Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jeruk merupakan salah satu komoditas hortikultura penting yang permintaannya
cukup besar dari tahun ke tahun dan paling menguntungkan untuk dijadikan usaha.
Menurut Badat Pusat Statistik, hasil produksi jeruk di Riau pada tahun 2017 yakni 21.251
ton per tahun meningkat 98,57% dibanding tahun sebelumnya.. Karena keberadaannya
yang selalu ada di setiap musim, perlu ada peningkatan pengolahan dan usaha untuk
meningkatkan nilai produksi dan ekonomi jeruk. Buah jeruk merupakan sumber vitamin
C yang berguna untuk kesehatan manusia. Semakin tua buah jeruk, biasanya semakin
berkurang kandungan vitamin C-nya. Vitamin C terdapat dalam daging dan kulit buah,
terutama pada lapisan terluarnya Sari buah jeruk mengandung 40-70 mg vitamin C per
100 g bahan, tergantung jenisnya. (Adelina, 2017). Seiring dengan berkembangnya
teknologi, buah jeruk tidak hanya dikonsumsi langsung tetapi dikonsumsi dalam bentuk
jus ataupun sari buah jeruk. (Indriani et al, 2019). Jus jeruk rentan terhadap regradasi oleh
panas, mikroorganisme, enzim, oksigen, dan cahaya selama pemrosesan dan
penyimpanan (Graumlich et al, 1986; Trammell et al, 1986; Sadler et al, 1992). Umur
simpan jus jeruk yang tidak dipasteurisasi hanya 12 hari pada suhuh 44°C (Fellers, 1988).
Industri jeruk telah mengekplorasi metode pemrosesan untuk menonaktifkan
mikroorganisme seperti proses termal, Pulsed Electric Field, dan metode nontermal
lainnya tanpa efek merugikan yang signifikan pada rasa dan nutrisi (Sadler et al, 1992).
Jus dapat terkontaminasi mikroorganisme merugikan yaitu yang bersifat menyebabkan
penyakit (pathogen) atau menyebabkan pembusukan (spoilage). Spesies bersifat
pathogen yang mengkontamiasi jus buah diantaranya Escherichia coli O157, Salmonella,
dan Cryptosporidium (Vantarakis dkk, 2007) dan mikroorganisme bersifat spoilage
contohnya Alicyclobacillus acidoterrestris, dan spesies yang tahan panas seperti
Byssochlamys fulva, B. nivea, Neosartorya fischeri, dan spesies Talaromyces (Walker dan
Phillpis, 2008; Steyn dkk,2011) termasuk juga Paecilomyces variotii (Pieckova dan
Samson, 2000).
Paecilomyces variotii adalah spesies yang umummya muncul di tanah, udara, dan
makanan, juga hadir terkait dengan banyak jenis infeksi pada manusia. P. variotii
merupakan salah satu jamur tahan panas yang menyebabkan masalah pembusukan
(spoilage), terutama pada produk buah-buahan. P. variotii dapat bertahan pada perlakuan
panas 95°C selama 10-20 detik karena struktur berdinding tebal. P. variotii
mengkontaminasi makanan terutama yang mengandung minyak (sereal, kacang-
kacangan, produk daging, margarin, minyak nabati, keju, buah-buahan, dan benih)
(Pieckova dan Samson, 2000).
High pressure processing (HPP) adalah salah satu teknik non-termal yang dapat
membunuh mikroorganisme termasuk bakteri, ragi, dan jamur serta menonaktifkan enzim
juga reaksi kimia yang menghasilkan sedikit perubahan kualitas, menjaga bau, rasa, dan
nilai gizinya. Di Thailand, HPP menjadi terkenal di bidang kemasan makanan dan
minuman (Chuensombat et al, 2019). Sedangkan metode Pulsed Electric Field (PEF)
adalah salah satu metode pengolahan pangan non-termal dengan menggunakan
kejutan listrik intensitas tinggi yang diaplikasikan pada bahan yang berbentuk cair.
Metode ini sangat efektif karena dapat menginaktifkan mikroorganisme sampai 95%
tanpa mengubah warna, bau, dan kandungan gizi dalam waktu yang sangat singkat
(Andriawan dan Susilo, 2015).

1.2 Rumusan Masalah


Jamur tahan panas seperti Byssochlamys, Neosartorya, Talaromyces, Eupenicillium
dan anamorph dengan aseksual seperti Paecilomyces terkenal karena ketahanan panas dan
kimianya yang tinggi (Salomao et al, 2008; Sant’Ana et al, 2009; Tournas, 1994; Tribst
et al, 2009). Sama seperti jamur Byssochlamys nivea, Neosartorya fischeri, Talaromyces
flavus, dan T. mascrosporus, Paecilomyces variotii termasuk jenis jamur yang
menyebabkan masalah pembusukan (spoilage) terutama pada produk buah-buahan,
menghasilkan askospora yang tahan panas (Samson et al, 1996), dan memiliki
kemampuan menghasilkan mikotoksin (Beuchat dan Pitt, 2001; Sant’Ana et al, 2010).
Pada penelitiannya, Pieckova dan Samson (2000) membuktikan bahwa
Paecilomyces variotii dan Fusarium sp dapat menyebabkan pembusukan produk makanan
setelah dipasteurisasi. Paecilomyces variotii ditemukan mengkontaminasi jus buah tropis
yang telah dikemas seperti jeruk, pisang, nanas, markisa, mangga, apel, anggur, dan tomat
(Pieckova dan Samson, 2000; Obeta dan Ugwuyani, 2007). Beberapa jamur anamorphic
seperti Botrytrichum piluliferum, Gilmaniella humicola, dan Nodulisporium sp bertahan
pada perlakuan panas hingga suhu 90°C (Jesenska et al, 1992) sedangkan Paecilomyces
variotii dan beberapa Fusarium sp dapat bertahan pada perlakuan panas 95°C selama 10-
20 detik, karena struktur dindingnya yang tebal seperti hifa dan/atau klamidospora
(Samson et al, 1996).

