Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Dalam pendidikan bahasa Arab, banyak ilmu-ilmu yang perlu diketahui,
seperti: ilmu Nahwu, ilmu Sharaf, dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan bahasa Arab.
Dalam ilmu nahwu banyak materi-materi yang disajikan. “FI’IL LAZIM dan
MUTA’ADDI”, yang mana materi ini salah satu materi penting yang harus
diketahui  dalam Ilmu Sharaf. Materi ini juga merupakan materi yang penting ketika kita
ingin mempelajari ilmu tafsir, ilmu hadits dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ilmu
islam yang lain.Salah satu pembahasan yang dibahas dalam ilmu sharaf  adalah fiil Lazim
dan Muta’addi di mana fiil lazim fiil tersebut tidak memerlukan maf’ul bih, sedangkan
fi’il Muta’addi ialah f’iil yang memerlukan maf’ul bih. Mempelajari bahasa asing
sesungguhnya cukup dengan mempelajari empat keterampilan berbahasa (al-maharah al-
lughawiyah) yaitu keterampilan mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Termasuk
ketika kita mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa asing bagi kita. Akan tetapi selain
keempat keterampilan tersebut, ada juga beberapa unsur bahasa yang sangat perlu kita
perhatikan, diantaranya adalah unsur gramatikal (kaidah)nya Bahasa Arab sebagaimana
bahasa-bahasa lainya di dunia merupakan alat komunikasi antara individu dengan
individu, individu dengan masyarakat, maupun antara masyarakat dengan masyarakat
lain. Disamping itu, bahasa Arab juga merupakan salah satu alat atau sarana untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan, yaitu dengan cara membaca berbagai karya tulis seperti
buku, majalah, koran dan sebagainya1. Semakin tinggi tingkat pemahaman seseorang
terhadap bahasa yang terdapat dalam bahan bacaan, semakin banyak pula pengetahuan
yang mungkin diperoleh. Terutama dalam ilmu bahasa Arab, kaidah (nahwu) ini menjadi
unsur yang sangat penting yang harus dipelajari secara utuh karena ia memiliki
karakteristik tersendiri yang sangat istimewa dibanding dengan kaidah bahasa lain yaitu
dengan adanya I’rab di dalamnya.1 Dalam al Muqaddimah-nya, Ibnu Khaldun
memandang “Ilmu Nahwu” sebagai bagian integral dari seluruh pilar linguistik Arab
(‘Ulûm al-Lisân al Arab) yang terdiri dari empat cabang ilmu, yakni: Ilmu Bahasa (‘Ilm
al Lughah), Ilmu Nahwu (‘Ilm al Nahwi), Ilmu Bayan (‘Ilm al Bayân) dan Imu Sastra
(‘Ilm al
Bahasa Arab di Indonesia merupakan salah satu bahasa Asing yang
diajarkan di sekolah-sekolah, terutama sekolah-sekolah keagamaan, dari mulai tingkat
dasar (Madrasah Ibtida’iyyah) sampai ke Perguruan Tinggi. Bahasa Arab di negeri ini,
disamping sebagai bahasa asing, ia juga mempunyai peran yang sangat penting, karena
bagi negara yang mayoritas berpenduduk muslim ini, bahasa Arab juga merupakan bahasa
agama, dimana dalam

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian fi’il Lazim dan fi’il Muta’addi?
2. Kapan fi’il itu disebut lazim?
3. Kapan fi’il itu disebut muta’addi?

C. Tujuan
1. Melatih untuk mengembangkan keterampilan membaca
2. mempermudah ilmu Nahwu (taysīr al-nahwi)
3. Membiasakan cermat dalam mengamati contoh-contoh melakukan
perbandingan, analogi, dan penyimpulan (kaidah) dan mengembangkan
rasa bahasa dan sastra (dzauq lughawi), karena kajian nahwu didasarkan atas
analisis.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fi’il Muta’adi dan Fi’il Lazim


