ACE HARDWARE
INDONESIA, TBK DENGAN MODEL FREE CASH FLOW TO EQUITY
ABSTRAK
Valuasi saham adalah salah satu hal penting dalam berinvestasi. Tujuan dari valuasi saham
adalah untuk membantu investor meminimalkan risiko investasi melalui nilai intrinsik dalam
mengambil keputusan investasi. Model evaluasi untuk menghitung harga wajar saham dalam
penelitian ini adalah Free Cash Flow to Equity (FCFE) dengan two stage model. Penelitian
ini menggunakan penelitian deskriptif dengan menggunakan informasi perusahaan pada
sektor ritel yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yaitu PT ACE Hardware Indonesia Tbk
(kode emiten: ACES) dari tahun 2013 hingga 2017.
Saham di sektor ritel yang masih mengalami pertumbuhan positif hingga akhir 2017
walaupun beberapa perusahaan ritel yang lain mengalami penurunan. Di tengah sentimen
perlambatan kemampuan daya beli masyarakat, beberapa perusahaan perdagangan ritel
masih mampu membukukan kinerja yang bagus pada 2017 lalu. PT ACE Hardware
Indonesia Tbk masih mampu membukukan pertumbuhan kinerja keuangan pada 2017 lalu
dan mendorong harga sahamnya terus menguat.
Tahapan dalam valuasi saham dimulai dengan menilai kinerja perusahaan pada masa lalu,
analisis terhadap laporan keuangan, proyeksi kinerja keuangan dan perhitungan nilai saham
perusahaan. Berdasarkan hasil valuasi dengan menggunakan model Free Cash Flow to
Equity (FCFE) menunjukan bahwa harga saham ACES pada tanggal 28 September 2018
adalah sebesar Rp.1,445. Jika dibandingkan antara nilai intrinsik dan nilai pasar, dapat
dikatakan bahwa harga per lembar saham PT ACE Hardware Indonesia Tbk adalah
overvalued. Keputusan investor yang direkomendasikan untuk dijual karena harganya
diprediksi akan turun mendekati harga wajarnya.
.
Kata kunci: Valuasi, Ritel, ACES, Nilai Intrinsik, Free Cash Flow to Equity
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam menghadapi situasi perekonomian di Indonesia saat ini membawa dampak
persaingan bisnis yang semakin ketat dan tidak stabil. Dengan melemahnya investasi,
indikator ekonomi lain yang fluktutatif serta ketidakstabilan nilai mata uang dollar terhadap
rupiah, perusahaan harus bisa menghadapi persaingan yang semakin ketat dalam industrinya.
Karena tidak stabilnya perekonomian di Indonesia menjadi dampak kerugian terhadap
pelaku investasi dengan melemahnya nilai saham yang dimiliki. Sedangkan bagi perusahaan
sulit untuk mencari sumber pendanaan dari luar perusahaan yaitu investor maupun kreditur.
Pada kondisi perekonomian seperti ini sebaiknya investor menilai lebih selektif dalam
melakukan tindakan investasi.
Penilaian harga wajar saham juga perlu mendapat perhatian lebih bagi para investor.
Untuk memperkecil risiko dalam berinvestasi hendaknya investor mengetahui harga wajar
saham saham suatu perusahaan. Nilai wajar saham suatu perusahaan menjadi penting untuk
diketahui para investor mengingat tren pasar yang seringkali membuat harga saham di pasar
menjadi tidak sesuai dengan nilai intrinsik yang ada pada perusahaan.
Industri ritel modern di Indonesia tahun 2017 sedang diuji. Penjualan ritel modern
diperkirakan tak secemerlang tahun-tahun sebelumnya, seperti pada tahun 2016 penjualan
ritel modern tumbuh 9%. Nielsen memperkirakan pertumbuhan penjualan ritel nasional
sebesar 6%, padahal secara historis angka pertumbuhan penjualan ritel di Indonesia mampu
mencapai kisaran 10% – 11%.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi, gaya hidup masyarakat yang bergeser dari
konsumsi ke pariwisata, serta keputusan konsumen untuk menahan pembelian dan
menghemat pengeluaran, disebut-sebut menjadi pemicu turunnya penjualan ritel modern.
