Anda di halaman 1dari 23

EKONOMI PARIWISATA BERKELANJUTAN (B2)

PERMINTAAN PARIWISATA

Oleh:

Kelompok 6

1. Kadek Dwi Mayana Putri 1707511091

2. Ni Luh Made Ariasih 1707511098

3. Putu Ida Pratiwi 1707511106

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pariwisata merupakan sektor industri yang berpotensi untuk dikembangkan terhadap


perekonomian suatu daerah. Berkembangnya sektor pariwisata disuatu daerah akan menarik
sektor lain untuk berkembang pula karena produk-produknya diperlukan untuk menunjang
industri pariwisata, seperti sektor pertanian, peternakan, perkebunan dan lain sebagainya.
Sektor pariwisata dapat membawa keuntungan bagi daerah yang memiliki aset berupa objek
wisata yang diminati masyarakat. Objek wisata mendatangkan manfaat dan keuntungan bagi
daerah-daerah yang menerima kedatangan wisatawan. Dalam aspek ekonomi pembangunan
pariwisata memiliki peran signifikan terutama seperti masyarakat yang berjualan di sekitar
objek wisata tersebut bisa mendapatkan keuntungan yang cukup besar terutama pada hari
libur. Berkembangnya objek wisata di suatu daerah akan mendorong permintaan pariwisata.
Permintaan pariwisata adalah kesempatan wisata yang diinginkan olehmasyarakat atau
partisipasi masyarakat dalam kegiatan wisata secara umum dengan tersedianya fasilitas yang
memadai atau memenuhi keinginan masyarakat

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep permintaan pariwisata?
2. Bagaimana teori permintaan pariwisata?
3. Bagaimana motivasi berwisata?
4. Bagaimana proses pengambilan keputusan berwisata?
5. Apa saja karakteristik psikografi wisatawan?
6. Bagaimana bauran pemasaran untuk jasa pariwisata?
7. Bagaimana segmentasi pasar pariwisata?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep permintaan pariwisata.
2. Untuk mengetahui teori permintaan pariwisata.
3. Untuk mengetahui motivasi berwisata.
4. Untuk mengetahui proses pengambilan keputusan berwisata.
5. Untuk mengetahui karakteristik psikografi wisatawan.
6. Untuk mengetahui bauran pemasaran untuk jasa pariwisata.
7. Untuk mengetahui segmentasi pasar pariwisata.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Permintaan Pariwisata

Permintaan pariwisata adalah jumlah total dari orang yang melakukan perjalanan
untuk menggunakan fasilitas dan pelayanan wisata di tempat yang jauh dari tempat tinggal
dan tempat kerja (Mulyana, 2009). Permintaan pariwisata berpengaruh terhadap semua sektor
perekonomian, perorangan (individu), Usaha Kecil Menengah, perusahaan swasta, dan sektor
pemerintah (Sinclair dan Stabler, 1997). Permintaan dalam industri pariwisata terdiri dari
beberapa fasilitas atau produk yang berbeda bukan saja dalam hal sifat, akan tetapi juga
manfaat dan kebutuhannya bagi wisatawan. Dalam ilmu ekonomi kebutuhan-kebutuhan yang
dapat diperoleh dengan mudah tidak merupakan barang-barang ekonomi karena dapat
diperoleh secara bebas seperti udara segar, pemandangan yang indah atau cuaca yang cerah.
Hal itu tidak berlaku dalam industri pariwisata, justru barang-barang yang termasuk free
goods ini dapat meningkatkan kepuasan bagi wisatawan (Yoeti, 2008).

Fasilitas dan produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang berbeda dan diperlukan
oleh wisatawan pada waktu yang berbeda-beda pula. Permintaan dalam industri pariwisata
tidak hanya terbatas pada waktu yang diperlukan pada saat perjalanan wisata diperlukan,
akan tetapi jauh sebelum melakukan perjalanan, permintaan itu sudah mengemuka seperti
informasi tentang daerah tujuan wisata, hotel tempat untuk menginap, transportasi yang akan
digunakan, tempat-tempat yang akan dikunjungi dan berapa banyak uang yang harus dibawa
(Yoeti, 2008).

Permintaan dalam industri pariwisata tidak hanya membutuhkan A single services,


tetapi juga membutuhkan kombinasi dari bermacam-macam pelayanan yang ditawarkan
dalam suatu paket wisata yang dalam ilmu ekonomi pariwisata sebagai A Assortment of
Services. Karena itu permintaan dapat dibagi menjadi enam kelompok yang saling
melengkapi menurut G.A.Schmoll (Yoeti, 2008).

1) Travel preparations, sebelum membeli paket wisata kita terlebih dahulu memerlukan
informasi, saran-saran, pemesanan, tiket dan vouchers, money exchanges, pakaian
selama perjalanan dan alat lain yang dibutuhkan.
2) Movement, dalam perjalanan wisatawan memerlukan transportasi menuju dan dari
objek wisata, sightseeing and tours, safaries, act at the tourist destination.
3) Accommodation and catering,setibanya pada suatu daerah tujuan wisata wisatawan
akan memerlukan kamar hotel and motel, area kemping dan restoran, bar dan cafe.
4) Activities at the destination, didaerah tujuan wisata wisatawan memerlukan
entertaiment, sports sightseeing, berbelanja,mengunjungi museum.
5) Purchases and personal needs, sebagai kenang-kenang pada suatu daerah tujuan
wisata wisatawan akan membeli bermacam-macam oleh-oleh dalam bentuk barang-
barang pribadi, pakaian, medical care, souvenirsdan lain-lain.
6) Recording an preserving impressions, untuk keperluan dokumen perjalanan
wisatawan memerlukan purchases of film, kamera, photos or studio shootingdan lain-
lain.

Permintaan dalam kepariwisataan (tourist demand) dapat dibagi menjadi dua, yaitu
potential demanddan actual demand. Yang dimaksud dengan potential demandadalah
sejumlah orang yang berpotensi untuk melakukan perjalanan wisata karena memiliki waktu
luang dan tabungan yang relatif cukup. Sedangkan yang dimaksud dengan actual
demandadalah orang-orang yang sedang melakukan perjalanan wisata pada suatu daerah
tujuan wisata tertentu (Yoeti, 2008).

