Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN

KULIAH LAPANGAN PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA

Oleh

Kelompok 1

Abdullah Analalaki Suci Fauziah S Sarina

Achmad Agin Rasyidi Vanny Inessary Sartika Dewi

Eka Resky Yunitasari Era Fazirah Lukman Berlianti

Sudirman Peni Novianti Jihan Rifanda Putri

Elmumtaziyah Arnaj Putri Handayani Saris

Windy Fortuna T Qisti Aulia

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2018
IDENTITAS DAN URAIAN UMUM

1. Judul : Laporan Kuliah Lapangan Psikologi Lintas Budaya


2. Tahap : Pengambilan Data
3. Lokasi : Desa Saponda Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe
Sulawesi Tenggara
4. Tim Pelaksana
 Citra Marhan, S.KM., M.A
 Mahasiswa Psikologi UHO 45 orang
5. Masa Pelaksanaan
Mulai : 04 Oktober 2019
Berakhir : 06 Oktober 2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Psikologi Lintas Budaya merupakan cabang ilmu psikologi yang mengkaji

tentang perbedaan dan persamaan budaya-budaya pada masyarakat dalam fungsi

individu. Berdasarkan kajian empiris pada jurnal-jurnal terdahulu, berbagai

keunikan ditemukan di berbagai jenis kelompok masyarakat, salah satunya

masyarakat pesisir.

Pulau Sulawesi memiliki banyak daerah pesisir dengan beragam dinamika

kehidupan sosial budaya di dalamnya, tidak terkecuali Sulawesi Tenggara. Hal

ini menjadi sangat menarik untuk dikaji lebih dalam untuk mengetahui perbedaan

dan persamaan kebudayaan dan kearifan lokal, maka dari itu Tim Penulis

melakukan Kuliah Lapangan di Desa Saponda untuk memperoleh, mengeksplor,

dan menganalisis perilaku di desa setempat.


BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI

Pulau Saponda merupakan salah satu pulau yang terletak di kecamatan


Soropia kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara. Pulau ini berjarak 27,5
kilometer dari Kota Kendari dengan jarak tempuh sekitar 1,5 jam perjalanan. Pulau
ini sendiri terdiri dari dua desa yaitu Saponda laut dan Saponda darat, terdiri dari 3
dusun, dan jumlah keseluruhan kepala keluarga hampir mencapai 900 KK.

Pulau ini pertama kali didiami oleh beberapa masyarakat suku bajo, namun
seiring berkembangnya zaman masyarakat suku bajo mulai melakukan pernikahan
dengan masyarakat suku lain. Mayoritas penduduk pulau Saponda saat ini adalah
pendatang, beberapa ada yang bersuku tolaki, bugis, dan bau-bau sehingga ketika
berkunjung kepulau ini kita akan mendapatkan banyak keanekaragaman.
BAB III

METODE DAN PELAKSANAAN PENGAMBILAN DATA

A. Cara Pengumpulan Data


- Wawancara (Wawancara Tidar terstruktur)
- Observasi (Pengamatan langsung terhadap kondisi dan perilaku masyarakat
Saponda)
- Dokumentasi (Pengambilan gambar melalui foto)

B. Waktu Pelaksanaan
Waktu Pelakasanaan Kuliah Lapangan Psikologi Lintas Budaya adalah
mulai pada hari Jum’at sampai hari minggu pada tanggal 4-6 Oktober 2019.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil dan Pembahasan Observasi

Observasi dilakukan dengan membagi anggota kelompok menjadi beberapa

tim dengan wilayah observasi tertentu. Berdasarkan hasil observasi yang

dilakukan, diperoleh data sebagai berikut :

1. Penerapan Pola Pengasuhan

Hasil :

a. Seorang anak kecil yang sedang berlari lalu menabrak pantat seorang ibu-

ibu yang sedang berjalan. Ibu itu kemudian berbalik ke arah anak itu dan

langsung memukul wajah anak tersebut dengan kelima jari kanannya.

b. Saat Agin dan anak-anak pulau Saponda sedang mandi di Pantai, seorang

ibu dari salah satu anak tersebut datang ke Pantai untuk mencari anaknya

dengan membawa kayu besar. Ketika mendapati anaknya, ibu itu

langsung memanggil nama anak itu kemudian memukuli anaknya dengan

kayu besar yang dipegangnya


Pembahasan :

Dalam proses enkulturasi dan sosialisasi budaya terdapat agen-agen

yang berperan, yaitu orang tua, keluarga, teman, tetangga, dan media massa

(Sarwono, 2014). Matsumoto dan Juang (dalam Sarwono, 2014) menyebutkan

bahwa orang tua memiliki banyak dimensi, yaitu tujuan dan keyakinan

(belief) yang mereka miliki untuk anak-anaknya, gaya pengasuhan yang


mereka tunjukkan, dan perilaku spesifik yang mereka lakukan untuk mencapai

tujuan-tujuan tersebut. Orang tua memiliki tiga gaya pengasuhan yang umum

digunakan dalam mengasuh anak-anaknya, yaitu authoritarian, permissive,

dan authoritative. (Sarwono, 2014).

