DISUSUN OLEH :
GALANG HASHFIANSYH
132013143071
Keluhan Utama : Ibu klien mengatakan anaknya demam dan sesak napas
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dari IGD hari Minggu (5 Februari 2017) jam
18.00 WIB dengan keluhan demam sejak 2 hari sebelum MRS dengan suhu: 39,5 0C, BAB
(+) berwarna kuning pucat, BAK (+) berwarna kuning gelap. Pasien rewel dan susah minum
(< 6 x/hari). Klien mengalami dispnoe (+), wheezing (+), warna kulit icterus, pruritus pada
akstrimitas atas dan punggung.
Lingkungan rumah dan komunitas: Lingkungan rumah tampak bersih, dan tidak
berhubungan dengan terjadinya penyakit
Riwayat Nutrisi
1. Nafsu makan : Baik Tidak Mual Muntah
2. Pola makan : 2x/hari 3x/hari >3x/hari
3. Minum : Jenis; ASI eksklusif, jumlah : 300 ml
4. Pantangan makan : Ya Tidak
5. Menu makanan : Tidak ada
Riwayat Pertumbuhan
1. BB saat ini : 5,3 kg, PB : 62 cm, LK : 40,5 cm, LD : Tidak terkaji, LLA : 12,3
2. BB lahir : 2700 gram, BB sebelum sakit: 5,4 kg
3. Panjang lahir : 46 cm
Interpretasi:
BB menurut TB : Z-score berada di bawah garis -2 (kurus)
BB menurut usia: Z-score berada di bawah garis -2 (kurus)
TB menurut usia : Z-score berada di bawah -1 (normal)
IMT menurut usia: Z-score berada di bawah -2 (kurus)
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Riwayat Perkembangan
3. Tahap Perkembangan Psikoseksual : Fase oral : Fase ini dimulai dari saat bayi
dilahirkan sampai dengan usia 0-2 tahun. Pada fase ini bayi merasa
dipuaskan melalui makanan, ASI, dan kelekatan hubungan emosional antara anak
dan ibu. Tahap ini memfokuskan interaksi yang terjadi melalui mulut bayi,
sehingga perakaran dan refleks mengisap adalah sangat penting. Pada tahap ini
bayi dipuaskan melalui kesenangan dari rangsangan oral yaitu melalui kegiatan
mencicipi dan mengisap. Karena bayi sepenuhnya tergantung pada ibu jadi saat
itulah bayi juga mengembangkan rasa kepercayaan dan kenyamanan melalui
stimulasi oral.
Lain –lain :
Penglihatan (Mata)
Pupil : Isokor Anisokor Lain-Lain :
Persyaratan B3 (Brain)
Urin : Jumlah : 254 cc/ hari Warna : kuning gelap Bau: pesing
Alat bantu (kateter dan lain-lain): Tidak ada
Kandung Kencing : Membesar Ya Tidak
Nyeri Tekan Ya Tidak
Alat Kelamin : Normal Tidak Normal, Sebutkan:
Uretra : Normal Hipospadia/Epispadia
Gangguan : Anuria Oliguri Retensi Inkontinensia
Nokturia Lain-lain
Kekuatan otot : 55
Kulit 5 5
Warna kulit : Ikterus Sianotik Kemerahan Pucat Hiperpigmentasi
Integumen)
Hiperglikemia : Ya Tidak
Hipoglikemia : Ya Tidak
Luka gangren : Ya Tidak
Lain-lain :
USG
USG hati bentuk dan ukuran normal tidak ada pelebaran duktus bilier, kandung empedu tidak
terdeteksi, ke Hitung skor Tohoku 7 (>5 atresia biliaris) kesan sesuai
dengan atresia billier.
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Terapi/Tindakan lain :
1. Asam ursodeoksikolat 3x20 mg
2. NaCl 0,9% 105 cc/kg BB/hari
3. Inj. Paracetamol 110 mg IV 8 jam sekali
4. Vitamin K1 2.5 mg
5. Berikan ASI on demand
1. Ikterik Neonatus
2. Defisit Nutrisi
3. Hipertermi
4. Pola Napas Tidak Efektif
5. Defisit Pengetahuan
Surabaya, 28-01-2021
Ners
(Galang Hashfiansyah)
Ringkasan Kasus :
1. Identitas Anak:
An. B usia 5 bulan anak dari Tn. A dan Ny. I berasal dari Kab. Bojonegoro. An.
