Anda di halaman 1dari 54

Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 1

BAB I
BATUAN BEKU NONFRAGMENTAL

1.1. MAGMA
1) Pengertian
Magma merupakan campuran silikat pijar dan bersifat mobile dapat bergerak. Magma
memiliki suhu berkisar 1200°C - 700° C, dapat lebih tinggi pada magma yang basa atau
3
lebih rendah pada magma yang asam. Densitas magma berkisar 2,2 – 3,0 g/cm dan
hampir sebanding dengan batuan kristalin yang dihasilkannya. Magma primer terbentuk
pada pelelehan sebagian batuan pada mantel bagian atas, yang kemudian naik dan
tertahan di kerak bumi sebagai dapur magma.
Lelehan silikat sebagian besar terdiri dari Si dan O, dengan jumlah yang signifikan dari
beberapa unsur lain yaitu Al, Ca, H, Na, Fe, Mg, K dan lain-lain. Magma sangat jarang
dijumpai dalam bentuk lelehan sepenuhnya, namun terdiri dari campuran berbagai fase
padatan, cairan/lelehan, dan gas; bergantung suhu dan tekanannya. Oleh karena itu,
lelehan hanya sebagian dari keseluruhan magma, namun selalu hadir dan memberikan sifat
mobilitas magma tersebut. Volatil dalam magma, seperti H2O, CO2, dan SO2 adalah gas
dalam kondisi dekat dengan atmosfer. Namun, pada dapur magma dengan kedalaman
lebih dari 1 km di bawah permukaan, volatil berupa fluida terlarut dalam lelehan magma
(Best, 2002).

2) Pembentukan Magma
Pembentukan magma banyak berkaitan dengan tektonik lempeng. Secara garis besar
terdapat 5 titik terbentuknya magma. Tiap titik tersebut terbentuk oleh proses yang berbeda
serta menghasilkan produk yang berbeda.

Gambar 1.1. Pembentukan magma kaitannya dengan tektonik lempeng (Schmincke, 2004)

a. MOR (Mid Oceanic Ridge)


Merupakan busur magmatisme yang terbentuk dari pemekaran kerak samudra.
Sumber magma dari busur ini adalah pelelehan sebagian dari mantel bumi akibat
pengurangan tekanan. Sifat magma yang dihasilkan adalah basaltik. Contohnya
adalah di East Pacific Rise.
b. Continental Rift Zone
Seperti MOR, busur ini juga disebabkan oleh aktifitas pemekaran lempeng, hanya
saja terjadi pada lempeng benua. Magma yang berasal dari pelelehan sebagian
mantel dapat berasimilasi dengan kerak benua sehingga magma yang dihasilkan
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 2
beragam dari basaltik, andesitik, hingga riolitik. Contohnya adalah di bagian timur
Benua Afrika (East African Rift)
c. Volcanic Island Arc
Busur magmatisme ini terbentuk akibat adanya tumbukan antara dua lempeng
samudra. Gesekan antar lempeng yang terjadi menghasilkan panas yang
melelehkan beberapa bagian dari kedua kerak samudra. Pelelehan tersebut
kemudian membentuk magma yang bersifat basaltik. Contohnya adalah busur
vulkanik di Jepang dan Filipina.
d. Active Continental Margin
Busur ini terbentuk akibat adanya tumbukan lempeng benua dan samudra.
Pelelehan sebagian disebabkan oleh adanya perbedaan komposisi batuan yang
lebih kaya air dari kerak benua, sehingga pelelehan lebih mudah terjadi. Magma
yang dihasilkan umumnya bersifat basaltik hingga andesitik. Jika berasimilasi
dengan kerak benua dan terdiferensiasi lebih lanjut, dapat menghasilkan magma
riolitik. Contohnya adalah di Busur Vulkanik Sumatra di Indonesia.
e. Oceanic Intraplate (Hotspot)
Oceanic intraplate merupakan busur magma yang terjadi secara tiba tiba, tanpa
adanya pergerakan lempeng tektonik. Magma tersebut terbentuk sebagai akibat
dari perpindahan panas secara konveksi yang terakumulasi dan menerobos kerak
samudra. Magma yang dihasilkan pada busur ini adalah basaltik. Contohnya
adalah gunungapi di Hawaii.

3) Diferensiasi Magma
Diferensiasi magma adalah proses yang mengubah komposisi magma asal/ primitif/
induk menjadi magma turunan. Sebagai contoh, magma asal basaltik mengalami proses
lanjutan yang mengubahnya menjadi magma andesitik. Diferensiasi terjadi di dapur
magma yang mana magma mengalami pendinginan perlahan di dalamnya. Terdapat tiga
proses utama yang dalam diferensiasi magma:
a. Kristalisasi Fraksional
Merupakan proses paling penting dalam diferensiasi. Yaitu pemisahan kristal
mineral yang telah terbentuk dari lelehan magma keseluruhan, sehingga
lelehan magma yang tersisa akan memiliki komposisi yang berbeda.
Pemisahan kristal umumnya terjadi karena mengandap di bagian bawah dapur
magma (gravitational settling). Urutan kristalisasi fraksional pada mineral
umumnya sesuai dengan Seri Reaksi Bowen.
b. Asimilasi/ Kontaminasi
Asimilasi terjadi akibat adanya lelehan magma panas yang menerobos kerak
yang dingin, sehingga melelehkan sebagian kerak dan merubah komposisi
magma asal. Sebagai contoh, magma basaltik yang tertahan lama di kerak
benua granitik yang lebih asam, sehingga merubah komposisi magma menjadi
andesitik.
c. Pencampuran Magma
Terjadi ketika dua atau lebih magma bertemu dan bercampur, membentuk
komposisi magma baru. Dapur magma merupakan sistem yang terbuka,
sehingga magma dari sumber lain dapat bergerak ke dalamnya, atau terisi
kembali dari bawah.

4) Jenis dan Karakteristik Magma


Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 3
Karakteristik magma yang paling utama adalah komposisi, yang menunjukkan sifat
kimia dan berimplikasi pada sifat fisikanya. Berdasarkan komposisi SiO 2, magma dapat
dibedakan menjadi:
a. Magma Basaltik
Komposisi SiO2 sebanyak 45 – 55 wt%, dengan komposisi unsur Fe, Mg, Ca
3
yang tinggi, sedangkan K dan Na rendah (basa). Densitas 2,6 – 2,8 g/cm
dengan temperatur 1000° – 1200° C. Viskositas cenderung rendah.
b. Magma Andesitik
Komposisi SiO2 55-65 wt%, dengan kandungan Fe, Mg, Ca, Na, K yang sedang
3
(intermediate). Densitas 2,4 – 2,6 g/cm dengan temperatur 800° – 1000° C.
Viskositas menengah.
c. Magma Riolitik
Komposisi SiO2 65-75%, dengan kandungan Fe, Mg, dan Ca yang rendah,
3
sedangkan kandungan K dan Na yang tinggi (asam). Densitas 2,1 – 2,3 g/cm
dengan temperatur 650° – 800° C. Viskositas cenderung tinggi.

1.2. BATUAN BEKU NON FRAGMENTAL


1) Pengertian
Batuan beku adalah batuan yang terbentuk langsung dari proses pembekuan magma
baik secara ekstrusif (membeku di luar permukaan bumi) maupun secara intrusif (membeku
di dalam permukaan bumi. Batuan beku nonfragmental merupakan batuan beku yang
terbentuk secara primer dari pendinginan magma, menghasilkan kristal-kristal mineral dan/
atau gelas vulkanik dengan struktur maupun tekstur tertentu. Berdasarkan genesis dan
tempat terbentuknya, batuan beku nonfragmental dapat dibagi menjadi:
a. Batuan Beku Intrusif, membeku di dalam bumi dengan waktu pendinginan
relative lama. Dibagi menjadi dua:
 Batuan beku plutonik/ intrusi dalam, membeku sangat jauh di bawah
permukaan bumi sehingga menghasilkan kristal mineral berukuran
kasar.
 Batuan beku hipabisal/ intrusi dangkal, membeku pada kedalaman
dangkal hingga menengah sehingga kristal mineralnya berukuran halus
– kasar.
b. Batuan Beku Ekstrusif/Vulkanik, membeku di permukaan bumi secara relative
cepat sehingga menghasilkan kristal mineral halus hingga gelasan.

Berdasarkan bentuknya, batuan beku nonfragmental dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1.2. Bentuk batuan beku nonfragmental


Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 4

2) Struktur
Struktur adalah kenampakan batuan secara makroskopis dan dalam skala luas yang
meliputi kedudukan, kenampakan, dan hubungannya antar bagian-bagian batuan yang
berbeda. Pada batuan beku struktur yang sering ditemukan adalah:
a. Masif yaitu bila batuan pejal, tanpa retakan ataupun lubang-lubang gas
b. Jointing yaitu bila batuan tampak mempunyai retakan-retakan. Struktur ini umumnya
hanya tampak di lapangan. Terbagi menjadi struktur kekar kolom (columnar joint) dan
kekar lembaran (sheeting joint).
c. Vesikuler yaitu dicirikan dengan adanya lubang-lubang gas
 Skoriaan yaitu bila lubang lubang gas tidak saling berhubungan
 Pumisan yaitu bila lubang-lubang gas saling berhubungan
d. Aliran yaitu bila ada kenampakan aliran dari kristal-kristalnya
e. Amigdaloidal bila lubang-lubang gas telah terisi oleh mineral sekunder

3) Tekstur
Tekstur adalah kenampakan yang mencerminkan kondisi di dalam batuan. Pada batuan
beku non fragmental, tekstur meliputi tingkat kristalisasi, ukuran kristal, bentuk kristal,
granularitas dan hubungan antar kristal (fabric). Tekstur batuan beku dapat memberikan
informasi mengenai sejarah pembekuan yang berkaitan dengan kecepatan pendinginan,
lokasi pembekuan, proses yang terjadi selama pembekuan dan sifat magma. Pengamatan
tekstur meliputi:
a. Tingkat kristalisasi
Merupakan tingkatan pembentukan kristal pada batuan. Semakin kristalin batuan
beku, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk membentuk batuan. Tingkat
kristalisasi terbagi 3, yaitu
- Holokristalin yaitu bila seluruh batuan tersusun atas kristal-kristal mineral
- Hipokristalin yaitu bila batuan beku terdiri dari sebagian kristal dan sebagian
gelas
- Holohyalin yaitu bila seluruh batuan tersusun atas gelas

b. Ukuran Kristal
Ukuran kristal merupakan manifestasi dari kecepatan pembekuan suatu magma,
semakin besar kristal mineral yang terbentuk menunjukkan semakin lambat laju
pembekuan magma yang terjadi.

Tabel 1.1 Klasifikasi ukuran butir kristal mineral


Cox, Price, Harte W.T. Huang Heinrich
Halus < 1 mm < 1 mm < 1 mm
Sedang 1-5 mm 1-5 mm 1-10 mm
Kasar > 5 mm 5-30 mm 10-30 mm
Sangat Kasar > 30 mm > 30mm

c. Granularitas
Merupukan hubungan antara kristal penyusun batu terhadap kristal yang lain
dalam satu batu.
- Equigranular merupakan tekstur dimana kristal penyusun batuan memiliki
ukuran yang sama (seragam).
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 5
o Fanerik granular yaitu apabila kristal mineral dapat dibedakan dengan
mata telanjang dan berukuran seragam. Contoh: granit dan gabro.
Tekstur ini terjadi akibat pembekuan magma yang berlangsung secara
lambat sehingga menghasilkan kristal mineral yang seragam.
o Afanitik yaitu apabila kristal mineral sangat halus sehingga tidak dapat
dibedakan dengan mata telanjang. Contoh : basalt. Tekstur ini terjadi
akibat pembekuan magma yang berlangsung dengan cepat sehingga
menghasilkan kristal yang afanit (berukuran halus)
- Inequigranular merupakan tekstur dimana kristal penyusun batuan memiliki
ukuran yang berbeda, terdapat kristal mineral yang lebih besar (fenokris) dan
massa dasar. Tekstur ini terjadi apabila ada beda waktu pembentukan
penyusunnya, yaitu fenokris (kristal mineralyang berukuran lebih besar dari
sekelilingnya) terbentuk terlebih dahulu, sedangkan massa dasar terbentuk
setelahnya dengan kecepatan yang bervariasi sesuai dengan tingkat
kristalisasinya.
o Porfiritik merupakan tekstur dimana massa dasar berupa kristal
 Faneroporfiritik yaitu bila kristal mineral yang besar (fenokris)
dikelilingi kristal mineral yang lebih kecil (masa dasar) dan
dapat dikenal dengan mata telanjang. Contoh : diorit porfir
 Porfiroafanitik yaitu bila fenokris dikelilingi oleh massa dasar
yang afanitik. Contoh : andesit porfir
o Vitrovirik merupakan tekstur dimana massa dasar berupa gelas
d. Bentuk kristal
Merupakan bentuk dari masing-masing individu kristal mineral. Bentuk kristal
terbagi menjadi 3, yaitu
- Euhedral adalah apabila bentuk kristal sempurna dan dibatasi oleh bidang-
bidang kristal yang jelas
- Subhedral adalah apabila bentuk kristal tidak sempurna dan hanya sebagian
saja yang di batasi oleh bidang-bidang kristal
- Anhedral adalah apabila batas bidang kristal tidak jelas

4) Komposisi Mineral
Mineral dalam batuan beku memberikan informasi mengenai magma asal batuan dan
genesis pembentukannya. Pengelompokan mineral dalam batuan beku adalah sebagai
berikut:
 Mineral primer, terbentuk karena kristalisasi magma secara langsung
 Mineral utama (essential mineral)
Mineral utama hadir dalam jumlah cukup banyak dan menentukan
nama/ sifat batuan. Umumnya mineral utama ini merupakan mineral
silikat yang terbentuk dalam Seri Reaksi Bowen. Contohnya adalah
plagioklas pada andesit, olivin pada peridotit, atau kuarsa pada granit.
 Mineral aksesori (accessory mineral)
Mineral aksesori merupakan mineral yang kehadirannya cenderung
sedikit, kurang dari 5% dan keberadaannya tidak mempengaruhi nama
batuan. Contonya adalah biotit pada granit, magnetit pada gabbro,
zircon pada dasit, dan lain-lain.
 Mineral sekunder (secondary mineral)
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 6
Mineral sekunder tidak terbentuk dari kristalisasi primer magma, namun hasil
ubahan mineral-mineral primer akibat pelapukan atau larutan hidrotermal.
Contohnya adalah klorit, epidot, garnet, serisit, dan lain-lain.

