Anda di halaman 1dari 7

Nama : Nuril Azizah

Nomor BP : 2010112097
Kelas : Kriminologi 1.2 (S4)
Dosen Pengampu : Bapak Dr. Fadillah Sabri, S.H.,M.H.

Tugas 2 Review Buku Kriminologi “Kejahatan”


Judul : Pengantar Kriminologi : Teori, Metode, dan Perilaku Kriminal
Edisi 7
Penulis : Frank E. Hagan
Halaman Review : Bab 1 (Pendahuluan, Kejahatan dan Hukum Pidana), Hal : 34-39
Bab 11 (Kejahatan Politik dan Terorisme), Hal : 520- 560
Penerbit : Kencana (Divisi Prenadamedia Grup)
Tahun Terbit : Oktober 2013

A. Kejahatan dan Hukum Pidana


Pandangan legal murni tentang kejahatan mendefinisikan kejahatan sebagai pelanggaran
terhadap hukum pidana. Betapa pun keji dan tidak bisa diterimanya suatu perbuatan secara moral,
itu bukan kejahatan kecuali dianyatakan demikian oleh hukum pidana. Vernon Fox (1985)
mengemukakan “kejahatan adalah sebuah peristiwa sosial politik, bukan sebuah kondisi klinis.
Kejahatan bukan kondisi klinis atau medis yang bisa didiagnosis dan dirawat secara khusus”
(hlm . 28). Hukum pidana memiliki kriteria sangat spesifik yakni mendefinisikan bahwa kejahatan
adalah suatu perbuatan sengaja atau pengabaian dalam melanggar hukum pidana (hukum yang
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi), dilakukan bukan untuk
pembelaan diri dan tanpa pembenaran, dan ditetapkan oleh negara sebagai kejahatan serius
(felony) atau kejahatan ringan (misdemeanor), (Tappan, 1960, hlm. 10).
Felony pada umumnya merujuk pada delik yang diancam hukuman setahun atau lebih di
penjara negara bagian atau federal, sedangkan misdemeanor adalah kejahatan ringan yang diancam
hukuman kurang dari satu tahun penjara. Suatu perbuatan dapat dianggap sebagai kejahatan
apabila perbuatan itu dilarang oleh hukum serta ditetapkan hukumannya, suatu perbuatan pidana
itu sendiri (actus restus) atau unsur fisik harus terjadi, harus ada kerugian sosial yang sifatnya
disengaja, perbuatan dilakukan dengan sengaja, dan perbuatan jahat yang dilakukan harus
mempunya hubungan sebab akibat dengan kerugian. Pada awalnya kejahatan dianggap sebagai
persoalan pribadi serta kemudian pihak yang menjadi korban akan mendapatkan ganti kerugian atau
melakukan pembalasan sendiri. Kemudian, hanya perbuatan merugikan yang dilakukan terhadap
raja dan kawula raja yang dianggap sebagai kejahatan. Pandangan sosiologis tentang kejahatan tidak
membatasi konsep tentang kriminalitas pada mereka yang didakwa melakukan kejahatan dalam
pengertian legal. Radwilnowicz dan King (1997) “tidak ada karateristik nasional, tidak ada rezim
politik, tidak ada sistem hukum, hukuman polisi, penindakan atau bahkan teror yang menjadikan
sebuah negara terbebas dari kejahatan, yang tak terbantahkan adalah tingkat kejahatan baru
dan lebih tinggi sudah mapan sebagai sesuatu yang otomatis dari kemakmuran” (hlm. 3-5).

B. Kejahatan Politik dan Terorisme


Schafer (1971, 1974) menggunakan istilah “conviction criminal” saat menyebut kejahatan
yang dimotivasi oleh politik. Kejahatan semacam ini dilandasi oleh keyakinan dan kebenaran akan
justifikasi keyakinan sendiri. Yang membedakan kejahatan politik ini dengan kejahatan lainnya ialah
motivasi dan pandangannya tentang kejahatan sebagai alat untuk mencapai tujuan ideologi.