B lahir pada tanggal 1 September 2016 berjenis kelamin laki-laki, datang ke IGD
RSUD Dr. Soetomo Hari Minggu (5 Februari 2017) dengan keluhan demam dan
sesak napas. Berat badan anak saat lahir 2700 gram, dengan panjang badan 47
cm. Berat badan saat ini 5,3 kg, panjang badan 62 cm.
3. Pemeriksaan penunjang:
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Hemoglobin 12,3 gr%
Leukosit 6.500/mm3
Pemeriksaan Urin
Urin warna teh pekat, bilirubin (++), protein(-), reduksi (-), urobilinogen (-).
Sedimen leukosit 1-2/lpb, eritrosit 0-1/lpb, silinder (-), epitel gepeng (+), kristal
(+).
Pemeriksaan Feses
Feses lunak, warna pucat seperti dempul, tidak berlendir dan berlemak, secara
mikroskopis tidak ditemukan leukosit, eritrosit, parasit, dan amuba.
Uji fungsi hati
Protein total 6,0 g/dl (6,6-8,7), albumin 3 g/dl (3,8- 5 gr/dl), globulin 1,2 g/dl
(1,3-2,7 gr/dl), bilirubin total 9,9 mg/dl (normal 0,3-1 mg/dl), bilirubin indirek
2,3 mg/dl (normal <0,80), bilirubin direk 7,6 mg/dl (normal <0,20).
Feses 3 porsi berwarna pucat seperti dempul.
USG
USG hati bentuk dan ukuran normal tidak ada pelebaran duktus bilier, kandung
empedu tidak terdeteksi, ke Hitung skor Tohoku 7 (>5 atresia biliaris) kesan
sesuai
dengan atresia billier.
4. Terapi:
1. Asam ursodeoksikolat 3x20 mg
2. NaCl 0,9% 105 cc/kg BB/hari
3. Inj. Paracetamol 110 mg IV 8 jam sekali
4. Vitamin K1 2.5 mg
5. Berikan ASI on demand
ANALISA DATA
B:
1. Ditemukan penurunan
protein total 6,0 g/dl (6,6-
8,7).
2. Penurunan albumin 3 g/dl
(3,8- 5 gr/dl)
3. Globulin 1,2 g/dl (1,3-2,7
gr/dl).
C:
Turgor sedang, membran
mukosa klien kering
D:
Klien tampak menurun
keinginannya untuk minum
ASI (kurang dari 6 x/hari).
DS : Infeksi virus atau bakteri Hipertermi
Ibu klien mengatakan
anaknya demam tinggi sejak Inflamasi yang progresive
2 hari yang lalu Kerusakan yang progressive pada
duktus bilier
DO :
Kulit klien terasa panas Peningkatan suhu tubuh
Suhu tubuh klien diatas nilai
normal 39,5oC MK : Hipertermi
Hasil TTV :
Suhu : 39,50C
RR : 26x/menit
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
1. Ikterik neonates b.d asam empedu dalam darah dan kulit (Atresia Bilier) d.d warna
kulit dan sclera ikterik
2. Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient
3. Hipertermi b.d proses penyakit d.d kenaikan suhu tubuh diatas nilai normal
4. Pola napas tidak efektif b.d hambatan upaya napas d.d pola napas abnormal
5. Defisit pengetahuan tentang penyakit atresia bilier b.d kurang terpapar informasi
d.d menunjukkan perilaku berlebihan
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
Hari / Diagnosa
Tujuan dan Kriteria hasil Rencana (intervensi) keperawatan
tanggal keperawatan
Kamis, Ikterik Neonatus b.d Setelah dilakukan tindakan Fototerapi Neonatus
28-01- asam empedu dalam keperawatan selama 3x24 Observasi
2021 darah dan kulit jam, diharapkan masalah 1. Monitor ikterik pada sclera dan
(Atresia Bilier) d.d keperawatan ikterik kulit bayi
kulit dan sclera neonatus dapat teratasi 2. Monitor suhu dan tanda vital
kuning dengan kriteria hasil : setiap 4 jam sekali
Adaptasi neonates 3. Monitor efek samping fototerapi