Berbeda dengan permintaan terhadap barang dan jasa pada umumnya, permintaan
industri pariwisata memiliki karakter sendiri, beberapa ciri atau karakter permintaan
pariwisata menurut Yoeti (2008):

1) Sangat dipengaruhi oleh musim


2) Terpusat pada tempat-tempat tertentu
3) Tergantung pada besar kecilnya pendapatan
4) Bersaing dengan permintaan akan barang-barang mewah
5) Tergantung tersedianya waktu senggang
6) Tergantung teknologi transportasi
7) Jumlah orang dalam keluarga
8) Aksesibilitas

Menurut Yoeti (2008) terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi permintaan
pariwisata antara lain sebagai berikut:

1) General Demand Factors


Secara umum permintaan terhadap barang dan jasa industri pariwisata tergantung pada
hal-hal sebagai berikut:

a. Purchasing power
Kekuatan untuk membeli banyak ditentukan oleh disposible incomeyang erat
kaitannya dengan tingkat hidup (standard of living) dan intensitas perjalanan (travel
intensity) yang dilakukan. Semakin besar pendapatan yang bebas digunakan
akansemakin besar kemungkinan perjalanan yang diinginkan.
b. Demographic structure and trends
Besarnya jumlah penduduk dan pertumbuhan penduduk akan mempengaruhi
permintaan terhadap produk industri pariwisata. Negara yang memiliki penduduk
banyak tetapi pendapatan perkapitanya kecil akan memiliki kesempatan kecil untuk
melakukan perjalanan wisata. Faktor lain adalah struktur usia penduduk. Penduduk
yang masih muda dengan pendapatan rata-rata relatif tinggi akan lebih besar
pengaruhnya dibanding denngan penduduk yang berusia pensiun.
c. Sosial and cultural factors
Industrialisasi tidak hanya menghasilkan struktur pendapatan masyarakat relatif
tinggi, juga meningkatkan pemerataan pendapatan dalam masyarakat sehingga
memungkinkan memiliki kesempatan melakukan perjalanan wisata untuk
menghilangkan kejenuhan bekerja, menghilangkan stres, sehingga melakukan rekreasi
sudah merupakan keharusan.
d. Travel motivations and attitudes
Motivasi untuk melakukan perjalanan wisata sangat erat hubungan dengan kondisi
sosial dan budaya masyarakatnya. Masih eratnya hubungan kekeluargaaan masyarakat
dan sering melakukan saling berkunjung membuat perjalanan akan sering dilakukan
dan tentunya akan meningkatkan permintaan untuk melakukan perjalanan wisata.
e. Opportunities to travel and tourism marketing intensity
Adanya insentif untuk melakukan perjalanan wisata akan meningkatkan perjalanan
wisata ke seluruh dunia seperti meeting, incentive, convention and exhibition (MICE).
Kesempatan untuk melakukan perjalanan wisata tidak hanya karena biaya perjalanan
ditanggung perusahaan, juga memberi kesempatan kepada keluarga ikut melakukan
perjalanan wisata, anak dan istri mendampingi suami dalam berpartisipasi dalam
suatu konferensi tertentu
2) Factors Determining Specific
Demand Faktor-faktor yang akan mempengaruhi permintaan khusus terhadap daerah
tujuan wisata tertentu yang akan dikunjungi ditentukan oleh beberapa faktor yaitu:

a. Harga
Pada kebanyakan industri jasa harga biasanya menjadi masalah kedua karena yang
terpenting adalah kualitas yang harus disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan
sesuai dengan waktu yang diinginkan. Dalam kepariwisataan sudah biasa dilakukan
pricedifferentiationsecara umum sebagai suatu strategi dalam pemasaran. Sebagai
contoh misalnya sedikitnya dijumpai 15 tarif perjalanan round tripyang disusun oleh
International Air Transportation Association(IATA) berdasarkan musim, rata-rata
lamanya tinggal, umur penumpang, dan pelayanan ditempat tujuan.
b. Daya tarik wisata
Keputusan untuk melakukan perjalanan lebih banyak menyangkut pemilihan daerah
tujuan wisata. Pemilihan ini ditentukan oleh daya tarik yang terdapat di daerah yang
akan dikunjungi.
c. Kemudahan berkunjung
Aksesibilitas ke daerah tujuan wisata yang akan dikunjungi banyak mempengaruhi
pilihan wisatawan, wisatawan menginginkan tersedianya macam-macam transportasi
yang dapat digunakan dengan harga yang bervariasi. Karena biaya transportasiakan
mempengaruhi biaya perjalanan secara keseluruhan. Tersedianya prasarana yang
memadai akan menjadi pilihan seperti bandara yang nyaman dan bersih, jalan yang
tidak berlubang-lubang menuju obyek wisata, tersedianya tenaga listrik dan air bersih.
d. Informasi dan layanan sebelum kunjungan
Wisatawan biasanya memerlukan pre-travel service didaerah tujuan wisata yang
mereka kunjungi dan tersedia tourist information service yang dapat menjelaskan
tempat-tempat yang akan dikunjungi wisatawan, kendaraan yang digunakan, waktu
perjalanan dan keperluan yang dibutuhkan.
e. Citra
Wisatawan memiliki kesan dan impian tersendiri tentang daerah tujuan wisata yang
akan dikunjungi. Citra dari daerah tujuan wisata akan mempengaruhi permintaan
wisata daerah tersebut.
2.2 Teori Permintaan Pariwisata

Menurut Pratama Rahardja dan Mandala Manurung (2008), bahwa permintaan adalah
keinginan konsumen membeli suatu barang pada berbagai tingkat harga selama periode
tertentu. Sedangkan menurut Case and Fair (2007) dalam ilmu ekonomi istilah permintaan
(demand) merujuk pada suatu hubungan tertentu antara jumlah barang tertentu yang akan
dibeli oleh rumah tangga dengan harga barang tersebut pada periode tertentu, cateris paribus.
Faktor faktor yang pempengaruhi permintaan dari sisi konsumen yaitu, pendapatandan
kekayaan konsumen, barang itu sendiri, harga barang lain, selera danpreferensi konsumen
serta ekspektasi tentang harga dimasa depan.

Konsep permintaan merupakan hubungan antara jumlah barang yang diminta (Qd)
dengan harga (P) berbagai tingkat harga. Hukum permintaan (law of demand) menerangkan
bahwa dalam keadaan hal lain tetap (cateris paribus) apabila harga naik, maka permintaan
terhadap suatu barang akan berkurang, dan sebaliknya apabila harga turun, maka permintaan
terhadap suatu barang akan meningkat.

Konsumen mempunyai tingkah laku yang beragam dalam memenuhi kebutuhannya


terhadap barang dan jasa (goods and services). Yoeti (2008) mengungkapkan terdapat tiga
tingkah laku konsumen (consumer behavior) dalam memenuhi kebutuhan terhadap barang
dan jasa, yaitu :

a. Keterbatasan pendapatan (income)


b. Melakukan pembelian dengan bertindak secara rasional
c. Ingin mencapai kepuasan (to maximize their total satisfaction).

Data vital yang dapat dijadikan indikator permintaan wisatawan akan suatu daerah
wisata adalah:

a. Jumlah atau kuantitas wisatawan yang datang.


b. Alat transportasi apa yang digunakan sehubungan dengan kedatangan wisatawan
tersebut.
c. Berapa lama waktu tinggal.
d. Berapa jumlah uang yang dikeluarkan

Permintaan pariwisata juga didasarkan pada anggaran belanja yang dimilikinya, hal
ini merupakan kunci dari permintaan pariwisata. Seseorang akan mempertimbangkan untuk
mengurangi anggaran yang dimilikinya untuk suatu kepentingan liburan.
2.3 Motivasi Berwisata

Wisatawan datang ke suatu tempat sangat ditentukan oleh motivasi dan keinginannya.
Menurut Karyono (1997:48), ada beberapa faktor pendorong seseorang melakukan perjalanan
wisata, yaitu : faktor-faktor bersifat irasional (dorongan bawah sadar) dan faktor-faktor yang
bersifat rasional (dorongan yang disadari).

