Anda di halaman 1dari 12

I

PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Metode penelitian sejarah lazim juga disebut metode sejarah. Metode berarti cara,
jalan, atau petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis,1 sedangkan penelitian adalah
kegiatan mengumpulkan data. Jadi, metode penelitian adalah cara-cara yang digunakan
untuk mengumpulkan data.2 Metodologi berbeda dengan metode, meskipun jelas bertalian
erat. Bila metodologi adalah bidang teori yang membahas to know how to
know(mengetahui bagaimana seharusnya mengetahui) tentang metode-metode yang ada,
sedangkan metode itu sendiri ialah teknik-teknik atau cara bagaimana melakukan
penelitian dalam berbagai bidang disiplin atau kajian tertentu. 3 Metode ada hubungannya
dengan suatu prosedur, proses, atau teknik yang sistemetis dalam penyelidikan suatu
disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek (bahan-bahan) yang diteliti.
Dengan demikian, metode erat hubungannya dengan metodologi.4 Jika
dihubungkan kepada sejarah, maka metode sejarah itu adalah seperangkat azas dan
kaidah-kaidah sistematis yang diharuskan untuk membantu secara efektif memilih subjek
kajian dan menentukan informasi mengenainya, menilainya secara kritis minimal pada
dua hal, yaitu: masalah otentitas (kritik ekstern) dan masalah kreadibilitas (kritik intern),
serta menyajikan suatu sintesis hasil yang dicapai, pada umumnya dalam bentuk tertulis.5  
Menurut Hugiono dan Poerwantana, istilah metode dalam arti metode sejarah
hendaknya diartikan yang lebih luas, tidak hanya pelajaran mengenai analisa kritik saja,
melainkan juga meliputi usaha sintesis daripada data yang ada sehingga menjadi
penyajian dan kisah sejarah yang dapat dipercaya. Metode sejarah adalah proses untuk
mengkaji dan menguji kebenaran rekaman dan peninggalan-peninggalan masa lampau
dan menganalisis secara kritis.6 Jadi, menurut penulis, metode sejarah adalah sebuah
1
Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah Islam (Yogjakarta: Ombak, 2011), hal.
103.
Heddy Shri Ahimsa Putra, “Paradigma, Epistemologi dan Metode Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah
2

Pemetaan”, Makalah, Disampaikan dalam Pelatihan “Metodologi Penelitian”, yang diselenggarakan oleh


CRCS-UGM di Yogyakarta, 12 Februari – 19 Maret 2007, hal. 22.
3
Mestika Zed, Metodologi Sejarah (Padang: Jurusan Sejarah Universitas Negeri Padang, 1999),
hal. 32.
4
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah (Jogjakarta: Ombak, 2012), hal. 11.
5
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 1985), hal. 32-34.
6
Hugiono dan P.K. Poerwantana, Pengantar Ilmu Sejarah (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 25.

1
proses atau teknik untuk mengkaji kebenaran di dalam dokumen atau peninggalan masa
lalu, dengan mengkritisinya agar menemukan sebuah data yang otentik dan dapat
dipercaya. Metode sejarah itu sangat penting dalam melakukan sebuah pengkajian untuk
mencari sebuah kebenaran.
Ketika mencari kebenaran, sejarawan dihadapkan dengan kebutuhan untuk
membedakan apa yang benar, apa yang tidak benar, apa yang mungkin dan apa yang
meragukan atau mustahil. Untuk dapat memutuskan ini semua sejarawan harus
mengerahkan segala kemampuan pikirannya, bahkan seringkali ia harus menggabungkan
antara pengetahuan, sikap ragu, percaya begitu saja, dan menggunakan akal sehat. Inilah
fungsi kritik sehingga karya sejarah merupakan produk dari suatu proses ilmiah yang
dapat dipertanggungjawabkan, bukan hasil dari suatu fantasi, manipulasi atau fabrikasi
sejarawan.7
Kritik sumber umumnya dilakukan terhadap sumber-sumber pertama. Kritik ini
menyangkut verifikasi sumber, yaitu pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan dari
sumber itu. Dalam metode sejarah dikenal dengan cara melakukan kritik eksternal dan
kritik internal.8 Yang menjadi latar belakang masalah dengan adanya kritik sumber adalah
manusia tidak luput dari kesalahan, baik itu kesalahan yang disengaja maupun kesalahan
yang tidak disengaja sebagaimana dijelaskan Sjamsuddin bahwa:

“…dalam kehidupan nyata sehari-hari, manusia selain telah banyak berbuat


yang benar tidak jarang pula membuat kesalahan-kesalahan (disengaja
ataupun tidak disengaja), bahkan ada pula yang tidak segan-segan
melakukan pemalsuan atau kejahatan lainnya.”9

Selain itu, Sjamsuddin juga memberikan contoh kasus yang ada di media cetak,
seperti dalam surat-surat pembaca dalam surat kabar atau majalah, misalnya, sering kali
ditemui pembaca-pembaca kritis yang mencoba membantah atau meluruskan asal dan/isi
berita atau artikel yang dimuat sebelumnya. Acap kali kritikan-kritikan ini mendapat
respon dari penulis atau surat kabar atau majalah yang bersangkutan, sehingga tulisan
tersebut diralat.10
Ternyata, dalam kasus berita dalam surat kabar atau majalah di atas, sumber berita
juga memerlukan kritik sumber. Demikian juga dalam memperoleh sumber sejarah juga

7
Helius Sjamsuddin, Metdologi Sejarah ( Yogyakarta: Ombak, 2012), hal. 103.
8
Helius Sjamsuddin, Metdologi Sejarah, hal. 104
9
Helius Sjamsuddin, Metdologi Sejarah, hal. 103
10
Helius Sjamsuddin, Metdologi Sejarah, hal. 103

2
diperlukan kritik sumber sebagai bagian dalam metodologi sejarah, lantas bagaimanakah
kritik sumber itu dapat dilakukan, sehingga keontetikan atau keaslian dari sumber sejarah
itu dapat dipertanggungjawabkan.
Makalah ini berusaha memaparkan beberapa masalah yang berkaitan dengan kritik
sumber sebagai bagian dari metode penelitian sejarah. Namun, pembahasan makalah ini
hanya difokuskan pada segi-segi yang berkaitan dengan sumber kritik yaitu, kritik
eksternal dan ktirik internal.

B.  Rumusan Masalah
Rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut;

1. Apa yang dimaksud dengan kritik sumber sejarah?


2. Bagaimana bentuk-bentuk kritik sumber sejarah?

3
II
PEMBAHASAN
Setelah sumber sejarah dalam berbagai kategorinya itu terkumpul, tahap
berikutnya adalah verifikasi atau lazim disebut juga dengan kritik untuk memperoleh
keabsahan sumber. Menurut Kuntowijoyo, kritik sumber atau verifikasi adalah langkah
ketiga yang dilakukan oleh seorang sejarawan.11 Langkah ini dilakukan untuk menyaring
sumber-sumber yang telah dikumpulkan secara kritis agar terjaring fakta yang menjadi
pilihan, baik terhadap bahan materi sumber maupun terhadap substansi sumber. Dalam
hal ini, dilakukan uji keabsahan tentang keaslian sumber (autentisitas) yang dilakukan
melalui kritik eksternal dan keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas) yang
ditelusuri melalui kritik internal.12 Pada umumnya, kritik sumber dilakukan terhadap
sumber pertama (primary sources), yakni mengangkut verifikasi. Kritik sejarah dibedakan
atas dua macam, yaitu kritik eksternal dan kritik internal.13