2
Pieckova dan Samson (2000) mendapati bahwa spora P. variotii dibudidayakan
dalam saus kari bertahan 100°C selama 15 menit dalam air, dibudidayakan dalam kaldu
malt bertahan 100°C selama 5 menit dalam air dan saus. Spora P. variotii dari jus yang
dibudidayakan pada agar ekstrak malt mampu bertahan 100°C selama 15 menit dalam air,
dibudidayakan dalam jus bertahan hingga 100°C selama 0,5 menit dalam jus dan suspensi
dari budidaya dalam kaldu malt bertahan 100°C selama 1,5 menit dalam jus. Spora P.
variotii dari agar ekstrak malt bertahan 95°C selama 0,33 menit dalam air, dan kultur jus
jeruk bertahan 96°C selama 10 menit dalam jus jeruk
Mikroorganisme Paecilomyces variotii ini sebagian besar ditemukan di dalam
tanah dan dapat terbawa ke pabrik pengolahan makanan oleh debu dan di permukaan
buah (Beuchat dan Pill, 2001) dan dapat menyebabkan kontaminasi pada bahan kemasan
dan makanan, oleh karena itu Delgado et al, (2012) pernah melakukan inaktivasi
Paecilomyces variotii pada bahan kemasan makanan dengan hidrogen peroksida dan
perlakuan panas menggunakan P. variotii yang diisolasi dari kemasan kertas karton
(Delgado et al, 2000) dan dari bubur tomat yang sudah busuk (Baglioni et al, 1999).
Inaktivasi menggunakan teknologi nontermal Pulsed Electric Field dan termal
pada jus jeruk pernah diterapkan oleh Jia et al (1999) yang hasilnya, jus jeruk olahan PEF
dapat mempertahankan rasa buah lebih baik daripada yang diolah dengan termal, dan sel
jamur kurang tahan terhadap proses PEF dibandingkan sel bakteri. Perpanjangan periode
pemrosesan PEF melebihi tingkat tertentu tidak dapat meningkatkan inaktivasi
mikroorganisme. Proses PEF yang efektif dalam menginaktivasi jamur dan ragi pada jus
jeruk 240 ataur 480 µs sebanding dengan proses pemanasan 90°C selama 1 menit (Jia et
al, 1999). Pada penelitian salah satu jamur penyebab pembusukan oleh Evelyn dan Silva
(2015), inaktivasi Byssochlamys nivea pada strawberry, dilaporkan bahwa untuk proses
10 menit, HPP-75°C lebih baik daripada HPP-85°C dalam mengurangi spora B.nivea (1,4
dan 2,0 log pengurangan) yang menunjukkan bahwa suhu rendah yang dikombinasikan
dengan HPP lebih efektif daripada hanya dengan pemanasan suhu tinggi.
Inaktivasi Paecilomyces variotii menggunakan Pulsed Electric Field belum
pernah dilaporkan. Sehingga dalam penelitian ini, kombinasi Pulsed Electric Field dan
termal dalam menginaktivasi Paecilomyces variotii dalam jus jeruk dilakukan untuk
pertama kalinya
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang dapat dicapai dari penelitian ini adalah :

3
1. Menentukan pengaruh variasi tegangan PEF terhadap inaktivasi spora
Paecilomyces variotii dalam jus jeruk.
2. Menentukan pengaruh tingkat kemanisan jus jeruk terhadap inaktivasi spora
jamur Paecilomyces variotii dalam jus jeruk.
3. Menentukan kinetika reaksi orde pertama proses inaktivasi non-termal
Paecilomyces variotii dalam jus jeruk.

1.4 Manfaat Penelitian


2. Sebagai sumber literatur penunjang bagi pihak-pihak yang ingin melakukan
penelitian dengan topik yang sama.
3. Memberikan informasi kepada pembaca mengenai ketahanan panas spora
Paecilomyces variotii pada jus jeruk.
4. Memberikan rekomendasi proses pasteurisasi jus jeruk guna mewujudkan
keamanan konsumsi pangan dan meningkatkan kualitas pengolahan produk
buah

4
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Buah Jeruk
Buah jeruk merupakan salah satu buah yang banyak digemari oleh masyarakat.
Selain karena rasanya manis, buah ini bisa dimanfaatkan sebagai obat herbal penyakit
infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme. Salah satunya yaitu bakteri Escherichia
coli, meskipun beberapa jenis tidak membahayakan, namun akan dapat merugikan
kesehatan apabila tidak ditangani dengan baik. Pengobatan yang biasa dilakukan yaitu
dengan menggunakan obat-obatan kimia, namun pengobatan kimia tersebut dapat
menimbulkan efek samping apabila dosisnya kurang tepat. Solusi yang dapat dilakukan
yaitu dengan memanfaatkan bahan alam dari tanaman, salah satunya dengan melakukan
pemanfaatan limbah buah jeruk manis berupa bijinya yang diduga berpotensi sebagai
antibakteri (Setiawan et al, 2019).
Klasifikasi taksonomi jeruk sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub-Kelas : Rosidae
Ordo : Rutales
Famili : Rutaceae
Genus : Citrus
Spesies : Citrus sp

Gambar 2.1 (Balitbang, 2020)


Kandungan dari jeruk yang kaya vitamin C, potassium, mineral, dan folid acid
dapat berfungsi untuk menghambat sel-sel kanker. Selain kaya vitamin, buah ini juga
6

mengandung serat-serat makanan yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan


tubuh
normal. Selain kaya serat, buah berwarna kuning ini juga mengandung hesperidin yang
mampu menurunkan resiko penyakit jantung, mencegah kolesterol, serta menurunkan
tekanan darah. Buah jeruk tidak memiliki kandungan lemak, kolesterol, serta sodium.
Jeruk hanya mengandung karbohidrat dalam bentuk sederhana yang berupa glukosa,
sukrosa, dan fruktosa (Saleh, 2014).
Berdasarkan uji laboratorium, kandungan nutrisi jus jeruk per 300 mL dapat dilihat
pada tabel dibawah ini.
Tabel 2.1 Kandungan Nutrisi Jus Jeruk (Per 300 mL)
Nutrisi Kandungan
Air 264,54 g
Karbohidrat 54,9 g
Protein 1,92 g
Abu 0,45 g
Lemak 1,17 g
Serat 4,47 g
Kalium 237,4 mg
Sumber: Andani, 2017