5) Klasifikasi Batuan Beku


1. Berdasarkan Kandungan Silika
Berdasarkan kandungan silika (SiO2) batuan beku dibagi menjadi beberapa
kelompok yang antara lain

Tabel 1.2 Klasifikasi batu beku berdasarkan kandungan silika


Kandungan silika Nama batuan
> 66 % Batuan beku asam
52-65 % Batuan beku intermediet
45-51 % Batuan beku basa
< 45 % Batuan beku ultrabasa

2. Berdasarkan Kelimpahan Mineral Mafik


Sedangkan bila dilihat dari kelimpahan mineral mafiknya, batuan beku non
fragmental diklasifikasikan sebagai berikut

Tabel 1.3 Klasifikasi batu beku berdasarkan kandungan mineral mafik


Kandungan mineral mafik Nama batuan
< 30 % Batuan beku leucocratic
30-59 % Batuan beku mesocratic
60-90 % Batuan beku melanocratic
> 90 % Batuan beku hypermelanic

3. Berdasarkan Saturasi Silika


Berdasarkan saturasi silica, batuan beku non fragmental diklasifikasikan
sebagai berikut

Tabel 1.4 Klasifikasi batu beku berdasarkan kandungan mineral mafik


Saturasi silika Keterangan
Saturated rocks Batuan tidak mengandung kuarsa, olivine,
dan felspatoid, contoh: andesit dan basalt
Oversaturated rocks Batuan mengandung kuarsa, contoh:
granit
Undersaturated rocks Batuan mengandung olivine atau
felspatoid, contoh: syenit nefelin

6) Cara Penamaan Batuan Beku Nonfragmental


Untuk mendeskripsikan batuan beku nonfragmental, harus diperhatikan beberapa aspek
untuk dapat menentukan jenis/ nama batuannya. Berikut langkah deskripsi yang dilakukan:
1. Warna, jelaskan warna keseluruhan dan motif/ pola khusus, misal abu-abu terang
atau hitam bintik-bintik coklat kemerahan.
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 7
2. Struktur, pada sampel peraga laboratorium umumnya hanya diketahui struktur
berupa vesikuler (skoriaan/pumisan) dan amygdaloidal. Struktur lain seperti kekar
hanya dapat dijumpai di lapangan
3. Tekstur, mencakup:
a. Tingkat kristalisasi, apakah tersusun oleh kristal, gelasan, atau campuran
b. Granularitas, apakah fanerik, afanitik, atau porfiritik
c. Ukuran kristal, apakah kasar, sedang, atau halus
d. Keseragaman ukuran butir, apakah equigranular, inequigranular, atau
porfiritik/ vitrofirik
4. Komposisi mineral, pisahkan antara massa dasar dan fenokris jika tekstur
batuannya porfiritik. Masing-masing mineral dideskripsikan ciri-cirinya dan tentukan
persentase kelimpahan berdasarkan diagram perbandingan visual.
5. Persentase kelimpahan mineral yang teridentifikasi menjadi dasar penamaan,
dengan dinormalisasi 100%.
6. Contohnya sebagai berikut:
Suatu batuan berwarna abu-abu gelap, tekstur porfiroafanitik dengan komposisi
massa dasar 55%, plagioklas 25%, hornblende 10%, piroksen 5%, mineral opak
5%. Untuk memasukkan moda mineralogi dalam diagram klasifikasi, persentase
mineral teridentifikasi tersebut harus dinormalisasi sebagai berikut:

Mineral % sebenarnya % normalisasi


Plagioklas 25%

Hornblende 10%

Piroksen 5%

Mineral opak 5%

Jumlah 45% 100%

7. Angka persentase normalisasilah yang dimasukkan ke dalam diagram klasifikasi


yang digunakan. Berdasarkan kasus di atas, contohnya adalah sebagai berikut:

a. Thorpe and Brown (1985)


Menurut diagram klasifikasi di bawah (Gambar 1.3), komposisi plagioklas
(55,6%), piroksen (22,2%), dan hornblende/amfibol (11,1%) cenderung berada di area
batuan beku basa. Dengan tekstur porfiroafanitik, maka batuannya adalah andesit.
Nama ini dapat dimodifikasi berdasarkan teksturnya yang porfiritik, sehingga namanya
menjadi andesit porfir.
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 8

Gambar 1.3. Diagram klasifikasi Thorpe and Brown (1985)

b. Travis (1955)
Menurut diagram klasifikasi di bawah (Gambar 1.4), batuan memiliki komposisi
plagioklas (55,6%) sehingga plagioklas > 2/3 keseluruhan feldspar. Karena
pengamatan megaskopis tidak dapat membedakan Plagioklas Ca dan Na, maka
untuk menentukan nama batuannya didasarkan pada mineral aksesorisnya. Karena
memiliki mineral tambahan berupa hornblende dan piroksen dan tidak ada olivin,
maka penamaan jatuh ke andesit porfir.
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 9
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 10

Gambar 1.5. Diagram perbandingan visual (Terry and Chilingar, 1955)


Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 11

BAB II
BATUAN BEKU FRAGMENTAL (PIROKLASTIK)

2.1. Pengertian Batuan Piroklastik


............................................................................................................................................... Batuan
piroklastik merupakan batuan yang dihasilkan oleh erupsi gunung api dengan ciri-ciri yang khas.
Untuk mempelajari material piroklastik, terlebih dulu kita harus memahami tentang aktivitas
vulkanisme baik proses maupun produknya. Pemahanan itu secara umum meliputi pemahaman
tentang:
1. Erupsi gunung api.
2. Material hasil aktivitas gunung api.

Gambar 2.1. Produk erupsi vulkanik

2.2 Macam Material Hasil Erupsi Vulkanik


Berdasarkan pengertian tersebut maka istilah vulkaniklastik mencakup bermacam-macam batuan
vulkanik, yaitu:
a. Material Piroklastik
Akumulasi material piroklastik atau sering pula disebut sebagai tephra merupakan hasil
banyak proses yang berhubungan dengan erupsi vulkanik tanpa memandang penyebab
erupsi dan asal dari materialnya. Fisher, 1984 menyatakan bahwa fragmen piroklastik
merupakan fragmen "seketika" yang terbentuk secara langsung dari proses erupsi vulkanik.
Material piroklastik saat dierupsikan gunung api memiliki sifat fragmental, dapat berujud cair
maupun padat. Dan setelah menjadi massa padat material tersebut disebut sebagai batuan
piroklastik.
b. Material Hidroklastik
Material ini dihasilkan oleb suatu erupsi hidrovulkanik yakni erupsi yang terjadi karena kontak
air dengan magma.
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 12
Berdasarkan cara transportasi sebelum diendapkan, akumulasi material hidroklastik dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu:
- Endapan Hidroklastik Jatuhan
Endapan hidroklastik jatuhan adalah endapan yang terjadi dari akumulasi material
hidroklastik yang dilemparkan dari pusat erupsi ke udara dan kemudian jatuh di tempat
pengendapannya. Cara transportasi material hidroklastik jatuhan dapat dibedakan
menjadi 2 yaitu transportasi gerak peluru (trajectory) dan turbulensi awan erupsi.
- Endapan Hidroklastik Aliran.
Endapan ini terjadi dari akumulasi material hidroklastik yang terlempar dari pusat
erupsi, kemudian bergerak sepanjang permukaan bumi menuju tempat
pengendapannya.
c. Material Autoklastik
Material ini di alam dijumpai sebagai breksi vulkanik autoklastik yaitu bentuk fragmentasi
padat karena letusan gas-gas yang ada di dalamnya karena oleh penghancuran lava (Wright,
1963 vide Willard, 1968). Jadi material ini merupakan gesekan oleh penghancuran lava
sebagai hasil dari perkembangan lanjut dari pembekuan.
d. Material Alloklastik
Material ini sering disebut sebagai breksi vulkanik alloklastik yaitu breksi yang dibentuk oleh
fragmentasi dari beberapa batuan "preexisting" oleh proses vulkanik bawah permukaan
(Wright; 1963 vide Willard; 1968). Jadi proses breksiasi dari batuan ini terjadi di dalam gunung
api baru kemudian ekstrusion sebagai aliran breksi. Breksiasi ini mungkin dihasilkan oleh
pengembangan gas atau oleh runtuhnya gunung api yang kemudian terbentuk rongga-rongga
dan akhirnya diikuti erupsi. Aliran breksi pada tipe ini terjadi pada derajat kemiringan dan
bergerak dari gunung api dengan media air menjadi lahar. Proses yang seperti ini
mengakibatkan batuan ini sukar dibedakan dengan breksi laharik. Ciri dari breksi ini adalah
ketebalannya yang besar dan tidak berlapis, material penyusunnya sangat kasar dan tidak
tersortasi. Fragmen mempunyai ukuran beraneka ragam, heterolitologi. Fragmen pumis,
skoria dan batuan afanitik jarang dijumpai.
e. Material Epiklastik.
Material ini merupakan hasil dari pelapukan dan erosi dari batuan vulkanlk dan umumnya
bukan merupakan hasil vulkanisme yang seumur. Karena endapan epiklastik ini merupakan
hasil proses rework dan telah mengalami transportasi maka pada umumnya fragmen-
fragmennya lebih rounded dan material piroklastik maupun hidroklastik. Fragmen-fragmen
tersebut; dapat terbentuk oleh proses-proses non vulkanik atau proses epigenik sehingga
membentuk modifikasi butiran yang agak membulat. Material epiklastik di alam sering
dijumpai sebagai breksi laharik.
2.3 Tipe Endapan Piroklastik
Endapan piroklastik menurut Mc Phie et al (1993) adalah endapan volkaniklastik primer yang
tersusun oleh partikel (piroklas) terbentuk oleh empsi yang eksplosif dan terendapkan oleh proses
volkanik primer (jatuhan, aliran, surge). Proses erupsi ekplosif yang terlibat dalam pembentukan
endapan piroklastik meliputi tiga tipe utama yaitu : erupsi letusan magmatik, erupsi freatik dan
erupsi freatomagmatik. Ketiga tipe erupsi ini mampu menghasilkan piroklas yang melimpah yang
berkisar dari abu halus (< 1/16 mm) hingga blok dengan panjang beberapa meter. Termasuk
dalam tipe endapan piroklastik meliputi:
1. Piroklastik aliran.
2. Piroklastik jatuhan.
3. Piroklastik surge.
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 13
1. Piroklastik Aliran
Piroklastik aliran adalah aliran panas dengan konsentrasi tinggi, dekat permukaan, mudah
bergerak, berupa gas dan partikel terdispersi yang dihasilkan oleh erupsi volkanik (Wright et al
1981, vide Mc Phie et al 1993). Fisher & Schmincke (1984) menyebutkan bahwa piroklastik
aliran adalah aliran densitas partikel-partikel dan gas dalam keadaan panas yang dihasilkan
oleh aktifitas volkanik. Aliran piroklastik melibatkan semua aliran pekat yang dihasilkan oleh
letusan atau guguran lava baik besar maupun kecil.
2. Piroklastik Jatuhan
Piroklastik yang dilontarkan secara ledakan ke udara sementara akan tersuspensi, yang
selanjutnya jatuh ke bawah dan terakumulasi membentuk endapan piroklastik jatuhan.
Endapan merupakan produk dari jatuhan baiistik dan konveksi turbulen pada erupsi kolom
(Lajoie, 1984). Karakteristik dari endapan dapat yang diamati antara lapisan piroklastik jatuhan
dan piroklastik aliran dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2. 1. Perbedaan piroklastik jatuhan dan piroklastik aliran (Lajoie, 1984)


Piroklastik Jatuhan Piroklastik aliran
Sortasi Sortasi baik (well sorted) Sortasi buruk (poorly sorted)
Ketebalan lapisan Teratur dan mengikuti Tidak teratur, menipis pada tinggian,
permukaan yang ditutupi (mantle menebal pada cekungan, menipis
bedding) secara lateral terhadap batas
saiuran
Gradasi dan Lapisan massif jarang; gradasi Lapisan massif. Gradasi terbalik
laminasi normal Jarang, tapi dapat hadir, umum pada endapan yang
tidak ada struktur traksi yang terakumulasi dari suspensi laminar
tegas seperti laminasi parallel (aliran debris dan butiran). Gradasi
dan laminasi ob!ique, tetapi normai banyak dijumpai pada
crude strait umum. endapan yang berasal dari suspensi
turbulen dan itu umumnya
ditemukan mendasari atau
menutupi bagian laminasi.