A. Kritik Eksternal 
Secara teknis kritik eksternal telah dikembangkan sejak Renaissance. Ini
merupakan manifestasi serta salah satu ciri berpikir modern, karena di dalamnya
terkandung esensi berpikir kritis.14 Sebagaimana yang disarankan oleh istilahnya, kritik
eksternal ialah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek luar dari
sumber sejarah. Sebelum semua kesaksian yang berhasil dikumpulkan oleh sejarawan
dapat digunakan untuk merekonstruksi masa lalu, maka terlebih dahulu harus dilakukan
pemeriksaan yang ketat. Jadi, serupa dengan evidensi yang diajukan dalam suatu
pengadilan. Atas dasar berbagai alasan atau syarat, setiap sumber harus dinyatakan dahulu
otentik dan integral. Saksi mata atau penulis itu harus diketahui sebagai orang yang dapat
dipercaya. Kesaksian itu harus dapat dipahami dengan jelas. Sebelum sumber-sumber
sejarah dapat digunakan dengan aman, paling tidak ada lima pertanyaan harus dijawab
dengan memuaskan, yaitu:
1. Siapa yang mengatakan itu ?
2. Apakah dengan satu atau cara lain kesaksian itu telah diubah?

11
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995), hal. 89.
12
Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hal.
68.
13
Muhammad Arif, Pengantar Kajian Sejarah (Bandung: Yrama Widya, 2011), hal. 38.
14
A. Daliman, Metode Penelitian Sejarah (Yogyakarta: Ombak, 2012), hal. 66.

4
3. Apa sebenarnya yang dimaksud oleh orang itu dengan kesaksiannya itu?
4. Apakah orang yang memberikan kesaksian itu seorang saksi mata yang kompeten,
apakah ia mengetahui fakta itu?
5. Apakah saksi itu mengatakan yang sebenarnya dan memberikan kepada kita fakta
yang diketahui itu?15
Adalah fungsi dari kritik eksternal memeriksa sumber sejarah atas dasar 2 butir
pertama dan menegakkan sedapat mungkin otentitas dan integritas dari sumber itu.
Adapun yang dimaksud dengan kritik eksternal ialah suatu penelitian atas asal-usul dari
sumber, suatu pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan
semua informasi yang mungkin, dan untuk mengetahui apakah pada suatu waktu sejak
asal mulanya sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak. Kritik
eksternal harus menegakkan fakta dari kesaksian, bahwa: [a] kesaksian itu benar-benar
diberikan oleh orang ini atau pada waktu ini (authenticity); dan [b] kesaksian yang telah
diberikan itu telah bertahan tanpa ada perubahan (uncorupted), tanpa ada suatu tambahan-
tambahan atau penghilangan-penghilangan yang substansial (integrity).16
kritik eksternal meliputi 4 aspek, yaitu;
1. Autentisitas. 
Sebuah sumber sejarah adalah otentik atau asli jika itu benar-benar adalah
produk dari orang yang dianggap sebagai pemiliknya atau jika yang dimaksud oleh
pengarangnya. Sebenarnya kata asli (genuine) dan otentik (authentic) tidak selalu
sinonim. Sumber asli artinya sumber yang tidak palsu, sedangkan sumber otentik ialah
sumber yang melaporkan dengan benar mengenai sesuatu subjek yang tampaknya
benar.17
Mengidentifikasi penulis adalah langkah pertama dalam menegakkan
otentisitas. Otentisitas adalah lebih dari pada pemberian suatu nama atau suatu sumber
sejarah. Diperlukan informasi yang lengkap: tanggal dari penulisan, tempat dari
penulisan, orisinilitas dari penulisan. Semakin banyak diketahui tentang asal-usul dari
suatu catatan atau peninggalan, menjadi semakin mudah untuk menegakkan
kredibilitas dari catatan atau peninggalan itu.18 Kita umpamakan saja, kita temukan
sebuah surat, notulen rapat dan daftar langganan majalah Sarotomo. Kertasnya sudah

15
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, hal. 104.
16
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, hal. 105.
17
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, hal. 105.
18
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, hal. 106.