2.2 Paecilomyces variotii


Paecilomyces variotii adalah spesies yang umum ditemukan yang sebelumnya telah
diisolasi dari berbagai substrat, termasuk makanan (dipasteurisasi), tanah, udara dalam
ruangan, dan kayu. Namun, ini juga terkait dengan banyak jenis infeksi pada manusia dan
penyebab dari mikosis oportunistik pada imun manusia. Paecilomyces variotii tumbuh
dengan cepat pada agar dan membentuk koloni coklat zaitun. Konidiofor P. variotii
bercabang tidak beraturan, dan phialides memiliki dasar yang luas dengan ujung leher
yang panjang dan ramping (Houbraken et al, 2010).
Klasifikasi jamur Paecilomyces variotii adalah sebagai berikut:
Kingdom : Bacteria
Phylum : Ascomycota
Class : Eurotiomycetes
Order : Eurotiales
Family : Trichocomaceae
Genus : Paecilomyces
Species : Paecilomyces variotii

7
Gambar 2.2 Jamur Paecilomyces variotii
Sampai saat ini, lebih dari 100 spesies dari genus Paecilomyces telah dikenali.
Spesies jenis Paecilomyces, P. variotii, memiliki status seksual Byssochlamys. Sebagian
besar anggota genus Paecilomyces memiliki suhu pertumbuhan optimal berkisar antara
30-37 oC. Beberapa penelitian telah menunjukkan pentingnya spesies Paecilomyces dalam
berbagai aplikasi bioteknologi, termasuk produksi tannase dan metabolit sekunder
(Nguyen et al, 2016).
Beberapa jamur anamorphic (Paecilomyces variotii, Fusarium sp) dapat
menyebabkan pembusukan produk makanan setelah pasteurisasi. Empat isolat yang
ditularkan melalui makanan dan satu isolat klinis P. variotii dibudidayakan pada satu
media padat dan tiga media cair. Ketahanan panas ditentukan dengan metode kematian
termal dalam penangas minyak yang dikendalikan secara termostatis. (Pieckova &
Samson, 2000)
Metabolisme pada jamur Paecilomyces variotii yang bergenom ascomycete
berserabut mempunyai spektrum luas enzim yang mensintesis metabolit sekunder,
termasuk sintetase peptida nonribosomal peptide synthetases, polyketide synthases, dan
terpene synthases. Akibatnya, jamur mikro ini mampu menghasilkan, menyimpan, dan
melepaskan allelochemicals yang mempengaruhi organisme lain dan menentukan adanya
interaksi kimia yang memberikan keuntungan adaptif produsen. Beberapa dari metabolit
sekunder ini diproduksi dalam skala komersial dan digunakan untuk mengobati penyakit;
Namun, beberapa dari metabolit ini bersifat toksik, sehingga upaya dilakukan untuk
mengurangi produksinya. Faktanya, selama proses fermentasi, jamur menghasilkan
sejumlah besar molekul bioaktif kecil, termasuk antibiotik, senyawa antitumor, antivirus,
agen antiparasit, imunosupresan, dan racun, beberapa di antaranya penting dalam pasar
farmasi dan agrokimia (Mioso dan De, 2015).

8
2.3 Teknologi Pengolahan Pangan
Prioritas utama industri pengolahan pangan adalah keamanan pangan dengan cara
pengawetan. Pengawetan makanan adalah cara yang digunakan untuk membuat makanan
memiliki daya simpan yang lama dan mempertahankan sifat-sifat fisik dan kimia
makanan. Banyak metode atau teknik pengawetan makanan yang telah dikembangkan.
Secara umum, teknologi pengolahan pangan terdiri dari teknologi termal dan teknologi
non-termal.

2.3.1. Teknologi Termal


Teknologi pengolahan pangan dengan temperatur tinggi (termal) merupakan
teknologi untuk membunuh atau menginaktifkan mikroorganisme yang dapat
menyebabkan kebusukan produk pangan dan berbahaya bagi kesehatan manusia.
1. Blanching
Blanching merupakan proses pengolahan produk pangan dan hasil pertanian dengan
menggunakan panas yang dilakukan dengan mekanisme konduksi atau konveksi melalui
medium air, udara atau uap air yang tujuan utamanya adalah untuk merusak atau
menurunkan aktivitas enzim yang terkandung di dalam produk pangan dan hasil
pertanian. Blanching dilakukan karena suhu maksimum pada proses pengolahan dengan
cara pembekuan dan pengeringan tidak cukup untuk menurunkan aktivitas enzim di
dalam produk pangan (Waziiroh et al, 2017).
Terdapat empat metode yang digunakan pada proses blanching yaitu blanching
medium air panas, uap panas, gas, dan gelombang mikro. Metode yang banyak digunakan
untuk proses blanching adalah dengan menggunakan uap panas (steam blanching) dan
menggunakan air panas (water blanching). Perbedaan yang paling mendasar dari kedua
metode tersebut adalah medium yang digunakan sebagai pemanas. Blanching uap
menggunakan medium uap sebagai pemanas, sedangkan blanching air menggunakan
medium air panas. Perbedaan medium pemanas yang digunakan pada proses akan
menyebabkan perbedaan distribusi panas dari medium pemanas ke dalam jaringan produk
pangan. Metode blanching jenis gas panas menggunakan medium pemanas dari hasil
pembakaran gas. Sedangkan metode blanching dengan gelombang mikro digunakan
untuk buah-buahan dan sayuran yang dikemas dengan wadah/kantung tipis (film bag)
(Waziiroh et al, 2017).

