Anda di halaman 1dari 99

UJIAN AKHIR SEMESTER ( UAS) – MARS URINDO 2021

MATA KULIAH : ASPEK HUKUM DAN ETIKA RUMAH SAKIT

KAMILAH--196080105
I.PERMASALAHAN

Sebuah Rumah Sakit kelas A di suatu daerah milik suatu Yayasan Pendidikan yang
sudah lama berdiri dimana telah ditetapkan sebagai RS Pendidikan Utama dan juga
memiliki RS Affiliasi dan RS Satelit Pada waktu belakang ini Rumah Sakit tersebut
mengalami beberapa permasalahan dibidang Pelayanan (dimana jumlah kunjungan RS
sangat menurun karena covid 2019 ) , Pendidikan,Tata kelola RS serta Sarana
Prasana dan Alat tidak tersedia serta bidang Keuangan sehingga memerlukan suatu
penyelesaian dan pemecahan masalah.

1. Sistem pelayanan belum berjalan dimana banyak kehadiran dokter tidak


tepat waktu, jam pemberian pelayanan tidak sesuai jadwal dan kunjungan
pasien menurun Disamping hal itu mutu layanan sangat rendah sehingga ada
banyak komplain dari masyarakat serta timbul dugaan Malpraktek dan
Maladministrasi Pendelegasian tugas dari dokter serta tanggungjawab
perawat/nakes lainnya tidak jelas, tidak sesuai aturan sehingga mengakibatkan
timbul masalah pada hal RS akan segera mengikuti Akreditasi
2. Selain itu Tata Kelola RS baik menyangkut Good Corporate Governance maupun
Good Clinical Governace tidak jelas aturannya sehingga tdk jelas
pelaksanaan Credential maupun Clininical Appointment bagi setiap dokter
yang berpraktek
3. Permasalahan lain dimana Stuktur Organisasi RS tdk jelas karena struktur
kurang sesuai dengan aturan RS,belum dibentuk Dewas dan tidak adanya
pembagian tugas yang jelas, tidak jelas tupoksi masing-masing, sehingga
dipandang perlu ada penataan organisasi sesuai ketentuan yang berlaku

4. Di bidang keuangan terdapat masalah tagihan ke BPJS dan Kemenkes yang


belum dibayar dan masih banyak klaim ke BPJS yg belum diverifikasi karena
ketidak lengkapan Rekam Medis sehinga pembayaran jasa dokter terlambat 3
bulan tanpa penjelasan dari Direksi, Disamping itu tariff pelayanan RS juga
tidak jelas serta pembagian jasa juga tidak jelas karena belum ada
pengaturannya

PERTANYAAN DAN TUGAS

I.MATERI UMUM,

1. Bagaimana tanggapan saudara tentang perlindungan hukum Rumah sakit dikaitkan


dengan adanya pihak keluarga yang melakukan tindakan sepihak mengambil jenazah
kasus covid atau tidak memenuhi SOP yang berlaku dalam penanganan pasien
.Uraikan langkah langkah apa yang harus dilakukan Rumah sakit dalam mengantisipasi
kondisi ini dan bagaimana mengatasi permasalahan ini.
2. Bagaimana tanggung jawab Rumah sakit bila melakukan pelayanan tidak sesuai
standar pelayanan yang berlaku terutama dalam penanganan covid 19 ? Upaya apa
yang harus dilakukan Rumah sakit mengantisipasi kondisi seperti . Uraikan secara jelas

3. Apabila timbulnya masalah atau sengketa di Rumah sakit pada hakekatnya ada
perbedaan logika pasien dengan logika medis Bagaimana Direksi RS untuk mengatasi
kondisi hal ini dalam proses penangana masalah dimaksud .Upaya apa yg harus kita
lakukan untuk meminimalisasi masalah ini. Jelaskan .

4. Uraikan pendapat saudara tentang masalah keterbukaan informasi dikaitkan


kerahasiaan medis dalam penanganan Covid 19 sekarang ini, demi tercapainya
pelayananan.yang optimal Uraikan Tanggungjawab petugas RS dan Direksi RS dalam
hal. Jelaskan pula tanggungjawab Komite Medik dan Kelompok Staf Medis dalam
penanganan masalah ini .

5. Dalam penanganan Covid diperlukan kesiapan APD di RS sehingga ketidak


lengkapan APD dalam pelayanan di Rumah sangat berdampak pada pasien dan
tenaga kesehatan .Bagaimana pertanggungjawaban hukum Rumah sakit dalam
keadaan seperti ini bila dikaitkan hak dan kewajiban Rumah sakit. Uraikan pula hal hal
apa yg harus dilakukan hal ini

6. Bagaimana tanggapan saudara peranan Etik dan Hukum dalam praktek pelayanan
kesehatan Euthanasia di rumah sakit ? Bagaimana pelaksanaan hal itu di Indonesia
.serta jelaskan kriteria kepatuhan dalam penelitian biomedis ,

7. Bagaimana pandangan saudara tentang pengaturan Etika Bisnis dalam praktek


perumahsakitan di Indonesia ? Sejauh mana manfaatnya Direksi RS dan pelaksanaan
bisnis RS .Uraikan alasan dan pertimbangan saudara

8. Salah cara penyelesaian kasus dengan cara ADR( Alternative Dispute Resolusion )
atau penyelesaian diluar pengadilan misalnya melalui Mediasi,Konsiliasi,Negoisasi dan
Arbitrasi . Uraikan langkah langkah dengan cara Mediasi.

9.Malpraktek dan Maladministrasi mungkin terjadi Rumah sakit Coba sdr uraikan upaya
yang akan dilakukan Direksi meminimalisir terjadinya masalah tersebut .Bagaimana
penanganannya bila adanya kasus Litigasi ,apa yang harus dilakukan RS Jelaskan

10. Mengapa perlu adanya Hospital ByLaws di Rumah sakit? Bagaimana cara membuat
HBL,MSBL dan NSBL serta turunannya berupa KEBIJAKAN.PEDOMAN DAN SOP/SPO.

II ANALISIS KASUS

1. Bila Saudara diangkat sebagai Direktur RS dimaksud dengan pendidikan


yang Saudara peroleh sebagai MARS langkah-langkah apa yang Saudara
lakukan dan Tentukan prioritasnya dengan analisis yang dapat
dipertangggung jawabkan dan tentukan mana yang lebih dahulu
dilaksanakan?

2. Bagaimana Saudara melakukan pembenahan dibidang Pelayanan,


Pendidikan,Tata Kelola RS ,SPA dan Keuangan,Jasa pelayanan dll Jelaskan
pula cara mengatasi kekurangan dokter,pengaturan
pelayanan,pendelegasian tugas dari dokter ke Perawat dan upaya apa
supaya dapat mengikuti akreditasi . Uraikan pembenahan tiap-tiap bidang
secara jelas dan lengkap.
3. Konsepkan HBL ( Corporate Bylaws dan MBSL), untuk Rumah Sakit
tersebut secara lengkap sesuai kebutuhan dalam pembenahan RS dengan
tahapan penyusunannya dan pelaksanaannya termasuk
Kebijakan,Pedoman dan SOP yg harus dibuat mengatasi semua masalah
di RS.

Catatan:Tugas ini dikerjakan setiap oarang dalam waktu 7 hari dan dikirim
melalui email ke alamat fresleyhutapea@yahoo.com melalui ketua klas masing
masing .

-- SELAMAT BEKERJA ---

JAWABAN

MATERI UMUM

1. Melakukan sosialisasi kepada pasien terkait HAK dan KEWAJIBAN


PASIEN (Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 69 Tahun 2014 Tentang
Kewajiban Rumah Sakit Dan Kewajiban Pasien) 
Hak Pasien:
1.Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
2. Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional;
3. Memperoleh pelayanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari
kerugian fisik dan materi;
4. Memilih Dokter dan Dokter Gigi serta kelas perawatan sesuai dengan
keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
5. Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada Dokter dan
Dokter Gigi lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam
maupun di luar Rumah Sakit;
6. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-
data medisnya;
7. Mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis,
tujuan tindakan medis, alternative tindakan, risiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta
perkiraan biaya pengobatan;
8. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh
Tenaga Kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
9. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
10. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal
tersebut tidak mengganggu pasien lainnya;
11. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di
Rumah Sakit;
12. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap
dirinya;
13. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan
kepercayaan yang dianut;
14. Mendapatkan perlindungan atas rahasia kedokteran termasuk kerahasiaan
rekam medik;
15. Mendapatkan akses terhadap isi rekam medis;
16. Memberikan persetujuan atau menolak untuk menjadi bagian dalam suatu
penelitian kesehatan;
17. Menyampaikan keluhan atau pengaduan atas pelayanan yang diterima;
18. Mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai standar pelayanan
melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
19. Menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga
memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata
ataupun pidana.
Kewajiban Pasien:

1. Mematuhi peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;


2. Menggunakan fasilitas rumah sakit secara bertanggungjawab;
3. Menghormati hak-hak pasien lain, pengunjung dan hak Tenaga Kesehatan
serta petugas lainnya yang bekerja di rumah sakit ;
4. Memberikan informasi yang jujur, lengkap dan akurat sesuai kemampuan dan
pengetahuannya tentang masalah kesehatannya;
5. Memberikan informasi mengenai kemampuan finansial dan jaminan kesehatan
yang dimilikinya;
6. Mematuhi rencana terapi yang direkomendasikan oleh Tenaga Kesehatan di
rumah sakit dan disetujui oleh Pasien yang bersangkutan setelah mendapatkan
penjelasan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
7. Menerima segala konsekuensi atas keputusan pribadinya untuk menolak
rencana terapi yang direkomendasikan oleh Tenaga Kesehatan dan/atau tidak
mematuhi petunjuk yang diberikan oleh Tenaga Kesehatan dalam rangka
penyembuhan penyakit atau masalah kesehatannya; dan
8. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Serta sosialisasi mengenai peraturan-peraturan lainnya di rumah sakit seperti:

PERATURAN KUNJUNGAN PASIEN 

1. Pada prinsipnya semua kunjungan diharapkan melalui Pintu Utama


2. Ketentuan Waktu Kunjungan
 Waktu kunjungan pasien dewasa & anak :
 Pagi : Pukul 09.30 – 11.00 WIB
 Sore : Pukul 16.30 – 18.30 WIB.
 Waktu kunjungan bayi :
 Ruang Bayi/ RB
 Pagi: tidak ada waktu kunjung
 Sore : Pukul 16.30 – 17.00 WIB.
 NICU
 Pagi : Pukul 09.30 – 11.00 WIB.
 Sore : Pukul 16.30 – 17.30 WIB.
 Pengunjung pasien yang dirawat di ICU tidak diperkenankan
masuk ke ruang ICU, disediakan ruang kunjungan dengan pembatas
jendela kaca, kesempatan masuk ke ICU bertemu pasien hanya
diberikan kepada keluarga dan akan dilakukan pengaturan secara
bergantian oleh perawat ICU.
 Izin berkunjung diluar waktu kunjungan diberikan hanya pada
keadaan tertentu atau alasan khusus dengan ketentuan pengunjung
meminta izin kepada staf Customer Care & Kantor Terima
(CCKTM) dengan menyebutkan alasan khususnya. Demi
kenyamanan pasien dan ketertiban di ruang perawatan maka petugas
akan mengatur jumlah pengunjung yang boleh masuk serta alokasi
waktu berkunjungnya, sesuai dengan kondisi pasien saat itu dan
situasi di ruang perawatan.
2. Diluar jam berkunjung, Anak-Anak usia 5 tahun atau kurang, sebaiknya
tidak memasuki ruang perawatan, dengan pertimbangan untuk kenyamanan
istirahat pasien dan menghindari kemungkinan tertular penyakit.
PERATURAN BAGI PENJAGA PASIEN

1. Penjaga pasien wajib selalu mengenakan KARTU IJIN JAGA selama berada


di area rumah sakit dan dikembalikan ke petugas perawatan ketika sementara
waktu meninggalkan rumah sakit atau ketika proses perawatan selesai.
2. Demi menjaga kenyamanan dan privasi pasien maka :
 Satu pasien dijaga oleh 1 (satu) penjaga, kecuali ada indikasi medis
yang mengharuskan dijaga lebih dari 1 (satu) orang.
 Pasien wanita yang dirawat lebih dari 1 (satu) orang dalam satu
kamar, harus dijaga oleh penjaga wanita.
 Pasien anak di kamar 103,111,112,115 harus dijaga oleh penjaga
wanita.
 Kamar mandi di ruang perawatan khusus untuk pasien, tidak
diperkenankan untuk mencuci baju. Penunggu/ penjaga pasien tidak
diperkenankan menggunakan kamar mandi pasien.
3. Pasien perawatan intensif (NICU) dijaga oleh satu orang penjaga dan hanya
boleh dijaga di ruang tunggu yang telah di
4. Ruang Bayi/ RB TIDAK di ijinkan di jaga, kecuali pada kondisi tertentu
atas permintaan dari petugas ruang perawatan. Untuk hal ini akan diberi kartu
ijin jaga dan hanya berjaga di ruang tunggu yang telah disediakan.
5. Bagi penjaga di Ruang Dewasa kelas Super-VIP sd VIP-B dan di Ruang
Anak kelas Utama A – VIP, disediakan makan 3 kali sehari dan berlaku
untuk 1 orang .
6. Tempat tidur di kamar perawatan disediakan khusus untuk pasien, penjaga
pasien disediakan kursi, mohon tidak duduk/ tidur di tempat tidur pasien
maupun di lantai.
7. Pergantian penjaga di luar jam kunjung dilakukan dengan menunjukkan Kartu
Ijin Jaga dan di informasikan kepada petugas sekuriti pintu Diponegoro saat
proses pergantian.
BARANG MILIK PASIEN, KELUARGA DAN PENGUNJUNG

1. Dianjurkan TIDAK memakai perhiasan, membawa barang-barang berharga,


maupun menyimpan uang dalam jumlah besar di kamar perawatan. Jika pasien
memakai perhiasan atau membawa barang berharga ketika masuk rumah sakit,
mintalah agar keluarga menyimpannya di rumah.
2. Penyimpanan uang dan barang berharga pasien/ keluarga menjadi
tanggungjawab pasien/ keluarga pasien sendiri. Jangan menyerahkan barang/
uang kepada orang/ petugas yang tidak jelas identitasnya/ tidak dikenal.
3. TIDAK diperkenankan untuk membawa Peralatan
Elektronika seperti Televisi, Tape Recorder, pemanas air, pemasak
nasi, microwave dan peralatan listrik lainnya yang berpengaruh pada lonjakan
beban serta instabilitas kelistrikan rumah sakit.
PERATURAN PARKIR KENDARAAN

1. Pada prinsipnya parkir kendaraan pasien/ keluarga pasien/ pengunjung


disediakan di lahan parkir Jl. Diponegoro dan Jl. Kutai dengan sistim
elektronik (secure parking), dengan ketentuan:
1. Tarif parkir sesuai dengan ketentuan tarif yang diinformasikan di
pintu masuk dan keluar area parkir.
2. Durasi/ lama parkir sampai dengan 18 jam/ lebih, akan
dikenakan tarif khusus (tarif menginap).
3. Mohon maklum atas keterbatasan lahan parkir.
2. KHUSUS fasilitas parkir di area parkir Jl.Ciliwung 42, hanya diperuntukkan
untuk pasien yang dirawat di Pav. 14 dan Pav. 15 kelas UTAMA-B s/d VIP-
A, dengan ketentuan:
1. berlaku untuk 1 Mobil.
2. batas parkir pukul 06.00 s/d 21.30 WIB (Tidak Menginap);
3. Kartu free parking bisa diperoleh di bagian Administrasi dengan
syarat menunjukkan STNK
KEAMANAN DAN KETERTIBAN RUMAH SAKIT

1. Rumah Sakit dilengkapi dengan sistim keamanan terpusat dengan ditunjang


perangkat CCTV di beberapa area.
2. Meskipun rumah sakit sudah mengupayakan sistim keamanan tersebut, namun
karena rumah sakit merupakan area publik dan tidak semua orang yang datang
dapat dipantau satu per satu, maka kehilangan atas uang dan/ barang berharga
milik pasien / keluarga/ pengunjung menjadi tanggung jawab perseorangan.
Rumah Sakit tidak bertanggungjawab atas kehilangan tersebut.
3. Keluarga, penjaga dan pengunjung pasien diharapkan ikut serta menjaga
keamanan, kebersihan, kerapian, dan ketertiban di lingkungan rumah sakit.
4. Apabila melihat orang/ barang/ hal-hal yang mencurigakan, segera hubungi/
laporkan kepada perawat ruangan/ petugas sekuriti.
TATACARA PENGAJUAN KELUHAN

1. Rumah sakit menyiapkan sarana untuk pasien dapat menyampaikan saran,


keluhan/ komplain melalui petugas Customer Care & Kantor Terima
(CCKTM) atau petugas di unit terkait tempat pasien dilayani
2. Penyampainan saran, keluhan/komplain bisa dilakukan secara langsung,
melalui kuesioner/kotak saran, melalui telepon atau email yang tersedia.
INFORMASI, ANJURAN DAN LARANGAN LAINNYA

1. Makanan pasien diberikan sesuai dengan standar gizi yang diperlukan. Bila
hendak membawa makanan dari rumah/ luar, mohon konsultasikan terlebih
dahulu kepada perawat/ dokter.
2. Waktu kepulangan (check out) pada hari kerja (Senin-Sabtu), kecuali pasca
bersalin bisa pulang pada hari minggu.
3. Waktu kepulangan (check out) selambat-lambatnya pkl 12.00 WIB, kecuali
karena menunggu menunggu visite dokter, hasil laboratorium atau hal lain
yang ditetapkan bagian Administrasi. Jika melewati batas waktu tersebut akan
diperhitungkan tambahan satu hari perawatan.
4. Pada hari kepulangannya, pasien dan penjaga hanya mendapat makan pagi
saja. Jika membutuhkan makan siang dapat menghubungi petugas ruangan dan
akan dikenakan biaya tambahan.
5. Demi kenyamanan pasien, maka proses mengantar atau mengambil
perlengkapan/ kebutuhan pribadi pasien harap dilaksanakan pada waktu jam
kunjung atau berkoordinasi dengan petugas ruang perawatan.
6. Demi standarisasi mutu pelayanan, mohon agar perawatan/ pengobatan
dipercayakan sepenuhnya kepada dokter/perawat dengan menggunakan obat/
perlengkapan/ peralatan medis yang telah disediakan rumah sakit.
Pasien DILARANG menggunakan Alat Kesehatan Pribadi yang dibawa dari
tempat lain, seperti Alat Saturasi O2, Alat Cek Gula Darah Portabel (BS
Accutrend), Birocare, Kasur Listrik dan lain-lain. Termasuk pembelian obat
yang bukan berasal dari Instalasi Farmasi rumah sakit. Risiko yang timbul atas
penggunaan alat tersebut, bukan menjadi tanggungjawab Rumah Sakit.
7. Dengan mempertimbangkan bahaya penularan penyakit (infeksi virus, bakteri,
jamur) dan zat-zat berbahaya yang terdapat di dalam rumah sakit maka bagi
penjaga pasien/ pengunjung:
1. DILARANG menggunakan fasilitas RS yang diperuntukkan hanya
bagi pasien. Misalnya alat makan/ minum, selimut, kamar mandi
pasien, tempat tidur, termasuk tempat tidur kosong, dll.
2. DILARANG mencuci sendiri dan menjemur pakaian di area Rumah
Sakit. Fasilitas Laundry disediakan rumah sakit.
3. DILARANG membawa alat tidur dari luar RS untuk digunakan
pasien, seperti : Alas Tidur Lipat, Bantal/ Guling, Selimut, dll.
8. Bagi pasien, keluarga pasien, dan pengunjung :
1. DILARANG mendokumentasikan/ memotret/ merekam proses
tindakan medis/ keperawatan dengan cara apapun dan dengan alasan
apapun tanpa izin tertulis dari Rumah Sakit.
2. DILARANG merokok di area rumah sakit (termasuk di taman
dan parkir). Ketentuan ini sesuai Perda Pemkot Surabaya No.5
Tahun 2008 tentang kawasan tanpa merokok dan kawasan terbatas
merokok.
3. DILARANG membawa bahan berbahaya, narkoba dan senjata tajam
ke dalam area rumah sakit.
4. DILARANG mengambil/ memindahkan/ melepas BARANG
INVENTARIS di ruang perawatan tanpa seijin petugas.
5. DILARANG membuat gaduh/ berbuat onar di area rumah sakit.
REGULASI PENGEMBALIAN DANA TRANSAKSI ONLINE (RETURN &
REFUND POLICY)

1. Pembatalan layanan dari pihak pasien Maksimal H-1, maka pengembalian


dana akan di kenakan biaya administrasi sesuai dengan ketentuan yang telah di
tetapkan oleh Manajemen RKZ
2. Pembatalan pada hari H, maka dana tidak dapat dikembalikan.

2. Untuk mengatasi masalah antara pihak rumah sakit dan pasien, yang paling dibutuhkan
adalah keterbukaan dalam memberikan informasi dan komunikasi dua arah antara kedua
pihak.

Tiga unsur penting dalam keterbukaan. Pertama, pihak rumah sakit terbuka untuk
menyampaikan maaf dan memberikan penjelasan. Tetapi permintaan maaf tersebut
hanyalah mengenai kejadian yang terjadi sehingga keadaan pasien menjadi tidak nyaman.
Artinya, bukan menjadi pihak yang bersalah karena belum ada investigasi mengenai
kejadian tersebut. Kemudian memberikan penjelasan kepada pasien sejauh yang
diketahui oleh pihak rumah sakit.

