Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH DASAR-DASAR ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

“ANAK DENGAN PERILAKU INSECURE 1”


Dosen Pengampu: Drs. I Nyoman Karma, M.Si.

Disusun oleh kelompok 2:

1. M. Ramdhani E1E216120
2. Nilawan Sahbana Putri E1E019224
3. Nina Yulinda E1E019228

KELAS 3F
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MATARAM
TP.2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT,Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “ANAK DENGAN PERILAKU INSECURE 1” tepat
pada waktunya.

Oleh karena itulah kami sangat mengucapkan terima kasih kepada:


1. Dosen pengampu yaitu bapak Drs. I Nyoman Karma, M. Si, yang telah
membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini dengan baik.
2. Pihak yang telah membuat sumber untuk kami agar bisa menggali ilmu
mengenai dasar-dasar anak berkebutuhan khusus lebih banyak lagi.
3. Rekan-rekan yang telah membantu dalam memberi saran dan masukan
sehingga kamidapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Mataram, 28 Agustus 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................2
C. Tujuan Penulisan................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................4
A. Insecure dan Anak dengan Perilaku Insecure....................................4
B. Anak yang Penakut.............................................................................5
1. Penyebab Anak menjadi Penakut................................................5
2. Karakteristik Anak yang Penakut................................................7
3. Penanganan pada Anak yang Penakut.........................................7
C. Anak yang Rendah Diri......................................................................10
1. Penyebab Anak menjadi Rendah Diri.........................................11
2. Karakteristik Anak yang Rendah Diri.........................................12
3. Penanganan pada Anak yang Rendah Diri..................................13
D. Anak yang Pemalu..............................................................................14
1. Penyebab Anak menjadi Pemalu.................................................15
2. Karakteristik Anak yang Pemalu.................................................15
3. Penanganan pada Anak yang Pemalu..........................................16
BAB III PENUTUP......................................................................................20
A. Kesimpulan.........................................................................................20
B. Saran...................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak dapat diibaratkan seperti tanaman. Ia akan mengalami
pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi secara beriringan. Pertumbuhan
dan perkembangan tersebut dapat berlangsung secara optimal jika dipupuk,
disiram dan dirawat dengan baik. Namun, jika hal itu tidak dilakukan maka
“tanaman” itu akan layu. Dengan kata lain, anak akan berkembang dengan
segala kekurangannya atau kesempurnaannya. Itulah mengapa orang tua dan
pendidik senantiasa berupaya memberikan berbagai stimulus agar
pertumbuhan fisik dan perkembangan psikis anak, termasuk perkembangan
emosi dapat berlangsung optimal. Namun, tanpa disadari terkadang
pemberian stimulus tersebut malah menjadi bumerang bagi para orang tua
dan pendidik. Hal itu dapat dapat disebabkan kekurangtepatan orang tua atau
pun pendidik dalam memberikan pembelajaran, akibatnya anak mengalami
gangguan dengan perilaku insecure.
Sebagai calon guru kita mungkin akan sering menjumpai beberapa anak
didik kita yang memiliki karakter seperti pencemas, penakut, perasaan rendah
diri dan pemalu nantinya. Oleh para profesional, hal itu sering disebut sebagai
jenis perilaku “neurotik” atau insecure (perasaan tidak aman). Jika dialami
secara serius, perasaan tersebut tentu dapat menghambat anak dalam berbagai
hal. Contoh anak yang pemalu dan rendah diri mungkin tidak berani
mengacungkanjari untuk menjawab pertanyaan guru meskipun dia tahu
jawabannya. Perilaku insecure pada anak dapat dicegah dengan mengasuh
anak dalam cara-cara yang dapat meningkatkan kepercayaan diri, kemampuan
beradaptasi, dan optimisme anak. Untuk itu orang tua dan guru serta pihak
yang terkait dengan anak harus bekerja sama dan membantu anak untuk
mengatasi perasaan-perasaan tersebut.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan disampaikan perilaku insecure
yaitu tentang anak yang penakut, rendah diri dan pemalu, sedangkan anak

1
yang pencemas akan dijelaskan oleh kelompok berikutnya. Hal-hal yang kami
sampaikan yaitu tentang pengertian, penyebab, karakteristik dan
penanganannya. Semoga dengan adanya makalah ini kita akan mampu
membedakan dan menangani anak dengan perilaku insecure dalam hal ini
anak penakut, anak rendah diri dan anak pemalu.

B. Rumusan Masalah
Sesuai pada latar belakang diatas sehingga pada makalah ini dapat
dirumuskan beberapa masalah antara lain yaitu
1. Apa yang dimaksud dengan insecure dan anak dengan perilaku insecure?
2. Apa yang dimaksud dengan anak yang penakut?
3. Apa yang menyebabkan anak menjadi penakut?
4. Seperti apa karakteristik anak yang penakut tersebut?
5. Bagaimana cara penanganan kepada anak yang penakut?
6. Apa yang dimaksud dengan anak yang rendah diri?
7. Apa yang menyebabkan anak menjadi rendah diri?
8. Seperti apa karakteristik anak yang rendah diri tersebut?
9. Bagaimana cara penanganan kepada anak yang rendah diri?
10. Apa yang dimaksud dengan anak yang pemalu?
11. Apa yang menyebabkan anak menjadi pemalu?
12. Seperti apa karakteristik anak yang pemalu tersebut?
13. Bagaimana cara penanganan kepada anak yang pemalu?