Masyarakat pesisir Pulau Saponda memiliki jumlah keluarga inti yang

beragam, secara keseluruhan satu rumah terdiri dari ayah, ibu, anak, dan

nenek. Penerapan pola pengasuhan pada setiap keluarga di Pulau Saponda

memiliki kecenderungan otoriter penelantar dengan dominasi tindakan fisik

atas setiap pemberlakuan punishment.

Hasil dari pola pengasuhan ini, kehidupan sosial anak-anak di Pulau

Saponda menjadi kurang terkontrol sehingga perilaku dominan yang

ditunjukkan adalah kurang memiliki sopan dan satun terhadap orang lain.

Hubungan lain dari masyarakat Pulau Saponda yang unik adalah hubungan

antar tetangga, dimana orang dewasa pada keluarga lain tidak segan dalam

melakukan tindakan kekerasa fisik terhadap anak dari anggota keluarga lain.

Tindakan fisik yang dilakukan orang dewasa baik dari internal

keluarga maupun lingkungan membuat anak-anak di Saponda memiliki

kekuatan fisik yang cukup baik akibat pembiasaan pola pengasuhan otoriter

penelantar, dalam artian anak-anak pulau Saponda memiliki daya tahan yang

cukup baik.

2. Perkembangan Manusia (anak Masyarakat Saponda)


Hasil :

a. Beberapa anak-anak sedang bermain kejar-kejaran di depan rumah bapak

kepala desa, anak-anak tersebut kemudian masuk ke dalam rumah untuk

bersembunyi dari kejaran temannya

b. Saat malam hari, salah satu remaja kedapatan mencuri mie instan di

dapur rumah bapak kepala desa

c. Pada saat Era mau masuk kamar, seorang anak kecil menarik-narik

jilbabnya. Anak tersebut berusaha untuk mengikuti Era masuk kedalam

kamar, Era kemudian mau menutup pintu agar anak tersebut tidak ikut

masuk karena kamar itu adalah kamar perempuan. Namun anak itu

berusaha mendorong pintu kamar sehingga Era pun bertanya “mau

ngapain dek ?” , anak itu menjawab “mau masuk peluk-peluk cewek

didalam”.

d. Saat malam hari, banyak anak-anak datang ke rumah bapak kepala desa

untuk bermain setelah selesai shalat magrib. Melihat banyaknya jumlah

mereka, kami pun punya ide untuk memberikan hiburan kepada mereka

dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan. Kami memberi tahu

bahwa siapa yang bisa menjawab dengan benar maka akan diberi hadiah

berupa susu ultramilk. Kami menginstruksikan kepada mereka kalau

ingin menjawab pertanyaan maka mereka harus mengangkat tangan

terlebih dahulu lalu setelah itu kami tunjuk dan mereka baru
dipersilahkan untuk menjawab. Namun beberapa kali kami mengajukan

pertanyaan, anak-anak tersebut tidak mengikuti instruksi yang kami

berikan. Kami pun menjelaskan ulang mengenai instruksinya, tetapi

mereka tetap saja tidak mengangkat tangan dan malah menjawab

pertanyaan secara bersamaan. Saat salah satu dari mereka ditunjuk untuk

menjawab, anak itu hanya diam dan lari bersembunyi, ada juga anak yang

malah bersembunyi dibalik bahu temannya saat ditunjuk untuk

menjawab.

e. Saat Windy sedang tidur beberapa anak-anak memperhatikan windy.

Beberapa saat kemudian windy terbangun karena kaget saat seorang anak

menyentuh p*nt*tnya dan area lainnya.

f. Saat Putri sedang minum, salah satu anak menarik gelasnya

g. Saat Era sedang minum buavita, seorang anak menarik minumannya.


Pembahasan :

a. Perkembangan moral :

Moralitas dan budaya memiliki hubungan yang dekat. Prinsip-

prinsip moral dan etika memberikan panduan bagi individu dalam

berperilaku dengan mempertimbangkan kepantasan dari perilaku tersebut.