Sebagian besar untuk mengadakan wisata didasarkan pada alasan yang rasional
(berdasarkan dorongan yang disadari sepenuhnya), seperti karena adanya fasilitas yang
memadai, atraksi wisata yang menarik untuk dikunjungi. Namun banyak pula orang yang
mengadakan perjalanan wisata dengan alasan yang irrasional (berdasarkan dorongan bawah
sadar), seperti adanya keterikatan emosional dan keinginan untuk berkunjung pada tempat-
tempat yang dianggapberkaitan dengan urusan keagamaan. Kunjungan ke makam-makam
para sunan/penyiar agama, rasul/nabi, tempat yang dikeramatkan menurut ajaran agama,
sering dilakukan untuk kalangan pemeluk tertentu. Kunjungan ini sering tidak dimengerti
oleh kalangan yang tidak memahami tata nilai yang dianut oleh masyarakat yang
bersangkutan.

Motivasi wisatawan untuk berkunjung di suatu tempat akan sangat dipengaruhi oleh
persepsinya mengenai produk wisata yang ada, baik yang berkaitan dengan atraksi wisata
maupun faktor pendukungnya. Persepsi wisatawan mengenai suatu produk wisata dapat
dilihat keterpenuhan kebutuhan wisatawan selama melakukan perjalanan wisata.

Menurut Mc Intosh dalam Suprapto (2005), motif wisata dapat dikelompokkan sebagai
berikut :

a. Motif fisik (Physical Motivations), Motif ini banyak berhubungan dengan hasrat
untuk mengembalikan kondisi fisik seperti olah raga, istirahat, pemeilharaan
kesehatan agar gairah kerja timbul kembali.
b. Motif Budaya, motif tersebut lebih memperhatikan motif wisatawan bukan atraksinya.
Hal tersebut terlihat dari motif wisatawan yang datang ke tempat wisata lebih memilih
untuk mempelajari, sekedar mengenal, atau memahami tata cara dan kebudayaan
bangsa atau daerah lain daripada menikmati atraksi yang dapat berupa pemandangan
alam atau flora dan fauna.
c. Motif Interpersonal, merupakan motif yang berhubungan dengan keinginan untuk
bertemu dengan keluarga, teman, tetangga, berkenalan dengan orang-orang tertentu
atau sekedar melihat tokoh-tokoh terkenal.
d. Motif Status atau Prestise, merupakan motif yang berhubungan dengan gengsi atau
status seseorang. Maksudnya ada suatu anggapan bahwa orang yang pernah
mengunjungi suatu tempat tertentu dengan sendirinya melebihi sesamanya yang tidak
pernah berkunjung ke tempat tersebut.

Adapun faktor pendorong seseorang melakukan perjalanan wisata menurut Pitana


dalam Suprapto (2005) adalah sebagai berikut:

a. Escape, yaitu ingin melepaskan diri dari lingkungan yang dirasakan menjemukan,
atau kejenuhan dari pekerjaan sehari-hari.
b. Relaxtion, yaitu keinginan untuk penyegaran, yang juga berhubungan dengan
motivasi untuk escape di atas.
c. Play, yaitu ingin menikmati kegembiraan, melalui berbagai permainan, yang
merupakan kemunculan kembali sifat kekanak-kanakan, dan melepaskan diri sejenak
dari berbagai urusan yang serius.
d. Strengthening family bond,yaitu ingin mempererat hubungan kekerabatan, khususnya
dalam konteks (visiting, friends and relatives). Biasanya wisata ini dilakukan
bersama-sama (group tour).

2.4 Proses Pengambilan Keputusan Berwisata

Memahami proses pengambilan keputusan sangat penting untuk keberhasilan


destinasi wisata dan bisnis pariwisata. Fokus yang signifikan terhadap proses keputusan
mampu menarik banyak perhatian para ilmuan, akademisi dan praktisi marketing khususnya
bidang perilaku konsumen. Kenyamanan proses wisata, kompleksitas dan peluang
penyimpangan struktural menyarankan arah keputusan tepat. Banyak keputusan dibuat
setelah pengunjung tiba, mengidentifikasi serangkaian sub-keputusan baik sebelum dan
selama perjalanan. Penggunaan rantai nilai, memberikan bukti bahwa persepsi perjalanan
didasarkan pada pengalaman terkait. Unsur-unsur dalam rantai nilai mempengaruhi
pengalaman perjalanan. Proses dinamis pengambilan keputusan berwisata tidak terstruktur
dan penuh kontinjensi (Sharma, A. dan Christie, I.T. 2010).

Untuk mempermudah pengambilan keputusan, wisatawan membagi keputusan ke


dalam keputusan yang lebih kecil dan lebih akrab. Misalnya, merencanakan perjalanan
dipecah menjadi sub-rutin seperti pilihan destinasi, transportasi, penginapan, kegiatan utama,
aktifitas di destinasi dan kegiatan kontingensi dimana keputusan jarang ditemui akan
mempengaruhi keputusan perjalanan. Model pengambilan keputusan yang terstruktur
menjelaskan proses organisasi mempekerjakan ketika menghadapi keputusan terstruktur.
Model ini mengurangi keputusan dalam fase identifikasi, pengembangan, dan seleksi. Setelah
fase identifikasi, satu atau lebih akrab dengan rutinitas akan memandu pembuatan keputusan
melalui proses. Rutinitas dan keakraban diharapkan dapat mengurangi kompleksitas
keputusan ini. Model ini bisa lebih kompleks karena bisnis melibatkan kelompok stakeholder
lainnya. Pengambilan keputusan berwisata menjadi lebih komplek ketika wisatawan
mengahadapi dua atau tiga destinasi (daerah tujuan wisata) yang harus dikunjungi dalam
waktu yang bersamaan dalam jumlah waktu dan sumber dana yang terbatas.

Peran Penting Perilaku Wisatawan

a. Adaptasi Model

Seperti dalam produk barang, perilaku perjalanan (travel) juga menjadi fokus
penelitian pariwisata sebagai upaya untuk mengungkap faktor-faktor penentu perilaku wisata
terutama untuk kepentingan bisnis. Para pelaku bisnis perjalanan menyadari bahwa perlunya
memahami perilaku perjalanan, terutama proses pengambilan keputusan perjalanan dalam
lingkungan bisnis perjalanan wisata yang saat ini semakin kompetitif. Memahami kebutuhan
wisatawan“ mengapa” dan “ bagaimana” perilaku perjalanan itu menjadi dasar bagi praktek
pemasaran pariwisata yang efektif. Model perilaku wisatawan dimodifikasi atau disesuaikan
dengan perilaku perjalanan wisata. Penataan proses keputusan perjalanan individu, keluarga
atau komunitas dan aktivitas dalam berwisata berlangsung dalam empat tahap: merupakan
dasar dalam membuat pilihan daerah tujuan wisata (DTW), tahap ni menggabungkan variabel
demografi berdasarkan ingatan sadar dan tidak sadar, dan pengaruh eksternal untuk membuat
kriteria dalam menentukan pilihan destinasi wisata. Evaluasi alternatif pilihan destinasi
wisata berdasarkan driver kegiatan utama yang dikaitkan dengan kendala anggaran. Jika
kriteria kunci yang dipertimbangkan sempurna dan buku-buku petunjuk perjalanan, web
DTW serta medsos tersedia, perjalanan akan dilanjutkan. Jika tidak sempurna, wisatawan
akan kembali ke tahap pertama. Jika salah satu titik kritis tidak terpenuhi, perjalanan
dibatalkan (Martin,D. and Woodside,A.G. 2011).