C. Tujuan Penulisan Makalah


Sesuai pada rumusan masalah diatas sehingga pada makalah ini dapat
diambil beberapa tujuan antara lain
1. Untuk dapat memahami penjelasan dari insecure dan anak dengan
perilaku insecure.
2. Untuk dapat memahami penjelasan mengenai anak yang penakut.
3. Untuk dapat memahami penyebab anak yang penakut.
4. Untuk dapat mengetahui apa saja yang termasuk karakteristik anak yang
penakut tersebut.

2
5. Untuk dapat mengerti bagaimana cara penanganan kepada anak yang
penakut.
6. Untuk dapat memahami penjelasan mengenai anak yang rendah diri.
7. Untuk dapat memahami penyebab anak yang rendah diri.
8. Untuk dapat mengetahui apa saja yang termasuk karakteristik anak yang
rendah diri tersebut.
9. Untuk dapat mengerti bagaimana cara penanganan kepada anak yang
rendah diri.
10. Untuk dapat memahami penjelasan mengenai anak yang pemalu.
11. Untuk dapat memahami penyebab anak yang pemalu.
12. Untuk dapat mengetahui apa saja yang termasuk karakteristik anak yang
pemalu tersebut.
13. Untuk dapat mengerti bagaimana cara penanganan kepada anak yang
pemalu.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Insecure dan Anak dengan Perilaku Insecure


Kata insecure berasal dari bahasa Inggris yang berarti lacking self
comfidence (tidak percaya pada diri sendiri), not safe from danger (tidak
aman), unstable (tidak terjamin), and not firm or dependable (tidak kukuh
atau teguh).1 Oleh para profesional, karakter seperti pencemas, penakut,
perasaan rendah diri dan pemalu sering disebut sebagai jenis perilaku
“neurotik” atau insecure (perasaan tidak aman). Insecure, atau rasa tidak
aman, bisa diartikan sebagai rasa takut akan sesuatu yang dipicu oleh rasa
tidak puas dan tidak yakin akan kapasitas diri sendiri. Rasa insecure inilah
yang pada akhirnya, memicu anak untuk menciptakan ‘topeng’ agar sisi lain
yang ingin kita sembunyikan itu tidak terlihat oleh orang lain. Dengan kata
lain, kita berusaha menutupi sisi lain itu dengan melakukan sesuatu yang
menurut kita, bisa membuat kita tampak hebat dimata orang lain.
Dengan demikian, insecure menggambarkan perasaan seorang individu
yang memiliki rasa percaya diri yang rendah, memiliki perasaan takut, dan
cemas, serta pemalu. Sementara perilaku insecure pada anak adalah
tanggapan atau reaksi anak usia dini terhadap suatu objek dalam bentuk
perasaan rendah diri takut cemas dan malu. Oleh karena itu, perilaku yang
sakit pada anak ini berhubungan dengan masalah perkembangan emosi pada
anak yang tidak berlangsung optimal serta setidaknya ada empat macam
perilaku insecure yang pada umumnya antara lain penakut, pencemas, rendah
diri, dan pemalu. Abraham Maslow, sebenarnya keempat perilaku insecure
pada anak (penakut, pencemas, rendah diri, dan pemalu) disebabkan ada
kebutuhan pada anak yang tidak terpenuhi oleh dirinya. Kebutuhan tersebut
yaitu kebutuhan fisik, kebutuhan akan keamanan, kebutuhan untuk memiliki
dan mencintai, kebutuhan untuk dipercaya dan dihargai, serta kebutuhan
untuk mengaktualisasi diri.

1. I Markus Willy, dkk, Kamus Inggris-Indonesia (Surabaya: Arkola, 2005), hlm. 346.

4
B. Anak yang Penakut
Penakut berasal dari kata takut yang berarti merasa gentar (nyeri)
menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana atau pun
bahaya. Sementara penakut berarti orang yang takut, mudah takut, tempak
takut, dan menjadi takut.2 Takut adalah emosi yang kuat dan tidak
menyenangkan yang disebabkan oleh kesadaran atau antisipasi akan adanya
suatu bahaya (Schaefer dan Millman, 1981). Ketakutan yang tidak beralasan
dan sangat kuat merupakan hasil dari keadaan panik. Ketakutan yang khas
pada masa kanak-kanan meliputi rasa takut terhadap gelap, takut
ditinggalkan, takut terhadap suara keras, penyakit, hantu, binatang, orang
asing, dan situasi yang tidak dikenal.
1. Penyebab Anak menjadi Penakut
Terkait dengan rasa takut pada anak, Novita Tandry
mengungkapkan bahwa bayi yang sangat kecil pun dapat menunjukkan
beberapa tanda rasa takut meskipun dalam bentuk yang belum rumit dan
terlihat ketika ia bereaksi dengan rasa terkejut terhadap suara keras,
perubahan mendadak, atau menemukan sesuatu yang tidak diharapkan
terjadi di sekitarnya. Pada bayi, secara umum rasa takut muncul akibat
ada pemisahan antara dirinya dengan ibunya. 3 Sementara itu, Abdullah
Nashih Ulwan menjelaskan bahwa pada usia 3 tahun mulai banyak hal-
hal yang ditakuti oleh anak usia dini, seperti takut terhadap suara
halilintar, binatang, keadaan gelap, dan lainnya. Menurutnya, pada
umumnya anak perempuan lebih banyak menampakkan ketakutannya
dibandingkan dengan anak laki-laki dan rasa ketakutannya pun akan
berbeda sesuai dengan kondisi dan imajinasi anak. Jika intensitas
imajinasinya lebih banyak, rasa ketakutannya pun akan lebih banyak
pula.4

2. Hasan Alwi, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 1126.
3. Novita Tandry, Mengenai Tahap Tumbuh Kembang Anak dan Masalahnya (Jakarta: Libri,
2011), hlm. 57.
4. Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Terj., Jamalludin Miri (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), hlm. 373.

