Anda di halaman 1dari 5

PENGAWETAN DAGING DENGAN SUHU RENDAH

Disusun Oleh :

Andrew Prima Bungaran Sibarani

23020118130040

MATA KULIAH TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAGING


PROGRAM STUDI S-1 TEKNOLOGI PANGAN
DEPARTEMEN PERTANIAN
FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2020
PENDAHULUAN

Daging merupakan komoditas pangan yang paling digemari oleh masyarakat Indonesia.
Daging memiliki banyak jenis seperti daging sapi, ayam, kerbau, kambing, dan berbagai hewan
mamalia lainnya, tetapi yang paling banyak dikonsumsi dan digemari oleh masyarakat adalah
daging sapi dan daging ayam. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan
bahwa konsumsi daging sapi per kapita per tahunya pada tahun 2018 sebesar 2,5 kg pada tahun
2019 sebesar 2,56 kg dan pada tahun 2020 sebesar 2,68 kg. Mengacu pada data tersebut dapat
terlihat bahwa minat masyarakat dalam mengonsumsi daging sapi semakin meningkat dari tahun
ke tahun.

Daging juga merupakan komoditas pangan yang memiliki banyak variasi dalam
pengolahannya. Daging dapat diolah menjadi steak, daging asap, rendang, dendeng dan yang
paling banyak diminati oleh masyarakat adalah produk olahan daging berupa frozen food seperti
bakso, sosis, dan nugget (Hartanto dan Prabawa, 2020). Daging merupakan komoditas pangan
yang rentan mengalami pembusukan jika tidak ditangani dengan tepat karena memiliki kadar air
yang tinggi sehingga menjadi tempat yang baik untuk pertumbuhan mikroba penyebab
kebusukan (Putra et.al, 2020). Oleh karena itu daging perlu diberikan penanganan berupa
pengawetan yang tepat untuk tetap menjaga kualitas mutu daging agar tetap terjaga sampai ke
tangan konsumen. Pengolahan daging ada banyak macam antara lain dengan suhu tinggi, suhu
rendah, pengasapan, dan dengan radiasi (Sumitro dan Hanafi, 2019). Makalah singkat ini akan
membahas secara rinci pengawetan daging dengan suhu rendah yang dimana pada prinsipnya
pengawetan daging dengan suhu rendah terdiri dari dua jenis pengawetan yaitu pendinginan dan
pembekuan, dengan demikian daging dapat tetap terjaga kualitas mutunya smapai ditangan
konsumen.
ISI

Pengawetan dengan suhu rendah pada dasarnya memiliki prinsip :


 Mengurangi kecepatan reaksi pembusukan oleh enzim lisosom dan mikrobia.
 Penurunan 8oC temperatur reaksi dapat menurunkan kecepatan reaksi hingga
setengahnya.
 Menghambat pertumbuhan mikrobia meskipun tidak sampai membunuhnya.
 Berpengaruh pada penurunan jumlah populasi yang tajam.
 Mematikan dengan kurang drastis.
 Pembekuan dan pencairan yang berulang-ulang dari suatu kultur bakteri di dalam
pertumbuhan vegetatif mempuyai pengaruh mematikan yang drastis.

1. Pendinginan

Pendinginan merupakan salah satu jenis pengawetan dengan suhu rendah dengan suhu
diatas suhu pembekuan yaitu 5-8°C dengansuhu tersebut maka pertumbuhan mikroba akan
terhambat dan juga aktivitas enzim-enzim beserta reaksi kimia daging akan terhambat.

Kelemahan metode pendinginan adalah dapat terjadi kekakuan otot atau cold shortening serta
jika suhu pendinginan tidak stabil maka akan menurunkan mutu kandungan gizi dari daging
tersebutCold shortening terjadi akibat daging yang belum mengalami rigor mortis (atau nilai pH
daging > 5,9) telah mencapai suhu < +12 oC. Daging yang mengalami cold shortening memiliki
kualitas yang rendah, karena keempukan daging tersebut sangat menurun (liat atau alot). Untuk
mencegah terjadinya cold shortening pada metode pendinginan cepat tersebut diperlukan
perhatian agar rigor mortis (ditandai dengan nilai pH otot sekitar 5,9) terjadi pada suhu internal
daging > +15 oC. Suhu internal daging yang optimal untuk rigor mortis agar kualitas daging
tetap baik adalah +20 oC sampai +25 oC
2. Pembekuan

Pembekuan merupaka jenispengawetan daging dengan penyimpanan dalam keadaan beku -12
sampai 24oC selama 30 – 72 jam. Pembekuan juga dapat dilakukan secara cepat atau blast
freezing -24 sampai 40oC dengan waktu kurang dari30 menit. Pembekuan ini mematikan seluruh
aktivitas enzim dan juga pertumbuhan mikroba dalam daging. Pembekuan daging harus
dilakukan setelah proses rigor mortis berlangsung. Jika daging belum mengalami rigor mortis
dan sudah dibekukan, maka rigor mortis akan terjadi pada saat daging tersebut dicairkan
(thawed). Proses tersebut dikenal dengan thaw rigor. Daging yang mengalami thaw rigor akan
kehilangan cairan daging (jus daging) yang relatif banyak dan relatif keras (liat atau alot). Agar
daging/karkas dapat relatif segera dibekukan setelah proses pemotongan, maka perlu diterapkan
stimulasi listrik (electrical stimulation) pada proses pemotongan.

Kelemahan metode pembekuan ini adalah karena menggunakan suhu yang sangat rendah maka
dapat mematikan seluruh kompunen didalamnya oleh karena itu perlu peralatan yang cukup
kompleks dan pengaturan waktu yang sesuai dengan ketentuan karena jika terlalu lama maka
daging benar-benar tidak memiliki gizi sama sekali

KESIMPULAN

Berdasarkan makalah yang telah disusun dapat disimpulkan bahwa daging merupakan
komoditas panganyang paling diminati masyarakat dan juga daging merupakan komoditas
pangan yang mudah mengalami pembusukan. Oleh karena itu, diperlukan proses penanganan
berupak pengawetan. Pengawetan sendiri memiliki banyak metode yang beragam salah satunya
dengan metode suhu rendah yaitu pembekuan dan pendinginan. Kedua metode tersebut sama-
sama memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dan menyesuaikan dengan kebutuhan
kita dalam mengonsumsi daging
DAFTAR PUSTAKA

Emhar, A., Aji, J dan Agustina, T. 2014. Analisis rantai pasokan daging sapi di Kabupaten
Jember. J. Ilmiah Pertanian. 1(3) : 53-61.

Hartanto, R. & S. Prabawa. 2020. Getuk keju frozen di Mojolaban Sukoharjo Jawa Tengah.
PRIMA. 3(2) : 38-42

Merthayasa, J., Suada, I dan Agustina, K. 2015. Daya Ikat Air, pH, Warna, Bau dan Tekstur
Daging Sapi Bali dan Daging Wagyu. J. Medicus Veterinus. 4(1) : 16-24

Putra, S., Hafid, H dan Fitrianingsih. 2020. Kualitas Kimia Daging Sapi Asap Dengan Lama
Pengasapan Berbeda. J. Ilmiah Peternakan. 2(1) : 62-65

Sumitro, E dan Hanafi, I. 2019. Evaluasi proses pengolahan daging ranjungan pada PT KML
Lobuk Kecamatan Buto Kabupaten Sumenep. Journal of Food Technology and
Agroindustry. 1(2) : 9-14

Anda mungkin juga menyukai