Manusia merupakan salah satu spesies mamalia lebih tepatnya eutherian
mammals, artinya memiliki plasenta. Kelompok tersebut memiliki tipe telur Alecithal, yaitu ketika yolk berjumlah sedikit atau bahkan tidak ada (Zhang, 2009) dengan persebaran merata pada seluruh sitoplasma ovum (tipe Isolesital) (Milachich, 2014). 2.2. Fertilisasi Perkembangan embrio mamalia didahului dengan fertilisasi yang terjadi secara internal, yaitu proses fertilisasi terjadi di dalam organ reproduksi wanita. Secara umum tahapan fertilisasi meliputi: (1) kontak dan pengenalan antara sperma dengan ovum, (2) regulasi masuknya satu sperma ke dalam ovum, (3) fusi materi genetik sel sperma dan sel ovum, serta (4) aktivasi metabolsime sel telur (Harris and Johnson, 2006). Sel sperma yang telah diejakulasikan harus melewati tahap pematangan fisiologi terlebih dahulu yang disebut dengan kapasitasi yang memungkinkan timbulnya reaksi akrosom. Proses ini berlangsung selama 5-7 jam dan terjadi di bagian uterus serta oviduk yang difasilitasi oleh cairan pada saluran reproduksi wanita. Tahap kapasitasi terdiri dari: peningkatan konsentrasi Ca2+, peningkatan motilitas spermatozoa dan hilangnya antigen pada permukaan spermatozoa sehingga memungkinkan spermatozoa untuk lebih reseptif terhadap pengikatan sel telur. Gambar 2. Kapasitas spermatozoa sebelum melakukan fertilisasi Kontak dan pengenalan sperma diawali dengan terikatnya protein membran spermatozoa pada reseptor ZP3 yang terdapat pada zona pelusida sel telur. ZP merupakan glikoprotein, yaitu polipeptida yang berikatan dengan molekul gula yang berbeda-beda, terdiri dari komplek oligosakarida asparagine (N-linked) dan serin atau threonin (O-linked) (Bessonnard, 2015). Glikoprotein ZP3 mempunyai peranan sebagai reseptor spermatozoa dengan membentuk ikatan komplemen pada membrane kepala spermatozoa. Ikatan tersebut merupakan ikatan primer irreversibel antara sel telur dengan spermatozoa. Setelah spermatozoa terikat dengan zona peleusida, proenzim proteolitik (contohnya: enzim hyaluronidase) digunakan untuk melepaskan ikatan glikoprotein ZP3.
Gambar 3. Tahapan fertilisasi antara spermatozoa dan sel telur
Secara molekuler, terjadinya ikatan primer akan merangsang terbukanya kanal ion kalsium yang akan menyebabkan konsentrasi kalsium di dalam spermatozoa meningkat dan memicu eksositosis kandungan akrosom spermatozoa (Sadler, 1996). Dengan adanya reaksi akrosom, akan terbentuk ikatan sekunder antara protein-protein membran dalam akrosom dengan ZP2 sebelum spermatozoa menembus zona pelusida. Bagian terluar dari membran plasma akrosome berfusi pada berbagai tempat dan kandungan akrosome dikeluarkan. Selama reaksi akrosom berlangsung di zona pelusida, vesikula akrosom akan mengeluarkan enzim-enzim proteolitik serta enzim-enzim hidrolase yang memungkinkan spermatozoa menembus zona pelusida dan mencapai membran sel telur. Dua macam komponen penting dari kandungan akrosome yang dikeluarkan adalah akrosin (Protease serin) dan Nacetylglucoaminidase. Acrosin akan membuat lubang di bagian zona pelusida, sehingga seprmatozoa dapat mencapai sel telur. Sementara, N-acetylglucoaminidase akan menghidrolisis O-linked oligosakarida di ZPGP III untuk memungkinkan spermatozoa terikat. Fusi materi genetik dari sperma dengan oosit terjadi setelah protein membran spermatozoa terikat pada reseptor di vili membran oosit, selanjutnya terjadi distribusi DNA sperma ke dalam sitoplasma oosit yang berada dalam metafase II meisosis II. Ca2+ yang masuk bersamaan dengan masuknya materi genetik sperma menyebabkan aktivasi enzim kinase yang berfungsi dalam proteolysis pada siklin dan sekurin sehingga siklus sel dilanjutkan dan menghasilkan kromosom yang haploid dan akan diakhiri dengan terjadinya fusi membran pronuklear kedua gamet. Meningkatnya Ca2+ dalam sitoplasma sel telur menyebabkan beberapa dampak seperti aktivasi sel telur untuk meneruskan kembali proses meiosis II, eksositosis granula korteks dan pembentukan pronukleus. Senyawa penting seperti fertilin yang terdapat pada membran posterior kepala spermatozoa serta integrin, protein transmembran, yang dijumpai di permukaan membran plasma sel telur, kedua terlibat dalam peleburan membran plasma dan sel telur (Dzamba, 2009). Setelah sebuah sel sperma berhasil berdifusi dengan sel ovum, terjadi suatu reaksi kortikal yang menyebabkan zona pelusida menjadi keras sehingga mencegah spermatozoa lain untuk berdifusi dengan membran sel telur. Di dalam mekanisme cepat, terjadi perubahan ion-ion yang menyebabkan: permeabilitas terhadap Na+ meningkat sehingga terjadi depolarisasi membran yang hanya berlangsung beberapa detik, terjadinya influks Ca2+ dan enfluks H+ dari defosit intraseluler menyebabkan perubahan pH. Kejadian-kejadian tersebut membuat sel telur tidak dapat dipenetrasi kembali oleh spermatozoa yang lain dan akan memicu inisiasi perkembangan sel telur berikutnya. 2.3. Pembelahan
Gambar 4. Tahap pembentukan morula
Berbeda dengan sel somatik, sel gametofit pada manusia mengalami pembelahan mitosis yang berlangsung secara terus-menerus tanpa istirahat. Pola pembelahan mamalia berupa pembelahan holoblastik equal yaitu ketika pembelahan terjadi pada seluruh bagian zigot membentuk blastomer yang sama besar (Iwata, 2014). Proses pembelahan terjadi dalam beberapa tahap, pembelahan pertama dan kedua terjadi di daerah meridional yaitu pembelahan secara vertikal di tengah melewati poros kutub animal dan vegetal. Sedangkan pembelahan ketiga terjadi secara ekuatorial yaitu pada horizontal tepat di tengah. Pembelahan seperti itu disebut juga dengan pembelahan rotasional.