membaik (mis. hipertermi, diare, rush
1. Membran mukosa pada kulit, penurunan BB lebih
kuning menurun (5) dari 8-10%)
2. Kulit kuning Terapeutik
menurun (5) 4. Siapkan lampu fototerapi dan
3. Sklera kuning incubator atau kotak bayi
menurun (5) 5. Lepaskan pakaian bayi kecuali
popok
6. Berikan penutup mata (eye
protector) pada bayi
7. Ukur jarak antara lampu dan
permukaan kulit bayi (30 cm/
tergantung spesifikasi lampu
fototerapi)
8. Biarkan tubuh bayi terpapar
sinar fototerapi secara
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
berkelanjutan
9. Gunakan linen berwarna putih
agar memantulkan cahaya
sebanyak mungkin
Edukasi
10.Anjurkan ibu menyusui sekitar
20-30 menit
11.Anjurkan ibu menyusui
sesering mungkin
Kolaborasi
12.Kolaborasi pemberian
exchange transfusion jika
diperlukan
13.Kolaborasi pemeriksaan darah
vena bilirubin direk dan indirek
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
PEMBAHASAN
1. Pengkajian
Hasil asuhan keperawatan pada pengkajian menunjukkan bahwa An. B berjenis
kelamin laki-laki, berusia 5 bulan dengan diagnose medis Atresia Bilier. Hasil pengkajian
menunjukkan bahwa An. B tampak kuning pada sklera, dan kulit bagian ekstremitas serta
bagian punggung. An. B juga mengalami demam sejak 2 hari sebelum MRS dengan suhu:
39,50C. Pada An. B didapatkan BAB (+) berwarna kuning pucat, BAK (+) berwarna kuning
gelap. An. B rewel dan susah minum (< 6 x/hari), selain itu juga mengalami dispnoe (+),
wheezing (+), warna kulit icterus, pruritus pada akstrimitas atas dan punggung.
Diagnosis Atresia Bilier ditegakkan melalui amannesis yang teliti, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis sering ditemukan penderita ikterus dengan
tinja yang berwarna dempul dan urin yang berwarna gelap seperti air teh. Ikterus
didefinisikan dengan menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan
bilirubin dalam tubuh. Ikterus pada bayi yang lebih dari dua minggu dapat normal atau
bersifat patologi (Mawardi, dkk, 2011).
Hal ini juga sesuai dengan penelitian NDDIC (2012), yang mengatakan gejala
pertama atresia bilier adalah icterus, yaitu kulit dan bagian putih mata menguning. Ikterus
pada Atresia Bilier terjadi ketika hati tidak mengeluarkan bilirubin. Pada anak dengan
Atresia Bilier hemoglobin dalam tubuh mengalami kerusakan sehingga yang dibentuk
adalah zat kuning kemerahan. Hemoglobin adalah protein kaya zat besi yang memberi
warna merah pada darah. Ketika terjadi atresia bilier maka bilirubin yang seharusnya
diserap oleh hati, diproses, dan dilepaskan ke empedu menjadi menumpuk dalam darah dan
kulit karena terjadi penyumbatan pada saluran empedu.
Menurut analisa penulis, ikterik yang dialami oleh An. B merupakan tanda dari
penyakit Atresia Bilier, karena ikterik pada An. B merupakan ikterik patologis. Hal ini juga
didukung oleh hasil pemeriksaan laboratorium terhadap kadar bilirubin total, bilirubin direk,
dan bilirubin indirek yang diatas nilai normal. Pada An. B hasil pemeriksaan bilirubin
diapatkan bilirubin total 9,9 mg/dl (normal 0,3-1 mg/dl), bilirubin indirek 2,3 mg/dl (normal
<0,80), bilirubin direk 7,6 mg/dl (normal <0,20).