Struktur primer Bomb - surge dan acretionary Acretionary lapilli dihasilkan pada
yang lain lapilli umum dijumpai pada lapisan atas pada beberapa
endapan subaerial atau shallow subaerial nuees ardentes. Jarang
water. Lubang/pipa gas-escape atau tidak ada pada endapan
tidak ada. subagueous.
Sekuen struktur Tidak ada Lubang/pipa gas-escape umum
primer. (Phmary dijumpai Umum, dan umumnya itu
sructure jarang teramati pada sedimen
seguence) transportasi massa (mass-
transported sediments) yang lain.

3. Piroklastik Surge
Piroklastik surge adalah ground hugging, dilute (rasio partikel gas rendah), aliran purticulate
yang diangkut secara lateral di dalam gas turbulen (Fisher 1979 vide Mc Phie e/ al 1993).
Piroklastik surge dibentuk secara langsung oleh erupsi freatomagmatik maupun freatik (base
surge) dan asosiasinya dengan piroklastik aliran {ash cloud surge dan ground surge).
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 14
Tempat yang dilalui oleh pengendapan lapisan sangat tipis atau laminasi biasanya disebut
sebagai bed set. Memiliki konsentrasi partikel relatif rendah yang bergerak menuruni
dasar/lereng volkan.
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 15

Gambar 2.2. Karakteristik endapan yang berasal dari erupsi eksplosif (endapan piroklastik
primer) (McPhie dkk, 1983)

2.4 Klasifikasi Batuan Piroklastik


Pembuatan klasifikasi batuan piroklastik sudah banyak dibuat oleh para ahli, tetapi masih terjadi
kekurangan maupun perbedaan tentang batuan piroklastik.
Klasifikasi berdasarkan perkembangan terbentuknya batuan piroklastik sangat sulit, sedangkan
saat ini klasifikasi didasarkan pada:
 Asal – usul fragmen
 Ukuran fragmen
 Komposisi fragmen
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 16
a. Klasifikasi berdasarkan asal – usul fragmen
Batuan piroklastik yang merupakan hasil endapan bahan volkanik dari letusan tipe eksplosif maka
Johnson dan Levis (1885), lihat MacDonald (1972) membuat klasifikasi sebagai berikut:
Essential Fragmen berasal langsung dari pembekuan magma segar
Accessor Fragmen berasal dari lava atau piroklastik yang terdapat pada
kerucut volkanik
Accidental Fragmen yang berasal dari batuan lain yang tidak menunjukkan
gejala pembekuan, metamorfisme
Klasifikasi berdasarkan ukuran dari fragmen. Klasifikasi ini dibuat pertama kali oleh Grabau (1924)
dalam Carozzi (1975) :
> 2,5mm Rudyte
2,5 – 0,5 mm Arenyte
< 0,5 mm Lutyte

Klasifikasi batuan piroklastik dan endapan piroklastik (belum terkonsolidasi) berdasarkan ukuran
butir menurut Fisher (1966) adalah sebagai berikut:

Tabel 2.2. Klasifikasi batuan piroklastik dan endapannya


Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 17

Gambar 2.3. Jenis material piroklastik


Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 18
b. Klasifikasi berdasarkan komposisi fragmen
Klasifikasi yang telah dibuat digunakan untuk tuf, yaitu
 0,25 –4 mm : tuf kasar
 < 0,25 mm : tuf halus

Pettijohn (1975) membuat klasifikasi tuf, dengan membandingkan persentase gelas dengan kristal,
yaitu:
1. Tuf gelas (Vitric Tuff)
Tuf mengandung gelas > 50%
2. Tuf litik (Lithic tuff)
Tuf mengandung litik/ fragmen batuan > 50%
3. Tuf kristal (Crystal tuff)
Tuf mengandung kristal mineral > 50%
Jika terdapat fraksi lain, dapat dimodifikasi, misalkan komposisi gelas 60%, kristal 40%, maka
disebut tuf gelas kristal (crystal vitric tuff), dan sebagainya. Fraksi yang lebih banyak disebut
terlebih dahulu, misal tuf litik gelas, maka litiknya lebih banyak dibandingkan gelasnya.

Gambar 2.4. Klasifikasi batuan piroklastik berdasar komposisi fragmen (kiri) dan ukuran fragmen
(kanan)
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 19

BAB III
BATUAN SEDIMEN KLASTIK

3.1. Pengertian Sedimen


Istilah sedimen berasal dari kata sedimentum, yang mempunyai pengertian yaitu
material endapan yang terbentuk dari hasil proses pelapukan dan erosi dari suatu
material batuan yang ada lebih dulu, kemudian diangkut secara gravitasi oleh media air,
angin atau es serta diendapkan di tempat lain dibagian permukaan bumi. Umumnya
bentuk awal dari endapan ini berupa kumpulan dari fragmen yang berukuran halus
hingga kasar yang belum terkonsolidasi sempurna, disebut endapan, sedimen, superficial
deposits. Kemudian akan berlangsung proses diagenesis yang meliputi proses fisik :
kompaksi, proses kimia antara lain : sedimentasi, autigenik, rekristalisasi, inversi,
penggantian, dan disolusi, proses biologi. Proses diagenesis ini berjalan selama waktu
geologi, sehingga menyebabkan material terkonsolidasi sempurna dengan bentuk fisik
masif dan padat. Hal ini akan menghasilkan salah satu jenis batuan dialam, yaitu yang
disebut dengan batuan sedimen (Boggs, 1987).
Sebagian besar material penyusun komposisi batuan sedimen berasal dari proses
pelapukan dan erosi dari batuan yang tertua, atau batuan yang terbentuk lebih dahulu.
Dari studi sedimen masa kini hingga terbentuk batuan sedimen, maka dapat diketahui
lingkungan pengendapannya yang meliputi :
- darat atau terrestrial
- laut
- lingkungan campuran merupakan lingkungan peralihan dari darat hingga laut, misal
lingkungan delta, estuari laut, dan peraiaran pantai yang dipengaruhi pasang surut

Dari lingkungan pengendapan batuan sedimen tersebut maka dapat dikenal tiga
material penyusun batuan sedimen :
- fragmen yang berasal dari batuan yang diangkut dari tempat asalnya oleh air, angin
atau glasial, fragmen ini disebut material klastik atau pecahan
- material yang berasal dari larutan garam, yang disebut material kimia
- material yang berasal dari tumbuh – tumbuhan dan hewan, yang disebut material
organik

3.2. Batuan Sedimen Klastik


Terbentuknya dari pengendapan kembali denritus atau perencanaan batuan asal.
Batuan asal dapat berupa batuan beku, batuan sedimen dan batuan metamorf. Dalam
pembentukkan batuan sedimen klastik ini mengalami diagnesa yaitu perubahan yang
berlangsung pada temperatur rendah di dalam suatu sedimen selama dan sesudah
litifikasi.
Tersusun olek klastika-klastika yang terjadi karena proses pengendapan secara
mekanis dan banyak dijumpai allogenic minerals. Allogenic minerals adalah mineral yang
tidak terbentuk pada lingkungan sedimentasi atau pada saat sedimentasi terjadi. Mineral
ini berasal dari batuan asal yang telah mengalami transportasi dan kemudian
terendapkan pada lingkungan sedimentasi. Pada umumnya berupa mineral yang
mempunyai resistensi tinggi.

3.3. Petrogenesis
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 20
Batuan sedimen terbentuk dari batuan-batuan yang telah ada sebelumnya oleh
kekuatan-kekuatan yaitu pelapukan, gaya-gaya air, pengikisan-pengikisan angin, serta
proses litifikasi, diagnesis, dan transportasi, maka batuan ini terendapkan di tempat-
tempat yang relatif lebih rendah letaknya, misalnya: di laut, samudera, ataupun danau-
danau. Mula-mula sedimen merupakan batuan-batuan lunak, akan tetapi karena proses
diagenesis sehingga batuan-batuan lunak tadi akan menjadi keras.
Proses diagnesis adalah proses yang menyebabkan perubahan pada sedimen
selama terpendapkan dan terlitifikasikan, sedangkan litifikasi adalah proses perubahan
material sedimen menjadi batuan sedimen yang kompak.
3.3.1 Transportasi dan Deposisi
a. Transportasi dan deposisi partikel oleh fluida
Pada transportasi oleh partikel fluida, partikel dan fluida akan bergerak
secara bersama-sama. Sifat fisik yang berpengaruh terutama adalah densitas dan
viskositas air lebih besar daripada angin sehingga air lebih mampu mengangkut
partikel yang mengangkut partikel lebih besar daripada yang dapat diangkut angin.
Viskositas adalah kemampuan fluida untuk mengalir. Jika viskositas rendah maka
kecepatan mengalirnya akan rendah dan sebaliknya. Viskositas yang kecepatan
mengalirnya besar merupakan viskositas yang tinggi.
b. Transportasi dan deposisi partikel oleh sediment gravity flow
Pada transportasi ini partikel sedimen tertransport langsung oleh pengaruh
gravitasi, disini material akan bergerak lebih dulu baru kemudian medianya. Jadi
disini partikel bergerak tanpa batuan fluida, partikel sedimen akan bergerak karena
terjadi perubahan energi potensial gravitasi menjadi energi kinetik. Yang termasuk
dalam sediment gravity flow antara lain adalah debris flow, grain flow dan arus
turbid. Deposisi sediment oleh gravity flow akan menghasilkan produk yang
berbeda dengan deposisi sedimen oleh fluida flow karena pada gravity flow
transportasi dan deposisi terjadi dengan cepat sekali akibat pengaruh gravitasi.
Batuan sedimen yang dihasilkan oleh proses ini umumnya akan mempunyai
sortasi yang buruk dan memperlihatkan struktur deformasi.
Berbagai penggolongan dan penamaan batuan sedimen dan penamaan
batuan sedimen telah ditemukan oleh para ahli, baik berdasarkan genetik maupun
deskriptif. Secara genetik dapat disimpulkan dua golongan.
(Pettijohn,1975 dan W.T.Huang,1962)
3.3.2 Litifikasi dan Diagenesis
Litifikasi adalah proses perubahan material sediment menjadi batuan
sediment yang kompak. Misalnya, pasir mengalami litifikasi menjadi batupasir.
Seluruh proses yang menyebabkan perubahan pada sedimen selama terpendam
dan terlitifikasi disebut sebagai diagnesis. Diagenesis terjadi pada temperatur dan
tekanan yang lebih tinggi daripada kondisi selama proses pelapukan, namun lebih
rendah daripada proses metamorfisme.
Proses diagenesis dapat dibedakan menjadi tiga macam berdasarkan proses
yang mengontrolnya, yaitu proses fisik, kimia, dan biologi.
Proses diagenesis sangat berperan dalam menentukan bentuk dan karakter
akhir batuan sedimen yang dihasilkannya. Proses diagnesis akan menyebabkan
perubahan material sedimen. Perubahan yang terjadi adalah perubahan fisik,
mineralogi dan kimia.
Secara fisik perubahan yang terjadi adalah terutama perubahan tekstur,
proses kompaksi akan merubah penempatan butiran sedimen sehingga terjadi
kontak antar butirannya. Proses sementasi dapat menyebabkan ukuran butir
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 21
kuarsa akan menjadi lebih besar. Perubahan kimia antara lain terdapat pada
proses sementasi, authigenesis, replacement, inverse, dan solusi. Proses
sementasi menentukan kemampuan erosi dan pengangkatan partikel oleh fluida.
Pengangkutan sedimen oleh fluida dapat berupa bedload atau suspended load.
Partikel yang berukuran lebih besar dari pasir umumnya dapat diangkut secara
bedload dan yang lebih halus akan terangkut oleh partikel secara kontinu
mengalami kontak dengan permukaan, traksi meliputi rolling, sliding, dan creeping.
Sedangkan pada saltasi partikel tidak selalu mengalami kontak dengan
permukaan. Deposisi akan terjadi jika energi yang mengangkut partkel sudah tidak
mampu lagi mengangkutnya.
Adapun beberapa proses yang terjadi dalam diagenesa, yaitu :
a. Kompaksi
Kompaksi terjadi jika adanya tekanan akibat penambahan beban.
b. Anthigenesis
Mineral baru terbentuk dalam lingkungan diagnetik, sehingga adanya mineral
tersebut merupakan partikel baru dalam suatu sedimen. Mineral autigenik ini
yang umum diketahui sebagai berikut : karbonat, silika, klastika, illite, gypsum
dan lain-lain.
c. Metasomatisme
Metasomatisme yaitu pergantian mineral sedimen oleh berbagai mineral
autigenik, tanpa pengurangan volume asal. Contoh : dolomitiasi, sehingga
dapat merusak bentuk suatu batuan karbonat atau fosil.
d. Rekristalisasi
Rekristalisasi yaitu pengkristalan kembali suatu mineral dari suatu larutan kimia
yang berasal dari pelarutan material sedimen selama diagnesa atau
sebelumnya. Rekristalisasi sangat umum terjadi pada pembentukkan batuan
karbonat. Sedimentasi yang terus berlangsung di bagian atas sehingga volume
sedimen yang ada di bagian bawah semakin kecil dan cairan (fluida) dalam
ruang antar butir tertekan keluar dan migrasi kearah atas berlahan-lahan.
e. Pelarutan (Solution)
Biasanya pada urutan karbonat akibat adanya larutan menyebabkan
terbentuknya rongga-rongga di dalam jika tekanan cukup kuat menyebabkan
terbentuknya struktur iolit. (Diktat Petrologi UPN ; 2001)

3.4. Struktur
Struktur sedimen merupakan suatu kelainan dari perlapisan normal batuan
sedimen yang diakibatkan oleh proses pengendapan dan energi pembentuknya.
Pembentukkannya dapat terjadi pada waktu pengendapan maupun segera setelah
proses pengendapan. (Pettijohn & Potter, 1964 ; Koesomadinata , 1981)
Pada batuan sedimen dikenal dua macam struktur, yaitu :
1. Syngenetik : terbentuk bersamaan dengan terjadinya batuan sedimen, disebut
juga sebagai struktur primer.
2. Epigenetik : terbentuk setelah batuan tersebut terbentuk seperti kekar, sesar,
dan lipatan.

