Anda di halaman 1dari 19

KEPERAWATAN PERIOPERATIF

KONSEP DASAR DAN SOP VITAL SIGN/ TANDA-TANDA VITAL DAN


TINGKAT KESADARAN

FEMY LIA UTAMI


PO.71.20.4.16.009

Dosen Pembimbing :
Ns. Adi Sumitro Putra, S.Kep., M.kes.

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN RI


PROGRAM STUDI DIPLOMA IV KEPERAWATAN
JURUSAN KEPERAWATAN PALEMBANG
TAHUN 2020
KONSEP DASAR

VITAL SIGN/ TANDA-TANDA VITAL

A. Pengertian
Tanda-tanda vital adalah ukuran dari fungsi vital tubuh yang paling dasar.
Ada Ada empat tanda-tanda vital utama yaitu tekanan darah, suhu
tubuh, denyut nadi, dan laju pernapasan.
Vital sign atau tanda-tanda vital adalah ukuran statistik berbagai fisiologis
yang digunakan untuk membantu menentukan status kesehatan seseorang,
terutama pada pasien yang secara medis tidak stabil atau memiliki faktor-
faktor resiko komplikasi kardiopulmonal dan untuk menilai respon terhadap
intervensi
Tanda – tanda vital merupakan cara yang cepat dan efisien dalam
memantau kondisi klien atau mengidentifikasi masalah dan mengevaluasi
respons terhadap intervensi yang diberikan.
Waktu yang tepat untuk mengukur ttv :
1. Saat Klien Masuk Rumah Sakit atau fasilitas kesehatan lain.
2. Frekuensi rutin
3. Sebelum dan setelah prosedur operasi, prosedur diagnostic invasive
4. Sebelum dan sesudah pemberian obat-obatan
5. Saat kondisi fisik umum klien berubah)
6. Saat melakukan gerakan ROM ( range of motion ) atau ambulasi untuk
pasien yang tirah baring.
B. Tekanan darah
1. Pengertian
Tekanan darah memiliki 2 komponen yaitu sistolik dan diastolik.
Pada waktu ventrikel berkonstraksi, darah akan dipompakan ke seluruh
tubuh. Keadaaan ini disebut sistolik, dan tekanan aliran darah pada saat
itu disebut tekanan darah sistolik. Pada saat ventrikel sedang rileks, darah
dari atrium masuk ke ventrikel, tekanan aliran darah pada waktu ventrikel
sedang rileks disebut tekanan darah diastolic.
Nilai tekanan darah merupakan indicator untuk menilai sistem
kardiovaskule bersamaan dengan pemeriksaan nadi. Pemeriksaan tekanan
darah dapat diukur dengan dua metode yaitu metode langsung dan tak
langsung.
a. Metode Langsung
Metode yang digunakan kanula atau jarum yang dimasukkan ke
dalam pembuluh darah yang dihubungkan dengan manometer.
Metode ini merupakan cara yang paling cepat untuk menentukan
tekanan darah, tetapi memerlukan persyaratan dan keahlian khusus.
b. Metode Tidak Langsung
Metode yang menggunakan Syphgmomanometer. Pengukuran
tak langsung ini menggunakan dua cara, yaitu palpasi yang
mengukur tekanan sistolik dan auskultasi yang dapat mengukur
tekanan sistolik dan diastolik dan cara ini memerlukan stetoskop.
2. Kategori Tekan Darah
World Health Organization atau WHO, mengklasifikasikan tekanan
darah dalam 6 klasifikasi, yaitu Tekanan darah optimal, tekanan darah
normal, pra hipertensi, hipertensi ringan, sedang dan berat. Selengkapnya
mengenai klasifikasi tersebut bisa dilihat pada tabel dibawah ini :
Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik
Kategori
(mmHg) (mmHg)