5
Kemudian, Rini Hildayani dkk., mengungkapkan bahwa sekurang-
kurangnya 50% anak memiliki ketakutan umum terhadap anjing, situasi
gelap, petir, dan hantu dengan 10% dari mereka memiliki dua atau lebih
ketakutan yang bersifat serius. Menurutnya, ketakutan sangat umum
terjadi pada usia 2-6 tahun. Ketakutan terhadap binatang, badai, situasi
gelap, dan orang asing sangat sering terjadi saat anak berusia 2-4 tahun.
Ketakutan tersebut kemudian berkurang pada usia 5 tahun dan hilang di
usia 9 tahun. Lalu, ketakutan imajiner seperti ketakutan terhadap hantu
menonjor di usia 4-6 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 9 tahun
dan kebanyakan hilang pada usia 10 tahun.5 Novita Tandry merinci
perkembangan rasa takut pada anak berikut ini.6
No Usia Objek yang ditakuti
.
1. Setelah baru lahir Suara nyaring/keras
2. 6-3 bulan Orang asing
3. 9 bulan keatas Tempat-tempat tinggi
4. 2-4 tahun Binatang
5. 4-6 tahun Kegelapan, badai, monster khayalan
6. 6-12 tahun Hal-hal misterius yang terjadi, hantu
7. 12-18 tahun Rasa malu secara sosial, kegagalan
akademis, kematian, dan perang

Abu Amr Ahmad Sulaiman mengungkapkan bahwa setidaknya ada


sembilan hal yang dapat menyebabkan anak usia dini dilingkupi rasa
takut, antara lain sebagai berikut.
a) Ketidakmengertiannya terhadap hakikat sesuatu.
b) Adanya keanehan pada bentuk tubuhnya.
c) Adanya perbedaan perlakuan dari orang tuanya antara anak laki-laki
dengan perempuan.
d) Kelahiran adik baru yang mengakibatkan hilangnya perhatian orang
tua terhadapnya.
e) Orang tua sering memaksa anak usia dini untuk melakukan sesuatu
pekerjaan yang tidak disukainya.
5. Rini Hildayani dkk, Penanganan Anak Berkelainan: Anak Dengan Kebutuhan Khusus
(Jakarta: Universitas Terbuka, 2012), hlm. 3.1.
6. Novita Tandry, Mengenai Tahap Tumbuh Kembang Anak dan Masalahnya (Jakarta: Libri,
2011), hlm. 58.
6
f) Orang tua sering menjadikan anak usia dini sebagai bahan olok-
olokan, tidak memerhatikannya, bahkan mencampakkannya.
g) Orang tua menakut-nakutinya dengan sesuatu yang menyakitkan
dalam benaknya, seperti suntikan dokter, polisi, dan sebagainya.
h) Anak usia dini meniru ketakutan orang tuanya terhadap sesuatu
tertentu seperti takut kepada tikus, kecoa, tempat gelap, dan lainnya.
i) Anak usia dini berada pada pertengkaran antara orang tuanya dan
banyaknya permasalahan antara mereka.7
2. Karakteristik Anak yang Penakut
Setiap anak tentunya memiliki rasa takut, tetapi ada rasa takut yang
wajar serta ada pula yang perlu mendapat perhatian dan penanganan
khusus. Jika rasa takut anak berlangsung lama, mengganggu kesehatan,
kegiatan dan perilaku sehari-hari menurun kualitasnya, ini merupakan
gejala rasa takut yang serius dan akut. Gejala umum yang tampak pada
anak penakut antara lain sebagai berikut.
a) Gejala kejiwaan seperti gangguan makan, perut, tidur, sulit bernapas,
serta sakit kepala.
b) Gangguan emosional seperti rasa takut, sensitif, rendah diri,
ketidakberdayaan, bingung, putus asa, marah sedih dan dilingkupi
perasaan bersalah.
c) Gangguan perilaku seperti gangguan tidur, suka mengisolasi diri,
capaian prestasi yang kurang di sekolah, agresif, mudah tersinggung,
menghindari pergi keluar rumah, ketergantungan pada suatu benda,
dan suka berada di kamar orang tua.
3. Penanganan pada Anak yang Penakut
Pada dasarnya anak mengalami rasa takut dan akhirnya dapat
menjadi anak yang penakut karena kebutuhan akan merasa amannya
tidak dipenuhi. Rasa aman tersebut ia dapatkan dari orang tuanya,
kakaknya, pendidik, juga teman sebayanya.

7. Abu Amr Ahmad Sulaiman, Metode Pendidikan Anak Muslim Usia Pra Sekolah, Ter.,
Ahmad Amin Sjihab, Muraja’ah, dan M. Yusuf Harun (Jakarta: Darul Haq, 2000), hlm. 89.