Selanjutnya terjadi selama liburan, tahap ini terjadi setelah tahap pertama dan kedua
dapat dilewati. Tahap ini sangat dinamis karena rangsangan tambahan baru bias muncul dan
menciptakan alternatif baru dan menghilangkan kegiatan yang direncanakan. Jika sesuatu
yang hilang dari tahapan keputusan, perubahan rencana di sebuah daerah tujuan wisata,
dimana kejutan positif atau negatif akan mempengaruhi evaluasi berkelanjutan perjalanan
wisata meraka. Proses refleksi diri, evaluasi perjalanan wisata ini mempengaruhi proses
perencanaan perjalanan berikutnya. Kenangan yang dinamis dan interpretasi individu
bervariasi dari waktu ke waktu serta situasi. Kenangan berfungsi sebagai pengaruh eksternal
menjadi kelompok referensi dalam membingkai perjalanan wisata berikutnya. Tahap ini
penting karena kesetiaan terhadap destinasi dan pengaruh objektif tentang referensi perilaku
kelompok adalah kunci untuk pertumbuhan destinasi wisata. (Drew, Martin and Woodside,
Arch G. 2012). Para akademisi marketing telah mencapai konsensus dalam mengenali proses
keputusan wisatawan sebagai pendekatan yang berguna dalam memahami dan menjelaskan
perilaku perjalanan wisata dan sebagai alat yang efektif dalam membuat perencanaan
pemasaran pariwisata. (Katsoni, Vicky and Venetsanopoulou. Maria. 2013).

Proses pengambilan keputusan wisata, meskipun beberapa yang secara seketika


mendapatkan keputusan pembelian yang menguntungkan, terutama keputusan pembelian
ulang sebagai basis dalam membangun loyalitas, pemasar termasuk travel agent, tourleader,
tour guide harus “menemani” wisatawan melalui proses pembelian, dan menyesuaikan upaya
pemasaran dalam mengembangkan (1) rangsangan eksternal seperti publikasi perdagangan;
(2) kebutuhan dan keinginan ditentukan oleh kepribadian, faktor sosial-ekonomi, sikap,dan
nilai-nilai perjalanan wisata; (3) variabel eksternal seperti kepercayaan terhadap agen
perjalanan, citra destinasi wisata, pengalaman sebelumnya, biaya dan kendala waktu; dan (4)
destinasi atau karakteristik layanan yang memiliki pengaruh besar terhadap proses
pengambilan keputusan dan hasilnya (Minciu, Rodica and Moisă, Claudia, Olimpia. 2009).
Model ini bertujuan untuk menunjukkan variabel yang relevan dan keterkaitan mereka dalam
proses pengambilan wisata, dimana tindakan pemasaran dapat:

a) Digunakan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan dan faktor-faktor


khusus yang memiliki pengaruh terhadap keputusan perjalanan.
b) Digunakan untuk menentukan kriteriayang mentargetkan pasar minatkhusus atau
destinasi wisata dapatdiidentifikasi secara deskriptif dantidak dapat diukur.
c) Berfungsi sebagai dasar memprediksi permintaan terhadap destinasi wisata atau
layanan tertentu.

Pengambilan keputusan wisatawan individual dipengaruhi oleh factor psikologis dan


sosial. Keputusan perjalanan berkaitan dengan meninggalkan rumah, kedestinasi mana, apa
yang harus dilakukan,bagaimana menuju ke sana, berapa banyakuang yang diperlukan,
berapa lama tinggal,tempat menginapnya dimana, tempat makan, dan dengan siapa bepergian
umumnya dibuat dengan memanfaatkan beberapa pendekatan yang berbeda.

Keputusan ini bisa terjadi secara rutin, atau wisatawan membuat keputusan dengan
cepat tanpa memerlukan waktu yang panjang, mencari informasi dan mengevaluasi alternatif
yang tersedia untuk membuat keputusan yang lebih luas, yang pada umumnya dimulai dari

1) Adanya kebutuhan atau keinginan berwisata,


2) Pengumpulan informasi dan evaluasi,
3) Keputusan Wisata,
4) Persiapan Perjalanan dan pengalaman berwisata, dan
5) Evaluasi kepuasan berwisata yang dipengaruhi oleh: profil wisatawan, kesadaran
perjalanan, fitur perjalanan, sumberdaya dan karakteristik destinasi.

(Abraham Pizam and Yoel Mansfeld. 2009).

Kajian empiris dalam pengambilan keputusan mengikuti dua perspektif yang berbeda.
Perspektif pertama. Efektifitas pengambilan keputusan yang terkait dengan sikap, keyakinan,
keterlibatan, persepsi risiko, sifat, dan kepribadian. Perspektif kedua, memprediksi
pengambilan keputusan, dan pilihan destinasi untuk maksimalisasi utilitas. (Anshul Garg.
2015. Travel Risks vs Tourist Decision Making).

b. Profil Pengunjung

Jumlah pengunjung dapat menunjukkan pertumbuhan pasar pariwisata secara


signifikan. Sebagai contoh misalnya saja pariwisata DIY pada tahun 2014 jumlah pengunjung
ke daya tarik wisata yang ada di DIY 3.091.967 orang, dan tahun 2015 meningkat menjadi
3.813.720 (pertambahan 721.753) orang, naik sebanyal 23%. Demikian juga wisatawan
mancanegara di tahun 2014 mencapai 254.213 orang dan pada tahun 2015 jumlah kunjungan
wisatawan mencapai 308.485 orang, naik sebesar 21% (Aris Riyanta, 2016). Pertumbuhan ini
membantu mempopulerkan kota Yogyakarta dan membantu mengimbangi masalah musiman
yang dihadapi oleh pelaku wisata di Kota Yogyakarta.

Kontribusi nilai ekonomi pasar pariwisata ini semakin diakui oleh semua pihak.
Definisi travel yang paling banyak digunakan adalah, perjalanan liburan pendek ke satu kota
atau destinasi wisata lainnya (Trew, J. and Cockerell, N. 2002). Mereka menciptakan atau
mengikuti lingkungan sosial dan budaya baru. Pertumbuhan perjalanan dapat dikaitkan
dengan sejumlah faktor, termasuk ekspansi maskapai penerbangan dengan biaya rendah (Low
Cost Carriers) dan kecenderungan liburan yang pendek mendorong orang sering melakukan
perjalanan. Faktor lain yang sama pentingnya adalah persepsi kota yang berubah sebagai
destinasi sebagai tempat transit untuk istirahat atau tujuan yang diinginkan oleh wisatawan itu
sendiri. Dalam kasus city tour merupakan aktivitas liburan yang mengunjungi satu kota,
sementara non city tour terdiri dari orang-orang yang melakukan perjalanan yang yang
melibatkan destinasi wisata lain yang lebih beragam. Profil wisatawan dapat dideteksi dari
geografis, demografis, psikografis, dan perilaku akan mempengaruhi jenis perjalanan dalam
mewakili pilihan liburan terutama yang lebih mudah diakses oleh calon wisatawan (Richter,
L.K. 2003). 