Pertumbuhan ekonomi akan menjadi kunci kesinambungan bisnis ritel modern. Dalam
APBN 2018, asumsi pertumbuhan ekonomi dipatok 5,4%, lebih tinggi dari APBN-P 2017
sebesar 5,2%. Sedangkan asumsi inflasi tahun depan ditetapkan 3,5%, lebih rendah dari
tahun ini 4,3%. Dengan pertumbuhan ekonomi lebih baik dan inflasi lebih rendah, penjualan
ritel modern ke depan seharusnya tumbuh signifikan.
Adapun saham yang akan digunakan dalam model perhitungan nilai wajar saham
adalah saham PT ACE Hardware Indonesia, Tbk., yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
dengan kode emiten yaitu ACES. Dipilihnya ACES sebagai objek penelitian karena saham
ACES merupakan salah satu saham di sektor ritel yang masih mengalami pertumbuhan
positif hingga akhir 2017 walaupun beberapa perusahaan ritel yang lain mengalami
penurunan. Di tengah sentimen perlambatan kemampuan daya beli masyarakat, beberapa
perusahaan perdagangan ritel masih mampu membukukan kinerja yang bagus pada 2017
lalu. ACES mampu membukukan pertumbuhan kinerja keuangan pada 2017 lalu dan
mendorong harga sahamnya terus menguat.
Penilaian harga wajar saham ACES dalam penelitian ini menggunakan model yaitu
free cash flow to equity (FCFE). Pemilihan model FCFE ini sebagai salah satu model yang
digunakan dalam penelitian ini karena model FCFE adalah suatu arus kas bersih bagi ekuitas
perusahaan dimana FCFE ini dijadikan suatu dasar untuk mengestimasi nilai wajar (nilai
intrinsik) suatu investasi. Menurut Damodaran mengatakan bahwa untuk mengestimasi uang
kas suatu perusahaan yang dapat memberikan keuntungan kepada pemegang saham setelah
perusahaan memperhitungkan belanja modal, modal kerja, dan kewajiban hutang
perusahaan.
2
Kemampuan kinerja positif harga saham ACES, yang membuat saham ACES dalam
beberapa tahun terakhir menjadi incaran para investor dan beberapa pengamat ekonomi
mengatakan bahwa harga saham ACES sudah cukup tinggi dibandingkan harga sebenarnya.
ACES membukukan kinerja positif sepanjang tahun 2017 yaitu mencatatkan penjualan
sebesar Rp 5,87 triliun atau naik 20,33% dibandingkan tahun 2016 yang sebesar Rp 4,88
triliun. Kenaikan penjualan ini juga diikuti oleh kenaikan beban pokok penjualan sebesar
20,1% menjadi Rp3,1 triliun pada 2017, tetapi ACES masih tetap mampu membukukan
kenaikan laba bersih 9,4 persen menjadi Rp 777,7 miliar dari Rp 710,6 miliar pada 2016 lalu.
Berdasarkan laporan keuangan ACES, kenaikan penjualan sepanjang tahun 2017 ini
didorong oleh penjualan produk perbaikan rumah yang tumbuh 16,7% menjadi Rp 3,3 triliun,
penjualan produk gaya hidup tumbuh 24,7 persen menjadi Rp 2,4 triliun, dan penjualan
produk mainan tumbuh 36% menjadi Rp 176,2 miliar. Adapun secara persentase kontribusi
terhadap total penjualan, produk perbaikan rumah berkontribusi sebesar 56%, dan selebihnya
dari produk gaya hidup sebesar 41%, serta sebagian kecil produk mainan.
Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, secara khusus penulis tertarik
melakukan penelitian untuk mengetahui dan menghitung nilai intrinsik saham PT ACE
Hardware Indonesia Tbk apakah saham ACES mengalami over value, under value atau fair
value (wajar)? dan strategi pembelian saham yang dapat diberikan kepada para investor yang
memungkinkan mendatangkan keuntungan di kemudian hari.