7
Jika seorang anak merasa keberadaannya dilindungi dan mendapatkan
keamanan, ia akan merasa aman dan nyaman, yang dapat berimbas
kepada peningkatan kemampuannya dalam menyelesaikan berbagai tugas
keseharian. Berikut adalah sepuluh cara yang dapat dilakukan oleh orang
tua atau pun pendidik untuk menangani anak yang penakut.
a) Sebelum menangani anak yang penakut, sebaiknya orang tua atau
pendidik mencari dan menentukan terlebih dahulu sebab-sebab atau
sumber-sumber yang membuat mereka menjadi takut. Hal ini perlu
dilakukan agar penanganan terhadap anak usia dini yang penakut
tepat sasaran dan efektif.
b) Orang tua atau pendidik hendaknya menerangkan sesuatu yang aneh
dan tidak dimengerti oleh anak usia dini serta tidak merasa keberatan
terhadap berbagai pertanyaan yang dilontarkan oleh mereka serta
memahamkanya sesuai dengan perkembangannya.
c) Mengaitkan antara sesuatu yang ditakutinya dengan sesuatu yang
disenanginya misalnya seperti polisi itu tugasnya adalah menjaga
keamanan, kegelapan itu dibutuhkan agar kita bisa tidur dan istirahat
dan sebagainya.
d) Menjauhkan anak dari suasana yang menegangkan seperti kematian
kerabat yang di dalamnya terdapat tangisan, jeritan, dan sebagainya.
e) Menerangi rumah atau ruang kelas dengan sinar yang terang jika
dibutuhkan.
f) Menceritakan tentang kisah heroik para pahlawan bangsa dengan
ungkapan yang sederhana.
g) Tidak memaksa anak usia dini untuk melakukan perbuatan atau
menempatkannya pada sesuatu yang dia takut, tetapi hendaknya
dilakukan dengan ditemani atau sedikit demi sedikit. Misalnya, bagi
anak usia dini yang takut dengan air, orangtua hendaknya tidak
memaksa untuk mengajaknya ke kolam renang tetapi hendaknya
dilakukan dengan ditemani sedikit demi sedikit dengan mengajaknya
bermain dengan ikan-ikan di kolam kecil.

8
h) Memisahkan anak sedikit demi sedikit dari kedua orangtuanya tidak
dengan tiba-tiba baik untuk belajar sendiri di TK atau SD atau untuk
tidur sendiri di dalam kamar.
i) Mempersiapkan anak usia dini dan mendidiknya untuk menghadapi
kondisi yang padanya dengan cara bermain. Misalnya, saat anak
takut dengan dokter gigi, orangtua atau pendidik mengajaknya untuk
bermain peran sebagai dokter gigi dan pasien. Orang tua atau
pendidik yang menjadi pasiennya sedangkan si anak memerankan
diri sebagai dokter gigi.
Selanjutnya berikut ini adalah beberapa hal yang dapat dilakukan secara
singkatnya untuk mengatasi ketakutan yang mungkin dialami oleh anak
didik anda (Schaefer, & millman, 1981)
a) Bermain
Bermain merupakan sebuah cara alami untuk mengendalikan
perasaan dan kejadian-kejadian. Dengan bermain, anak belajar
bagaimana mengendalikan rasa takutnya karena ketakutan dapat
dikendalikan dalam situasi bermain. Sebagai contoh, anak takut
kepada air dapat diajak untuk bermain air. Dengan bermain air, anak
akan menjadi terbiasa dengan air.
b) Menunjukkan empati dan dukungan
Jika anak menilai kita sebagai orang yang mampu memahami dan
menolong, mereka akan lebih mampu menghadapi situasi yang
menakutkan. Perhatian dan penghargaan dapat meningkatkan rasa
aman pada anak. Kita dapat menunjukkan empati dengan cara
memahami bagaimana anak berpikir dan merasa tentang hal yang
ditakutinya. Cara yang sangat lansung memberikan anak empati
adalah dengan memberikan anak kebebasan untuk berfikir dan
merasa tentang apa pun. Ketika anak mengespresikan rasa takutnya,
kita seharusnya menerima ketakutan-ketakutanya dan membantu
anak.

9
c) Mengekspos situasi yang menakutkan pada anak
Anak yang takut terhadap dokter dapat diajak untuk mengunjungi
sebuah rumah sakit. Anak yang takut terhadap petir dapat diajak
bersama-sama untuk menirukan suara petir, disertai dengan
penjelasan yang dipahami anak dan dapat mengatasi ketakutan anak.
d) Menjadi model
Sebagai guru, kita akan menjadi model bagi anak didik kita. Anak
belajar untuk tidak takut dari orang yang juga tidak takut dan mampu
mengendalikan situasi. Dengan demikian, anak memperoleh
pemahaman lewat pengamatannya, bahwa apa yang mereka takuti
sebenarnya merupakan sesuatu yang aman.
e) Memberi Reward
Kita harus sensitif terhadap kesiapan anak berubah dan tumbuh
menjadi lebih berani. Untuk itu, pujilah sekecil apapun setiap
langkah keberanian yang dilakukan anak. Selain pujian, reward-
reward kongkret juga efektif bagi anak. Misalnya, dengan
memberikan cap stempel atau stiker atas keberanian anak.

C. Anak yang Rendah Diri


Dalam pengertian sehari-hari, orang sering menyebut anak yang
memiliki perasaan rendah diri dengan sebutan minder. Atau kata lain dari
rendah diri adalah minder. Rendah diri secara sederhana dapat diartikan
dengan suatu perasaan yang menjadikan anak merasa kurang mampu
(kompeten) jika dibandingkan dengan orang lain. Perasaan rendah diri
merupakan salah satu fenomena psikologis yang sangat berbahaya karena
dapat membawa anak kepada kehidupan yang hina dan sengsara. Hal itu
dikarenakan perasaan rendah diri berkaitan erat dengan konsep harga diri
(self asteem). Rasa rendah diri adalah keadaan emosi yang mengakibatkan
munculnya berbagai perasaan negatif seperti kegelisahan, rasa tidak aman,
rasa tidak mampu, takut gagal dan sebagainya.