9
Metode blanching yang paling umum digunakan adalah blanching dengan uap air
panas (steam blanching) dan dengan air panas (hot water blanching). Proses blanching
dapat mempengaruhi nilai gizi bahan, kerusakan beberapa zat gizi terjadi selama proses
blanching. Metode Perebusan dapat menyebabkan kehilangan 40 % mineral dan vitamin,
35 % gula, dan 20 % protein (Ahmadi, 2009).
2. Pasteurisasi
Pasteurisasi merupakan proses pengolahan bahan pangan dan hasil pertanian secara
termal yang sudah lama digunakan sebagai metode untuk pengawetan memperpanjang
umur simpan bahan pangan dengan cara inaktivasi sel vegetatif dari mikroorganisme
patogen dan pembusuk dengan proses pemanasan, biasanya dilakukan pada suhu antara
65°C sampai 95°C. Proses dekontaminasi tradisional ini masih digunakan hingga saat ini
karena lebih efisien, ramah lingkungan, aman dan murah dibandingkan dengan metode
atau teknologi lainnya (Waziiroh et al, 2017).
Dua tujuan utama dari proses pasteurisasi adalah untuk menghilangkan bakteri
patogen dari bahan pangan sehingga bisa mencegah penyakit akibat kontaminasi dan
untuk menghilangkan bakteri pembusuk sehingga bahan pangan dipertahankan mutunya
Pasteurisasi pada bahan pangan dengan keasaman rendah (pH > 4,5) bertujuan untuk
membunuh bakteri patogen, sedangkan pasteurisasi pada bahan pangan dengan keasaman
tinggi (pH mikroorganisme pembusuk dan inaktivasi enzim. bisa selama penyimpanan.
4,5) bertujuan untuk membunuh (Waziiroh et al, 2017).
Proses pasteurisasi yang dilanjutkan dengan pendinginan langsung akan
menghambat pertumbuhan mikroba yang tahan terhadap suhu pasteurisasi dan akan
merusak sistem enzimatis yang dihasilkanya (misalnya enzim phosphatase dan lipase)
sehingga dapat mengurangi kerusakan zat gizi serta memperbaiki daya simpan susu segar
(Ulum dalam Triwahyu, 2018).
Metode Pasteurisasi yang umum digunakan adalah sebagai berikut (Setya dalam
Sabil, 2015):
 Pasteurisasi dengan suhu tinggi dan waktu singkat (High Temperature Short
Time/HTST), yaitu proses pemanasan susu selama 15–16 detik pada suhu 71,7–
75 oC dengan alat Plate Heat Exchanger.
 Pasteurisasi dengan suhu rendah dan waktu lama (Low Temperature Long
Time/LTLT) yaitu proses pemanasan susu pada suhu 61 oC selama 30 menit.
 Pasteurisasi dengan suhu sangat tinggi (Ultra High Temperature/UHT) yaitu
memanaskan susu pada suhu 131 oC selama 0,5 detik. Pemanasan dilakukan

10
dengan tekanan tinggi untuk menghasilkan perputaran dan mencegah terjadinya
pembakaran susu pada alat pemanas.

3. Sterilisasi
Salah satu proses termal yang umum digunakan dalam pengalengan makanan
adalah sterilisasi. Sterilisasi ini dilakukan secara komersial dengan cara menggunakan
suhu tinggi dalam periode waktu yang cukup lama, sehingga tidak ada lagi
mikroorganisme yang hidup pada suhu penyimpanan normal. Supaya spora bakteri
tersebut tidak terbentuk dalam produk pangan, maka perlu dilakukan proses sterilisasi
yang bertujuan untuk mengawetkan produk pangan dengan membunuh mikroba
pembusuk dan pathogen menggunakan panas (suhu tinggi) selama waktu tertentu
(Yuswita, 2016).

2.3.2. Teknologi Non-termal


Teknologi non-termal mewakili area baru dalam pemrosesan makanan dan saat ini
sedang dieksplorasi dalam skala global; penelitian telah berkembang pesat dalam
beberapa tahun terakhir khususnya. Tujuan utama dari pemrosesan termal adalah untuk
menonaktifkan mikroorganisme dan spora patogen (tergantung pada perawatannya) untuk
menyediakan produk yang aman secara mikrobiologis bagi konsumen. Namun, terlepas
dari manfaat perlakuan termal, sejumlah perubahan terjadi pada produk yang mengubah
kualitas akhirnya, misalnya rasa, warna, tekstur, dan tampilan umum. Saat ini, konsumen
mencari ciri-ciri segar dalam makanannya, disertai dengan kualitas sensoris dan
kandungan gizi yang tinggi (Mohammed, 2012).
 Pulsed Electric Field (PEF)
Pulsed Electric Field (PEF) adalah teknik non-termal telah terbukti menonaktifkan
mikroorganisme tanpa mengurangi rasa dan kualitas makanan. Selain itu, suhu
pemrosesan rendah yang digunakan dalam teknologi non-termal ini memungkinkan
proses menjadi hemat energi, yang berarti biaya yang lebih rendah dan dampak
lingkungan yang lebih sedikit (Barbosa, 1999). Untuk kualitas makanan, teknologi PEF
dianggap lebih unggul daripada metode pemrosesan termal tradisional karena ia
menghindari atau sangat mengurangi perubahan yang merugikan pada sifat fisik dan
sensorik makanan. Teknologi PEF bertujuan untuk menawarkan makanan berkualitas
tinggi kepada konsumen (Mohammed, 2012).

11
Selama pemrosesan PEF, energi disimpan dalam kapasitor, diambil dari catu daya
bertegangan tinggi, dan dibuang melalui makanan yang statis atau mengalir melalui ruang
perawatan. PEF menggunakan semburan listrik singkat (submikrodetik hingga milidetik),
yang menghasilkan sedikit atau tidak ada pengaruh yang merugikan pada atribut kualitas
dalam makanan yang dapat dipompa. Proses ini memasukkan tegangan tinggi (10–80
kV/cm) ke dalam makanan yang ditempatkan di antara dua elektroda, selama kurang dari
satu detik, mendekati suhu lingkungan, kemudian dikemas secara aseptik dan
didistribusikan dalam lemari es. Proses ini mencapai pengurangan 5 log pada sebagian
besar bakteri patogen dengan memecahkan membran sel dalam media cair. Ini hanya
menyebabkan sedikit perubahan merugikan pada sifat fisik dan sensorik dalam makanan,
membantu mempertahankan kualitas segar dan membantu retensi nutrisi (Jan et al, 2017).
PEF dapat diterapkan pada pasteurisasi produk cair, dalam sistem kontinyu, seperti
susu, yogurt, jus, telur cair, sup, dan produk lain yang dapat menahan medan listrik tinggi.
Pulsa medan listrik tinggi dapat digunakan untuk membantu ekstraksi polisakarida dan
peptida. PEF memiliki efek terbatas pada spora mikroba, tidak dapat digunakan pada
produk yang mengandung atau dapat membentuk gelembung udara, dan tidak dapat
digunakan pada makanan yang memiliki konduktivitas listrik yang lebih tinggi atau
variabel (Jan et al, 2017).