3
2. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Investasi
Menurut Relly dan Brown investasi adalah, “investment is the current commitment of
dollar for a period of time to derive future payment that will compensate the investor for (1)
the time the funds are committed, (2) the expected rate of inflation, (3) the uncertainty of the
future payment.” Sharpe dkk., menjelaskan bahwa investasi dalam arti luas, berarti
mengorbankan dolar sekarang untuk dolar pada masa depan. Investasi pada hakikatnya
merupakan penempatan sejumlah dana pada saat ini dengan harapan untuk memperoleh
keuntungan dimasa mendatang (Halim, 2005:4).
2.2 Saham
Saham adalah tanda bukti kepemilikan perusahaan. Pemilik saham disebut juga
pemegang saham (shareholder atau stockholder). Bukti bahwa seorang atau suatu pihak
dapat dianggap sebagai pemegang saham adalah apabila seseorang atau suatu pihak sudah
tercatat sebagai pemegang saham dalam buku yang disebut daftar pemegang saham (DPS)
(Anoraga dan Pakarti, 2008:58).
4
dan kemudian membandingkannya dengan harga pasar saat ini (current market price). Nilai
intrinsik (NI) menunjukkan present value arus kas yang diharapkan dari saham tersebut.
Analisis fundamental adalah metode analisis yang didasarkan pada fundamental
ekonomi perusahaan (Bodie, Kane & Marcus, 2009). Teknik ini melihat dari sudut pandang
rasio finansial dan kejadian – kejadian yang secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan. Analisis fundamental ini pada dasarnya fokus
pada analisis kondisi makro, kondisi industri, dan kondisi fundamental perusahaan.
2.5.1 Analisis Makro
Kebijakan moneter dan kebijakan fiskal yang diterapkan oleh pemerintah suatu negara
akan mempengaruhi perekonomian secara keseluruhan di negara tersebut, yang pada
akhirnya juga akan mempengaruhi kegiatan seluruh industri dan perusahaan. Maka
disarankan sebelum berinvestasi pada suatu negara, melakukan analisis kondisi
perekonomiannya secara mendalam, seperti kebijakan fiskal, moneter, tingkat inflasi, dan
suhu politiknya.
Analisis makro diawali dengan analisis pada faktor eksternal baik yang bersifat global
maupun domestik yang mempengaruhi perusahaan dalam industrinya. Analisis faktor
eksternal tersebut akan memberikan gambaran kondisi permintaan (demand) dan penawaran
(supply) terhadap produk dalam industri tersebut dan akan memberikan gambaran prediksi
bagaimana hal tersebut akan berubah.
2.5.2 Analisis Industri
Proses berikut dari tahap penilaian adalah mengidentifikasi industri-industri yang
mengalami kemakmuran atau menderita dalam siklus perekonomian. Reaksi industri
terhadap perubahan perekonomian akan berbeda-beda pada titik siklus bisnis (business
cycle) tertentu. Dalam proses ini, diharapkan investor menganalisis secara dalam bidang
industri yang berprospek cerah di masa mendatang, sehingga investor dapat memilih bidang
industri mana yang layak dimasuki.
Analisis industri juga memberikan gambaran resiko kepada para investor dalam
menyusun portofolio-nya. Jika suatu industri memiliki tingkat sensitifitas yang lebih tinggi
dari pasar maka industri tersebut memiliki risiko yang lebih tinggi dari rata-rata sehingga
saat ekonomi memasuki masa resesi maka jenis industri inilah yang paling merasakan
dampaknya, namun saat ekonomi memasuki masa ekspansi maka biasanya jenis industri ini
masuk ke dalam pilihan portfolio para investor (Bodie, Kane & Marcus, 2009).
2.5.3 Analisis Perusahaan
Setelah analisis industri dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai industri
tersebut, maka langkah selanjutnya dalam top-down approach adalah analisis perusahaan
untuk menganalisis posisi dan kinerja perusahaan dalam industri tersebut. Dalam analisis
perusahaan, salah satunya yaitu proses yang membandingkan kinerja perusahaan dengan
menggunakan rasio-rasio keuangan dan risiko sistematis. Terdapat lima jenis rasio yang
umum digunakan dalam analisis rasio keuangan, yaitu rasio likuiditas (liquidity ratio), rasio
profitabilitas (profitability ratio), rasio solvabilitas (solvency ratio), rasio aktivitas (turnover
ratio), dan market value ratios. Kelima rasio tersebut digunakan sesuai tujuan analisis yang
dilakukan terhadap perusahaan (Ross, Westerfield, Jaffe & Jordan, 2009).