Berikutnya Kohlberg (dalam Sarwono, 2014) menjelaskan mengenai

tahapan perkembangan moral berdasarkan kemampuan berpikirnya.

 Tingkat 1 : Pre-Conventional
Pada tahapan ini, anak berusaha mematuhi aturan-aturan yang

berlaku untuk menghindari hukuman dan memperoleh reward. Pada

anak-anak Saponda sendiri terlihat sama sekali tidak ada usaha untuk

mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Hal ini kita dapati saat mereka

bermain kejar-kejaran kemudian masuk ke rumah pak kepala desa

tanpa meminta izin terlebih dahulu, yang kedua salah satu remaja

kedapatan mencuri mie instan, yang ketiga menarik minuman salah

satu dari kami, dan yang keempat tidak sungkan-sungkan menyentuh

area terlarang salah satu dari teman kami. Hal ini tentu bagi kita

adalah suatu hal yang tidak terpuji, tapi disisi lain hal ini merupakan

Emik dari mereka.

 Tingkat 2 : Conventional

Di tingkat kedua, anak mencoba untuk menuruti peraturan yang

berlaku sesuai dengan kesepakatan orang lain ataupun masyarakat.

Seseorang pada tahapan ini akan menilai pencurian sebagai sebuah

tindakan yang salah karena itu bertentangan dengan hukuman dan

bertentangan dengan nilai-nilai di masyarakat (Sarwono, 2014). Hal

ini justru berbandi terbalik saat kami mendapati salah satu remaja di

Saponda sedang mengambil mie instan yang berada didapur tanpa

seizin dari kami. Dengan tanpa merasa bersalah, sudah tau telah
dipergoki pemuda tersebut malah langsung pergi dan tidak

mengembalikan mie tersebut.

 Tingkat 3 : Post-Conventional

Pada tahapan ini, penalaran moral yang dilakukan sudah mengacu

pada prinsip-prinsip dan kesadaran individual. Berdasarkan hasil

observasi, anak-anak Saponda belum mencapai di tahap yang ke 3

ini.

b. Perkembangan kognitif :

Dalam teori Piaget (1951), perkembangan kognitif anak terbagi

kedalam empat tahap. Keempat tahap tersebut adalah sensorimotor (usia

0-2 tahun), preoperational (usia 2-6/7 tahun), concrete operational (usia

6/7-11 tahun), dan formal operational (usia 11 tahun keatas) (Sarwono

2014).

Berdasarkan hasil observasi, anak-anak Saponda yang saat itu

bersama kami adalah telah memasuki tahapan perkembangan

preoperational dan concrete operational. Dimana tahap pada tahap

praoperasional ini skema dimasukkan ke dalam memori dan anak telah

tahu hubungan sebab-akibat. Tetapi dalam tahap ini anak masih belum

bisa menggunakan logika, tahap yang kedua yaitu operasional konkrit

yaitu tahap yang dimana anak sudah mampu berpikir logis.


Anak-anak Saponda sebenarnya mempunyai keingintahuan yang

besar. Namun keingintahuan ini malah mengarah kepada hal yang negatif.

Bertindak dan melakukan sesuatu yang tidak terpuji terhadap orang lain

seperti menarik baju, memukul, dan menyentuh bagian tubuh orang lain

yang tidak seharusnya disentuh. Kami sama sekali tidak tahu dari mana

mereka mendapatkan pengetahuan tentang hal itu. Karena untuk masalah

akses internet disana sangat sulit sekali. Dalam hal ini, untuk anak-anak

yang menarik minuman salah satu teman kami itu masih dikategorikan

dalam tahap praoperasional, namun disini egosentrisme pada diri anak itu

masih dikatakan tinggi padahal anak yang sedang berada pada tahap

praoperasional seharusnya egosentrisme yang ada pada dirinya itu sudah

mulai berkurang. Sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan

kognitif anak itu kurang baik.

Tahapan perkembangan kognitif ini tidak seragam di seluruh budaya.

Orang-orang yang tidak pernah bersekolah atau kuliah menunjukkan

performa yang buruk pada tugas-tugas formal operation (Laurendeau-

Bendavid, dalam Sarwono 2014). Jika kita melihat dari segi pendidikan,

sekolah yang berada di Pulau Saponda sebenarnya sudah cukup memadai.

Di Saponda sendiri telah ada TK, SD, dan SMP, namun yang menjadi

kendala adalah kurangnya tenaga pengajar dikarenakan akses yang cukup

jauh dari kota sehingga dalam seminggu mereka terkadang banyak


liburnya dimana hal ini otomatis akan mempengaruhi perkembangan

kognitif mereka.