Contohnya seperti dengan mengekspresikan pandangan politik di masyarakat otoriter yang
melarang ekspresi atau kritik individu terhadap negara. Kejahatan politik (political crime) dalam
studi kriminologi adalah tindakan kejahatan untuk tujuan ideologis. Dibandingkan melakukan
kejahatan ini karena dimotivasi oleh keserakahan atau keuntungan pribadi, para pelaku yakin
mereka mengikuti moralitas lebih tinggi yang melebihi masyarakat dan hukum yang ada dan
bertujuan melakukannya untuk alasan sosial politik (Robin Hood), motivasi moral-etika (Aktivis Non-
Aborsi), ajaran agama (Martin Luther), keyakinan ilmiah (Gelileo dan Copernicus) atau untuk
memublikasikan keperihatinan politik.
Dalam aspek legalnya, negara seperti Amerika Serikat menggunakan banyak Undang-Undang
untuk melindungi pemerintah dari bahaya gangguan yang jelas atau kemungkinan penggulingan
kekuasaan. Kuba dan negara otoriter lainnya pun memberlakukan Undang-Undang Pidana yang
melarang propoganda melawan negara, mengeluhkan kondisi sosial kepada orang asing, dan
berusaha memublikasikan karya yang tidak diotorisasi oleh negara. Di bawah tradisi hukum Anglo-
Amerika, kejahatan politik dan penjahat politik tidak dipandang sebagaimana adanya, sehingga tipe
pelanggaran jenis ini dimasukkan dalam Undang-Undang Nonpolitik atau Tradisional. Undang-
Undang Kriminal Anglo-Amerika ini mempertimbangkan niat, bukan motif baik atau buruk. Kittrie
dan Wedlock dalam The Tree of Liberty (1986) memberikan catatan sejarah yang berkaitan dengan
elemen kriminalitas politik, entah itu yang dilakukan negara atau orang yang dituduh melakukan
pelanggaran. Beberapa sejarah kasusnya antara lain :
 Pengadilan Peter Zenger pada 1753 atas tuduhan fitnah keji dan skandal, yang melahirkan
doktrin “kebebasan pers”
 “Kejahatan karena berkulit hitam atau Indian” yang menimbulkan “Trail of Tears” atas
Suku Cherokee dan melarang abolisionisme, kereta bawah tanah, dan pengejaran budak
 Subjugasi kulit hitam melakui konspirasi privat dan terorisme
 Genosida terhadap suku Indian Amerika
 Registrasi voter dan Freedom Rides pada masa perjuangan hak sipil, dll.

Kejahatan politik ini dapat dibedakan menjadi kejahatan oleh pemerintah atau kejahatan
terhadap pemerintah. Kejahatan oleh pemerintah adalah kejahatan atau pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh pejabat atau badan pemerintah karena alasan ideologis. Pada akhirnya, banyak
catatan fakta yang menunjukkan bahwa kejahatan jenis ini akhirnya banyak yang tidak diakui secara
resmi dan tidak dibawa ke pengadilan karena pemerintah menganggap kejahatan politik ini lebih
bersifat sosiologis ketimbang politis. Kejahatan oleh pemerintah ini mencakup pelanggaran HAM,
genosida, kejahatan oleh polisi, pengawasan ilegal, tindakan mengacau, eksprimen kebebasan sipil,
privilese konstitusional serta perilaku ilegal yang terjadi dalam proses penegakan hukum atau
menjaga status quo. Sedangkan kejahatan terhadap pemerintah dapat berupa protes, demonstrasi
ilegal, pemogakan untuk spionase, whistleblowing politik, pembunuhan, dan terorisme. Meski
kejahatan politik dapat dilakukan oleh atau terhadap pemerintah, jarang ada pemerintah yang akan
mengakui tindakan melanggar hukumnya. Dan pada faktanya, sungguh sangat disayangkan bahwa
literatur yang membahas tentang kejahatan politik oleh pemerintah yang ada dalam studi
kriminologi sangatlah sedikit. Sagarin (1973, h. xiv) dengan tepat menunjukkan kejahatan politik
mencakup tirani dan pembunuh. Terorisme merupakan kejahatan politik yang paling mencolok dari