Diungkapkan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah bahwa sesungguhnya
penguasaan ilmu bahasa Arab (Nahwu) ialah mengetahui aturan-aturan dan kaidah-kaidah
standar bahasa Arab secara khusus; ia merupakan ilmu tentang suatu cara bukan cara itu
sendiri; bukan bahasa Arab itu sendiri; sama seperti orang yang mengetahui suatu
keterampilan. Secara teoritis tetapi tidak menggunakannya secara praktis; seperti itulah
mengetahui ilmu nahwu adalah mengetahui cara kerjanya bahasa Arab. Bahasa Arab
mengenal tiga jenis kata (‫) كلمة‬, yaitu: ism, fi’il, dan huruf. Isim adalah sesuatu yang
menunjukan benda, baik benda hidup maupun benda mati. Dalam bahasa Indonesia
disebut kata benda. Fi’il adalah kata yang menunjukan suatu pekerjaan pada waktu
tertentu (masa lampau, sekarang, dan masa yang akan datang) atau dalam bahasa
Indonesia disebut kata kerja. Sedangkan huruf adalah kata yang tidak bisa berdiri sendiri
kecuali setelah digabungkan dengan kata lain (isim), atau dalam bahasa Indonesia disebut
kata depan atau preposisi.
Dilihat dari segi ma’mulnya, fi’il (kata kerja) dalam bahasa Arab terbagi
pada dua bagian : kata kerja intransitif (fi’il lazim) dan kata kerja transitif (fi’il
muta’addi). Fi’il lazim adalah fi’il (kata kerja) yang tidak membutuhkan objek (maf’ul
bih). Sedangkan fi’il muta’addi adalah fi’il (kata kerja) yang membutuhkan objek (maf’ul
bih). Fi’il muta’addi juga disebut al-fi’l al-waqi’ atau al’fi’l al-mujawiz. Kedua istilah
tersebut disebutkan karena keterkaitannya dengan objek. Diantara cirinya adalah bahwa
fi’il tersebut dapat digabungkan dengan “Ha” dhamir yang kembali ke maf’ul bih. Contoh
: ." ‫أستاذه ا فأكرمه الطالب جتهد‬.” Fi’il muta’addi itu, dilihat dari segi hubungannya dengan
objek (maful bih), ada dua macam, yaitu: fi’il yang membutuhkan maf’ul bih secara
langsung (tanpa perantara), dan fi’il yang membutuhkan maf’ul bih dengan perantaraan
lain, yaitu perantaraan harf jarr (preposition) atau ‫ المتعدى لفعلو بنفسه المتعدى الفعل‬.‫بغيره‬.
Perbedaan jenis fi’il muta’addi ini menyebabkan perbedaan pula pada jenis atau nama
maf’ul bihnya, dimana untuk fi’il muta’addi bi nafsihi nama maf’ul bihnya adalah ‫الصريح‬
‫ به المفعول‬, sedangkan untuk fi’il meta’addi jenis kedua, fi’il muta’addi bi ghairihi, nama
maf’ul bihnya adalah ‫صريح غير به مفعول‬. Dilihat dari segi kebutuhannya terhadap maf’ul
bih, fi’il muta’addi itu ada yang hanya membutuhkan satu maf’ul bih, ada yang
membutuhkan dua maf’ul bih, dan ada juga yang membutuhkan tiga maf’ul bih sekaligus.
Mengenai fi’il muta’addi binafsihi, tidak sulit untuk mencari atau
mengidentifikasinya, baik yang membutuhkan satu maf’ul bih, dua maf’ul bih, maupun
yang membutuhkan tiga maf’ul bih. Bahkan untuk mengubah dari fi’il lazim menjadi fi’il
muta’addi pun sangatlah mudah, karena ada aturannya yang jelas. Misalnya dengan
menambahkan Hamzah di awal fi’il lazim dengan pola ‫ أَ ْف َع َل‬, atau dengan tadh’if dengan
pola ‫ فَ َّع َل‬. Sedangkan untuk fi’il muta’addi bi ghairihi atau muta’addi bi harf jarr, berbeda
dengan fi’il muta’addi bi nafsihi, agak sulit untuk mengidentifikasinya. Disamping karena
tidak ada aturan atau qaedah yang baku, juga, bisa jadi, ada beberapa fi’il muta’addi bi
harfi jarr dengan beberapa huruf jarr yang berbeda dengan arti yang berbeda pula. Bahkan
ada yang memberikan arti yang bertolak belakang. Sebagai contoh kata kerja ‫ب‬
َ ‫ َر ِغ‬adalah
salah satu fi’il muta’addi bi harf jarr lebih dari satu bentuk (bisa dengan huruf jarr yang
berbeda). Jika fi’il itu muta’addi dengan huruf jarr ‫ فى‬, menjadi ‫ب فِى‬
َ ‫ َر ِغ‬, maka artinya
adalah “menyukai”. َ‫ َر ِغبْ ت فِيك‬artinya “saya menyukaimu”. Sedangkan jika yang menjadi
perantaranya adalah huruf jar ‫ ع َْن‬, menjadi ‫ب ع َْن‬
َ ‫ َر ِغ‬, artinya menjadi sebaliknya dari yang
َ ‫ َع ْن‬artinya menjadi “saya membencimu”.
pertama yaitu “membenci”. ْ‫ك ت َر ِغب‬
Sejalan dengan penomena di atas, Musa ibn. Muhammad ibn. al-Malyani
al-Mahdi, dalam bukunya “Mu’jam al-Af’al al-Muta’addiyyah bi Harf Jarr” mengatakan
bahwa karena tidak ada aturan atau qaidah yang mengatur, menentukan dan membatasi
mengenai fi’il muta’adi bi harfi jarr, serta tidak adanya ketentuan mengenai huruf jarr apa
yang menjadi perantara muta’addinya suatu fi’il tertentu, maka jalan yang paling bisa dan
mudah ditempuh untuk mengetahuinya adalah dengan merujuk ke kamus-kamus.
Demikian itu karena fi’il muta’addi jenis ini sifatnya sam’i/sima’i bukan qiyasi.