Pada tahap perkembangan operasional konkret bisa kita dapati pada

anak yang menjadi pelaku pelecehan salah satu dari teman kami (windy).

Berdasarkan hasil wawancara, anak tersebut sudah tidak sekolah lagi

dikarenakan penyakit mental yang dialaminya. Dalam tahap ini anak

tebenarnya sudah mampu berpikir logis tetapi logikanya masih terfokus

dan masih memerlukan alat bantu. Sehingga jika kita tarik kesimpulan

pada kasus tersebut, anak itu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan dia

memerlukan alat bantu untuk mengetahui hal tersebut.

3. Budaya, Bahasa, dan Komunikasi masyarakat Saponda terhadap

Masyarakat Setempat dan Pendatang

Hasil :

a. Saat berinteraksi dengan seorang nenek. Pada awalnya nenek tersebut

berbicara dengan menggunakan bahasa Tolaki, ketika ditanya tentang

suku, nenek tersebut ternyata bersuku bajo. Kami sempat heran dengan

hal itu. Kemudian setelah beberapa saat, nenek tersebut menggunakan

bahasa Indonesia. Bahasa yang digunakan untuk menunjukkan

kepemilikan adalah “cucu saya, kambing saya, baju saya”. Sedangkan

bahasa yang digunakan untuk menunjukkan kata ganti orang pertama


jamak adalah “kami”, dan untuk menunjukkan kepemilikan kata ganti

orang petama jamak adalah “teman kami, baju kami, kambing kami”.

b. Penggunaan bahasa kami dan saya ini ternyata bukan kita dapati pada

nenek itu, namun pada anak-anak masyarakat Saponda saat kami

berkomunikasi dengan mereka.

c. Saat kelompok kami datang membersihkan di Dusun 1, seorang anak

yang berada didepan rumahnya dipanggil ibunya untuk masuk ke rumah

sambil berkata “ee masuk masuk”, “(nama) sinikooo”.

d. Saat kami jalan-jalan lorong-lorong setapak, kami menyapa orang-rang

yang sedang duduk-duduk didepan rumahnya beberapa ada yang senyum

kemudian menyapa balik.

e. Pada saat kami membersihkan di Lapangan, banyak warga yang hanya

melihat apa yang kami lakukan, mereka hanya diam, beberapa juga ada

yang masih tetap dalam aktivitasnya.

f. Saat membersihkan di dusun satu. Sekelompok laki-laki menyuruh anak-

anak untuk turut membantu kami, Era pun mengatakan “sinimi juga kita

bantu mi juga kak”, laki-laki memberi respon diam.


Pembahasan :

Komunikasi memainkan peran penting dalam pemahaman kita terhadap

budaya dan pengaruh budaya dalam perilaku kita sehari-hari. Begitupun

bahasa, Semua manusia memiliki bahasa. Bahasa merupakan media

komunikasi manusia. Bahasa dan budaya memiliki hubungan timbal-balik


yang saling memengaruhi. Bahasa menciptakan budaya yang dimiliki

manusia namun budaya juga dapat memengaruhi bahasa yang digunakan

manusia (Sarwono, 2014).

Dari segi bahasa yang digunakan, tentunya kami mendapati perbedaan

dengan bahasa yang kami gunakan, dialek yang mereka gunakan meskipun

bukan suku bajo, tetapi logat mereka seperti suku bajo. Inilah enkulturasi

yang kami dapati dari masyarakat pulau Saponda. Selain itu, penggunaan

kata saya dan kami juga menjadi ciri khas atau emik yang ada pada mereka.

Untuk kata yang menunjukkan kepemilikan orang pertama tunggal, mereka

menggunakan kata saya, namun jika dibandingkan dengan penggunaan

bahasa kita sehari-hari, kita menggunakan kata –Ku. Penggunaan bahasa

yang kedua kita dapati pada kata kami, kata kami disini dijadikan sebagai

kata pengganti kita yang menunjukkan orang pertama jamak.

Dari interaksi yang tampak antar masyarkat Pulau menunjukan adanya

kecenderungan individual pada beberapa aspek kehidupan. Setiap keluarga

di Pulau Saponda mengurusi kehidupan internal keluarga masing-masing,

kecuali pada kerja sama dalam mata pencaharian. Respon masyarakat Pulau

Saponda terhadap pendatang cenderung menutup diri. Orang tua di Pulau

Saponda akan melarang anak-anaknya untuk melakukan interaksi dengan

pendatang jikan terdapat hal-hal baru yang dibawa pendatang dari luar pulau.