2.5.4 Kinerja Keuangan Masa Lalu
Langkah pertama dari proses valuasi adalah memeriksa semua informasi yang relevan
dengan bisnis perusahaan yaitu dengan analisis keuangan. Tujuan dari analisis keuangan
adalah untuk menilai kinerja perusahaan dalam konteks tujuan dan strateginya. Alat dari
analisis kinerja keuangan pada masa lalu adalah ratio analysis dan cash flow analysis
(Palepu, 2009).
5
2.5.5 Analisis Proyeksi Perusahaan
Tahap selanjutnya adalah melalukan proyeksi laporan keuangan perusahaan. Proyeksi
keuangan diperlukan dalam menganalisis saham dan juga oleh manajemen perusahaan, pihak
bank dan pihak lainnya untuk menghitung kelangsungan hidup perusahaan. Untuk
mendapatkan proyeksi keuangan yang mendekati keadaan sesungguhnya diperlukan
langkah-langkah yang tepat, sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh tentang prospek
perusahaan di masa yang akan datang. Proyeksi laporan keuangan yang dilakukan meliputi
neraca, laporan rugi laba dan laporan arus kas. Pendekatan yang sering dilakukan dalam
melakukan proyeksi atas neraca dan rugi laba adalah demand driven forecast yang dimulai
dengan memprediksi penjualan.
2.6 Model Free Cash Flow to Equity (FCFE)
Model Free Cash Flow to Equity (FCFE) merupakan turunan dari metode Discounted
Cash Flow, penggunaan model ini berdasarkan pada aturan bahwa nilai suatu aset adalah
nilai kini dari aliran kas masa depan yang diharapkan (present value of expected future cash
flows) yang dihasilkan oleh aset tersebut. (Damodaran, 2002)
FCFE mengasumsikan bahwa semua free cash flow akan dibagikan ke pemilik modal
seluruhnya sebagai dividen, sehingga tidak ada reinvestasi. Oleh karena itu, pertumbuhan
FCFE akan sama dengan pertumbuhan laba bersih dan bukan pertumbuhan dari marketable
securities (surat berharga). Ketika melakukan valuasi dengan menggunakan FCFE ini juga
harus mempertimbangkan kondisi perusahaan, apakah berada pada pertumbuhan yang
konstan (constant growth model); pertumbuhan dua tahap (two stage growth model) yakni
tingkat pertumbuhan lebih cepat pada awal periode dan akan stabil setelah periode tertentu;
serta pertumbuhan tiga tahap (three stage growth model) yakni tingkat pertumbuhan yang
tinggi pada awal periode, menurun, dan kemudian stabil.
Rumus dan Framework dan rumus untuk menghitung FCFE menurut Damodaran
(2002) adalah sebagai berikut:
6
FCFE = NI – Net CapEx – ∆NCWC + Net Debt (1)
Keterangan:
NI = Net Income
Net CapEx = Capital Expenditures – Depreciation
∆NCWC = Changes in Net Working Capital
Net Debt = New Debt Raised – Debt Repayment
Ke = Rf + β (Rm + Rf ) (2)
Keterangan:
Ke = biaya ekuitas (cost of equity)
Rf = tingkat bunga bebas resiko (risk free rate)
β = faktor resiko dari pasar yang sistematis (beta)
Rm = tingkat bunga investasi rata-rata dari pasar (market return)
Rp = premi risiko pasar (market risk premium) or Rm- Rf
7
yang diharapkan. Pasaribu (2013) menuangkan rumus yang dapat digunakan dalam
mendapatkan hasil estimasi tersebut, yaitu sebagai berikut:
𝑰𝑯𝑺𝑮𝒕 − 𝑰𝑯𝑺𝑮 𝒕−𝟏
Rm.t = (3)
𝑰𝑯𝑺𝑮 𝒕−𝟏
Keterangan:
Rm.t = market return on day-t.
IHSGt = Indonesian Composite Index on day-t.
