“STANDAR KINERJA”
Disusun Oleh:
FAKULTAS BISNIS
2020
B. STANDAR KINERJA DAN EVALUASI KINERJA
1. Pengertian
Sepanjang sejarah kehidupannya, manusia selalu dikontrol dan diatur oleh sejumlah
standar. Standar agama menentukan perilaku manusia yang seharusnya dalam hubungan
dengan tuhannya dan dalam hubungan dengan sesama makhluk tuhan. Standar moral
mengatur baik buruknya manusia sebagai manusia. Standar perilaku yang dinamakan
kode etik atau cerdo mengatur perilaku yang baik dan dapat diterima, dan perilaku buruk
yang tidak dapat diterima dalam suatu organisasi. Standar industri Indonesia dan standar
international organization menentukan kualitas barang dan jasa yang baik. Dengan
standar-standar tersebut, manusia dapat diprediksi akan baik.
Standar memiliki batas ukuran minimal dan maksimal. Standar minimal adalah
standar yang menentukan kualitas minimal yang harus ada atau terjadi. Standar
pendidikan merupakan standar minimal standar yang harus dicapai oleh proses
pendidikan dan pembelajaran. Standar maksimal adalah nilai maksimal sesuatu. Standar
obat merupakan standar maksimal dokter memakan/meminum obat 3 kali sehari dengan
ukuran tertentu, misalnya tablet atau sendok makan.
Dalam evaluasi kinerja, adalah standar yang disebut sebagai standar kinerja
(performance standard). Evaluasi kinerja tidak mungkin dilaksanakan dengan baik tanpa
standar kinerja. Esensi evaluasi kinerja adalah membandingkan kinerja ternilai dengan
standar kinerjanya. Jika evaluasi kinerja dilaksakan tanpa standar kinerja, hasilnya tidak
mempunyai nilai. Misalnya, salah satu kelemahan dasar evaluasi pegawai di Indonesia –
Daftar Penilaian Pekerja Pegawai Negeri (DP3) – adalah tidak ada standar kinerja
pegawai. Pegawai departemen bertugas mengurus mercusuar ditengah laut dinilai
dengan instrument yang sama dengan pegawai perdagangan atau guru dan dosen yang
mengajar. Perbedaan indikator DP3 pegawai negeri yang menjabat direktur jendral suatu
departemen (Eselon I dengan pangkat golongan iv e) dengan pegawai negeri golongan I
(dengan pangkat I c) hanyalah penilaian indikator kepemimpinan yang diterapkan pada
direktur jendral.
Para pakar telah mengemukakan definisi mengenai standar kinerja. Richard I.
Henderson (1984) mendefinisikan standar kinerja sebagai berikut.
“A set of performance standards describes the results that should exist upon the
satisfactory completion of a job.”
[“Satu set standar kinerja melukiskan hasil-hasil yang harus ada setelah penyelesaian
suatu pekerjaan dengan memuaskan.”]
Standar kinerja adalah tolok ukur minimal kinerja yang harus dicapai karyawan
secara individual atau kelompok pada semua indikator kinerjanya, dalam definisi ini
standar kinerja adalah tolak ukur minimal, artinya jika prestasi kinerja karyawan
dibawah standar kinerja minimal tersebut, maka kinerjanya tidak dapat diterima, buruk,
atau sangat buruk. Standar kinerja meliputi standar untuk semua indikator kinerja.
Misalnya, jika indikator seorang pegawai kuantitas hasil kerja, kualitas hasil kerja,
kejujuran dan loyalitas maka standar kinerja menentukan tolak ukur indikator kinerja
tersebut.
Standar kinerja dapat menentukan standar kinerja untuk individual atau standar
kinerja sekelompok karyawan atau tim kerja yang bekerja sama dalam suatu tim kerja.
Disejumlah perusahaan, seperti PT. PLN, kinerja unit kerja juga dinilai disamping
kinerja individu karyawan.