Tekanan Darah
120 80
Optimal

Tekanan Darah
120 – 130 80 – 85
Normal

Pra Hipertensi  130 – 140 85 – 90

Hipertensi Ringan 140 – 160 90 – 100

Hipertensi Sedang 160 – 180 100 – 110

Hipertensi Berat > 180 > 110


Jadi, menurut WHO, tekanan darah yang normal berkisar antara
120/80 mmHg – 130/85 mmHg. Adapun tekanan darah yang optimal
menurut WHO adalah 120/80 mmHg.
3. Indikasi
Menilai pola hidup serta identifikasi faktor-faktor resiko kardiovaskuler
lainnya. Jika hasil pengukuran darah berada diatas normal, maka klien
mempunyai hipertensi. Hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan
berbagai organ seperti otak, jantung, ginjal, aorta, pembuluh darah
perifer, dan retina.
4. Kontraindikasi
a. Hindari penempatan manset pada lengan yang terpasang infus,
terpasang shun arterivena, lengan yang mengalami fistula, trauma dan
tertutup gip atau balutan.
b. Pergelangan kaki bagian atas.
c. Hipotensi akan terjadi bila kondisi tekanan darah klien berada
dibawah normal. Hipotensi dapat menyebabkan stroke bahkan
kematian.
d. Tidak boleh melakukan pengukuran tekanan darah lebih dari 3 kli
sehari.
5. Faktor yang menyebabkan tekanan darah tinggi
a. Curah jantung
b. Tahanan pembuluh darah tepi
c. Volume darah total
d. Viskositas darah
e. Kelenturan dinding arteri
C. Suhu Tubuh
Temperatur (suhu) merupakan besaran pokok yang mengukur derajat panas
suatu benda/makhluk hidup. Suhu tubuh dihasilkan dari:
1. Laju metabolisme basal diseluruh tubuh
2. Aktifitas otot
3. Metabolisme tambahan karena pengaruh hormon Tindakan dalam
pemeriksaan suhu tubuh alat yang digunakan adalah termometer.

Jenis2 termometer yang biasa dipakai untuk mengukur suhu tubuh adalah
termometer air raksa dan digital. Metode mengukur suhu tubuh:
1. Oral
Termometer diletakkan dibawah lidah tiga sampai lima menit. Tidak
dianjurkan pada bayi. pemeriksaan ini tidak boleh dilakukan pada
anak/bayi.
2. Axilla. Metode yang paling sering di lakukan
Dilakukan 5-10 menit dengan menggunakan termometer raksa. Suhu
aksila lebih rendah 0.6° C (1°F) dari pada oral.
3. Rectal
Suhu rektal biasanya berkisar 0.4°C (0.7°F) lebih tinggi dari suhu oral.
Pemeriksaan ini tidak boleh dilakukan pada pasien yang mengalami diare.

 Hipotermi (<35° C)
 Normal (35-37° C)
 Pireksis/ febris (37-41,1° C)
 Hipertemia (>41,1° C)
Skala Ukur Suhu
Level Nadi
0 Tidak ada
1+ Nadi menghilang, hampir tidak teraba, mudah menghilang
2+ Mudah teraba, nadi normal
3+ Nadi penuh, meningkat
4+ Nadi mendentum keras, tidak dapat hilang

D. Denyut Nadi
Frekunsi denyut nadi manusia bervariasi, tergantung dari banyak faktor yang
mempengaruhinya, pada saat aktivitas normal:
1. Normal: 60-100 x/mnt
2. Bradikardi: < 60x/mnt
3. Takhikardi: > 100x/mnt
Pengukuran denyut nadi dapat dilakukan pada:
1. Arteri Radialis.
Terletak sepanjang tulang radialis, lebih mudah teraba di atas pergelangan
tangan pada sisi ibu jari. Relatif mudah dan sering dipakai secara rutin.
2. Arteri Brachialis.
Terlertak di dalam otot biceps dari lengan atau medial di lipatan siku.
Digunakan untuk mengukur tekanan udara.
3. Arteri Karotis.
Terletak di leher di bawah lobus telinga, di mana terdapat arteri karotid
berjalan di antara trakea dan otot sternokleidomastoideus.
4. Arteri Temporalispada bagian pelipis.
5. Arteri Femoralis pada lipatan paha (selangkangan).
6. Arteri Dorsalis pada bagian kaki.
7. Artei Frontalis pada ubun-ubun bayi.
Skala Ukuran Kekuatan/ Kualitas Nadi
Level Nadi
0 Tidak ada
1+ Nadi menghilang, hampir tidak teraba, mudah menghilang
2+ Mudah teraba, nadi normal
3+ Nadi penuh, meningkat
4+ Nadi mendentum keras, tidak dapat hilang