Hal ini menyebabkan anak-anak Pulau Saponda menjadi pemalu dan tidak

percaya diri untuk berinteraksi dengan pendatang


Namun hal ini tidak bisa kita generalisasikan ke semua masyarakat,

sebab beberapa masyarakat juga menunjukkan sikap yang ramah saat

menyapa kami.

4. Budaya dan Proses Dasar Psikologis (Persepsi dan Stigma Masyarakat

Terhadap Penderita Gangguan Jiwa).

Hasil :

Pada malam sabtu Windy, Era, dan Suci berjalan keluar rumah untuk mencari

signal atau jaringan karena jaringan di rumah pak kepala desa kurang bagus.

Saat melewati dusun 2, kami mendapati beberapa masyarakat yang sedang

duduk-duduk didepan rumahnya. Salah satu ibu yang sedang duduk disetapak

jalan kemudian menahan kami sambil mengucapkan “eh kau mau tau ini

orang (sambil menunjuk suami dari ibu tsb), dia suka pergi kasi uang itu

cewe 50rb tiap hari”. Pada awalnya kami terus mendengar perkataan ibu

tersebut yang curhat mengenai aib keluarganya sendiri, ia mengaku bahwa

uang dari hasil pencaharian suaminya tidak diberikan kepadanya seluruhnya

karena setengahnya sering diberi kepada perempuan lain. Sambil terus

mendengar, para tetangganya mengatakan “bohong itu, jangan percaya itu”,

kami pun heran yang mana yang benar. Belakangan baru kami ketahui

setelah mendengar perkataan ibu desa bahwa ibu tersebut menderita

gangguan jiwa.
Pembahasan :
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa proses Psikologis

mempengaruhi proses fisiologis yang dialami manusia. Salah satu faktor

yang dipercaya dapat mempengaruhi proses fisiologis tersebut adalah budaya

yang dimiliki oleh Individu.

Persepsi adalah proses mengumpulkan informasi mengenai dunia

melalui pengindraan yang kita miliki (Matsumoto & Juang, dalam Sarwono

2014). Persepsi individu terhadap sesuatu dipengaruhi oleh beberapa hal,

seperti pengalaman pribadi, status sosial ekonomi, kondisi lingkungan

(Shiraev &Levy; Matsumoto& Juang, dalam Sarwono 2014). Matsumoto dan

Juang (2004) menambahkan beberapa faktor lain dalam budaya yang dapat

mempengaruhi persepsi individu, antara lain tingkat pendidikan, suku, dan

motivasi dalam melihat beberapa jenis objek.

Di Pulau Saponda sendiri, persepsi masyarakat terhadap orang dengan

gangguan jiwa (ODGJ) cenderung melakukan pengucilan. Perilaku

mengolok-olok, menjauhi, dan menghindari penderita gangguan jiwa

dilakukan bahkan oleh anggota keluarga penderita. Hal ini terjadi karena

tidak adanya pengetahuan mengenai cara penanganan penderita gangguan

jiwa, penderita tidak mendapatkan dukungan sosial sehingga gangguan tidak

kunjung pulih. Penderita gangguan jiwa di Pulau Saponda cenderung tidak

didengarkan perkataanya dan dianggap sebagai imajinasi semata, karena

masyarakat tidak pernah menggunakannya sebagai intervensi penyebab

gangguan terjadi.
Jika kita kaitkan dengan teori tentang hal-hal apa saja yang

memengaruhi persepsi, masyarakat Saponda masuk dari segi Pendidikan,

pengalaman pribadi, dan kondisi lingkungan. Dari segi pendidikan, orang

dewasa rata-rata pendidikan terakhirnya SMA, SMP dan SD sehingga hal ini

juga turut memberikan sumbangan mengenai hal yang mempengaruhi

persepsi mereka terhadap ODGJ. Dari segi pengalaman pribadi, ODGJ itu

cenderung memberikan pengalaman kurang mengenakkan bagi warga

setempat seperti berbicara hal yang tidak benar, membawa benda tajam, dsb.

Dari segi kondisi lingkungan, Saponda sendiri merupakan sebuah pulau

yang dimana untuk sampai kesini kita memerlukan aksses menggunakan

kapal. Adanya jarak yang jauh dari kota dan jarangnya berinteraksi dengan

dunia luar membuat pola pikir masyarakat Saponda juga sangat minim

Hal ini bukan menjadi Emik dari masyarakat Saponda, tetapi mengacu

kepada Etik, karena di Kota Kendari pun masih sering kita dapati pengucilan

terhadap ODGJ.