jenis kejahatan politik lainnya. Salah satu contoh kejahatan politik yang pernah terjadi ialah Tragedi
Serangan 11 September 2001. Berikut akan dibahas mengenai jenis-jenis kejahatan oleh pemerintah
secara lebih rinci yakni :
1. Polisi Rahasia
Semua negara memerlukan sebentuk polisi rahasia untuk operasi inteligensi bawah tanah
guna mengumpulkan informasi dan keamanan dalam negeri. Plate dan Darvi (1981) mendefinisikan
polisi ini sebagai “organ pemerintah resmi atau semi resmi yang merupakan unit polisi keamanan
internal milik negara dengan mandat menekan semua oposisi politik yang mengancam secara
serius kekuasaan pemerintahan serta memiliki misi untuk mengontrol semua aktivias politik di
dalam bahkan kadang melampaui batas-batas negara bangsa.” (h. 8). Polisi rahasia sering
melakukan pengawasan ilegal, pencarian, penahanan, penangkapan ilegal dan terkadang mereka
melakukan pelanggaran HAM. Di dalam masyarakat totalitarian, efektivitas polisi rahasia dalam
mencegah kekerasan yang tidak sah dilakukan dengan penggunaan kekerasan yang sah. Gerakan dan
praktik polisi rahasia antara lainnya seperti Gestapo Hitler, OGPU Stalin, dan Tonton Macoutes Haiti
seperti pada penggerebekan tengah malam, penyiksaan, dan penghilangan paksa. Dalam banyak
tindakan ini, negara secara resmi mendorong agennya untuk melakukan kejahatan (G. Marx, 1990).
Sedangkan Barak (1991) menyebutnya hal ini sebagai “kejahatan negara”.
2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Ilustrasi kejahatan oleh pemerintah yang paling dramatis mungkin adalah pelanggaran hak
asasi manusia. Ribuan “tahanan politik” yang tidak melakukan kejahatan apapun selain menentang
gagasan politik akan disiksa, dibunuh atau dibuang. Karena kerahasiaan pemerintah, sulit untuk
mendapakan angka akurat dari tahanan jenis ini, meski organisasi HAM seperti Amnesty
International memberikan perkiraan kasarnya. Rezim otoriter dan totalitarian di pihak kanan atau
kiri adalah yang paling tidak toleran terhadap pembangkangan dan oleh karena itu, merupakan
pelanggar terbesar. Negara ini mirip dengan deskripsi George Orwell dalam novel 1984, di mana
negara menguasai segalanya. Contoh pelanggaran HAM dapat dilihat pada kasus Savak (polisi
rahasia Iran) di bawah kekuasaan shah dikenal sebagai pasukan brutal, sedangkan masa teokrasi di
bawah pimpinan Khomeini di Iran, lebih dari 25.000 orang dihukum mati hingga tahun 1984, rezim
Pol Pot di Kamboja yang menjalankan genosida massal yang menghabiskan sebagian besar
penduduk pada tahun 1975, pemerintah Cina yang membungkam gerakan demokrasi pada Mei 1989
dengan penembakan massal, penahanan, dan penghukuman mati serta kasus perbudakan yang
masih ada di seluruh dunia.
3. Kejahatan Patriarkis
Merupakan kejahatan yang dilakukan kepada perempuan dan anak-anak sebagai bagian dari
sistem dominasi dan otoritas pria. Penyelewengan ini antara lain seperti penyuruhan budak untuk
bekerja melebihi jam kerjanya tanpa bayaran, pembunuhan anak dan wanita, mutilasi seksual,
pembakaran pengantin wanita, perbudakan, dan pelecehan. Justifikasi ideologi untuk kejahatan
politik tidak terbatas hanya pada perjuangan politik atau religius. Tetapi, juga untuk
mempertahankan status quo gender. U.S State Departmen (2000) memperkirakan bahwa setiap
tahun, satu juta wanita dan anak banyak yang dibujuk dengan janji pekerjaan sah, kemudian
diselundupkan ke negara lain dan dipaksa menjadi pelacur atau budak. Selain mereka yang dipaksa
bekerja di dunia prostitusi, sebagian menjadi pembantu rumah tangga, migran, dan pekerja paksa.