E. Pernapasan
Pernafasan atau respirasi adalah peristiwa menghirup udara dari luar
yang mengandung O2 (oksigen) ke dalam tubuh, serta menghembuskan udara
yang banyak mengandung CO2 (karbon dioksida) sebagai sisa dari oksidasi
keluar tubuh. Penghisapan ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut
ekspirasi. Secara normal orang dewasa bernafas kira – kira 16 – 20 x/menit,
sementara bayi dan anak kecil lebih cepat daripada orang dewasa.
Interpretasi

1. Takhipnea :Bila pada dewasa pernapasan lebih dari 24 x/menit .


2. Bradipnea : Bila kurang dari 10 x/menit.
3. Apnea : Bila tidak bernapas .

Usia Nadi (kali/menit) RR (kali/menit) TD sistolik


(mmHg)
Dewasa (>18 tahun) 60-100 12-20 100-140
Remaja (12-18 tahun) 60-100 12-16 90-110
Anak-anak (5-12 tahun) 70-120 18-30 80-110
Pra sekolah (4-5 tahun) 80-140 22-34 80-100
Bawah 3 tahun/Toddler (1-3 tahun) 90-150 24-40 80-100
Bayi (1 bulan – 1 tahun) 100-160 30-60 70-95
Baru lahir/infant (0-1 bulan) 120-160 40-60 50-70
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG

PRODI D4 KEPERAWATAN

SOP PEMASANGAN MONITOR JANTUNG

PENGERTIAN Pasien monitor/ beside monitor adalah suatu alat yang


digunakan untuk memonitor fisiologis pasien. Alat ini
biasanya digunakan untuk memonitor secara continue 4
parameter, yaitu: ECG, tekanan darah, saturasi oksigen dan
respiratori rate
TUJUAN 1.Sebagai acauan dalam pemasangan bedside monitor
2.Menilai tanda-tanda vital pasie

PERSIAPAN 1 Monitor dan aksesoris monitor


ALAT 2 Handscone
3 Kassa alkohol
4. bengkok

NO Aktivitas Dilakukan Skor


Ya Tidak
1. Berikan penjelasan mengenai prosedur yang
akan dilakukan
2 Perhatikan privasi pasien
3 Posisikan pasien senyaman mungkin
4 Perawat mencuci tangan
5 Pasang handscone
6 Lepas penutup debu
7 Siapkan aksesoris sesuai dengan kebutuhan
dan sesuaikan kabel pada sambungan yang
sudah tersedia
8 Hubungkan alat ke terminal listrik
9 Beritahu pasien bahwa tindakan akan
dilakukan
10 Hidupkan alat dengan menekan tombol on/off
11 Set dengan rentang nilai untuk temperatur TD,
nadi, respirasi, SPO2
12 Bersikan dada pasien yang akan dipasang
elektroda dengan menggunakan kassa yang
sudah disediakan
13 Pasang elektroda di dinding dada
 RA : ICS 4 kanan
 LA: ICS 6 kanan bawah
 RL : ICS 4 kiri
 LL : ICS 6 kiri bawah
14 Hubungkan kabel dengan elektroda yang ada
di dinding pasien sesuai line yang ada
15 Pasang alat ukur tekanan darah
16 Pasang oksimeter
17 Lakukan monitoring
18 Pantau display terhadap nadi, respirasi, TD,
suhu, SPO2
19 Rapikan pasien
20 Breskan alat
21 Perawat cuci tangan