10
Orang yang mengalami rasa rendah diri, entah sadar atau tidak sadar
akan tampak dari:
a) Tanda nyata, misalnya: keringat dingin, gemetaran, kata terputus-putus,
tidak berani bertatapan mata, serta tidak berani bicara.
b) Tanda tidak nyata, misalnya: selalu berpakaian bagus tanpa itu merasa
kurang diterima, selalu menyanggah pembicaraan sebab takut dianggap
tidak tahu apa-apa, mencari kesibukan di tengah pertemuan-pertemuan
untuk mendapatkan rasa aman dan dibutuhkan.
Dengan demikian, anak yang rendah diri adalah anak yang memberi penilaian
yang rendah terhadap dirinya, termasuk kompetensi-kompetensi yang
dimilikinya. Lawan dari rendah diri ini adalah percaya diri.
1. Penyebab Anak menjadi Rendah Diri
Gejala rendah diri biasanya dimulai saat anak berusia empat bulan.
Kemudian, setelah berusia satu tahun perasaan rendah diri itu akan
semakin lebih tampak pada anak usia dini, yaitu disaat ia memalingkan
wajahnya dan menutup kedua matanya atau wajahnya dengan kedua
telapak tangannya kepada orang yang dianggap asing baginya. Faktor
genetika juga ikut memengaruhi kemunculan dan penyebaran perasaan
rendah diri pada anak. Faktor lingkungan juga memengaruhi dalam
memperbesar atau bahkan menghilangkan perasaan rendah diri tersebut.
Anak usia dini yang sering bergaul dengan teman-temannya, perasaan
rendah dirinya lebih kecil dibandingkan anak yang kurang suka bergaul
dengan teman-temannya.8
Setidaknya ada sembilan hal yang dapat menyebabkan anak usia
dini dilingkupi perasaan rendah diri, antara lain sebagai berikut.
a) Orangtua mendidik anak dengan metode yang keliru dan
berdasarkan ancaman, kekerasan, serta pemukulan setiap kali anak
usia dini berbuat kesalahan atau bermain sesuatu yang dapat
membahayakan atau yang tidak disukai orangtuanya.

8. Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Terj., Jamalludin Miri (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), hlm. 364.

11
b) Orangtua selalu atau terlalu membatasi setiap perilaku anak usia dini
dan juga cara berpikirnya.
c) Orangtua selalu membandingkan anak dengan anak lainnya
meskipun sebenarnya tujuannya adalah untuk memotivasinya karena
hal itu justru dapat memberikan pengaruh yang sebaliknya.
d) Orangtua meremehkan kemampuan dan harga diri anak serta
melemahkan minatnya.
e) Anak memiliki bentuk badan yang kecil dan cacat tubuh.
f) Orangtua mudah mencela anak pada saat ia mengalami kegagalan
saat melakukan sesuatu.
g) Banyaknya pertengkaran antara kedua orangtuanya.
h) Anak dibebani dengan pekerjaan yang di luar kemampuannya dan
bakatnya sehingga ia tidak mampu dan gagal.9
2. Karakteristik Anak yang Rendah Diri
Anak yang memiliki perasaan rendah diri memiliki karakteristik
berikut ini.
a) Susah untuk berbicara.
b) Menutup diri dari teman-temannya.
c) Mudah ragu dan takut, tetapi mudah marah dan tersinggung.
d) Pesimistik karena merasa dirinya tidak mampu untuk melakukan
sesuatu.
Anak yang rendah diri tidak optimis terhadap hasil dari usaha mereka.
Mereka merasa tidak mampu, pesimis, dan mudah kecil hati. Segala
sesuatu selalu dilihat salah. Anak mudah menyerah dan sering kali
merasa diintimedasi “jelek” atau “tidak bisa apa-apa” merupakan kata-
kata yang sering digunakan untuk menggambarkan diri mereka. Frustasi
dan merasa kurang dapat dikendalikan dan pada gilirannya sering
menghasilkan perilaku balas dendam terhadap orang lain atau dirinya
sendiri.

9. Abu Amr Ahmad Sulaiman, Metode Pendidikan Anak Muslim Usia Pra Sekolah, Ter.,
Ahmad Amin Sjihab, Muraja’ah, dan M. Yusuf Harun (Jakarta: Darul Haq, 2000), hlm. 91.

12
Sangat di sayangkan bahwa perilaku mereka mengarahkan orang lain
untuk memandang mereka secara negatif sebagaimana mereka
memandang diri mereka sendiri. Perasaan kontrol internal ini biasanya
meningkat dengan bertambahnya usia dan prestasi seseorang. Anak
secara berangsur-angsur lebih mengembangkan rasa percaya diri dan
merasa lebih mandiri dan bebas (Schaefer,& millman, 1981).
3. Penanganan pada Anak yang Rendah Diri
Perasaan rendah diri pada anak yang semakin memprihatinkan
harus sesegera mungkin ditangani. Pencegahan terhadap perasaan rendah
diri pada anak juga harus segera diatasi. Ada sejumlah hal yang dapat
kita lakukan untuk mengatasi rasa rendah diri anak (Schaefer & millman,
1981) dilakukan seperti dengan cara berikut ini.
a) Meningkatkan pemahaman diri
Anak diberi pengertian bahwa tidak ada orang yang sempurna dan
semua memiliki kekuatan dan kekurangan yang berbeda-beda.
b) Mendukung kompetensi dan kemandirian anak
Anak perlu dilatih untuk melakukan keterampilan yang sesuai
dengan usianya dan dijamin bahwa ia akan memperoleh perasaan
aman dalam proses menguasai keterampilan tersebut. Jika anak
menghadapi masalah, beri ia dorongan untukberpikir, serta berikan
bantuan jika hal itu benar-benar ia butuhkan.
c) Mendukung kompetensi dan kemandirian anak
Dukungan emosional marupakan hal yang penting karena anak
membutuhkan perasaan aman, yaitu perasaan bahwa kita berada di
dekatnya. Mengekspresikan optimise anak terhadap apa yang sedang
dilakukan anak, misalnya dengan mengatakan “ya bagus, kamu pasti
bisa!”
d) Fokus pada hal-hal positif yang dapat dilakukan anak
Perlu mengenali dan mendukung kekuatan anak. Fokuskan pada
kelebihan danbukan pada kekuatan/kelemahan anak. Catatlah hal-hal