5. Kondisi Lingkungan Pulau Saponda

Masalah utama yang nampak di Pulau Saponda adalah kesadaran

akan kepedulian lingkungan, sederet masalah lingkungan telah mendominasi

Pulau Saponda dan memberikan sedikit demi sedikit dampak yang buruk

terhadap ekosistem laut dan lingkungan darat. Berdasarkan hasil observasi

mengenai Pengelolaan Sampah adalah sebagai berikut :


a. Sampah berserakan di setiap sudut pulau, baik di pantai maupun di darat.

b. Aktivitas Buang air sembarangan dilakukan di pinggir pantai, bukan

hanya dibawah rumah atau dipantai belakang rumah, namun juga dipantai

utama yang menjadi tempat kedatangan kapal dari luar pulau, sehingga

tidak jarang pemandangan dan aroma yang tidak sedap dirasakan para

pendatang saat tiba.

c. Hewan ternak (kambing) yang tidak terurus, sehingga membuat

lingkungan tercemar oleh kotoran hewan ternak.

d. Sistem drainase yang buruk dan nyaris tidak ada, membuat aroma tidak

sedap yang berasal dari pembuangan aktivitas dapur dan kamar mandi

rumah mengalir dan meresap di jalan-jalan umum.

B. Hasil Wawancara

Berdasarkan hasil wawancara, dapat disimpulkan bahwa :

1. Budaya-budaya masyarakat Saponda sudah mulai terkikis seiring berjalannya

waktu. Hal ini dikarenakan adanya transmigrasi dari berbagai suku mulau dari

bugis, tolaku, dan bau-bau. Budaya yang dimaksud adalah budaya-budaya

memberikan sesajen kepada penjaga pulau yang disebut dengan Moduai Pina.

Moduai Pina sendiri adalah menurunkan pinang sebagai ritual untuk meminta

izin pada laut untuk mengelolanya

2. Anak-anak rutin melakukan sholat magrib di Masjid setiap harinya.

3. Penangkapan ikan masih menggunakan bom, sehingga membuat kedua


tangan seorang bapak sudah hilang akibat terkena bom. Masyarakat Saponda

menyukai sesuatu yang instan untuk mendapatkannya.

4. Sejarah pemberian nama pulau Saponda. Saponda berasal dari dua kata yaitu

Sapao dan Konda. Sapao berarti atap dari daun nipa-nipa yang digunakan

untuk membuat rumah-rumah sedangkan Konda berarti kondisi air

stabil(kondisi air naik tidak pasang sekali, dan kalau surut tidak jauh)

Pembahasan :

1. Budaya dan Perilaku


Budaya memainkan peranan penting dalam mengasah pemahaman kita
terhadap diri dan identitas. Hal ini menyebabkan budaya memiliki pengaruh
yang besar dalam seluruh konteks kehidupan manusia (Sarwono, 2014).
Budaya-budaya masyarakat Saponda sudah mulai terkikis seiring
berjalannya waktu misalnya seperti pemberian sesajen kepada makhluk
ghaib. Hal ini dikarenakan perilaku masyarakat Saponda yang sangat rajin
beribadah di Masjid sehingga terkait dengan kepercayaan-kepercayaan
seperti itu juga sudah mulai hilang dengan sendirinya. Dapat dikatakan
bahwa ini adalah sebuah Enkulturasi. Enkulturasi sendiri berarti semua
pelajaran yang dihadapi oleh manusia dikarenakan dia mempelajarinya.
Meinarno dalam Sarwono (2014), menyatakan bahwa proses
enkulturasi dapat dilihat pada kegiatan orang tua yang mengajak anaknya saat
bekerja atau pergi ke tempat ibadah.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
 Budaya-budaya masyarakat Saponda sudah mulai terkikis seiring
berjalannya waktu misalnya seperti pemberian sesajen kepada makhluk
ghaib. Hal ini dikarenakan perilaku masyarakat Saponda yang sangat
rajin beribadah di Masjid sehingga terkait dengan kepercayaan-
kepercayaan seperti itu juga sudah mulai hilang dengan sendirinya.
Dengan berdirinya masjid ditengah-tengah kehidupan masyarakat
Saponda pada akhirnya membuat masyarakat itu sendiri menjadi rajin
beribadah.
 Budaya-budaya masyarakat Saponda sudah mulai terkikis seiring
berjalannya waktu. Hal ini dikarenakan adanya transmigrasi dari berbagai
suku mulau dari bugis, tolaki, dan bau-bau. Budaya yang dimaksud
adalah budaya-budaya memberikan sesajen kepada penjaga pulau yang
disebut dengan Moduai Pina. Moduai Pina sendiri adalah menurunkan
pinang sebagai ritual untuk meminta izin pada laut untuk mengelolanya
 Masyarakat Saponda menangkpa ikan masih menggunakan bom,
sehingga membuat kedua tangan seorang bapak sudah hilang akibat
terkena bom. Masyarakat Saponda menyukai sesuatu yang instan untuk
mendapatkannya.
 Kesadaran Personal Hygiene dan kebersihan, kehigienitas lingkungan
sangat kurang ini terbukti dengan masyarakat buang air di sembarang
tempat seperti di pantai dan hewan ternak di lepas begitu saja sehingga
hewan ternak buang kotoran dimana saja
 Anak-anak di pulau Saponda kurang akan perhatian dan kasih sayang ini
terbukti saat kami datang mereka terlihat cari-cari perhatian dan saat
diajak bermain mereka terlihat bahagia daripada bermain sendiri dengan
teman nya
 Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di pulau Saponda dikucilkan, di
olok-olok, dan dijauhi masyarakat hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan
bagaimana menangani orang dengan gangguan jiwa akhirnya penderita
tidak mendapatkan dukungan sosial yang mengakibatkan penderita tidak
kunjung pulih
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Sarwono, Sarlito W. 2014. Psikologi Lintas Budaya. Depok: Rajawali Pers.