DAFTAR PUSTAKA
Yoani. 2016. Pengkajian Tanda-Tanda Vital. file.///C:/Users/acer/Downloads/
Pengkajian %20Tanda%20Tanda%20Vital.pdf . Diakses tanggal 13 April
2020

Muqsith. 2018. Vital Sign. http ://repository.unimal.ac.id /4025/1/VITAL%


20SIGN.pdf. Diakses tanggal 13 April 2020
Lesmana. 2016. Pengaruh donor darah terhadap perubahan tanda-tanda vital.
Jurnal Keperawatan Sriwijaya, Volume 3- Nomor 1, ISSN No 2355-5459

KONSEP DASAR
MELAKUKAN EVALUASI TINGKAT KESADARAN

A. Definisi Tingkat Kesadaran


Kesadaran merupakan fungsi utama susunan saraf pusat. Penilaian derajat
kesadaran dapat dinilai secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Penilaiangangguan kesadaran secarakualitatifantara lain mulai dari apati,
somnolen, delirium, bahkan koma. (Wuysang, Bahar, 2015)
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang
terhadap rangsangan dari lingkungan (Kesrawan, 2010).

B. Tujuan Melakukan Evaluasi Tingkat Kesadaran


Memperkirakan prognosis pada seseorang pasien. Penentuan prognosis pasien
di unit perawatan intensive merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan. Jika
terjadi kesalahan dalam menentukan prognosis maka dapat mengakibatkan
kesalahan dalam pemberian terapi, khususnya yang berkaitan dengan
pengobatan penyakit. Dengan mengetahui prediksi dari suatu prognosis maka
penanganan pada pasien akan menjadi lebih optimal dan dapat memotivasi
tenaga kesehatan untuk memberikan penanganan yang lebih baik. Selain itu
ketika seseorang mengalami penurunan kesadaran dan tidak dilakukan
pemantauan serta penanganan segera maka hal ini akan berdampak buruk
pada pasien, pasien dapat tiba-tiba jatuh pada keadaan koma, dan keadaan
koma yang tidak mengalami perbiakan dapat berlanjut pada keadaan mati
batang otak. Oleh karena itu, diperlukan observasi dan alat ukur observasi
yang teapt untuk dipakai di ruang ICU (Schnakers et. al, 2009 dalam Rudini,
2018).

C. Penyebab Menurunnya Kesadaran


Penurunan tingkat kesadaran mengindikasikan disfungsi otak. Tingkat
kesadaran dapat menurun ketika otak mengalammi kekurnagan oksigen
(hipoksia), kekurangan aliran darah (seperti syok), penyakit metabolic
(seperti DM, Ketoasidosis), peningkatan TIK (Tekanan Intra Kranial), stroke,
infeksi (encephalitis), dan epilepsy (Kesrawan, 2010).

D. Kualitas Kesadaran
1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya,
dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan
sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu) memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berkhayal.
4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih
bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya)
(Ruhyanudin, 2011 dalam Ansar, 2014).