Sedangkan sekitar 100 juta wanita di negara muslim Afrika menjadi korban dari mutilasi genital
wanita (FGM), yang secara kultural merupakan prosedur yang dianggap menjadi bagian dari upaya
menjaga keperawanan.
4. Genosida
Merupakan pembantaian dan pemusnahan besar-besaran atas populasi yang menjadi
kejahatan paling keji, yang dilakukan oleh suatu pemerintah. Istilah ini diciptakan oleh Raphael
Lemkin (1944), yang mendefinisikannya sebagai penghancuran suatu bangsa atau kelompok etnis.
Konflik genosidal punya sejarah panjang, dari pembantaian oleh orang Romawi, Perang Salib, Jenghis
Khan, dan pogrom melawan Yahudi Eropa hingga ke pembantaian abad ini. Pada akhir 1980-an,
sebagai bagian dari perang Irak-Iran, Irak menggunakan senjata zat kimia yang ditujukan ke warga
sipil dan militer Iran. Praktik itu kemudian dilarang oleh Konvensi Internasional (Protokol Jenewa
1925) sejak pasca Perang Dunia 1. Contoh kasus yang dapat terlihat yakni di awal 1990-an,
pengusaha di Brazil dituduh menggunakan “pasukan maut” untuk mengeksekusi anak-anak miskin di
jalanan, di akhir 1970-an tindakan mengerikan dilakukan oleh rezim Khmer Merah Pol Pot, Kamboja
terhadap rakyatnya sendiri. Pada 1948, PBB mengesahkan Konvensi tentang Genosida, di mana ia
mendefinisikan genosida sebagai kejahatan (Kuper, 1981). Dalam konvensi ini, genosida berarti
tindakan yang dilakukan untuk menghancurkan segala keseluruhan atau sebagian kelompok bangsa,
etnis, rasial atau religius dengan ciri-ciri membunuh anggota kelompok, menyebabakan luka tubuh
atau mental serius, menciptakan kondisi kehidupan yang menimbulkan kehancurkan fisik,
melakukan pengukuran untuk mencegah kelahiran, dan memindahkan secara paksa anak-anak dari
satu kelompok ke kelompok lain.
5. Kejahatan oleh Polisi
Dalam masyarakat yang demokratis, pemerintah diharapkan tidak hanya menegakkan
hukum, tetapi juga dalam melaksanakannya mematuhi hukum itu sendiri. Di AS, pemerintah
berkewajiban patuh dan bertanggung jawab atas jaminan konstitusional hak individual seperti
kebebasan berbicara, proses yang adil, dan hak privasi. Meski demikian, agen penegakan hukum
lokal dan federal sering mengabaikan dan melanggar hak ini dalam proses pelaksanaan tugasnya.
Sebelum keberhasilan perjuangan hak-hak sipil, pejabat negara bagian dan lokal di Amerika Serikat
wilayah Selatan secara sistematis melanggar Undang-Undang Federal dalam rangka menjaga sistem
kasta rasis. Pembunuhan, penggantungan sampai mati, pemukulan, pemenjaraan, dan pelanggaran
konstitusional lainnya adalah dilakukan atas nama “hukum dan ketertiban”.
6. Pengawasan Ilegal, Pengacauan, dan Eksperimen Ilegal
Pada 1967, pada masa maraknya pembangkangan di AS, Presiden Johnson memerintahkan
CIA untuk menginvestigasikan dan mengungkap sejauh mana pengaruh asing dalam aktivitas proses
di dalam negeri, tetapi kelompok operasi khusus, Operation Chaos tersebut memata-matai aktivitas
kelompok domestik serta telah melanggar aturan awal CIA, National Security Art dengan total 238
pelanggaran yang kedepannya pun mereka usahakan agar dapat dihancurkan meskipun tekanan
untuk memperluas kegiatannya telah diberikan oleh presiden itu sendiri dan Nixon. Pada 1986,
House Energy dan Commerce Subcomittee menemukan fakta bahwa agen federal telah melakukan
eksperimen terhadap warga AS, yakni menyuntik plutonium, radium, dan uranium selama periode
30 tahun sejak pertengahan 1940-an. Kemudian, Nathan Miller dalam The Founding Finaglers (1976)
mendeskripsikan korupsi di beberapa administrasi pemerintahan, mencakup aktivitas penyuapan,
konflik kepentingan, pencurian, dan penyelewengan otoritas pemerintah untuk mendapatkan
keuntungan finansial atau politik. Kasus lain juga dapat terlihat pada 4 November 1986, majalah
Lebanon Al Shiraa mengungkap adanya penjualan senjata rahasia ke Iran. Uang yang didapat dari
penjualan senjata tersebut kemudian ditukar dengan sandera Amerika dan digunakan secara diam-
diam untuk mendanai pemberontakan Contra yang melawan rezim Sandnista Marxis di Nicaragua
(U. S House of Representatives, 1987).