Kedua adalah pihak rumah sakit wajib menindaklanjuti kejadian tersebut dengan
melakukan investigasi. Investigasi tersebut juga harus dilakukan dengan cepat.

Maksimal waktu untuk investigasi adalah 72 jam atau tiga hari. Selama investigasi
berjalan, pihak rumah sakit tetap harus berkomunikasi dengan pihak pasien atau
keluarganya. Dan supaya terlihat lebih bersungguh-sungguh dalam innestigasi, bisa
undang pihak lain di luar rumah sakit.

Ketiga adalah ketika investigasi sudah selesai dilaksanakan. Rumah sakit harus segera
memberitahu pihak keluarga atau pasien. Jika memang pihak rumah sakit yang bersalah,
maka RS lagi-lagi harus meminta maaf dan mau untuk mengakui kesalahan. "Jelaskan
mengapa kesalahan itu bisa terjadi dan pihak rumah sakit akan berusaha untuk
memperbaikinya. Kemudian berikanlah kompensasi kepada pasien tersebut, mungkin
dengan tidak perlunya membayar biaya operasi dan menginap,".

Terdapat dua tindakan pencegahan yang bisa dilakukan oleh pihak rumah sakit untuk
meminimalisasi masalah yang mungkin akan terjadi. Sebab sesungguhnya pihak
manapun tak ingin timbul masalah dalam proses-proses tersebut. Pertama, melibatkan
pasien dan masyarakat dalam mengembangkan pelayanan. Bisa dilakukan dengan
mengadakan workshop mengenai suatu penyakit atau dengan mendatangkan mantan
pasien untuk menceritakan pengalamannya selama menjadi pasien. "Intinya adalah
melakukan sosialisasi mengenai penyakit atau mengenai rumah sakit yang Anda tangani,
bagaimana sistem yang berlaku di rumah sakit Anda sehingga orang yang datang ke
rumah sakit Anda tidak kaget dan kecewa jika ternyata tidak sesuai dengan harapannya,"
tuturnya.

Kedua, melibatkan pasien dalam proses perawatan dan pengobatan dirinya sendiri. Saat
ini banyak dokter yang enggan untuk memberikan penjelasan mengenai penyakit yang
diderita oleh pasien maupun mengenai obat yang harus diminum oleh pasien. Padahal
banyak bukti yang menunjukkan bahwa pasien sangat ingin dilibatkan sebagai mitra
dalam proses pengobatan. "Kemitraan ini berarti melibatkan pasien dalam beberapa hal,
seperti mendiskusikan risiko dari pengobatan yang akan dijalani dan masalah obat yang
akan diberikan,".
3. Proses penyelesaian sengketa dapat digunakan dua jalur yaitu jalur litigasi (melalui
pengadilan) dan non litigasi. Proses beracara di pengadilan adalah proses yang
membutuhkan biaya dan memakan waktu, karena sistim pengadilan konvensional
secara alamiah dalam diri para pihak saling berlawanan, sehingga seringkali
menghasilkan satu pihak sebagai pemenang dan pihak lainnya sebagai pihak yang
kalah.
Berlarut-larutnya proses yang harus dilalui dalam beracara dipengadilan
menyebabkanadanya kritik tajam terhadap Lembaga peradilan dalam menjalankan
fungsinya, karena dianggap terlampau padat, lamban dan buang waktu, mahal
dan kurang tanggap terhadap kepentingan umum serta dianggap terlampau
formalistik dan terlampau teknis, oleh karena itu perlu perbaikan sistim peradilan
kearah yang efektif dan efisien.
Berdasar kondisi diatas maka jalur Mediasi dianggap sebagai salah satu
bentuk alternatif dispute resolution (ADR) atau alternatif penyelesaian masalah
diluar pengadilan. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh
mediator. Mediasi itu sendiri dapat dilakukan melalui jalur pengadilan maupun
diluar pengadilan dengan menggunakan mediator yang telah mempunyai sertifikat
mediator.

Di Indonesia mediasi telah lama menjadi bagian dalam proses penyelesaian


masalah. Dalam hukum acara yang berlaku, baik pasal 130 Reglemen Indonesia
yang diperbaharui (HIR) maupun Staatsblad 1941 No 44 dan pasal 154
Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg) Staatsblad
1927 No 227 mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang
dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi kedalam
prosedur berperkara di pengadilan tingkat pertama.
Dengan ditetapkannya Peraturan Makamah Agung Republik
Indonesia (Perma) No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
dimanadi dalam Konsideran Perma No. 1 Tahun 2008 menyatakan bahwa mediasi
merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah,
serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak untuk
menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.
Disamping itu pengintegrasian mediasi kedalam proses beracara di
pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah
penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi
lembaga pengadilan dalam menyelesaikan sengketa disamping proses pengadilan
yang bersifat memutus.
Jika dibandingkan dengan proses litigasi ( pengadilan ) mediasi memiliki
keuntungan :
a. Bersifat luwes, sukarela, cepat murah, sesuai kebutuhan, netral
,rahasia didasari dengan hubungan baik.
b. Memperbaiki komunikasi antara para pihak yang bersengketa.
c. Membantu melepaskan kemarahan terhadap pihak lawan
d. Meningkatkan kesadaran akan kekuatan dan kelemahan posisi masing-masing
pihak.
e. Mengetahui hal-hal isu-isu yang tersembunyi yang terkait dengan sengketa
yang sebelumnya tidak disadari.
f. Mendapatkan ide yang kreatif untuk menyelesaikan sengketa.
Sedangkan kekurangan berproses dalam jalur litigasi jika
dibandingkan dengan mediasi adalah:
a. Proses yang berlarut-larut atau lama untuk mendapatkan suatu putusan yang
final dan mengikat;

b. Menimbulkan ketegangan atau rasa permusuhan diantara para pihak;


c. Kemampuan dan pengetahuan yang terbatas dan bersifat umum;
d. Tidak dapat dirahasiakan atau bersifat terbuka;
e. Kurang mampu mengakomodasikan kepentingan pihak lain;
f. Sistim administrasi dan birokrasi peradilan yang lemah;
g. Putusan hakim mungkin tidak dapat diterima oleh salah satu pihak karena
memihak salah satu pihak atau dirasa tidak adil.
Dengan demikian terlihat bahwa proses mediasi yang berlangsung diluar
pengadilan memiliki keunggulan-keunggulan tersendiri. Disamping itu menurut
pasal 2 ayat 1 PerMa No 01 tahun 2008 ini, bahwa semua perkara perdata yang
diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk terlebih dahulu diselesaikan
melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Berdasarkan latar belakang tersebut
maka muncul permasalahan bagaimana pengaturan mediasi dalam penyelesaian
sengketa medis sebagai upaya perlindungan pasien ?
Pembahasan
1. Penyelesaian Sengketa Medis
Secara filosofis penyelesaian sengketa merupakan upaya untuk
mengembalikan hubungan para pihak yang bersengketa dalam keadaan seperti
semula, dengan pengembalian hubungan tersebut maka mereka dapat
mengadakan hubungan baik sosial maupun hubungan hukum antara satu dengan
lainnya.

Penyelesaian adalah proses perbuatan cara menyelesaikan. Menyelesaikan


diartikan sebagai menyudahkan , menjadikan berakhir, membereskan atau
memutuskan, mengatur memperdamaikan (perselisihan atau pertengkaran) atau
mengatur suatu sehingga menjadi baik 1.Sedangkan istilah sengketa berasal dari
terjemahan bahasa Inggris dispute atau geding dalam bahasa Belanda. Dean G
pruit menyatakan sengketa adalah persepsi mengenai perbedaan kepentingan (
perceived divergence of interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-
pihak yang bersengketa tidak dicapai secara simultan (secara serentak) 2 , Dean G
Pruit dan Jeffrey Z Rubin, melihat sengketa dari perbedaan kepentingan atau tidak
dicapainya kesepakatan para pihak.
Selanjutnya Salim HS menyatakan bahwa sengketa adalah pertentangan,
perselisihan, atau percekcokan yang terjadi antara pihak yang satu dengan pihak
lainnya dan/atau antara pihak yang satu dengan berbagai pihak yang berkaitan
dengan sesuatu yang bernilai, baik itu berupa uang maupun benda.3

Pada umumnya orang berpendapat, bahwa suatu sengketa dapat terjadi disebabkan
karena adanya perbedaan pandangan atau pendapat antara para pihak tertentu
tentang sesuatu hal tertentu. Salah satu pihak merasakan dirugikan hak- haknya
oleh pihak yang lain, sedangkan pihak yang lain tidak merasakan bahwa dirinya
telah menimbulkan kerugian itu.
Dalam pelayanan kesehatan yang diikuti dengan adanya hubungan hukum
antara dokter dengan pasien seringkali diwarnai dengan pengabaian pada hak-hak
pasien sehingga menimbulkan konflik atau sengketa, Nader dan Tood dalam Adi
Sulistiono secara eksplisit membedakan antara : a. Pra konflik adalah keadaan
yang mendasari rasa tidak puas seseorang karena diperlakukan tidak adil. b.
Konflik adalah keadaan dimana para pihak menyadari atau mengetahui tentang
adanya perselisihan pendapat diantara mereka. c. Sengketa adalah keadaan dimana
konflik tersebut dinyatakan dimuka umum atau dengan melibatkan pihak ketiga.4

Pemicu terjadinya sengketa adalah kesalahpahaman, perbedaan penafsiran, ketidak


jelasan pengaturan, ketidakpuasan, ketersinggungan, kecurigaan, tindakan yang
tidak patut, curang atau tidak jujur, kesewenang- wenangan atau ketidakadilan dan
terjadinya keadaan yang tidak terduga.
Apabila dikaitkan dengan hubungan dokter dan pasien maka sengketa
medis berawal dari adanya perasaan tidak puas dari salah satu pihak karena adanya
pihak lain yang tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang
telah diperjanjikan, atau ada wanprestasi. Dimana wanprestasi ini
dalam sengketa medis biasanya dilakukan oleh pihak dokter.
Hal-hal yang menyebabkan wanprestasi dalam sengketa medis diantaranya
adalah :
1. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
2. Melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan tetapi terlambat
memenuhinya atau tidak tepat waktu.
3. Melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna.

4. Melakukan apa yang menurut kesepakatan tidak seharusnya dilakukan.


Hal lain yang dapat menyebabkan banyaknya kejadian sengketa medik
adalah faktor kebijakan menejemen rumah sakit. Sengketa medis dalam hukum
dikenal juga dengan istilah malpraktik. Malpraktek sendiri sebenarnya tidak hanya
ditujukan pada profesi kesehatan saja terapi juga profesi pada umumnya tetapi
secara umum banyak ditujukan pada profesi kesehatan.

Perbuatan malpraktek medik akan berdampak luas secara yuridis, baik dalam
hukum pidana, perdata maupun hukum administrasi. Dalam hukum pidana
misalnya ada penipuan terhadap pasien apabila dokter memberikan keterangan
palsu,ada pelanggaran kesusilaan, menelantarkan pasien dengan sengaja, dalam
perdata bila ada wanprestasi, sedang dalam hukum administrasi bila seorang dokter
yang melakukan praktek kedokteran tidak memiliki surat tanda regristasi (STR)
yang dikeluarkan Konsil Kesehatan Indonesia (pasal 29 ayat 1
UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran) maupun Surat ijin Praktek
(SIP) yang dikeluarkan Kepala Dinas Kesehatan setempat (pasal 36 UU No 29
tahun 2004).

Mediasi Sebagai Bentuk Penyelesaian Sengketa Medis

Mediasi adalah proses negosiasi penyelesaian sengketa atau pemecahan masalah


dimana pihak ketiga yang tidak memihak (impartial) bekerjasama dengan para
pihak yang bersengketa membantu memperoleh kesepakatan perjanjian yang
memuaskan. Para ahli memberikan makna mediasi secara etimologi dan
terminologi. Secara etimologi istilah mediasi berasal dari bahasa Latin meicare
yang berarti “ berada ditengah”. Makna dari berada ditengah adalah menunjuk
kepada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan
tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. Selanjutnya
berada ditengah juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak
memihak dalam penyelesaian sengketa. Mediator harus mampu menjaga
kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga
menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.
Nolan-Haley dalam Adi Sulistiono mendefinisikan7Mediation is generally
understood tobe a shorttrem, structured, taks-oriented, participatory intervention
process. Disputing parties work with a neutral third party, the mediator, to reach
a mutually process, where athird party inventervenor imposes adecision, no such
compulsion exists in mediation. Menurut John W Head, mediasi adalah suatu
prosedur penengahan dimana seseorang bertindak sebagai kendaraan untuk
berkomunikasi antar para pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas
sengketa tersebut dapat dipahami dan mungkin didamaikan tetapi tanggung jawab
uatama tercapainya suatu perdamaian tetap berada ditangan para pihak sendiri.
Selanjutnya Moore memberikan pengertian mediasi yaitu, “the
intervention in a negotiation or a conflict of an acceptable third party who has
limited or no authoritative decision making power but who settlement of issues in
dispute9“. Definisi tersebut menegaskan hubungan antara mediasi dengan
negosiasi, bahwa mediasi adalah intervensi pihak ketiga terhadap suatu proses
negosiasi. Pihak ketiga tersebut memiliki kewenangan terbatas atau justru sama
sekali tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan. Pengambilan
keputusan tetap berada ditangan para pihak. Demikian pula menurut Takdir
Rahmadi dalam Eddi Junaedi mengatakan bahwa mediasi adalah suatu proses
penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau
mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus.

Mediator tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan sengketa. Mediator


hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang
diserahkan kepadanya. Dalam sengketa dimana salah satu pihak lebih kuat dan
cenderung menunjukkan kekuasaannya, pihak ketiga memegang peranan penting
untuk menyetarakannya. Kesepakatan dapat tercapai dengan mediasi,
jika pihak yang bersengketa berhasil mencapai saling pengertian dan bersama-sama
merumuskan penyelesaian sengketa dengan arahan kongkret dari mediator.
Penyelesaian sengketa melalui mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang
bersengketa dengan didampingi mediator. Mediator menyerahkan sepenuhnya
proses penyelesaian sengketa kepada para pihak, baik mengenai bentuk maupun
besarnya ganti kerugian atau tindakan tertentu untuk menjamin tidak terulangnya
kembali kerugian konsumen. Keuntungan penggunaan jalur mediasi adalah
prosedurnya sederhana, efektif, tidak mahal, putusan masih dalam pengendalian
(kontrol) pihak-pihak yang bersengketa. Namun demikian, mediasi bukan
merupakan panacea untuk mengatasi distorsi paradigma litigasi dan tidak selalu
tepat untuk diterapkan terhadap semua sengketa atau tidak selalu diperlukan untuk
menyelesaikan semua persoalan dalam sengketa tertentu. 11Kemudian penyelesaian
sengketa menggunakan Mediasi akan berfungsi dengan baik bilamana sesuai
dengan syarat berikut ini :12
a. Para pihak mempunyai kekuatan tawar menawar yang sebanding.
b. Para pihak menaruh perhatian terhadap hubungan dimasa depan.
c. Terdapat banyak persoalan yang memungkinkan terjadinya pertukaran (trade
off).
d. Terdapat urgensi atau batas waktu untuk menyelesaikan.
e. Para pihak tidak memiliki permusuhan yang berlangsung lama dan mendalam.
f. Apabila para pihak mempunyai pendukung atau pengikut mereka

g. Menetapkan preseden atau mempertahankan suatu hak tidak lebih penting


dibandingkan menyelesaikan persoalan yang mendesak.
h. Jika para pihak berada dalam proses litigasi, kepentingan- kepentingan pelaku
lainnya seperti para pengacara dan penjamin tidak akan diperlakukan lebih
baik dibandingkan dengan mediasi.
Apabila dikaitkan dengan mediasi sebagai penyelesaian sengketa medis
maka proses mediasi merupakan upaya yang tepat dalam menyelesaikan sengketa
medis antara dokter dan pasien kecuali dalam proses pidana murni seperti
pelecehan seksual, pengungkapan rahasia kedokteran, aborsi serta kelalian berat,
keterangan palsu, penipuan dan lain-lain. Hal itu disebabkan karena prinsip dasar
dari mediasi sebagai penyelesaian sengketa seperti yang dikemukakan oleh
Fatahillah Syukur adalah :
tidak memiliki pengharapan yang
banyak tetapi dapat dikendalikan.
a. Prinsip Kesukarelaan Para Pihak (Voluntary Principle), dimana mediasi adalah
metode yang mendasarkan diri pada kesukarelaan para pihak untuk urun
rembug mencari solusi untuk kepentingan bersama tanpa paksaan, ancaman
atau tekanan dari pihak manapun.
b. Prinsip Penentuan Diri Sendiri (Self Determination Principle), yaitu terkait
dengan prinsip kesukarelaan, berdasarkan prinsip ini para pihak bebas
menentukan kemauannya. Pihak tersebut bisa kapan saja mengundurkan diri
dari proses mediasi walaupun prosedur bisa diwajibkan untuk ditempuh,
namun hakim atau mediator tidak bisa menekan para pihak untuk tetap berada
dalam proses mediasi, apalagi sampai memaksa mereka untuk menghasilkan
atau menyetujui kesepakatan damai.
c. Prinsip Kerahasiaan (Confidentiality Principle), yaitu proses
mediasi bersifat rahasia dimana semua informasi hanya boleh diketahui oleh
parapihak dan mediator. Semua informasi ini tidak boleh digunakan dan
mediator dilarang menjadi saksi dalam proses persidangan.
d. Prinsip Itikad Baik (Good Faith Principle), yaitu kemauan para pihak untuk
menempuh proses mediasi tidak boleh mengulur waktu atau mengambil
keuntungan bagi kepentingan sendiri untuk mencari penyelesaian yang
menguntungkan semua pihak (win-win solution).
e. Prinsip Penentuan Aturan Main (Ground Rules Principle), dengan dibantu
mediator, para pihak harus membuat menyepakati dan mematuhi aturan main
sebelum memulai proses mediasi agar bisa berjalan dengan konstruktif dan
mencapai hasil yang diinginkan.
f. Prinsip/Prosedur Pertemuan Terpisah (Private Meetings Principle
/Procedure), mediator dan para pihak bisa dan berhak mengadakan pertemuan
terpisah dengan salah satu pihak (kaukus) ketika mengadapi situasi tertentu,
seperti perundingan mengalami kebuntuan, meredakan emosi tinggi, dan
sebab terkait lainnya. Prosedur inilah yang menjadi ciri khas mediasi yang
tidak bisa ditemui dalam metode lainnya.
Sementara dalam penyelesaian melalui jalur litigasi dalam sengketa medis
akan merugikan kedua belah pihak. Apalagi cukup sukar untuk memenuhi kriteria
malpraktek medis berasal dari kerugian yang diduga muncul dari kelalaian atau
kekurangahlian. Ciri umum malpraktek dari aspek kelalaian medis menurut
Bambang Purnomo mengandung tolok ukur adanya 4 (empat) kriteria yaitu :14
g. Adanya duty (kewajiban), yaitu kewajiban seorang dokter atau tenaga
kesehatan untuk mempergunakan segala ilmu dan kepandaiannya untuk
melakukan pelayanan kesehatan berupa pengobatan berdasarkan standart
profesi, sehingga kemungkinan besar dokter tidak dapat dipersalahkan jika
hasilnya ternyata sebagaimana yang diharapkan sepanjang sudah dipenuhi
syarat- syarat standar profesi.
h. Adanya dereliction of the duty (penyimpangan dari kewajiban), yaitu bahwa
penyimpangan ini tidak boleh diartikan secara sempit, karena dalam
kedokteran terdapat kemungkinan dua pendapat atau lebih yang berbeda
tetapi semuanya benar. Maka diperlukan adu argumentasi untuk proses
pembuktian antar kolega sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran
mutakhir.
i. Terjadinya damage (kerugian), yaitu memperhitungkan kerugian itu tidak boleh
berdasarkan kerugian sepihak, melainkan kesebandingan antara kerugian atas
dasar biaya yang dikeluarkan untuk mencegah dan biaya yang timbul dari
akibatnya. Apabila dapat diperkirakan biaya untuk pencegahan lebih murah
daripada biaya kerugian untuk akibat yang terjadi, maka ada kelalaian.
j. Terbuktinya direct causal relationship (kausa atau akibat

langsung) antara pelanggaran dan kewajiban dengan kerugian, yaitu bahwa dalam
setiap kasus harus ada hubungan langsung sebagai kausal terhadap akibat yang
terjadi, dimana hubungan kausal dan akibat langsung itu tidak dapat
digeneralisasikan pada setiap tindakan kesehatan.
Selanjutnya ada beberapa elemen yang terdapat dalam malpraktek dalam
profesi kesehatan yang harus terukur dari pertimbangan yang bermuatan :
• Ada tidaknya standart profesi kesehatan yang tumbuh dari ilmu
pengetahuan kesehatan.
• Ada atau tidaknya resiko kesehatan yang memerlukan bantuan ahli
kesehatan.
• Ada atau tidaknya informan consent yang memenuhi standar nasional
maupun internasional.
• Ada atau tidaknya rekam medis (kesehatan) yang lengkap dan secara
kronologis, serta menjamin adanya rahasia kedokteran.
• Ada atau tidaknya kelalaian dalam mel;aksanakan tugas profesi dengan
tolok ukur 4 D- Negligence yaitu : duty

(kewajiban), deriction of the duty (penyimpangan dari kewajiban), direct


causation (kausa/akibat langsung), damage (kerugian).
1. Ada atau tidaknya alasan pemaaf maupun alas an pembenar dari perbuatan
tersebut .
Apabila dibandingkan dengan metode-metodealternatif penyelesaian
sengketa lain, mediasi menawarkan penawaran yang integratif, dimana prosesnya
tidak membutuhkan biaya yang besar serta waktu yang lama, dan tidak
menekankan siapa yang menang dan kalah, siapa benar atau salah, tetapi dengan
hasil penyelesaian menang- menang (win-win solution). Disamping itu mediasi
dalam penyelesaian sengketa medik biasanya berfokus kepada tujuan – tujuan dari
pihak pasien atau keluarganya sebagai pokok dari kesepakatan atau permufakatan.
Hal penting yang juga harus diperhatikan dari mediasi dalam sengketa
medik adalah mengenai mediator. Sengketa medik adalah sengketa yang unik dan
memerlukan keterampilan khusus bagi seorang mediator. Seorang mediator yang

telah berpengalaman menangani mediasi bisnis belum tentu dapat menjadi


mediator yang handal dalam sengketa medik. Seorang mediator dalam sengketa
medik tidaklah harus seorang dokter atau seorang ahli hukum.Mediator yang tepat
untuk menangani sengketa medis haruslah seseorang yang memiliki
pengetahuan tentang medis dan tentang hokum.Tidak boleh hanya memiliki
pengetahuan tentang hokum saja atau medis saja.Salah satu fungsi mediator adalah
sebagai edukator atau pendidik. Dalam fungsinya ini mediator dituntut untuk dapat
memahami kehendak, aspirasi, prosedur kerja, kendala para pihak dan
permasalahan yang terjadi.