IHSGt-1 = Indonesian Composite Index on day t-1.
2.7.5 Premi risiko pasar (market risk premium = Rp atau Rm-Rf)
Market risk premium sebagai variabel yang ketiga adalah interpretasi tingkat risiko
pasar dimana semakin besar market risk premium maka akan semakin besar pula risiko untuk
berinvestasi pada saham tersebut.
Dengan menggunakan pendekatan CAPM risk premium didefinisikan sebagai
perbedaan antara tingkat pengembalian rata-rata atas saham dengan tingkat pengembalian
rata-rata atas risk free rate.
Rp = Rm – Rf (4)
g = RR x ROE (5)
Keterangan :
g = pertumbuhan
RR = 𝑁𝑒𝑡 𝐼𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒−𝐷𝑖𝑣𝑖𝑑𝑒𝑛
retention ratio (1-Dividen Payout Ratio) atau
𝑁𝑒𝑡 𝐼𝑛𝑐𝑜𝑚𝑒
ROE = return on equity
8
𝑭𝑪𝑭𝑬 𝒏+𝟏
Terminal Value = (6)
𝑲𝒆,𝒔𝒕 −𝒈
Keterangan :
FCFE n+1 = arus kas bersih pada tahun n
Ke,st = biaya ekuitas (cost of equity) periode stable growth
g = tingkat pertumbuhan stabil
3. METODOLOGI
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Berdasarkan deskripsi tersebut maka
penelitian ini akan mengumpulkan, mengolah, menyederhanakan, menyajikan, dan
menganalisis data laporan keuangan perusahaan PT ACE Hardware Indonesia, Tbk. dengan
data 5 tahun kebelakang yaitu dari tahun 2013 hingga akhir tahun 2017. Data-data tersebut
digunakan untuk menghitung harga wajar saham (nilai instrinsik) dengan menggunakan
model Free Cash Flow to Equity (FCFE).
10
4. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
11
Gambar 2. Komposisi pemegang saham PT ACE Hardware Indonesia, Tbk.
12
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Makro
Berikut beberapa analisis makro yang terjadi diindonesia hingga akhir tahun 2017
sebagai berikut:
5.1.1 Politik
Terdapat beberapa faktor politik yang dapat mempengaruhi industri ritel Indonesia saat
ini beberapa tahun kedepannya, yaitu:
1. Perhelatan Pemilu
Indonesia pada beberapa tahun terakhir dan kedepannya akan mengalami beberapa
pemilihan umum, baik pemilihan kepala daerah (pilkada) dan juga pemilihan presiden
(pilpres). Sebelum perhelatan ini berlangsung banyak partai-partai dan calon kepala daerah
akan banyak berbelanja untuk kebutuhan kampanye seperti, tekstil dan makanan pada tahun
politik serta jumlah uang beredar banyak. Hal ini menjadi peluang bagi industri ritel dalam
untuk menggenjot pertumbuhan bisnisnya.
Perhelatan pemilu ini juga menjadi ancaman bagi industri dimana masyarakat kelas
menengah atas cenderung menahan belanja. "Daya beli ada, tapi kekhawatiran politik
jadinya wait and see." Karena menahan belanja, masyarakat golongan tersebut memilih
menyimpan uangnya di bank dan juga cenderung memilih belanja pengalaman. Dalam hal
ini adalah menghabiskan uangnya untuk rekreasi (leisure).
2. Kestabilan politik dan keamanan
Stabilitas politik dan keamanan sangat penting dalam upaya meningkatkan investasi,
menumbuhkan daya saing masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan serta pemerataan
ekonomi. Namun, stabilitas politik dan keamanan tidak boleh dijalankan dengan cara-cara
yang otoriter. Stabilitas politik harus berbasis pada kinerja dan berbasis pada demokrasi
sehingga Indonesia menjadi sehat. Iklim politik Indonesia saat ini dan kedepannya diyakini
aman karena di panggung politik kali ini tidak ada tokoh-tokoh yang berpotensi
menimbulkan kontroversi hingga mampu memecah-belah masyarakat. Hal ini menjadi
peluang bagi industri dengan kestabilan politik, masyarakat dan investor tidak kuatir dalam
berinvestasi pada industri retail.