Seperti yang ditunjukkan pada bagian sebelumnya, kejahatan terhadap pemerintah itu
bervariasi, mulai dari protes ilegal, demonstrasi ilegal, pemogokan, pengkhianatan, sabotase,
pembunuhan, dan terorisme. Di berbagai kesempatan dalam sejarah, gerakan sosial yang menuntut
perubahan dipandang sebagai ancaman atau subversif terhadap masyarakat yang ada. Contohnya
yakni seperti revolusi Amerika, gerakan buruh, gerakan anti-Perang Vietnam, dan perjuangan hak
sipil. Selanjutnya akan dibahas mengenai jenis-jenis kejahatan terhadap pemerintah secara lebih
rinci yakni :
1. Protes dan Pembangkangan
Protes dan pembangkangan terhadap pemerintah biasanya dianggap “radikal” (sayap kiri)
dalam upayanya melakukan perubahan tatanan, namun sebenarnya mereka juga adalah
representasi dari “aktivis reaksioner” (sayap kanan) yang berusaha menjaga atau memulihkan
tatanan lama, institusi, atau skema organisasi yang sedang terancam. Kelompok ini biasanya
mengekspresikan pembangkangannya melalui aktivitas ketidakpatuhan sipil seperti dengan cara
berdemonstrasi, memboikot, dan melakukan parade kebebasan guna menentang hukum yang tidak
adil.
2. Gerakan Sosial
Protes ilegal, demonstrasi, dan pemogokan sering diasosiasikan dengan gerakan sosial yang
mendukung perubahan tatanan. Pendukung gerakan ini biasanya berkomitmen untuk mengubah
status quo. Contohnya adalah gerakan hak sipil menentang rasisme, feminisme melawan seksisme,
gerakan buruh dan pertanian menuntut upah yang layak, gerakan antiperang menentang eskalasi
konflik Vietnam, gerakan antinuklir, gerakan lingkungan dan anti atau pro-pilihan bebas. Kelompok
ini biasanya menjalankan tujuannya untuk mengubah status quo terkadang dengan menggunakan
kekerasan, sabotase, atau perilaku destruktif lainnya. Namun, jarang sekali yang melakukan
pengkhianatan pada negara, pembunuhan, atau terorisme. Sering kali yang dianggap sebagai
penjahat politik ini menyuarakan gagasannya karena mereka merasa diserang karena alasan SARA.
Pengusiran, pengasingan, pembungkaman, penyitaan, penahanan, pembatasan perjalanan, dan
kontrol atas asosiasi.
3. Pembunuhan
Contoh dari kasus kejahatan pembunuhan yang pernah terjadi yakni upaya pembunuhan
dan ancaman terhadap presiden Bill Clinton pada tahun 1995 dengan percobaan bunuh diri dengan
menabrakkan pesawat hasil curian dan penembakan dengan senapan semi-otomatis yang ditujukan
pada Gedung Putih. James Clarke mengkritik asumsi populer bahwa semua atau sebagian besar
pembunuh politik mengalami gangguan mental yang menyebabkan mereka menjadi pembunuh.