Macam-macam struktur primer adalah sebagai berikut :


1. Struktur eksternal
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 22
Terlihat pada kenampakan morfologi dan bentuk batuan sedimen secara
keseluruhan di lapangan. Contoh : lembaran (sheet), lensa, membaji (wedge),
prisma tabular.
2. Struktur internal
Struktur ini terlihat pada bagian dalam batuan sedimen, macam struktur internal :
a) Perlapisan dan Laminasi
Disebut dengan perlapisan jika tebalnya lebih dari 1 cm dan disebut laminasi
jika kurang dari 1 cm. Perlapisan dan laminasi batuan sedimen terbentuk
karena adanya perubahan kondisi fisik,kimia, dan biologi. Misalnya terjadi
perubahan energi arus sehingga terjadi perubahan ukuran butir yang
diendapkan.
Macam-macam perlapisan dan laminasi :
 Perlapisan/laminasi sejajar (normal)
Dimana lapisan/laminasi batuan tersusun secara horizontal dan saling
sejajar satu dengan yang lainnya.
 Perlapisan/laminasi silang siur (Cross bedding/lamination)
Perlapisan/batuan saling potong memotong satu dengan yang lainnya.
 Graded bedding
Struktur graded bedding merupakan struktur yang khas sekali dimana
butiran makin ke atas makin halus. Graded bedding sangat penting sekali
artinya dalam penelitian untuk menentukan yang mana atas (up) dan yang
bawah (bottom) dimana yang halus merupakan bagian atasnya sedangkan
bagian yang kasar adalah bawahnya. Graded bedding yang disebabkan
oleh arus turbid, di mana fraksi halus didapatkan di bagian atas juga
tersebar di seluruh batuan tersebut. Secara genesis graded bedding oleh
arus turbid juga terjadi oleh selain oleh kerja suspensi juga disebabkan
oleh pengaruh arus turbulensi.
b) Masif
Struktur kompak, consolidated, menyatu (kenampakan pada permukaan
lapisan)
 Ripple mark
Bentuk permukaan yang bergelombang karena adanya arus
 Flute cast
Bentuk gerusan pada permukaan lapisan akibat aktivitas arus
 Mud cracks
Bentuk retakan pada lapisan Lumpur (mud), biasanya berbentuk polygonal.
 Rain marks
Kenampakan pada permukaan sedimen akibat tetesan air hujan.
c) Struktur yang terjadi karena deformasi
 Load cast
Lekukan pada permukaan lapisan akibat gaya tekan dari beban di atasnya.
 Convolute structure
Liukan pada batuan sedimen akibat proses deformasi.
 Sandstone dike and sill
Karena deformasi pasir dapat terinjeksi pada lapisan sediment diatasnya.
d) Karena proses biologi
1. Jejak (tracks and trail)
Track : jejak berupa tsapak organisme
Trail : jejak berupa seretan bagian tubuh organisme
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 23
2. Galian (burrow)
Adalah lubang atau bahan galian hasil aktivitas organisme
3. Cetakan (cast and mold)
Mold : cetakan bagian tubuh organisme
Cast : cetakan dari mold

Struktur batuan sedimen juga dapat digunakan untuk menentukan bagian atas suatu
batuan sedimen. Penentuan bagian atas dari batuan sedimen sangat penting dalam
menentukan urutan batuan sediment.

3.5. Tekstur Batuan Sedimen Klastik


Tekstur batuan sedimen adalah segala kenampakan yang menyangkut butir sedimen
seperti ukuran butir, bentuk butir dan orientasi. Tekstur batuan sedimen mempunyai arti
penting karena mencerminkan proses yang telah dialami batuan tersebut terutama proses
transportasi dan pengendapannya, tekstur juga dapat digunakan untuk menginterpetasi
lingkungan pengendapan batuan sediment. Secara umum batuan sedimen dibedakan
menjadi dua, yaitu tekstur klastik dan nonklastik.
Unsur dari tekstur klastik fragmen, massa dasar (matrik) dan semen.
 Fragmen : Batuan yang ukurannya lebih besar dari pada pasir.
 Matrik : Butiran yang berukuran lebih kecil daripada fragmen dan
diendapkan bersama-sama dengan fragmen.
 Semen : Material halus yang menjadi pengikat, semen
diendapkan setelah fragmen dan matrik. Semen umumnya berupa
silika, kalsit, sulfat atau oksida besi.
 Bentuk Butir
Tingkat kebundaran butir dipengaruhi oleh komposisi butir, ukuran butir, jenis
proses transportasi dan jarak transport (Boggs,1987). Butiran dari mineral yang
resisten seperti kuarsa dan zircon akan berbentuk kurang bundar dibandingkan
butiran dari mineral kurang resisten seperti feldspar dan piroksen. Butiran berukuran
lebih besar daripada yang berukuran pasir. Jarak transport akan mempengaruhi
tingkat kebundaran butir dari jenis butir yang sama, makin jauh jarak transport butiran
akan makin bundar. Pembagian kebundaran :
a) Well rounded (membundar baik)
Semua permukaan konveks, hampir equidimensional, sferoidal.
b) Rounded (membundar)
Pada umumnya permukaan-permukaan bundar, ujung-ujung dan tepi butiran
bundar.
c) Subrounded (membundar tanggung)
Permukaan umumnya datar dengan ujung-ujung yang membundar.
d) Subangular (menyudut tanggung)
Permukaan pada umumnya datar dengan ujung-ujung tajam.
e) Angular (menyudut)
Permukaan konkaf dengan ujungnya yang tajam (Endarto, 2005)
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 24

Gambar 3.1. Bentuk butir sedimen

 Sortasi (Pemilahan)
Pemilahan adalah keseragaman dariukuran besar butir penyusun batuan
sedimen, artinya bila semakin seragam ukurannya dan besar butirnya maka,
pemilahan semakin baik.
Pemilahan yaitu kesergaman butir didalam batuan sedimen klastik. Bebrapa
istilah yang biasa dipergunakan dalam pemilahan batuan, yaitu :
 Sortasi baik : bila besar butir merata atau sama besar.
 Sortasi buruk : bila besar butir tidak merata, terdapat matrik dan fragmen.

Gambar 3.2. Sortasi batuan sedimen

 Kemas (Fabric)
Didalam batuan sedimen klastik dikenal dua macam kemas, yaitu :
o Kemas terbuka atau matrix/mud supported, bila butiran tidak saling bersentuhan
(mengambang dalam matriks).
o Kemas tertutup atau grain supported, butiran saling bersentuhan satu sama lain.

Gambar 3.3. Kemas dalam batuan sedimen


Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 25

3.6. Komposisi
Proses pengendapan dari material klastik akan menghasilkan tipe batuan sedimen
klastik seperti batulempung, batulanau, batupasir, konglomerat dan breksi. Perbedaan
utama dari material batuan sedimen, yaitu ukuran butir atau fragmen penyusun batuan.
Secara umum dikenal skala ukuran dari material klastik yang membedakan tipe batuan
sedimen sebagai berikut :
Tabel 3.1. Klasifikasi Ukuran Butir Berdasarkan Skala Wentworth (1922)

Selain material diatas umumnya juga terdapat berupa larutan garam yang
meliputi kalsium karbonat, natrium klorida dan senyawa dari berbagai unsur diantaranya
magnesium, kalsium, besi dan alumunium. Larutan ini mempunyai tingkat kelarutan di
dalam air sungai dan air laut yang menjadi semen untuk material klastik, baik fragmen
maupun semen.

3.7. Tatanama batuan


Klaisfikasi batuan sedimen sesuai kebutuhan dalam bidang rekayasa, planologi
maupun minyak dan gas bumi, terutama yang berhubungan dengan batuan induk,
migrasi dan tipe batuan reservoir. Beberapa tipe batuan sedimen sebagai berikut :
1. Breksi (Breccia)
Komposisi atau material penyusun breksi berupa fragmen batuan dengan bentuk
sangat meruncing – meruncing, ukuran umumnya kasar berkisar dari kerakal hingga
berangkal, sering diantara fragmen ini dijumpai ukuran yang lebih kecil yang disebut
matrik. Dari fragmen yang meruncing, dapat ditafsirkan bahwa breksi ini diendapkan
dekat dengan sumbernya, sehingga tidak terpengaruh secara fisik oleh jarak
transportasi, hingga mencapai cekungan sedimen. Ukuran material penyusun breksi
lebih besar dari 2 mm. Jika terdiri dari bermacam-macam jenis klastik, maka disebut
breksi polimik. Sedangkan jika terdiri hanya satu jenis klastik maka disebut breksi
monomik, atau langsung disebutkan jenis klastiknya, misal breksi andesit (tersusun
oleh fragmen batuan andesit)
2. Konglomerat (Conglomerate)
Terbentuk dari beberapa fragmen batuan dan matrik, bentuk umumnya
membundar – sangat membundar yang terikat bersama oleh material semen yang
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 26
berkuran lebih halus seperti serpih atau lempung. Ukuran material penyusun
konglomerat ini lebih besar dari 2 mm. Jika terdiri dari bermacam-macam jenis klastik,
maka disebut konglomerat polimik.
3. Batupasir (Sandstone)
Merupakan hasil sementasi dari massa yang berukuran pasir, massa pasir ini
umumnya adalah mineral silika, felspar atau pasir karbonat, sedang material pengikat
atau semen berupa besi oksida, silika, lempung atau kalsium karbonat. Ukuran butir
mineral penyusun mulai dari yang berukuran pasir halus sampai dengan pasir kasar
(0,06 mm – 2,0 mm). Komposisi butiran dalam batupasir dapat digunakan untuk
menamainya.
 Batupasir kuarsa: komposisi dominan kuarsa
 Arkose: komposisi dominan feldspar
 Graywacke: ukuran butir bercampur antara pasir dan lanau-lempung
4. Batulanau (Silstone)
Tipe batuan sedimen yang terususun oleh material yang berukuran relatif halus
berkisar dari 0,002 mm – 0,06 mm dengan komposisi utma adlah mineral lempung.
5. Batulempung (Claystone)
Batuan sedimen yang tersusun oleh material berukuran lempung (< 0.002 mm) dan
tidak memiliki struktur internal laminasi tipis, sehingga cenderung pecah-pecah
membentuk blok.
6. Serpih (Shale)
Tipe batuan sedimen menunjukkan suatu lapisan yang kompak, padat dari material
lempung atu lumpur (mud), ukuran butir sangat halus, lebih kecil dari 0,003 mm,
menunjukkan struktur internal yang khas yaitu laminasi, sehingga mudah terpecah
membentuk lapisan tipis dengan tebal kurang dari 1 cm.

Tabel 3.2. Tabel klasifikasi batuan sedimen klastik

Sifat tambahan dari batuan sedimen dapat digunakan untuk memodifikasi penamaan.
Contohnya, jika suatu batupasir memiliki kandungan karbonat pada semennya, dapat dinamai
batupasir karbonatan.
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 27
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 28

BAB IV
BATUAN SEDIMEN NONKLASTIK

4.1 Pengertian
Batuan sedimen nonklastik merupakan batuan sedimen yang pembentukannya
berbeda dengan batuan sedimen pada umumnya. Pada batuan sedimen nonklastik ini,
pengendapannya melalui proses kimia-biologi-biokimia. Pada batuan ini juga tidak
memerlukan adanya batuan sumber dan proses fisik yang bekerja pada batuan sumber
tersebut. Batuan ini merupakan golongan batuan sedimen yang proses pembentukannya
tidak melalui proses mekanik maupun kinetik seperti pelapukan dan transportasi sebelum
akhirnya tersedimentasi. Batuan sedimen nonklastik terbentuk oleh proses-proses kimia
maupun biokimia pada kondisi lingkungan yang khusus.
Macam-macam batuan sedimen nonklastik diantaranya adalah golongan silica,
golongan besi (iron), golongan phosphorites serta golongan karbon. Masing-masing dari
batuan tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Endapan evaporit seperti gypsum,
halite (rock salt), dan trona ditambang untuk tujuan industry dan pertanian, iron-rich
sedimentary rocks adalah sumber data dari iron ores, phosphorites sangat penting untuk
bahan-bahan kimia, sedimen silika juga memiliki nilai ekonomis, yaitu digunakan pada
industry semikonduktor. Secara volumetri batuan sedimen nonklastik jumlahnya sangat
kecil dibandingkan dengan batuan sedimen klastik, kira-kira tidak lebih dari 2% dari
seluruh batuan sedimen yang ada di bumi.