Selanjutnya dalam fungsinya sebagai translator atau penterjemah, mediator


dituntut untuk dapat menyampaikan dan merumuskan permasalahan dalam bahasa
dan pengertian yang dipahami oleh para pihak. Bila dikongkritkan, apabila
mediator tidak mengerti istilah- istilah kedokteran, ia akan sulit memahami
penjelasan dari pihak dokter, akibatnya mediator menjadi tidak bisa
menterjemahkan penjelasan dari dokter kepada pasien oleh sebab itu
seorang mediator dalam sengketa medis harus memiliki pengetahuan yang
mendalam tentang medis dan hukum.
Pada akhirnya mediator (baik dari luar pengadilan terlebih lagi yang
berasal dari pengadilan) dituntut untuk menguasai semua tahapan dan proses
mediasi secara baik. Kemampuan untuk mempertemukan maksud dan
keinginan serta kepentingan para pihak dan mencari titik temu serta
memformulasikan secara presisi dengan kalimat yang ringkas dan sederhana serta
penerapan prinsip yang tegas dari hukum yang berlaku (termasuk di dalamnya
mengenai hukum perjanjian) dan menuangkan dalam bentuk perjanjian
kesepakatan menjadi hal yang mutlak harus dikuasai oleh seorang mediator.
Peningkatan sumber daya manusia bagi mediator perlu dilaksanakan secara
konsisten, kontinyu dan berkesinambungan. Belajar dari keberhasilan penerapan
mediasi di Jepang dan Singapura, maka perlu pula dicari corak dan pola
penyelesaian sengketa yang sejalan dengan nilai yang dianut masyarakat.
Peningkatan respek masyarakat pencari keadilan terhadap hukum/hakim/pengadilan
juga perlu ditingkatkan.Terakhir penyediaan sarana dan prasarana yang memadai
juga merupakan condition sine quo non bagi terwujudnya peradilan yang cepat,
sederhana dan berbiaya ringan melalui penerapan mediasi di pengadilan
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang.

4. Pengungkapan identitas pasien virus corona merupakan pelanggaran hak-hak pribadi


sebagaimana diatur dalam Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik. "Sesuai pasal
17 huruf h dan i, informasi pribadi dikecualikan bila terkait dengan riwayat, kondisi
anggota keluarga, perawatan kesehatan fisik dan psikis seseorang. Pengungkapan
identitas penderita corona secara terbuka adalah pelanggaran hak-hak pribadi," Informasi
pribadi hanya bisa diungkap atas izin yang bersangkutan atau jika terkait pengisian
jabatan publik. Namun, dalam kasus ini, alasan kedua dianggap tidak relevan. Ia juga
mengimbau media massa untuk bersikap bijaksana saat memberitakan kejadian yang
menimpa ibu dan anak pasien virus corona tersebut. Ketidakhati-hatian dan
kekurangcermatan dapat menyebabkan viktimisasi yang bersangkutan dan berpotensi
melanggar Kode Etik Kedokteran terkait perlindungan hak pribadi. Perlindungan atas
identitas pribadi tersebut telah dijamin pada Pasal 29G Ayat (1) Undang-undang Dasar
Tahun 1945. "Di mana 'Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat dan harta benda yang berada dibawah kekuasaannya serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi,".

5. Penyediaan Alat Pelindung Diri (“APD”) dan Peralatan Medis

Perlu Anda ketahui dalam Poin Kesatu Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020


tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)
Sebagai Bencana Nasional, bencana nonalam yang diakibatkan oleh penyebaran COVID-
19 ditetapkan sebagai bencana nasional.
Sehingga, kami merujuk pada Pasal 82 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (“UU 36/2009”) yang mengatur soal pelayanan kesehatan pada waktu
bencana.

Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas ketersediaan


sumber daya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan
berkesinambungan pada bencana.

Pemerintah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan yang bersumber dari anggaran


pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau bantuan
masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan.

Mengenai APD yang Anda maksud, kami asumsikan sebagai alat pelindung diri, yang
menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2020 tentang
Larangan Sementara Ekspor dan Antiseptik, Bahan Baku Masker, Alat Pelindung Diri,
dan Masker adalah:

Alat Pelindung Diri adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi
seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh sumber daya
manusia dan potensi bahaya di fasilitas pelayanan kesehatan.

Sedangkan, dalam Pasal 1 angka 5 UU 36/2009 dikenal juga alat kesehatan, yaitu:

Alat kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak


mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan
meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia,
dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.

Dikutip dari artikel Tangani Covid-19, Importasi Alkes dan APD Dipercepat,


Kementerian Perdagangan bekerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait
termasuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana terus berupaya menjaga
ketersediaan alat kesehatan dan APD di tengah merebaknya COVID-19.

Selain itu, dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang
Wabah Penyakit Menular (“UU 4/1984”), ditegaskan bahwa salah satu upaya
penanggulangan wabah adalah pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi
penderita, termasuk tindakan karantina.
Upaya tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah.[3] Semua biaya yang timbul
dalam upaya penanggulangan wabah dibebankan pada anggaran instansi masing-masing
yang terkait sebagaimana diterangkan Pasal 30 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular.

Sehingga kami berpendapat, pemerintah turut bertanggung jawab dalam penyediaan alat
kesehatan dan APD dalam rangka melaksanakan pelayanan kesehatan untuk
menanggulangi penyebaran COVID-19.

Hak Pasien COVID-19, Tenaga Kesehatan, dan Dokter

Menjawab pertanyaan Anda mengenai hak-hak pasien COVID-19, secara umum telah
diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit (“UU 44/2009”) yang berbunyi:

Setiap  pasien mempunyai hak:

a. memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di


Rumah Sakit;
b. memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
c. memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
d. memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional;
e. memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar
dari kerugian fisik dan materi;
f. mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
g. memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;
h. meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain
yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar
Rumah Sakit;
i. mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk
data-data medisnya;
j. mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis,
tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta
perkiraan biaya pengobatan;
k. memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan
oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
l. didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
m. menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya
selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;
n. memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan
di Rumah Sakit;
o. mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap
dirinya;
p. menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan
kepercayaan yang dianutnya;
q. menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga
memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara
perdata ataupun pidana; dan
r. mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Kemudian, diakses dari laman World Health Organization Indonesia disebutkan COVID-
19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jenis COVID-19 yang baru ditemukan,
sehingga sebagaimana diterangkan Pasal 56 ayat (1) dan (2) UU 36/2009, penderita
penyakit menular tidak punya pilihan untuk menerima atau menolak tindakan
pertolongan yang akan diberikan kepadanya.

Selanjutnya, yang dimaksud tenaga kesehatan pada Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang


Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (“UU 36/2014”) dikelompokkan
menjadi:

a. tenaga psikologi klinis;


b. tenaga keperawatan;
c. tenaga kebidanan;
d. tenaga kefarmasian;
e. tenaga kesehatan masyarakat;
f. tenaga kesehatan lingkungan;
g. tenaga gizi;
h. tenaga keterapian fisik;
i. tenaga keteknisian medis;
j. tenaga teknik biomedika;
k. tenaga kesehatan tradisional; dan
l. tenaga kesehatan lain.
 

Sedangkan hak-hak tenaga kesehatan tercantum dalam Pasal 57 UU 36/2014, yakni:

Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak:

a. memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai


dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur
Operasional;
b. memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima Pelayanan
Kesehatan atau keluarganya;
c. menerima imbalan jasa;
d. memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan
yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta
nilai-nilai agama;
e. mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya;
f. menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang
bertentangan dengan Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan,
Standar Prosedur Operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-
undangan; dan
g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
Sementara, dokter memiliki hak yang diatur secara umum dalam Pasal 50 Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran 

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak:

a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai


dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
prosedur operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya; dan
d. menerima imbalan jasa.
Selain itu, Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 menerangkan bahwa kepada para petugas tertentu
yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana diterangkan Pasal 5 ayat
(1) UU 4/1984 dapat diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam
melaksanakan tugasnya.

Penghargaan yang diberikan dapat berupa materi dan/atau bentuk lainSehingga, kami
berpendapat bahwa tenaga kesehatan dan dokter yang juga berperan dalam upaya
penanggulangan wabah COVID-19 berhak atas suatu penghargaan, seperti yang bersifat
materi.

6. Pada prinsipnya, hak untuk hidup merupakan hak fundamental atau hak asasi dari
setiap manusia. Konstitusi kita yakni UUD 1945 melindungi hak untuk hidup ini
dalam Pasal 28A UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
 
Euthanasia berasal dari kata Yunani euthanatos, mati dengan baik tanpa penderitaan.
Belanda salah satu negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum kedokteran
mendefinisikan euthanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study
Group dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda), yang menyatakan euthanasia adalah dengan
sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup
seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri
Sebagaimana dikutip Haryadi, menurut Kartono Muhammad, euthanasia dapat
dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu:
1.      Euthanasia pasif, mempercepat kematian dengan cara menolak
memberikan/mengambil tindakan pertolongan biasa, atau menghentikan pertolongan
biasa yang sedang berlangsung.
2.      Euthanasia aktif, mengambil tindakan secara aktif, baik langsung maupun tidak
langsung yang mengakibatkan kematian.
3.      Euthanasia sukarela, mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan
pasien.
4. Euthanasia tidak sukarela, mempercepat kematian tanpa permintaan atau persetujuan
pasien, sering disebut juga sebagai merey killing.
5.        Euthanasia nonvolountary, mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien
yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga, atau atas keputusan pemerintah
(Kartono Muhammad, 1992:19).
 
Jadi, tindakan dokter yang sudah lepas tangan terhadap pasien yang gawat dengan
menyuruhnya pulang atau tetap di Rumah Sakit tanpa dilakukan tindakan medis lebih
lanjut dapat dikategorikan sebagai euthanasia pasif sesuai dengan pembagian di atas.
Namun, Anda tidak menyebutkan apakah ada persetujuan pihak keluarga maupun pasien
dalam hal ini.
 
Jika dikaitkan kembali dengan hak asasi manusia, euthanasia tentu melanggar hak asasi
manusia yaitu hak untuk hidup. Dalam salah satu artikel hukumonline Meski Tidak
Secara Tegas Diatur, Euthanasia Tetap Melanggar KUHP, pakar hukum pidana
Komariah Emong berpendapat, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 
(“KUHP”) mengatur tentang larangan  melakukan euthanasia. yakni dalam Pasal 344
KUHP yang bunyinya:
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.”
 
Dari ketentuan tersebut, jelas bahwa yang diatur dalam KUHP adalah euthanasia aktif
dan sukarela. Sehingga, menurut Haryadi, dalam praktiknya di Indonesia, Pasal 344
KUHP ini sulit diterapkan untuk menyaring perbuatan euthanasia sebagai tindak pidana,
sebab euthanasia yang sering terjadi di negara ini adalah yang pasif, sedangkan
pengaturan yang ada melarang euthanasia aktif dan sukarela.
 
Pada sisi lain, Komariah berpendapat, walaupun KUHP tidak secara tegas menyebutkan
kata euthanasia, namun, berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP seharusnya dokter
menolak melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawa, sekalipun keluarga pasien
menghendaki. Menurutnya, secara hukum, norma sosial, agama dan etika
dokter, euthanasia tidak diperbolehkan.
 
Berkaca dari pengalaman di Belanda, Komariah mengatakan prosedur euthanasia yang
diberlakukan di Belanda tidak sembarangan. Diperlukan penetapan pengadilan untuk
melakukan perbuatan tersebut. Meskipun keluarga pasien menyatakan kehendaknya
untuk melakukan euthanasia, namun pengadilan bisa saja menolak membuat penetapan.
Dalam sebuah kasus di sekitar 1990 di Belanda, kata Komariah, seorang keluarga pasien
yang ingin melakukan euthanasia sempat ditolak oleh pengadilan walaupun akhirnya
dikabulkan. Untuk itu, menurut Komariah apabila tidak ada jalan lain, tidak lagi ada
harapan hidup dan secara biomedis seseorang terpaksa dicabut nyawanya
melalui euthanasia, harus ada penetapan pengadilan untuk menjalankan proses tersebut.
 
Sebab, penetapan pengadilan tersebut akan digunakan agar keluarga atau pihak yang
memohon tidak bisa dipidana. Begitu pula dengan peranan dokter, sehingga dokter tidak
bisa disebut malpraktik. Selain penetapan pengadilan, keterangan dari kejaksaan juga
harus diminta agar di kemudian hari negara tidak menuntut masalah euthanasia tersebut.
Terlepas dari masalah di atas, menurutnya hidup mati seseorang hanya dapat ditentukan
oleh Tuhan.
 
Di Indonesia, upaya pengajuan permohonan euthanasia ini pernah terjadi di penghujung
2004, suami Ny. Again mengajukan permohonan euthanasia ke Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan untuk mengakhiri penderitaan istrinya, namun permohonan itu ditolak
oleh pengadilan. Menurut pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji,  tindakan
euthanasia harus memenuhi persyaratan medis dan bukan karena alasan sosial ekonomi.
Menurutnya, sifat limitatif ini untuk mencegah agar nantinya pengajuan euthanasia tidak
sewenang-wenang. Lebih jauh simak artikel Euthanasia Dimungkinkan Dengan
Syarat Limitatif dan Permohonan Euthanasia Menimbulkan Pro dan Kontra.
 
Jadi, euthanasia memang dilarang di Indonesia, terutama untuk euthanasia aktif dapat
dipidana paling lama 12 (dua belas) tahun penjara. Akan tetapi, dalam praktiknya tidak
mudah menjerat pelaku euthanasia pasif yang banyak terjadi.

7. Dalam kegiatan yang berjalan bersama dengan industri farmasi dan berbagai industri
penunjang pelayanan kesehatan, sistem manajemen rumah sakit berada pada dilema;
apakah mengikuti pola seperti masa rumah sakit misionaris, atau berpindah ke sistem
yang mencari keuntungan.Dalam hal ini timbul suatu keadaan yang relatif lebih sulit
dikelola apabila sebagian input untuk produksi di rumah sakit bersifat mengutamakan
profit, sementara rumah sakit berperilaku tidak untuk mencari keuntungan.

Secara praktis akan timbul keganjilan, misalnya di rumah sakit keagamaan, manajemen
obat dan bahan habis pakai dilakukan berdasarkan kaidah memaksimalkan keuntungan
sementara misi rumah sakit adalah menolong orang miskin.Andaikata rumah sakit
menekan harga obat atau bahkan mensubsidi (menjual obat di bawah harga beli dari
distributor), akhirnya rumah sakit keagamaan akan kesulitan membiayai pelayanan bagi
orang miskin karena biaya faktor produksi tidak dapat ditekan dan tidak diperoleh
subsidi.Hal ini terjadi pula pada rumah sakit pemerintah.
Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno, Ethos, dalam bentuk tunggal, artinya adat
kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik(K. Bertens, 2000)

ETIKA ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak) (KBBI)nilai-nila dan norma-norma moral, yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur perilaku (K. Bertens)Sesuatu dimana dan
bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas standar moral dan
penilaian. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik,
buruk, dan tanggung jawab

Etika bisnis adalah suatu pengetahuan tentang tata cara ideal pengaturan dan pengelolaan
bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas yang berlaku secara universal (Muslich,
2004). Etika bisnis merupakan aturan tidak tertulis mengenai cara menjalankan bisnis
secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku dan tidak tergantung pada kedudukan
individu atau-pun perusahaan di masyarakat. Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang
diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar
minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan bisnis seringkali kita temukan wilayah
abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum (Bertens, 2000).

Etika bisnis didefinisikan oleh Velasques (1998) sebagai studi mengenai standar moral
dan bagaimana standar tersebut dipergunakan oleh (1) sistem dan organisasi pada
masyarakat modern yang memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa, serta (2)
orang-orang yang bekerja dalam organisasi tersebut.Dengan kata lain, etika bisnis adalah
sebuah bentuk dari etika terapan.Etika bisnis tidak hanya menganalisis norma-norma dan
nilai-nilai moral tetapi juga berusaha memberikan kesimpulan pada berbagai lembaga,
proses teknologi, kegiatan, dan usaha yang sering disebut business.Definisi ini
menyatakan bahwa etika bisnis mencakup lembaga dan orang-orang yang bekerja di
dalamnya.

Etika lembaga usahaKetika membangun atau mengembangkan rumah sakit memang pasti
ada harapan bahwa masyarakat akan menggunakan.Mereka tentunya sebagian besar
adalah masyarakat yang sakit, walaupun saat ini berkembang berbagai pelayanan untuk
orang sehat di rumah sakit.Mereka yang fanatik terhadap pelayanan kesehatan preventif
menyatakan bahwa membangun rumah sakit adalah suatu kesalahan.Dalam hal ini seolah
ada kubu yang pro pengembangan rumah sakit dan ada kubu yang menentangnya.Akan
tetapi, data epidemiologi menunjukkan beberapa hal berikut:
Etika lembaga usaha. Ada keadaan di masyarakat yang sulit dicegah misalnya kecelakaan
lalu lintas, trauma akibat kekerasan, penyakit degenerasi dan masalah kesehatan
jiwa.Situasi ini muncul pada negara manapun, yang maju ataupun kurang maju.Berbagai
masalah kesehatan untuk orang tua (Geriatri) timbul pada masyrakat maju Disamping itu,
pola berpikir strategis berbasis demografi dan epidemiologi mendorong rumah sakit
memberikan pelayanan preventif dan promotif.Saat ini semakin banyak rumah sakit yang
menawarkan pelayanan kesehatan preventif. Adanya pelayanan kesehatan jiwa yang
semakin bervariasi, termasuk penanggulangan masalah narkotik dan obat berbahaya.
Perkembangan pelayanan medik ke arah kosmetik menjadi semakin cepat karena
masyarakat membutuhkan.Kelainan kulit seperti jerawat, bentuk tulang anak yang tidak
normal, susunan gigi yang tidak baik, mampu menjadi pendorong masyarakat untuk
mencari pelayanan rumah sakit. (Trisnantoro, 2005)

Dengan demikian, filosofi rumah sakit adalah bukan mengharapkan orang sakit, tetapi
meningkatkan persiapan terhadap kemungkinan sakit dan meningkatkan
kesehatan.Berpikir strategis ini akan membuat konsep rumah sakit yang hanya menangani
masyarakat yang sakit akan menjadi hilang.

Seperti kecenderungan di berbagai negara, rumah sakit di Indonesia bergerak ke arah


sistem manajemen berdasarkan konsep usaha yang mengarah pada mekanisme pasar dan
prinsip efisiensi.Dalam transisi ini pertanyaannya adalah, apakah ada yang dirugikan?
dan apakah ada pedoman etika yang dapat diikuti? Saat ini memang timbul kekhawatiran
mengenai akibat negatif dari transisi rumah sakit ke arah lembaga usaha.Pertanyaan
mengenai siapa yang dirugikan atas perkembangan ini perlu dibahas untuk mencari usaha
mengatasinnya.

Pembahasan diawali dengan tinjauan konseptual mengenai dasar keadilan dalam


peningkatan efisiensi.Dari pembahasan mengenai konsep dasar ini, berbagai ”kasus abu-
abu” dalam rumah sakit dianalisis untuk mencari jawaban akan pertanyaan penting:
adakah etika untuk bisnis di sektor rumah sakit? (Trisnantoro, 2004)

Tujuan penting dalam perubahan rumah sakit adalah peningkatan efisiensi dan jaminan
bagi keluarga miskin untuk mendapatkan pelayanan rumah sakit.Dengan demikian,
perubahan akan diukur dengan indikator ekonomi dan indikator lain termasuk fungsi
sosial rumah sakit

Dalam hal ini, pernyataan Pareto (Friedman, 1985) perlu diperhatikan.Pernyataan


tersebut menjelaskan bahwa perubahan kebijakan harus berprinsip pada tidak adanya
kerugian terhadap satu orang atau satu lembaga pun.”One allocation is defined as Pareto
superior toanother if and only if it makes at least one personbetter off and no one worse
off”.

Etika rumah sakit adalah (salah satu) etika institusional dalam layanan kesehatan.Etika
rumah sakit lebih jauh dipilah menjadi: (1) etika biomedik atau bioetika (bioethics); dan
(2) etika manajemen yang lebih banyak terkait dengan aspek-aspek manajemen dan
administrasi.