Pemeriksaan kadar bilirubin total merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium
yang bertujuan untuk mengetahui fungsi hati dan saluran empedu. Fungsi hati dan saluran
empedu yang baik dapat ditemukan jumlah kadar bilirubin total normal (Fajrian, Fatima,
2020). Pemeriksaan laboratorium yang terpenting pada bayi dengan ikterus lebih dari dua
minggu ialah bilirubin direk; jika bilirubin direk meningkat, maka harus dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut. Jika bilirubin direk bilirubin direk >1 mg/dL bila bilirubin total
20% dari bilirubin total bila kadar bilirubin total >5 mg/dL, maka diperkirakan suatu keadan
tidak normal terjadi (Prasetyo, dkk, 2016).
Dari hasil pengkajian juga didapatkan bahwa anak dengan Atresia Bilier mengalami
BAB dengan warna feses berwarna pucat seperti dempul dan BAK dengan warna urin
kuning gelap. Hal ini sesuai dengan Mawardi (2011) yang mengatakan bahwa tinja berwana
seperti dempul merupakan salah satu tanda adanya kelainan pada hati. Tinja yang berwarna
dempul pada pasien dengan Atresia Bilier disebabkan oleh adanya obstruksi traktus bilier
sehingga menyebabkan terganggunya aliran empedu yang memasuki usus. Dapat
disimpulkan, dari hasil pengkajian berdasarkan tanda dan gejala, An. B mengalami Atresia
Bilier. Hal ini sama dengan teori yang ada pada hasil pemeriksaan fisik serta tanda dan
gejala yang muncul pada An. B.
Mawardi (2011), mengatakan pasien dengan Atrisia Bilier pada hasil anamnesis
ditemukan penderita kuning sejak lahir disertai dengan tinja warna dempul serta urin
berwarna gelap. Pada pemeriksaan fisis ditemukan sklera dan kulit yang ikterus serta
adanya pembesaran hati (5-5 cm bawah arkus kosta/BAC).
2. Diagnosa Keperawatan
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pada An. B ditemukan 3 diagnosa utama yaitu
ikterik neonatus b.d asam empedu dalam darah dan kulit (Atresia Bilier) d.d warna kulit dan
sclera ikterik, defisit nutrisi b.d ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient, dan hipertermi b.d
proses penyakit d.d kenaikan suhu tubuh diatas nilai normal.
Menurut Arief dan Sjamsul (2010), kemungkinan diagnosa yang muncul pada
penyakit Kolestasis yang disebabkan karena Atresia Bilier yaitu hipertermia berhubungan
dengan proses penyakit, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan gangguan pencernaan lemak, kurang pengetahuan tentang penyakit, kekurangan
volume cairan berhubungan dengan distensi, dan risiko infeksi berhubungan dengan
ketidakadekuatan pertahanan primer dan sekunder.
a Ikterik neonatus berhubungan dengan asam empedu dalam darah dan kulit
Pada saat melakukan pengkajian ditemukan data pada An. B yaitu ikterik pada kulit
bagian ekstremitas dan punggung serta pada sclera. Berdasarkan data yang diperoleh dari
An. B, diagnosa keperawatan ikterik neonatus berhubungan dengan asam empedu dalam
darah dan kulit.
Ikterik neonatus adalah keadaan dimana kulit dan membrane mukosa neonatus
menguning setelah 24 jam kelahiran akibat bilirubin tidak terkonjugasi masuk ke dalam
sirkulasi. Tanda dan gejala ikterik neonatus yaitu profil darah abnormal (hemolysis,
bilirubin serum total >2mg/dL, bilirubin serum total pada rentang risiko tinggi menurut
usia pada normogram spesifik waktu, membrane mukosa kuning, kulit kuning dan sclera
kuning (Tim POKJA SDKI DPP PPNI, 2017).
Ikterik merupakan salah satu tanda khas yang ada pada anak yang mengalami atresia
bilier. Pada setiap bayi yang mengalami ikterus harus dibedakan apakah ikterus yang
terjadi merupakan keadaan yang fisiologik atau non-fisiologik. Ikterus yang terjadi pada
atresia bilier merupakan icterus patologik. Terdapatnya hal-hal di bawah ini merupakan
petunjuk untuk tindak lanjut pada iketrus patologik, yaitu: setiap peningkatan kadar
bilirubin serum yang memerlukan fototerapi; peningkatan kadar bilirubin total serum
>0,5 mg/dL/jam; adanya tanda-tanda penyakit yang mendasar pada setiap bayi (muntah,
letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu
yang tidak stabil); ikterus yang bertahan setelah delapan hari pada bayi cukup bulan atau
setelah 14 hari pada bayi kurang bulan (Methindas, dkk, 2013).