Gambar 2.3 Bagian-bagian PEF (Fuaida, 2015)


 Ultrasound
Gelombang ultrasonik merupakan gelombang mekanik longitudinal yang tidak
dapat didengar oleh telinga manusia karena memiliki frekuensi tinggi, dapat merambat
dalam medium padat, cair, dan gas (Zhou et al. 2009). Ultrasound adalah energi suara
dengan rentang frekuansi yang mencakup wilayah batas atas pendengaran manusia, yang
umumnya dianggap 20 kHz. Dua aplikasi Ultrasound dalam makanan adalah (i)

12
mengkarakterisasikan bahan atau proses makanan, seperti estimasi komposisi kimia,
pengukuran sifat fisik, pengujian atribut kualitas yang tidak rusak, dan pemantauan
pengolahan makanan dan (ii) penggunaan langsung dalam pengawetan atau pemrosesan
makanan.
Ultrasound merupakan salah satu metode alternatif yang sudah dicoba sebagai
pengganti panas dalam pengawetan makanan. Ultrasound terdiri dari getaran yang mirip
dengan gelombang suara, tetapi dengan frekuensi yang terlalu tinggi (18kHz-500MHz)
untuk didengar oleh telinga manusia. Dalam media biologis, getaran ini menghasilkan
siklus kompresi dan pemuaian, dan selanjutnya fenomena kavitasi. Ledakan gelembung
gas menghasilkan bintik-bintik dengan tekanan dan suhu yang sangat tinggi yang dapat
mengganggu struktur seluler (Knorr et al, 2002).
 Pulsed UV-Light
Pulsed UV-Light adalah teknik untuk menonaktifkan mikroorganisme permukaan
menggunakan getaran pendek dari spektrum luas yang intens dari cahaya putih dalam pita
spektrum antara 200 dan 280 nm. Setiap denyut atau kilatan cahaya hanya berlangsung
beberapa ratus juta atau ribuan detik, tetapi intensitas setiap lampu kilat adalah 20.000
kali lipat dari sinar matahari di permukaan laut dan mengandung beberapa sinar
ultraviolet (Zhang et al, 2019)

13
14

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Bahan dan Alat

3.1.1 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kultur jamur
Paecilomyces variotii, alkohol 96% dan 70%, aquades, buah jeruk, sukrosa, NaCl 0,85%,
kentang, asam sitrat 10%, dan dextrose.

3.1.2 Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu rangkaian alat Pulsed Electric
Field (PEF), refractometer, botol, pisau, sarung tangan, aluminium foil, kapas, Autoclaf
All American model 1925/KY-23D, gunting, tabung ukur, kertas label, timbangan
analitik, corong kaca, pH meter, gelas ukur, erlemeyer, labu ukur, gelas ukur, blender,
termometer, cawan petri, jarum ose, inkubator, lampu bunsen, penyaring stainless steel,
centrifuge, glass wool, mortar, pipet volum, waterbath, dan spektofotometer.

Gambar 3.1 Rangkaian Alat PEF (Hawa, 2011)

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioproses dan TPK Jurusan Teknik
Kimia, Fakultas Teknik Universitas Riau Jl. HR. Soebrantas Kampus Bina Widya Km.
12,5 Panam, Pekanbaru-Riau. Penelitian ini dimulai pada bulan September sampai dengan
Desember.
3.3 Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel tetap dan
variabel bebas.
1. Variabel Tetap
Variabel tetap pada penelitian ini adalah konsentrasi awal spora Paecilomyces
variotii 106 cfu/ml dan pH.
2. Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah tegangan pada alat PEF pada 30 kV, 40
kV, dan 50 kV serta tingkat kemanisan jus 10, 15, dan 20 °Brix.

3.4 Prosedur Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa proses tahapan yaitu tahap persiapan
(Pembuatan Media PDA, sporulasi jamur, pembuatan dan inokulasi jus) dan penelitian
(Inaktivasi spora dengan PEF, inaktivasi spora dengan termal dan PEF, pencacahan
spora). Adapun masing-masing tahap dijelaskan sebagai berikut:

3.4.1 Pembuatan Media PDA


Media Potato Dextrose Agar (PDA) dibuat dengan cara kentang dikupas dan diiris
kecil-kecil lalu ditimbang sebanyak 20 gram kemudian dicuci sampai bersih. Kentang
direbus dengan menambahkan aqua DM sebanyak 100 ml sampai mendidih selama 20
menit. Lalu kentang dihaluskan dengan mortar dan alu. Setelah itu, kentang disaring dan
filtratnya diambil. Agar batang ditimbang sebanyak 1,7gram dan dextrose ditimbang
sebanyak 2 gram kemudian dimasukkan ke dalam filtrat dan ditambahkan aqua DM
hingga volumenya 100 ml. Filtrat dipanaskan hingga agar batang larut. Media PDA
ditambahkan asam sitrat 10% sebanyak 1,25 ml. Setelah larut, larutan disterilkan dengan
menggunakan autoclaf selama 15 menit pada tekanan 15 Psi dan suhu 121°C. Media PDA
dituangkan ke dalam cawan petri hingga memadat dan diinkubasi selama 3 hari pada suhu
27°C untuk memastikan tidak ada tanda-tanda kontaminasi dan tidak ada uap air lagi.

3.4.2 Sporulasi Jamur Paecilomyces variotii


Peremajaan spora jamur Paecilomyces variotii diambil dari kultur murni
menggunakan jarum ose yang sebelumnya telah disterilisasi dengan direndam dalam
alkohol 70% dan dipanaskan dengan api dari lampu bunsen. Penggoresan ose dilakukan
sedemikian rupa, sehingga ujung ose hanya menyentuh diatas permukaan media. Spora
dari jamur yang sudah diambil dengan jarum ose diinokulasi ke atas media PDA. Media
diinkubasi selama 3-5 hari pada suhu 25°C untuk melihat pertumbuhan sel vegetatif dan

15
dipastikan tidak ada tanda-tanda kontaminasi. Tahap sporulasi (pembentukan spora)
dimulai dengan menginkubasi media PDA selama 14 hari pada suhu 25°C. Setelah di
inkubasi, spora dipanen dengan menuangkan 8 ml aquades ke dalam media PDA
kemudian dihomogenkan. Lalu disaring dengan glass wool untuk menghilangkan sisa
fragmen hifa dan filtratnya diendapkan menggunakan centrifuge pada 4000 rpm,
temperatur 4°C selama 10 menit. Langkah ini dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali.
Endapan spora kemudian disimpan pada suhu 2-4 °C hingga digunakan. Blok diagram
sporulasi jamur Paecilomyces variotii dapat dilihat pada Gambar 3.2 berikut.