LAMPIRAN I

Dokumentasi
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3. (.....................)

Gambar 4. (..........................)
LAMPIRAN II

Hasil Review Jurnal

1. IDENTITAS JURNAL
Judul Jurnal : Determinants of health care seeking behavior among rural population
of a coastal area in south india.
Sumber : International Journal Of Scientific Reports.
Penulis : Ramesh Chand Chauhan, Manikandan, Anil J. Purty, Abel Samuel, Zile
Singh.
Tahun : Juni 2015.
Vol. & Hal : Vol 1, NO. 2: 118-122.
Reviewer : Kelompok 1

B. ISI JURNAL
Tujuan : Penelitian ini dilakukan untuk memahami proses pengambilan keputusan
dan berbagai faktor (rumah tangga, karakteristik individu, penyakit dan
penyedia layanan) mempengaruhi perilaku mencari perawatan kesehatan
di pedesaan populasi wilayah pesisir di Tamil Nadu.
Metode : Sebuah studi deskriptif berbasis masyarakat dilakukan di daerah pantai
pedesaan distrik Villupuram di Tamil Nadu negara bagian India. Dengan
menggunakan metode pengambilan sampel acak sederhana. Terstruktur
yang telah diuji sebelumnya kuesioner digunakan untuk mengumpulkan
data. Informasi tentang karakteristik sosial-demografis, adanya akut atau
penyakit kronis, perilaku mencari perawatan kesehatan dan alasan tidak
digunakannya fasilitas kesehatan tertentu, dll. Uji chi square diterapkan
untuk menemukan hubungan perilaku mencari perawatan kesehatan
dengan berbagai karakteristik peseta.
Subjek : Subjek dalam penelitian adalah 559 peserta.
Hasil : Di antara 559 peserta penelitian, mayoritas (56,4%) mengunjungi fasilitas
perawatan kesehatan masyarakat untuk berbagai penyakit. Hampir
sepertiga dari peserta studi mengunjungi fasilitas kesehatan swasta dan
11,6 persen lainnya mengunjungi lainnya fasilitas kesehatan termasuk
apotek. Di antara berbagai penyebab, penyakit demam (39,5%) dan rasa
sakit (20,8%) adalah alasan paling umum untuk mengunjungi fasilitas
perawatan kesehatan. Penghasilan individu secara signifikan terkait dengan
HSB (nilai p <0,05). Ketersediaan layanan, bebas biaya dilaporkan sebagai
alasan paling umum untuk memilih fasilitas kesehatan masyarakat. Di sisi
lain, praktisi swasta lebih disukai karena ketersediaan dan kualitas yang
lebih baik.
Kesimpulan : Perilaku pencarian kesehatan orang tergantung pada persepsi
masyarakat tentang kualitas pelayanan kesehatan layanan di pusat
kesehatan. Persepsi masyarakat harus diubah untuk menarik mereka
lebih ke pemerintah rumah sakit dan pusat kesehatan. Itu bisa
dilakukan melalui meningkatkan kualitas perawatan, pemeliharaan
yang tepat fasilitas dan juga dengan menanamkan perhatian dan
simpatik. Sikap profesional kesehatan saat menangani pasien.
Fasilitas perawatan kesehatan umum lebih disukai karena biaya
layanan yang rendah dan HSB bervariasi sesuai jenisnya penyakit dan
pendapatan individu.