Clarke mengindetifikasikan lima tipe pembunuhan melalui si pelakunya, yakni pembunuh politik
yang melakukan tindakannya bukan untuk kepentingan diri, namun karena alasan politik. Yang
kedua, pembunuh egosentris yakni orang yang memiliki kebutuhan egosentris agresif yang besar dan
butuh diterima, diakui serta butuh status serta pada kenyataannya mereka memahami konsekuensi
dari tindakan yang dilakukan serta tidak menunjukkan distorsi kognitif seperti delusi atau psikosisi,
pembunuh psikopat yang tidak mampu berelasi dengan orang lain dan memiliki gangguan emosi
yang mengarahkan kegusarannya pada figur politik, pembunuh gila yang memiliki catatan psikosisi
organik dan tipe mentalitas yang disebabkan oleh faktor fisiologis baik itu dipicu karena lingkungan
atau genetik serta yang terakhir pembunuh atipikal yang tidak masuk klasifikasi apapun.
4. Spionase
Merupakan pencurian informasi yang dilakukan secara diam-diam (klandestin), yang telah
dilakukan sejak dalam waktu yang lama. Meski umumnya kita lebih mengenal citra mata-mata
“spionase hitam” yang menjadi bentuk klasik spionase selama bertahun-tahun, tetapi penggunaan
spionase tersebut sudah sangat jarang digunakan karena pada masa sekarang “spionase putih” lah
yang lebih sering digunakan, yang menggunakan satelit, pemecahan kode, dan pengumpulan
informasi teknis (Marchetti & Marks, 1974, h. 186; Renelagh, 1986). Revolusi teknologi dalam
spionase telah menggantikan bentuk mata-mata klasik yang sebelumnya digunakan. “Kriminal Sub
Rosa” adalah mata-mata yang mencuri rahasia. Salah satu bentuk mata-mata, yakni pengkhianatan,
menjadi salah satu kejahatan paling awal yang dihukum oleh masyarakat dan satu-satunya kejahatan
yang didiskusikan dalam Konstitusi AS. Meski sub ini kurang mendapat perhatian dalam literatur
kriminologi, kejahatan ini lebih merugikan ketimbang kejahatan tradisional dan telah mengubah
sejarah politik dan ekonomi pasca Perang Dunia 2.
Penulis mengemukakan tipologi mata-mata diantaranya adalah mata-mata pedagang yang
memperdagangkan rahasia demi imbalan uang, mata-mata ideologis yang dimotivasi oleh keyakinan
ideologis yang kuat, mata-mata teralienasi atau egosentris, yang merupakan orang yang berkhianat
karena alasan personal yang tidak berhubungan dengan uang atau ideologis, mata-mata sport atau
pembajak, yakni orang yang mendapatkan informasi psikologis melalui kegiatan mata-mata, mata-
mata profesional yang merupakan seorang agen, orang karier atau karyawan okupasional di biro
intelijen, mata-mata kompromi yang merupakan pengkhinat, yang memperdagangkan rahasia
karena tujuan asmara, diperas atau dipaksa, dan mata-mata yang ditipu (false flag recruit) yaitu
orang yang dibuat percaya bahwa dia sedang bekerja dalam satu organisasi, padahal sebenarnya dia
bekerja di organisasi lain.
5. “Whistleblowing” Politik
Informasi diklasifikasikan sebagai rahasia untuk melindungi keamanan nasional. Dalam
beberapa kasus, untuk melindungi hal tersebut dilakukanlah pemberian informasi palsu kepada
publik dan menutupi aktivitas yang dapat dipertanyakan. Dalam rangka memprotes aktivitas yang
dapat dipertanyakan tersebut, Daniel Ellsberg, seorang karyawan di RAND Corporation melanggar
sumpah rahasianya dan mengungkap dokumen rahasia pemerintah, Pentagon Papers yang
mengenai keterlibatan AS dalam Perang Vietnam kepada pers (Gravel, 1971). Dalam kasus yang lebih
kontroversial, mantan agen CIA Philip Agee (1975) menulis memoar personal tentang aktivitasnya di
CIA saat bekerja di Amerika Selatan.