Tabel 4.1. Jenis batuan sedimen nonklastik

4.2 Batuan Sedimen Evaporit


Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 29
Batuan sedimen nonklastik golongan evaporit merupakan kelompok batuan yang
proses pembentukannya melalui evaporasi air asin (saline water). Proses evaporasi pada
saline water akan meningkatkan konsentrasi senyawa kimia di dalamnya sehingga
mengalami kristalisasi sebagai endapan evaporit. Batuan evaporit terbentuk mulai awal
precambrium dan berkembang pesat sebagai sekuen stratigrafi pada masa Phanerozoic.
Sebagian besar endapan evaporit terjadi di zaman Cambrian, Permian, Jurasic, dan
Miocene. Sementara di zaman Silurian, Devonian, Triasic, dan Eocene akumulasinya
mulai berkurang (Ronov et al., 1980). Endapan evaporit setebal 100m dapat terbentuk
selama 1000 tahun dalam kondisi yang tepat (Schreiber and Hsu, 1980). Sementara
endapan evaporit paling tebal dijumpai pada Mediterranian Messinian evaporate
sequence yang tebalnya mencapai 2 km dan diperkirakan berumur 200.000 tahun.
Batuan evaporit dapat terbentuk pada lingkungan marine ataupun non marine,
namun umumnya terbentuk ada lingkungan non marine. Batuan evaporit akan lebih cepat
terbentuk pada daerah yang hangat dubandingkan dengan daerah yang dingin. Namun,
tidak menutup kemungkinan bahwa batuan evaporit juga dapat terbentuk di bagian kering
dari Artik dan Antartika. Batuan evaporit juga banyak berasosiasi dengan batuan karbonat
di berbagai lapangan hidrokarbon di dunia sebagai trap yang sering disebut sebagai salt
dome.
Endapan evaporit didominasi oleh senyawa halit (NaCl), anhidrit (CaSO 4), dan
Gypsum (CaSO4.2H2O). Kurang lebih 80 jenis mineral yang telah ditemukan pada
endapan evaporit (Stewart, 1963). Gipsum lebih melimpah daripada anhidrit pada
endapan evaporit modern (Dean, 1982), Namun, endapan anhidrit lebih melimpah pada
kedalaman 610 m yang berasal dari dewatering gypsum dan konversi gypsum ke anhidrit.

Tabel 4.1 Klasifikasi mineral Evaporit.


Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 30

Gambar 4.1 Tempat terbentuknya batuan evaporit

Gambar 4.3 Proses terbentuknya endapan evaporit

4.3 Batuan Sedimen Besi (Ironstone)


Iron-rich rock merupakan kelompok batuan yang sangat kaya akan kandungan
besi. Setiap jenis batuan sedimen biasanya memiliki sejumlah kecil kandungan besi
misalnya shale, batupasir, dan batugamping sekalipun. Namun pada iron-rich rock
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 31
memiliki komposisi besi lebih dari 15%. Batuan ini terendapkan secara pesat pada
Precambrian, awal Paleozoic, Jurrasic, dan Cretaceous. Presentase iron-rich rock sangat
kecil yaitu kurang dari 1% dari seluruh batuan sedimen yang menyusun kerak bumi.
Batuan ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi yaitu sebagai bahan baku besi dan baja
yaitu bijih besi.
Dalam pengklasifikasian batuan ini masih menuai perdebatan karena masih banyak
variasi yang muncul dalam pemerian batuan ini. Menurut Dimroth (1979) iron rich rock
dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori berdasarkan komposisi dan kaerakteristik
fisiknya. Diantaranya adalah detrial chemical iron-rich sediments, iron rich shales, dan
miscellaneous iron-rich deposits.
1. Detrital chemical iron-rich sediments
a) Cherty iron-formation
Texture: analogous to limestone texture
Composition: iron-rich chert containing hematite, magnetite, siderite,
ankerite, or (predominantly alumina-poor) silicates as predominating iron
minerals; relatively poor in Al and P.
b) Minette-type ironstone (aluminous iron-formation)
Texture: analogous to limestone texture
Composition: aluminous iron silicates (chamosite, chlorite, stilpnomelane),
iron oxides, and carbonates; relatively rich in Al and P

2. Iron-rich shales
a) Pyritic shales
Bituminous shales containing nodules or laminae of pyrite; grade into
massive pyrite bodies by coalescence of pyrite laminae and nodules
b) Siderite-rich shales
Bituminous shales with siderite concretions; grade into massive siderite
bodies by
coalescence of concretions

3. Miscellaneous iron-rich deposits


a) Iron-rich laterites
b) Bog iron ores
c) Manganese nodules and oceanic iron crusts
d) Iron-rich muds precipitated from hydrothermal brines, Lahn-Dill-type iron
oxide ores, and stratiform, volcanogenic sulfide deposits
e) Placers of magnetite, hematite, or ilmenite sand

Batubesi (ironstone) merupakan batuan sedimen yang mengandung kadar besi


(Fe) > 15%. Unsur besi dalam batuan sedimen terdapat dalam 2 macam valensi :
Divalen => Ferrous iron (Fe 2+)
Trivalen => Ferric iron (Fe 3+)
Presipitasi mineral-mineral ini sangat dikontrol oleh kondisi kimia permukaan dan
lingkungan diagenesisnya (Eh dan pH)
Macam-macam mineral besi :
 Iron Oxides: Hematit, Geothite, Limonit, Magnetit
 Iron Carbonate: Siderite
 Iron Sulphide : Pyrite, Marcasite
 Iron Silicate: Berthierin, Chamosite, Greenalite, Glauconite
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 32

4.4 Batuan Sedimen Fosfat


Kelompok sedimen posfat merupakan kelompok yang jumlahnya sedikit jika
dibandingkan dengan jenis batuan nonklastik yang lain. Material penyusun dari fosfat
adalah 15-20% P2O5. Karena kandungan fosfor yang sangat melimpah pada batuan ini
digoongkan ke dalam batuan phosphorous. Umumnya pada batupasir kandungan
fosfornya adalah sekitar 0.08-0.16% sementara pada shale berkisar 0.11-0.17%
(McKelvey, 1973).
Batuan sedimen phosphorite ini dikenal dengan berbagai nama diantaranya adalah
phosphate rock, rock phosphate, phosphates, phosphatites, dan phosphorites. Volum
total dari batuan ini cukup kecil dari jumlah seluruh batuan sedimen yang ada di kerak
bumi. Batuan tersebut merupakan komoditas penting bagi ketersediaan fosfat. Batuan ini
mulai terendapkan sejak zaman prekambrian hingga sekarang, Umumnya phosphorite
ditemukan sebagai nodul pada dasar samudera. Bisa dijumpai dalam bentuk mineral
apatit Ca5(PO4)3(F,Cl,OH) (>1% F) dan dahllite (< 1% F). Kelompok ini merupakan
sumber daya alam yang penting, karena merupakan bahan utama pembuatan pupuk dan
berbagai industri kimia. Selain itu, phosphate juga sering berasosiasi dengan unsur-unsur
penting seperti uranium, fluorin, vanadium.
Sedimentary phosphate deposit biasanya dijumpai dalam tiga bentuk endapan:
a. Nodular and bedded phosphorites
b. Bioclastic and pebble-bed phosphorites => berasal dari sediment rework
c. Oceanic-island phosphorites (Guano deposits) => berhubungan dengan
guano (kotoran kelelawar)

4.5 Sedimen Silika


Kelompok sedimen silika merupakan batuan sedimen yang umumnya terbentuk di
laut dalam. Pembentukannya bisa karena proses kimia, biokimia, biogenik (kumpulan
organisme silikaan), maupun produk vulkanisme bawah laut (presipitasi anorganik dari
silika yang dihasilkan dari magma dalam air). Umumnya berukuran halus (kriptokristalin),
padat, sangat keras, dengan pecahan konkoidal.
Memiliki komposisi utama silica, mineral kuarsa, kalsedon, dan opal. Selain itu
batuan ini juma memiliki sebagian kecil mineral seperti mineral lempung, hematit, kalsit,
dolomit, dan material organik. Salah satu macam kelompok sedimen silika yang terkenal
adalah rijang (chert). Chert adalah istilah umum untuk menyebut sedimen silika berbutir
halus, baik yang berasal dari material anorganik, biokimia, biogenic, volcanic atau
hidrotermal.
Umumnya chert sendiri terbentuk pada lingkungan laut dalam dan berasosisasi
dengan endapan endapan pelagik. Chert juga ditemukan di sekitar ophiolite serta daerah
subduksi membentuk sekuen yang cukup tebal. Selain membentuk perlapisan, chert juga
dapat berbentuk seperti nodul pada batugamping di lingkungan laut dangkal sebagai
proses replacement dari karbonat yang mengalami diagenesis. Macam-macam chert
antara lain: Flint (nodule chert), Jasper (chert yang berwarna merah, yang disebabkan
karena diseminasi dari hematit, dan biasanya interbedded dengan mineral besi),
porcelanite (chert yang berwarna putih, berbutir halus, menunjukkan tekstur dan pecahan
seperti porselen).
2
Komposisi chert didominasi oleh SiO namun dapat mengandung mineral minor
2
seperti Al, Fe, Mn, Ca, Na, K, Mg, Ni, Cu, Ti, Sr, dan Ba. Persenatse SiO sendiri pada
chert umumnya mencapai 99% pada chert murni misal Arkansas Novaculite (Cressman,
1962) sementara pada chert yang membentuk nodul memiliki presentase hanya sekitar
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 33
65%. Jones and Murchey (1986) beranggapan bahwa senyawa kimia pada chert berasal
dari 4 proses di antaranya biogenik, detrital, hydrogenous (terendapkan atau terserap dari
air laut) dan hydrothermal. Senyawa Si dan Ca dapat terbentuk oleh pengendapan
organisme silika, Al, Ti, Ca, Mg, K, Na dihasilkan oleh rombakan atau detrital. K dan Mg
juga dihasilkan oleh daerah vulkanik aktif, unsur Fe, Mn, Ni dan Cu terbentuk pada proses
hidrothermal akibat aliran panas seperti daerah oceanic spreading.

Gambar. 4.7 Batu rijang dan komponen silika penyusunnya

4.6 Batubara
Batubara adalah batuan karbonan yang terbentuk oleh akumulasi sisa-sisa
tumbuhan bersama hasil dekomposisinya yang terawetkan dalam lapisan sedimen dan
menjadi kaya akan karbon dengan adanya proses diagenesis. Batubara dapat terbentuk
pada lingkungan pengendapan :
 Marin/paralik, biasanya kandungan sulfur tinggi
- laguna
- delta
- pantai dan antar delta
 Darat/ limnik
- antar gunung (interorganic basin)

1. Pembentukan Batubara
Proses pembentukan batubara merupakan proses yang cukup kompleks
dengan cakupan aspek-aspek fisika, kimia, serta biologi yang saling berhubungan.
Pembentukan batubara sendiri dapat dianalogikan ke dalam 2 teori yaitu teori insitu
dan teori drift.
Teori insitu berkata bahwa batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang
berasal dari hutan dimana batubara tersebut terbentuk. Batubara yang terbentuk
sesuai dengan teori insitu dan biasanya terjadi di hutan basah dan berawa sehingga
pohon-pohon di hutan tersebut pada saat mati dan roboh langsung tenggelam ke
dalam rawa tersebut dan sisa tumbuhan tidak mengalami pembusukan secara
sempurna dan akhirnya menjadi fosil tumbuhan yang membentuk sedimen organik.
Sementara teori drift berkata bahwa batubara terbentuk dari tumbuhan atau
pohon yang berasal dari hutan yang bukan di tempat dimana batuabara tersebut
terbentuk. Batubara yang terbentuk sesuai dengan teori drift biasanya terjadi di
daerah delta dengan ciri-ciri lapisan batubara tipis, tidak menerus (splitting), banyak
lapisannya (multiple seam), banyak pengotor (kandungan abu cenderung tinggi).
Proses pembentukan batuabara terdiri dari 2 tahap yaitu tahap biokimia
(penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan). Dari teori di atas kita
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 34
mendapatkan istilah dalam pembentukan batubara yaitu proses peatification dan
coalification.
Proses penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sia tumbuhan
terakumulasi dalam kondisi bebas oksigen (anaerobik) di daerah rawa dengan sistem
pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 – 10 meter.
Dengan kata lain kondisi yang miskin oksigen ini akan membuat mikroba aerob tidak
mampu mengurai materi secara sempurna sehingga sisa-sisa tumbuhan terawetkan
dalam air dan lumpur. Material tumbuhan yang setengah busuk ini melepaskan unsur
H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus
dan lumpur. Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut /
peat (Stach, 1982, op cit Susilawati 1992).
Sementara tahap pembatubaraan (coalification) merupakan proses biologi,
kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang
menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organic dari
gambut (Stach, 1982, op cit Susilawati 1992). Pada tahap ini presentase karbon akan
meningkat sedangkan presentase hydrogen dan oksigen akan berkurang (Fischer,
1927, op cit Susilawati 1992). Proses ini akan menghasilkan batubara dalam tingkat
kematangan material organiknya.