13
yang baik tentang anak, baik keterampilan maupun usaha-usaha yang
dilakukannya.
e) Menyediakan pengalaman yang konstruktif
Merencanakan bermacam-macam kegiatan dan menggunakan cara-
cara yang tepat untuk menjamin agar anak mau berpartisipasi dalam
kegiatan tersebut. Pengalaman konstruktif hendaknya dibuat secara
realisasi, dengan tujuan yang dapat dicapai.
f) Meningkatkan percaya diri anak
Kepercayaan diri berangsur-angsur ditingkatkan dengan pengalaman
keberhasilan yang berulang. Buatlah tugas yang sebisa mungkin
dapat diselesaikan oleh anak dan ajari anak untuk mentoleransikan
kegagalan. Dengan memberi tahu anak bahwa kegagalan lebih baik
daripada tidak mau mencoba sama sekali.
g) Memberikan reward (penghargaan)
Setiap kali anak menunjukan sikap optimisme dan tidak mudah kecil
hati, beri ia reward yang dapat memperkuat perilakunya. Salah satu
bentuk rewad adalah dengan memberikan sesuatu yang disukai anak.

D. Anak yang Pemalu


Pemalu berasal dari kata malu yang berarti merasa sangat tidak enak
hati (hina, rendah, dan sebagainya), karena berbuat sesuatu yang kurang baik
(kurang benar, berbeda dengan kebiasaan, dan mempunyai cacat atau
kekurangan); segan melakukan sesuatu karena agak takut; dan kurang senang
(hina, rendah, dan sebagainya). Sementara pemalu berarti orang yang mudah
merasa (yang mempunyai sifat malu). 10 Rini Hildayani dkk., mengartikan
malu dengan perasaan negatif terhadap stimulus baru serta menarik diri dari
stimulus tersebut.11
Anak yang pemalu adalah anak yang bereaksi secara negatif terhadap
stimulus baru serta menarik diri terhadap stimulus tersebut (Berk, 2000).

10. Hasan Alwi, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 706.
11. Rini Hildayani dkk, Penanganan Anak Berkelainan: Anak Dengan Kebutuhan Khusus
(Jakarta: Universitas Terbuka, 2012), hlm. 3.1.

14
Menurut Kagan (dalam Berk, 2000), pada anak yang pemalu, stimulus baru
sangat cepat membangkitkan amygdala (struktur otak dalam atau inner brain
structure yang mengontrol reaksi menghindar) dan hubungannya dengan
cerebral cortex dan sistem saraf simpatis, yang membuat tubuh bersiap-siap
untuk bertindak menghadapi ancaman.
1. Penyebab Anak menjadi Pemalu
Ada lima hal yang dapat menjadi penyebab anak menjadi pemalu,
antara lain sebagai berikut.
a) Anak sering mendapat hinaan dan celaan dari orang lain. Bahkan, hal
ini merupakan faktor terbesar yang dapat menyebabkan ia menjadi
anak yang pemalu.
b) Anak dijuluki dengan julukan-julukan yang berstigma negarif,
misalnya seperti pembohong, pencuri, anak nakal, dan lainnya.
c) Sikap pilih kasih orangtua atau pendidik kepada anak yang dianggap
pandai atau mampu menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik,
sedangkan anak yang kurang pandai atau tidak mampu kemudian
diabaikan.
d) Anak memiliki cacat jasmani dan kurang mendapatkan perhatian dari
orang lain
e) Faktor ekonomi orangtua, seperti kemiskinan.
2. Karakteristik Anak yang Pemalu
Anak yang pemalu sering menghindari orang lain dan biasanya
mudah merasa takut, curiga, hati-hati, dan ragu-ragu untuk melakukan
sesuatu. Mereka umumnya menarik diri dalam berhubungan dengan orang
lain. Dalam situasi sosial, mereka biasanya tidak mengambil inisiatif,
sering diam, berbicara dengan suara pelan, dan menghindari kontak mata.
Orang sering melihat mereka sebagai anak yang mudah bosan dan sering
kali dihindari sehingga makin meningkatkan rasa malu anak. Karena anak
yang pemalu jarang membuat masalah, mereka sering tidak diperhatikan
(khususnya di sekolah). Dalam menghadapi situasi yang sulit, anak yang
pemalu akan menarik diri dan akan meninggalkan tempat. Anak usia pra