16
Mulai Inokulasi Jamur

Kentang Aqua
DM
Perebusan Inkubasi 25°C,
Tidak
3-5 hari

Penyaringan
YA
Aqua Aqua DM
DMD
M
Residu Filtrat Batang Sporulasi 25°C, 30
Dextros hari
Sterilisasi 121°C, 15 psi ee

Spora
Pemanasan 60°C, 1 jam

Penyaringan
Penuangan ke Asam
cawan petri sitrat 10%

Residu Filtrat
Didiamkan 27°C, 2-3 hari
27
Sentrifugasi
Tida Ya
Media PDA
k
Filtrat Endapan

Penyimpanan 2-4°C

Analisa
Spektrofotometer

Olah data

Gambar 3.2 Diagram Alir sporaulasi Jamur Paecilomyces variotii

17
3.4.3 Pembuatan dan Inokulasi Jus Jeruk
Buah Jeruk segar dikupas lalu dibersihkan dan ditimbang sebanyak 1 kg.
Dipotong kecil, lalu dihaluskan menggunakan blender. Jus jeruk disaring dengan
menggunakan penyaring stainless steel. Kemudian diukur volume jus yang
didapat dengan gelas ukur. Dilakukan uji pH dengan menggunakan pH meter dan
tingkat kemanisan jus jeruk dengan alat refraktometer sehingga didapatkan jus
Jeruk dengan tingkat kemanisan tertentu. Kemudian dilakukan pengenceran
dengan sukrosa sehingga didapatkan tingkat kemanisan 10, 15, dan 20 °Brix. Jus
jeruk ini digunakan sebagai media perlakuan inaktivasi spora Paecilomyces
variotii.
Jus jeruk yang telah dibuat digunakan sebagai medium suspensi untuk
menginaktivasi spora Paecilomyces variotii. Spora yang telah disimpan pada
lemari pendingin diambil sejumlah tertentu lalu di inokulasi ke dalam botol
sampel jus jeruk sehingga didapatkan konsentrasi awal spora N0 106 cfu/ml.

3.4.4 Inaktivasi Spora dengan Alat PEF


Proses non termal menggunakan PEF yang pertama jus jeruk sebagai
bahan uji disiapkan dalam botol dengan ukuran 140 ml/sampel. Tempatkan
sampel jus jeruk yang telah diinokulasi dengan spora Paecilomyces variotii
dengan tingkat kemanisan 10 °Brix pada chamber, hubungkan ke arus listrik. Atur
tegangan pada perlakuan pertama sebesar 20 V, lalu tekan tombol ON. Buka kran
ouput dan tempatkan di botol yang telah disterilisasi dan tutup dengan tutup botol
yang telah disterilisasi agar tidak terjadi kontaminasi dengan lingkungan.
Bersihkan ruang perlakuan dengan alkohol 96% setiap selesai melakukan
penelitian. Ulangi untuk setiap kombinasi tegangan PEF dan tingkat kemanisan
jus jeruk yang berbeda (Indriani et al, 2017).

18
Gambar 3.3 Diagram alir Proses dengan menggunakan PEF (Maged, 2019)
3.4.5 Inaktivasi Spora dengan Alat PEF dan Termal
Hasil perlakuan terbaik pada alat PEF dengan tingkat kemanisan 10, 15,
dan 20 °Brix dikombinasikan dengan proses termal. Sampel jus jeruk dengan
tingkat kemanisan 10°Brix dipanaskan pada suhu 60°C menggunakan waterbath
selama 5 menit. Kemudian sampel dikeluarkan dan didinginkan dalam air es lalu
dilakukan pencacahan spora. Prosedur diulang dengan variasi tingkat jus jeruk 15
dan 20 °Brix.

Gambar 3.4 Representasi skematis dari PEF (Ricci, 2018)

3.4.6 Pencacahan Spora


Suspensi dari inokulasi spora Paecilomyces variotii dan jus Jeruk hasil
proses non termal dan termal digunakan untuk penentuan konsentrasi spora atau
jumlah koloni dengan metode spread plate. Sebelumnya dilakukan pengenceran
bertingkat menggunakan larutan NaCl. Sebanyak 1 ml suspensi spora dimasukkan
kedalam 9 ml NaCl 0,85% lalu dihomogenkan dan digerus ke media PDA. Media
PDA selanjutnya diinkubasi pada suhu 25°C selama 3-5 hari hingga terbentuk
koloni pada kisaran 20 hingga 100 koloni. Koloni yang terbentuk dihitung secara

19
manual dan dinyatakan dalam cfu/ml. Selanjutnya untuk melinearisasikan
bilangan tersebut, maka dirubah ke dalam bentuk log. Adapun perhitungan jumlah
koloni dalam sampel dapat dihitung dengan persamaan berikut (Chouhan, 2015).

jumlah koloni × faktor pengenceran


koloni /ml=
volume sampel yang dipakai

3.5 Jadwal Kegiatan


Jadwal kegiatan yang akan dilakaukan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel
dibawah
Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan Penelitian
Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4
Kegiatan Minggu ke Minggu ke Minggu ke Minggu ke
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penelusuran Teori

Persiapan Bahan dan Alat

Pelaksanaan Penelitian
Analisa dan Pengolahan
Data
Penulisan Laporan
Pelaporan Hasil