Profil dan perilaku pengunjung menunjukkan perbedaan akses informasi dalam


membuat pemesanan. Misalnya banyak wisatawan yang secara signifikan melakukan pesanan
paket wisata dengan OTA (On line Travle Agent). Selain itu, perilaku wisatawan cenderung
menampilkan pola pengambilan keputusan lebih bersifat impulsif (misal pesanan menit
terakhir dan tiket murah) memiliki pengaruh cukup besar terhadap keputusan mereka untuk
berwisata. City tour menunjukkan preferensi liburan yang jelas dalam jangka waktu yang
pendek, terutama untuk perjalanan berdurasi satu sampai tiga malam. Para pengunjung dapat
memahami atraksi dalam beberapa hari. Karakteristik penting lainnya adalah pola kedatangan
yang ditunjukkan oleh city  traveler yang sangat populer dimana orang datang dengan
pasangan atau terkadang dengan anak-anak mereka atau musim liburan sekolah. Di Indonesia
kecenderungan wisatawan domistik dan manca negara untuk melakukan kegiatan pariwisata
dalam jumlah yang signifikan pada musim yang berbebeda (Moore, Kevin. dkk. 2012).

c. Perilaku Pemesanan

Perilaku pemesanan (booking behavior) dalam Sava, Cipriana (2013) menunjukkan


dimana orang melakukan pembelian paket perjalanan. Dalam tiga kecenderungan:

1. Kebanyakan anggaran wisata digunakan untuk transportasi (termasuk menyewa


mobil) dan akomodasi. Pola perilaku pemesanan menit terakhir, menunjukkan
mayoritas orang membeli paket wisata kurang dari satu bulan sebelum keberangkatan
(perilaku impulsif) perilaku perjalanan ini, internet biasanya memainkan peran
penting dalam pengambilan keputusan yang relatif cepat. Berbeda dengan liburan
tahunan yang sering mengikuti pola pengambilan keputusan yang luas, dapat
dipahami,diteliti dan memesan dalam hitungan hari atau bahkan jam.
2.   Pelacakan informasi secara online dapat menampilkan secara signifikan selama
proses pengambilan keputusan berwisata secara keseluruhan. Orang mengandalkan
internet untuk mencari, mengevaluasi, dan pemesanan liburan mereka, kualitas
tawaran liburan lewat internet/web harus lebih mudah
diakses, jangan membuat calon wisatawan frustrasi saat mengakses informasi.
Keberhasilan perjalanan adalah komposit, semua titik sentuh layanan termasuk proses
pencarian informasi menjadi salah satu indikator penting kepuasan wisatawan secara
keseluruhan.
3. Dalam mengevaluasi keputusan berwisata bergerak dalam tahapan yang berbeda.
Dalam banyak kasus tidak ada diferensiasi yang jelas antara unsur-unsur pencarian
informasi, pilihan, dan pembelian.

Pada sejumlah orang, tiga tahap tersebut dilakukan hampir bersamaan dan ketika
memutuskan untuk menggunakan pemesanan secara online dan mencari penerbangan murah
ke destinasi dapat dilakukan dengan sangat cepat.

2.5 Karakteristik Psikografi Wisatawan

Karakteristik psikografis membagi wisatawan ke dalam kelompok-kelompok


berdasarkan kelas sosial, life-style dan karakteristik personal. Wisatawan dalam kelompok
demografis yang sama mungkin memiliki profil psikografis yang sangat berbeda.
Beragamnya karakteristik dan latar belakang wisatawan menyebabkan beragamnya keinginan
dan kebutuhan mereka akan suatu produk wisata. Pengelompokan-pengelompokan wisatawan
dapat memberi informasi mengenai alasan setiap kelompok mengunjungi objek wisata yang
berbeda, berapa besar ukuran kelompok tersebut, pola pengeluaran setiap kelompok,
“kesetiaannya” terhadap suatu produk wisata tertentu, sensitivitas mereka terhadap perubahan
harga produk wisata, serta respon kelompok terhadap berbagai bentuk iklan produk wisata.
Lebih lanjut, pengetahuan mengenai wisatawan sangat diperlukan dalam merencanakan
produk wisata yang sesuai dengan keinginan kelompok pasar tertentu, termasuk
merencanakan strategi pemasaran yang tepat bagi kelompok pasar tersebut (Ir. Ina Herliana
Koswara, M.Sc.)

Karakteristik wisatawan lokal

a. Royal/gemar belanja
Turis indonesia terkenal sangat royal mengeluarkan uang ketika berwisata.
Kemanapun dia pergi selalu menyempatkan belanja souvenir,oleh-oleh dan apa saja yang
sekiranya menarik bagi mereka. Alasannya membeli oleh-oleh cukup banyak adalah untuk
dibagi-bagi kenapa saudara dan tetangganya ditempat asalnya. Bahkan dia cenderung
merepotkan diri dengan barang belanjaannya, terkadang ketika di bandara, barang bawaannya
over limit dan kena tambahan biaya lagi.

Berbeda dengan turist asing, ketika datang ke sebuah objek wisata. Terlebih dahulu
adalah menikmati suasana tempat barunya. Sambil jalan-jalan dan mengabdikan melalui
kamera maupun camrecordnya. Bahkan turis asing ini betah berlama-lama berada ditempat
wisata, sambil menggali informasi tentang sejarah objek wisata tersebut kepada pemandu
wisata. Baru setelah waktunya kembali ketempat asalnya ia akan membeli beberapa oleh-oleh
dan mengirimnya lewat paket dari pada ia bawa sendiri. Sehingga disimpulkan turis asing
lebih mengutamakan ke praktisan dan kenyamanan selama berwisata.

b. Senang tour rombongan

Kebiasaan turis lokal lainnya adalah menyukai berpergian secara rombongan, bersama
teman-teman pergaulan/sekeluarga. Menyewa bus/mobil rental yang tujuannya agar
mengurangi biaya pengeluaran. Kalaupun wisatanya bermalam, mereka akan memilih
hotel/motel kecil atau bahkan menginap disalah satu rumah rekannya demi mengurangi
ppengeluaran. Selain itu berwisata ramai-ramai bagi sebagian orang itu lebih mengasyikan.
Kebiasaan ini sulit dijumpai pada turis asing. Mereka pergi sendirian atau erdua dengan
pasangannya saja.

c. Lebih menyukai tempat yang populer

Turis lokal biasanya ketika berwisata memutuskan objek yang sudah populer dan
banyak dikunjungi. Misalnya candi,kebun binatang,pantai atau pemandian umum. Selain itu
jarak tempat wisata dan rumahnya tak begitu jauh. Karakter demikian dimasukka dalam
kategori turis konservatif. Dia menyukai tempat-tempat yang sudah mapan terkenal. Mereka
kurang suka hal-hal yang sifatnya baru dan belum ada rekomendasi dari pihak lain. Mereka
tak begitu suka hal-hal yang bersifat spekulatif.
2.6 Bauran Pemasaran (Marketing Mix) untuk Jasa Pariwisata

Setelah pada arah strategis pemasaran pariwisata telah dirumuskan, maka keputusan
targeting, positioning, dan branding diwujudkan ke dalam bauran pemasaran (marketing
mix). Marketing mix ini dirancang dan dirumuskan sebagai operasionalisasi atau strategi
implementasi dari keputusan strategis pemasaran. Marketing mix dalam pemasaran
pariwisata meliputi 8P yang merupakan ekstensi dari 4P tradisional yang berlaku untuk
produk secara umum. Ke-delapan ‘P’ tersebut adalah product, price, place, promotion,
packaging, programming, people, dan partnership.