5.1.2 Ekonomi
1. Pertumbuhan ekonomi Indonesia
Pertumbuhan ekonomi diprediksi hanya mencapai 5.4% di tahun 2018 seiring masih
stagnannya dorongan pertumbuhan ekonomi dari konsumsi rumah tangga. Meskipun
demikian, di tahun 2019-2020, pertumbuhan ekonomi diprediksi dan target pemerintah
meningkat ke level 6% akibat dorongan dari konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor.
Selain itu, di tahun 2018 juga akan dilaksanakan pilkada serentak di 171 daerah yang
diperkirakan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi rumah tangga.
Hal ini menjadi peluang bagi industri ritel untuk meningkatkan pasar dan pengembangan
produknya.
2. Inflasi
Inflasi di akhir tahun 2018 diprediksi akan berada di bawah 3% tepatnya berada
diikisaran 2.95% (YoY). Proyeksi menurunnya inflasi didorong oleh implementasi kebijakan
harga eceran tertinggi (HET) yang mampu menekan sumber inflasi dari volatile foods.
Proyeksi inflasi di tahun 2018 juga masih dalam rentang target Bank Indonesia yang
diturunkan menjadi sebesar 3.5% ± 1% dari sebelumnya sebesar 4% ± 1%.
3. Iklim investasi
Akibat dorongan investment grade pada Februari 2017 serta membaiknya iklim bisnis
di Indonesia yang tercermin dari kenaikan index doing business memberikan potensi
stabilnya investasi ditahun 2018 di level sekitar 7%. Peningkatan tersebut merupakan
peluang bagi industri ritel untuk berinvestasi dan meningkatkan pasar dan produk.
13
4. Nilai tukar Rupiah
Akibat Nilai tukar diprediksi cenderung mengalami tren pelemahan di tahun 2018.
Nilai tukar rupiah sepanjang 2017, secara umum stabil yang didorong oleh meningkatnya
capital inflow meski pada kuartal akhir 2017 cenderung melemah seiring isu reformasi pajak
AS, tapering ECB, serta calon pengganti Gubernur The Fed. Nilai tukar rupiah dibandingkan
dengan beberapa peersnya cenderung memiliki performa yang lebih buruk. Di tahun 2018,
nilai tukar rupiah secara rata-rata diprediksi melemah dan mencapai mencapai rata-rata
Rp13,560 di Desember 2018. Hal tersebut diperkirakan dipengaruhi oleh sentimen
normalisasi kebijakan moneter The Fed, ECB dan Bank of Japan.
5. Ekonomi Digital
Pertumbuhan Industri ekonomi digital yang semakin meningkat tentunya menjadi
ancaman bagi industril ritel modern dan tradisional. Hal ini karena peningkatan transaksi e-
commerce hal ini akan sangat berdampak langsung pada industri retail tradisional dan
konvensional kedepannya.
5.1.3 Sosial Budaya
1. Pertumbuhan jumlah penduduk
Peningkatan populasi Indonesia semakin pesat, saat ini jumlah penduduk Indonesia
mencapai 252 juta orang. Peningkatan jumlah penduduk sebanding dengan peningkatan
kebutuhan dan pendapatan per kapita penduduk indonesia. Sehingga kenaikan pendapatan
mendorong naiknya tingkat kebutuhan dan daya beli masyarakat dan menjadi peluang
industri ritel.
2. Pola konsumsi masyarakat
Dengan pertumbuhan generasi milinial adanya pergeseran daya beli dalam hal belanja
dimana belanja bukan ke konsumsi tetapi gaya hidup. Pola konsumsi masyarakat yang
berubah, dari fokus belanja leisure and lifestyle.
3. Perilaku belanja online
Perkembangan e-commerce punya pengaruh sekitar 2% terhadap total pertumbuhan
konsumsi rumah tangga dari baseline dan semakin meningkat. Menurunnya daya beli
masyarakat pada sektor industri retail konvensional seiring dengan maraknya pertumbuhan
toko online atau e-commerce. Adanya disruption atau arus perubahan dari konvensional ke
non-konvensional memengaruhi pola konsumsi masyarakat. Karena pola belanja masyarakat
beralih lewat online.
