Anda di halaman 1dari 45

BAB 1

1.1. Latar Belakang


Proses menua merupakan proses sepanjang hidup yang dimulai sejak pe
rmulaan kehidupan (Paradila, 2013). Lansia adalah seseorang yang telah ber
usia 60 tahun atau lebih (WHO, 2010). Memasuki usia tua akan mengalami
kemunduran baik secara fisik, psikologis, maupun biologis. Kemunduran ps
ikologis yang sering dijumpai pada lansia antara lain perasaan tidak berguna
mudah sedih, insomnia, stres depresi, ansietas, demensia (Purbowinoto, 201
0).
Depresi merupakan penyakit mental yang paling sering muncul pada pa
sien berusia di atas 60 tahun. Tanda dan gejala pada lanjut usia yang mengal
ami depresi cepat marah dan tersinggung, sering kelelahan, kurang menikm
ati kehidupan dan penurunan nafsu makan (Maryam,2008). Jika seorang lan
sia mengalami depresi kondisi tersebut dapat menggangu kegiatan sehari-ha
ri (Maryam, 2008). Selain itu dapat mengakibatkan penurunan daya ingat da
n kesulitan dalam membuat keputusan (Yoschim, 2013).
Data Survei di panti Jompo Tresna Werdha Magetan menunjukan jumla
h lansia yang mengalami depresi ringan-sedang sebanyak 29,8% dan depresi
berat 22,9%. Gangguan depresi terjadi akibat dari perubahan-perubahan yan
g dialami lanjut usia sebagai faktor dari proses penuaan. Penelitian ini menu
njukan bahwa terdapat kelainan pada amin biogenik, seperti 5 HIAA (Hidro
ksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic acid), MPGH (5 methoxy -0-hydr
oksi phenil glikol), di dalam darah urin, dan cairan serebrospinal pada pasie
n gangguan mood. Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi ada
lah serotonin dan epineprin. Penurunan sereotonin dapat mencetuskan depre
si (Kaplan, 2010).
Dampak dari depresi pada lansia akan menurunkan sistem imun yang a
kan menyebabkan lansia mudah terkena berbagai macam penyakit. Yang pa
da akhirnya akan menyebabkan kematian pada lansia. Depresi yang tidak dit
angani bertahun-tahun dapat mengakibatkan kulaitas hidup yang buruk, kes
ulitan fungsi sosial, fisik, meningkatnya mortalitas akibat bunuh diri (Unutz
er, 2007).

42
Depresi pada lansia merupakan permasalahan yang perlu diperhatikan o
leh perawat. Perawat yang professional harus mengerti asuhan keperawatan
untuk manageman depresi tersebut. Salah satu contoh terapi yang dapat
digunakan pada lansia yang mengalami depresi adalah terapi psikoreligius
yaitu berdzikir. Dzikir kepada Allah bukan hanya sekedar menyebut nama
Allah di dalam lisan atau didalam pikiran dan hati. Akan tetapi dzikir kepad
a Allah ialah ingat kepada Asma, Dzat, Sifat, dan Af’alNya. Kemudian me
masrahkan kepadaNya baik hidup dan matinya, sehingga tidak akan ada lagi
rasa khawatir dan takut maupun gentar dalam menghadapi segala macam ba
haya dan cobaan.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian yang ada di dalam latar belakang masalah diatas,
maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, apakah terapi psikorel
igius (berdzikir) efektif untuk menurunkan depresi pada lansia di UPT Pan
ti Sosial Tresna Werdha Magetan?

1.3. Tujuan Penelitian


1. 3.1. Tujuan Umum
Secara umum untuk mengetahui efektivitas terapi psikoreligiu
s (berdzikir) dalam menurunkan depresi pada lansia di UPT Panti So
sial Tresna Werdha Magetan.
1. 3.2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi depresi sebelum diberikan terapi psikoreligius
(berdzikir) pada lansia di UPT Panti Sosial Tresna Werdha Mag
etan.
b. Mengidentifikasi depresi sesudah diberikan terapi psikoreligius
(berdzikir) pada lansia di UPT Panti Sosial Tresna Werdha Mag
etan.
c. Menganalisis efektivitas terapi psikoreligius (berdzikir) untuk m
engurangi depresi pada lansia di UPT Panti Sosial Tresna Werd
ha Magetan.

42
42
BAB 2
2.1 PROSES MENUA
2.1.1 Definisi
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam ke
hidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepajang hidup, tidak han
ya dimulai dari suatu waktu tertentu, tapi dimulai sejak permulaan kehidupan.
Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti telah melalui 3 tahap keh
idupannya yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara bi
ologis maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran
misalnya pemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, ram
but memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan sem
akin memburuk, gerakan lambat, dan postur tubuh tidak proporsional.
WHO dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraa
n lanjut usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa umur 60 tahun a
dalah usia permulaan tua. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan
proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan yang kumulatif, mer
upakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan
dari dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan kematian.
Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampua
n jaringan untuk mememperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahank
an struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas
(termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua
merupakan proses yang terus-menerus (berkelanjutan) secara alamiah dan um
umnya dialami oleh semua makhluk hidup. Misalnya dengan terjadinya kehil
angan jaringan pada otot, susunan pada saraf dan jaringan lain, hingga tubuh
mati sedikit demi sedikit.

2.1.2 Teori-Teori Proses Menua


1. Teori Biologis

42
a. Teori Genetik
Teori genetik clock merupakan teori intristik yang menjelaskan
bahwa di dalam tubuh terdapat jam biologis yang mengatur gen da
n menentukan proses penuaan. Teori ini menyatakan bahwa menua
itu telah terprogram secara genetik untuk spesies tertentu. Secara te
oritis, memperpanjang umur mungkin terjadi, meskipun hanya beb
erapa waktu dengan pengaruh dari luar, misalnya peningkatan kese
hatan dan pencegahan penyakit dengan pemberian obat-obatan atau
tindakan tertentu.
Teori mutasi somatik menjelaskan bahwa penuaan terjadi kare
na adanya mutasi somatik akibat pengaruh lingkungan yang buruk.
Terjadi kesalahan proses transkripsi DNA atau RNA dan dalam pro
ses translasi RNA protein atau enzim. Kesalahan ini terjadi terus m
enerus sehingga akhirnya akan terjadi penurunan fungsi organ atau
perubahan sel menjadi kanker atau penyakit.
b. Teori Non Genetik
a) Teori Penurunan Sistem Imun Tubuh (Auto-immune theory)
Ketuaan dianggap disebabkan oleh adanya penurunan
fungsi sistem immun. Perubahan itu lebih tampak secara nyata
pada Limposit–T, disamping perubahan juga terjadi pada
Limposit-B. Perubahan yang terjadi meliputi penurunan sistem
imun humoral, yang dapat menjadi faktor predisposisi pada
orang tua untuk:
1. Menurunkan resistansi melawan pertumbuhan tumor dan
perkembangan kanker.
2. Menurunkan kemampuan untuk mengadakan inisiasi
proses dan secara agresif memobilisasi pertahanan tubuh
terhadap pathogen
3. Meningkatkan produksi autoantigen, yang berdampak
pada semakin meningkatnya resiko terjadinya penyakit
yang berhubungan dengan autoimmune.
b) Teori Kerusakan Akibat Radikal Bebas

42
Proses menua terjadi akibat kurang efektif fungsi kerja tubu
h dan hal itu dipengaruhi oleh adanya berbagai radikal bebas d
alam tubuh. Radikal bebas yang reaktif mampu merusak sel,
termasuk mitokondria, yang akhirnya mampu menyebabkan
cepatnya kematian (apoptosis) sel, menghambat proses
reproduksi sel.
c) Teori Menua Akibat Metabolisme
Setiap makhluk hidup mempunyai ketersediaan kemampua
n yang sudah ditentukan sesuai dengan kapasitas energi yang d
igunakan untuk selama menempuh kehidupannya. Energi yang
digunakan terlalu banyak dimasa awal kehidupannya akan habi
s sebelum usia optimalnya, atau mempunyai usia yang relative
lebih pendek dari pada yang menggunakan energi secara optim
al sepanjang usia kehidupannya. Individu mempunyai lama
usia yang optimal jika energi yang digunakan merata
sepanjang hidupnya, tidak terlalu berlebih digunakan,
diimbangi dengan istirahat serta asupan energi yang cukup.
d) Teori Rantai Silang (Cross link theory)
Proses menua terjadi sebagai akibat adanya ikatan-ikatan
dalam kimiawi tubuh. Teori ini menyebutkan bahwa secara nor
mal, struktur molekular dari sel berikatan secara bersama-sama
membentuk reaksi kimia, termasuk didalamnya adalah kolagen
yang merupakan rantai molekul yang relatif panjang yang diha
silkan oleh fibroblast. Terbentuknya jaringan baru, maka
jaringan tersebut akan bersinggungan dengan jaringan yang
lama dan membentuk ikatan silang kimiawi. Hasil akhir dapi
proses ikatan silang ini adalah peningkatan densitas kolagen
dan penurunan kapasitas untuk transport nutrient serta untuk
membuang produk-produk sisa metabolisme dari sel.
2. Teori Fisiologis
Teori ini merupakan teori intrinsik dan ekstrinsik terdiri atas teori o
ksidasi stress. Dalam teori ini dijelaskan terjadi kelebihan usaha dengan s