Ikterik neonatus yaitu pewarnaan kuning yang tampak pada sklera dan kulit yang
disebabkan oleh penumpukan bilirubin. Ikterus umumnya mulai tampak pada sklera
(bagian putih mata) dan muka, selanjutnya meluas secara sefalokaudal (dari atas ke
bawah) ke arah dada, perut dan ekstremitas. Pada bayi baru lahir, ikterus seringkali tidak
dapat dilihat pada sklera karena bayi baru lahir umumnya sulit membuka mata
(Widiawati, 2017).
b Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient
Pada pengkajian yang dilakukan pada An. B juga ditemukan data yaitu An. B susah
minum ASI, dalam sehari minum <6 x/hari. Selain itu juga ditemukan penurunan protein
total 6,0 g/dl (6,6-8,7), penurunan albumin 3 g/dl (3,8- 5 gr/dl), globulin 1,2 g/dl (1,3-2,7
gr/dl). Turgor pada An. B sedang, membran mukosa kering. Berdasarkan data yang
diperoleh dari An. B, diagnosa keperawatan deficit nutrisi berhubungan dengan
ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient dapat diangkat.
Defisit nutrisi adalah suatu keadaan dimana asupan nutrisi tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme. Penyebab dari deficit nutrisi yaitu ketidakmampuan
menelan makanan, ketidakmampuan mencerna makanan, ketidakmampuan mengabsorbsi
nutrient, peningkatan kebutuhan metabolisme, faktor ekonomi, faktor psikologis. Dengan
gejala dan tanda mayor yaitu mengalami penurunan berat badan minimal 10% di bawah
rentang ideal (Tim POKJA SDKI DPP PPNI, 2017).
Defisit nutrisi pada penderita atresia bilier disebabkan karena terjadinya obstruksi
aliran dari hati ke dalam usus, sehingga menyebabkan lemak dan vitamin larut lemak
tidak dapat diabsorbsi. Ketika tubuh tidak mampu menyerap lemak dan vitamin larut
lemak, maka tubuh akan mengalami vkekurangan vitamin larut lemak seperti vit.
A,D,E,K, dengan adanya kondisi ini menyebabkan anak menjadi nafsu makan atau
minum ASI berkurang (Rohani & Wahyuni, 2017).
3. Intervensi Keperawatan
Perencanaan tindakan keperawatan pada An.B didasarkan pada tujuan intervensi
masalah keperawatan yang muncul yaitu, ikterik neonatus b.d asam empedu dalam darah
dan kulit (Atresia Bilier) d.d warna kulit dan sclera ikterik, defisit nutrisi b.d
ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient, dan hipertermi b.d proses penyakit d.d kenaikan
suhu tubuh diatas nilai normal.
a Ikterik neonatus berhubungan dengan asam empedu dalam darah dan kulit
(Atresia Bilier)
Intervensi keperawatan pada An. B yang disusun untuk mengatasi diagnosa ikterik
neonatus berhubungan dengan asam empedu dalam darah dan kulit berdasarkan SDKI
yaitu setelah dilakukan keperawatan selama 3 x 24 jam maka diharapkan adaptasi
neonates membaik dengan kriteria hasil membran mukosa kuning menurun, kulit kuning
menurun, dan sklera kuning menurun. Intervensi keperawatan yang disusun adalah
dengan fototerapi neonatus dimana dalam SIKI berkode I.03091 yang meliputi: monitor
ikterik pada sclera dan kulit bayi, monitor efek samping fototerapi, memberikan terapi
fototerapi, anjurkan ibu menyusui sesering mungkin, kolaborasi tindakan exchange
transfusion jika diperlukan, dan pemeriksaan darah vena bilirubin direk dan indirek.