B. Tanda-tanda Fi’il Muta’adi


Berbeda dengan fi'il lazim, fi'il muta'addi ini sangat membutuhkan maf'ul
bih atau objek agar kalimat menjadi sempurna dan dapat dipahami, terlihat dari contoh di
atas, jika kalimat di atas hanya tersusun dari kata kerja dan subjek saja contoh: " ‫" ُجاُل ل َر فَتَ َح‬
"Lelaki itu membuka", maka akan ada pertanyaan,  apa yang dibuka? karena kalimat itu
masih belum sempurna dikarenakan kata kerja "membuka" termasuk kata kerja transitif
atau fi'il muta'addi yang sangat membutuhkan objek, maka yang benar adalah " ‫الر ُج ُل فَتَ َح‬
َ
‫اب‬
َ َ‫" "الب‬Lelaki itu membuka pintu". Adapun ciri-ciri dari fi'il muta'addi adalah DAPAT
disambung dengan HA dhomir (‫ )ـه‬yang merujuk kepada maf'ul bih, contoh:
Dari contoh di atas tentunya sudah cukup rinci dan dapat diketahui bahwa HA dhomir
pada contoh di atas adalah menjadi ciri bahwa fi'il "‫ "أ ْك َر َم‬merupakan fi'il muta'addi karena
ia membutuhkan objek.
Adapun HA dhomir yang merujuk kepada MASDAR dan DHOROF, maka
Ha dhomir yang merujuk pada MASDAR dan DHOROF BUKAN termasuk Tanda dari
Fi'il Muta'addi, contoh:
HA dhomir yang merujuk kepada MASDAR:
‫ب‬
ُ ‫الض ْر‬
َ ‫ض َر ْبتُـ‬
َ ‫" ـه‬Pukulan yang saya Pukul"
HA dhomir yang merujuk kepada DHOROF:
 ‫" ـهُ ُزرْ تُـ ال ُج ْم َع ِة يَوْ ُم‬Hari Jumat yang sudah kulalui"