15
sekolah dan usia sekolah pemalu mempunyai kesulitan besar untuk
berpartisipasi dengan orang lain. Secara umum, periode pemalu yang
normal terjadi pada usia 5 atau 6 bulan, dan berikutnya terjadi lagi pada
usia 2 tahun.
Beberapa anak yang pemalu tampak kurang ramah dan kurang
banyak bicara pada orang lain. Ada pula anak pemalu yang merasa senang
dengan kegiatan soliter, misalnya, menyenangi permainan atau kegiatan
bermain yang dilakukannya sendiri. Mereka merasa tidak nyaman, sering
merasa cemas, menjadi gelisah, dan ingin meninggalkan situasi sosial.
Ketakutan terhadap penilaian negatif ini, sering disertai oleh prilaku sosial
yang buruk, seperti menjadi salah tingkah dan sulit berbicara. Banyak anak
pemalu tidak berpartisipasi di sekolah atau dalam lingkungan tetapi
tindakannya di rumah berbeda sekali. Situasi lebih menjadi lebih serius
jika di rumah ternyata pemalu juga (Schaefer, & millman, 1981).
Anak yang pemalu sering mempunyai pengalaman yang kurang
dalam keterampilan sosial. Mereka kurang menunjukka minat terhadap
orang lain, tidak melakukan dan menerima komunikasi, atau tidak
menunjukkan simpati dan perhatian terhadap orang lain. Kondisi itu semua
tentu dapat mencegah orang lain untuk melihat kualitas positif yang
dimiliki anak. Mereka membutuhkan waktu yang lama untuk bertemu
dengan orang baru atau menikmati pengalaman baru. Oleh karena itu
mereka menerima sedikit pujian dan kurang dilihat oleh guru atau teman.
Salah satu situasi yang sulit dihadapi oleh anak pemalu adalah situasi pesta
(Schaefer, & millman, 1981).
3. Penanganan pada Anak yang Pemalu
Marilyn Greene seorang spesialis anak usia dini di Agoura Hills,
California mengungkapkan bahwa pada dasarnya anak usia dini memang
terlahir sebagai seorang yang pemalu karena memang ada gen pemilu yang
diwariskan kepadanya. Namun demikian, meskipun anak tidak harus
menjadi seorang yang pemberani orangtua atau pendidik harus tetap
memotivasinya untuk mengatasi rasa malu dan membuatnya keluar dari

16
tempurungnya. Itulah sebabnya penanganan terhadap anak usia dini yang
pemalu sangat penting untuk dilakukan. Ada beberapa cara yang dapat
dilakukan oleh orang tua atau pendidik dalam menangani atau membantu
anak didik yang memiliki sifat pemalu (Schaefer, & millman, 1981) antara
lain sebagai berikut.
a) Mendukung dan memberi reward terhadap sosialisasi yang dilakukan
anak
Berikan senyum atau komentar setiap kali anak bermain atau
berbicara denganteman, misalnya “senang ya bisa bermain bersama”.
Jangan biarkan anak menyendiri dalam waktu lama namun jangan
pula dengan khusus menemani dia. Dengan menemani anak yang
sedang menyendiri, kita akan semakin memperkuat perilakunya untuk
tidak bersosialisasi dengan orang lain. Bantulah anak untuk
memahami kejadian sosial yang ada. Jelaskan secara sederhana,
dengan bahasa yang mudah dimengerti anak, bagaimana orang lain
merasa, berfikir, dan bertingkah laku sehingga prilaku orang lain
dapat dipahami dengan lebih baik dan tidak diartikan secara salah.
Ajari anak bagaiman cara bertindak dalam situasi dengan cara yang
tepat untuk usianya.
Salah satu cara me-reward prilaku anak adalah dengan memberinya
beberapa poin atau gambar binatang dalam sebuah buku khusus
reward agar ia tertarik untuk melakukan sosialisasi. Sistem poin
hendaknya disusun sehingga prilaku yang lebih sulit (misalnya bicara
dengan beberapa teman) mendapat poin yang lebih besar daripada
prilaku yang mudah (misalnya, berbicara dengan hanya satu teman).
Poin dapat di tukar dengan sesuatu yang menyenangkan bagi anak,
misalnya pensil atau stiker.
b) Mendukunga kepercayaan diri dan sikap yang wajar
Anak sebaiknya didukung dan dipuji untuk kepercayaan dirinya dan
tindakannya yang wajar. Ajari anak untuk menjadi dirinya sendiri dan
mengekspresikan pendapatnya secara terbuka.

17
c) Menyediakan suasana yang hangat dan penuh penerimaan
Perbolehkan anak untuk mengatakan “tidak” untuk situasi di mana ia
bolehmemilih. Hargai kemandirian anak, dengan demikian anak dapat
merasa bahwa mereka diterima, bahkan jika mereka tidak setuju
dengan kita. Anak akan merasa disayang dan aman ketika mereka
dihargai walau apa pun pendapat mereka. Ajari anak bahwa mereka
adalah bagian dari komunitas kelas, oleh karena itu mereka dapat
mencari dukungan kapan pun mereka perlu tanpa rasa malu.
d) Melatih keterampilan sosial pada anak
Latihan keterampilan sosial dapat dilakukan dalam beberapa langkah,
yaitu langkah instruksi, umpan balik, pengulangan prilaku, dan
modelling instruksi terdiri dari petunjuk kepada anak tentang cara
spesifik atau khusus untuk berhubungan dengan orang lain. Ajari anak
untuk memberi dan menerima pujian, tersenyum, menganggukkan
kepala, mengucapkan terima kasih (jika diberi/dibantu sesuatu), maaf
(jika melakukan kesalahan), dan tolong (jika minta bantuan), serta
melakukan kontak mata setiap kali berkomunikasi dengan orang lain.
Anak hendaknya di ajarkan bahwa berbagi cerita dengan orang lain
adalah sesuatu hal yang menyenangkan dan berarti. Ajari pula anak
untuk mendengar secara aktif dengan cara menyimak dengan seksama
apa yang sedang dibicarakan oleh lawan bicara. Umpan balik
membantu anak untuk memahami dan meningkatkan
keterampilannya. Modelling menunjukkan kepada anak bagaimana
caranya menjalankan keterampilan sosial yang telah diajarkan.
Sebagai model, kita tentu harus menunjukkan keterampilan-
keterampilan yang telah diajarkan dengan baik. Pengulangan prilaku
terjadi ketika anak mengulangi prilaku sosial yang telah dipelajari
dengan kualitas yang lebih baik dari sebelumnya karena adanya
intruksi, umpan balik dan modelling.
Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk melatih keterampilan
sosial pada anak adalah melalui kegiatan bermain peran (role play).