Intervensi diatas sejalan dengan Dewi dkk (2016) yang mengatakan bahwa
penggunaan fototerapi merupakan salah satu terapi ikterik pada bayi, dan terapi ini telah
dimulai sejak tahun 1950 dan efektif dalam menurunkan insiden kerusakan otak (kern
ikterus) akibat hiperbilirubinemia. Keuntungan fototerapi, antara lain, tidak invasif,
efektif, tidak mahal, dan mudah digunakan. Fototerapi mengurangi ikterik pada bayi
melalui proses fotoisomerisasi dan isomerisasi struktural.
Penelitian Seidman dkk (2003) tentang konsentrasi penurunan bilirubin setelah
dilakukan fototerapi dengan light emiting devices (LED) blue, blue-green, dan
konvensional tidak ada perbedaan yang signifikan. Fototerapi yang intensif seharusnya
dapat menurunkan kadar bilirubin total serum 1-2 mg/dL dalam 4-6 jam.12 Penelitian
Brandao dkk,10 mendapatkan penurunan kadar bilirubin total setelah fototerapi 0,16
±0,08 mg/dL/jam atau turun 3,84±1,92 mg/dL dalam 24 jam.
Intervensi pemberian fototerapi pada An. B, juga disertakan dengan adanya
pemberian edukasi pada ibu untuk sesering mungkin memberikan ASI pada bayinya.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, ASI diketahui mempunyai peran dalam
mengembalikan bilirubin ke dalam sirkulasi enterohepatik pada neonates, untuk itu
edukasi pemberian ASI eksklusif dan penambahan frekuensi menyusui harus tetap
dilakukan kepada ibu dengan bayi (Purnamasari, dkk, 2020).
Dalam rencana intervensi yang akan dilakukan pada An. B juga akan melakukan
tindakan kolaborasi exchange transfusion. Transfusi tukar atau exchange transfusion
(ET) memberikan reduksi cepat dari sirkulasi bilirubin, sehingga dapat mewakili
pengobatan yang tepat pada banyak kasus ikterik berat pada periode neonatal.
Penanganan berupa pengangkatan darah bayi dan penggantian serentak dengan darah
donor yang kompatibel (Bujandric & Gurujic, 2016). Naun, pengobatan transfusi tukar
untuk menurunkan kadar bilirubin serum boleh dilakukan hanya pada kondisi
hiperbilirubinemia yang signifikan pada kadar bilirubin serum lebih dari 20 mg / dl dan
jika fototerapi intensif tidak memberikan hasil yang optimal dalam menurunkan kadar
serum. kadar bilirubin (Hosea, dkk, 2015).
Atikah,M,V & Jaya,P. 2015. Buku Ajar Kebidanan Pada Neonatus, Bayi, dan
Balita. Jakarta. CV.Trans Info Media
Bujandric & Gujric. (2016). Exchange Transfusion for Severe Neonatal
Hyperbilirubinemia: 17 Years’ Experience from Vojvodina, Serbia. Indian J Hematol
Blood Transfus, 32(2), 208–214
Dewi, dkk. (2016). Efektivitas Fototerapi Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin Total pada
Hiperbilirubinemia Neonatal di RSUP Sanglah. Sari Pediatri, 18(2), 81-86
Fajrianti, Fatima. (2020). Enzim Transferase dengan Bilirubin Total Penderita Ikterus
Obstruktif. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, 11(1), 176-182
Hamid, M. A. (2011). Keefektifan Kompres Tepid Sponge Yang Ilakukan Ibu
Dalam Menurunkan Demam Padaanak: Randomized Control Trial Di
Puskesmas Mumbulsari Kabupaten Jember. (Tesis, Universitas Sebelas
Maret).
Hosea, dkk. (2015). Hyperbilirubinemia Treatment of Neonatus in Dr. Soetomo Hospital
Surabaya. Folia Medica Indonesiana, 51(3),183-186
Kusnanto, Widyawati, I. Y. dan Cahyanti, I. S. (2008). Efektifitas Tepid
Sponge Bath Suhu 320C dan 370C Dalam Menurunkan Suhu Tubuh
Anak Demam. Jurnal Ners. 3(1) : 1–7 Mawardi, dkk. (2011). Kolestasis Ektrahepatik Et
Causa Atresia Bilier Pada Seorang Bayi. Jurnal Biomedik, 3(2), 123-128
Methindas, dkk. (2013). Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Jurnal Biomedik, 5(1), 4-10
National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases. 2012. Biliary Atresia.