Etika organisasi rumah sakit saat ini mengalami perubahan besar.Bentuk lama etika
organisasi rumah sakit banyak bersandar pada hubungan dokter dan pasien dalam konteks
sumpah dokter.

Akan tetapi, etika organisasi rumah sakit saat ini banyak membahas norma-norma yang
diacu dalam manajemen kegiatan sehari-hari di rumah sakit.Norma-norma ini
mencerminkan bagaimana bisnis rumah sakit akan dijalankan sehingga pada akhirnya
rumah sakit dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat.

Etika rumah sakit di Indonesia diputuskan sebagai Etika Rumah Sakit Indonesia (ERSI)
dirumuskan dan dibina oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) dan
telah pula disahkan oleh Menteri Kesehatan dengan Surat Keputusan Nomor 924/
MENKES/ SK/ XII/ 1986.Tahun 1999 ERSI dikembangkan menjadi Kode Etik Rumah
sakit di Indonesia (KODERSI)

Pada Kodersi ini masih terjadi kebimbangan apakah rumah sakit sebagai lembaga usaha
atau sosial.Mukadimah Kodersi menyebutkan sebagai berikut :”Bahwa sejalan dengan
perkembangan umat manusia, serta perkembangan tatanan sosio budaya masyarakat dan
sejalan dengan kemajuan ilmu dan teknologi khususnya dalam bidang kedokteran dan
kesehatan, rumah sakit telah berkembang menjadi suatu lembaga berupa suatu “unit sosio
ekonomi” yang majemuk”.

Penggunaan kata unit sosio ekonomi merupakan hal yang tidak jelas karena istilah ini
sebenarnya tidak dikenal dalam perundang-undangan ataupun dalam khasanah ilmiah
bentuk kelembagaan.Istilah unit sosio ekonomi ini dapat ditafsirkan ke berbagai
arti.Dalam penjelasan Pasal 16 Kodersi, unit sosio ekonomi diterangkan dengan model
dalam konsep good corporate governance.
Sebenarnya Kodersi sudah menggunakan beberapa konsep lembaga usaha tetapi tidak
dirumuskan secara eksplisit sehingga Kodersi sebenarnya merupakan etika usaha
pelayanan rumah sakit yang memiliki basis lembaga usaha.

Dengan mengacu pada konsep bisnis yang baik maka diperlukan suatu etika bisnis
sebagai komplemen etika profesional.Etika bisnis yang berdasar pada etika sosial
(misalnya menurut Pareto) berusaha untuk menjaga sistem pelayanan kesehatan menjadi
lebih baik dan melindungi mereka yang lemah.

Kasus Abu-abu di Rumah Sakit


Mengenai pengaturan jumlah dokter dan penempatan.Penetapan tarif yang terlalu tinggi
oleh spesialis. Co: di RS Berbasis keagamaanHubungan dokter dengan industri farmasi
merupakan keadaan yang diwarnai dengan berbagai motivasi ekonomi.

Ketika tarif poli spesialis di rumah sakit pemerintah murah yang jasa mediknya rendah,
maka terjadilah peresepan yang sangat tinggi dan menggunakan jasa apotek di luar rumah
sakitPenjualan bahan dan alat yang diikutkan dengan pelayanan. Seorang keluarga pasien
mengeluh karena operasi bedah tulang tidak dapat dilakukan sebelum pen-nya dibeli.

Angka bedah caesar di sebuah rumah sakit sangat tinggi karena indikasi diperlonggar.
Angka tersebut sangat tinggi karena memang pasien menginginkan bedah SC tanpa
indikasi medikLingkungan fisik lembaga pelayanan kesehatan. Hampir seluruh praktik
bersalin, dokter, dan dokter gigi tidak memperhatikan masalah pencemaran lingkungan.

ETIKA BISNIS DIPERLUKAN DI RUMAH SAKIT


Weber (2001) dalam buku berjudul Business Ethics in Health Care: Beyond Compliance
berpendapat bahwa dalam menjalankan etika, lembaga pelayanan kesehatan harus
memperhatikan tiga hal:(1) sebagai pemberi pelayanan kesehatan;(2) sebagai pemberi
pekerjaan; dan(3) sebagai warga negara

Weber menyatakan bahwa 3 hal ini merupakan ciri-ciri organisasi pelayanan kesehatan
yang membedakannya dengan perusahaan biasa.Dasar etika bisnis pelayanan kesehatan
adalah komitmen untuk memberikan pelayanan terbaik dan komitmen untuk menjaga
hak-hak pasien.

Weber menyatakan bahwa 3 hal ini merupakan ciri-ciri organisasi pelayanan kesehatan
yang membedakannya dengan perusahaan biasa.Dasar etika bisnis pelayanan kesehatan
adalah komitmen untuk memberikan pelayanan terbaik dan komitmen untuk menjaga
hak-hak pasien.
Weber (2001) memberikan pernyataan bahwa etika bisnis rumah sakit adalah etika
kelembagaan yang akan menjadi pedoman bagi berbagai profesional di rumah
sakit.Dalam pembahasannya Weber (2001) lebih menekankan etika bisnis rumah sakit
sebagai etika lembaga usaha dan etika individual di dalamnya.

Dengan demikian, etika bisnis rumah sakit tidak hanya terbatas pada mematuhi peraturan
hukum, tidak terbatas pada etika profesional, ataupun pada etika klinik.Etika bisnis
rumah sakit akan dipakai sebagai acuan bagi semua profesional yang berada di rumah
sakit.Dalam hal ini tentunya etika bisnis rumah sakit tidak akan bertentangan dengan
etika profesional yang ada.Bagi profesi manajer pelayanan kesehatan, etika bisnis rumah
sakit akan menjadi pegangan dalam memutuskan atau menilai sesuatu hal.Berdasarkan
buku Weber (2001) sebagian etika bisnis rumah sakit berhubungan langsung dengan
prinsip-prinsip ekonomi yaitu: biaya dan mutu pelayanan, insentif untuk pegawai,
kompensasi yang wajar, dan eksternalitas.

8. Penyelesaian Sengketa Medis:


 Litigasi (Peradilan Perdata)
• Non Litigasi (ADR)
– Arbitrasi
– Konsiliasi
– Mediasi
– Fasilitasi
– Negosiasi
ADR dipilih atau diajukan oleh karena memiliki keunggulan:
– Lebih cepat, lebih murah, dan lebih sederhana
– Lebih bersifat “bersahabat” dan tidak menimbulkan sikap “bermusuhan”
– Lebih mementingkan kepentingan daripada salah-benar
• Arbitrasi:
Penyelesaian sengketa alternatif dimana para pihak yang bersengketa menyatakan
ketidaksepakatan mereka kepada seorang atau beberapa orang arbitrator.
Arbitrator kemudian akan memutuskan penyelesaian sengketa diantara mereka
• Konsiliasi:
Penyelesaian sengketa alternatif dimana para pihak yang bersengketa menyatakan
ketidaksepakatan mereka kepada Konsiliator. Konsiliator memfasilitasi diskusi
dan menawarkan opsi penyelesaian untuk disepakati para pihak
 Mediasi:
Penyelesaian sengketa alternatif dimana para pihak yang bersengketa menyatakan
ketidaksepakatan mereka kepada Mediator. Mediator memfasilitasi diskusi untuk
menemukan opsi penyelesaian yang dapat disepakati para pihak.
Arbitrator, Konsiliator dan Mediator adalah pihak ketiga yang tidak memihak
yang disepakati oleh para pihak. Perannya berbeda sesuai dengan Namanya atau
nama proses ADR nya
 Negosiasi:
Penyelesaian sengketa alternative (ADR) yang dilakukan langsung antara para
pihak, tanpa pihak ketiga, dengan cara bernegosiasi. Ilmu negosiasi tidak
diajarkan, lebih bersifat keahlian alami.
Berdasarkan UU 36/2009 Pasal 29
• Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan
profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.
Berdasarkan UU 30/1999 Arbitrase & APS Pasal 6
• (1) Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak
melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik
dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
• (2) Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian
sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan
langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan
hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
• (3) Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau
beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli
maupun melalui seorang mediator.
• (6) Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator
sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang teguh kerahasiaan,
dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh ) hari harus tercapai kesepakatan
dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait.
• (7) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah
final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta
wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak penandatanganan.
• (8) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama
30 ( tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
Berdasarkan Perma No 1 / 2008
• Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator (Pasal 1
angka 7)
• Para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis
kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak, yang memuat
klausul pencabutan perkara atau pernyataan perkara telah selesai (Ps 17
ayat (1)(6))
Pasal 60
• Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat (1) bertugas :
• a. mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien di wilayahnya;
• b. mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban Rumah Sakit di wilayahnya;
• c. mengawasi penerapan etika Rumah Sakit, etika profesi, dan peraturan
perundang-undangan;
• d. melakukan pelaporan hasil pengawasan kepada Badan Pengawas Rumah Sakit
Indonesia;
• e. melakukan analisis hasil pengawasan dan memberikan rekomendasi kepada
Pemerintah Daerah untuk digunakan sebagai bahan pembinaan; dan
• f. menerima pengaduan dan melakukan upaya penyelesaian sengketa dengan
cara mediasi.

9. Malpraktek yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan

Setiap tindak pidana selalu terdapat unsur sifat melawan hukum. Pada sebagian kecil
tindak pidana sifat melawan hukum dicantumkan secara tegas dalam rumusan, tetapi pada
sebagian larangan berbuat, maka setiap tindak pidana mengandung unsur sifat melawan
hukum. Bagi tindak pidana yang tidak mencantumkan unsur sifat melawan hukum dalam
rumusannya, unsur tersebut terdapat secara terselubung pada unsur-unsur yang lain. Bisa
melekat pada unsur perbuatan, objek perbuatan, akibat perbuatan atau unsur keadaan
yang menyertainya.6 Kasus-kasus malpraktek seperti gunung es hanya sedikit yang
muncul dipermukaan. Ada banyak tindakan dan pelayanan medik yang dilakukan dokter
atau tenaga medis lainnya yang berpotensi merupakan malpraktek yang dilaporkan
masyarakat tapi tidak diselesaikan secara hukum. Bagi masyarakat hal ini sepertinya
menunjukkan bahwa para penegak hukum tidak berpihak pada pasien terutama
masyarakat kecil yang kedudukannya tentu tidak setara dengan tenaga medis. Secara
umum letak sifat melawan hukum malpraktek dibidang kesehatan terletak pada
dilangarnya kepercayaan atau amanah pasien dalam kontrak terapeutik. Kepercayaan atau
amanah tersebut adalah kewajiban tenaga kesehatan untuk berbuat sesuatu dengan
sebaik-baiknya, secermatcermatnya, penuh kehati-hatian, tidak berbuat ceroboh, berbuat
yang seharusnya diperbuat dan tidak berbuat apa yang seharusnya tidak diperbuat. Secara
khusus latak sifat melawan hukum perbuatan malpraktek tidak selalu sama, bergantung
pada kasus, terutama syarat yang menjadi penyebab timbulnya malpraktek. Faktor sebab
dalam kasus malpraktek selalu ada, yaitu timbulnya akibat yang merugikan kesehatan
atau nyawa pasien. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
juga membahas tentang ketentuan pidana untuk kasus malpraktek yaitu: Pasal 83 “setiap
orang yang bukan Tenaga Kesehatan melakukan praktik seolah-olah sebagai Tenaga
Kesehatan yang telah memiiki izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Pasal 84 ayat (1) “Setiap Tenaga
Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima Pelayan
Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun” Pasal 84
ayat (2) “Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun” Undang-undang kesehatan diwujudkan dalam rangka memberikan kapastian
hukum dan perlindungan hukum untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberika
dasar bagi pembangunan kesehatan. Seorang dokter yang mengakibatkan kerugian bagi
pasien akibat kelalaian dokter tersebut dalam melakukan perawatan baik langsung
maupun tidak langsung dapat dimintakan pertangggungjawaban pidana. Dalam Pasal 58
ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur tentang hak
korban yaitu: “ Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat
kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehtan yang diterimanya”

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik, pada hakikatnya
tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik
hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan kata lain, dilihat dari
sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Di samping itu, usaha penanggulangan
kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga
merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh
karena itu, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari
kebijakan atau politik sosial (social policy). Perbuatan malpraktek yang dilakukan oleh
Tenaga Kesehatan dalam hal ini dapat dikategorikan termasuk kejahatan, karena sudah
memiliki unsur merugikan, terutama merugikan pasien. Berbicara mengenai malpraktek,
menurut M. Fakih yang pada umumnya melakukan malpaktek itu ialah dokter dan dokter
gigi selaku tenaga medis. Tenaga medis juga termasuk ke dalam kategori tenaga
kesehatan. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan menyatakan pegertian tenaga kesehatan yaitu: “setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan” Penanggulangan
malpraktek dapat dilakukan melalui 2 upaya yaitu: 1. Upaya Penal Upaya penal
merupakan penanggulangan suatu kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang
didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu perbuatan apa yang seharusnya dijadikan
tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar.8
Berdsarkan pendapat Devi Puspa Sari maka diketahui upaya penal yang dilakukan oleh
Polda Lampung dalam menanggulangi dugaan malpraktek dilakukan secara represif
(penegakan hukum) berdasarkan tugas di bidang penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana. Polda Lampung memiliki unit khusus untuk melakukan upaya ini, yaitu
Reskrimsus bagian Kasubdit IV yang bertugas melakukan penindakan dan penyidikan
terhadap kasus dugaan malpraktek dalam rangka penegakan hukum. Berdasarkan
wawancara dengan Devi Puspa Sari menerangkan penyelidikan yang dilakukan terkait
kasus dugaan malpraktek diawali dengan pemberitaan melalui broadcast adanya dugaan
malpraktek, karena sebagian besar dalam kasus dugaan malpraktek tidak adanya laporan
dari keluarga korban. Seperti yang terjadi dalam kasus dugaan malpraktek di salah satu
rumah sakit wilayah lampung yang saat ini sudah SP3 (Surat Penghentian Penyidikan
Perkara). Alasan mengapa kasus tersebut dijatuhan SP3 yaitu dikarenakan kurangnya
bukti yang mendukung sehingga penyidik Polda Lampung menghentikan proses
penyidikan tersebut. Setiap korban (keluarga korban) mempunyai hak untuk melakukan
Praperadilan, karena dengan dikeluarganya SP3 tidak menutup kemungkinan kasus ini
akan ditindak lanjuti kembali setelah dilakukannya Praperadilan. Apabila penyidik
mengetahui adanya dugaan malpraktek maka pihak reskimsus segera melakukan
penyelidikan dengan meminta bantuan para ahli yang berasal dari IDI, MKEK, dan
PUSDOKKES Polri. Upaya penal dalam dugaan malpraktek melibatkan banyak pihak
yang ikut serta dalam pembuktiannya baik dari pihak kepolisian maupun dari pihak
kesehatan. Penyelesaian sengketa medik diatur dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Apabila tindakan dokter
bertentangan dengan etika dan moral serta kode etik kedokteran Indonesia (Kodeki) yang
telah dibuktikan oleh Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK), maka bisa dikatakan
malpraktik dan dapat diajukan gugatan hukum. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK) merupakan salah satu organisasi yang turut serta dalam prosedur penanganan
dugaan malpraktek. berikut ini adalah prosedur yang dilakukan MKEK:

1. Menerima Pengaduan Melalui IDI Cabang/Wilayah/Pusat atau langsung ke MKEK


Cabang/Wilayah/Pusat, sesuai tempat kejadian perkara kasus aduan tersebut. Apabila
menerima aduan secara tertulis maka harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Identitas pengadu

b. Nama dan alamat tempat praktik dokter dan waktu tindakan dilakukan

c. Alasan sah pengadu

d. Bukti-bukti dan keterangan saksi atau petunjuk yang menunjang dugaan pelanggaran
etika tersebut Apabila pengaduan tersebut tidak lengkap atau tidak atau berisi keterangan
yang dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk pembinaan pengabdian
profesi, maka ketua MKEK dapat menolak atau meminta pengaduan memperbaiki atau
melengkapinya.

2. Pemanggilan pengadu dan teradu Pemanggilan ini dapat dilakukan sampai 3 kali
berturut-turut dan jika setelah 3 kali pengadu tetap tidak dating tanpa alasan yang sah,
maka pengaduan tersebut dinyatakan batal, dan jika pada pemanggilan ke 3 teradu tidak
dating dengan alasan yang sah maka pananganan kasus dilanjutkan tanpa kehadiran
teradu dan putusan yang ditetapkan dinyatakan sah dan tidak dapat dilakukan banding.

3. Penelaahan Kasus Penelaahan kasus dugaan malpraktek dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a. Mempelajari keabsahan surat pengaduan b. Bila perlu mengundang pasien atau keuarga
pangadu untuk klarifikasi awal pengaduan yang disampaikan c. Bila perlu mengundang
dokter teradu untuk klarifikasi awal yang diperlukan d. Bila diperlakukan melakukan
kunjungan ketempat kejadian/perkara e. Diakhir penelaahan, ketua MKEK menetapkan
pengaduan tersebut layak atau tidak layak untuk disidangkan oleh majelis pemeriksa.
Pada saat penelaahan dilaksanakan maupun pada saat persidangan, dokter teradu berhak
didampingi oleh pembela.

4. Sidang Majelis Pemeriksaan Divisi Kemahkamahan MKEK Sidang ini dilakukan


apabila perkara tersebut sudah memenuhi syarat dan benar adanya. Dalam siding ini
pengadu,teradu, dan saksi tidak diambil sumpah melainka diminta kesediaan untuk
menandatangani pernyataan tertulis di depan MKEK bahwa semua keterangan yang
diberikan adalah benar. Para pihak dapat mengajukan saksi namun keputusan penerimaan
kesaksian atau kesaksian ahli ditentukan oleh Ketua Majelis Pemeriksa.

5. Keputusan Majelis Pemeriksa Divisi Kemahkamahan MKEK Keputusan Majelis


Pemeriksa diambil ketentuan sebagai berikut :

a. Diambil atas dasar musyawarah dan mufakat atau atas dasar suara terbanyak dari
Majelis Pemeriksa,

dengan tetap mencatat perbedaan pendapat

b. Bersifat rahasia, kecuali dinyatakan lain

c. Berupa dinyatakan melanggar atau tidak melanggar Kode Etik Kedokteran Indonesia

d. Dapat dilakukan banding paling lambat 2 minggu setelah putusan ditetapkan. Selain
upaya yang dilakukan di atas, MKEK selalu mengupayakan mediasi setelah menerima
pengaduan dan mendapatkan klarifikas dalam penanganan malpraktek.

Perlu dilakukan pembinaan khusus terhadap setiap tenaga kesehatan, agar dalam
menjalankan tanggungjawab mereka tidak melakukan kesalahan dalam hal memberikan
penanganan medis terhadap pasien, serta perlu memberikan pengalaman penanganan
medis yang lebih kepada tenaga kesehatan, karena dengan pengalaman yang cukup
mereka akan memberikan pelayanan kesehatan yang baik. Selain itu diperlukan juga
pengadilan tersendiri bagi tenaga kesehatan dalam penanganan malpraktek karena sampai
saat ini banyaknya persepsi yang salah muncul dimasyarakat bahkan bagi aparat penegak
hukum dengan perkara dugaan malpraktek. Adanya kerja sama yang baik antara pihak
kepolisian selaku penyidik dengan pihak di bidang kesehatan seperti IDI,MKEK,dan
MKDKI diharapkan dapat menyatukan perpsepsi dalam penanganan dugaan
malpraktek agar setiap kasus dugaan malpraktek dapat diselesaikan sebagaimana
mestinya. Karena terkadang sangat sulit membuktikan kesalahan dokter. Sebagian besar
kasus malpraktek diselesaikan secara damai yang dilakukan di luar jalur litigasi, karena
dokter tidak menghendaki reputasinya rusak apabila dipublikasikan negatif, walaupun
ada kemungkinan dokter yang bersangkutan tidak bersalah.

1. Upaya Non penal


Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi
penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun
secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan.9 Upaya
non penal dalam menanggulangi kasus malpraktek dapat dilaksanakan dengan cara
preventif (pencegahan terjadi tindak pidana), yaitu dengan cara melakukan penyuluhan
atau pun sosialisasi kepada tenaga kesehatan. Agar setiap tenaga kesehatan lebih berhati-
hati lagi dalam melakukan tugasnya sebagai tenaga medis. Upaya penanggulangan
terhadap kasus dugaan malpraktek sebenarnya yang lebih berwenang adalah Tim dari
kesehatan itu sendiri karena merekalah yang lebih paham terhadap apa yang mereka
lakukan, apakah sudah sesuai dengan ilmu yang mereka pelajari atau tidak. Berdasarkan
hasil wawancara dengan Fatah.W menyatakan upaya nonpenal yang dilakukan oleh IDI
dan MKEK adalah dengan cara melakukan pemberian pembekalan baik secara etik
maupun disiplin kepada setiap anggota (tenaga kesehatan). Pembekalan dilakukan dengan
cara mewajibkan mengikuti setiap kegiatan ilmiah, seminar, simposium yang dalam
kegiatan tersebut akan ada penetapan SKP (Satuan Kredit Partisipasi) sebagai penilaian
dalam kegiatan seminar atau simposium tersebut. Dalam setiap kegiatan ilmiah, seminar
dan simposium yang dilakaukan selalu disisipkan penyampaian tentang pelanggaran etik
dan disiplin dalam tindakan medis sebagai cara untuk mengingatkan setiap tenaga medis
agar bertindak hati-hati dalam tugasnya. Menurut penulis sendiri upaya penanggulangan
malpraktek yang dilakukan merupakan upaya yang sesuai dengan ketentuan yang terkait.
Upaya penanggulangan kejahatan non penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk
terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor penyebab
terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-
masalah atau kondisi-kondisi yang secara langsung atau tidak langsung dapat
menimbulkan atau menumbuh suburkan kejahatan. Upaya non penal yang dilakukan IDI
dan MKEK dilakukan untuk mencapai kesejahteraan dan sekaligus mencakup
perlindungan kepada masyarakat (pasien) untuk itu dalam hal pencegahan tersebut IDI,
MKEK, kepolisian, harus berkoordinasi dengan pihak Rumah Sakit dan para tenaga
kesehatan dalam tindakan preventif. Hal melakukan nyata yang bertujuan untuk mencapai
kedamaian.