2. Petrologi Batubara
Akibat tingkat kematangan batubara yang berbeda tersebut kita dapat
mengklasifikasikannya berdasar kondisi petrologisnya mulai dari peat, lignite, sub-
bituminus, bituminous hingga antrasit. Umumnya, untuk menentukan kualitas
batubara dilakukan analisa kimia pada batubara yang diantaranya berupa analisis
proksimat dan analisis ultimat. Analisis proksimat dilakukan untuk menentukan jumlah
air (moisture), zat terbang (volatile matter), karbon padat (fixed carbon), dan kadar
abu (ash). Sedangkan analisis ultimat dilakukan untuk menentukan kandungan unsur
kimia pada batubara seperti karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, unsur
tambahan dan juga unsur jarang.
Macam-macam batubara berdasarkan tingkat kematangannya:
a. Gambut (Peat)
Gambut adalah hasil proses biokimia pada tumbuhan yang telah mati di
lingkungan air dengan kondisi tertentu. Peat memiliki ikatan senyawa a\kimia
berupa C60H6O34 dengan karakteristik warna batuan coklat, dengan kondisi
material unconsolidified / masih belum terkompaksi (seperti lumpur), kandungan
air sangat tinggi (lebih dari 75%), kandungan karbon padat yang sangat rendah
sedangkan kandungan karbon terbangnya sangat tinggi, sangat mudah teroksidasi
dan nilai panas yang sangat rendah.
b. Lignit (Lignite/ Brown Coal)
Tingkatan selanjutnya adalah lignite dengan rumus senyawa kimia
C70OH5O25. Merupakan batubara dengan tingkat paling rendah dengan tingkat
kematangan juga sangat rendah. Karakteristik lignit ini berwarna coklat, batuan
belum terkonsolidasi dengan baik sehingga strukturnya masih sangat rapuh,
memiliki kandungan air 35%-75% dan terhitung sangat tinggi, kandungan karbon
padat masih rendah sedangkan kandungan karbon terbangnya sangat tinggi,
sangat mudah teroksidasi dan nilai panas yang sangat rendah.
c. Sub-bituminous coal
Tingkatan berikitnya adalah batubara sub-bituminous hingga bituminous.
Memiliki rumus senyawa kimia C75OH5O20 (sub-bituminous) dan C80OH5O15
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 35
(bituminous) merupakan batubara pertengahan, artinya proses pembatubaraan
semakin baik dan tingkat kematangan semakin tinggi. Karakteristiknya berwarna
hitam dengan kilap belum terlalu jelas dengan materi yang sudah terkompaksi baik
sehingga strukturnya lebih masif dan keras. Kandungan air sedang 8-10%,
kandungan karbon padat cukup tinggi sekitar 68-85%, kandungan karbon terbang
sedang dan oksidasi tingkat menengah serta nilai panas yang dihasilkan cukup
besar. Kalorinya cukup besar dan mulai dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar.
d. Antrasit
Tingkat batubara yang terakhir adalah antrasit dengan rumus senyawa
C94OH3O33. Antrasit merupakan tingkat batubara yang paling baik sebagai
bahan bakar. Hal ini dikarenakan tingkat kematangan batubara tersebut sangat
tinggi. Karakteristik batubara jenis ini yaitu warna yang sangat hitam dan kilap
yang sangat jelas, material sudah mengalami kompaksi yang sangat tinggi
sehingga sangat kompak dan keras sehingga sulit dipecah, kandungan air sangat
rendah, kandungan karbon padat sangat tinggi (diatas 86%) dan kandungan
karbon terbang sangat rendah. Relatif sulit teroksidasi dan nilai panasnya sangat
besar, biasanya berada di lapisan batubara paling dalam.

Gambar 4.8. Kenaikan tingkat kematangan batubara


Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 36

BAB V
BATUAN SEDIMEN KARBONAT
5.1 Pengertian
Batuan karbonat merupakan salah satu batuan sedimen non siliklastik. Menurut Pettijohn
(1975), batuan karbonat adalah batuan yang unsur karbonatnya lebih besar dari unsur non
karbonat atau dengan kata lain unsur karbonatnya >50%. Apabila unsur karbonatnya <50%
maka, tidak bisa lagi disebut sebagai batuan karbonat. Sedangkan batugamping (limestone)
adalah batuan sedimen yang mengandung lebih dari 90% unsur karbonat. Unsur-unsur
karbonat yang umum dapat dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5.1. Mineral karbonat yang umum dijumpai

Di antara mineral-mineral di atas, yang paling banyak dijumpai adalah argonit, kalsit, dan
dolomit. Material karbonat dapat berasal dari presipitasi langsung dari air atau dari organisme
yang membentuk cangkang karbonatan.Kebanyakan karbonat modern tersusun oleh mineral
aragonit, dimana mineral ini umum sebagai penyusun cangkang/rangka organisme
karbonatan: pelecypoda, gastropoda, halimeda.Karena sifat aragonit tidak stabil, maka akan
mudah terubah (replacement) menjadi kalsit.Kalsit sendiri jika mengalami diagenesis lanjut,
akan terubah menjadi dolomit.
Pembentukan batuan sedimen karbonat sama dengan batuan sedimen lainnya tetapi
material yang diendapkan berasal dari material sedimen yang telah ada sebelumnya
(alloctonous limestone), hasil litifikasi pada suatu lingkungan pengendapan karbonat yang
telah ada maupun hasil pelarutan material karbonat dengan laruta karbonat di daerah tersebut
(autochnous limestone).
Batuan karbonat penting dipelajari secara khusus karena mempunyai arti ekonimis yang
cukup besar dan dalam berbagai ha lberbedadengan batuan silisiklastik. Aspek perbedaannya
antar lain :
 Pembentukannya tergantung aktifitas organisme (98% asal organisme)
 Sangat mudah berubah karena proses diagnesis.
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 37
 Terbentuk pada lingkungan dimana dia terendapkan (intrabasinal)
Endapan karbonat merupakan hasil proses biokimia dilingkungan laut yang jernih,
hangat, dan dangkal.
 Jernih : berhubungan dengan penetrasi sinar matahari, dimana aktifitas metabolisme
organisme sangat tergantung pada sinar matahari, apabila silisiklastik berukuran halus
(misal, lanau) hadir, maka bisa menyumbat pernafasan organisme dan menghambat
penetrasi sinar matahari, sehingga menggangu metabolisme organisme pembentuk
karbonat.
0
 Hangat : koral dan organisme lain bereproduksi pada suhu sekitar 18 C
 Dangkal : semakin besar kedalaman laut, maka penetrsai sinar matahari akan semakin
berkurang, sehingga organisme pembentuk karbonat akan sulit hidup.

5.2 Komponen
Batuan karbonat terbentuk oleh proses pengendapan mekanik, seperti halnya batuan
sedimen klastik, tetapi berasal dari batugamping ataupun material CaCO3 yang telah ada
sebelumnya. Komponen penyusun batuan karbonat adalah sebagai berikut :
5.2.1 Allochem (Grain)
Allochem merupakan komponen batuan karbonat berupa partikel / butiran karbonat
yang berukuran lebih dari/ sama dengan pasir. Macam-macam Grain (Allochem) adalah
:
a. Non Skeletal Grain
Merupakan grain atau butiran dalam batuan karbonat yang bukan berasal dari
cangkang/rangka organisme karbonatan. Macam-macam non skeletal grain adalah :
 Ooid/oolith/coated grain
Merupakan butiran berbentuk spheroidal/elipsoid yang struktur laminasi
konsentris mengelilingi satu pusat inti dengan ukuran < 2mm (berukuran pasir),
yang menjadi partikel inti biasanya berupa fragmen cangkang atau butiran kuarsa
yang kemudian terlingkupi oleh karbonat halus karena proses agitasi gelombang
pada lingkungan laut dangkal. Apabila salinitas sangat tinggi maka akan terbentuk
struktur radier. Ooid tersusun oleh lapisan kalsit/aragonit yang mengelilingi suatu
inti.

(a) (b)
Gambar 5.1. Struktur Ooid (a), Kenampakan Ooid Secara Megaskopis (b)

Ooid terbentuk pada lingkungan air laut yang dangkal, hangat dan pengaruh
pasang surut yang kuat. Aktivitas gelombang mempengaruhi bentuknya yang
spherical.
 Pisoid/pisolit
Merupakan butiran karbonat seperti ooid tapi mempunyai ukuran >2mm.
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 38
 Pelloid/Pellet
Adalah butiran karbonat berbentuk spheroidal atau ellipsoidal atau runcing
tapi tidak memiliki struktur dalam seperti ooid, ukuran pellet relatif kecil, tapi
biasanya berdiameter 0,1-0,5 mm (lanau sampai pasir halus). Pellet tersusun oleh
microcrystalin carbonate, tetapi tanpa internal structure. Peloid berasal dari sekresi
organisme, terutama organisme pemakan lumpur. Pelloid dapat berasal dari fecal
pellet,algae dan mud clast.

Gambar 5.2. Pellet

 Intraclast
Merupakan fragmen dari batuan karbonat yang telah ada sebelumnya
(berasal dari cekungan yang sama), yang kemudian mengalami proses rombakan
dan terendapkan kembali sebagai grain dalam batugamping yang lebih muda.
Biasanya terbentuk akibat strom deposit atau endapan turbidit.

Gambar 5.3. Intraclast

 Klastika Karbonat
Merupakan butiran karbonat yang berasal dari proses erosi batu
gamping purba yang telah tersingkap di darat, atau berasal dari proses
erosi endapan-endapan karbonat terkonsolidasi lemah pada cekungan
pengendapan. Ukuran klastika karbonat biasanya pasir sampai gravel.
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 39

Gambar 5.4. Klastika Karbonat

b. Skeletal Grain
Merupakan fragmen karbonat yang berasal dari bagian keras
organisme/cangkang/tubuh organisme (moluska, echinoidea, ostracoda, foraminifera
dll). Butiran cangkang pada batuan karbonat dapat berupa mikrofosil, makrofosil atau
fragmen/pecahan makrofosil. Jika fosil tersebut berupa cangkang utuh maka disebut
sebagai biomorf, sedangkan apabila butiran brupa pecahan cangkang disebut sebagai
bioclast. Butiran ini merupakan allochem yang paling sering dijumpai dalam
batugamping. Butiran fosil baik yang utuh maupun fragmen cangkang pada
batugamping dapat digunakan untuk interpretasi lingkungan pengendapan purba

Gambar 5.5. Skeletal Grain

5.2.2 Orthochem
Orthochem merupakan komponen batuan karbonat yang mineralnya terkristalisasi
langsung di tempat pengendapan, sehingga tidak mempunyai butiran-butiran bawaan.
Orthochem ini dapat disebandingkan dengan matriks dalam batuan sedimen klastik.
Macam-macam Orthochem adalah sebagai berikut :
a. Micrite (Microcrystalin Calcite)
Berupa lumpur (mud) karbonat, yang tersusun oleh interlocking anhedral
calcite / aragonit yang berukuran halus/lumpur. Secara umum, mikrite ini
membentuk matriks dalam batuan karbonat. Atau bisa juga sebagai penyusun
utama batuan karbonat berbutir halus, butirannya berukuran <1/256 mm atau
ukuran lempung (Tucker, 1982). Di bawah microscop micrite mempunyai
kenampakan cloudy dan translucent, keabu-abuan sampai cokelat. Kehadiran
mikrite yang melimpah mencirikan lingkungan pengendapan yang berenergi rendah,
sehingga micrite terbentuk pada kondisi air yang tenang.
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 40

Micrite Micrite
(Microscopic)
Gambar 5.6. Micrite

b. Sparit (Spary Calcite)


Merupakan semen karbonat yang umumnya mengisi ruang kosong pada
batuan karbonat, berupa kristal-kristal kalsit. Kenampakannya lebih jernih, kristalin
dan berukuran lebih kasar daripada micrite. Sparite tersusun oleh kristal-kristal
kalsit berbentuk equant, berukuran 0,021-0,1 mm, kenampakannya transparan dan
jernih di bawah mikroskop polarisasi (Boggs, 1987). Sparit dibedakan dengan mikrit
karena mempunyai ukuran kristal yang lebih besar dan kenampakannya lebih jernih,
sedang perbedaannya dengan butiran allochem adalah pada bentuk kristalnya dan
tidak adanya tekstur internal. Sparite terbentuk akibat proses diagenesis, yaitu dari
pelarutan karbonat yang kemudian mengkristal. Secara umum, jika kehadiran
sparite melimpah, mencirikan lingkungan pengendapan berenergi tinggi.