5.1.4 Teknologi
1. Financial Teknologi (Fintech)
Diprediksikan bisnis Fintech akan semakin besar dan menarik di tahun 2018 dan
seterusnya. Layanan Fintech terkoneksi dengan banyak lembaga perbankan dan bisa
digunakan untuk melakukan semua transaksi yang bersifat e-cash. Suksesnya penerapan
Fintech didalam berbagai aktifitas bisnis dan layanan baik offline maupun online ini akan
menjadi daya dorong dalam perkembangan dalam industri retail khusus dalam hal
pembayaran secara non tunai (cass less).
2. Business intelligence
Indonesia sendiri merupakan negara ke 4 terbesar dunia untuk pengguna Facebook,
nomer 5 untuk Twitter dan juga nomer 3 untuk pertumbuhan para pengguna internet di dunia.
Teknologi digital memungkinkan pelaku bisnis mendapatkan sumber informasi baru
mengenai konsumen yang tidak pernah didapat sebelumnya. Informasi mendalam di dunia
digital bisa digunakan untuk memprediksi perilaku, mencari target konsumen yang cocok
atau bahkan bisa dijadikan dasar untuk solusi-solusi baru.
3. Perangkat Digital
Aktifitas online pada tahun 2018 lebih dari 50% akan menggunakan perangkat
bergerak. Perubahan pola kearah aktifitas online ini sangat dipengaruhi oleh tinggi
14
penggunaan mobile device seperti smartphone dan tablet. Pertumbuhan transaksi e-
commerce Indonesia diprediksi semakin meningkat seiring perkembangan perangkat
teknologi dimana semakin mudah, canggih, cepat dan real time. Hal ini akan sangat
mempengaruhi penjualan dari industri retail konvesional (offline).
Tabel 1. Rata-rata Industri Perdagangan Eceran Sektor Layanan Perdagangan dan Investasi
Tabel 2. Informasi laporan keuangan dan debt ratio PT ACE Hardware Indonesia
(dalam jutaan Rupiah)
Akun 2013 2014 2015 2016 2017 Average
Net Income 503.003 548.892 584.873 706.151 780.687
Depre & Amortization 71.462 75.367
Account Receivable 24.979 19.782 16.146 28.143 89.837
Inventory 1.112.546 1.295.682 1.522.348 1.590.127 1.849.189
Account Payable 116.529 107.003 127.367 107.522 168.710
Capex 83.789 96.528 123.586 122.922 187.331
Debt Ratio (DR) 22,73% 19,86% 19,55% 18,29% 20,74% 20,23%
1-Debt Ratio (DR) 77,27% 80,14% 80,45% 81,71% 79,26% 79,77%
Sumber : Hasil Olahan
Grafik 2. Pembagian
Deviden PT ACE
Hardware Indonesia,
Tbk. periode tahun
2013-2017
Sumber : Hasil Olahan
2. Capital structure dari perusahaan ini relatif stabil, perbandingan antara liabilitas dan
ekuitas dapat dijaga pada level tertentu, sehingga dapat kita asumsikan bahwa rata-rata
nilai ekuitas dari perusahaan ini adalah 79,26% dari keseluruhan nilai perusahaan,
sedangkan rata-rata nilai debt-nya adalah 20,23%.
16
5.5 Analisis Proyeksi PT ACE Hardware Indonesia, Tbk.
Di tengah sentimen perlambatan kemampuan daya beli masyarakat, beberapa
perusahaan perdagangan ritel masih mampu membukukan kinerja yang bagus pada 2017
lalu. Salah satunya adalah PT ACE Hardware Indonesia. Tbk, (kode emiten: ACES) yang
mampu membukukan pertumbuhan kinerja keuangan pada 2017 lalu dan mendorong harga
sahamnya terus menguat. Untuk memperoleh hasil yang baik dalam valuasi ini, peneliti
memberikan beberapa proyeksi dan asumsi yang peneliti dapatkan dari berbagai macam
sumber adalah sebagai berikut:
1. Tidak melakukan normalize dikarenakan net income, earning per share (EPS),
dividend per share (DPS) pada perusahaan ACES masih positif dan range nilainya dari
tahun ke tahun tidak berubah secara signifikan.