42
tress menyebabkan sel tubuh lelah terpakai regenerasi jaringan tidak dapa
t mempertahankan kestabilan lingkungan internal
3. Teori Sosiologis
1) Teori Interaksi Sosial
Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia bertindak pada
suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai
masyarakat. Mauss (1954), Homans (1961) dan Blau (1964)
mengemukakan bahwa interaksi sosial didasarkan atas hukum
pertukaran barang dan jasa, sedangkan pakar lain Simmons (1945)
mengemukakan bahwa kemampuan lansia untuk terus menjalin
interaksi sosial merupakan kunci untuk mempertahankan status
sosialnya untuk melakukan tukar menukar.
2) Teori Aktivitas atau Kegiatan
Teori ini dikembangkan oleh Palmore (1965) dan Lemon et al.
(1972) yang mengatakan bahwa penuaan yang sukses tergantung dari
bagaimana lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktifitas dan
mempertahankan aktivitas tersebut selama mungkin. Pokok-pokok
teori aktivitas adalah:
a. Moral dan kepuasan berkaitan dengan interaksi sosial dan
keterlibatan sepenuhnya dari lansia di masyarakat.
b. Kehilangan peran akan menghilangkan kepuasan seorang lansia.
3) Teori Kesinambungan (Continuity theory)
Kesinambungan dalam siklus kehidupan lansia, dengan demikian p
engalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya
kelak pada saat ini menjadi lansia Gaya hidup perilaku dan harapan se
orang ternyata tak berubah walaupun ia menjadi lansia. Pokok-pokok
dari continuity theory adalah:
a. Lansia tak disarankan untuk melepaskan peran atau harus aktif
dalam proses penuaan, akan tetapi didasarkan pada
pengalamannya di masa lalu, dipilih peran apa yang harus
dipertahankan atau dihilangkan.
b. Peran lansia yang hilang tak perlu diganti.

42
c. Lansia dimungkinkan untuk memilih berbagai macam cara
adaptasi.
4) Teori Pembebasan atau penarikan diri
Cumming dan Henry (1961) mengemukakan bahwa kemiskinan y
ang diderita lansia dan menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan
seseorang lansia secara perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan sek
itarnya. masyarakat juga mempersiapkan kondisi agar para lansia me
narik diri, keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lansia menurun
baik secara kualitas maupun secara kuantitas.
5) Teori Perkembangan (Development theory)
Joan Birchenall RN, Med dan Mary E Streight RN (1973)
menekankan perlunya mempelajari psikologi perkembangan guna
mengerti perubahan emosi dan sosial seseorang selama fase
kehidupannya. Pokok-pokok dalam development theory adalah:
a. Masa tua merupakan saat lansia merumuskan seluruh masa
kehidupannya.
b. Masa tua merupakan masa penyesuaian diri terhadap kenyataan
sosial yang baru yaitu pensiun dan atau menduda atau menjanda.
c. Lansia harus menyesuaaikan diri akibat perannya yang berakhir
dalam keluarga, kehilangan identitas dan hubungan sosialnya
akibat pensiun, ditinggal mati oleh pasangan hidup dan teman-
temannya.

6) Teori Stratifikasi Usia (Age Stratification Theory)


Wiley (1971), menyusun stratifikasi lansia berdasarkan usia
kronologis yang menggambarkan serta membentuk adanya perbedaan
kapasitas peran, kewajiban, serta hak mereka berdasarkan usia. Dua
elemen penting dari model stratifikasi usia tersebut adalah struktur
dan prosesnya. Pokok-pokok dari teori ini adalah :
a. Arti usia dan posisi kelompok usia bagi masyarakat
b. Terdapatnya transisi yang dialami oleh kelompok
c. Terdapatnya mekanisme pengalokasian peran diantara penduduk.

42
4. Teori Psikologis
1. Teori Kebutuhan Manusia Menurut Hierarki Maslow
Menurut teori ini, setiap individu memiliki hirarki dari dalam
diri, kebutuhan yang memotivasi seluruh perilaku manusia (Maslow,
1954).
2. Teori Individual Jung
Carl Jung (1960) merupakan psikolog swiss yang
mengembangkan teori bahwa perkembangan personal individu
dilalui melalui tahapan-tahapan: masa kanak-kanak, masa remaja
dan remaja akhir, usia pertengahan, dan usia tua. Kepribadian
personal ditentukan oleh adanya ego yang dimiliki, ketidaksadaran
personal dan ketidaksadaran kolektif. Teori ini mengungkapkan
bahwa sejalan dengan perkembangan kehidupan, pada masa usia
petengahan maka seseorang mulai mencoba menjawab hakikat
kehidupan dengan mengeksplorasi nilai-nilai, kepercayaan dan
meninggalkan khayalan. Pada masa ini dapat terjadi “krisis usia
pertengahan” yang dapat mempengaruhi/menghambat proses
ketuaan itu sendiri secara psikologis.
3. Teori Proses Kehidupan Manusia
Charlotte Buhler (1968) menyusun sebuah teori yang
menggambarkan perkembangan manusia yang didasarkan pada
penelitian ektensif dengan menggunakan biografi dan melalui
wawancara. Mengidentifikasi dan mencapai tujuan hidup manusia
yang melewati klima fase proses perkembangan. Pemenuhan kebutu
han diri sendiri merupakan kunci perkembangan yang sehat dan itu
membahagiakan, dengan kata lain orang yang tidak dapat menyesuai
kan diri berarti dia tidak dapat memenuhi kebutuhannya dengan bebe
rapa cara.
4. Teori Tugas Perkembangan
Havigurst (1972) menyatakan bahwa tugas perkembangan pada
masa tua antara lain adalah :

42
a. Menyesuaikan diri dengan penurunan kekuatan fisik dan
kesehatan
b. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya
penghasilan
c. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup
d. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang sebaya
e. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan
f. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes
5. Terori Delapan Tingkat Kehidupan
Secara Psikologis, proses menua diperkirakan terjadi akibat
adanya kondisi dimana kondisi psikologis mencapai pada tahap-
tahap kehidupan tertentu. Ericson (1950) yang telah mengidentifikasi
tahap perubahan psikologis (depalan tingkat kehidupan) menyatakan
bahwa pada usia tua, tugas perkembangan yang harus dijalani adalah
untuk mencapai keeseimbangan hidup atau timbulnya perasaan putus
asa.

2.1.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penuaan


a. Heredites atau keturunan genetic
b. Nutrisi atau makanan
c. Status kesehatan
d. Pengalaman hidup
e. Lingkungan
f. Strees

2.1.4 Batasan-batasan Lansia


Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), kelompok umur lansia dibagi m
enjadi:
a. usia pertengahan (middle age) : usia 45-59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) : usia 60-74 tahun

42
c. Lanjut usia tua ( old ) : usia 75-90 tahun
d. Usia sangat tua ( very old ) : usia > 90 tahun
2.1.5 Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Lansia
a. Perubahan Fisik
1) Sel : jumlahnya lebih sedikit tetapi ukurannya lebih besar,
berkurangnya cairan intra dan extra seluler
2) Persarafan : cepatnya menurun hubungan persarapan, lambat dalam
respon waktu untuk meraksi, mengecilnya saraf panca indra  sistem
pendengaran, presbiakusis, atrofi membran  timpani, terjadinya
pengumpulan serum karena meningkatnya keratin.
3) Sistem penglihatan : spinkter pupil timbul sklerosis  dan hlangnya
respon terhadap sinaps, kornea lebih berbentuk speris, lensa keruh,
meningkatnya ambang pengamatan sinar, hilangnya daya
akomodasi, menurunnya lapang pandang.
4) Sistem Kardivaskuler : katup jantung menebal dan menjadi kaku, ke
mampuan jantung memompa darah menurun 1 % setiap tahun setela
h berumur 20 tahun sehingga menyebabkan menurunnya kontraksi d
an volume, kehilangan elastisitas pembuluh darah, tekanan darah me
ninggi.
5) Sistem respirasi : otot-otot pernafasan menjadi kaku sehingga
menyebabkan menurunnya aktifitas silia. Paru kehilangan
elastisitasnya sehingga kapasitas residu meingkat, nafas berat.
Kedalaman pernafasan menurun.
6) Sistem gastrointestinal : kehilangan gigi,sehingga menyebkan gizi
buruk, indera pengecap menurun krena adanya iritasi selaput lendir
dan atropi indera pengecap sampai 80 %, kemudian hilangnya
sensitifitas saraf pengecap untuk rasa manis dan asin
7) Sistem genitourinaria : ginjal mengecil dan nefron menjadi atrofi
sehingga aliran darah ke ginjal menurun sampai 50 %, GFR
menurun sampai 50 %. Nilai ambang ginjal terhadap glukosa
menjadi meningkat. Vesika urinaria, otot-ototnya menjadi melemah,
kapasitasnya menurun sampai 200 cc sehingga vesika urinaria sulit