6. Terorisme
Di lihat dari luar konteks politiknya, terorisme internasional adalah contoh dari pembunuhan
massa terburuk dalam sejarah. Setiap definisi terorisme pasti menimbulkan perselisihan. Definisi
oleh U.S. Departmen of Defense, FBI, State Department, Department of Justice, dan Vice President’s
Task Froce on Combating Terrorism (1986) mencakup diantara lainnya penggunaan kekuatan atau
kekerasan secara tidak sah oleh organisasi revolusioner, niat memaksa atau mengintimidasi
pemerintah untuk tujuan politik atau ideologis, kekerasan politik langsung yang dilakukan terhadap
sasaran non-kombatan oleh kelompok subnasional atau agen klandestin, dan penggunaan
pembunuhan atau penculikan. Terorisme bisa dibedakan dari tindakan perang tragis dalam hal niat
dan sasaran orang tak bersalah (Netanyahu, 1986, h. 8). FBI (Pomerantz, 1987) mendefinisikan
terorisme sebagai penggunaan kekuatan militer atau kekerasan secara melanggar hukum terhadap
orang atau properti guna mengintimidasi atau memaksa pemerintah, warga sipil atau setiap segmen
dari masyarakat, untuk tujuan politik atau sosial. Report of the Task on Disorders and Terrorism
(National Advisory Committee, 1976b, h. 3-6) memberikan tipologi terorisme menjadi enam bentuk
yakni terorisme politik, terorisme nonpolitik, quasi-terorisme, terorisme politik terbatas, dan
terorisme negara atau resmi.
Terorisme politik didefinisikan sebagai perilaku kriminal kekerasan yang dirancang terutama
untuk menimbulkan ketakutan di masyarakat atau sebagian masyarakat demi tujuan politik.
Terorisme nonpolitik adalah upaya untuk menimbulkan ketakutan, tetapi dilakukan untuk
keuntungan privat. Contoh dari kegiatan terorisme ini ialah aksi Keluarga Manson atau penembak
Texas Tower. Quasi-terorisme adalah aktivitas insidental tindak kejahatan dengan kekerasan yang
bentuk dan metodenya mirip dengan terorisme, namun tidak mengandung unsur terorisme.
Terorisme politik terbatas adalah tindakan terorisme yang dilakukan oleh tujuan politik atau
ideologis, namun bukan bagian dari kampanye besar untuk merebut pemerintahan. Sedangkan
terorisme negara atau terorisme resmi terjadi di negara yang kekuasaannya didasarkan pada
penciptaan rasa takut dan penindasan yang mirip seperti tindakan teroris (J. Simpson & Bennett,
1985). Selain itu, juga ada terorisme yang disponsori negara, di mana negara mendukung kegiatan
terorisme tersebut sebagai “war on the cheap”. Contohnya ialah penggunaan Syria sebagai tempat
bermarkasnya Popular Front for the Liberation of Palestine-General Command (PFLP-GC), yang
diyakini terlibat dalam pengeboman pesawat jumbo Jet Pan Am di Lockerbie, Skontlandia pada
tahun 1988.
Kelompok Hassasin (Assassin) di Timur Tengah adalah kelompok teroris awal yang paling
terkenal meskipun targetnya hanya para pejabat dan penguasa. Sebelum Perang Dunia 2,
kebanyakan teroris adalah pembunuh pejabat pemerintah (G. Martin, 2006). Selanjutnya, muncul
pula bentuk “terorisme media” menyerang acak kepada siapa pun. Terorisme tanpa padang bulu
makin menyebar luas saat ini dengan perkembangan alat peledak yang efektif dan media massa
moderen. Aksi teroris semacam itu lebih mudah dilakukan ketimbang menyerang langsung
pemimpin yang dijaga ketat atau target yang terlindungi. Kebanyakan jenis ini ditunjukkan untuk
melawan demokrasi, dan sebagian kecil kepada negara totalitarian. Terorisme merupakan aksi
revolusioner nekat yang mengatasi kekecewaannya melalui saluran-saluran lain. Insiden terorisme
internasional pernah terjadi di Amerika dan semakin meningkat sepanjang tahun 1980-an. Contoh
kasus yang pernah terjadi ialah kasus terorisme serangan bom 1993 ke World Trade Center,
pengeboman Oklahama City pada 1995, pengeboman di Olimpiade Atlanta pada 1996 serta
Peristiwa 9/11.

Anda mungkin juga menyukai