5
menguning, baik surat, notulen atau daftar. Baru menemukan dokumen saja sudah
suatu prestasi, rasanya tidak sampai hati untuk tidak mempercayainya. Untuk
membuktikan keaslian sumber, rasanya terlalu mengada-ada, sebab untuk apa orang
memalsukan dokumen yang tidak berharga itu? Surat, notulen dan daftar itulah ynag
harus kita teliti kertasnya, tintanya, gaya tulisannya, kalimatnya, ungkapannya, kata-
katanya, hurufnya dan semua penampilan luarnya untuk mengetahui otentisitasnya.19
2. Deteksi Sumber Palsu
Para sejarawan setiap generasi selalu dibanyangi kemungkinan berhubungan
dengan sumber-sumber palsu. Kecanggihan teknologi modern memudahkan para
pemalsu melakukan operasinya. Sebenarnya sumber-sumber palsu ini tidak terbatas
pada catatan-catatan saja, peninggalan-peninggalan juga dapat dipalsukan. Ujian-ujian
terhadap sumber-sumber ini adalah aplikasi kritik eksternal dan internal dan terbagi
menjadi empat kategori, yaitu:20
a. Kriteria fisik, kadang-kadang dokumen gagal tes pertama, yaitu kriteria fisik.
Misalnya, jika kertas dibuktikan oleh ujian kimia dari suatu periode yang
berbeda dari periode yang diklaim oleh dokumen itu, atau tinta atau cat tidak
dikenal dari periode yang dikatakan zaman dari periode itu.
b. Garis asal-usul dari dokumen atau sumber, jika tidak jelas maka perlu
diragukan karena sampai kepada kita melalui suatu garis pemilik-pemilik yang
tidak dikenal.
c. Tulisan tangan, tulisan tangan dapat membuktikan kepalsuan dari suatu
dokumen.
d. Isi dari sumber, dari isi suatu dokumen atau sumber dapat ditemukan, misalnya,
kesalahan-kesalahan yang dianggap penulis sebenarnya tidak melakukannya.
Demikianlah, ujian untuk otentisitas sumber merupakan keharusan sehingga
sebuah dokumen palsu hampir tidak dapat lolos ini tanpa menimbulkan kecurigaan.
Bagaimanapun pandainya pemalsuan, adalah sulit untuknya melepaskan diri dari
deteksi ini. Ujian secara terus-menerus oleh pengkritk-pengkritik, adalah jaminan
bahwa sumber-sumber sejarah palsu tidak akan mendapat jalan masuk ke dalam
perpustakaan dan arsip negara kita.21
3. Integritas

19
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, hal. 99.
20
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, hal. 107-108.
21
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, hal. 109.

6
Selanjutnya, sejarawan tidak cukup puas dengan pengetahuan bahwa sebuah
sumber adalah otentik atau asli saja. Ia ingin mengetahui apakah sumber itu tetap
terpelihara otentisitasnya selama transmisi dari saksi mata aslinya sampai kepadanya.
Integritas adalah satu aspek dari otentisitas dan adalah suatu aspek yang sangat
penting. Suatu sumber mempunyai otentisitas yang tetap jika kesaksian yang asli tetap
terpelihara tanpa korupsi atau ubahan-ubahan meskipun ditransmisikan dari masa ke
masa. Jika ini semua benar-benar diketahui, maka dapat dikatakan bahwa fakta dari
kesaksian telah ditegakkan bagi sejarawan.22
4. Penyuntingan
Dokumen-dokumen yang disunting secara sembarangan dan tidak kompeten
dapat merusak banyak sumber sejarah. Aturan-aturan mengedit sebenarnya sederhana
meskipun cukup ketat. Aturan-aturan menyunting merupakan pelajaran yang praktis
yang amat penting bagi para mahasiswa ilmu sejarah. Dalam membuat tugas makalah
berkala (Term Papers), misalnya, mereka dituntut menggunakan kutipan-kutipan yang
tepat adalah suatu tugas penyuntingan (editorial) mereka dalam ukuran kecil. Oleh
karena itu, wajib bagi para mahasiswa mengetahui aturan itu dalam penyusunan dan
penulisan makalah mereka, misalnya:23
a. Kutipan harus benar, persis seperti yang ditulis oleh penulis yang dikutip.
Kutipan kata demi kata disebut verbatim.
b. Kutipan tidak boleh dikeluarkan dari konteksnya sehingga apa yang dimaksud
oleh penulis tidak mengalami distorsi.
c. Pembaca harus diberitahu perubahan, tambahan atau penghilangan dalam
kutipan yang dibuat oleh penulis.