Judul : PERUBAHAN SOSIAL PADA KEHIDUPAN SUKU


BAJO Studi Kasus Di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Tahun : 2015

Penulis : Ellen Suryanegara, Suprajaka dan Irmadi Nahib.

Jurnal : Jurnal Majalah Globe

Volume & Halaman : Volume 17 No.1 Hal. 067 - 078


Latar Belakang Selama berabad-abad, suku Bajo tinggal di atas perahu dan
hidup bebas di lautan luas sehingga mereka dikenal sebagai
pengembara laut (sea nomads). Perkembangan zaman
membuat suku Bajo yang sebelumnya hidup nomaden menjadi
tinggal menetap di wilayah pesisir dan laut sekitar. Salah satu
populasi terbesar suku Bajo yang telah menetap terletak di
Kepulauan Wakatobi dengan jumlah penduduk suku Bajo lebih
dari 10.000 jiwa. Penelitian ini bertujuan untuk melihat
perubahan sosial yang terjadi pada suku Bajo yang mulanya
hidup berpindah (nomaden) menjadi menetap di suatu wilayah.
Dilihat pula faktor pendorong perubahan tersebut dan dampak
dari perubahan sosial tersebut terhadap kehidupan masyarakat
Bajo yang telah bermukim.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat perubahan sosial dan
dampaknya yang terjadi pada suku Bajo yang mulanya hidup
mengembara menjadi menetap di wilayah di Kepulauan
Wakatobi.
Teori Utama yang Teori utama yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian
Digunakan ini adalah teori Menurut Nimmo dalam Lapian (2009), susunan
masyarakat Bajo yang masih bertempat tinggal di perahu dapat
dibedakan dalam tiga tingkat, yakni (1) mataan, (2)
pagmundah, dan (3) dakampungan. Serta sejarah masuknya
suku bajo ke daerah Sulawesi Tenggara yang dapat menjadi
sumber navigator pembangun konsep perubahan kehidupan
masyarakat bajo yang nomaden menjadi menetap.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif
dengan mengambil bentuk studi kasus. John Creswell (2008)
dalam Raco (2010), mendefinisikan metode penelitian
kualitatif sebagai suatu pendekatan atau penelusuran untuk
mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral.
Sedangkan studi kasus atau case study, adalah bagian dari
metode kualitatif yang hendak mendalami suatu kasus tertentu
secara lebih mendalam dengan melibatkan pengumpulan
beraneka sumber informasi.
Sampel Penelitian Pengumpulan data primer dilakukan pada tanggal 814 Maret
2015 dengan melakukan wawancara mendalam (in-depth
interview) kepada 6 (enam) orang informan kunci, yaitu
kepada beberapa tokoh masyarakat Suku Bajo yang ada di
Pulau WangiWangi dan Pulau Kaledupa di Wakatobi yang
diambil secara sengaja (purposive) di mana peneliti telah
menentukan informan kunci menjadi narasumber penelitiannya
berdasarkan informasi yang didapat di lapangan.
Hasil yang Hasil penelitian menunjukkan perubahan sosial pada
Diperoleh masyarakat Bajo yang telah tinggal menetap yaitu terjadinya
perubahan pola perilaku masyarakat, interaksi sosial, nilai
yang dianut masyarakat, organisasi sosial dan susunan
lembaga kemasyarakatan, serta perubahan lapisan sosial dalam
masyarakat. Faktor yang mendorong suku Bajo untuk menetap
di Kepulauan Wakatobi antara lain penurunan potensi sumber
daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup, persediaan kayu
untuk perahu yang semakin langka, didorong dengan adanya
program pemerintah, serta adanya pengaruh kebudayaan dari
masyarakat daratan.
Dampak positif yang muncul akibat perubahan sosial tersebut
yaitu munculnya kesadaran pendidikan, terciptanya lapangan
pekerjaan baru, meningkatnya taraf hidup, dan modernisasi
sistem perikanan. Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan
yaitu semakin berkurangnya eksistensi adat istiadat, reorientasi
pandangan hidup, serta mulai munculnya pola hidup
konsumtif.

Anda mungkin juga menyukai