1) Product and Partnership (Produk dan Kemitraan)


Produk adalah segala sesuatunya yang dapat ditawarkan ke pasar untuk memenuhi
kebutuhan dan keinginan konsumen (Kotler dan Keller, 2009). Dalam industri pariwisata,
produk dapat dipahami dalam dua tingkatan sebagai berikut (Middleton, 1989).
(1) Produk wisata secara keseluruhan (total tourist products) yang meliputi
kombinasi dari keseluruhan produk dan jasa yang dikonsumsi oleh wisatawan
mulai dari dia meninggalkan rumah sampai pada dia kembali. Dalam hal ini
produk meliputi ide, suatu harapan atau gambaran mental (mental construct)
dalam benak konsumen saat penjualan produk wisata.
(2) Produk secara spesifik, yang meliputi produk komersial yang merupakan bagian
dari produk wisata keseluruhan, seperti akomodasi, transportasi, atraksi, daya
tarik wisata, dan fasilitas pendukung lainnya seperti persewaan mobil dan
penukaran uang asing.

Produk wisata yang didiskusikan dalam pemasaran pariwisata secara umum adalah
produk dalam definisinya yang pertama. Dalam konteks pembangunan kepariwisataan di
Indonesia, produk wisata dalam definisi yang kedua tercakup dalam pembangunan industri
pariwisata (yang meliputi 13 jenis usaha pariwisata yang menghasilkan produk pariwisata
tersebut). Jadi, total touristproductadalah serangkaian atau sepaket produk berwujud dan tidak
berwujud, yang berinti pada aktivitas berwisata di suatu destinasi. Paket produk ini
dipersepsikan oleh wisatawan sebagai suatu pengalaman, yang tersedia dengan harga tertentu
(Middleton, 1989).

Kemitraan pemasaran menjadi sangat relevan dalam pemasaran pariwisata. Konsep


relationshipmarketing (membangun, memelihara, dan meningkatkan relasi jangka panjang
dengan wisatawan, pemasok, dan perantara dalam traveltrade mendapatkan nilai strategisnya
dalam pembangunan pemasaran pariwisata. Kemitraan bisa berbentuk kerjasama promosi
(joint promotion) maupun kerjasama penjualan (sales cooperation) di antara pelaku usaha
maupun dengan pemerintah. Bentuk kerjasama bisa berdurasi pendek maupun perjanjian
kerjasama pemasaran jangka panjang, yang melibatkan penyedia produk lintas industri
maupun pemerintah lintas wilayah.

2) People (Sumber Daya Manusia)

Seperti telah disebutkan sebelumnya, produk wisata yang mengandung banyak


komponen jasa dan pelayanan. Oleh karena itu pengelolaan sumber daya manusia menjadi
tantangan tersendiri dalam pemasaran pariwisata. Service culture dan kreativitas packaging
dan programming (seperti yang didiskusikan di setelah bagian ini) membutuhkan pengelolaan
sumber daya manusia dan intellectual capital secara strategis. Dalam hal ini, pelatihan,
pengendalian kualitas, standardisasi kualifikasi dan sertifikasi kompetensi menjadi bagian
yang penting yang menentukan keberhasilan pemasaran suatu destinasi wisata.

3) Packaging and Programming (Pemaketan dan Perancangan Program)

Dalam industri pariwisata, packaging dan programming merupakan elemen yang ikut
menentukan daya saing produk wisata. Serangkaian produk wisata yang dikemas dan dijual
dengan menarik akan membentuk pengalaman berwisata yang menarik pula. Packaging
adalah kombinasi dari jasa dan daya tarik wisata yang saling berkaitan dalam satu paket
penawaran harga. Programming adalah suatu teknik yang berkaitan dengan packaging, yaitu
pengembangan aktivitas tertentu, acara, atau program untuk menarik dan meningkatkan
pembelanjaan wisatawan, atau memberikan nilai tambah pada paket atau produk wisata
(Morrison, 2010). Dalam era experience economy ini, kreativitas packaging dan
programming menjadi pembentuk daya saing suatu daya tarik wisata.

4) Place (Distribusi dan Penempatan Produk Wisata)

Pemasaran pariwisata perlu memahami karakteristik pendistribusian produk wisata.


Dengan karakteristik produk wisata yang kaya nuansa jasa, tidak ada distribusi fisik dalam
industri pariwisata. Usaha produk wisata bisa menyediakan produknya langsung kepada
wisatawan (direct distribution) atau melalui jasa perantara perdagangan produk wisata (travel
trade), baik secara online maupun offline. Distribusi langsung terjadi jika wisatawan
melakukan reservasi dan pembelian produk langsung kepada penyedia jasa, misalnya, hotel
atau maskapai penerbangan. Selain memegang peran promosi, reservasi, dan penyediaan jasa
langsung, penyedia jasa pariwisata juga bisa menempatkan produknya melalui perantara
(indirect distribution) yaitu biro perjalanan atau wholesaler. Hal ini menjadikan sistem
distribusi dalam industri pariwisata yang rumit dan unik. Unik karena pengaruh cukup kuat
dari perantara penjualan produk dan internet pada keputusan wisatawan.

Kompleks karena keragaman usaha pariwisata dan pengelola daya tarik wisata dan
interaksi di antara mereka dalam distribusi produk wisata. Selain itu, distribusi produk wisata
dalam era internet diwarnai dengan menguatnya distribusi produk secara online, yaitu
misalnya yang disediakan oleh Hotels.com, Expedia.com, dan Travelocity.com. Hal ini
menciptakan tantangan baru bagi perantara (intermediaries) yang menjalankan bisnis secara
konvensional untuk menciptakan nilai tambah baru dengan mengubah model bisnis dan
proposisi nilainya. Biro perjalanan yang tetap hanya menjual tiket perlu menciptakan nilai
tambah dalam pengemasan paket perjalanan wisata yang menarik dan berkualitas.