B. Kritik Internal
Seperti halnya kritik eksternal secara teknis kritik internal dikembangkan pula
sejak Renaissance.24 Kebalikan dari kritik eksternal, kritik internal sebagaimana
disarankan oleh istilahnya menekankan aspek dalam, yaitu: isi dari sumber kesaksian
(testimoni). Setelah fakta kesaksian (fact testimony) ditegakkan melalui kritik eksternal
tiba giliran sejarawan untuk mengadakan evaluasi terhadap kesaksian tersebut. Keputusan
ini didasarkan atas dua penyelidikan (inkuiri), yaitu sebagai berikut;25
22
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, hal. 109.
23
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, hal. 111-112.
24
A. Daliman, Metode Penelitian Sejarah, hal. 71.
25
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, hal. 112-113.

7
Pertama, arti sebenarnya dari kesaksian itu harus dipahami. Apakah sebenarnya
yang ingin dikatakan penulis? Adalah mustahil untuk mengevaluasi sesuatu kesaksian
kecuali orang tahu jelas apa yang telah dikatakan. Sesuatu yang telah dikatakan tidak
selalu jelas sehingga tidak mudah untuk memahami apa sebenarnya maksudnya. Kedua,
setelah fakta dan kesaksian itu dibuktikan dan setelah arti sebenarnya dari isinya telah
dibuat sejelas mungkin, selanjutnya kredibilitas saksi harus ditegakkan. Saksi atau penulis
harus jelas menunjukkan kompetensi (compentence) dan verasitas (veracity, kebenaran).
Seorang peneliti harus dapat yakin akan nilai moral dan kejujuran dari saksi dan bahwa ia
sedang mengatakan yang sebenarnya tentang kejadian yang dia amati saat itu dalam artian
tidak menipu sejarawan. Jadi, adalah tugas kritik internal untuk menegakan fakta-fakta
ini.
Di samping itu, sejarawan harus menetapkan arti sebenarnya (real sense) dari
kesaksian itu: apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh saksi atau penulis. Dalam
menentukan arti sebenarnya dalam kesaksian dapat menimbulkan suatu masalah yang
serius, yaitu dalam kata tersebut mempunyai dua pengertian: arti harfiah dan arti
sesungguhnya.26
Arti harfiah adalah pengertian gramatikal dari kata “literal” yang berarti menurut
huruf. Kata membersihkan jalan dan sampah biasa, misalnya, merupakan arti harfiah jika
masing-masing berdiri sendiri. Sementara itu, arti sesungguhnya (real), kata literal disini
ditinggalkan dan digantikan dalam suatu pengertian kiasan atau metafora. Pengertian real
dari suatu kata adalah arti yang dilekatkan oleh penulis atau saksi. Dalam hal ini seorang
sejarawan harus memiliki pemahaman retorika dan hermeneutis untuk mengetahui bahasa
dalam mana sumber atau dokumen ditulis, sedangkan dalam mengevaluasi kesaksian
seorang sejarawan dapat mengajukan sejumlah pertanyaan dalam menuntunnya terhadap
suatu dokumen. Misalnya, apa tujuan penulis dalam menulis atau memberikan kesaksian
ini? Apa kedudukan penulis dalam hidup, bagaimana sifatnya, pandangan atau
kecenderungan politiknya, pendidikannya? Apakah ia ahli dalam suatu bidang tertentu?
Apa alasan dari tulisannya itu? Apa dia berpidato dalam suatu pertemuan politik atau
keagamaan? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan dapat membantu menjelaskan
apa yang ingin dikatakan penulis.27
Kredibilitas (dapat dipercaya) tidak harus ditolak secara a priori kecuali saksi
secara keseluruhan telah dinyatakan tidak dapat dipercayai. Jadi, kredibilitas kesaksian