42
diturunkan pada pria lansia yang akan berakibat retensia urine.
Pembesaran prostat, 75 % doalami oleh pria diatas 55 tahun. Pada
vulva terjadi atropi sedang vagina terjadi selaput lendir kering,
elastisitas jaringan menurun, sekresi berkurang  dan menjadi alkali.
8) Sistem endokrin : pada sistem endokrin hampir semua produksi
hormon menurun, sedangkan fungsi paratiroid dan sekresinya tidak
berubah, aktifitas tiroid menurun sehingga menurunkan basal
metabolisme rate (BMR). Porduksi sel kelamin menurun seperti :
progesteron, estrogen dan testosteron.
9) Sistem integument : pada kulit menjadi keriput akibat
kehilangan  jaringan lemak, kulit kepala dan rambut menuipis
menjadi kelabu, sedangkan rambut dalam telinga dan hidung
menebal. Kuku menjadi keras dan rapuh.
10) Sistem muskuloskeletal : tulang kehilangan densitasnya dan makin
rapuh menjadi kiposis, tinggi badan menjadi berkurang yang disebut
discusine vertebralis menipis, tendon mengkerut dan atropi serabut
erabit otot , sehingga lansia menjadi lamban  bergerak. otot kam dan
tremor.
b. Perubahan Mental
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah :
1) Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa
2) Kehatan umum
3) Tingkat pendidikan
4) Keturunan
5) Lingkungan

Kenangan (memori) ada 2 :


1) Kenangan jangka panjang, berjam-jam sampai berhari-hari  yang
lalu
2) Kenangan jangka pendek : 0-10 menit, kenangan buruk
Intelegentia Question :

42
1) Tidak berubah dengan informasi  matematika dan perkataan verbal
2) Berkurangnya penampilan, persepsi dan ketrampilan psikomotor
terjadi perubahan pada daya membayangkan, karena tekanan-
tekanan dari faktor waktu.
c. Perubahan Psikososial
1) Pensiun : nilai seorang dukur oleh produktifitasnya, identits
dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan
2) Merasakan atau sadar akan kematian
3) Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan
bergerak lebih sempit.
2.1.6 Tumbuh Kembang Pada Lansia
Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun
ke atas (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999;8). Pada lanjut usia akan terjadi p
roses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau meng
ganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga
tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjad
i (Constantinides, 1994). Karena itu di dalam tubuh akan menumpuk makin b
anyak distorsi metabolik dan struktural disebut penyakit degeneratif yang me
nyebabkan lansia akan mengakhiri hidup dengan episode terminal (Darmojo
dan Martono, 1999;4).
a. Perubahan Fisik Lansia
1) Sel
Jumlah selnya akan lebih sedikit, dan ukurannya akan lebih besar.
2) Sistem syaraf
Berat otak menurun 10-20%, hubungan persyarafan cepat menurun, la
mbat dalam respon dan waktu untuk bereaksi, khususnya dengan stres,
mengecilnya saraf panca indera, dan kurang sensitif terhadap sentuhan.
3) Sistem pendengaran
Gangguan pada pendengaran, pendengaran menurun pada manula yan
g mengalami ketegangan jiwa/stres.
4) Sistem penglihatan

42
Hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih suram (keruh), daya ada
ptasi terhadap kegelapan lebih lambat, menurunnya lapang pandang, d
an menurunnya daya membedakan warna biru atau hijau.
5) Sistem Kardiovaskuler
Elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan menjadi
kaku, tekanan darah meninggi diakibatkan oleh meningkatnya resisten
si dari pembuluh darah perifer.
6) Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh
Temperatur tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologik ± 35ºC ini a
kibat
metabolisme yang menurun, keterbatasan reflek menggigil dan tidak d
apat memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi rendahnya akti
vitas otot
b. Perubahan Psikologis Lansia
1) Penurunan kondisi fisik hal ini semua dapat menimbulkan gangguan a
tau kelainan fungsi fisik, psikologik maupun sosial, yang selanjutnya
dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain.
2) Penurunan fungsi dan potensi seksual pasangan hidup telah meninggal
disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan
jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dsb.
3) Perubahanyang berkaitan dengan pekerjaan pensiun sering diartikan s
ebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, s
tatus dan harga diri.
4) Perubahan dalam peran sosial di masyarakat akibat berkurangnya fung
si indera, peran dimasyarakatpun akan berubah.

c. Perubahan Ekonomi Lansia


Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Penghasila
n akan berkurang, sehingga perlu menyesuaikan  perubahan ekonomi.
d. Tugas Perkembangan Lansia Menurut Havighust
1. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik

42
2. Menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi karena pensiun dan
berkurangnya penghasilan
3. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup
4. Menerima fakta bahwa dirinya termasuk golongan lanjut usia dan men
cari kelompok seusia
5. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara fleksibel

2.2 DEPRESI
2.2.1 Pengertian Depresi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berka
itan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk peru
bahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia,
kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri (Kaplan, 2010).
Menurut Philip L. Rice (1992 dalam Pieter, dkk 2011) depresi adalah ganggu
an perasaan, kondisi emosional yang berkepanjangan yang menyebabkan sese
orang mengalami gangguan berpikir, perilaku dan perasaan tidak berdaya sert
a merasa hilangnya harapan. Menurut WHO (2012), depresi adalah gangguan
mental umum yang muncul dengan perasaan depresi, kehilangan minat atau k
esenangan, penurunan energi, perasaan bersalah, harga diri rendah, tidur atau
nafsu makan terganggu dan konsentrasi yang buruk.

2.2.2 Penyebab Depresi Lansia


Kaplan (2010) menyatakan bahwa terdapat tiga faktor penyebab depresi, yait
u:
a. Faktor biologi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada a
min biogenik, seperti 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Hom
ovanilic acid), MPGH (5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam da

42
rah, urin, dan cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood. Neurotra
nsmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan epinep
rin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi (Kaplan, 2010). Sela
in itu aktivitas dopamin pada depresi adalah menurun. Hal tersebut tampa
k pada pengobatan yang menurunkan konsentrasi dopamin seperti respiri
n dan penyakit dengan konsentrasi dopamin menurun seperti Parkinson.
Kedua penyakit tersebut disertai gejala depresi. Obat yang meningkatkan
konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan bupropion, menu
runkan gejala depresi (Kaplan, 2010).
b. Faktor genetic
Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko
diantara anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita d
epresi berat (unipolar) diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan
populasi umum. Angka keselarasan sekitar 11% pada kembar dizigot da
n 40% pada kembar monozigot (Kaplan, 2010).
c. Faktor psikososial
Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi a
dalah kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, 2010). Faktor psikososial
yang mempengaruhi depresi meliputi peristiwa kehidupan dan stresor lin
gkungan, kepribadian, psikodinamika, kegagalan yang berulang, teori ko
gnitif, dan dukungan sosial (Kaplan, 2010). Peristiwa kehidupan yang me
nyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan moo
d dari episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa ke
hidupan memegang peranan utama dalam depresi. Klinisi lain menyataka
n bahwa peristiwa kehidupan hanya memiliki peranan terbatas dalam ons
et depresi. Stresor lingkungan yang paling berhubungan dengan onset sua
tu episode depresi adalah kehilangan pasangan (Kaplan, 2010). Stresor ps
ikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau
stresor kronis misalnya kekurangan finansial yang berlangsung lama, kes
ulitan hubungan interpersonal, ancaman keamanan dapat menimbulkan d
epresi (Hardywinoto, 1999). Dari faktor kepribadian, beberapa ciri keprib
adian tertentu yang terdapat pada individu, seperti kepribadian dependen,

42
anankastik, histrionik, diduga mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya
depresi, sedangkan kepribadian antisosial dan paranoid mempunyai resik
o yang rendah (Kaplan, 2010).

2.2.3 Tanda dan Gejala Depresi Lansia


Tanda dan gejala depresi pada lansia menurut Irawan (2013), yaitu :
a. Perubahan fisik
Perubahan fisik pada lansia yang mengalami depresi meliputi : per
ubahan nafsu makan sehingga berat badan turun (lebih dari 5% dari berat
badan bulan terakhir). Gangguan tidur berupa gangguan untuk memulai ti
dur, tetap tertidur, atau tidur terlalu lama. Jika tidur, merasa tidak segar d
an lebih buruk di pagi hari. Penurunan energi dengan perasaan lemah dan
kelelahan fisik. Beberapa orang mengalami agitasi dengan kegelisahan d
an bergerak terus. Nyeri, nyeri kepala, dan nyeri otot dengan penyebab fi
sik yang tidak diketahui. Gangguan perut, konstipasi.
b. Perubahan pemikiran
Perubahan pemikiran pada lansia yang mengalami depresi yaitu : p
ikiran kacau, melambat dalam berpikir, berkonsentrasi, atau sulit mengin
gat informasi. Sulit dan sering menghindari mengambil keputusan. Pemik
iran obsesif akan terjadi bencana atau malapetaka. Preokupasi atas kegag
alan atau kekurangan diri menyebabkan kehilangan percaya diri. Menjadi
tidak adil dalam mengambil keputusan. Hilang kontak dengan realitas, da
pat menjadi halusinasi (auditorik) atau delusi. Pikiran menetap tentang ke
matian, bunuh diri, atau mencoba melukai diri sendiri.
c. Perubahan perasaan
Perubahan perasaan yang dialami oleh lanjut usia yang depresi mel
iputi : kehilangan minat dalam kegiatan yang dulu merupakan sumber ke
senangan, penurunan minat dan kesenangan seks, perasaan tidak berguna,
putus asa, dan perasaan bersalah yang besar, kehilangan percaya diri, per
asaan sedih dan murung yang lebih buruk di pagi hari, menangis tiba- tib
a tanpa alasan yang jelas, iritabel, tidak sabar, marah dan perasaan agresif.
d. Perubahan perilaku

42
Perubahan perilaku yang terjadi pada lansia dengan depresi, yaitu :
menarik diri dari lingkungan sosial, kerja, atau kegiatan santai. Menghind
ari mengambil keputusan. Mengabaikan kewajiban seperti pekerjaan rum
ah, berkebun, atau membayar tagihan. Penurunan aktivitas fisik dan olahr
aga. Pengurangan perawatan diri seperti perawatan diri dan makan. Penin
gkatan penggunaan alkohol atau obat-obatan.