20
DAFTAR PUSTAKA
Adelina, S. O., Adelina, E., & Hasriyanty, H. (2017). Identifikasi Morfologi Dan
Anatomi Jeruk Lokal (Citrus sp) Di Desa Doda Dan Desa Lempe
Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso. AGROTEKBIS: E-JURNAL
ILMU PERTANIAN, 5(1), 58-65.
Ahmadi, T. E. (2009). Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Andani, S.A dan Nurmasari Widyastuti. 2017. Pengaruh pemberian jus jeruk
manis (citrus sinensis.) terhadap nilai VO2max atlet sepak bola di Gendut Dony
Training Camp (GDTC) Salatiga. Jurnal Gizi Indonesia, 5 (2), 2017 : 68
74
Andriawan, V., & Susilo, B. (2015). “Susu Listrik” Alat Pasteurisasi Susu Kejut
Listrik Tegangan Tinggi (Pulsed Electric Field) Menggunakan
Transformator Tegangan Tinggi dan Inverter. Jurnal Keteknikan
Pertanian Tropis dan Biosistem, 3(2), 199-210.
Aneja, K.R., Dhiman, R., Aggarwal, N.K., dan Aneja, A,. (2014). Emerging
Preservation Techniques for Controlling Spoilage and Pathogenic
Microorganisms in Fruit Juices. International Journal of Microbiology.
Article ID 758942.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2020. Sumber Vitamin C Alami
dengan Jeruk Varietas JRM. http://www.litbang.pertanian.go.id/
Badan Pusat Statistik Indonesia, 2017. Statistik Tanaman Buah-Buahan dan
Sayuran Provinsi Riau 2017. Katalog: 5201006.14
Baglioni, F., Gumerato, H. F., & Massaguer, P. R. (1999). Occurrence of heat
resistant molds in tomato pulp packed aseptically. Ciência e Tecnologia de
Alimentos, 19, 258-263.
Barbosa-Cánovas, G. V., Pothakamury, U. R., Gongora-Nieto, M. M., &
Swanson, B. G. (1999). Preservation of foods with pulsed electric fields.
Elsevier.
Beuchat, L. R., & Pitt, J. I. (2001). Detection and enumeration of heat-resistant
molds. In F. P. Downes, & K. Ito (Eds.), Compendium of the methods for
the microbiological examination of foods (217-222). Washington, DC:
APHA.
Chouhan, S. 2015. Enumeration and Identification of Standard Plate Count
Bacteria in Raw Water Supplies. Journal of Environmental Science 9: 67-
73.
Chuensombat, N., Rungraeng, N., Setha, S., & Suthiluk, P. (2019). A preliminary
study of high pressure processing effect on quality changes in
‘Nanglae’pineapple juice during cold storage. Journal of Food Science and
Agricultural Technology (JFAT), 5, 13-18.
Delgado, D.A. (2000). Sporicial effect of hydrogen peroxide on molds isolated
from laminated for aseptic packaging. PhD Thesis. Universidade Estadual
de Campinas. Campinas, Brazil.
Delgado, D.A., Sant’Ana, A.S., Granato. D., dan Massaguer. P.R., (2012)
Inactivation of Neosartorya fischeri and Paecilomyces variotii on
paperboard packaging material by hydrogen peroxide and heat. Journal of
Food Control 23. 165-170.
Evelyn, Silva. F.V.M., (2015). Inactivation of Byssochlamys nivea ascospores in
strawberry puree by high pressure, power ultrasound and thermal
processing. International Journal of Food Microbiology 214. 129-136.
Ferreira, L. R., Macedo, J. A., Ribeiro, M. L., & Macedo, G. A. (2013).
Improving the chemopreventive potential of orange juice by enzymatic
biotransformation. Food research international, 51(2), 526-535
Fuaida, N. (2015). Aplikasi Pulsed Electric Field (Pef) Sebagai Pretreatment Pada
Ekstraksi Biji Pinang (Areca Catechu L) Sebagai Sumber Antioksidan
Alami (Kajian Besar Tegangan Dan Lama Waktu PEF). (Doctoral
dissertation, Universitas Brawijaya).
Fellers, P. J. (1988). Shelf life and quality of freshly squeezed, unpasteurized
polyethylene-bottled citrus juice. J. Food Sci. 53, 1699-1702.
Graumlich, T. R., Marcy, J. E., & Adams, J.P. (1986). Aseptically packaged
orange juice and concentrate: a review of the in¯uence of processing and
packaging conditions on quality. Journal Agriculture Food Chemical. 34,
402-405.
Hawa, L. Choviya., dan P. I. Ratna. 2011. Penerapan Pulsed Electric Field pada
Pasteurisasi Sari Buah Apel Varietas ANA: Kajian Karakteristik Nilai
Gizi, Sifat Fisik, Sifat Kimiawi dan Mikrobia Total. Jurnal Agroteknologi
31(4): 352-358.
Houbraken, J., Verweij, P. E., Rijs, A. J., Borman, A. M., & Samson, R. A.
(2010).Identification of Paecilomyces variotii in clinical samples and settings.
Journal of Clinical Microbiology, 48(8), 2754-2761
Indriani, D. W, S. H. Sumardi, C. N. Riska, M. Arie, dan B. Nunun. 2017.
Aplikasi Pulsed Electric Field (PEF) Sistem Kontinyu pada Sari Tebu
Hijau (Saccharum Officinarum L.) (Kajian Tegangan dan Frekuensi PEF).
Jurnal Teknotan 11(1): 42-49.
Jan, A., Sood, M., Sofi, S. A., & Norzom, T. (2017). Non-thermal processing in
food applications: A review. International Journal of Food Science and
Nutrition, 2(6), 171-180.
Jesenska. Z, E Pieckova, dan D Berna´t. (1992). Heat-resistant fungi in the soil.
Food Microbiol 18: 209–214.
Jia, M., Zhang, Q. H., & Min, D. B. (1999). Pulsed electric field processing
effects on flavor compounds and microorganisms of orange juice. Food
chemistry, 65(4), 445-451.
Knorr, D., Ade-Omowaye, B. I. O., & Heinz, V. (2002). Nutritional improvement
of plant foods by non-thermal processing. Proceedings of the nutrition
society, 61(2), 311-318.
Madeira, J. V., Macedo, J. A., & Macedo, G. A. (2012). A new process for
simultaneous production of tannase and phytase by Paecilomyces variotii
in solid-state fermentation of orange pomace. Bioprocess and biosystems
engineering, 35(3), 477-482.
Maged E.A Mohamed, dan Ayman H. Amer Eissa. Pulsed Electric Field For Food
Processing Technology. Journal of Structure and Function of Food
Engineering. doi:10.5772/48677.2019.
McDonald, C. J., Lloyd, S. W., Vitale, M. A., Petersson, K., & Innings, F. (2000).
Effects of pulsed electric fields on microorganisms in orange juice using
electric field strengths of 30 and 50 kV/cm. Journal of Food Science,
65(6), 984-989