E. Alat Ukur Tingkat Kesadaran


Saat ini banyak alat ukur yang paling umum digunakan untuk menilai tingkat
kesadaran yang ditemukan maupun direvisi kembali oleh penemunya. Dari
alat ukur tersebut, berdasarkan studi meta-analysis terdapat tigas alat ukut
yang paling baik dianatra alat-alat ukur lainnya yang digunakan untuk menilai
tingkat kesadaran yaitu GCS (Glasgow Coma Scale), The Full Outilne
Unresponsivess (FOUR) Score, Coma Recovery Scale-Revised (CRS-R).
Ketiga alat ukur ini telah tervalidasi dan telah digunakan di bebrapa rumah
sakit oleh tenaga kesehatan (Fischer, 2010 dalam Rudini, 2018).
1. GCS (Glasgow Coma Scale)
a. Pengertian GCS (Glasgow Coma Scale)
Salah satu alat ukut yang paling umum digunakan untuk menilai
tingkat kesadaran pada pasien di ruang ICU adalah Glasgow Coma
Scale (GCS). GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang
digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien
dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien
terhadap rangsangan yang diberikan. Respon pasien yang perlu
diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara dan
motorik (Nursingbegin.com, 2009 dalam Ansar, 2014).
b. Kelebihan dan kekurangan GCS
GCS dapat melakukan pengukuran dalam wkatu yangrelatif singkat
dan mudah digunakan. Akan tetapi GCS memiliki beberapa
keterbatasan salah satunya adalah GCS kurang efektif dalam
mengukur respon verbal pada pasien dnegan keadaan koma dan
terpasang alat bantu napas seperti pasien terintubasi ataupun pada
pasien yang terpasang ventilator yang biasa terpasang pada pasien di
ruang rawat ICU (Edwards, 2001 dalam Rudini, 2018).
c. Poin GCS Sumber : (Healthyenthusiast.com, 2014 dalam Ansar,
2014).
1) Membuka mata, nilai total 4
- Buka mata tidak ada meskipun dirangsang : nilai 1
- Buka mata jika ada nyeri : nilai 2
- Buka mata jika diajak bicara/ disuruh : nilai 3
- Buka mata spontan : nilai 4
2) Respon motorik Nilai total : 6
- Respon motor tidak ada : nilai 1
- Respon motor ektensi : nilai
- Respon motor fleksi abnormal : nilai 3
- Respon motor menghindari nyeri : nilai 4
- Respon motor tunjuk/lokalisir nyeri : nilai 5
- Respon motor menurut perintah : nilai 6
3) Respon verbal Nilai total : 5
- Respon verbal tidak ada : nilai 1
- Respon verbal tanpa arti : nilai 2
- Respon verbal tak benar : nilai 3
- Respon verbal bicara ngacau : nilai 4
- Respon verbal orientasi baik : nilai 5
Nilai terendah adalah 3 (respon paling sedikit), nilai tertinggi
adalah 15 (paling berespon). Semakin rendah nilai GCS, semakin
banyak defisit dan semakin tinggi tingkat mortalitasnya. Nilai
GCS terbukti konsisten pada regio-regio berbeda dengan
mekanisme dan pengobatan yang berbeda. Penilaian ini juga
dapat dilakukan di lapangan sebelum dibawa ke rumah sakit
(Greenberg, 2008 dalam Ansar, 2014).
d. Cara Penulisan
Cara penulisannya berurutan E-V-M sesuai nilai yang didapatkan.
Penderita yang sadar = compos mentis GCSnya 15 (4-5-6), sedang
penderita koma dalam, GCSnya 3 (1-1-1). Bila salah satu reaksi tidak
bisa dinilai, misal kedua mata bengkak sedang V dan M normal,
penulisannya X-5-6. Bila ada trakheostomi sedang E dan M normal,
penulisannya 4-X-6. Atau bila tetra parese sedang E dan V normal,
penulisannya 4-5-X.
Jika ditotal skor GCS dapat diklasifikasikan :
1) Skor 14-15 : compos mentis
2) Skor 12-13 : apatis
3) Skor 11-12 : somnolent
4) Skor 8-10 : stupor 36
5) Skor < 5 : koma (Lenterabiru.com, 2010 dalam Ansar, 2014).
2. The Full Outline of Unresponsiveness (FOUR score)
The Full Outline of Unresponsiveness (FOUR score) merupakan alat
ukur lain yang dapat menilai tingkat kesadaran pasien di ICU. FOUR
score memiliki empat komponen penilaian yaitu: penilaian refleks batang