2.2.4 Tingkatan Depresi


Menurut Dalami (2009) depresi dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan den
gan gejala yang berbeda yaitu :
a. Depresi ringan
Ketika seseorang mengalami depresi ringan ciri-cirinya yaitu adan
ya perasaan sedih dalam proses pikir, mengalami komunikasi dan hubunga
n sosial yang kurang baik dan merasa tidak nyaman.
b. Depresi sedang
Ketika mengalami depresi sedang, individu mengalami gangguan yaitu :
1) Afek : murung, cemas, kesal, marah, menangis, rasa bermusuhan
dan harga diri rendah.
2) Proses pikir : perhatian sempit, berpikir lambat, ragu-ragu atau bi
mbang, konsentrasi menurun, berpikir rumit, berputus asa serta p
esimis.
3) Sensasi somatik dan aktivitas motorik : bergerak lamban, tugas-t
ugas terasa berat, tubuh lemah, sakit kepala, dada, mual, muntah,
konstipasi, nafsu makan dan berat badan turun, tidur terganggu.
4) Komunikasi : bicara lambat, berkurangnya komunikasi secara ve
rbal dan meningkatnya komunikasi non verbal.
5) Kehidupan sosial : menarik diri, tidak mau bekerja atau sekolah,
mudah tersinggung, bermusuhan, tidak memperhatikan kebersiha
n diri.
c. Depresi berat
Mempunyai dua episode yang berlawanan yaitu melankolis (rasa s
edih) dan mania (rasa gembira yang berlebihan dan disertai dengan geraka

42
n hiperaktif).
1) Gangguan afek : pandangan kosong, perasaan hampa, murung, p
utus asa, inisiatif kurang.
2) Gangguan proses pikir : halusinasi dan waham, konsentrasi kuran
g, merusak diri
3) Sensasi motorik dan aktivitas motorik : berdiam diri dalam wakt
u yang lama, hiperaktif secara tiba-tiba, bergerak tanpa tujuan, ku
rang perawatan diri, tidak mau makan dan minum, berat badan tu
run, bangun tidur pagi sekali dengan perasaan yang tidak enak, tu
gas terasa berat.
4) Komunikasi : menjadi introvert, komunikasi verbal tidak ada sa
ma sekali.
5) Kehidupan sosial : menarik diri (isolasi sosial), kesulitan menjala
nkan peran sosial.

2.2.5 Penatalaksanaan Depresi pada Lansia


Menurut Kaplan dan Saddock (2010) terapi yang dibutuhkan pada lansia d
epresi dapat berupa terapi psikososial, seperti terapi kognitif, terapi interperso
nal, terapi tingkah laku, psikoterapi, dan terapi keluarga; terapi obat (pemberi
an anti depresan) dan tindakan Electro Compulsif Therapy (ECT) dengan indi
kasi bila obat-obatan kurang efektif atau lansia tidak bisa menerima obat-obat
an.
Menurut Santoso (2014) terapi okupasi adalah bentuk layanan kesehatan k
epada masyarakat atau pasien yang mengalami gangguan fisik dan atau menta
l dengan menggunakan latihan/aktivitas mengerjakan sasaran yang terseleksi
(okupasi) untuk meningkatkan kemandirian individu pada area aktivitas kehid
upan sehari-hari, produktivitas dan pemanfaatan waktu luang dalam rangka m
eningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Menurut Muhaj (2009) terapi oku
pasi dalam pemanfaatan waktu luang pada lansia yang dapat dilakukan yaitu d
engan keterampilan dan permainan.

2.3 PSIKORELIGIUS

42
2.3.1 Pengertian
Filosofi yang mendasari terapi psikoreligius adalah perpaduan antara duni
a ilmiah (medis dan psikologis) dan pendekatan agama atau spiritual. Pendek
atan agama merupakan langkah khas yang secara lebih lugas dan eksplisit me
ngikutsertakan keterlibatan Tuhan,seraya berjanji tidak akan mengulangi perb
uatannya, serta meminta kekuatan ekstra berupa iman dan takwa agar kuat me
njalani kehidupan. (Amriel, 2007). Terapi psikoreligius adalah terapi psikis at
au terapi jiwa yang dengan menggunakan pendekatan rohani atau keagamaan
(Yosep, 2010).
Terapi psikospiritual yang merupakan terapi yang menggunakan upaya-up
aya untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Hal ini sama halnya dengan terapi
keagamaan, religius, psikoreligius, yang berarti terapi yang menggunakan fac
tor agama, kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjat
kan puji-pujian, ceramah keagamaan, kajian kitab suci, dan sebagainya. Hany
a saja terapi spiritual lebih umum sifatnya, tidak selalu dengan agama formal,
yang dimaksud adalah terapi spiritual dengan keyakinan dan kepercayaan ma
sing-masing pasien (Wicaksana, 2008). Jadi, terapi psikoreligius merupakan t
erapi penggabungan antara konsep psikologis dengan pendekatan agama yang
berbasis terapeutik yang dapat mengatasi atau menurunkan masalah psikis kh
ususnya masalah psikososial.

2.3.2 Jenis-Jenis Terapi Psikoreligius


1. Doa
Salah satu tindakan keagamaan yang paling penting adalah berdoa,
yakni memanjatkan permohonan kepada Tuhan untuk memperoleh sesuat
u yang dikehendaki. Dari masa ke masa pengaruh doa tersebut mendapat
perhatian yang penting. Bila doa itu dibiasakan dan dilakukan dengan su
ngguh-sungguh maka pengaruhnya menjadi sangat jelas, doa dapat mem
pengaruhi perubahan kejiwaan dan perubahan somatic. Ketentraman yan
g ditimbulkan oleh doa merupakan pertolongan yang besar terhadap peng
obatan (Yosep, 2010).
2. Mantra dan Sloka

42
Mantra dan sloka adalah lagu-lagu pujian yang dipersembahkan ke
pada Sang Hyang Widhi. Mantra adalah wahyu Tuhan berbahasa Sansek
erta. Salah satu contohnya yaitu Puja Tri Sandya, kramaning sembah. Ma
ntra diyakini sebagai wahyu Sang Hyang Widhi. Sifat mantra adalah sacr
al dan mempunyai kekuatan gaib yang mampu memberikan perlindungan
bagi mereka yang mengucapkan. Keyakinan diri sendiri menjadi factor y
ang paling utama agar mantra dapat bertuah. Selain keyakinan, kebenara
n cara mengucapkan dan irama pengucapan juga berpengaruh. Mantra ya
ng diucapkan dengan yakin, benar dan hikmat akan dapat mengabulkan a
pa yang diinginkan oleh mereka yang mengucapkan (Anuar Bin Mat Isa,
2010).
Sloka adalah ajaran suci yang ditulis dalam bentuk syair yang berb
ahasa Jawa Kuno atau Sansekerta. Teknik pengucapan sloka berbeda den
gan teknik mengucapkan mantra. Pada umumnya, sloka mempergunakan
Bahasa Jawa Kuno yang berisi pujipujian tentang kemuliaan dan kemaha
kuasaan Sang Hyang Widhi (Anuar Bin Mat Isa, 2010).
3. Nyanyian Pemujaan
Tuhan Nyanyian Pemujaan Tuhan dalam Agama Hindu salah satu
contohnya adalah Dharmagita. Dharmagita sering juga disebut sebagai la
gu-lagu rohani atau lagu ketuhanan Hindu. Dalam praktik keagamaan um
at Hindu tidak dapat dipisahkan dengan Dharmagita yang bisa mengguga
h rasa religiusitas, menggetarkan hati nurani untuk senantiasa tetap dalam
keadaan suci (Anuar Bin Mat Isa, 2010).
4. Shalat Terapi
Shalat adalah terapi psikoreligius dengan pendekatan keagamaan b
erupa doa dan gerakan shalat yang bertujuan untuk mendekatkan diri kep
ada Allah. Gerakan gerakan shalat merupakan gerakan-gerakan teratur ya
ng dilakukan sedikitnya lima kali dalam satu hari (Wulandari, 2014).
5. Dzikir
Dzikir berarti ingat kepada Allah, ingat ini tidak hanya sekedar me
nyebut nama Allah dalam lisan atau dalam pikiran dan hati, akan tetapi d
zikir yang dimaksud adalah ingat akan Zat, Sifat dan Perbuatan-Nya kem

42
udian memasrahkan hidup dan mati kepada-Nya. Sehingga tidak takut m
aupun gentar menghadapi segala macam mara bahaya dan cobaan (Sangk
an, 2002). Terapi dzikir yaitu terapi yang merupakan media zikir mengin
gat Allah yang bertujuan untuk menenangkan hati dan memfokuskan piki
ran. Dengan bacaan doa dan zikir, orang akan menyerahkan segala perma
salahan kepada Allah, sehingga beban stress yang dihimpitnya mengalam
i penurunan (Wulandari, 2014).
6. Yoga
Yoga telah dikenal sebagai filosofi kehidupan masyarakat India ku
n. Saat ini, yoga telah berkembang menjadi terapi kesehatan yang kompe
rensif dan menyeluruh. Teknik yoga klasik dikembangkan oleh Patanjali
melalui Kitab Yoga Sutra (Kinasih, 2010; Stiles, 2002). Istilah yoga bera
sal dari kata Yuj dan Yoking dalam Bahasa Sansekerta yang bermakna p
enyatuan secara harmonis dari yang terpisah (Kinasih,2010; Sindhu, 200
7; Stiles, 2002). Penyatuan tersebut adalah prosespenyatuan antara tubuh,
pikiran, dan spiritual dalam diri manusia (Kinasih, 2010; Sindhu, 2007).