Mioso, R., Marante, F. J. T., & De Laguna, I. H. B. (2015). The chemical
diversity of the ascomycete fungus Paecilomyces variotii. Applied
biochemistry and biotechnology, 177(4), 781-791.
Mohammed, M. E., & Eissa, A. H. A. (2012). Pulsed electric fields for food
processing technology. Structure and function of food engineering, 11,
275 306.
Nguyen, T. T. T., Paul, N. C., & Lee, H. B. (2016). Characterization of
Paecilomyces variotii and Talaromyces amestolkiae in Korea based on the
morphological characteristics and multigene phylogenetic analyses.
Mycobiology, 44(4), 248-259.
Obeta, J. A., & Ugwuanyi, J. O. (1995). Heat‐resistant fungi in Nigerian heat
processed fruit juices. International journal of food science & technology,
30(5), 587-590.
Osae R, Gloria Essilfie, Raphael N Alolga, Selorm Akaba, Xiaoqian Song, Patrick
Owusu Ansah, dan Chunshan Zhou. 2019. Application of Non-Thermal
Pretreatment Tecniques on Agricultural Products Prior to Drying.
Journal Science Food Agricultural, 2020, doi 10.1002/jsfa 10284.
Pieckova, E., & Samson, R. A. (2000). Heat resistance of Paecilomyces variotii in
sauce and juice. Journal of Industrial Microbiology and Biotechnology,
24(4), 227-230.
Ricci A, Giuseppina P. Parpinello., dan Andrea Versari. 2018. Recent Advances
and Application of Pulsed Electric Field (PEF) to Improve Polyphenol
Extraction and Color Release during Red Winemarking. Journal of
Beverages no.4 vol 8. doi:10.3390.
Sabil, S. (2015). Pasteurisasi high temperature short time (HTST) susu terhadap
Listeria monocytogenes pada penyimpanan refrigerator. Skripsi.
Universitas Hasanuddin Makassar.
Sadler, G. D., Parish, M. E., & Wicker, L. (1992). Microbial, enzymatic, and
chemical changes during storage of fresh and processed orange juice.
Journal of. Food Science. 57, 1187-1191.
Saleh, Francisca M (2014) Pengolahan Citra Identifikasi Jeruk Impor Berdasarkan
Warna Dan Tekstur Statistik Dengan Metode K-Nn. Undergraduate
Thesis, Universitas Muhammadiyah Gresik.
Salomão, B. C. M., Slongo, A. P., & Aragão, G. M. F. (2007). Heat resistance of
Neosartorya fischeri in various juices. LWT-Food Science and
Technology, 40, 676-680.
Salomão, B. D. C. M., Massaguer, P. R., & Aragão, G. M. F. (2008). Isolation and
selection of heat resistant molds in the production process of apple nectar.
Ciencia e Tecnologia de Alimentos, 28, 116-121.
Samson RA, ES Hoekstra, JC Frisvad and O Filtenborg. (1996). Introduction to
Food-borne Fungi, 5th edn. Centraalbureau voor Schimmelcultures,
Baarn-Delft, 322.
Sant’Ana, A. S., Rosenthal, A., & Massaguer, P. R. (2009). Heat resistance and
the effects of continuous pasteurization on the inactivation of
Byssochlamys fulva ascospores in clarified apple juice. Journal of Applied
Microbiology, 107, 197-209.
Sant’Ana, A. S., Simas, R. C., Almeida, C. A. A., Cabral, E. C., Rauber, R. H.,
Mallmann, C. A., et al. (2010). Influence of package, type of apple juice
and temperature on the production of patulin by Byssochlamys nivea aa
and Byssochlamys fulva. International Journal of Food Microbiology,
142, 156-163.
Setiawan, M. A., & Retnoningrum, M. D. (2019). Aktivitas Antibakteri Biji Jeruk
Manis (Citrus Sinensis) Terhadap Bakteri Eschericia Coli. Bioeksperimen:
Jurnal Penelitian Biologi, 5(1), 34-38.
Steyn C. E., Cameron M., dan Witthuhn R. C., 2011. Occurrence of
Alicyclobacillus in the fruit processing environment - a review.
International Journal of Food Microbiology, vol. 147, no. 1, 1– 11.
Syed Q A, Anum Ishaq, Ubaid Ur Rahman, Sadia Aslam, Rizwat Shukat., 2017.
Pulsed Electric Field Technology in Food Preservation. Journal of
Nutritional Health and Food Engineering. Vol.6(5): hal 168-172.
Tournas, V. (1994). Heat resistant fungi of importance to the food and beverage
industry. Critical Reviews in Microbiology, 20, 243-263
Trammell, D. J., Dalsis, D. E., & Malone C. T. (1986). E€ect of oxygen on taste,
ascorbic acid loss and browning for HTST-pasteurized, single-strength
orange juice. Journal of Food Science. 51, 1021-1023.
Triwahyu, A. F. (2018). Studi Kualitas Mikrobiologi (Total Plate Count Dan
Escherichia Coli) Pada Susu Pasteurisasi Cup Dengan Lama Penyimpanan
Yang Berbeda (Doctoral Dissertation, University Of Muhammadiyah
Malang).
Tribst, A. A. L., Franchi, M. A., Cristianini, M., & Massaguer, P. R. (2009).
Inactivation of Aspergillus niger in mango nectar by high-pressure
homogenization combined with heat shock. Journal of Food Science, 74,
M509-M514.
Vantarakis, A., Affifi, M., Kokkinos, P., Tsibouxi, M., dan Papapetropoulou, M.
(2011). Occurrence of microorganisms of public health and spoilage
significance in fruit juices sold in retail markets in Greece. Anaerobe. vol.
17, no. 6. 288–291.
Walker. M., dan Phillips C. A, (2008). Alicyclobacillus acidoterrestris: an
increasing threat to the fruit juice industry. International Journal of Food
Science and Technology, vol. 43, no. 2,. 250– 260.
Wariyah, C. (2010). Vitamin C Retention and Acceptability of Orange (Citrus
Nobilis var. microcarpa) Juice During Storage in Refrigerator. Jurnal
AgriSains Vol, 1(1).
Waziiroh, E., Ali, D.Y., dan Istianah, N. (2017). Proses Termal Pada Pengolahan
Pangan. Universitas Brawijawa, Malang. UB Media.
Yuswita, E. (2016). Optimasi proses termal untuk membunuh Clostridium
botulinum. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, 3(3).
Zhang, Z. H., Wang, L. H., Zeng, X. A., Han, Z., & Brennan, C. S. (2019). Non
thermal technologies and its current and future application in the food
industry: a review. International Journal of Food Science & Technology,
54(1), 1-13
Zhou B, Feng H, Luo Y. 2009. Ultrasound enhanced sanitizer efficacy in
reduction of Escherichia coli 0157:H7 population on spinach leaves. Journal
of Food Science74(6):308-313.
.

Anda mungkin juga menyukai