10. Sebagaimana pengertiannya, by-laws adalah regulations, ordinances, rules or


laws adopted by an association or corporation or the like for its government. 1 Dengan
demikian hospital by-laws dalam arti luas adalah segala ketentuan, baik berupa statuta
atau AD-ART, peraturan, standar dll yang dibuat oleh dan diberlakukan untuk sesuatu
rumah sakit tertentu. Sedangkan hospital by-laws dalam arti sempit adalah ketentuan
yang menjelaskan tentang tata-hubungan antara pemilik rumah sakit, manajemen rumah
sakit dan komite medis.

Hospital by-laws bukanlah suatu peraturan yang standar dan berlaku atau dapat
diterapkan begitu saja bagi setiap rumah sakit, namun juga bukan suatu peraturan yang
berisi ketentuan yang sangat individual atau bahkan bertentangan dengan hospital by-
laws pada umumnya. Hospital by-laws dibuat dengan mengacu kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, terutama di bidang hukum perdata dan hukum
ketenagakerjaan. Oleh karena itu sangat dianjurkan kepada yang berkepentingan di rumah
sakit yang akan membuatnya untuk berkonsultasi dengan ahli hukum, terutama yang
mengenal hukum kedokteran. 

Peran dan Fungsi Hospital by Laws

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa hospital by-laws adalah semua peraturan
yang berlaku di rumah sakit yang mengatur segala sesuatu penyelenggaraan di rumah
sakit tersebut. Dalam prototype hospital by-laws yang diajukan bersama oleh Ontario
Hospital Association and Ontario Medical Association disebutkan secara implisit bahwa
hospital by-laws terdiri dari bagian administratif (dalam arti penyelenggaraan, berkaitan
dengan hospital administrator) dan bagian medical staff. Selain kedua bagian hospital by-
laws tersebut, di rumah sakit juga dapat dibuat berbagai peraturan, keputusan dan
kebijakan rumah sakit, termasuk standar prosedur pelayanan medis, yang merupakan
aturan/ketentuan di bawah hospital by-laws.

Demikian pula Keputusan Menteri Kesehatan R.I nomor 772/Menkes/SK/VI/2002


tentang Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital Bylaws) menguraikan bahwa
Hospital Bylaws terdiri dari Corporate Bylaws dan Medical staff bylaws. Di dalam
pedoman tersebut juga diuraikan bahwa penyusunan medical staff bylaws dapat digabung
menjadi satu dengan corporate bylaws yaitu menjadi salah satu pasal atau bab di dalam
corporate bylaws, meskipun bisa juga di susun secara terpisah.

Hospital (administrative atau corporate) by-laws mengatur tentang bagaimana


kepentingan pemilik direpresentasikan di rumah sakit, bagaimana kebijakan rumah sakit
dibuat, bagaimana hubungan antara pemilik dengan manajemen rumah sakit dan
bagaimana pula dengan staf medis, dan bagaimana hubungan manajemen dengan staf
medis. Hubungan-hubungan tersebut diuraikan dalam keadaan statis dan dinamis.

Hospital (medical) by-laws memberikan suatu kewenangan kepada para profesional


medis untuk melakukan self-governance bagi para anggotanya, dengan cara membentuk
suatu "komite medis" yang mandiri; sekaligus memberikan tanggung-jawab
(responsibility) kepada "komite" tersebut untuk mengemban seluruh kewajiban pemastian
terselenggaranya pelayanan profesional yang berkualitas dan pelaporannya kepada
administrator rumah sakit.

Hospital by-laws juga mengatur tentang upaya yang harus dilakukan guna mencapai
kinerja para profesional yang selalu berkualitas dalam merawat pasiennya; utamanya
melalui rambu-rambu penerimaan, review berkala dan evaluasi kinerja setiap praktisi di
rumah sakit. Dalam rangka itu pula hospital by-laws juga dapat memerintahkan "komite
medis" untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan guna mencapai dan menjaga
standar serta menuju kepada peningkatan pengetahuan dan ketrampilan profesi.( 6, 7)

Akhirnya hospital by-laws juga harus merangsang timbulnya, memelihara, me-review


dan menyempurnakan peraturan dan standar guna tercapainya self-governance. (6) Self
governance selanjutnya harus diikuti dengan self-regulation dan self-disciplining. Hal ini
mengharuskan hospital by-laws untuk juga mengatur tentang pengawasan, sistem
pelaporan dan pencatatan, sistem penilaian (peer-review, hearing, dll), dan tentu saja
pemberian sanksi disiplin bagi mereka yang melanggarnya sampai pada tingkat tertentu.

Ketentuan dalam hospital by-laws


Di dalam bagian administratif dari suatu hospital by-laws diatur tentang Badan Pengawas
(Board of Trustees atau Dewan Penyantun), kepengurusan korporasi, kepanitiaan
(komite) yang diperlukan, rapat, keuangan, tugas-tugas administrator (manajemen) serta
hubungan administrator dengan pengurus rumah sakit lainnya. 5

Dianjurkan di dalam prototype hospital by-laws tersebut bahwa administrator rumah sakit


ditunjuk juga sebagai sekretaris Badan Pengawas, tetapi bukan sebagai anggota Badan
Pengawas. Administrator adalah orang yang bertanggung-jawab atas berjalannya
korporasi rumah sakit, termasuk mempekerjakan-mengendalikan dan mengarahkan
semua pegawai rumah sakit.

            Di dalam bagian medical staff by-laws diatur hal-hal yang berkaitan dengan


penyelenggaraan pelayanan medis di rumah sakit, baik yang bersifat profesional maupun
yang bersifat legal, utamanya tentang sumber daya manusia di bidang medis.
Diperlukannya medical staff by-laws didasarkan kepada pemikiran bahwa kinerja para
profesional, pelayanan medis, pendidikan dan penelitian di dalam rumah sakit adalah
tugas yang maha penting dari rumah sakit dan staf medis perlu memberikan saran atau
nasehatnya kepada administrator agar kepentingan pasien tetap merupakan tujuan utama
disamping tujuan-tujuan korporasi lainnya. By-laws bagian ini juga bertujuan untuk
menjaga kerjasama yang baik antara staf medis dengan administrator.

Pada umumnya, medical staff by-laws berisikan ketentuan tentang nama, tujuan,


keanggotaan, kategori keanggotaan, profesional yang bukan dokter/dokter gigi, prosedur
pengangkatan dan review, clinical privileges, tindakan korektif, proses hearing dan
banding, kepengurusan staf medis, organisasi pelayanan medis, kepanitiaan yang harus
dibentuk, rapat-rapat, kerahasiaan dan pengungkapan informasi, peraturan lain, dan
ketentuan tentang penambahan by-laws atau peraturan. 5,6,7,8,9

            Tidak ada seorang dokter yang dapat berpraktek atau merawat pasiennya di rumah
sakit kecuali dia adalah anggota staf medis, atau dokter yang bukan anggota tetapi diberi
hak khusus secara temporer atau dokter yang berada dalam pendidikan dan memperoleh
hak tersebut secara khusus dengan supervisi dari anggota staf medis.

Untuk dapat menjadi anggota staf medis, seseorang harus dapat menunjukkan
ijasah dokternya (sertifikat kompetensi), ijin dokter (surat penugasan atau surat tanda
registrasi dan surat ijin praktek tenaga medis sebagai bentuk pengakuan publik atas
kewenangannya), pengalaman, latar belakang, pelatihan yang pernah diikuti, kemampuan
terakhir atau brevet spesialisasi terakhir yang telah disahkan oleh Kolegium terkait,
pertimbangan dalam membuat keputusan medis, serta status kesehatannya. Semuanya
bertujuan untuk memastikan bahwa dokter tersebut akan memberikan pelayanan medis
sesuai dengan standar tingkat kualifikasinya, bersikap dan bertindak etis, dan mampu
bekerjasama dengan sejawatnya. Ia juga diharapkan selalu menjaga standar perilaku dan
patuh kepada standar pelayanan medis yang terkait dengan kualifikasinya, sumpah
dokter, etik kedokteran dan ketentuan lain. Rumah sakit sebaiknya mengharuskan para
dokter tersebut telah memiliki polis asuransi profesi dengan jumlah pertanggungan yang
disepakati kedua pihak.

Ketentuan tersebut harus tetap dijaga sepanjang keanggotaannya sebagai staf medis.
Seseorang dokter/dokter gigi tidak akan ditunjuk menjadi staf medis selamanya,
melainkan akan selalu di-review per-tahun atau setidaknya setiap dua tahun. Review ini
bermanfaat untuk tetap menjaga kualitas layanan dan perilakunya.

            Keanggotaan staf medis dikategorikan ke dalam beberapa kelompok, sesuai


dengan status dan perannya. Kategori anggota yang digunakan di berbagai hospital by-
laws di negara lain mungkin tidak tepat benar untuk diterapkan di negara kita, namun
setidaknya dapat digunakan sebagai acuan cara berpikir kita.
Anggota aktif adalah anggota staf medis, baik dokter atau spesialis ataupun dokter gigi,
purna-waktu ataupun paruh-waktu, yang melaksanakan pelayanan medis di rumah sakit
dengan menempati jadwal kerja dan tempat praktek yang telah tertentu dan berhak
merawat inap pasien di bidang kualifikasinya. Di rumah sakit pendidikan, staf tersebut
termasuk staf dosen Fakultas Kedokteran yang ditunjuk untuk menjadi staf medis rumah
sakit.

Anggota yang tidak memenuhi kriteria anggota aktif dapat dimasukkan ke dalam kategori
keanggotaan lain, seperti “anggota sementara”, “anggota konsultan”, “anggota
kehormatan”, dll. Anggota jenis ini tidak memiliki hak suara dalam pembuatan
keputusan, tetapi dapat berkontribusi di dalam kepanitiaan yang dibentuk.

Anggota sementara diperuntukkan bagi anggota baru yang diharapkan kelak menjadi
anggota aktif, namun membutuhkan evaluasi terlebih dahulu; atau bagi residen
pendidikan spesialis di rumah sakit pendidikan.

Dengan mengingat bahwa dokter di Indonesia tidak hanya bekerja di satu rumah sakit,
maka harus dipikirkan kemungkinan bahwa seorang dokter menjadi anggota staf medis
dari beberapa rumah sakit. Barangkali perlu diatur agar seseorang tidak menjadi
“pengurus staf medis” di lebih dari satu rumah sakit, agar mutu pengabdiannya tidak
terganggu.

            Medical staff by-laws harus mengatur tanggung-jawab profesional anggota staf


medis, seperti keharusan mematuhi standar profesi, mematuhi by-laws dan peraturan lain,
dapat bekerjasama, mematuhi aturan pengisian rekam medis, mematuhi sumpah dokter
dan etik kedokteran, kewajiban mengikuti pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan lain-
lain.

            Prosedur aplikasi menjadi anggota, review oleh tim credential, pengambilan


keputusan, serta waktu pemrosesan harus diuraikan secara rinci di dalam medical staff
by-laws. Demikian pula proses persidangan bila diduga terdapat pelanggaran etik,
kelalaian medis atau pelanggaran profesional lain; kewajiban mengajukan bukti-bukti dan
hak membela diri, hak naik banding, tindakan korektif yang bisa diberikan – dari
peringatan hingga pencabutan hak sebagai anggota staf medis, dll.

            By-laws juga mengatur tentang kewenangan medis dari tiap anggotanya sesuai


dengan kualifikasinya, pengaturan apabila terdapat tindakan atau kasus yang menjadi
lahan lebih dari satu spesialisasi, sistem rujukan dan konsultasi internal, sistem jaga dan
perpindahan kewenangan dan tanggung-jawab, dll.
Sebagaimana layaknya yang berlaku saat ini, rumah sakit juga diharuskan
memiliki beberapa kepanitiaan yang mengurusi aspek khusus dan tertentu dari pelayanan
medis di rumah sakit, misalnya Panitia By-laws, Panitia kredensial, Panitia Pelayanan
Kritis (Critical Care), Panitia Bank Darah dan pemanfaatan darah, Panitia Kanker,
Panitia Pelayanan Klinik, Panitia Penyakit Ginjal terminal, Panitia Pendidikan
Kedokteran, Panitia pengendalian infeksi (nosokomial), Panitia etik kedokteran, Panitia
Perpustakaan medis, Panitia Rekam Medis, Panitia Quality Assurance, Panitia Kamar
Operasi, Panitia Farmasi dan Perobatan, Panitia Koordinasi peningkatan kualitas, Panitia
Praktek profesioal, Panitia Rehabilitasi, Panitia Trasplantasi, Panitia Trauma,
Panitia Utilization Review, dll. 

            Selain hospital by-laws dalam bentuk bagian administratif dan bagian staf medis
di atas, rumah sakit juga harus mengeluarkan peraturan, kebijakan dan berbagai standar
yang harus dipatuhi oleh staf medis dan pegawai rumah sakit lainnya. Sebagai contoh
peraturan tersebut adalah Peraturan Perawatan Inap Pasien, Peraturan tentang Rekam
Medis, Peraturan tentang Sikap Umum dalam Melakukan Pelayanan Medis, Safety and
Disaster Plan, Peraturan Umum tentang Pembedahan, Peraturan Umum tentang Dialisis,
Kerahasiaan Medis, Hak pasien dan privacy-nya, dan peraturan lain yang diperlukan.

            Apabila dikaji uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hospital
(medical) by-laws memiliki peran yang besar dalam menertibkan penyelenggaraan
layanan medis di sebuah rumah sakit, yang berarti pula merupakan upaya untuk
mencegah terjadinya kasus medikolegal. Bahkan bukan hanya sengketa medis antara
pemberi layanan dengan penerima layanan medis saja yang dicegah, melainkan juga
sengketa hukum antara manajemen rumah sakit dengan dokter pemberi layanan medis
atau antar para pemberi layanan medis di rumah sakit tersebut.

JAWABAN

ANALISIS KASUS

1. Sebagai lulusan MARS Langkah yang akan saya lakukan adalah membuat Hospital by
Law agar semua kedudukan menjadi jelas di Rumah Sakit, terutama kedudukan Internal
Rumah Sakit. Setelah membentuk Hospital by Law yang terdiri dari:

 Judul

 Batang Tubuh

a. Peraturan Internal Korporasi (Corporate Bylaws)


b. Peraturan Internal Staf Medis (Medical Staf Bylaws)

 Penutup

 Lampiran (jika diperlukan)

Setelah melakukan penyususan HBL selanjutnya akan dilakukan pembenahan di bidang

a. Pelayanan

b. Pendidikan

c. Tata Kelola RS

d. SPA dan Keuangan

e. Jasa Pelayanan, dll.

2. Menyusun

- Kebijakan

- Pedoman Pelayanan

- Pedoman Pengorganisasian

- Panduan Pelayanan

- Standard Prosedur Operasional

- SK Direktur

dari setiap Bidang sehingga setiap personal mengetahui Jobdesk dan Uraian Tugasnya
Masing-masing.

Untuk bidang pelayanan Dokter, harus dibuatkan MOU/ Perjanjian Kerjasama yang jelas
antara Rumah Sakit dengan Dokter yang bersangkutan.

Contoh MOU Dokter dengan Rumah Sakit

PERJANJIAN KERJA SAMA RSU X


DENGAN
DOKTER SPESIALIS PARUH/PURNA WAKTU
Nomor :

Pada hari ini …….., tanggal … bulan …… tahun .…, kami yang bertanda tangan
dibawah ini :
I. Rumah Sakit X, berkedudukan di Jalan ……., milik PT. …, didirikan berdasarkan SK Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor : …… Tentang Pemberian
Izin Operasional Tetap dalam hal ini diwakili oleh dr. ………., MARS dalam kedudukannya
sebagai Direktur Rumah Sakit tersebut dan selaku demikian berdasarkan Surat Keputusan
Direksi PT. ……. Nomor: …….. sah mewakili Direksi dari dan oleh karenanya bertindak untuk
dan atas nama Rumah Sakit X.

Selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA.

II. Nama : ………..

Pekerjaan/Profesi : Dokter Umum/Spesialis

Keahlian : …………

Alamat : ……………

No. Telepon : …………

Selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA.

PIHAK PERTAMA, adalah Rumah Sakit sebagaimana tersebut di atas dengan segala sarana,
prasarana serta manajemen yang memenuhi persyaratan sebagai sebuah rumah sakit,
sedangkan PIHAK KEDUA adalah Dokter Umum/Spesialis Paruh/Purna Waktu yang memenuhi
kompetensi sebagaimana persyaratan akademis standar dan kewenangan untuk melakukan
pelayanan serta tindakan medis sesuai dengan bidang keahliannya.

Kedua pihak dengan ini bersepakat dan saling mengikatkan diri untuk mengadakan
perjanjian kerjasama dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut :

Pasal 1

RUANG LINGKUP PERJANJIAN

PIHAK PERTAMA menerima PIHAK KEDUA dan PIHAK KEDUA bersedia untuk
bekerjasama dengan PIHAK PERTAMA dalam kedudukan sebagai Dokter
Umum/Spesialis Paruh/Purna Waktu, dengan cara PIHAK KEDUA akan melakukan
pelayanan medis dan atau pelayanan kesehatan lainnya sesuai dengan bidang
keahlian/spesialisasi PIHAK KEDUA di rumah sakit PIHAK PERTAMA, baik rawat
jalan maupun rawat inap, atau tindakan medis lainnya dengan mendapat bantuan tenaga
kesehatan dari PIHAK PERTAMA;

Pasal 2

JANGKA WAKTU PERJANJIAN

Perjanjian ini berlaku selama 3 (Tiga) tahun yang dapat diperpanjang melalui mekanisme
tertentu, atau berakhir pada waktu-waktu lain sebagaimana ditentukan di dalam pasal 15
perjanjian ini

Pasal 3
HUBUNGAN KERJASAMA

(1) Bahwa sebagaimana halnya kedudukan PIHAK KEDUA sebagai dokter purna waktu di
tempat PIHAK PERTAMA, maka segala ketentuan yang berlaku di tempat PIHAK
PERTAMA berlaku bagi PIHAK KEDUA, termasuk Peraturan Tenaga Medik (dokter
spesialis), Hak dan Kewajiban Dokter Purna Waktu, peraturan - peraturan disiplin,
peraturan administrasi keuangan, dan Pedoman Pelayanan Medis yang ada pada
RUMAH SAKIT PIHAK PERTAMA, tetapi tidak termasuk peraturan kepegawaian yang
ditujukan untuk pegawai tetap;
(2) Bahwa selaku dokter purna waktu, PIHAK KEDUA bertanggung-jawab penuh kepada PIHAK
PERTAMA, di bidang administratif dan fungsional melalui staf yang ditunjuk PIHAK
PERTAMA sesuai struktur organisasinya.
Pasal 4

PENGATURAN WAKTU KERJA

PIHAK KEDUA dalam melayani pasien rawat jalan dan rawat inap setuju mematuhi pengaturan
waktu kerja sebagaimana ditetapkan oleh PIHAK PERTAMA, sebagai berikut:

(1) Waktu Praktek merupakan waktu yang telah disepakati oleh kedua pihak. Penerapan jam
praktek tersebut disesuaikan dengan ketersediaaan ruang praktek, dimana jadwal
praktek PIHAK KEDUA yang telah disepakati adalah :
HARI PUKUL

Kunjungan ke RS

Senin 07.00 – 14.00

Selasa 14.00 – 20.00

Rabu 07.00 – 14.00

Kamis 14.00 – 20.00

Jumat 07.00 – 14.00

Sabtu 10.00 – 15.00

Minggu 08.00 – 10.00

(2) Waktu jaga on call (konsulen ranap) sesuai dengan jadwal yang ditentukan oleh PIHAK
PERTAMA setiap bulannya;
(3) Wajib menunjuk dokter pengganti yang mempunyai keahlian di bidang yang sama, dengan
memprioritaskan mereka yang telah terikat di dalam perjanjian dengan PIHAK PERTAMA
dan penunjukan tersebut telah disetujui PIHAK PERTAMA, selaku dokter purna waktu
maupun dokter paruh waktu, untuk menggantikan PIHAK KEDUA di dalam memberi
pelayanan medis terhadap pasien baik dalam kasus rajal ataupun ranap yang seharusnya
dilakukan PIHAK KEDUA di rumah sakit PIHAK PERTAMA, sedemikian rupa diusahakan
oleh PIHAK KEDUA sehingga tugas dan pekerjaan PIHAK KEDUA tetap terselenggara di
tempat PIHAK PERTAMA;
(4) Waktu –waktu lain selain pada (1) dan (2) apabila dimintai konsultasi oleh dokter jaga atau
perawat jaga dalam rangka menangani pasien-pasien yang menurut pertimbangannya
membutuhkan keahlian PIHAK KEDUA, tidak terbatas pada keadaan gawat darurat saja;
(5) PIHAK KEDUA diharapkan hadir tepat waktu di jadwal praktek yang telah disepakati demi
kenyamanan pasien, toleransi keterlambatan yang diberikan adalah paling lama 30
menit di jadwal praktek kecuali PIHAK KEDUA memberikan konfirmasi keterlambatan
atau ketidak hadiran jadwal praktek minimal 30 menit sebelum jadwal praktek;
(6) Ketidakdisiplinan yang berulang-ulang kali akan ketidakhadiran dan keterlambatan tanpa
alsan yang tepat akan mempengaruhi evaluasi kontrak kerja berikutnya;

Pasal 5

PERSYARATAN PROSEDURAL KERJA

(1) Dalam melaksanakan perjanjian ini PIHAK KEDUA senantiasa berada dalam keadaan sehat
fisik dan mental, memiliki integritas moral yang sesuai dengan etika kedokteran dan
standar perilaku profesi, serta memiliki kecakapan profesional sesuai dengan bidang
spesialisasi/keahliannya;
(2) PIHAK KEDUA setuju untuk memperlihatkan dan memberikan salinan/copy untuk
disimpan oleh PIHAK PERTAMA, dokumen yang menyangkut
keahliannya/spesialisasinya dan dokumen yang membuktikan kewenangan
melakukan pekerjaan sebagai dokter di bidang keahliannya yang diterbitkan oleh
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang berlaku
(Permenkes) dan Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan kepada PIHAK PERTAMA
dimana berkas tersebut akan dipergunakan untuk kelengkapan perizinan PIHAK
KEDUA, berkas yang dimaksud tercantum dalam lampiran;
(3) PIHAK KEDUA setuju untuk mematuhi putusan PIHAK PERTAMA melalui
Komite Medis PIHAK PERTAMA dalam menetapkan keadaan sebagaimana
tercantum dalam ayat (1) tersebut diatas.