7. Meditasi
Istilah meditasi (meditation) dalam kamus lengkap psikologi berart
i satu upaya yang terus menerus pada kegiatan berfikir, biasanya semaca
m kontemplasi (perenungan dan pertimbangan religious) dan meditasi ju
ga berarti refleksi mengenai hubungan antara orang yang tengah berseme
di (mediator) dengan Tuhan. Dalam agama, meditasi berarti menggunaka
n pikiran secara terus-menerus untuk merenungkan beberapa kebenaran,
misteri, atau objek penghormatan yang bersifat keagamaan sebagai latiha
n ibadah (Hijriyan, 2014).
Meditasi yang dilakukan dengan cara yang benar akan menghasilk
an kemajuan spiritual yang membuat hidup menjadi lebih baik, mengand
alikan konsentrasi, melenyapkan ketegangan, dan mengalihkan emosi. Pa
da dasarnya dengan meditasi akan menimbulkan sifat yang sabar, tenang
dan damai pada seseorang yang melakukan meditasi, hal tersebut juga be

42
rdampak pada keseimbangan batin, keharmonisan pada fisik, mental dan
spiritual, sehingga mampu untuk berpikir jernih dan cerdas (Santoso et a
l., n.d.).

2.3.3 Tujuan Terapi Psikoreligius Atau Psikospiritual


Adapun tujuan dari penerapan terapi psikoreligius atau psikospiritual yaitu
(Setyoadi & Kushariyadi, 2011) :
a. Mereduksi lamanya waktu perawatan klien dengan gangguan psikis
b. Memperkuat mentalitas dan konsep diri klien
c. Klien dengan gangguan psikis berasal dari persepsi yang salah terkait
dirinya, orang lain dan lingkungan, dengan terapi spiritual maka klien
akan dikembalikan persepsinya terkait degan dirinya, orang lain dan li
ngkungan
d. Mempunyai efek positif dalam menurunkan stress

2.3.4 Teknik Dalam Memberikan Terapi Psikoreligius (SPO)


Adapun teknik dalam melakukan terapi psikoreligius atau psikospiritual, mencaku
p persiapan, prosedur pelaksanaan dan kriteria hasil
A. SOP pemberian psikoreligius (berdzikir) terhadap penurunan
depresi pada lansia
a. Persiapan klien
1. Dilakukan tindakan :
1) Senyum
2) Salam
3) Sapa
4) Sopan dan tahun
2. Dilakukan perkenalan diri
1) Identifikasi klien
2) Jelaskan prosedur tindakan yang akan dilakukan

42
3) Jelaskan tujuan tindakan yang akan dilakukan
4) Buat inform consent
5) Persiapan lingkungan
6) Ciptakan lingkungan yang nyaman dan aman
3. Pelaksanakan tindakan
1) Buat klien senyaman mungkin
2) Ajarkan klien untuk membaca dzikir tahlil, tahmid, tasbih,
dan takbir selama 5 menit
3) Lakukan berulang-ulang sampai klien busa melafalkan
dzikir
4) Dilakukan 2x pada jam 7.30 pagi dan jam 16.00 sore
b. Tahap kerja
1) Membantu klien untuk baca lafal tahlil, tahmid, tasbih,
dan takbir
c. Tahap terminasi
1) Menanyakan pada klien apa yang dirasakan setelah
dilakukan tindakan
2) Menyimpulkan hasil prosedur
3) Melakukan kontrak untuk pemantauan selama 3 hari
d. Lembar observasi

42
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN ANALISIS PENELITIAN
3 .1 Kerangka Konseptual
Lansia

Gangguan fungsi kognitif


Depresi

Manajemen Depresi

Farmakologi : Nonfarmakologi :
1. Selective serotonin reuptake Psikoreligius:
inhibitors (SSRIs) 1. Doa
2. Antidepresan Trisiklik (TCAs) 2. Mantra dan Sloka
3. Serotonin-norepinephrin
reuptake inhibitors (SNRIs) 3. Nyanyian Pemujaan
4. Monoamine oxidase inhibitors 4. Shalat Terapi
(MAOIs) 5. Dzikir
5. Antidepresan atipikal 6. Yoga
7. Meditasi

Depresi berkurang Terapi psikoreligius (dzikir)


Keterangan :
: diteliti : berhubungan
: tidak diteliti : berpengaruh

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian Efektivitas Terapi Psikoreligius


(berdzikir) terhadap Intensitas depresi pada Lansia di UPT PSTW Magetan.

Berdasarkan kerangka konsep yang tertera di atas dapat di jelaskan bahw


a manajemen depresi secara psikoreligius ada tujuh diantaranya adalah
berdzikir. Terapi Psikoreligius (berdzikir) dapat menciptakan perasaan yang

42
tenang dan nyaman yang bisa membuat rileks, dengan keadaan yang rileks dap
at menurunkan kondisi mental dan juga meringankan kecemasan.

3.2 Hipotesis
H1 : Terapi Psikoreligius (berdzikir) efektif untuk menurunkan depresi pa
da lansia di UPT PSTW Magetan.
H0 : Terapi Psikoreligius (berdzikir) tidak efektif untuk menurunkan
depresi sendi pada lansia di UPT PSTW Magetan.

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Desain penelitian merupakan semua proses yang diperlukan dalam pe
rencanaan dan mengidentifikasi permasalahan sebelum perencanaan akhir pe

42
ngumpulan data, dan digunakan untuk mendefinisikan struktur dimana penel
itian dilaksanakan (Sugiyono, 2018). Pada penelitian ini peneliti menggunak
an penelitian pra eksperimental design, yaitu suatu eksperimen yang belum
memenuhi persyaratan seperti cara eksperimen yang dapat dikatakan ilmiah
mengikuti peraturan-peraturan tertentu (Arikunto, 2013). Desain penelitian i
ni menggunakan one group pra-post test yaitu suatu desain penelitian yang
mengungkapkan tentang hubungan sebab dan akibat dengan cara melibatkan
satu kelompok subjek, dimana kelompok tersebut diobservasi sebelum dan s
esudah diberikan perlakuan (Nursalam, 2016). Penelitian ini bertujuan untuk
mencari Efektivitas Terapi psikoreligius (berdzikir) untuk menurunkan depr
esi pada lansia di UPT PSTW Magetan.

Table 4.1 Skema Rancangan Penelitian


S P T P
K O I O1
(Sumber : (Nursalam, 2016)
Keterangan :
K = Lansia dengan depresi
O = Pretest pengukuran depresi sebelum diberikan terapi psikososial
O1 = Pretest pengukuran depresi sebelum diberikan terapi psikososial
I = Terapi psikososial (berdzikir)

4.2 Kerangka Operasional


Kerangka operasional merupakan langkah-langkah yang akan dilakuk
an dalam penelitian yang berbentuk kerangka atau alur penelitian (Hidayat,
2009).
Populasi
Seluruh lansia diUPT PSTW Magetan yang mengalami depresi ringan da
n sedang sejumlah 26 orang

Teknik Sampling
Purposive Sampling

42
Sampel
Sebagian lansia diUPT PSTW Magetan yang mengalami depresi ringan d
an sedang sejumlah 15 orang

Desain Penelitian
One group pre-post test

Instrument Penelitian
Numerical Rating Scale

Pengolahan Data
Coding, scoring, tabulating

Analisa Data
Menggunakan Uji wilcoxon

Penarikan Kesimpulan
1. Bila nilai p<α, H0 ditolak, berarti Terapi psikososial (berdzikir)
Efekif Untuk Menurunkan depresi Pada Lansia di UPT PSTW Maget
an
2. Bila nilai p>α, H0 diterima, berarti Terapi psikososial (berdzikir)
tidak efektif untuk menurunkan depresi pada lansia di UPT PSTW M
agetan

Gambar 4.2 Kerangka Operasional Efektivitas Terapi psikososial


(berdzikir) Terhadap depresi pada Lansia di UPT PSTW Magetan

4.3 Populasi, Sampel, Sampling


4
4. 3.1. Populasi
Populasi adalah subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristi
k tertentu yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan oleh peneliti

42
(Nursalam, 2016). Populasi pada penelitian ini adalah seluruh lansia di
UPT PSTW Magetan yang mengalami depresi ringan-sedang sejumlah
15 orang.
4. 3.2. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti atau se
bagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi, dimana dal
am sampel terdapat beberapa kriteria sampel antara lain kriteria inklusi
dan kriteria eksklusi. Kriteria inklusi digunakan untuk menyatakan bah
wa subjek penelitian yang ada dapat mewakili sampel penelitian karena
memenuhi syarat, sedangkan kriteria eksklusi menyatakan bahwa subje
k penelitian tidak dapat mewakili sampel penelitian karena tidak meme
nuhi syarat”(Hidayat, 2009).
Kriteria sampel dalam penelitian ini antara lain :
1. Bersedia menjadi responden
2. Kooperatif dan tidak mengalami imobilisasi
3. Tidak mengalami dimensia
4. Depresi ringan sampai sedang
4. 3.3. Sampling
Sampling merupakan suatu proses seleksi sampel yang digunakan dal
am penelitian dari populasi yang ada, sehingga jumlah sampel akan mewakil
i keseluruhan populasi yang ada, secara umum ada dua pengambilan sampel
yaitu probability sampling dan nonprobability sampling. Pengambilan sam
pling dalam penelitian ini menggunakan nonprobability sampling dengan te
knik purposive sampling yaitu suatu tehnik pengambilan sampel dengan car
a memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang diinginkan oleh pen
eliti (Nursalam, 2016).