Dalam sistem evaluasi kinerja MBO, standar kinerja mencermikan objektif dari
pegawai karena objektif merupakan tolak ukur hasil kerja yang dikur pada akhir tahun.
1. Karyawan 5. Hasil
melaksanakan 2. Kinerja 3. Evaluasi
Evaluasi
pekerjannya Karyawan Kinerja
Kinerja
4. Instrumen
Kinerja: Alat
Prosedur Kerja: untuk
menjaring dan
Pedoman
mendokument
bagaimana
asi kinerja
melaksanakan
pekerjaan agar
berhasil Standar Kinerja:
Tolok Ukur Kinerja
Faktor lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan standar kinerja adalah
alat, biaya, dan risiko dalam melaksanakan dimensi pekerjaan. Seorang teller Bank Perkreditan
Rakyat (BPR yang belum menggunakan automated banking system (computerized transaction
dan mesin penghitungan uang), kecepatan melayani penarikan tabungan akan lebih lambat
daripada teller bank umum yang sudah menggunakan sistem tersebut. Oleh karena itu, standar
penarikan tabungan di BPR 5 menit. Standar kinerja juga perlu memperhatikan biaya (cost)
melaksanakan pekerjaan Misalnya, jika layanan tersebut menggunakan waktu tiga menit, bank
akan mengeluarkan Rp 300 untuk upah tenaga dan Rp 75 untuk listrik komputer, jika layanan
dilaksanakan selama dua menit, biaya keduanya hanya Rp 250. Atas dasar pertimbangan biaya
layanan, bank kemudian menentukan standar kecepatan layanan penarikan tabungan dua menit.
Dengan jam kerja delapan jam sehari, seorang teller diperhitungkan dapat melayani berapa orang
dalam sehari.
Pertimbangan risiko dalam penentuan kinerja, misalnya dilakukan dalam pekerjaan bus
kota. Seorang sopir bus harus membawa bus berputar dari stasiun bus ke beberapa halte,
kemudian pulang kembali ke stasiun semula. Kecepatan sopir bus di Indonesia dinilai dengan
jumlah rit atau jumlah setoran. Sistem ini menimbulkan risiko kecelakaan lalu lintas,
pelanggaran peraturan lah lintas, dan cepat rusaknya bus. Di negara maju, kecepatan supir bus
mengemudikan bus ditentukar maksimalnya, kemudian ditentukan harus sampai di setiap halte
pada jam berapa.
Secara teoretis, jenis pekerjaan yang berbeda standar kinerjanya juga berbeda. Pekerjaan
yang berbeda mempunyai perbedaan tujuan, indikator kinerja, proses pelaksanaan, dan keluaran
kinerjanya misalnya, sopir yang melayani presiden direktur perusahaan, standar kinerjanya harus
berbeda dengan standar kinerja sopir unit distribusi produk yang tugasnya mendistribusikan
produk ke agen atau pengecer produk. Tujuan kinerja sopir presiden direktur adalah membantu
mobilitas presiden direktur dalam melaksanakan tugasnya. Sementara, tujuan kinerja sopir unit
distribusi produk adalah mendistribusikan produk tepat waktu.
Akan tetapi, jika prinsip tersebut diterapkan, sistem evaluasi kinerja akan menjadi rumit,
mahal, dan sulit pelaksanaannya karena jumlah jenis pekerjaan di suatu organisasi besar sangat
banyak. Sebagai contoh, jenis pekerjaan di lembaga pemerintah Indonesia jumlahnya ribuan.
Oleh karena itu, DP3 pegawai negeri Indonesia menggunakan indikator kinerja yang sama.
Perbedaannya, mereka yang menduduki jabatan eselon dinilai indikator kepemimpinannya.
Demikian juga dengan jabatan fungsional, penentuan kenaikan pangkat memerlukan penilaian
indikator angka kredit yang berbeda antara jenis jabatan fungsional yang satu dengan jabatan
fungsional lainnya.