DISUSUN OLEH
KELOMPOK 2 :
S1 ILMU GIZI / 3A
2019
TANGGAL PRAKTIKUM
ALAT : Pisau, talenan, panci, timbangan, piring, Styrofoam, kertas saring dan plastic
wrapping.
PROSEDUR KERJA
2. Berat
- Berat sebelum diblancing : 21 gram
- Berat setelah diblancing : 15 gram
3. Warna
- Warna daging sebelum diblancing : Merah segar
- Warna daging setelah diblancing : kecoklatan juga (lebih coklat muda)
4. Tekstur
Sebelum : Lebih kenyal
Sesudah : Lebih keras
5. Aroma
Sebelum : Amis
Sesudah : Amis
PEMBAHASAN
Daging sapi merupakan hewan ternak yang produk utamanya adalah daging atau susu.
Daging sapi juga merupakan salah satu bahan pangan hewani yang dibutuhkan bagi tubuh
manusia karena kaya akan protein dan asam amino lengkap yang diperlukan oleh tubuh. Selain
protein, daging sapi juga kaya akan air, lemak, dan komponen organic lainnya. Kandungan gizi
yang baik di dalam daging ini sangat mempengaruhi perkembangan mikroorganisme.
Daging merah sebagian dianggap sebagai daging yang masih segar. Warna merah segar
ini merupakan hasil dari protein dalam daging, yang disebut myoglobin. Protein ini berubah
menjadi oxymyoglobin karena sudah kontak dengan oksigen. Sedangkan daging berubah warna
karena disimpan dalam lemari es atau freezer masih aman untuk dikonsomsi. Tetapi, hanya
dalam jangka waktu lima hari untuk daging potong.
Mekanisme penyusutan atau perubahan volume pada daging sapi didiamkan beberapa
menit, terjadi perubahan kandungan serat air, dan pada saat perebusan daging tersebut terjadi
perubahan warna dan tekstruk. Dan setelah dilakukan penelitian pada hari ke 2 dan ke 4 yang
terjadi adalah warna pada daging tersebut makin mengalami perubahan warna yang menjadikan
daging tersebut lebih pudar akibat adanya aktivitas didalam freezer.
Daging sapi sebagai bahan makanan yang mempunyai nilai gizi tinggi, yang merupakan
media yang subur bagi pertumbuhan bakteri dan jamur. Kedua mikroorganisme tersebut sangat
potensial merusak. Daging mengandung sekitar 75% air, atau berkisar antara 65% – 85%. Air
merupakan medium transportasi diantara serat daging sehingga kadar air berperan penting pada
kehidupan mikroorganisme (Soeparno, 1994).
Pertumbahan bakteri dan jamur selalu diikuti dengan kegiatan enzimatis, sehingga akan
merubah komposisi kimia media. Perubahan komposisi tersebut terekspresi dalam bentuk
pembusukan, sehingga tidak layak lagi untuk dikonsumsi (Tranggono et al.1990). kerusakan
dapat dipercepat oleh kenaikan suhu, kelembaban dan ketersediaan oksigen (Soeparno, 1994).
Dalam hal ini factor yang paling mudah dikendalikan adalah suhu. Untuk memelihara daging
dalam waktu yang agak panjang, dilingkungan rumah tangga biasanya menggunakan
pengawetan dengan system pendinginan karena paling praktis dan aman. Suhu dingin dapat
menghambat kerusakan daging karena dalam waktu tertentu aktivitas bakteri dan jamur masih
ditujukan untuk beradaptasi (Bernholdt, 1975). Bila adaptasi telah tercapai, maka aktivitas akan
terjadi dan segera akan disertai dengan peningkatan jumlah bakteri dan jamur, sehingga lama
penyimpanan perlu dibatasi.
Fardiaz (1992) mengatakan bahwa daging sapi mudah rusak dan merupakan media yang
cocok bagi pertumbuhan mikroba, karena tingginya kandungan air dan zat gizi seperti protein.
Hal ini sesuai dengan pendapat Hedrick (1994) yang menyatakan bahwa daging dan olahannya
dapat dengan mudah menjadi rusak atau busuk, oleh karena itu penanganan yang baik harus
dilakukan selama proses berlangsung. Beberapa mikroba pathogen yang biasa mencemari daging
adalah Escherichia Coli, Salmonella sp, dan Staphylococcus sp. Kontaminasi mikroba pada
daging sapi dapat berasal dari peternakan dan rumah poton hewan yang tidak higienis, begitu
juga sumber air dan lingkungan tempat diolahnya daging tersebut sebelum sampai kepada
konsumen (Mukartini el al., 1995).
Pertumbuhan mikroba pada daging sangat dipengaruhi oleh kadar air daging tersebut.
Kandungan air dalam bahan makanan memengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap
serangan mikroba. Kandungan air tersebut dinyatakan dengan water activity, yaitu jumlah air
bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya (Purnomo, 2004).
Kerusakan yang terjadi didalam daging dapat dicegah dengan menggunakan beberapa
cara pengawetan antara lain : pendinginan, pengasapan, pengeringan, pengasinan, irradiasi dan
penambahan bahan – bahan lain. Cara – cara tersebut prinsipnya adalah untuk menekan aktivitas
mikorbia dan mengurangi proses enzimatis yang dapat mempercepat kerusakan daging (Buckle
et al., 1978). Produk daging beku merupakan suatu alternatif pilihan pengawetan daging supaya
tahan lama, karena selain proses kerusakan daging dapat terhambat juga proses pembekuan tidak
merubah daging ke bentuk olahan yang lain, sehingga ketersediaan daging segar dapat terjamin.
Pembekuan daging adalah salah satu cara dari pengawetan daging yaitu dengan membekukan
daging dibawah titik beku cairan yang terdapat di dalam daging, titik beku dagin pada
temperature -2o s/d -3oC (Desrosier, 1969).
Referensi terkait :
http://jurnal.uns.ac.id/Sains-peternakan/article/download/1060/1002
https://www.academia.edu/10255128/Jenis_jenis_kerusakan_bahan_pangan_dan_tanda-
tanda_kerusakan
http://journal.unisla.ac.id/pdf/18512014/edy%20susanto.pdf
http://jitek.ub.ac.id/index.php/jitek/article/download/131/126