4.4 Variabel Penelitian


Variabel adalah sebuah konsep yang dapat dibedakan menjadi dua
yaitu yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Menurut Sudigdo Sastroas
moro variabel adalah karakteristik subjek penelitian yang berubah dari s
atu subjek ke subjek yang lainya (Hidayat, 2009).

42
4
4. 4.1. Variabel Independen (Variabel Bebas)
Variabel independen adalah variabel yang menjadi sebab perub
ahan atau timbulnya variabel dependen (terikat), variabel ini juga dike
nal dengan nama variabel bebas yaitu variabel yang mempengaruhi va
riabel lain (Hidayat, 2009). Variabel independen penelitian ini adalah
terapi psikoreligius (berdzikr)

4. 4.2. Variabel Dependen (Variabel Terikat)


Variabel dependen adalah sebuah variabel yang dipengaruhi atau
menjadi akibat karena variabel bebas atau variabel independen (Hidayat,
2009). Variabel dependen penelitian ini adalah intensitas depresi.

4. 4.3. Definisi Operasional


Definisi operasional ditentukan berdasarkan parameter yang di
jadikan ukuran dalam penelitian (Hidayat, 2009).

Table 4.4 Definisi Operasional Efektivitas Terapi psikoreligius (berdzikir) t


erhadap Penurunan Intensitas depresi pada Lansia.
Variabel Definisi Parameter Alat Ukur Skala Pelaksaan Terapi
Independen Terapi psik - - -  Buat klien
Terapi oreligius ad senyaman
psikoreligi alah perpad mungkin
us uan antara d  Ajarkan klien
(berdzikir) unia ilmiah untuk
(medis dan membaca
psikologis) dzikir selama
dan pendek 5
atan agama menit(kalimat
atau spiritua tahlil, tahmid,
l. takbir, tasbih)

42
 Lakukan
berulang-
ulang sampai
klien bisa
mengucapkan
dzikir
 Dilakukan
2X pada jam
7.30 pagi dan
jam 4 sore
Variabel Definisi Parameter Alat Ukur Skala Skor
Dependen satu masa t Pengukura Numerical Interval Skala 0 -5 : tidak
Depresi ergangguny n depresi Rating depresi
a fungsi ma (Yasefaq) Scale Skala 6-10 :
nusia yang depresi ringan
berkaitan de Skala 11-15 :
ngan alam p depresi sedang
erasaan yan Skala 16-30 :
g sedih dan depresi berat
gejala peny
ertanya

4.5 Instrumen Penelitian


Instrument penelitian adalah alat alat yang akan digunakan untuk pen
gumpulan data (Notoadmojo, 2002). Penelitian ini menggunakan lembar obs
ervasi dan wawancara terstruktur.Pengukuran wawancara terstruktur melipu
ti strategi yang memungkinkan adanya suatu kontrol dari pembicaraan sesua
i dengan isi yang diinginkan peneliti. Daftar pertanyaan biasanya sudah disu
sun sebelum wawancara dan ditanyakan secara urut(Nursalam, 2016).

42
1. SOP pemberian psikoreligius (berdzikir) terhadap penurunan
depresi pada lansia
e. Persiapan klien
4. Dilakukan tindakan :
5) Senyum
6) Salam
7) Sapa
8) Sopan dan tahun
5. Dilakukan perkenalan diri
7) Identifikasi klien
8) Jelaskan prosedur tindakan yang akan dilakukan
9) Jelaskan tujuan tindakan yang akan dilakukan
10) Buat inform consent
11) Persiapan lingkungan
12) Ciptakan lingkungan yang nyaman dan aman
6. Pelaksanakan tindakan
5) Buat klien senyaman mungkin
6) Ajarkan klien untuk membaca dzikir tahlil, tahmid, tasbih,
dan takbir selama 5 menit
7) Lakukan berulang-ulang sampai klien busa melafalkan
dzikir
8) Dilakukan 2x pada jam 7.30 pagi dan jam 16.00 sore
f. Tahap kerja
2) Membantu klien untuk baca lafal tahlil, tahmid, tasbih,
dan takbir
g. Tahap terminasi
4) Menanyakan pada klien apa yang dirasakan setelah
dilakukan tindakan
5) Menyimpulkan hasil prosedur
6) Melakukan kontrak untuk pemantauan selama 3 hari
h. Lembar observasi

42
4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian
4. 6.1. Lokasi
Penelitian ini dilakukan di UPT PSTW Magetan.
4. 6.2. Waktu Penelitian
Pengambilan data awal : 21 Oktober 2020
Pengambilan data : 22-24 Oktober 2020
Penyusunan laporan : 25-26 Oktober 2020

4.7 Prosedur Pengumpulan Data


4. 7.1. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur yang diterapkan dalam pengumpulan data sebagai berikut :
1. Mengurus perizinan dan persetujuan penelitian kepada UPT PSTW
Magetan.
2. Melaksanakan protokol kesehatan kesehatan Covid-19 (memakai
masker, cuci tangan dengan sabun / mengunakan hand sanitizer da
n jaga jarak 1-2 meter
3. Peneliti mengkaji data tentang jumlah lansia yang mengalami
depresi di UPT PSTW Magetan dan di dapatkan sebanyak 21 lansi
a yang mengalami depresi
4. Peneliti melakukan test depresi (yasefaq) untuk melihat lansia men
galami depresi atau tidak.
5. Peneliti melakukan terapi sebanyak 3 hari berturut – turut dengan
terapi 2 kali sehari pagi jam 07.30 dan jam 16.00.
6. Terapi dilakukan oleh responden dengan didampingi oleh peneliti
7. Peneliti mengobservasi intensitas depresi selama 3 hari dengan wa
wancara terstruktur sesuai dengan kuesioner numerical rating scal
e. Observasi dilakukan pada hari terakhir perlakuan.
8. Peneliti melakukan dokumentasi
9. Peneliti melakukan pengolahan data

42
4.8 Pengolahan Data dan Analisis Data
4. 8.1. Pengolahan Data
Pengolahan data ada tiga :
1. Coding (Pemberian kode)
Setelah kuesioner ditanyakan oleh peneliti dengan wawancara ter
pimpin, selanjutnya kuesioner diedit dengan peng”kode”an atau codi
ng, yakni menyederhanakan jawaban dari kuesioner dengan memberi
kan simbol-simbol tertentu untuk setiap jawaban pada kuesioner (Az
war, 2017).
a. Data umum untuk pasien dengan depresi :
1) Jenis Kelamin
Laki-laki kode 1
Perempuan kode 2
2) Usia
Usia 57-63 tahun kode 1
Usia 64-70 tahun kode 2
Usia 71-77 tahun kode 3
Usia 78-84 tahun kode 4
3) Lama tinggal di panti
≤ 1 tahun kode 1
≥ 1 tahun kode 2
4) Aktivitas
Aktif kode 1
Tidak aktif kode 2
b. Data khusus
1) Intensitas depresi
Normal kode 1
Depresi kurang kode 2
Depresi ringan kode 3

42
2. Scoring (pemberian skor)
Setelah jawabandiberi kode kemudian dikelompokkan dan diju
mlahkan sehingga didapatkan skor total. Selanjutnya skor total yang
diperoleh dari masing-masing variabel dianalisa. Dalam penelitian in
i menggunakan kode - kode angka untuk mempermudah tabulasi dan
analisa data.
3. Tabulating (Tabulasi data)
Setelah scoring selesai dilakukan, langkah selanjutnya adalah t
abulating, yaitu mengelompokkan data ke dalam satu tabel tertentu
menurut sifat-sifat yang dimilikinya, sesuai dengan tujuan penelitian
(Azwar & Prihartono, 2014). Peneliti melakukan tabulasi intensitas p
ada observasi yang terakhir atau minggu ke satu.

4. 8.2. Analisa Data


Analisa data adalah mengelompokkan, membuat secara urut dan
menyingkat data sehingga mudah untuk dibaca (Nursalam, 2016). Data
yang telah terkumpul dianalisa secara diskriptif dengan menggunakan a
lat bantu komputer.