2. Beta yang diperoleh senilai 0,4358 (hasil perhitungannya diperoleh dari (0.1537 x 2/3)
+ (1 x 1/3)) yang digunakan sebagai discount rate, beta diperoleh dari sumber yahoo
finance dan perhitungannya ada pada lampiran ms excel pada email. Beta tersebut
adalah perkiraan dari tahun 2013 hingga 2017 dan diasumsikan beta tidak akan berubah
pada 5 tahun kedepan. Pada saat posisi stabil beta yang digunakan yaitu 1,00
diasumsikan karena kemungkinan ACES memiliki high risk saat posisi stable.
3. Rate untuk risk free dan risk premium yaitu masing-masing 6,31% dan 2,49%, rate ini
diperoleh dari sumber www.market-risk-premia.com. Rate yang digunakan adalah rate
pada akhir Desember tahun 2017.
4. Expected high growth diasumsikan dari kemampuan perusahaan dalam memperoleh
laba berdasarkan modal saham tertentu (ROE) dan persentase laba yang didistribusikan
sebagai dividen (DPR), berdasarkan data fundamental perusahaan diasumsikan dengan
2 skenario yaitu skenario optimis dengan expected high growth yang akan terjadi
adalah sebesar 15,45% sedangkan skenario pesimis yaitu dengan expected high growth
sebesar 10% (angka pessimistic 10% didapat dari perhitungan growth menggunakan
rumus geometric mean 5 tahun terakhir). Pada saat posisi stabil expected growth yang
kami asumsikan yaitu 5,00% di bawah target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada
saat ini tahun 2018 yaitu sebesar 5,4%.
5. Dilihat dari pertumbuhan jumlah gerai, kami mengasumsikan bahwa ACES akan terus
mengalami fase high growth selama 5 tahun ke depan. Setelah 5 tahun kami
mengasumsikan ACES akan memasuki fase stable growth, karena pertumbuhan pasar
dan angka pertumbuhan gerai akan mendekati angka pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Oleh karena itu, kami menggunakan FCFE Two Stages Method.
Dari hasil perhitungan valuasi diatas dengan menggunakan model Free Cash Flow to
Equity Two Stages, diperoleh harga wajar saham berkisar antara Rp 1.017,08 – Rp 1.332.98
Perbandingan harga wajar saham dengan harga pasar yang tercatat di Bursa Efek Indonesia
(BEI) pada tanggal 28 September 2018.
19
6. KESIMPULANG DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah
bahwa nilai intrinsik saham PT ACE Hardware Indonesia Tbk (ACES) dengan menggunakan
model Free Cash Flow to Equity (FCFE) Two Stages dengan menggunakan 2 skenario yaitu
skenario pesimis dengan expected high growth sebesar 10,00% dan skenario pesimis dengan
expected high growth sebesar 15,45% adalah berkisar antara Rp 1.017,08 – Rp 1.332.98.
Sedangkan harga saham (market value) pada tanggal 28 September 2018 adalah sebesar
Rp.1,445. Jika dibandingkan antara nilai intrinsik dan nilai pasar, dapat dikatakan bahwa
harga per lembar saham PT ACE Hardware Indonesia Tbk adalah overvalued. Keputusan
investor yang dapat dipertimbangkan adalah untuk menjual saham PT ACE Hardware
Indonesia.
6.2 Saran
Untuk saran bagi peneliti berikutnya yang akan membahas valuasi saham agar dapat
mengumpulkan data-data spesifik perusahaan terutama mengenai strategi pertumbuhan
perusahaan dimasa depan melalui wawancara langsung dengan pihak perusahaan. Hasil dari
wawancara tersebut akan lebih memaksimalkan asumsi peneliti dalam melakukan
forecasting. Untuk penelitian lebih lanjut sebaiknya menggunakan data kuartalan karena
observasinya akan lebih banyak sehingga akan meningkatkan akurasi dalam proyeksi untuk
model Free Cash Flow to Equity (FCFE) serta dapat menggunakan model valuasi saham
lainnya.
20
7. DAFTAR PUSTAKA
21