5.3 Klasifikasi dan Tatanama batuan


Secara umum klasifikasi batuan karbonat didasarkan pada dua hal yaitu kenampakan
fisik (klasifikasi deskriptif) dan pada asal-usul (klasifikasi genetik). Beberapa klasifikasi yang
dapat digunakan antara lain :
5.3.1 Klasifikasi Grabau (1904)
Menurut Grabau batugamping dapat dibagi menjadi 5 berdasarkan ukuran dan
teksturnya, yaitu :
a. Kalsirudit, yaitu batugamping yang ukuran butirnya > 2 mm atau lebih besar dari
ukuran pasir.
b. Kalkarenit, yaitu batugamping yang ukuran butirnya sama dengan ukuran pasir
(1/16-2 mm)
c. Kalsilutit, yaitu batugamping yang ukuran butirnya lebih kecil dari ukuran pasir
(<1/16 mm)
d. Kalsipulverit, yaitu batugamping hasil presipitasi kimiawi, sifatnya kristalin.
e. Batugamping organik, yaitu hasil pertumbuhan organisme secara insitu, misalnya
terumbu dan stromatolit.
5.3.2 Klasifikasi Folk (1959)
Folks mengklasifikasikan batuan karbonat berdasarkan tekstur pengendapan dan
perbandingan fraksi komponen penyusunnya, yaitu butiran/allochem, micrite dan
sparite/orthochem. Berdasarkan perbandingan relief antara allochem, micrite dan
sparite serta jenis allochem yang dominan, maka Folk membagi batugamping menjadi 4
famili, seperti yang terdapat pada tabel klasifikasi.
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 41
Batugamping tipe I dan II disebut sebagai allochemical rock (allochem>10%),
sedangkan batugamping tipe III disebut sebagai orthochemical rock (allochem<10%).
Batas ukur butir yang digunakan oleh Folk untuk membedakan butiran (allochem) dan
micrite adalah 4 mikron (lempung).
Batugamping tipe I analog dengan batupasir / konglomerat yang tersortasi bagus
dan terbentuk pada high energy zone, batugamping tipe II analog dengan batupasir
lempungan atau konglomerat lempungan dan terbentuk pada low energy zone dan
batugamping tipe III analog dengan batulempung dan terbentuk pada kondisi yang
tenang (lagoon).

(a)

(b)
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 42

(c)
Gambar 5.7. Klasifikasi Folk (1959) berdasarkan komposisi utama(a), berdasarkan tekstur
(b), berdasarkan ukuran butir dan kristal penyusun (c)

Keterangan :
 Intraclast awalnya merupakan suatu endapan yang berupa lumpur karbonat yang
belum memadat, semi konsolidasi, lalu ada erosi dan mengalami pengendapan
kembali yang biasanya dekat dengan tempat pembentukan awalnya.
 Pellet merupakan suatu butiran yang strukturnya mycrocrystalin (warnanya gelap),jika
mengandung kotoran binatang maka disebut “facal pellet”sedangkan jika mempunyai
ukuran yang agak besar disebut “luap”.
 Oolite merupakan suatu butiran yang intinya dilapisi oleh unsur karbonat, dimana
intinya berfosil dan apabila disayat memiliki bentuk konsentris.
 Fosil termasuk ke dalam allochemical, karenamengalami transportasi akibatadanya
suatu erosi ia akan terlepas dari induknya lalu mengendap di tempat tertentu,
misalnya Globigerina yang hidup secara plankton.

5.3.3 Klasifikasi Dunham (1962)


Dunham membuat klasifikasi batuan karbonat berdasarkan tekstur
pengendapannya, meliputi ukuran butir dan pemilahan/ sortasi. Hal yang perlu
diperhatikan dalam klasifikasi ini antara lain:
 Derajat perubahan tekstur pengendapan
 Komponen asli terikat atau tidak terikat selama proses deposisi
 Tingkat kelimpahan antar butiran (grain) dengan lumpur karbonat
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Dunham membuat klasifikasi.
 Boundstone : hubungan antar komponen tertutup yang berhubungan dengan
rapat.
 Grainstone : hubungan terbuka antar komponen-komponen, tanpa lumpur.
 Packcstone : ada lumpur, tetapi yang banyak adalah komponen penyusun
berupa allochem.
 Wackestone: didominasi lumpur akan tetapi kandungan fragmen juga cukup
banyak.
 Mudstone : didominasi lumpur dengan kandungan fragmen yang sangat sedikit
bahkan bisa jadi tanpa adanya fragmen.
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 43
Kelebihan yang lain dari klasifikasi Dunham (1962) adalah dapat dipakai untuk
menentukan tingkat diagenesis karena apabila sparit dideskripsi maka hal ini bertujuan
untuk menentukan tingkat diagenesa.

Gambar 5.8. Klasifikasi Dunham, 1962

5.3.4 Klasifikasi Embry & Klovan (1971)


Embry dan Klovan (1971) mengembangkan klasifikasi Dunham (1962)
dengan membagi batugamping menjadi dua kelompok besar yaitu Autochnous
Limestone dan Alloctonous Limestone berupa batugamping yang komponen-
komponen penyusunnya tidak terikat secara organis selama proses deposisi.
Pembagian Autochnous Limestone dan Alloctonous Limestone oleh Embry
dan Klovan (1971) telah dilakukan oleh Dunham (1962), hanya saja tidak terperinci.
Dunham hanya memakainya sebagai dasar pengklasifikasiannya saja antara
batugamping yang tidak terikat (packstone, wackstone, mudstone, grainstone) dan
terikat (boundstone) ditegaskan. Sedangkan Embry dan Klovan (1971) membagi lagi
bounstone menjadi tiga kelompok yaitu framestone, bindstone, dan bafflestone,
berdasarkan atas komponen utama terumbu yang berfungsi sebagai perangkap
sedimen. Selain itu juga ditambahkan nama kelompok batuan yang mengandung
komponen berukuran lebih besar dari 2 cm > 10%. Nama yang mereka berikan
adalah rudstone untuk component-supported dan floatstone untuk matrix-supported.
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 44

Gambar 5.9. Klasifikasi Embry & Klovan (1971)

5.3.5 Lingkungan Pengendapan


Lingkungan pembentukan karbonat dapat terjadi mulai zona supratidal sampai
dengan cekungan yang lebih dalam, paparan cekungan dangkal, yang meliputi middle
self dan outer shelf. Cekungan pembentukan karbonat ini disebut sebagai subtidal
carbonate factory.
Endapan-endapan ini akan terakumulasi pada shelf, sebagian mengalami
transportasi ke daratan (tidal flat)oleh gelombang dan pasang surut, sebagian lagi akan
mengalami transportasi ke arah laut / cekungan yang lebih dalam.

5.4 Fasies Terumbu


Meskipun lingkungan pembentukan endapan karbonat dapat terjadi mulai dari zona
supratidal sampa cekungan yang lebih dalam diluar shelf, paparan cekungan dangkal (shallow
basin platform) yang meliputi middle shelf dan outer shelf adalah tempat produksi endapan
karbonat yang utama dan kemudian tepat ini disebut sebagai subtidal carbonate factory (N.P.
James, 1979, dalam Boggs, 1987)
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 45

Gambar 5.10. FasiesTerumbu (James, 1979)

Endapan-endapan karbonat yang dihasilkan akan terakumulasi pada shelf, sebagian


mengalami transportasi ke arah daratan, yaitu ke tidal flat, pantai lagoon sedangkan sebagian
lagi mengalami transportasi ke arah laut, yaitu ke cekungan yang lebih dalam. Pada
lingkungan laut yang dalam jarang terbentuk endapan karbonat, kecuali merupakan hasil
jatuahan dari plankton yang mengekspresikan kalsium di karbonat dan hidup di air
permukaan. Pada gambar terlihat, bahwa terumbu merupakan salah satu sumber produksi
endapan karbonat di paparan maupun cekungan di luar paparan. Terumbu adalah suatu
timbulan karbonat yang dibentuk oleh pertumbuhan organisme koloni yang insitu, mempunyai
potensi untuk berdiri tegar membentuk struktur topografi yang tahan gelombang.
James (1979), membagi fasies terumbu masa kini secara fisiografis menjadi 3
macam, yaitu sebagai berikut :
a. Fasies Inti Terumbu (reef core facies)
Fasies ini tersusun oleh batugamping yang masif dan tidak berlapis, berdasarkan
litologi dan biota penyusunnya, fasies ini dapat dibagi menjadi 4 sub-fasies, yaitu :
 Sub-fasies puncak terumbu (reef crest)
Litologi berupa framestone dan bindstone, sebagai hasil pertumbuhan biota jenis
kubah dan menggerak dan merupakan very high energy zone.
 Sub-fasies dataran terumbu (reef flat)
Litologi berupa ridstone, grainstone, dan nosule dari ganggang karbonatan dan
merupakan daerah berenergi sedang dan tempat akumulasi rombakan terumbu.
 Sub-fasies terumbu depan (ree front)
Litologi berupa bafflestone, bid stone dan framestone dan merupakan daerah
berenergi lemah – sedang.
 Sub-fasies terumbu belakang (back reef)
Litologi berupa bafflestone dan flatstone dan merupakan daerah berenergi lemah dan
relatif tenang.
b. Facies depan terumbu (fore reef facies)
Litologi berupa grainstone dan rudstone dan merupakan lingkungan yang
mempunyai kedalaman > 30 m dengan lereng 45 – 60. semakin jauh dari inti terumbu (ke
arah laut), litologi berubah menjadi packstone, wackstone, dan mudstone.
c. Fasies belakang terumbu (back reef facies)
Fasies ini sering disebut juga fasies lagoon dan meliputi zona laut dangkal
(<30m) dan tidak berhubungan dengan laut terbuka. Kondisi airnya tenang, sirkulasi air
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 46
terbatas, dan banyak biota penggali yang hidup di dasar. Litologi berupa packstone,
wackstone, dan mudstone dan banyak dijumpai struktur jejak dan bioturbasi, baik
horizontal maupun vertikal.
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 47
BAB VI
BATUAN METAMORF

5.1. Pengertian
Batuan metamorf adalah batuan yang terbentuk dari proses rekristalisasi di dalam
kerak bumi yang secara keseluruhan atau sebagian besar terjadi dalam keadaan yang
padat,yakni tanpa melalui fase cair, sehingga terbentuk steruktur dan mineralogi baru
o
akibat pengaruh temperatur (T) (200-650 C) dan tekanan (P) yang tinggi. Batuan
metamorf merupakan batuan yang berasal batuan induk, bisa batuan beku, batuan
sedimen, maupun batuan metamorf sendiri yang mengalami metamorfisme.
Menurut H.G.F. Winkler, 1967, metamorfosisme adalah proses yang mengubah
mineral suatu batuan pada fase padat karena pengaruh atau respon terhadap kondisi
fisika dan kimia didalam kerak bumi,dimana kondisi kimia dan fisika terssebut berada
dengan kondisi sebelumnya. Proses-proses tersebut tidak termasuk pelapukan dan
diagenesa.

5.2. Struktur
Adalah kenampakan batuan yang berdasarkan ukuran, bentuk atau orientasi unit
poligranular batuan tersebut. Secara umum struktur batuan metamorf dapat dibedakan
menjadi struktur foliasi dan nonfoliasi.
a. Struktur Foliasi
Merupakan kenampakan struktur planar pada suatu massa. Foliasi ini dapat terjadi
karena adnya penjajaran mineral-mineral menjadi lapisan-lapisan (gneissoty), orientasi
butiran (schistosity), permukaan belahan planar (cleavage) atau kombinasi dari ketiga
hal tersebut. Struktur foliasi antara lain :
1. Slaty Cleavage
Umumnya ditemukan pada batuan metamorf berbutir sangat halus
(mikrokristalin) yang dicirikan oleh adanya bidang-bidang belah planar yang
sangat rapat, teratur dan sejajar. Batuannya disebut slate (batusabak).

Gambar 6.1 Struktur Slaty Cleavage

2. Phyllitic
Stuktur ini hampir sama dengan struktur slaty cleavage tetapi terlihat
rekristalisasi yang lebih besar dan mulai terlihat pemisahan mineral pipih
dengan mineral granular. Batuannya disebut phyllite (filit)
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 48

Gambar 6.2 Struktur Phyllitic


3. Schistosic
Terbentuk adanya susunan parallel mineral- mineral pipih, prismatic atau
lentikular (umumnya mika atau klorit) yang berukuran butir sedang sampai
kasar. Batuannya disebut (sekis).

Gambar 6.3 Struktur Schistosic


4. Gneissic/Gnissose
Terbentuk oleh adanya perselingan., lapisan penjajaran mineral yang mempunyai
bentuk berbeda, umumnya antara mineral-mineral granuler (feldspar dan kuarsa)
dengan mineral-mineral tabular atau prismatic (mineral ferromagnesium). Penjajaran
mineral ini umumnya tidak menerus melainkan terputus- putus. Batuannya disebut
gneiss.

Gambar 6.4 Struktur Gneissic


b. Struktur Non Foliasi
Terbentuk oleh mineral-mineral equidimensional dan umumnya terdiri dari butiran-
butiran (granular). Struktur nonfoliasi yang umum dijumpai antara lain :
1. Hornfelsic/granulose
Terbentuk oleh mozaik mineral-mineral equidimensional dan equigranular dan
umumnya berbentuk polygonal. Batuannya disebut hornfels (batutanduk).
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 49

Gambar 6.5 Struktur Granulose


2. Kataklastik
Berbentuk oleh pecahan/ fragmen batuan atau mineral berukuran kasar dan
umumnya membentuk kenampakan breksiasi. Struktur kataklastik ini terjadi akibat
metamorfisme kataklastik. Batuannya disebut cataclasite (kataklasit).
3. Mylonitic
Dihasilkan oleh adanya penggerusan mekanik pada metamorfisme kataklastik. Cirri
struktur ini adalah mineralnya berbutir halus, menunjukkan kenampakan goresan-
goresan searah dan belum terjadi rekristalisasi mineral-mineral primer. Batiannya
disebut mylonite (milonit).