1. Analisa Univariat
Dalam penelitian ini, analisa univariat digunakan untuk menge
tahui proporsi dari masing-masing variabel penelitian yaitu variabel
bebas/independen dan variabel terikat/dependen.
2. Analisa Bivariat
Analisa bivariat dalam penelitian ini digunakan untuk mengeta
hui hubungan antara ketiga variabel. Dalam penelitian analisa bivaria
t digunakan untuk mengetahui hubungan/perbedaan antara variabel b
ebas yang terdiri dari terapi Terapi Psikoreligius (berdzikir) dan vari
abel terikat Intensitas depresi .
Penelitian ini menggunakan teknik analisa data dengan uji stati
stik Uji wilcoxon..Rancangan ini paling umum dikenal dengan ranca
ngan pre-post artinya membandingkan rata-rata nilai pre test dan rat

42
a-rata nilai post test dari suatu sampel.Level yang sering digunakan u
ntuk standar error adalah 0.05.Uji wilcoxon dapat dilakukan dengan
program SPSS 2016 yaitu dengan nilai α = 0.05. Dengan kesimpulan.
1. Ho ditolak jika terapi terapi Psikoreligius (berdzikir) efektif untuk
menurunkan intensitas depresi pada lansia.
2. Ho diterima jika terapi terapi Psikoreligius (berdzikir) tidak efekti
f untuk menurunkan intensitas depresi pada lansia.

4.9 Etika Penelitian


Dalam melakukan penelitian ini peneliti mendapat rekomendasi d
ari Prodi S1 Keperawatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Setela
h mendapatkan persetujuan, peneliti mengadakan penelitian dengan men
ekankan etika meliputi (Nursalam, 2016):
1. Lembar persetujuan (informed consent)
Diberikan kepada responden yang akan diteliti, peneliti menjelaskan
maksud dan tujuan penelitian dilakukan, kemudian responden tersebut
menandatangani lembar persetujuan yang di ajukan oleh peneliti.
2. Tanpa menggunakan nama responden (Anonimity)
Informasi yang telah dikumpulkan dari responden dijamin kerahasiaa
nnya.Peneliti tidak mencantumkan namanya dalam lembar pengumpu
lan data, cukup dengan memberikan nomor kode pada masing-masing
jawaban.
3. Rahasia (confidentitality)
Kerahasiaan informasi yang diperoleh dari subyek penelitian dijamin
oleh peneliti hanya kelompok satu tertentu yang akan disahkan atau di
laporkan pada hasil penelitian (Hidayat, 2009). Peneliti menjaga kera
hasiaan dengan melakukan coding

42
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Peneliti memaparkan hasil dan pembahasan berdasarkan pengumpulan data


kuesioner dengan wawancara langsung kepada responden tentang terapi psikoreligius (berdz
ikir) efektif untuk menurunkan depresi pada lansia di UPT Panti Sosial Tresna Werdha Mag
etan”. One group pra-post test dipakai penelitian untuk memaparkan hasil dan pembahasan
yang dijelaskan secara sesuai dengan tujuan penelitian.
Pengambilan data dilakukan pada tanggal 21 Oktober – 25 Oktober 2020 dengan
memilih calon responden sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan. Jumlah
responden yang diperoleh dalam penelitian ini sebanyak 15 responden. Penelitian ini
dilakukan pada lansia yang mengalami depresi Di UPT Panti Sosial Tresna Werdha Mageta
n dan bersedia menjadi responden. Data ini diperoleh dengan cara wawancara kepada
responden secara langsung oleh peneliti dan didampingi oleh perawat panti.

5. 1 Gambaran Lokasi
Penelitian dilakukan di UPT PSTW Magetan yang berlokasi di Jalan Raya Panekan, S
elosari Kabupaten Magetan. Di panti tersebut terdapat 7 wisma dimana 3 wisma dihun
i oleh lansia laki-laki dan 3 wisma lagi dihuni oleh perempuan. Selain ada 7 wisma ter
dapat satu wisma khusus untuk lansia yang bedrest dan memerlukan perawatan khusu
s. Jumlah lansia di panti tersebut sebanyak 85 orang. Kegiatan sehari-hari dipanti ber
macam-macam seperti senam, olahraga, pengajian, kesenian, bimbingan dan masih b
anyak lagi aktivitas lainya. Interaksi antar lansia di panti cenderung cukup baik karena
saling membantu satu sama lain, mereka berbaur sudah seperti keluarga sendiri. Intera
ksi antara petugas panti dengan lansia juga cukup baik.

5. 2 Keterbatasan Penelitian
Sebelum peneliti menyajikan hasil penelitian berikut akan kami sajikan keterbatasan d
alam penelitian antara lain : waktu terapi dan interaksi dengan lansia yang kurang mak
simal karena mematuhi protokol covid-19 sehingga membuat hasil penelitian ini kuran
g maksimal.
5. 3 Hasil Penelitian
Hasil penelitian menjelaskan tentang data umum dan data khusus. Pada data umum me
liputi : usia, jenis kelamin, lama tinggal, aktivitas di panti. Pada data khusus berisi tent

42
ang intensitas depresi serta efektivitas terapi psikoreligius (berdzikir) untuk mengurang
i intensitas depresi pada lansia di UPT PSTW Magetan.

Data Umum
Data umum ini meliputi karakteristik responden di UPT PSTW Magetan.
1. Karakteristik berdasarkan jenis kelamin responden
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin di UPT PSTW
Magetan.
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
Laki-laki 6 40
Perempuan 7 60
Jumlah 15 100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan Tabel 5.1 di atas dapat diinterpretasikan bahwa sebagaian besar r
esponden berjenis kelamin perempuan sebanyak 7 orang (6%).
1. Karakteristik berdasarkan usia responden
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia di UPT PSTW Magetan.
Usia Frekuensi Persentase (%)
57-63 tahun 2 13.3
64-70 tahun 4 26.7
71-77 tahun 6 40
78-84 tahun 3 20
Jumlah 15 100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan Tabel 5.2 di atas dapat diinterpretasikan bahwa sebagian besar 6
responden (40%) berusia antara 71-77 tahun, 2 responden (13.3%) berusia antara 5
7-63 tahun.
2. Karakteristik berdasarkan lama tinggal di panti
Tabel 5.4 Distribusi frekuensi responden berdasarkan lamanya tinggal di
UPT PSTW Magetan.
Lama Tinggal di Pant Frekuensi Persentase (%)
i
≤1 tahun 6 40
≥1 tahun 9 60
Jumlah 15 100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan Tabel 5.4 di atas dapat diinterpretasikan bahwa sebagian besar 9
responden (60%) tinggal di panti ≥ 1 tahun dan sebagian kecil 6 responden (40%) t
inggal dipanti ≤1 tahun.
3. Karakteristik berdasarkan jenis aktivitas
42
Tabel 5.5 Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis aktivitas spiritual di
UPT PSTW Magetan.

Jenis Aktivitas Frekuensi Persentase (%)


Aktif 6 40
Tidak aktif 9 60
Jumlah 15 100

Sumber : Data Primer


Berdasarkan Tabel 5.5 di atas dapat diinterpretasikan bahwa sebagian besar 9 r
esponden (60%) melakukan aktivitas spiritual, 40 responden (12,5%) melakukan a
ktivitas spiritual.

Data Khusus
Hasil pengolahan data khusus yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi : Efektivitas Terapi Psikoreligius (berdzikir) Terhadap Intensitas depresi
Pada Lansia Di UPT Panti Sosial Tresna Werdha Magetan.
1. Intensitas depresi sebelum diberi terapi psikoreligius (berdzikir)
Tabel 5.7 Distribusi frekuensi intensitas depresi sebelum diberi terapi
psikoreligius (berdzikir) di UPT PSTW Magetan.
Intensitas Depresi Frekuensi Persentase (%)
Ringan 11 73.3
Sedang 4 26.7
Jumlah 15 100
Sumber : Data Primer
Berdasarkan Tabel 5.7 di atas dapat diinterpretasikan bahwa sebagian be
sar 11 responden (73.3%) mengalami depresi ringan dan sebagian kecil 4 respon
den (26.7%) mengalami depresi sedang.
2. Data intensitas depresi setelah diberi terapi psikoreligius (berdzikir)
Tabel 5.8 Distribusi Distribusi frekuensi intensitas depresi sesudah diberi
terapi psikoreligius (berdzikir) di UPT PSTW Magetan
Intensi Depresi Frekuensi Persentase (%)
Normal 12 80
Ringan 3 20
Sedang 0 0
Jumlah 15 100%
42
Sumber : Data Primer
Berdasarkan Tabel 5.8 di atas dapat diinterpretasikan bahwa 12 responden (80%)
tidak mengalami depresi.
Tabel 5.9 Tabulasi silang efektivitas terapi psikoreligius (berdzikir) terhada
p intensitas depresi di UPT PSTW Magetan.
Intensitas D Intensitas Depresi Se Intensitas Depresi Setelah
epresi belum Terapi Terapi
Jumlah % Jumlah %
Normal 0 0 12 80
Ringan 11 73.3 3 20
Sedang 4 26.7 0 0
Jumlah 15 100 8 100
Uji Wilcoxon α = 0,05 PValue=0,000

Tabel 5.10 Perubahan intensitas depresi setelah di berikan terapi psikoreligius (be
rdzikir) di UPT PSTW Magetan.
No Sebelum Diberi T Setelah Diberi Tera Keterangan
erapi pi
1 9 5 Berkurang
2 14 3 Berkurang
3 7 4 Berkurang
4 9 5 Berkurang
5 7 3 Berkurang
6 11 5 Berkurang
7 8 4 Berkurang
8 7 3 Berkurang
9 13 6 Berkurang
10 11 5 Berkurang
11 8 6 Berkurang
12 10 5 Berkurang
13 14 8 Berkurang
14 7 2 Berkurang
15 8 4 Berkurang
Sumber : Data Primer
Pada tabel 5.7 diatas didapatkan sebagian besar 11 (73,3%) responden inte
nsitas depresi ringan, 4 (26,7%) responden intensitas depresi sedang sebelum di
beri terapi psikoreligius (berdzikir) .Setelah di beri terapi psikoreligius (berdziki
r) sebagian besar 12 (80%) intensitas normal dan 3 (20%) intensitas ringan.
Pada tabel 5.10 didapatkan responden 15 (100%) intensitas depresi berkura
ng setelah di berikan terapi psikoreligius (berdzikir).
Penelitian ini menggunakan tingkat keyakinan sebesar 95% dengan taraf ny
ata 5%. Hasil analisis data dengan menggunakan uji wilcoxon pada kelompok eks
42
perimen sebelum dan sesudah di berikan perlakuan terlihat bahwa signifikansi se
besar P=0,00 < α=0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya hipotesis yang
menyatakan bahwa terapi psikoreligius (berdzikir) efektif menurunkan intensitas
depresi pada lansia di UPT PSTW Magetan.