5) Promotion

Promosi atau juga dikenal dengan komunikasi pemasaran (marketing


communications) adalah berbagai cara untuk menginformasikan, membujuk, dan
mengingatkan konsumen – secara langsung maupun tidak langsung – tentang suatu produk
atau brand yang dijual (Kotler dan Keller, 2009: 510). Dalam lingkungan komunikasi yang
baru, walaupun iklan seringkali menjadi elemen sentral dalam program komunikasi
pemasaran, sekarang ini tidak menjadi satu-satunya dan bukan yang terutama dalam
membangun brand suatu destinasi atau memasarkannya untuk menarik wisatawan. Pemasaran
pariwisata harus mempertimbangkan berbagai media dan cara baru untuk berkomunikasi
dengan wisatawan.

6) Harga (Price)

Harga adalah elemen dalam bauran pemasaran yang tidak saja menentukan
profitabilitas tetapi juga sebagai sinyal untuk mengkomunikasikan proposisi nilai suatu
produk/destinasi wisata. Pemasar produk wisata perlu memahami aspek psikologis dari
informasi harga (Kotler dan Keller, 2010), yang meliputi harga referensi (reference price),
inferensi kualitas berdasarkan harga (price-quality inferences), dan petunjuk harga
(pricecues). Harga referensi adalah pengetahuan subjektif konsumen tentang harga yang
dianggap wajar, dimana pengetahuan ini didapatkan konsumen dari pengalaman membeli
sebelumnya, membandingkannya dengan harga produk pesaing, rekomendasi orang lain, atau
hanya berdasarkan ingatan dan keyakinan. Berdasarkan harga referensi ini, konsumen akan
memutuskan mahal/murahnya harga. Aspek psikologis lain adalah harga yang
mengkomunikasikan kualitas. Konsumen seringkali secara psikologis menganggap bahwa
harga yang mahal berarti produk yang berkualitas. Oleh karena itu, pemasar harus
menetapkan harga yang tepat yang memberi sinyal kualitas tertentu dari produk yang
ditawarkan. Sementara itu, pricecues juga menunjukkan pemrosesan harga secara subjektif
dan psikologis oleh konsumen, di mana harga dengan angka terakhir ganjil dipersepsikan
lebih murah (sebagai contoh, $299 adalah jauh lebih murah dibandingkan $300). Pemasangan
tanda Diskon atau Sale (jika tidak dipakai berlebihan) juga bisa menghasilkan persepsi harga
yang lebih murah.

2.7 Segmentasi Pasar Pariwisata

Dalam strategi pemasaran pariwisata, beberapa langkah penting yang harus dilakukan
adalah segmentasi pasar, penentuan pasar sasaran, positioning dan branding (Meidan, 1989).
Segmentasi pasar adalah proses menggolongkan konsumen ke dalam kelompok-kelompok
berdasarkan kebutuhan yang berbeda, karakteristik atau perilaku, di mana setiap kelompok
bisa dipilih sebagai pasar sasaran yang akan diraih dengan strategi bauran pemasaran tertentu
(Kotler dan Keller, 2009). Setelah segmen-segmen pasar diidentifikasi, strategi pemasaran
kemudian dapat dirumuskan untuk dapat menghasilkan daya tarik khusus bagi segmen
sasaran (target market). Pengetahuan tentang keberadaan segmen-segmen pasar diharapkan
bisa memberikan pandangan bahwa wisatawan mempunyai karakteristik masing-masing, dan
sebuah tujuan wisata bisa memilih dan menyasar kelompok wisatawan yang dipandang
paling menguntungkan. Strategi pemasaran yang dapat dibuat meliputi pengembangan tempat
dan aktivitas wisata, akomodasi, akses ke tujuan-tujuan wisata, sarana-sarana pendukung
pariwisata, dan juga komunikasi pemasaran pariwisata yang efektif dan efisien. Sebagai
contoh, jika kelompok wisatawan yang disasar mempunyai preferensi yang tinggi akan
aktivitas petualangan maka usaha pengembangan desa wisata merupakan strategi yang tepat
untuk diarahkan pada segmen tersebut. Strategi segment marketing semacam ini merupakan
strategi yang lebih terfokus dibandingkan dengan strategi mass tourism.

Strategi masstourism biasanya akan dipilih jika segmen-segmen pasar yang tertarik
pada suatu destinasi wisata tidak teridentifikasi. Dengan kata lain, wisatawan yang disasar
adalahtheaveragetraveler atau wisatawan yang diasumsikan tidak mempunyai minat khusus.
Strategi ini sering menyebabkan pemburuan kuantitas kunjungan, dan bukannya kualitas.
Kualitas didefinisikan dalam dua hal, yaitu wisatawan dengan minat khusus dan yang
apresiatif pada integritas produk wisata, masyarakat lokal, dan lingkungan, dan sering
membelanjakan lebih banyak uang saat berwisata. Strategi untuk memilih satu atau beberapa
kelompok wisatawan disebut differentiatedmarketing (Kotler dan Keller, 2009). Dengan
strategi ini, sebuah destinasi wisata atau usaha pariwisata menyasar beberapa segmen atau
ceruk pasar (niche market) dan kemudian merancang produk yang disesuaikan dengan
masing-masing segmen. Hasilnya adalah kelompok wisatawan yang lebih terbatas tetapi akan
lebih mendatangkan keuntungan. Posisi saing sebuah destinasi wisata seringkali akan lebih
kuat karena dikembangkan dengan konsep yang jelas dan terarah.

Segmentasi tidak bisa dilakukan dengan sederhana dengan menggunakan kriteria


tunggal. Seorang pemasar biasanya menggunakan beberapa dasar dalam melakukan
segmentasi untuk bisa menggambarkan struktur pasar dengan lebih baik. Ada beberapa dasar
segmentasi pasar yang sering dipakai, yaitu segmentasi secara demografis, geografis,
perilaku, dan psikografis, sebagai berikut:

1) Segmentasi secara demografis membagi pasar menjadi kelompok-kelompok


berdasarkan umur, jenis kelamin, siklus hidup, pendapatan, pekerjaan, tingkat
pendidikan, agama, dan kelompok etnis. Dasar pengelompokan secara demografis
merupakan dasar pengelompokan pasar yang paling populer dan yang paling mudah
diukur, karena kebutuhan dan selera konsumen memang sangat dipengaruhi oleh
karakteristik demografisnya. Sebagai contoh, kebutuhan dan selera konsumen akan
berubah seiring dengan pertambahan usia dan perubahan siklus hidup. Kebutuhan saat
anak-anak, remaja, dan dewasa akan banyak mengalami perubahan demikian juga
sebelum dan setelah menikah, dan seterusnya. Dalam segmentasi pasar, karakteristik
demografis hampir selalu menyertai dasar segmentasi lainnya. Walaupun dasar-dasar
segmentasi yang baru telah bermunculan (termasuk karakteristik psikografis),
karakteristik demografis dianggap sebagai dasar pengelompokan yang sangat berarti
dan terpasang dengan kuat (embedded) dalam semua riset pemasaran.
2) Segmentasi secara geografis berarti pembagian wisatawan ke dalam kelompok-
kelompok berdasarkan unit geografis, seperti asal negara, provinsi, kota, atau wilayah
tertentu. Dasar segmentasi ini mengasumsikan bahwa proksimitas (kedekatan
wilayah) berperan penting dalam pengambilan keputusan. Kedekatan wilayah
menyebabkan kesamaan selera dan kemudahan akses ke penyedia jasa. Untuk
wisatawan mancanegara, karakteristik negara asal seringkali cukup kuat sebagai
faktor pembeda antara wisatawan dari suatu negara dari negara lainnya. Akan tetapi,
hal ini tidak terlalu kuat untuk kasus wisatawan nusantara.