Pasal 6

HAK DAN KEWAJIBAN

Di dalam melaksanakan perjanjian ini, kedua pihak mempunyai hak dan kewajiban masing-
masing yang harus dilaksanakan dan ditaati yang berlandaskan pada standar profesi, yakni
sebagai berikut:
A. PIHAK PERTAMA
Mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai berikut :

HAK-HAK :

1. Berhak menetapkan/menentukan luasnya ruang lingkup, batasan-batasan,


peraturan rumah sakit dan disiplin hubungan kerja di tempat PIHAK PERTAMA
dengan tetap mengindahkan dan berlandaskan kepada persyaratan dasar
pelayanan medis;

1. Berhak merubah dan atau membatalkan perjanjian kerjasama yang telah dibuat
dengan PIHAK KEDUA bilamana diperlukan, setelah mendengar pertimbangan dari
Komite Medis yang ada di rumah sakit PIHAK PERTAMA sebagaimana diatur dalam
pasal 5;
2. Berhak memberikan sanksi administratif kepada PIHAK KEDUA yang berhalangan
hadir tanpa alasan yang sah dan tidak menunjuk penggantinya, serta berhak
menunjuk dokter pengganti tanpa harus berkonsultasi dengan PIHAK KEDUA;
3. Berhak memberikan sanksi administrasi kepada PIHAK KEDUA yang tidak
memenuhi ketentuan dalam perjanjian ini ataupun ketentuan dalam peraturan,
ketentuan dan prosedur yang berlaku di rumah sakit PIHAK PERTAMA, dalam
bentuk teguran, peringatan tertulis hingga pencabutan sementara kewenangan
medis PIHAK KEDUA di rumah sakit PIHAK PERTAMA;
4. Berhak menambah dokter baru ataupun membeli peralatan baru yang berkaitan
dengan bidang spesialisasi PIHAK KEDUA sesuai dengan kebutuhan rumah sakit
PIHAK PERTAMA;
5. Berhak menentukan kebijakan strategis demi kepentingan pasien bilamana
diperlukan seperti penyesuaian jadwal praktek, pengangkatan maupun perekrutan
dokter purna waktu ataupun kebijakan klinik paralel dll;
6. Berhak menentukan kerjasama dengan principal yang ditunjuk yang terkait
dengan alkes dan obat-obatan yang digunakan PIHAK KEDUA dan PIHAK
PERTAMA.

KEWAJIBAN-KEWAJIBAN :

1. Wajib menyediakan tempat rawat jalan dan rawat inap yang layak serta sarana
dan prasarananya bagi pasien yang dirawat PIHAK KEDUA, sesuai dengan standar
prosedur pelayanan/perawatan kesehatan yang diterapkan dalam rumah sakit
PIHAK PERTAMA;
1. Wajib memberikan ijin kepada PIHAK KEDUA untuk melaksanakan pelayanan
rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit PIHAK PERTAMA, dimana ijin termaksud
diberikan dalam bentuk tertulis (Surat Keputusan) dan harus diserahkan kepada
PIHAK KEDUA selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) minggu setelah
perjanjian ini ditandatangani;

2. Wajib menghormati standar profesi medis PIHAK KEDUA;


3. Wajib memberikan kompensasi profesional (jasa medik) kepada PIHAK KEDUA
yang diperoleh karena melakukan tindakan medis dan atau merawat pasien
ditempat PIHAK PERTAMA sebagaimana ditentukan di dalam pasal 7 perjanjian ini;
4. Wajib memenuhi hak-hak PIHAK KEDUA sebagaimana diatur dalam perjanjian ini;
5. Wajib memberikan bukti potong pajak apabila diminta oleh PIHAK KEDUA
B. PIHAK KEDUA
Mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai berikut :

HAK-HAK :

1. Berhak melaksanakan profesinya dengan kebebasan profesi yang sesuai dengan


state-of-the-art ilmu kedokteran dan spesialisasinya;
2. Berhak mendapat pembayaran kompensasi profesional (jasa medik) dari PIHAK
PERTAMA atas hasil kerja PIHAK KEDUA yang diperoleh karena merawat pasien di
rumah sakit PIHAK PERTAMA sebagaimana ditentukan di dalam pasal 7 perjanjian
ini.
1. Berhak mendapat prasarana dan sarana administratif dan medis serta bantuan
tenaga kesehatan dari PIHAK PERTAMA yang diperlukan oleh PIHAK KEDUA di
dalam melaksanakan profesinya di rumah sakit PIHAK PERTAMA;
2. Berhak mendapatkan cuti dengan alasan yang jelas
3. Berhak mendapat tunjangan hari raya sesuai dengan gaji pokok
4. Berhak mendapatkan sharing jasa medis 70 : 30 untuk pasien Pribadi dan Asuransi
5. Berhak mendapatkan sharing BPJS seperti sebelumnya (tidak ada perubahan).
6. Berhak mendapatkan hari praktek lebih banyak di RSU X
KEWAJIBAN-KEWAJIBAN :
1. Wajib memperlihatkan dokumen asli dan memberikan salinan/copy untuk
disimpan oleh PIHAK PERTAMA, dokumen yang menyangkut pendidikan yang
telah diselesaikan dan membuktikan profesi yang layak disandang yang
diterbitkan oleh lembaga pendidikan tinggi milik pemerintah/swasta berupa
Ijazah;
2. Wajib memperlihatkan dokumen asli dan memberikan salinan/copy yang
dilegalisir untuk disimpan oleh PIHAK PERTAMA, dokumen yang menyangkut
keahliannya/spesialisasinya dan dokumen yang membuktikan kewenangan
melakukan pekerjaan sebagai dokter dibidang keahliannya yang diterbitkan oleh
Konsil Kedokteran Indonesia berupa Surat Tanda Registrasi (STR) ;

3. Wajib memperlihatkan dokumen asli dan memberikan salinan/copy untuk


disimpan oleh PIHAK PERTAMA, dokumen yang membuktikan kewenangan
melakukan praktek sebagai dokter spesialis dibidang keahliannya yang diterbitkan
oleh Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan (surat izin praktek), selambat-
lambatnya 1 (satu) bulan sejak ditandatangani perjanjian ini;
4. Wajib mengikuti dan mentaati ketentuan-ketentuan umum yang berlaku di rumah
sakit PIHAK PERTAMA;
5. Wajib mematuhi semua peraturan, kebijakan, visi, misi, tata tertib, prosedur, dan
segala ketentuan yang berlaku di rumah sakit PIHAK PERTAMA;
6. Wajib datang ke tempat PIHAK PERTAMA pada waktu-waktu praktek,
sebagaimana diatur dalam pasal 4;
7. Wajib mematuhi norma etika kedokteran dan menghormati norma etika rumah
sakit yang berlaku di Indonesia serta ketentuan sebagaimana dimaksud di dalam
pasal 3 perjanjian ini yang telah ditetapkan dan diterbitkan PIHAK PERTAMA;
8. Wajib melaksanakan profesi sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh
organisasi profesinya serta melaksanakan tindakan medis hanya dalam batas-
batas kompetensinya;
9. Wajib senantiasa memberikan pelayanan medis secara optimal sesuai dengan
standar profesi dan standar pelayanan medis yang ditetapkan oleh organisasi
profesinya dan atau oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan standar
pelayanan medis yang berlaku di rumah sakit PIHAK PERTAMA;
10. Wajib menunjuk dokter pengganti yang mempunyai keahlian di bidang yang sama,
dengan memprioritaskan mereka yang telah terikat di dalam perjanjian dengan
PIHAK PERTAMA dan penunjukan tersebut disetujui PIHAK PERTAMA, selaku
dokter purna waktu maupun dokter paruh waktu, untuk menggantikan PIHAK
KEDUA di dalam memberi pelayanan medis terhadap pasien yang wajib dirawat
oleh PIHAK KEDUA di rumah sakit PIHAK PERTAMA, sedemikian rupa diusahakan
oleh PIHAK KEDUA sehingga tugas dan pekerjaan PIHAK KEDUA tetap
terselenggara ditempat PIHAK PERTAMA;

11. Wajib senantiasa merujuk pasien kepada tenaga medis lain bila diperlukan (sesuai
anamnese), dengan memprioritaskan mereka yang bekerja di rumah sakit PIHAK
PERTAMA dalam hal PIHAK KEDUA merasakan terdapat masalah yang di luar
kompetensinya dan/atau di luar kewenangannya, baik berdasarkan kepatutan
yang dianut dalam praktek profesi kedokteran maupun berdasarkan
pertimbangan Komite Medis dalam menetapkan jenis kasus yang harus dirujuk
tersebut;
12. Wajib senantiasa meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang
spesialisasinya, antara lain dengan mengikuti seminar/kongres dalam setahun;
13. Wajib senantiasa berpraktek dan berjaga on call di rumah sakit PIHAK PERTAMA
sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
14. Wajib memberikan pendapat/pertimbangan pada penerimaan dokter spesialis
baru dan pembelian peralatan baru sesuai dengan bidang spesialisasinya apabila
diminta PIHAK PERTAMA;
15. Wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi karyawan/karyawati rumah sakit
PIHAK PERTAMA dengan prosedur dan ketentuan yang ditetapkan;
16. Wajib sedapat mungkin membantu atau berpartisipasi dalam segala upaya
pengembangan rumah sakit (pembuatan makalah ilmiah, makalah popular atau
sebagai pembicara atau bentuk-bentuk lain yangbertujuan untuk pengembangan),
termasuk upaya dalam rangka kendali mutu layanan dan manajemen resiko
rumah sakit;
17. Wajib berpartisipasi dalam upaya pendidikan dan pelatihan untuk
mengembangkan kemampuan dokter umum, paramedis dan karyawan/karyawati
lain dari rumah sakit PIHAK PERTAMA;
18. Wajib sedapat mungkin mengikuti acara-acara lain yang diselenggarakan oleh
rumah sakit, yang berkaitan dengan penyelenggara/pelayanan rumah sakit dalam
arti luas;
19. Jika ada satu dan lain hal yang menyebabkan pengunduran waktu praktek
(terlambat praktek), diharapkan memberi informasi kepada RSU X 3-4 jam
sebelum masuk waktu prakteknya;
20. Memberikan informasi kepada RSU X jika berhalangan untuk praktek pada jadwal
yang telah disepakati paling tidak 3 hari sebelumnya dan menunjuk pengganti;

21. Response time melalui telepon diberikan paling lama 15 (lima belas) menit setelah
informasi diterima. Jika diperlukan untuk visite, maka visite pertama paling lambat
6 jam setelah memberi response atau sesuai hasil laporan/permintaan dokter
jaga;
22. Selalu menjalin tali silaturahmi dan koordinasi sesuai jalur organisasi RSU X
(melalui komite medik, atau direktur utama RSU X) jika ada hal-hal yang perlu
dibahas;
23. Pelayanan rawat inap selesai dan dapat dibayarkan uang jasanya kepada dokter
yang merawat jika resume medis pasien yang bersangkutan telah dibuat oleh
dokter tersebut;
24. Dokter juga ikut bertanggung jawab untuk mempromosikan kliniknya masing-
masing. Tidak berkembangnya suatu klinik pada periode kontrak dapat berakibat
tidak diperpanjangnya kontrak dokter tersebut;
25. Wajib saling membackup dengan sesama dokter Full Timer lain
26. Wajib membantu mengisi jadwal dinas dr. Anak lain ketika ada yang kosong.
27. Bersedia untuk tidak menjadi Full Timer di tempat lain pada waktu yang
bersamaan.
28. Wajib standby di Ruang Operasi RSU X jika di perlukan, jika berhalangan wajib
menginformasikan sebelumnya paling lambat 1x24 jam.
29. Cuti bergantian dengan dokter Full Timer lain.
30. Wajib berperan aktif menjadi Pokja akreditasi, mengikuti, memberikan masukan
dan melaksanakan program akreditasi Rumah Sakit serta wajib hadir pada saat
penilaian Akreditasi Rumah Sakit
31. Wajib memberikan pendidikan dan pelatihan internal staff yang berkompeten
terhadap pelayanan terkait unit.
32. Wajib membantu pembuatan Clinical Pathway dan Panduan Praktik Klinis untuk
Rumah Sakit Umum X sesuai dengan kompetensi.

Pasal 7

KOMPENSASI PROFESIONAL

(1) PIHAK PERTAMA akan memberikan dan PIHAK KEDUA akan mendapatkan pembayaran
atas jasa-jasa profesi (jasa medik) yang dilakukan PIHAK KEDUA yang diperoleh atas
pelayanan medis yang diberikan kepada pasien di rumah sakit PIHAK PERTAMA.
Prosentase jasa dokter diperhitungkan dari total pendapatan kotor dokter. Adapun jasa
dokter spesialis purna waktu adalah :
NO KETERANGAN KOMPENSASI

1 Gaji per bulan Rp. …………..

dengan rincian biaya :


Gaji pokok : Rp. …………

Tunjangan jabatan : Rp. ………….

Tunjangan fungsional : Rp. …………

Tunjangan Kepala KSM Rp. …………

2 Jasa lain – lain Menyesuaikan dengan tarif RS

3 THR Menyesuaikan kebijakan HRD

Berlaku proporsional sesuai dengan kedatangan praktek 40 jam / minggu ; 7x / minggu

(2) Jasa dokter lainnya akan dibayarkan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Jika klaim telah dibayarkan oleh perusahaan penjamin yang bersangkutan dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari, maka jasa dokter akan diberikan tanggal 10 pada bulan
berikutnya.
b. Jika klaim asuransi belum dibayarkan oleh perusahaan penjamin sampai dengan 1
bulan, maka jasa dokter akan dibayarkan terlebih dahulu oleh RSU X pada tanggal 10
bulan pertama.

Pasal 8

KOMITE MEDIS

Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Utama PT. Lucky Dion Perkasa sudah dibentuk
Komite Medis, yang salah satu fungsinya adalah untuk memberi masukan-masukan
kepada PIHAK PERTAMA yang berisi usulan-usulan, pertimbangan-pertimbangan dan
atau penilaian-penilaian atas pelaksanaan perjanjian ini, namun keputusan tertinggi tetap
pada dewan direksi dalam bentuk SK (Surat Keputusan);

Pasal 9
TATA CARA DAN PROSEDUR PELAYANAN MEDIS

(1) PIHAK KEDUA setuju untuk menyusun berbagai prosedur pelayanan medis yang sesuai
dengan standar profesi spesialisasinya setelah disepakati oleh peer group SMF
dimana pihak kedua berpraktek untuk disampaikan pada PIHAK PERTAMA agar PIHAK
PERTAMA dapat menetapkannya sebagai Standar Pelayanan Medis dalam rangka upaya
KEDUA PIHAK memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien / klien
(2) yang wajib dirawat oleh PIHAK KEDUA yang dirawat di rumah sakit PIHAK PERTAMA.
(3) PIHAK PERTAMA setuju untuk memberikan fasilitas dan kemudahan kepada PIHAK
KEDUA dalam rangka menyusun prosedur pelayanan medis sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).

Pasal 10

PENGGUNAAN ALAT- ALAT MEDIS, OBAT-OBATAN DAN LABORATORIUM

(1) PIHAK KEDUA setuju untuk tidak membawa dan atau menggunakan alat-alat medis dari
luar rumah sakit PIHAK PERTAMA tanpa persetujuan tertulis dari PIHAK PERTAMA;
(2) PIHAK KEDUA setuju untuk tidak membawa dan atau menggunakan obat-obatan,
bahan farmasi, dan bahan kimia lainnya dari luar rumah sakit PIHAK PERTAMA tanpa
persetujuan tertulis dari PIHAK PERTAMA;
(3) Dalam hal PIHAK KEDUA menggunakan alat atau obat-obatan, bahan farmasi dan bahan
kimia lainnya yang bukan milik PIHAK PERTAMA, maka ketentuan yang berlaku
dengan menggunakan alat atau obat-obatan, bahan farmasi dan bahan kimia lainnya
tersebut diatur di dalam perjanjian tersendiri;

(4) PIHAK KEDUA setuju hanya menggunakan obat-obatan dan BHP yang telah ditentukan
pada DOS (daftar obat standar) yang berlaku di rumah sakit PIHAK PERTAMA.
(5) PIHAK KEDUA setuju untuk melakukan pemeriksaan laboratorium yang ada di rumah
sakit PIHAK PERTAMA, dan PIHAK KEDUA tidak diperbolehkan merujuk kesarana
kesehatan lainnya pemeriksaan yang ada pada rumah sakit PIHAK PERTAMA, kecuali ada
kerusakan alat pada rumah sakit PIHAK PERTAMA, jika PIHAK KEDUA tetap melakukan
pemeriksaan diluar dan hasilnya sama dengan laboratorium rumah sakit PIHAK
PERTAMA, maka biaya dibebankan pada PIHAK KEDUA.

Pasal 11

ETIKA KERJA DAN

KEWENANGAN MELAKUKAN TINDAKAN MEDIS

(1) PIHAK KEDUA setuju untuk mematuhi norma etika kedokteran dan menghormati
norma etika rumah sakit yang berlaku di Indonesia serta ketentuan khusus yang diatur
di dalam rumah sakit PIHAK PERTAMA sebagaimana dimaksud di dalam pasal 3
perjanjian ini yang telah ditetapkan dan diterbitkan PIHAK PERTAMA;

(2) PIHAK KEDUA setuju untuk melaksanakan profesi sesuai dengan kewenangan
yang diberikan oleh organisasi profesinya dan melaksanakan tindakan medis
hanya dalam batas-batas kompetensinya;

(3) PIHAK KEDUA setuju untuk senantiasa memberikan pelayanan medis secara optimal
sesuai dengan standar profesi dan standar pelayanan medis yang ditetapkan oleh
organisasi profesinya dan atau oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan
standar pelayanan medis yang berlaku di rumah sakit PIHAK PERTAMA;

(4) PIHAK KEDUA setuju untuk senantiasa merujuk pasien kepada tenaga medis lain di
rumah sakit PIHAK PERTAMA dalam hal PIHAK KEDUA merasakan terdapat masalah yang
diluar kompetensinya dan/atau di luar kewenangannya, kecuali pasien / keluarga
memintanya tidak demikian atau rumah sakit PIHAK PERTAMA tidak memiliki tenaga
spesialis / subspesialis yang dimaksud peralatan tidak ada;

(5) PIHAK KEDUA setuju untuk merawat pasien di rumah sakit PIHAK PERTAMA sepanjang
masih dalam batas kemampuan dan kapasitas rumah sakit PIHAK PERTAMA;

(6) PIHAK KEDUA setuju untuk memperhatikan pertimbangan Komite Medis dalam
menetapkan jenis kasus yang harus dirujuk sesuai dengan ketentuan ayat (4).

Pasal 12

RAHASIA RUMAH SAKIT

(1) PIHAK KEDUA berkewajiban untuk, dengan alasan apapun, merahasiakan semua
informasi perihal rumah sakit PIHAK PERTAMA, baik yang diperoleh PIHAK KEDUA secara
langsung maupun tidak langsung, baik selama perjanjian ini berlangsung maupun
setelah perjanjian ini berakhir;

(2) Kerahasiaan informasi sebagaimana dimaksud di dalam ayat (1) pasal ini dapat meliputi,
tetapi tidak terbatas pada, segala peristiwa yang terjadi di tempat PIHAK PERTAMA,
antara lain manajemen rumah sakit, keadaan keuangan, personalia rumah sakit,
klien/pasien, dokumen dan prosedur pengoperasian usaha PIHAK PERTAMA dan atau
hal-hal lainnya yang secara umum dikategorikan sebagai rahasia rumah sakit dalam arti
seluas-luasnya.