26
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, hal. 113-114.
27
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, hal. 114-115.

8
berasal dari kompetensi dan kebenaran saksi. Menurut Lucey, sebagaimana dikutip Helius
Sjamsuddin:

“Harus diketahui bagaimana kemampuan saksi untuk mengamati,


bagaimana kesempatannya untuk mengamati teruji benar atau tepat,
bagaimana jaminan kejujurannya, bagaimana kesaksiannya itu dibandingkan
dengan saksi-saksi dengan memperhitungkan kemungkinan kesalahan-
kesalahan yang dibuat oleh saksi lain.”28

Dalam hal ini seorang sejarawan harus berhati-hati terhadap kelemahan-


kelemahan dari suatu ingatan yang salah dan prasangka, karena hal ini akan memunculkan
keberpihakan dari hasil pencatatan peristiwa atau kejadian itu. Selain itu, sejarawan juga
menghendaki saksi-saksi kontemporer artinya dekat dengan kejadian yang dilaporkannya,
dapat dijelaskan seperti anak dari saksi yang sebenarnya yang diwariskan dari generasi
berikutnya. Kemudian, seorang sejarawan menghendaki pula saksi-saksi yang kompeten,
kejujuran, pertimbangannya yang masuk akal dan tidak memihak dapat dijamin, sehingga
seorang sejarawan sedapat mungkin mengumpulkan banyak saksi-saksi untuk
membandingkan satu sama lain. Dengan demikian, kesalahan-kesalahan dari seorang
saksi dapat dihilangkan. Sementara itu, masih menurut Lucey, untuk membandingkan
suatu sumber dengan sumber-sumber lain untuk kredibilitas, dibagi ke dalam tiga
kemungkinan di antaranya:29
a. Sumber-sumber lain dapat cocok dengan sumber A, sumber yang dibandingkan
(concurring sources).
b. Sumber-sumber lain berbeda dengan sumber A (disseting sources).
c. Sumber-sumber lain itu diam saja, artinya tidak menyebutkan apa-apa (silent
sources).
Di dalam sumber-sumber yang sesuai (concurring sources), kredibilitas sumber
(sumber A) tidak lagi ditegakkan apabila sumber-sumber lain yang sesuai dengan
kesaksiannya telah ditemukan. Apakah sumber-sumber yang sesuai ini independen
(berdiri sendiri)? Jika tidak, maka ada alasan kuat untuk meragukannya, bahwa ada
kemungkinan penyalinan sehingga terjadi ketergantungan (dependence) kepada satu
sumber asli. Titik berat pembuktian terletak pada jawaban atas pertanyaan apakah

28
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, hal. 114-115.
29
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, hal. 115-119.

