata akan menurunkan jenis kata yang sama seperti bila kata itu tidak diulang.

3. Arti

Adapun arti yang dapat didukung oleh perulangan adalah:

a. Mengandung arti banyak yang tak tentu.

    Contoh: Ayah membelikan saya sepuluh buah buku (banyak tentu)

                      Buku-buku itu telah kusimpan dalam lemari (banyak tak tentu)

b. Mengandung arti bermacam-macam.

    Contoh: pohon-pohonan, buah-buahan.

c. Menyerupai atau tiruan dari sesuatu.

    Contoh: kuda-kuda, anak-anakan, langit-langit.

d. Melemahkan arti, dalam hal ini dapat diartikan dengan agak.


    Contoh: Sifatnya kekanak-kanakan.

                Ia berlaku kebarat-baratan.

                Orang itu sakit-sakitan.

e. Menyatakan intensitas, baik kualitas, kuantitas, maupun frekuensi.

    i) Intensitas kualitatif: Pukullah kuat-kuat.

                                     Belajarkah segiat-giatnya.

   ii) Intensitas kuantitatif: kuda-kuda, rumah-rumah.

  iii) Intensitas frekuentatif: Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

                                        Ia mondar-mandir sejak tadi.

f. Menyatakan arti saling, atau pekerjaan yang berbalasan.

   Contoh: Keduanya bersalam-salaman.

                Dalam perkelahian itu terjadi tikam-menikam antara kedua orang tersebut.

g. Perulangan pada kata bilangan mengandung arti kolektif.

    Contoh: dua-dua, tiga-tiga, lima-lima.

4. Ada beberapa kata yang selintas tampaknya seolah-olah merupakan kata ulang seperti biri-biri
dan kupu-kupu. Kata-kata kupu-kupu dan biri-biri keseluruhannya merupakan kata dasar, bukan
kata ulang. Dalam pemakaian sehari-hari dalam bahasa Indonesia tidak terdapat bentuk seperti
biri dan kupu.

Kata Majemuk

Kata Majemuk atau Kompositum adalah gabungan dari da kata atau lebih yang membentuk
suatu kesatuan arti.

Pada umumnya struktur kata majemuk sama seperti kata biasa yaitu tidak dapat dipecahkan lagi
atas bagian-bagian yang lebih kecil. Contoh: saputangan, matahari, orangtua, kakitangan, dan
lain-lain. Namun pada kenyataannya, ada bentuk kata yang lazimnya dianggap sebagai kata
majemuk, masih menunjukkan struktur yang renggang, dalam artian masih dapat dipisahkan oleh
unsure-unsur lain.
Contoh: rumah makan = at dipulangkan kepada frase rumah tempat makan.

1. Terjadinya Kata Majemuk

Jika kata-kata itu masih dapat dikembalikan ke dalam bentuk-bentuk yang lain, mengapa sampai
digolongkan sebagai kata majemuk?

Untuk mendapat suatu gambaran yang jelas, kita harus meninjau sejarah terbentuknya kata-kata
maemuk tersebut. Menurut sejarah kata-kata majemuk itu pada mulanya merupakan urutan kata
yang bersifat sintaksis. Dalam urutannya yang bersifat sintaksis tadi, tiap-tiap bentuk
mengandung arti yang sepenuhnya sebagai sebuah kata. Tetapi lambat laun karena sering
dipakai, hubungan sintaksis itu menjadi beku; dan sejalan dengan gerak pembekuan tersebut,
bidang arti yang didukung tiap-tiap bentuk juga lenyap dan terciptalah bidang arti baru yang
didukung bersama. Dan dalam proses ini tidak semua urutan itu telah sampai kepada taraf
terakhir. Ada urutan kata yang masih dalam gerak ke arah pembekuan, ada yang sudah sampai
kepada pembekuan itu yang masih dalam gerak itu dapat disebabkan karena gabungan itu
memang sifatnya sangat longgar atau karena istilah tersebut baru saja tercipta.

Kata-kata yang masih dalam gerak inilah yang masih dapat dipecahkan strukturnya dengan
meyisipkan kata-kata lain di antaranya, atau dapat dikembalikan kepada bentuk lain dengan cara
transformasi. Tetapi karena frekuensi pemakaian tinggi, serta keterangan yang menerangkan
bentuk itu harus selalu mengenai kesatuannya, maka kata-kata tersebut dimasukkan juga ke
dalam kata majemuk.

Contoh: Rumah makan, walaupun strukturnya agak longgar, namun sering dipakai sebagai satu
kesatuan arti; di samping itu keterangannya harus menerangkan keseluruhannya. Rumah makan
yang baru; ‘yang baru' bukan menerangkan makan saja atau rumah saja, tetapi seluruh kesatuan
itu.

2. Sifat Kata Majemuk

Berdasarkan sifat kata majemuk dengan melihat adanya inti dari pada kesatuan itu, maka kata
majemuk dapat dibagi atas:

a. Kata majemuk yang bersifat eksosentris.

b. Kata majemuk yang bersifat endosentris.

Kata majemuk yang bersifat eksosentris adalah kata majemuk yang tidak mengandung satu
unsure inti dari gabungan itu. Dengan kata lain kedua-duanya merupakan inti. Contoh: tuamuda,
hancurlebur, kakitangan, dan lain-lain.

Sebaliknya, jika ada satu unsur yang menjadi inti dari gabungan itu maka sifatnya endosentris.
Contoh: saputangan, orangtua, matahari, dan lain-lain, dimana sapu, orang, dan mata
merupakan unsur intinya.
 4. Ciri-ciri Kata Majemuk

Ciri kata majemuk antara lain sebagai berikut:

a. Gabungan itu membentuk satu arti yang baru.

b. Gabungan itu dalam hubungannya ke luar membentuk satu pusat, yang menarik keterangan
atas     kesatuan itu, bukan atas bagian-bagiannya.

c. Biasanya terdiri dari kata-kata dasar.

d. Frekuensi pemakaiannya tinggi.

e. Terutama kata-kata majemuk yang bersifat endosentris, terbentuk menurut hokum DM


(Diterangkan mendahului Menerangkan).

5. Bentuk Perulangan pada Kata Majemuk

Pada dasarnya karena kata-kata majemuk membentuk suatu kesatuan maka bentuk-ulangnya
harus secara penuh yaitu diulang keseluruhannya.

Contoh: rumah sakit-rumah sakit, saputangan-saputangan

Tetapi seringkali kita menjumpai hal-hal yang sebaliknya yaitu perulangan yang dilakukan
bukan atas keseluruhannya melainkan hanya sebagian saja.

Contoh: rumah-rumah sakit, sapu-sapu tangan

Mengapa terjadi demikian?

Dalam pemakaian bahasa sehari-hari ada kecenderungan untuk mengadakan penghematan dalam
pemakaian bahasa, dasar ekonomis. Dasar ekonomis ini hanya dapat digunakan bila gerak yang
berlawanan itu tidak membawa perbedaan paham. Dalam hubungan ini agaknya dapat dijelaskan
oleh kata ulang dwipurwa dalam bahasa Indonesia, yakni mula-mula orang mengulang
seluruhnya, tetapi karena prinsip ekonomis tadi, akhirnya hanya sebagian saja dari lingga yang
diulang.

Anda mungkin juga menyukai