5. 4 Pembahasan
1. Mengidentifikasi intensitas depresi sebelum diberi terapi psikoreligius (berdzikir)
terhadap intensitas depresi di UPT PSTW Magetan
Berdasarkan tabel 5.7 di atas menunjukkan bahwa dari 15 responden sebelum di
berikan terapi psikoreligius (berdzikir) terhadap intensitas depresi didapatkan sebagian
besar 11 responden (73,3%) mengalami depresi dengan intensitas ringan dan 4 respond
en (26,7%) dengan intensitas sedang. Ada beberapa faktor yang menurut peneliti mem
pengaruhi tingkat depresi pada lansia.
Faktor yang pertama adalah jenis kelamin klien. Berdasarkan penelitian Wahyu
Dwi Jayanti, dkk (2008) jenis kelamin dapat mempengaruhi tingkat depresi pada lansia.
Perempuan beresiko dua kali lebih besar mengalami depresi, karena ada beberapa fakt
or seperti hormonal, efek kehamilan, dan perbedaan stressor psikososial. Menurut data
yang diperoleh sebagaian besar responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 7 ora
ng (6%). Hal inilah yang menyebabkan tingkat depresi pada responden pada kategori s
edang.
Faktor yang kedua adalah usia, usia juga dapat mempengaruhi tingkat depresi la
nsia. Data yang diperoleh bahwa sebagian besar 6 responden (40%) berusia 71-77 tahu
n. Menurut penelitian Padila (2013) mengatakan bahwa usia lanjut yang diatas 60 tahu
n beresiko akan mengalami depresi. Menurut peneliti usia yang lanjut akan mempenga
ruhi alam perasaan klien akan harapan hidup kedepannya yaitu kematian. Klien yang b
elum siap akan kematian tidak akan menerima akan kematian, dan akan mengalami de
presi.
Faktor yang ketiga adalah lama tinggal di panti. Lama tinggal klien di panti juga
memepengaruhi tingkat depresi klien. Menurut penelitian Anita (2015) didapatkan hasi
l bahwa lama tinggal klien di panti dapat mempengaruhi tingkat depresi lansia dengan
hasil 96%. Menurut data primer sebagian besar 9 responden (60%) tinggal di panti ≥ 1
tahun. Mneurut peneliti semakin lama tinggal di panti klien akan merasa depresi akan
masa depan. Hal inilah yang menurut peneliti mempengaruhi tingkat depresi lansia.
Faktor yang keempat adalah aktifitas. Menurut Cristina (2017) mengatakan bah
wa aktivitas yang kurang juga mempengaruhi tingkat depresi lansia di panti werdha. L

42
ansia yang tinggal dipanti mengungkapkan aktivitas atau kegiatan mereka sehari-hari h
anya berupa kegiatan rutin seperti makan, tidur dan mandi serta sangat jarang melakuk
an aktivitas lain. Menurut data primer didapatkan hasil sebagian besar 9 responden (60
%) tidak aktif mengikuti kegiatan dipanti dan sejumlah 6 responden (40%) aktif mengi
kuti kegiatan dipanti. Menurut pengamatan peneliti, sebagian besar responden tidak me
miliki aktivitas fisik yang dilakukan.

2. Mengidentifikasi intensitas depresi setelah diberi terapi psikoreligius (berdzikir) t


erhadap intensitas depresi di UPT PSTW Magetan
Berdasarkan tabel 5.8 di atas menunjukkan bahwa setelah terapi psikoreligius
(berdzikir) sebagian besar normal 12 (80%) dan responden mengalami depresi ringan 3
(20%) responden. Terapi psikospiritual yang merupakan terapi yang menggunakan upa
ya-upaya untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Hal ini sama halnya dengan terapi ke
agamaan, religius, psikoreligius, yang berarti terapi yang menggunakan factor agama,
kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-pujian, cera
mah keagamaan, kajian kitab suci, dan sebagainya. Hanya saja terapi spiritual lebih um
um sifatnya, tidak selalu dengan agama formal, yang dimaksud adalah terapi spiritual d
engan keyakinan dan kepercayaan masing-masing pasien (Wicaksana, 2008).
Dzikir berarti ingat kepada Allah, ingat ini tidak hanya sekedar menyebut nama All
ah dalam lisan atau dalam pikiran dan hati, akan tetapi dzikir yang dimaksud adalah in
gat akan Zat, Sifat dan Perbuatan-Nya kemudian memasrahkan hidup dan mati kepada-
Nya. Sehingga tidak takut maupun gentar menghadapi segala macam mara bahaya dan
cobaan (Sangkan, 2002). Terapi dzikir yaitu terapi yang merupakan media zikir mengi
ngat Allah yang bertujuan untuk menenangkan hati dan memfokuskan pikiran. Dengan
bacaan doa dan zikir, orang akan menyerahkan segala permasalahan kepada Allah, sehi
ngga beban stress yang dihimpitnya mengalami penurunan (Wulandari, 2014).

3. Menganalisis efektivitas terapi psikoreligius (berdzikir) untuk mengurangi depres


i pada lansia di UPT Panti Sosial Tresna Werdha Magetan
Pada tabel 5.7 diatas didapatkan sebagian besar 11 (73,3%) responden intensita
s depresi ringan dan 4 (26,7%) responden intensitas sedang sebelum di beri terapi psik
oreligius (berdzikir) dan setelah di beri terapi psikoreligius (berdzikir) sebagian besar
12 (80%) intensitas normal dan 3 (20%) responden dengan intensitas ringan. \
Pada tabel 5.10 peneliti mendapatkan hasil bahwa setelah dilakukan terapi psiko
religius (berdzikir) selama 2 kali sehari selama 3 hari didapatkan hasil terjadi penuruna

42
n intensitas depresi sebelum dan sesudah terapi dengan presentasi 100. Terapi spiritual
Islami terbukti efektif memberikan pengaruh terhadap penanggulangan depresi maupu
n gangguan psikologis lainnya. Beberapa hasil penelitian telah memberikan pembuktia
n mengenai hal tersebut.
Peneliti mengemukakan bahwa terdapat tingkat kemampuan manajemen qalbu t
erhadap penurunan tingkat depresi pada lansia . Dzikir berarti ingat kepada Allah, inga
t ini tidak hanya sekedar menyebut nama Allah dalam lisan atau dalam pikiran dan hati,
akan tetapi dzikir yang dimaksud adalah ingat akan Zat, Sifat dan Perbuatan-Nya kem
udian memasrahkan hidup dan mati kepada-Nya. Sehingga tidak takut maupun gentar
menghadapi segala macam mara bahaya dan cobaan (Sangkan, 2002). Terapi dzikir yai
tu terapi yang merupakan media zikir mengingat Allah yang bertujuan untuk menenan
gkan hati dan memfokuskan pikiran. Dengan bacaan doa dan zikir, orang akan menyer
ahkan segala permasalahan kepada Allah, sehingga beban stress yang dihimpitnya men
galami penurunan (Wulandari, 2014).

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini disajikan kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti

tentang efektivitas terapi psikoreligius untuk mengurangi tingkat pada lansia di UPT Panti

Sosial Tresna Werdha Magetan.

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian efektivitas terapi terapi psikoreligius untuk

mengurangi

tingkat pada lansia di UPT Panti Sosial Tresna Werdha Magetan dapat disimpulkan :

1. Tingkat sebelum di berikan terapi psikoreligiues (berdzzikir) didapatkan bahwa 11


responden (73.3%) mengalami depresi ringan dan sebagian kecil 4 responden (26.
7%) mengalami depresi sedang.
2. Tingkat sebelum di berikan terapi psikoreligiues (berdzzikir) didapatkan bahwa 12
responden (80%) tidak mengalami depresidan 3 (20%) responden mengalami depre
si ringan.
42
3. Hasil analisa data menggunakan uji wilcoxon pada kelompok eksperimen sebelum
dan sesudah di berikan terapi psikoreligius (berdzikir). Pada tabel uji wilcoxon
didapatkan hasil p value = 0.000 yang artinya p value = 0.000< α = 0.05, maka Ho
ditolak dan Ha diterima, artinya terapi psikoreligius (berdzikir)

6.2 Saran

1. Terapi dilakukan didalam ruangan atau diluar ruangan sesuai dengan permintaan

responden.

2. Terapi diberikan langsung oleh peneliti bukan responden supaya mendapatkan perl

akuan yang sama.

3. Perlu penelitian dengan alat ukur depresi yang lebih baku dan spesifik supaya

penelitian lebih maksimal.

4.

42
42

Anda mungkin juga menyukai