Segmentasi secara perilaku menggolongkan wisatawan berdasarkan kesamaan


pengetahuan, sikap, tingkat penggunaan, maupun respons terhadap suatu produk. Contoh
dasar penggolongan yang biasa digunakan adalah waktu konsumsi/melalukan perjalanan,
yaitu misalnya saat perayaan Idul Fitri banyak daerah yang dikunjungi pemudik dari kota lain
dan ada daya tarik wisata (misalnya: pantai dan kebun binatang) yang secara tradisional
dikunjungi. Segmentasi berdasarkan frekuensi perjalanan termasuk dalam segmentasi
perilaku, sementara manfaat (benefit segmentation) sering dimasukkan dalam baik
segmentasi secara perilaku maupun segmentasi psikografis. Segmentasi berbasis karakteristik
psikografis menghasilkan kelompok-kelompok wisatawan yang mempunyai gaya, cara, dan
selera berwisata yang berbeda. Karakteristik psikografis bisa dianggap sebagai gaya hidup
dan nilai yang dianut seseorang, dan akan menentukan preferensi dan cara menikmati suatu
produk atau jasa. Dalam perkembangannya, segmentasi psikografis menggunakan dasar
VALS (Values, Activities, and Lifestyles) untuk menggolong-golongkan konsumen.

Definisi psikografi sendiri telah mengalami evolusi dan baru setelah tahun 1960-an
secara formal didefinisikan sebagai penggunaan faktor psikologis, sosiologis, dan
antropologis, seperti manfaat yang diinginkan (dari perilaku yang dipelajari), konsep diri, dan
gaya hidup untuk menentukan bagaimana pasar bisa disegmentasikan berdasarkan pada
kecenderungan kelompok-kelompok dalam pasar – dan alasan mereka – untuk membuat
keputusan tertentu tentang produk, orang, ideologi, atau membentuk sikap dan menggunakan
suatu medium tertentu. Segmentasi pasar berdasarkan dasar gaya hidup atau VALS (Values,
Activities, and Lifestyles) adalah dasar pembagian pasar yang paling relevan digunakan dalam
memasarkan destinasi pariwisata yang berbasis nilai-nilai berkelanjutan. Konsumen hijau
pada umumnya dan wisatawan budaya (cultural tourists) atau wisatawan yang mengunjungi
destinasi alam dan budaya (geotourists) adalah jenis atau tipe wisatawan yang menjadi
sasaran pasar utama untuk destinasi dan produk-produk wisata yang berbasis nilai-nilai
berkelanjutan. Penelitian dan tren menunjukkan bahwa wisatawan jenis ini semakin banyak
dan jumlahnya tumbuh relatif pesat.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Permintaan pariwisata adalah jumlah total dari orang yang melakukan perjalanan
untuk menggunakan fasilitas dan pelayanan wisata di tempat yang jauh dari tempat
tinggal dan tempat kerja. Permintaan pariwisata berpengaruh terhadap semua sektor
perekonomian.
2. Konsep permintaan merupakan hubungan antara jumlah barang yang diminta (Qd)
dengan harga (P) berbagai tingkat harga. Permintaan pariwisata juga didasarkan pada
anggaran belanja yang dimilikinya, hal ini merupakan kunci dari permintaan
pariwisata.
3. Wisatawan datang ke suatu tempat sangat ditentukan oleh motivasi dan keinginannya.
Motivasi wisatawan untuk berkunjung di suatu tempat akan sangat dipengaruhi oleh
persepsinya mengenai produk wisata yang ada
4. Pengambilan keputusan wisatawan individual dipengaruhi oleh factor psikologis dan
sosial. Profil dan perilaku pengunjung menunjukkan perbedaan akses informasi dalam
membuat pemesanan. Setelah itu wisatawan dapat menentukan tempat pembelian
paket wisata dengan tepat.
5. Beragamnya karakteristik dan latar belakang wisatawan menyebabkan beragamnya
keinginan dan kebutuhan mereka akan suatu produk wisata. Pengelompokan-
pengelompokan wisatawan dapat memberi informasi mengenai alasan setiap
kelompok mengunjungi objek wisata yang berbeda.
6. Keputusan targeting, positioning, dan branding diwujudkan ke dalam bauran
pemasaran (marketing mix). Marketing mix ini dirancang dan dirumuskan sebagai
operasionalisasi atau strategi implementasi dari keputusan strategis pemasaran.
7. Pengetahuan tentang keberadaan segmen-segmen pasar diharapkan bisa memberikan
pandangan bahwa wisatawan mempunyai karakteristik masing-masing, dan sebuah
tujuan wisata bisa memilih dan menyasar kelompok wisatawan yang dipandang paling
menguntungkan.
DAFTAR PUSTAKA

Afrilliani, Reggina. Karakteristik Dan Jenis Wisatawan. Diakses pada 17 Maret 2020. Dapat
di lihat pada: https://www.academia.edu/14612347/Karakteristik_Wisatawan

Case, Karl E. dan Ray. C Fair. 2007. Prinsip-Prinsip Ekonomi, Edisi Kedelapan Jilid 1.
Jakarta: Erlangga.

Karyono, A.Hari. 1997. Kepariwisataan. Jakarta: Grasindo.

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. 2011. Implementasi dan


Implikasi Kelembagaan Pemasaran Pariwisata yang Bertanggunggungjawab.
Jakarta: PhinusBook.
Kotler, Philip dan Kevin L. Keller. 2009. Marketing Management. New Jersey: Pearson
Education. Edisi 13.
Middelton, Victor. 1989. Tourist Product n Tourism Marketing and Management. Prentice
Hall International.
Mulyana, Indra. 2009. Pasar Pariwisata. Ciamis.

Rachmadi, Hari. 2016. Model Pengambilan Keputusan Berwisata. Jurnal media wisata. Vol
14 (2). Diakses pada 17 Maret 2020. Dapat dilihat pada:

https://www.academia.edu/35791998/MODEL_PENGAMBILAN_KEPUTUSA
N_BERWISATA

Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung. 2008. Teori Ekonomi Makro. Jakarta: LPFEUI.

Santi, Faurani. 2014. Analisis Aliran Perdagangan Pariwisata Internasional Dan


Dampaknya Terhadap Pariwisata Indonesia. Universitas Terbuka. 1-25.

Sinclair, M. Thea and Stabler, Mike. 1997. Economics of Tourism, Routledge. London.

Suprapto, Aris. 2005. Analisis Penawaran Dan Permintaan Wisata Dalam Pengembangan
Potensi Pariwisata Di Keraton Surakarta Hadiningrat. Diss. program
Pascasarjana Universitas Diponegoro.

Yoeti, Oka A, 2008. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta: Pradnya


Paramita.

Anda mungkin juga menyukai