Pembagian Fi'il Muta'addi


Ada dua macam pembagian fi'il muta'addi, yaitu:
 Muta'addi dengan sendirinya (‫) ُمتَ َعدِّي بِنَ ْف ِس ِه‬
Fi'il muta'addi yang bertemu dengan maf'ul bih (objek) secara langsung (atau tanpa
perantara huruf jar), contoh:
ْ ِ‫ إ‬ ‫أَ ْح َم ُد‬  ‫القَلَ َم‬    "Ahmad Membeli Pena"
‫شتَ َرى‬
Contoh di atas termasuk fi'il muta'addi yang biasa kita lihat dan termasuk muta'addi
dengan sendirinya (‫) ُمتَ َعدِّي بِنَ ْف ِس ِه‬. dan Maf'ul (objek) nya dinamakan "Shorih" atau "Jelas"
 Muta'addi dengan perantara huruf jar (‫) ُمتَ َعدِّي بِ َغي ِْر ِه‬
Fi'il muta'addi yang sampai kepada maf'ul bih (objek) dengan perantara huruf jar, contoh:
َ‫أَ ْذ َه ْبتُك‬   ‫ >>>ـ‬  َ‫بِــك‬  ُ‫َذ َهبْت‬
"Saya pergi denganmu >>> Saya memberangkatkanmu"
 Huruf jar bi "‫ "بِـ‬yang bertanda merah di atas adalah sebagai perantara bagi fi'il untuk
menjadikannya fi'il muta'addi. dan Maf'ul (objek) nya dinamakan "Ghoiru
Shorih" atau "Tidak Jelas".
Terkadang Fi'il muta'addi membutuhkan dua maf'ul bih (objek) yang berbeda, objek
pertama "Shorih", dan objek kedua "Ghoiru Shorih" atau dengan perantara huruf jar.
Contoh:
ِ ‫األ َمانَا‬ ‫أَد ُّْوا‬
‫أ ْهلِ َها‬ ‫إِلَى‬ ‫ت‬
"Sampaikanlah amanah-amanah kepada ahlinya (kepada orang yang dituju)"
ِ ‫األ َمانَا‬ merupakan maf'ul bih (objek) pertama, "Shorih" atau "Jelas", sedangkan  ‫أَ ْهلِ َها‬ 
‫ت‬
merupakan maf'ul bih (objek) kedua yang "Ghoiru Shorih" karena dengan perantara huruf
jar "‫"إِلَى‬
A. Tanda-tanda Fi’il Lazim
Fi’il lazim adalah isim yang cukup dengan fa’ilnya dan tidak butuh maf’ul bih, fi’il
mutaadi adalah fi’il yang tidak cukup dengan fa’ilnya tetapi butuh maf’ul bih atau lebih.
Terdapat tiga cara merubah fi’il lazim menjadi muta’adi, yakni dengan ziyadah hamzah,
tadl’if, dan huruf jer. Isim jamid adalah isim yang tidak diambil dari kalimah lain, ada
kalanya berupa isim dzat dan isim ma’ana, sedangkan isim mustaq adalah yang diambil
dari kalimah lain. Isim musytaq terbagi menjadi tujuh, yaitu, isim fa’il, isim maf’ul, isim
musyabihat, isim tafdhil, isim zaman, isim makan, dan isim alat. Sangat jelas tentunya
contoh fi'il lazim di atas, ia sama sekali tidak membutuhkan objek (maf'ul bih) untuk
menjadi kalimat sempurna dan memahamkan. 
fi'il lazim hanya membutuhkan fa'il (pelaku) tapi tidak membutuhkan maf'ul bih (objek).
Berikut ini adalah ciri-ciri atau fi'il yang sudah dipastikan termasuk fi'il lazim atau kata
kerja yang tidak membutuhkan objek:
1. Fi'il yang menunjukan arti sifat:
 ‫ َش ُج َع‬: "Berani"
 Fi'il yang menunjukan arti ukuran:
 َ "Panjang"
‫طا َل‬:

Fi'il yang menunjukan arti kebersihan:


 َ "Suci"
َ‫طهُر‬:

Fi'il yang menunjukan arti kotor:


 ‫وسِ َخ‬:َ "Kotor"

Fi'il yang menunjukan arti keadaan yang tidak lazim dan bukan termasuk gerakan:
 َ‫م َِرض‬: "Sakit"

 ‫ َكسِ َل‬: "Malas"


DAFTAR PUSTAKA

1. https://nahwusharaf.wordpress.com/category/kitab-alfiyah-ibnu-malik/bab-
mutaaddi-dan-lazim/bait-267-268/
2. https://core.ac.uk/download/pdf/327227580.pdf
3. http://arabunaa.blogspot.com/2019/02/pengertian-fiil-lazim-dan-fiil-
mutaaddi.html
4. file:///C:/Users/acer%20ryzen%205/Downloads/1387-Article%20Text-2112-
1-10-20170509.pdf

Anda mungkin juga menyukai