Gambar 6.6 Struktur Mylonitic


4. Phylonitic
Mempunyai kenampakan yang sama dengan struktur milonitik tetapi umumnya telah
terjadi rekristalisasi. Ciri lainnya adalah kenampakan kilap sutera pada batuan yang
mempunyai struktur ini. Batuannya disebut phyllonite (filonit).
5.3. Tekstur
Merupakan kenampakan batuan yang berdasarkan pada ukuran, bentuk dan orientasi
butir mineral dan individual penyusun batuan metamorf. Penamaan tekstur batuan
metamorf umumnya menggunakan awalan blasto atau akhiran blastik yang ditambahkan
pada istilah dasarnya.
a. Tekstur Berdasarkan Ketahanan Terhadap Proses Metamorfisme
Berdasarkan ketahanan terhadap proses metamorfisme ini tekstur batuan
metamorf dapat dibedakan menjadi :
1.Relict/ Palimset/ Sisa
Merupakan tekstur batuan metamorf yang masih menunjukkan sisa tekstur batuan
asalnya atau tekstur batuan asalnya nasih tampak pada batuan metamorf tersebut.
2.Kristaloblastik
Merupakan tekstur batuan metamorf yang terbentuk oleh sebab proses
metamorfisme itu sendiri. Batuan dengan tekstur ini sudah mengalami rekristalisasi
sehingga tekstur asalnya tidak tampak. Penamaannya menggunakan akhiran blastik.
b. Tekstur Berdasarkan Ukuran Butir
Berdasarkan butirnya tekstur batuan metamorf dapat dibedakan menjadi :
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 50
1. Fanerit bila butiran kristal masih dapat dilihat dengan mata
2. Afanit bila ukuran butir kristal tidak dapat dilihat dengan mata.
c. Tekstur berdasarkan bentuk individu kristal
Bentuk individu kristal pada batuan metamorf dapat dibedakan menjadi :
1. Euhedral, bila kristal dibatasi oleh bidang permukaan bidang kristal itu sendiri.
2. Subhedral, bila kristal dibatasi oleh sebagian bidang permukaannya sendiri dan
sebagian oleh bidang permukaan kristal di sekitarnya.
3. Anhedral, bila kristal dibatasi seluruhnya oleh bidang permukaan kristal lain di
sekitarnya.
Berdasarkan bentuk kristal tersebut maka tekstur batuan metamorf dapat dibedakan
menjadi :
1. Idioblastik, apabila mineralnya dibatasi oleh kristal berbentuk euhedral.
2. Xenoblastik/ Hypidioblastik, apabila mineralnya dibatasi oleh kristal berbentuk
anhedral.
d. Tekstur Berdasarkan Bentuk Mineral
Berdasarkan bentuk mineralnya tekstur batuan metamorf dapat dibedakan
menjadi:
1. Lepidoblastik, apabila mineralnya penyusunnya berbentuk tabular.
2. Nematoblastik, apabila mineral penyusunnya berbentuk prismatic.
3. Granoblastik, apabila mineral penyusunnya berbentuk granular,
equidimensional, batas mineralnya bersifat sutured (tidak teratur) dan umumnya
kristalnya berbentuk anhedral.
4. Granoblastik, apabila mineral penyusunnya berbentuk granular,
equidimensional, batas mineralnya bersifat unsutured (lebih teratur) dan
umumnya kristalnya berbentuk anhedral.
Selain tekstur yang diatas terdapat beberapa tekstur khusus lainnya diantaranya
adalah sebagai berikut :
 Porfiroblastik, apabila terdapat mineral yang ukurannya lebih besar tersebut
sering disebut porphyroblasts.
 Poikloblastik/ Sieve texture, tekstur porfiroblastik dengan porphyroblasts tampak
melingkupi beberapa kristal yang lebih kecil.
 Mortar teksture, apabila fragmen mineral yang lebih besar terdapat pada massa
dasar material yang barasal dari kristal yang sama yang terkena pemecahan
(crushing).
 Decussate texture yaitu tekstur kristaloblastik batuan polimeneralik yang tidak
menunjukkan keteraturan orientasi.
 Saccaroidal Texture yaitu tekstur yang kenampakannya seperti gula pasir.
 Batuan mineral yang hanya terdiri dari satu tekstur saja, sering disebut berstektur
homeoblastik.

5.4. Komposisi
Mineral-mineral yang terdapat pada batuan metamorf dapat berupa mineral yang
berasal dari batuan asal (protholit) maupun dari mineral baru yang terbentuk akibat
proses metamorfisme sehingga dapat digolongkan menjadi 3 yaitu :
a. Mineral yang umumnya terdapat pada batuan beku dan metamorf seperti kuarsa,
feldspar, muskovit, biotit, hornblende, piroksen, olivine, dan bijih besi.
b. Mineral yang umumnya terdapat pada batuan sedimen dan batuan metamorf seperti
kuarsa, muskovit, mineral-mineral lempung, kalsit dan dolomite.
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 51
c. Mineral Indeks batuan metamorf seperti garnet, andalusit, kianit, silimanit, stautolit,
kordiorit, epidot dan klorit

5.5. Petrogenesis
a. Metamorfisme regional / dinamothermal
Metamorfisme regional atau dinamothermal merupakan metamorfisme yang
terjadi pada daerah yang sangat luas. Metamorfisme ini terjadi pada daerah yang
sangat luas. Metamorfisme ini dibedakan menjadi tiga yaitu : metamorfisme orogenik,
burial, dan dasar samudera (ocean-floor).
1. Metamorfisme Orogenik
Metamorfisme ini terjadi pada daerah sabuk orogenik dimana terjadi
proses deformasi yang menyebabkan rekristalisasi. Umumnya batuan metamorf
yang dihasilkan mempunyai butiran mineral yang terorientasi dan membentuk
sabuk yang melampar dari ratusan sampai ribuan kilometer. Proses
metamorfisme ini memerlukan waktu yang sangat lama berkisar antara puluhan
juta tahun lalu.
2. Metamorfisme Burial
Metamorfisme ini terjadi oleh akibat kenaikan tekanan dan temperatur
pada daerah geosinklin yang mengalami sedimentasi intensif, kemudian terlipat.
Proses yang terjadi adalah rekristalisai dan reaksi antara mineral dengan fluida.
3. Metamorfisme Dasar dan Samudera
Metamorfisme ini terjadi akibat adanya perubahan pada kerak samudera
di sekitar punggungan tengah samudera (mid oceanic ridges). Batuan metamorf
yang dihasilkan umumnya berkomposisi basa dan ultrabasa. Adanya pemanasan
air laut menyebabkan mudah terjadinya reaksi kimia antara batuan dan air laut
tersebut.
b. Metamorfisme Lokal
Merupakan metamorfisme yang terjadi pada daerah yang sempit berkisar
antara beberapa meter sampai kilometer saja. Metamorfisme ini dapat dibedakan
menjadi :
a. Metamorfisme Kontak
Terjadi pada batuan yang menalami pemanasan di sekitar kontak massa
batuan beku intrusif maupun ekstrusif. Perubahan terjadi karena pengaruh panas
dan material yang dilepaskan oleh magma serta oleh deformasi akibat gerakan
massa. Zona metamorfisme kontak disebut contact aureole. Proses yang terjadi
umumnya berupa rekristalisasi, reaksi antara mineral, reaksi antara mineral dan
fluida serta penggantian dan penambahan material. Batuan yang dihasilkan
umumnya berbutir halus.
b. Pirometamorfisme/ Metamorfisme optalic/ Kaustik/ Thermal.
Adalah jenis khusus metamorfisme kontak yang menunjukkan efek hasil
temperatur yang tinggi pada kontak batuan dengan magma pada kondisi volkanik
atau quasi volkanik. Contoh pada xenolith atau pada zone dike.
c. Metamorfisme Kataklastik/ Dislokasi/ Kinematik/ Dinamik
Terjadi pada daerah yang mengalami deformasi intensif, seperti pada patahan.
Proses yang terjadi murni karena gaya mekanis yang mengakibatkan penggerusan
dan granulasi batuan. Batuan yang dihasilkan bersifat non-foliasi dan dikenal
sebagai fault breccia, fault gauge, atau milonit.
d. Metamorfisme Hidrotermal/ Metasotisme
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 52
Terjadi akibat adanya perkolasi fluida atau gas yang panas pada jaringan antar
butir atau pada retakan-retakan batuan sehingga menyebabkan perubahan
komposisi mineral dan kimia. Perubahan juga dipengaruhi oleh adanya confining
pressure.
e. Metamorfisme Impact
Terjadi akibat adanya tabrakan hypervelocity sebuah meteorit. Kisaran waktunya
hanya beberapa mikrodetik dan umumnya ditandai dengan terbentuknya mineral
coesite dan stishovite. Metamorfisme ini erat kaitannya dengan panas bumi
(geothermal).
f. Metamorfisme Retrogade/ Diaropteris
Terjadi akibat adanya penurunan temperatur sehingga kumpulan mineral
metamorfisme tingkat tinggi berubah menjadi kumpulan mineral stabil pada
temperatur yang lebih rendah.

Tipe Metamorfisme Agen Deskripsi

Kontak Panas Aureole sekitar intrusi batuan beku


Burial (terpendam) Panas, tekanan beban Pada dasar batuan sedimen yang
tebal
Dinamik Tekanan langsung Zona Patahan
Regional Panas,tekanan beban,tekanan Daerah yang luas, daerah
langsung dan fluida kimia aktif pembentukan pegunungan

Retrogresif Tekanan langsung dan fluida kimia Zona gerusan (shear)


aktif
Tumbukan Tekanan dan panas langsung Kawah meteorit

Gambar 6.7. Tipe-tipe metamorfisme

Tabel 6.1 Hubungan antara tipe metamorfisme dengan agen yang mempengaruhinya
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 53
5.6. Penamaan Dan Klasifikasi Batuan Metamorf
Kebanyakan penamaan batuan metamorf didasarkan pada kenampakkan struktur dan
teksturnya dan beberapa nama batuan juga didasarkan jenis penyusun utamanya atau
dapat pula dinamakan berdasrkan fasies metamorfiknya.
Selain batuan yang penamaannya berdasarkan struktur , batuan metamorf yang lainnya
yang banyak dikenal antara lain :
 Amphibolit yaitu batuan metamorf dengan besar butir sedang sampai kasar dan
mineral utama penyusunnya adalah amfibol (hornblende) dan plagioklas. Batuan ini
dapat menunjukkan schystosity bila mineral prismatiknya terorientasi.
 Eclogit yaitu batuan metamorf dengan besar butir sedang sampai kasar dan mineral
pewnyusun utamanya adalah piroksen ompasit (diopsid kaya sodium dan aluminium)
dan garnet kaya pyrope.
 Granulit, yaitu tekstur batuan metamorf dengan tekstur granoblastik yang tersusun
oleh mineral utama kuarsa dan feldspar serta sedikit piroksen dan garnet. Kuarsa dan
garnet yang pipih kadang dapat menunjukkan struktur gneissic.
 Serpentinit, yaitu batuan metamorf dengan komposisi mineralnya hampir semuanya
berupa mineral kelompok serpentin.
 Marmer, yaitu batuan metamorf dengan komposisi mineral karbonat (kalsit atau
dolomit) dan umumnya berstektur granoblastik.
 Skarn, yaitu marmer tang tidak murni karena mengandung mineral calc-silikat seperti
garnet, epidot.
 Kuarsit, batuan metamorf yang mengandung lebih dari 80% kuarsa.
 Soapstone, batuan metamorf dengan komposisi mineral utama talk.
 Rodingit, batuan metamorf dengan komposisi calc-silikat yang terjadi akibat alterasi
metasomatik batuan beku ultrabasa yang mengalami serpentinisasi \

Tabel 6.2. Identifikasian Batuan Metamorf berdasarkan Huang (1962)


Tekstur Foliasi Komposisi Tipe Batuan Asal Nama Batuan
Slaty Mika Regional Mudstone Slate
Kuarsa, Mika,
Phyllitic Regional Mudstone Phyllite
Klorit
Schistose Kuarsa, Mika Regional Slate Schist
Foliasi
Amphibole,
Schistose Regional Basalt or Gabbro Amphibolite
Plagioklas
Gneissic Feldspar, Mika,
Regional Schist Gneiss
Banding Kuarsa
Kontak or
Karbon Bituminous Coal Anthracite Coal
Regional
Kuarsa, Kontak or
Conglomerate Metaconglomerate
Non fragmen batuan Regional
Foliasi Kontak or
Kalsit Limestone Marble
Regional
Kontak or
Kuarsa Sandstone Quartzite
Regional
Buku Panduan Praktikum Petrologi 2019 – Teknik Geologi Universitas Diponegoro 54

Anda mungkin juga menyukai