Pasal 13

LARANGAN DAN SANKSI

Di dalam melaksanakan perjanjian ini PIHAK KEDUA terikat untuk mematuhi dan menghindari
larangan-larangan sebagaimana tercantum di bawah ini, yang pelanggarannya dapat berakibat
dijatuhi sanksi pemutusan perjanjian secara sepihak oleh PIHAK PERTAMA dengan
mengesampingkan ketentuan pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yakni :

(1) Melanggar peraturan-peraturan, persyaratan-persyaratan, prosedur serta disiplin kerja


yang ditetapkan dan berlaku di rumah sakit PIHAK PERTAMA, baik yang khusus diatur di
dalam perjanjian ini maupun yang dibuat sebagai ketentuan tata laksana hubungan
kerja harian, termasuk, tetapi tidak terbatas pada Pedoman Pelayanan Medis;
(2) Membawa dan atau menggunakan alat-alat medis, obat-obatan, bahan farmasi, dan
bahan kimia lainnya dari luar rumah sakit PIHAK PERTAMA tanpa persetujuan tertulis
dari PIHAK PERTAMA;
(3) Membawa dan atau menggunakan tenaga kesehatan dari luar rumah sakit PIHAK
PERTAMA untuk membantu PIHAK KEDUA di dalam melaksanakan pelayanan medis dan
atau pelayanan kesehatan lainnya di rumah sakit PIHAK PERTAMA tanpa persetujuan
PIHAK PERTAMA;
(4) Menyalin atau meng ”copy” seluruh atau sebagian baik secara mekanik, elektronik, atau
dengan jalan apapun sebagian atau semua dokumen milik PIHAK PERTAMA tanpa izin;
(5) Membuka / membocorkan informasi yang merupakan rahasia rumah sakit PIHAK
PERTAMA, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam bentuk dan cara apapun;
(6) Melakukan perbuatan yang membahayakan rumah sakit, pasien / klien, atau petugas
yang bekerja pada PIHAK PERTAMA;
(7) Mempergunakan barang milik PIHAK PERTAMA dengan tidak sah untuk kepentingan
pribadi;
(8) Memberi keterangan palsu;
(9) Menyalahgunakan wewenang yang dimilikinya;
(10) Dengan sengaja merusak atau menghilangkan barang milik PIHAK PERTAMA;
(11) Meminta atau menerima pemberian dari siapapun sebagai imbalan jasa di luar
ketentuan yang berlaku di rumah sakit PIHAK PERTAMA;

(12) Mempengaruhi pimpinan, keluarga pimpinan, atau petugas yang bekerja pada PIHAK
PERTAMA untuk berbuat sesuatu yang melanggar hukum dan atau norma kesusilaan;
(13) Menghina secara kasar atau mengancam pimpinan, keluarga pimpinan, rekan sejawat
atau petugas lain yang bekerja pada PIHAK PERTAMA;

Pasal 14

BERAKHIRNYA PERJANJIAN

(1) Perjanjian ini akan berakhir dalam hal-hal :


a) Berakhirnya jangka waktu perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 2 perjanjian
ini;
b) PIHAK KEDUA tidak dapat memenuhi syarat menyerahkan Surat Izin
Praktek/berkas surat izin praktek kepada PIHAK PERTAMA dalam 1 (satu) minggu
sejak ditandatangani perjanjian ini/atau oleh karena alasan lain;
c) PIHAK KEDUA melanggar ketentuan tentang larangan yang berakibat dijatuhinya
sanksi diputuskannya secara sepihak perjanjian ini oleh PIHAK PERTAMA;
sebagaimana diatur di dalam pasal 14 perjanjian ini dan atau tidak memenuhi
salah satu atau lebih kewajiban sebagaimana ditentukan di dalam pasal 6
perjanjian ini;
d) PIHAK KEDUA mengakhiri perjanjian kerjasama ini sebelum jangka waktu
perjanjian ini berakhir, dengan alasan yang layak, dengan terlebih dahulu
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada PIHAK PERTAMA
e) setidaknya 3 (tiga) bulan sebelumnya dan PIHAK PERTAMA memberikan
persetujuannya;
f) Dalam hal diluar kemampuannya, PIHAK PERTAMA tidak dapat lagi mengusahakan
pengoperasian rumah sakit PIHAK PERTAMA.
(2) Dalam hal perjanjian akan berakhir sebagaimana diatur dalam ayat (1) sub a)
tersebut diatas, maka PIHAK PERTAMA akan memberitahukannya secara tertulis
kepada PIHAK KEDUA paling lambat 2 (dua) bulan sebelum berakhirnya
perjanjian ini.
(3) Dalam hal PIHAK PERTAMA bermaksud untuk memperpanjang /
memperbaharui perjanjian, maka penawaran tersebut akan disampaikan kepada
PIHAK KEDUA bersama-sama dengan surat pemberitahuan sebagaimana
dimaksud di dalam ayat (2) tersebut di atas dan dalam hal demikian PIHAK
KEDUA wajib memberikan jawaban secara tertulis perihal persetujuannya dan
kehendaknya untuk memperpanjang kembali perjanjian ini paling lambat 1 (satu)
bulan setelah pemberitahuan tertulis sebagaimana diatur dalam ayat (2) pasal
ini.

(4) Demikian sebaliknya dalam hal PIHAK KEDUA bermaksud untuk


memperpanjang/ memperbaharui perjanjian, maka PIHAK KEDUA dapat
mengajukan permohonan kepada PIHAK PERTAMA dalam waktu 1 (satu) bulan
sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian dan dalam hal demikian PIHAK
PERTAMA akan memberikan jawaban secara tertulis perihal persetujuannya
untuk memperpanjang kembali perjanjian ini paling lambat 2 (dua) minggu
setelah permintaan tertulis dari PIHAK KEDUA.
(5) Dalam hal PIHAK KEDUA tidak memberikan jawaban tertulis sebagaimana diatur dalam
ayat (2), maka PIHAK KEDUA dianggap setuju untuk tidak memperpanjang perjanjian ini
dan mengakui tidak berhak lagi untuk melakukan tindakan medis di tempat PIHAK
PERTAMA kecuali PIHAK PERTAMA mengijinkan secara khusus yang dinyatakan dengan
tertulis oleh PIHAK PERTAMA dengan tujuan tertentu.

(6) Dalam hal terjadi keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sub e) pasal ini, maka
PIHAK PERTAMA akan memberitahukan hal tersebut kepada PIHAK KEDUA secara
tertulis paling lambat 1 (satu) bulan sebelum pengoperasian rumah sakit PIHAK
PERTAMA dihentikan.

(7) Dalam hal terjadi FORCE MAJEURE seperti bencana alam, revolusi,
pemberontakan atau tindakan / kebijakan pemerintah yang mengubah secara
drastis keadaan sosial

masyarakat serta nilai materi dan jasa, maka tidak diperlukan pemberitahuan
terlebih dahulu oleh kedua belah pihak untuk menghentikan pengoperasian dan
atau pelayanan kesehatan dari rumah sakit PIHAK PERTAMA, dan oleh karena
itu demi hukum perjanjian ini berakhir.

(7) PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA setuju untuk tidak saling menuntut hak apapun
akibat terhentinya pengoperasian rumah sakit PIHAK PERTAMA akibat keadaan
sebagaimana tercantum dalam ayat (1) sub e), dan ayat (7) pasal ini.
Pasal 15
TANGGUNG-JAWAB HUKUM KEPADA PIHAK KETIGA

(1) Dalam hal terjadi kesalahan atau kelalaian medik yang dilakukan oleh PIHAK KEDUA
yang menimbulkan tuntutan ganti rugi oleh pihak ketiga, maka PIHAK PERTAMA
akan membantu PIHAK KEDUA dalam menghadapi proses penyelesaian, baik
melalui peradilan maupun melalui cara-cara di luar pengadilan. Tuntutan dan
ganti rugi akan ditanggung renteng oleh PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA
sesuai dengan pembagian jasa medis dan tindakan medis (30% PIHAK PERTAMA
dan 70% PIHAK KEDUA).
(2) Dalam hal terjadi kesalahan yang bersifat kesengajaan dan hal lain yang menimbulkan
tuntutan pidana bagi PIHAK KEDUA, maka PIHAK PERTAMA akan membantu PIHAK
KEDUA sebatas menghadapi proses peradilan, sedangkan tanggung-jawab hukum
pidananya ditanggung oleh PIHAK KEDUA secara pribadi.
(3) Pelaksanaan penyelesaian tanggung-jawab hukum ini dilakukan dengan berkoordinasi
dengan organisasi profesi dan perusahaan asuransi profesi yang terkait.

Pasal 16

PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Dalam hal terjadi perselisihan diantara kedua pihak di dalam melaksanakan perjanjian ini, maka
kedua pihak bersepakat untuk menyelesaikannya terlebih dahulu dengan cara musyawarah dan
kekeluargaan, namun apabila dengan cara tersebut tetap tidak diperoleh kesepahaman
pendapat dan penyelesaian, maka kedua pihak sepakat untuk menyelesaikannya melalui jalur
hukum yang berlaku.

Pasal 17

DOMISILI
Di dalam melaksanakan perjanjian ini serta segala sesuatu akibat yang ditimbulkannya, kedua
pihak sepakat untuk memilih domisili hukum yang tetap di Kantor Panitera Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan.

DEMIKIAN

Perjanjian ini dibuat dan ditandatangani pada hari dan tanggal sebagaimana tercantum pada
bagian awal akta ini, dengan tanpa paksaan dari pihak manapun dan dengan dihadiri para saksi
yang disebutkan di bawah ini.

RUMAH SAKIT X

PIHAK PERTAMA PIHAK KEDUA

dr. ……………, MARS dr. ………….


Direktur Dokter Paruh/Purna Waktu

SAKSI-SAKSI :
……………, MARS dr. ………………
Kepala Bidang Medis Kepala Seksi Pelayanan Medis
PERATURAN INTERNAL RUMAH SAKIT (HOSPITAL BYLAWS)

PADA RUMAH X TIPE A

PERIODE 2020-2025

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Menimbang a. bahwa rumah sakit diwajibkan memiliki Peraturan Internal

Rumah Sakit (Hospital By Laws);


b. bahwa rumah sakit hams memiliki peraturan internal
yang
mengatur peran dan fungsi pemilik, pengelola dan staf
medis;

1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun


Mengingat
2004
Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia
Nomor 4431)
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sa.kit
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
153,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5072)
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia
Nomor 5336)
4. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan
Pendidikan
Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
Tahun
2014 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor
5500);
5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

772/Menkes/SK/VI/2002 tentang pedoman peraturan


internal rumah sakit (hospital by law);

6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 755/Menkes/Per/lV /


2011 tentan g Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit;

7. Keputusan Mejelis Wali Am anat Nomor

15/UN6.MWA/KEP/2019 tentan g Pengangkatan Rektor

Universitas Padjadjaran Periode 2019-2024;

8. Peraturan Rektor Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Struktur

Organisasi dan Tata Kerja Pengelola ;

9. Peraturan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Keuangan


Satuan U sah a di lingkungan ;

10. Keputusan Rektor Nomor 22/UN6.RKT/Kep/HK/2020 tentang

Pembentukan dan Pengelola Satuan Usaha Rumah Saki t X


Periode 2020-2024;

MEMU TUSKAN

Menetapkan PERATURAN INTERNAL RUMAH SAKIT (HOSPITAL BYLAWS) PADA RUMAH


SAKIT X Tipe A PERIODE 2020-2025.

BABI

KETENTUAN
UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital By laws) pada RS X ini yang
dimaksud dengan:

1. Peraturan internal rumah sakit (hospital by laws)


adalah aturan dasar
mengatur tata cara penyelenggaraan rumah sakit meliputi peraturan internal
korporasi dan peraturan internal staf medis;

2. Peraturan internal korporasi (corporate by laws) adalah aturan yang mengatur


tata kelola klinis (clinical governance) terselenggara dengan baik melalui
pengaturan hubungan antara pemilik, pengelola dan Komite Medik di rumah
sakit;

3. Peraturan internal staf medis (medical staff by laws) adalah aturan


yang

mengatur tata kelola klinis (clinical governance) untuk menjaga profesionalisme


staf medis di rumah sakit;

4. Pemilik adalah pemilik Rumah Sakit X, yaitu Kementerian Kesehatan RI dibawah


Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan.

5. Dewan Pengawas adalah Dewan Pengawas Rumah Sakit yang merupakan suatu unit non
struktural yang bersifat independen dan keanggotaannya terdiri dari unsur pemilik rumah
sakit, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan tokoh masyarakat yang
bertanggungjawab kepada pemilik Rumah Sakit.

6. Pengelola adalah pengelola Rumah Sakit, dalam hal ini pimpinan / manajemen puncak Rumah
Sakit yang menjalankan fungsi manajemen dan bertanggung jawab terhadap kinerja Operasional
Rumah Sakit, adalah Direktur Utama Rumah Sakit ;

7. Satuan Usaha yang selanjutnya disebut SU adalah unit kerja di lingkungan


Rumah Sakit X yang melaksanakan jasa pelayanan dan kegiatan usaha secara
profesional dan komersial.

8. Pola Pengelolaan Keuangan Satuan Usaha (PPK-SU) adalah pola pengelolaan


keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk
menerapkan
praktik -praktik bisnis yang sehat untuk menin gkatkan pelayanan kepada
masyarakat, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan
negara pada umumnya;

9. Dewan Pengawas adalah Dewan Pengawas Rumah Sakit yang merupakan suatu

unit non struktural yang bersifat independen dan keanggotaannya terdiri dari
unsur pemilik rumah sakit, organisasi profesi, asosiasi perumah sakitan, dan
tokoh masyarakat yang bertanggung jawab kepada pemilik Rumah Sakit;

10. Komite Medik adalah perangkat rumah sakit untuk menerapkan tata kelola
klinis (clinical governance) agar staf medis di rumah sakit terjaga
profesionalismenya melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi
medik, dan pemeliharaan etika dan disiplin profesi medik;

11. Satuan Pemeriksa Internal adalah wadah non-struktural yang bertugas

melaksanakan pemeriksaan internal di Rumah Sakit


X;

12. Staf medis adalah dokter, dokter gigi, dokter spesialis dan dokter gigi spesialis,
yang bekerja di bidang medik dalam jabatan fungsional, melakukan kegiatan
keprofesian meliputi pelayanan, pendidikan dan penelitian secara purna waktu
maupun paruh waktu di satuan kerja pelayanan di Rumah Sakit X, serta telah
disetujui dan diterima sesuai dengan aturan yang berlaku;

13. Mitra bestari (peer group) adalah sekelompok staf medis dengan reputasi
dan

kompetensi profesi yang baik untuk menelaah segala hal yang terkait dengan
profesi medik;

14. Kewenangan Klinis (Clinical Privilege) adalah hak khusus seorang staf medis
untuk melakukan sekelompok pelayanan medis tertentu dalam lingkungan
Rumah Sakit X untuk suatu periode tertentu yang dilaksanakan berdasarkan
penugasan klinis (clinical appointment);

15. Penugasan Klinis (Clinical appointment) adalah penugasan Direktur Utama


Rumah Sakit X kepada seorang staf medis untuk melakukan sekelompok
pelayanan medis di Rumah Sakit X tersebut berdasarkan daftar kewenangan
klinis yang telah ditetapkan baginya.

16. Kredensial adalah proses evaluasi terhadap staf medis untuk


menentukan kelayakan diberikan kewenangan klinis (clinical privilege);

17. Rekredensial adalah proses reevaluasi tehadap staf medis yang telah
memiliki kewenangan klinis (clinical privilege) untuk menentukan kelayakan
pemberian kewenangan klinis yang telah diberikan.

BAB II
IDENTITAS

Pasal 2

Nama dan Lokasi Rumah Sakit


(1) Rumah sakit ini benama Rumah Sakit X, selanjutnya disebut RS X;

(2) Alamat Rumah Sakit X di Jl. Mawar no 5 Jakarta

(3) RS X merupakan Rumah Sakit Umum kelas A yang menjadi pusat rujukan di wilayah
Jakarta Selatan, DKI Jakarta
Pasal 3

Kedudukan

Rumah Sakit X adalah Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Kementerian Kesehatan yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Bina Upaya
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum (PPK-BLU).

Pasal 4

Visi

Menjadi rumah sakit pusat rujukan pelayanan Kesehatan, Pendidikan dan penelitian yang
unggul dan mandiri serta bertaraf internasional Tahun 2026.

Pasal 5

Misi

(1) Menyelenggarakan pelayanan dan Pendidikan Kedokteran terintegrasi yang


berkualitas dan profesional.

(2) Berperan aktif dalam riset dan inovasi untuk pengembangan ilmu dan
teknologi dibidang kedokteran.

(3) Menciptakan tata kelola klinis yang baik (good clinical governance).

(4) Mengembangkan kerja sama dalam bidang kesehatan dengan institusi lain
baik nasional maupun internasional.

Pasal 6

Tujuan

( 1) Tercapainya pelayanan dan pendidikan kedokteran terintegrasi yang


berkualitas dan profesional ditunjang oleh ketersediaan sumber daya
manusia, sarana dan prasarana.

(2) Meningkatnya hasil riset dan inovasi yang berdampak pada pengembangan ilmu
dan
teknologi dibidang kedokteran serta memberi maslahat untuk
masyarakat.

(3) Terwujudnya kemandirian yang didukung oleh tata kelola klinis yang baik (good
clinical governance) serta kemitraan strategis nasional dan internasional.

Pasal 7

Motto

Melayani dengan sepenuh hati dengan Cepat, Akurat, Terjangkau, Efisien, dan Nyaman (PATEN)

Pasal 8

Logo

(1) Logo Rumah Sakit X adalah logo dengan tulisan Rumah Sakit X.

(2) Deskripsi warna pada logo sebagaimana pada ayat (1) adalah:

a. Kuning emas mempunyai makna pelayanan berkualitas


b. Orange mempunyai makna SDM yang bersemangat
c. Putih mempunyai makna pikiran dan jiwa bersih
d. Hijau Muda mempunyai makna efesien
e. Hijau tua mempunyai makna memiliki kompetensi mendidik
f. Biru (tulisan bergaris) mempunyai makna pelayanan kesehatan paripurna yang
profesional
g. Hitam mempunyai makna pelayanan akurat.
BAB Ill

DEWAN PENGAWAS

Pasal9

Kedudukan dan Keanggotaan Dewan Pengawas

(1) Dewan Pengawas Rumah Sakit dibentuk oleh Pemilik Rumah Sakit;

(2) Dewan Pengawas Rumah Sakit adalah suatu unit non struktural yang
bersifat independen dan bertanggung jawab kepada pemilik Rumah Sakit;

Pasal 10

Ketua dan Anggota Dewan Pengawas

( 1) Keanggotaan Dewan Pengawas terdiri dari 5 (lima) orang, terdiri dari 1 (satu) orang
Ketua dan 4 (empat) orang Anggota;

(2) Keanggotaan Dewan Pengawas Rumah Sakit terdiri dari:

a. Pemilik Rumah Sakit adalah Pejabat Kementerian Kesehatan RI yang secara teknis
membawahi Rumah Sakit;

b. Pejabat Kementerian Keuangan RI;

c. Pejabat Kementerian / Instansi lain yang kegiatannya berhubungan dengan Rumah


Sakit;

d. Tenaga ahli/ tokoh masyarakat yang sesuai dengan kegiatan Rumah Sakit;
e. Asosiasi Perumahsakitan;
f. Organisasi Profesi;

(3) Dewan Pengawas diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kesehatan RI dengan Surat Keputusan setelah
mendapat persetujuan Menteri Keuangan RI.

(4) Masa jabatan Dewan Pengawas ditetapkan selama 5 (lima) tahun.

Pasal 11

Persyaratan Dewan Pengawas

Persyaratan menjadi Dewan Pengawas adalah orang- perorangan yang :


a. Berkewarganegaraan Indonesia;
b. Memiliki dedikasi, memahami masalah-masalah yang berkaitan dengan
Rumah Sakit dan dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya;
c. Mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan
pailit atau tidak pernah menjadi anggota Pengelola, Komisaris atau Dewan Pengawas yang
dinyatakan bersalah sehingga menyebabkan suatu rumah sakit dinyatakan pailit, atau orang
yang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan negara;

Pasal 12

Sekretaris Dewan Pengawas

(1) Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas Dewan Pengawas,


Direktur Utama RUMAH SAKIT X Rumah Sakit X dapat mengangkat seorang
Sekretaris Dewan Pengawas dengan persetujuan Dewan Pengawas;

(2) Sekretaris Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)


bertugas:
1. Persiapan jadwal pertemuan;
2. Bertanggung jawab terhadap pengelolaan kesekretariatan Dewan Pengawas;
3. Mengatur dan mempersiapkan rapat Dewan Pengawas;
4. Membuat notulen rapat;
5. Menyebarkan risalah rapat;
6. Menyiapkan bahan laporan kegiatan Dewan Pengawas;

(3) Sekretaris Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)


bukan

merupakan anggota Dewan Pengawas dan tidak dapat bertindak sebagai


Dewan

Pengawas.

(4) Masa Jabatan Sekretaris Dewan Pengawas mengikuti masa jabatan Dewan
Pengawas.

Pasal 13

Tugas dan Kewajiban Dewan Pengawas

(1) Dewan Pengawas mempunyai tugas sebagai berikut:

a. Melakukan pengawasan terhadap pengelolaan Rumah Sakit X sesuai


ketentuan peraturan perundang- undangan;
b. Memberikan pendapat, saran, nasehat, teguran kepada Direksi Rumah Sakit
X
apabila dipandang perlu.
(2) Dewan Pengawas secara berkala, paling sedikit 1 (satu) kali dalam satu semester
dan/ atau pada waktu dianggap perlu, melaporkan hasil pengawasan
terhadap Rumah Sakit X kepada Menteri Kesehatan RI dan Menteri Keuangan RI.