18
Macam-macam situasi dapat diperankan ketika anak bermain pura-
pura (make-believe play). Interaksi pun secara lansung dialami. Dalam
kegiatan bermain tersebut, situasi yang diciptakan dapat nampak nyata
dan mereka pun merasa lebih aman menjalaninya daripada dari pada
dalam situasi nyata. Kita perlu mendukung sifat spontan anak dalam
situasi tersebut (misalnya, jika anak tiba-tiba saja mengatakan kepada
kita “selamat pagi, Bu”). Pengertian peran (role reversal) adalah salah
satu bentuk yang sangat efektif untuk dilakukan. Kita dapat berganti
peran dengan anak melalui kegiatan bermain peran.
e) Menyediakan agen sosialisasi untuk anak
Kita sebaiknya memasangkan satu atau dua orang teman yang
memungkinkan untuk menjadi teman bermain bagi anak yang pemalu.
Selanjutnya, perkenalkan anak untuk bermain dalam kelompok yang
lebih besar.
f) Membuat kegiatan yang merangsang anak untuk berinteraksi
Anak yang kurang komunikatif dapat didorong untuk berkomunikasi
melalui gambar karena umumnya anak lebih seneng mendiskusi
gambar. Selain itu, rancanglah kegiatan-kegiatan lain yang membuat
anak harus menolong dan berkomunikasi satu sama lain, misalnya,
menggambar bersama dalam satu kertas.

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kata insecure berasal dari bahasa Inggris yang berarti lacking self
confident (tidak percaya pada diri sendiri). Insecure menggambarkan
perasaan seseorang yang memiliki rasa percaya diri rendah, rasa takut yang
berlebihan, dan rasa tidak aman pada dirinya. Setidaknya ada empat macam
perilaku insecure yaitu penakut, pencemas, rendah diri, dan pemalu. Namun,
kami membahas mengenai anak yang penakut, rendah diri dan pemalu.
Penakut berasal dari kata takut yang berarti merasa gentar (nyeri) menghadapi
sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana atau pun bahaya.
Selanjutnya, rendah diri secara sederhana dapat diartikan dengan suatu
perasaan yang menjadikan anak merasa kurang mampu (kompeten) jika
dibandingkan dengan orang lain. Sedangkan, pemalu berasal dari kata malu
yang berarti merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah, dan sebagainya),
karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan
kebiasaan, dan mempunyai cacat atau kekurangan); segan melakukan sesuatu
karena agak takut; dan kurang senang (hina, rendah, dan sebagainya) serta
pemalu berarti orang yang mudah merasa (yang mempunyai sifat malu).
Dalam penanganan rasa insecure yang dialami anak, dibutuhkan dukungan
dari semua pihak terutama memberi motivasi sebagai wujud dukungan bahwa
hal yang dikhawatirkan bisa dihadapi.

B. Saran
Dari yang sudah dipaparkan di atas tentang anak dengan perilaku insecure
1 dapat diberikan saran yaitu pentingnya kepekaan orangtua, pendidik atau
masyarakat agar dapat membantu mengatasi permasalahan anak yang
mengalami rasa insecure (1)

20
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dkk. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Dewi, Rosmala. 2005. Berbagai Masalah Anak Taman Kanak-Kanak. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Dikti.
Hildayani, Rini, dkk. 2012. Penanganan Anak Berkelainan: Anak Dengan
Kebutuhan Khusus.Jakarta: Universitas Terbuka.
Jamaris, Martini. 2005. Perkembangan dan Pengembangan Anak Usia Taman
Kanak-Kanak. Jakarta: Program PAUD PPS UNJ.
Mu’awwanah, Uyu. 2017. Perilaku Insecure Pada Anak Usia Dini. Jurnal
Pendidikan Anak Usia Dini. Vol. 2. No. 1. Hal 47-58
Sulaiman, Abu Amr Ahmad. 2000. Metode Pendidikan Anak Muslim Usia Pra
Sekolah, Ter., Ahmad Amin Sjihab, Muraja’ah, dan M. Yusuf Harun.
Jakarta: Darul Haq
Tandry, Novita. 2011. Mengenai Tahap Tumbuh Kembang Anak dan Masalahnya.
Jakarta: Libri
Ulwan, Abdullah Nashih. 2007. Pendidikan Anak dalam Islam, Terj., Jamalludin
Miri. Jakarta: Pustaka Amani
Willy, I Markus, dkk. 2005. Kamus Inggris-Indonesia. Surabaya: Arkola
Wiyani, Novan Ardy. 2014. Buku Ajar Penanganan Anak Usia Dini
Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Ar-ruzz Media

21

Anda mungkin juga menyukai