National Institutes of Health of the U.S. Department of Health and Human Services
Nursanti & Susanti. (2014). Fototerapi Berpengaruh Terhadap Praktik Pemberian Asi
Eksklusif di Yogyakarta. Jurnal Kesehatan Karya Husada, 2(2), 1-8
Prasetyo, dkk. (2016). Perbedaan Manifestasi Klinis dan Laboratorium Kolestasis
Intrahepatal dengan Ekstrahepatal pada Bayi. Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran, 48(1), 45-50
Pierro A, Koletzko B, Carnielli V, Superina R, Roberts EA, Filler RM, Smith J, Heim T.
Resting energy expenditure is increased in infants and children with extrahepatic biliary
atresia. J Pediatr Surg. 1989;24:534-8
Potter, Patricia A & Perry, A. G. (2005). Buku Ajar Fundamental
Keperawatan. 4th edn. Jakarta: EGC.
Purnamasari, dkk. (2020). Pengaruh Baby Massage Terhadap Penurunan Kadar Bilirubin.
Jurnal Keperawatan Karya Bakti, 6(1), 56-66
Rohani, Siti, Wahyuni, Rini. (2017). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Ikterus pada Neonatus. Jurnal Ilmu Kesehatan, 2(1), 75-80
Saron, Godoy, Hessel. (2009). Nutritional Status of Patients with Biliary Atresia and
Autoimmune Hepatitis Related to Serum Levels of Vitamins A, D and E. Pediatric
Gastroenterology Journal, 46(1), 62-68
Seidman DS, Moise J, Ergaz Z, Laor A, Vreeman H, Stevenson D, dkk. (2003). A
prospective Randomized controlled study of phototherapy using blue and blue-green
lightemitting devices, and conventional halogen-quartz phototherapy. J Perinatol, 23,
123-7.
Sun, Jing, dkk. (2019). Nutritional Intervention and Efficacy Analysis of Children with
Biliary Atresia after Kasai Portoenterostomy. Digestive Medicine Research Journal,
2(16), 1-8
Widiawati, Susi. (2017). Hubungan sepsis neonatorum, BBLR dan asfiksia dengan kejadian
ikterus pada bayi baru lahir. Jurnal Riset Informasi Kesehatan, 6(1), 52-57
Windawati & Afiyanti. (2020). Penurunan Hipertermia Pada Pasien Kejang
Demam Menggunakan Kompres Hangat. Jurnal Ners Muda, 1(1), 59-6
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)
TRANSFUSI TUKAR (EXCHANGE TRANSFUSION)
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, W., Attia, N.I. & Hassanein, S.M. (2012). Two-stage single-volume
exchange transfusion in severe hemolytic disease of the newborn. Journal of
Maternal, Fetal and Neonatal Medicine. 25(7):1080-3.
American Academy of Blood Banks (2010). ELMC Blood and Blood Component
Transfusion Guidelines. Accessed from aabb.org.
Canadian Blood Services (2014) Circular of Information for the Use of Human
Blood and Blood Components, Accessed from
https://blood.ca/en/hospitals/circular-information.
Eren, O., Soll, R. & Schimmel, M.S. (2010). Partial exchange transfusion to
prevent neurodevelopmental disability in infants with polycythemia.
Cochrane Library. 2010 Issue 1.
Ghaemi, S., Saneian, H., Mo'ayedi, B. & Pourazar A. (2012). The effect of
different blood components on exchange transfusion outcomes. Journal of
the Pakistan Medical Association. 62(3- Suppl 2):S45-8.
Spitzer, AR (1996) Intensive Care of the Fetus and Neonate. Toronto, Mosby
Yearbook. p1192-1194.
Thayyil, S. & Milligan, D. (2006). Single versus double volume exchange
transfusion in jaundiced newborn infants. Cochrane Library. 2006 Issue 4.
Xiong, T., Chen, H. & Mu, D. (2014). Effect of pre-exchange albumin infusion on
neonatal hyperbilirubinemia and long term developmental outcomes.
Cochrane Library, 2014 Issue 2