9
sumber-sumber yang sesuai ini independen atau dependen. Jadi, saksi-saksi yang sesuai
itu harus independen.30
Berbeda dengan concurring sources (sumber-sumber yang sesuai) di atas, dalam
dissenting sources (sumber-sumber berbeda) tergantung pada tingkat perbedaan, pada
hakikat dari sumber-sumber yang berbeda itu. Jika terdapat perbedaan pada rincian atau
pada butir-butir atau hal-hal kecil, tetapi semuanya tidak dapat membatalkan begitu saja
kesaksian dari sumber yang dibicarakan. Namun, apabila terdapat kesamaan antara dua
orang yang sebenarnya saling berlawanan, maka perlu dicurigai akan adanya kerjasama
dalam melakukan pemalsuan. Dimana terdapat pertentangan yang sungguh-sungguh
antara sumber-sumber itu mengenai substansial dari kesaksian, maka kecil kemungkinan
untuk menggunakan salah satu sumber sampai kredibilitas dari satu atau yang lain dapat
ditegakan atas dasar alasan yang kuat.
Untuk hal ini seorang sejarawan tidak boleh tergesa-gesa menyimpulkan bahwa
terdapat suatu kontradiksi yang sunguh-sungguh dan tidak terpecahkan dalam kesaksian-
kesaksian itu. Sebagaimana dijelaskan oleh Lucey, bahwa kesaksian yang bertentangan
dari pihak-pihak yang berlawanan atau bersaingan adalah umum, dan biasanya kebenaran
akan ditemukan di antara kedua kutub itu. Jadi, jika terdapat sumber-sumber yang berbeda
akan menambah wawasan juga untuk sejarawan dalam menuju kearah yang paling benar,
yaitu diselesaikan dengan cara hati-hati karena pada akhirnya sumber-sumber yang
berbeda ini akan dapat diatasi.31

30
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, hal. 115-119.
31
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, hal. 120.

10
III
PENUTUP
A. Simpulan
Beberapa uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Bahwa kritik sumber
atau verifikasi sumber mutlak diperlukan dalam penelitian sejarah. Langkah ini dilakukan
untuk mengetahui keaslian (otentisitas) dan kredibilitas (dapat dipercaya) sumber. Karena
itu, verifikasi sumber meliputi dua aspek: eksternal dan internal. Kritik eksternal menilai,
apakah sumber itu benar-benar sumber yang diperlukan? Apakah sumber itu asli, turunan,
atau palsu? Dengan kata lain, kritik ekstern menilai keakuratan sumber. Kritik internal
menilai kredibilitas data dalam sumber. Tujuan utama kritik sumber adalah untuk
menyeleksi data, sehingga diperoleh fakta.
Kritik sumber dalam penelitian sejarah merupakan langkah ketiga dalam
sistematika penelitian sejarah, yaitu setelah menentukan tema dan heuristik. Pentingnya
mempelajari kritik sumber adalah untuk mencari kebenaran suatu data agar data tersebut
dapat diterima atau data tersebut benar-benar dapat dipercaya. Karena itu, seorang peneliti
sejarah harus lebih hati-hati dan bersikap kritis terhadap sumber sejarah. Bagaimanapun,
sejarah sebagai ilmu pengetahuan adalah mencari kebenaran.

11
DAFTAR PUSTAKA
A. Daliman, Metode Penelitian Sejarah, Jogjakarta: Ombak, 2012.

Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah Islam, Yogjakarta: Ombak, 2011.

______, Metodologi Penelitian Sejarah, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.

Gottschalk, Louis., Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, Jakarta: Penerbit


Universitas Indonesia, 1985.

Heddy Shri Ahimsa Putra, “Paradigma, Epistemologi dan Metode Ilmu Sosial-Budaya:
Sebuah Pemetaan”, Makalah, Disampaikan dalam Pelatihan “Metodologi
Penelitian”, yang diselenggarakan oleh CRCS-UGM di Yogyakarta, 12
Februari – 19 Maret 2007.

Helius Sjamsuddin, Metdologi Sejarah, Jogjakarta: Ombak, 2012.

Hugiono dan P.K. Poerwantana., Pengentar Ilmu Sejarah, Jakarta: Bina Aksara, 1987.

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Jogjakarta: Bentang Budaya, 1995.

Mestika Zed, Metodologi Sejarah, Padang: Jurusan Sejarah Universitas Negeri Padang,


1999.

Muhammad Arif, Pengantar Kajian Sejarah, Bandung: Yrama Widya, 2011.

12

Anda mungkin juga menyukai