otak, penilaian mata, respon motorik, serta ada penilaian pola napas yang
abnormal dan usaha napas, dengan skala penilaian pada tiap komponen
1-4. FOUR Score memiliki beberapa keunggulan yaitu terdapat penilaian
refleks batang otak dengan penilaian refleks pupil dan kornea, ketika
refleks tersebut tidak dapat digunakan maka dapat menggunakan refleks
batuk. Selain itu FOUR score juga memiliki komponen penilaian pola
napas abnormal dan usaha napas (respirasi), pada komponen ini untuk
pasien yang tidak terpasang intubasi dapat dinilai pola napas spontan dari
pasien, untuk pasien yang terpasang ventilator mekanik dapat dinilai
gelombang tekanan dari pola pernapasan spontan yang ada pada monitor
ventilator. FOUR score menunjukan validitas dan realibilitas yang baik
dalam menilai tingkat kesadaran. Akan tetapi berdasarkan penelitian
yang berjudul a French validation study of the CRS-R menunjukan
bahwa FOUR Score memiliki keterbatasan dalam menilai tingkat
kesadaran. Keterbatasan tersebut meliputi kegagalan dalam
mengidentifikasi secara akurat pada pasien dengan minimally
consciousness state (MCS) atau adanya perubahan minimal pada status
kesadaran pasienkarena komponen-komponen FOUR score belum
sepenuhnya memenuhi kriteria untuk mendeteksi pasien dengan MCS
dan juga FOUR score tidak memiliki penilai fungsi visual sehingga tidak
mampu untuk menilai fiksasi visual (pusat fokus mata) (Fischer et al.,
2010 dalam Rudini, 2018).
3. Coma Rrecovery Scale- Revised (CRS-R)
Coma Rrecovery Scale- Revised (CRS-R) merupakan alat ukur yang juga
dapat digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien di ICU. CRS-R
terdiri dari enam komponen yaitu: skala fungsi pendengaran yang
memiliki skala penilaian 0-4, skala fungsi visual yang memiliki skala
penilaian 0-5, skala fungsi motorik yang memiliki skala penilaian 0-6,
skala fungsi oromotor/verbal yang memiliki skala penilaian 0-3, skala
komunikasi yang memiliki skala penilaian 0-3, dan skala arousal yang
memiliki skala penilaian 0-35. Total skor dihasilkan dari menjumlahkan
setiap komponen penilaian dari CRS-R. CRS-R memiliki beberapa
keunggulan dalam menilai kesadaran pasien. CRS-R dapat menilai
tingkat kesadaran pasien pada tahap akut maupun kronis serta dapat
digunakan oleh semua tenaga profesional (dengan dan tanpa keahlian
tinggi) untuk menentukan diagnosa yang akurat. Selain itu, CRS-R juga
dapat mengindetifikasi lebih tinggi pasien dengan MCS (minimally
consciousness state) dibandingkan dengan skala lain, karena CRS-R
didasarkan pada ketepatan kiteria diagnostik yang dikembangkan oleh
aspen workgroup serta menggunakan metode administrasi yang efektif
untuk menilai kriteria tersebut. Oleh karena itu CRS-R dapat digunakan
untuk membedakan pasien tersebut dalam keadaan vegetatif atau pasien
tersebut memiliki kesadaran yang minimal (MCS). CRS-R . Dapat
diyakini dapat secara akurat meningkatkan diagnosis diferensial antara
individu dengan gangguan kesadaran, sehingga hal ini berkontribusi pada
pengurangan misdiagnosis (hingga 37%). Uji validitas terhadap CRS-R
menunjukkan adanya korelasi yang bermakna dan uji reliabilitas
menunjukkan hasil yang baik unuk digunakan oleh semua petugas
profesional. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fabio la porta dkk
CRS-R memiliki keterbatasan yaitu CRS-R belum sepenuhnya efektif
dalam menilai locked-in syndrome (LOC) karena penilaian LOC
membutuhkan pengkajian yang berulang, dan juga belum semua rumah
sakit menggunakan CRS-R sebagai alat untuk mengukur tingkat
kesadaran karena kurangnya sosialisasi tentang alat ukur tersebut,
langkah-langkah penggunaan CRS-R ataupun karena hal lainnya
(Giacino, Kalmar, & Whyte, 2004 dalam Rudini, 2018).