Gambar 5. Pembelahan zigot hingga proses pemadatan
Menurut Yatim (1990) pada manusia pembelahan terjadi secara holobastik tidak teratur. Dimana bidang dan waktu tahap-tahap pembelahan tidak sama dan tidak serentak pada berbagai daerah zigot. Jumlah sel yang terbentuk tidak meningkat secara eksponensial tiap tahapnya, awalnya zigot membelah menjadi 2 sel, kemudian terjadi tingkat 3 sel, kemudian tingkat 4 sel, diteruskan tingkat 5 sel, 6 sel, 7 sel, 8 sel, (Hirate, 2015). Pada manusia, tahap perkembangan morula terjadi selama hari-hari pertama dalam minggu pertama setelah pembuahan (GA minggu 3) dan digambarkan sebagai tahap Carnegie 2 (Dard, 2009). Morula ditandai dengan terjadinya pemadatan ketika sel berjumlah 8, kemudian akan terus membelah secara cepat membentuk 16 sel yang terdiri atas blastomere yang tersusun rapat dan kompak. Susunan ini dikemas sangat rapat melalui perlekatan antar membrane oleh protein adhesi seperti E-cadherin membentuk tight junction. Struktur tersebut menghubungkan membrane sel dengan gap junction pada bagian dalam yang berfungsi menyalurkan ion-ion serta molekul-molekul sederhana. Tahap ini diikuti dengan pembentukan rongga, blastocoel, yang menentukan pembentukan blastokista menyebabkan permukaan sel luar menjadi cembung dan permukaan bagian dalam menjadi cekung. Sel membelah secara melintang dan mulai membentuk formasi lapisan kedua secara samar pada kutub animal. Blastomer kemudian memadat menjadi blastodisk kecil membentuk dua lapis sel. Pada akhir pembelahan akan dihasilkan dua kelompok sel. Pertama kelompok sel- sel utama (blastoderm), yang meliputi sel-sel formatik atau gumpalan sel-sel dalam (inner mass cells), fungsinya membentuk tubuh embrio (Emura, 2020). Kedua adalah kelompok sel-sel pelengkap, yang meliputi trophoblast, periblast, dan auxilliary cells. Fungsinya melindungi dan menghubungkan embrio dengan induk atau lingkungan luas (Chard, 1995; Mercader, 2008). DAFTAR RUJUKAN Bessonnard S, Mesnard D & Constam DB. (2015). “PC7 and the related proteases Furin and Pace4 regulate E-cadherin function during blastocyst formation”. J. Cell Biol, 210, 1185-97 Chard, Tim & Lilford, Richard (1995). “Basic sciences for obstetrics and gynaecology”. Springer. p. 18. ISBN 978-3-540-19903-8. Dard N, Louvet-Vallée S & Maro B. (2009). “Orientation of mitotic spindles during the 8- to 16-cell stage transition in mouse embryos”. PLoS ONE, 4, e8171 Dzamba BJ, Jakab KR, Marsden M, Schwartz MA & DeSimone DW. (2009). “Cadherin adhesion, tissue tension, and noncanonical Wnt signaling regulate fibronectin matrix organization”. Dev. Cell, 16, 421-32 Emura N, Saito Y, Miura R & Sawai K. (2020). “Effect of Downregulating the Hippo Pathway Members YAP1 and LATS2 Transcripts on Early Development and Gene Expression Involved in Differentiation in Porcine Embryos”. Cell Reprogram Harris, A., Johnson, C. (2006). “Compare embryology of sea urchin, frog, bird and mammal similarities and differences”. Journal of Embryology 104 Hirate Y, Hirahara S, Inoue K, Kiyonari H, Niwa H & Sasaki H. (2015). “Par- aPKC-dependent and -independent mechanisms cooperatively control cell polarity, Hippo signaling, and cell positioning in 16-cell stage mouse embryos”. Dev. Growth Differ. 57, 544-56. Iwata, K., Yumoto, K., Sugishima, M., Mio, Y. (2014). “Analysis of Compaction Initiation in Human Embryos Using Time-Lapse Cinematography”. Journal of Assisted Reproduction and Genetics Mercader, Amparo et al. (2008). "Human embryo culture". In Lanza, Robert; Klimanskaya, Irina (eds.). Essential stem cell methods. Academic Press. p. 343 Milachich T. (2014). “New advances of preimplantation and prenatal genetic screening and noninvasive testing as a potential predictor of health status of babies”. Biomed Res Int, 2014, 306505. Yatim, W. (1994). “Reproduksi dan Embriogenesis”. Tarsito, Bandung. Zhang P, Zucchelli M, Bruce S, Hambiliki F, Stavreus-Evers A, Levkov L, Skottman H, Kerkelä E, Kere J & Hovatta O. (2009). “Transcriptome profiling of human pre-implantation development”. PLoS ONE, 4, e7844. PMID: 19924284 DOI.