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
PRODI D4 KEPERAWATAN

SOP MENGHITUNG TINGKAT KESADARAN DENGAN


GCS (GLASGOW COMA SCALE)
Dilakukan
No Aktivitas Skor
Ya Tidak
1. Pasien dibaringkan di atas tempat tidur.
2. Nilai status pasien, adakah kelainan gawat yang
harus ditangani terlebih dahulu/tidak.
EYE/MATA
1. Saat mendatangi pasien, pasien spontan
membuka mata dan memandang : skor 4.
2. Pasien membuka mata saat namanya dipanggil
atau diperintahkan untuk membuka mata: skor
3
3. Pasien membuka mata saat dirangsang nyeri
(cubitan) : skor 2
4. Pasien tidak membuka mata dengan pemberian
rangsang apapun: skor 1.
VERBAL
5. Pasien berbicara secara normal dan dapat
menjawab pertanyaan dengan benar (pasien
menyadari bahwa ia ada di rumah sakit,
menyebutkan namanya, alamatnya, dll) : skor 5
6. Pasien dapat berbicara normal tapi tampak
bingung, pasien tidak tahu secara pasti apa
yang telah terjadi pada dirinya, dan
memberikan jawaban yang salah saat ditanya:
skor 4
7. Pasien mengucapkan kata “jangan/stop” saat
diberi rangsang nyeri, tapi tidak bisa
menyelesaikan seluruh kalimat, dan tidak bisa
menjawab seluruh pertanyaan (hanya hanya
kata-kata tidak ada arti) dari : skor 3.
8. Pasien tidak bisa menjawab pertanyaan sama
sekali, dan hanya mengeluarkan suara yang
tidak membentuk kata (bergumam) : skor 2.
9. Pasien tidak mengeluarkan suara walau diberi
rangsang nyeri (cubitan) : skor 1.
MOTORIK
11. Pasien dapat mengikuti perintah misalkan
“Tunjukkan pada saya 2 jari!” : skor 6.
12. Pasien tidak dapat menuruti perintah, tapi saat
diberi rangsang nyeri (penekanan ujung
jari/penekanan strenum dengan jari-jari tangan
terkepal) pasien dapat melokalisir nyeri : skor
5.
13. pasien berusaha menolak rangsang nyeri
(menghindari nyeri) : skor 4.
saat diberi rangsang nyeri, kedua tangan pasien
menggenggam dan di kedua sisi tubuh di
bagian atas sternum (posisi dekortikasi) atau
fleksi : skor 3.
14. Saat diberi rangsang nyeri, pasien meletakkan
kedua tangannya secara lurus dan kaku di
kedua sisi tubuh (posisi deserebrasi) atau
ekstensi : skor 2
15. pasien tidak bergerak walaupun diberi rangsang
nyeri : skor 1
DAFTAR PUSTAKA

Rudini, Dini. 2018. Efektifitas Antara Alat Ukur Coma Recovery Scale-Revised
(CRS-R), Full Outline Unresponsiveness (FOUR) Score, dan
Glasgow Coma Scale (GCS) dalam Menilai Tingkat Kesadaran
Pasien di Unit Perawatan Intensif Rsud Raden Mattaher Jambi.
Jurnal Ilmiah Ilmu Terapan Universitas Jambi. Vol I(1), tahun
2018, (68-74).
Ansar, Ardhy Anzah. 2014. Gambaran Tingkat Pengetahuan Perawat terhadap
Penilaian Glasgow Coma Scale (GCS) pada Pasien Trauma
Capitis di Ruang Instalasi Rawat Darurat RSUD Labuang Baji
Makassar. Fakultas Ilmu Kesehatan UIN ALaudiin Makassar.
Kesrawan, Ramz. 2010. Pemeriksaan Kesadaran/Mengukur GCS. Glasgow Coma
Scale (GCS).
https://www.academia.edu/31708040/PEMERIKSAAN_KESAD
ARAN_MENGUKUR_GCS
Wuysang, Bahar. 2015. Pemeriksaan Derajat Kesadaran (Glasgow Coma Scale)
Dan Fungsi Kortikal Luhur (Mini-Mental State Examination
(Mmse)).https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content / uploads /
2015 /08/Manual-CSL-IV-Pemeriksaan-Derajat-Kesadaran-Fungsi-
Kortikal-Luhur.pdf

Anda mungkin juga menyukai