Pasal 14

Wewenang Dewan Pengawas

Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, Dewan Pengawas mempunyai


wewenang sebagai berikut:

1. Mendapatkan penjelasan dari pengelola dan/ atau pejabat lainnya


dengan sepengetahuan Direktur Utama mengenai segala persoalan yang
menyangkut pengelolaan Rumah Sakit X;

2. Mengundang pengelola dan/atau pejabat lainnya dengan sepengetahuan


Direktur

Utama untuk menghadiri rapat Dewan Pengawas;

3. Menghadiri rapat Direksi dan memberikan pandangan-pandangan terhadap hal-


hal yang dibicarakan;

4. Mengawasi pengelolaan keuangan dan pengelolaan sumber daya manusia


Rumah Sakit X;

5. Memberikan arahan kebijakan rumah sakit;

6. Mengawasi serta membina pelaksanaan rencana strategis;

7. Mengawasi kualitas penyelenggaraan pendidikan profesional kesehatan


dan penelitian di bidang kesehatan;

8. Mengawasi pelaksanaan program peningkatan mutu dan keselamatan pasien;

9. Mengawasi pelaksanaan kendali mutu dan kendali biaya;

10. Mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien dilaksanakan rumah sakit;

11. Mengawasi serta menjaga hak dan kewajiban rumah sakit dilaksanakan oleh
rumah sakit;

12. Mengawasi kepatuhan penerapan etika rumah sakit, etika profesi, dan
peraturan

perundang-undangan.

Pasal 15

Biaya Operasional Dewan Pengawas


Biaya operasional yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan tugas Dewan
Pengawas dibebankan kepada dana Pendapatan Rumah Sakit X, dan dimuat dalam
Rencana Bisnis Anggaran (RBA) Rumah Sakit.

Pasal 16

Rapat Dewan Pengawas

(1) Rapat Dewan Pengawas adalah rapat yang diselenggarakan oleh Dewan Pengawas untuk
membahas hal-hal yang dianggap perlu dalam melakukan kegiatan pengawasan dan
memberikan nasehat kepada Pengelola.
(2) Rapat Dewan Pengawas terdiri dari :
a. Rapat Rutin/Bulanan
b. Rapat Tahunan
c. Rapat Khusus

Pasal 17

Rapat Rutin/ Bulanan Dewan


Pengawas

(1) Rapat rutin adalah setiap rapat terjadual yang diselenggarakan Dewan Pengawas yang bukan
termasuk rapat tahunan dan rapat khusus.
(2) Rapat rutin dilaksanakan paling sedikit sepuluh kali dalam setahun dengan interval tetap pada
waktu dan tempat yang ditetapkan oleh Dewan Pengawas.
Pasal 18

Rapat Tahunan Dewan Pengawas

(1) Rapat Tahunan adalah rapat yang diselenggarakan oleh Dewan Pengawas setiap tahun, dengan
tujuan untuk menetapkan kebijakan tahunan operasional rumah sakit.
(2) Rapat Tahunan diselenggarakan sekali dalam 1 (satu) tahun.
(3) Dewan Pengawas menyiapkan dan menyajikan laporan umum keadaan Rumah Sakit X,
termasuk laporan keuangan yang telah diaudit.

Pasal 19

Rapat Khusus Dewan Pengawas

(1) Rapat khusus adalah rapat yang diselenggarakan oleh Dewan Pengawas untuk menetapkan
kebijakan atau hal-hal khusus yang tidak termasuk dalam rapat rutin maupun rapat tahunan.
(2) Dalam rapat khusus Dewan Pengawas dapat memanggil Komite-Komite, Satuan-Satuan atau
Pejabat lain yang dianggap perlu untuk mendiskusikan, mencari klarifikasi atau alternatif
solusi berbagai masalah di Rumah sakit.
(3) Dewan Pengawas mengundang untuk rapat khusus dalam hal :
a. Ada permasalahan penting yang harus segera diputuskan; atau
b. Ada permintaan yang ditandatangani oleh paling sedikit tiga orang anggota Dewan
Pengawas.
(4) Undangan rapat khusus disampaikan oleh Sekretaris Dewan Pengawas kepada peserta rapat
paling lambat 24 (dua puluh empat) jam sebelum rapat khusus tersebut diselenggarakan.
(5) Undangan rapat khusus harus mencantumkan tujuan pertemuan secara spesifik.
(6) Rapat khusus yang diminta oleh anggota Dewan Pengawas sebagaimana diatur dalam ayat (2)
butir b di atas, harus diselenggarakan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterimanya surat
permintaan tersebut.
Pasal 20

Keabsahan Rapat Dewan Pengawas

Setiap rapat dinyatakan sah hanya bila undangan telah disampaikan sesuai aturan, kecuali seluruh
anggota Dewan Pengawas yang berhak memberikan suara menolak undangan tersebut.
(1) Rapat Dewan Pengawas hanya dapat dilaksanakan bila kuorum tercapai.
(2) Kuorum memenuhi syarat apabila dihadiri oleh 2/3 dan seluruh anggota Dewan Pengawas.
(3) Bila kuorum tidak tercapai dalam waktu setengah jam dari waktu rapat yang telah diteritukan,
maka rapat ditangguhkan untuk dilanjutkan pada suatu tempat hari dan jam yang sama minggu
berikutnya.
Bila kuorum tidak juga tercapai dalam waktu setengah jam dari waktu rapat yang telah ditentukan
pada minggu berikutnya, maka rapat segera dilanjutnya dan segala keputusan yang terdapat dalam
risalah rapat disahkan dalam rapat Dewan Pengawas berikutnya.

Pasal 21

(1) Penyelenggaraan setiap risalah rapat Dewan Pengawas menjadi tanggung jawab Sekretaris
Dewan Pengawas.
(2) Risalah rapat Dewan Pengawas harus disahkan dalam waktu maksimal 7 (tujuh) hari setelah
rapat diselenggarakan, dan segala putusan dalam risalah rapat tersebut tidak boleh
dilaksanakan sebelum disahkan oleh seluruh anggota Dewan Pengawas yang hadir.

Pasal 22
(1) Setiap masalah yang diputuskan melalui pemungutan suara dalam rapat Dewan Pengawas
ditentukan dengan mengangkat tangan atau bila dikehendaki oleh para anggota Dewan
Pengawas, pemungutan suara dapat dilakukan dengan amplop tentutup.
(2) Putusan rapat Dewan Pengawas didasarkan pada suara terbanyak setelah dilakukan
pemungutan suara.

Pasal 23
(1) Dewan Pengawas dapat menubah atau membatalkan setiap putusan yang diambil pada rapat
rutin atau rapat khusus sebelumnya, dengan syarat bahwa usul perubahan atau pembatalan
tersebut dicantumkan dalam pemberitahuan atau undangan rapat sebagaimana ditentukan
dalam Peratunan Internal (Hospital Bylaws/Peraturan internal rumah sakit) ini.
(2) Dalam hal usul perubahan atau pembatalan putusan Dewan Pengawas tidak diterima dalam
rapat tersebut, maka usulan ini tidak dapat diajukan lagi dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan
terhitung sejak saat ditolaknya usulan.
BAB IV

DIREKSI DAN STAF RUMAH SAKIT X

Bagian Pertama
Pengelolaan, Pengangkatan, Fungsi, Tugas, Wewenang, Tanggung Jawab dan Pemberhentian

Pasal 24
Pengelolaan
(1) Pengelolaan, pengurusan dan pelaksanaan kegiatan Rumah Sakit secara keseluruhan dilakukan
oleh 5 (lima) orang Direktur.
(2) Direktur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari 1 (satu) Direktur Utama dan 4
(empat) DIrektur
(3) Direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
rumah sakit.
(4) Direktur Utama dan para Direktur bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan RI c/q
Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan.
(5) Tugas pokok, fungsi, wewenang dan tanggung jawab Direktur Utama dan para Direktur
ditentukan oleh Menteri Kesehatan RI dan diperinci dalam suatu uraian tugas secara tertulis
dalam Organisasi dan Tata Laksana Rumah Sakit.
(6) Penilaian Kinerja Direktur Utama dan para Direktur dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bina
Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
(7) Direktur Utama dan para Direktur mempunyai tugas dan wewenang untuk:
a. Memimpin dan mengelola Rumah Sakit sesuai dengan Visi dan Misi serta tujuan Rumah
sakit;
b. Bertanggung jawab memelihara dan mengelola kekayaan Rumah sakit;
c. Mewakili Rumah sakit, baik di dalam maupun di luar Pengadilan;
d. Melaksanakan kebijakan pengembangan usaha dalam mengelola Rumah sakit sebagaimana
yang telah digariskan oleh Pemilik/Menteri Kesehatan;
e. Menetapkan kebijakan operasional Rumah sakit;
f. Menyiapkan Rencana Jangka Panjang dan Rencana Bisnis Anggaran Rumah sakit;
g. Mengawasi pembukuan serta administrasi RS sesuai dengan peraturan dan kelaziman yang
berlaku bagi Rumah sakit:
h. Menetapkan Organisasi dan Tata Kerja Rumah sakit Iengkap dengan susunan jabatan dan
rincian tugas setelah disetujui oleh Pemilik/Dewan Pengawas;
i. Mengangkat dan memberhentikan tenaga honor dan/atau kontrak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
j. Menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kewajiban tenaga honor dan/atau
kontrak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
k. Menyiapkan laporan berkala dan tahunan.

Pasal 25
Yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang-perorangan yang:
1. Memenuhi kriteria keahlian, integritas, kepemimpinan dan pengalaman di bidang
perumahsakitan;
2. Berkelakuan baik serta memiliki dedikasi untuk mengembangkan kinerja guna kemajuan
rumah sakit;
3. Mampu melaksanakan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi
anggota Direksi atau Komisaris atau Dewan Pengawas yang dinyatakan bersalah menyebabkan
suatu rumah sakit dinyatakan pailit.
4. Berkewarganeganaan Indonesia.

Pasal 26
(1) Direktur Utama mempunyai tugas pokok untuk memimpin pelaksanaan tugas dan pengelolaan
Rumah sakit sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Direktur Utama dapat bertindak untuk dan atas nama Direksi dalam melakukan perbuatan
hukum.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direktur Utama
mempunyai fungsi merumuskan kebijakan operasional, perencanaan, pengorganisasian,
penggerakan pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan di bidang pelayanan medik
dan keperawatan, SDM dan Pendidikan, Keuangan, serta Umum dan Operasional.
(4) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur utama dibantu oleh
Direktur-Direktur.

Pasal 27
(1) Direktur Medik dan Keperawatan mempunyai tugas memimpin penyelenggaraan tugas dan
fungsi rumah sakit dalam hal pelayanan medis, keperawatan serta penunjang medik.
(2) Direktur Medik dan Keperawatan dalam pelayanan medis membawahi Kelompok Staf Medis
Fungsional.
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Direktur Medik dan Keperawatan menyelenggarakan fungsi :
a. Menyusun rencana sistim pelayanan medik, keperawatan dan penunjang;
b. melaksanakan pelayanan dan utilisasi peralatan medis, keperawatan, dan penunjang;
c. melakukan pengendalian, pengawasan dan evaluasi pelayanan medik, keperawatan dan
penunjang.

Pasal 28
(1) Direktur Sumber Daya Manusia dan Pendidikan mempunyal tugas melaksanakan pengelolaan
sumber daya manusia, pelayanan pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dalam ayat (1), Direktur Sumber Daya Manusia dan
Pendidikan menyelenggarakan fungsi :
a. penyusunan rencana kebutuhan dan penyediaan tenaga kesehatan serta tenaga non
kesehatan rumah sakit;
b. koordinasi dan pelaksanaan pengelolaan sumber daya manusia, pelayanan, pendidikan, dan
pelatihan serta penelitian dan pengembangan rumah sakit;
c. koordinasi perencanaan dan pengembangan sumber daya manusia, pelayanan pendidikan
dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan rumah sakit;
d. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pengelolaan sumber daya manusia,
pelayanan pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan rumah sakit;
e. Melakukan pembinaan sumber daya manusia, khusus bagi tenaga kesehatan melalui
koordinasi dengan komite medik dan kelompok profesi di rumah sakit.

Pasal 29
(1) Direktur Umum dan operasional mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan data dan
informasi, hukum, organisasi dan hubungan masyarakat serta administrasi umum.
(2) Dalam melaksanakan tugas sesuai dengan ayat (1) Direktur Umum dan Operasional
menyelengarakan fungsi :
a. pengelolaan data dan informasi;
b. pelaksanaan urusan hukum, organisasi dan hubungan masyarakat;
c. pelaksanaan urusan administrasi umum.

Pasal 30
(1) Direktur Keuangan mempunyai tugas melakukan pengelolaan keuangan rumah sakit yang
meliputi penyusunan dan evaluasi anggaran, perbendaharaan dan mobilisasi dana serta
akutansi dan verifikasi.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Direktur Keuangan
menyelenggarakan fungsi :
a. penyusunan rencana kegiatan anggaran, perbendaharaan dan mobilisasi dana serta akutansi
dan verifikasi;
b. koordinasi pelaksanaan kegiatan anggaran, perbendaharaan dan mobilisasi dana, serta
akutansi dan verifikasi;
c. pengendalian, pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan anggaran perbendaharaan,
dan mobilisasi dana serta akutansi dan verifikasi.

Pasal 31
(1) Direksi bertanggung jawab terhadap pengelolaan rumah sakit.
(2) Direktur berwenang bertindak atas nama Direksi untuk masing-masing bidang yang menjadi
tugas dan wewenangnya.

Pasal 32
(1) Apabila salah satu atau beberapa anggota Direksi berhalangan tetap
menjalankan pekerjaannya atau apabila jabatan itu terluang dan
penggantinya belum memangku jabatan, maka kekosongan jabatan
tersebut dipangku oleh anggota Direksi Iainnya yang ditunjuk sementara oleh
Direktur Utama atas persetujuan Menteri Kesehatan RI.
(2) Dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak
terjadinya keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
Menteri Kesehatan RI dapat menunjuk anggota Direksi yang baru untuk
memangku jabatan yang terluang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2).
(3) Apabila semua anggota Direksi berhalangan tetap melakukan
pekerjaannya atau jabatan Direksi terluang seluruhnya dan belum
diangkat, maka sementara pengelolaan Rumah Sakit dijalankan oleh
Departemen Kesehatan.
(4) Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagaimana dimaksud
pada Pasal 22 ayat (8) huruf c, Direktur dapat melaksanakan sendiri atau
menyerahkan kekuasaan kepada:
a. Seorang atau beberapa orang anggota Direksi;
b. Seorang atau beberapa orang Pejabat Rumah Sakit, baik secara sendiri maupun bersama-
sama; atau
c. Orang atau badan lain, yang khusus ditunjuk untuk hal tersebut.
Bagian Kedua
RAPAT

Pasal 33
(1) Rapat Direksi diselenggarakan sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sekali.
(2) Dalam rapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dibicarakan hal-hal yang berhubungan
dengan kegiatan Rumah sakit sesuai dengan tugas, kewenangan dan kewajibannya.
(3) Keputusan Rapat Direksi diambil atas dasar musyawarah untuk mufakat.
(4) Dalam hal tidak tercapai kata sepakat, maka keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(5) Dalam rapat-rapat tertentu yang bersifat khusus, Direksi dapat mengundang Dewan Pengawas,
yang disampaikan secara tertulis dalam waktu 48 (empat puluh delapan) jam sebelumnya.
(6) Untuk setiap rapat dibuat daftar hadir dan risalah rapat oleh Notulis.

BABV

KOMITE DI RUMAH SAKIT X

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 34

(1) Komite adalah wadah non struktural yang terdiri dari tenaga ahli atau profesi dibentuk
untuk memberikan pertimbangan strategis kepada pimpinan rumah sakit dalam rangka
peningkatan dan pengembangan pelayanan rumah sakit.
(2) Pembentukan komite di rumah sakit disesuaikan dengan kebutuhan rumah sakit yang terdiri
dari Komite Medik , Komite Etik dan Hukum, Komite Keperawatan, Komite Farmasi dan
Terapi, Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (PPI RS), serta komite
lainnya yang dibutuhkan oleh rumah sakit.
(3) Komite berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Utama rumah sakit.
(4) Komite dipimpin oleh seorang ketua yang diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Utama
rumah sakit.
(5) Pembentukan dan perubahan jumlah dan jenis komite ditetapkan oleh Direktur Utama rumah
sakit setelah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan.

Pasal 35

(1) Tiap-tiap Komite yang terdapat di rumah sakit mempunyai fungsi yang berbeda sesuai
dengan fungsi dan kewenangan yang ditetapkan oleh Direktur Utama Rumah Sakit.
(2) Setiap Komite akan dijabarkan dalam Bagian tersendiri sesuai dengan fungsi dan
kewenangannya pada Buku Kesatu Peraturan Internal Korporasi.
(3) Pengaturan mengenai Komite Medik akan diatur secara khusus dalam bab tersendiri pada
Buku Kedua Peraturan Internal Staf Medis.
Bagian Kedua
Komite Etik dan Hukum

Pasal 36

(1) Ketua dan Anggota Komite Etik dan Hukum diangkat dan diberhentikan oleh Direktur
Utama RS X untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.
(2) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya Komite Etik dan Hukum bertanggung jawab
langsung kepada Direktur Utama RS X
(3) Ketua dan Anggota Komite Etik dan Hukum dapat diberhentikan pada masa
jabatannya apabila:
a. Tidak melaksanakan tugas dengan baik;
b. Tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Terlibat dalam tindakan yang merugikan Rumah Sakit;
d. Dipidana penjara karena dipersalahkan melakukan perbuatan pidana, kejahatan dan atau
kesalahan yang bersangkutan dengan kegiatan Rumah Sakit;
e. Adanya kebijakan dari Pemilik Rumah Sakit;
(4) Pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diberitahukan
secara tertulis oleh Direktur Utama kepada yang bersangkutan;

Pasal 37

(1) Tugas secara terperinci dari Komite Etik dan Hukum adalah:
a. Memberikan pertimbangan dan saran kepada Direktur Utama dalam hal
menyusun dan merumuskan kebijakan dalam aspek hukum dan etika pelayanan di RS X
serta etika penyelenggaraan organisasi RS X;
b. Membantu Direktur Utama dalam penyelesaian masalah yang terkait dalam aspek
hukum dan etika pelayanan di RS X serta etika penyelenggaraan organisasi RS X;
c. Membantu Direksi melakukan pembinaan dan pemeliharaan dalam aspek hukum
dan etika pelayanan di RS X serta etika penyelenggaraan organisasi RS X dalam
penyelenggaraan fungsi rumah sakit yang terkait dengan hospital bylaws RS X;
d. Berkoordinasi dengan Bagian Hukum Rumah Sakit dalam penanganan masalah
hukum di RS X;
(2) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Komite Etik dan
Hukum berfungsi:
a. Menyelenggarakan dan meningkatkan komunikasi dalam aspek hukum dan etika
pelayanan di RS X serta etika penyelenggaraan organisasi RS X baik internal maupun
eksternal RS X;
b. Menyelenggarakan dan meningkatkan pengetahuan tentang aspek hukum dan etika
pelayanan di RS X serta etika penyelenggaraan organisasi RS X bagi petugas di RS X;
c. Menyelenggarakan dan meningkatkan pengetahuan terkait dalam aspek hukum dan etika
pelayanan di RS X serta etika penyelenggaraan organisasi RS X terhadap masalah-masalah
etika dan hukum di RS X;
(3) Hasil pelaksanaan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2)
disampaikan secara tertulis kepada Direktur Utama dalam bentuk laporan dan rekomendasi;
(4) Bahan pertimbangan berupa rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah
berdasarkan penugasan dari Direktur Utama.

Bagian Ketiga
Komite Keperawatan
Pasal 38

(1) Ketua dan Anggota Komite Keperawatan diangkat dan diberhentikan oleh Direktur
Utama RS X untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.
(2) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya Komite Keperawatan bertanggung jawab
langsung kepada Direktur Utama RS X
(3) Ketua dan Anggota Komite Keperawatan dapat diberhentikan pada masa jabatannya
apabila:
a. Tidak melaksanakan tugas dengan baik;
b. Tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Terlibat dalam tindakan yang merugikan Rumah Sakit
d. Dipidana penjara karena dipersalahkan melakukan perbuatan pidana, kejahatan dan atau
kesalahan yang bersangkutan dengan kegiatan Rumah Sakit;
e. Adanya kebijakan dari Pemilik Rumah Sakit;
(4) Pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan
secara tertulis oleh Direktur Utama kepada yang bersangkutan.

Pasal 39

Tugas Komite Keperawatan

(1) Menyusun dan menetapkan standar asuhan keperawatan di rumah sakit.


(2) Menyusun model praktek keperawatan profesional.
(3) Memantau pelaksanaan asuhan keperawatan.
(4) Memantau dan membina perilaku etik dan profesional tenaga keperawatan.
(5) Meningkatkan profesional keperawatan melalui peningkatan pengetahuan dan
keterampilan seiring kemajuan IPTEK yang terintegrasi dengan perilaku baik.
(6) Berkerjasama dengan Direktur/Bidang Keperawatan dalam merencanakan program untuk
mengatur kewenangan profesi tenaga keperawatan dalam melakukan asuhan keperawatan
sejalan dengan rencana strategis rumah sakit.
(7) Memberi rekomendasi dalam rangka pemberian kewenangan profesi bagi tenaga
keperawatan yang akan melakukan tindakan asuhan keperawatan.
(8) Mengkoordinir kegiatan tenaga keperawatan dan menyampaikan laporan kegiatan Komite
Keperawatan secara berkala kepada seluruh tenaga keperawatan.

Bagian Keempat
Komite Farmasi dan Terapi

Pasal 40

(1) Ketua dan Anggota Komite Farmasi dan Terapi diangkat dan diberhentikan oleh Direktur
Utama RS X untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.
(2) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya Komite Farmasi dan Terapi bertanggung
jawab langsung kepada Direktur Utama RS X
(3) Ketua dan Anggota Komite Farmasi dan Terapi dapat diberhentikan pada masa
jabatannya apabila:
a. Tidak melaksanakan tugas dengan baik;
b. Tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Terlibat dalam tindakan yang merugikan Rumah Sakit;
d. Dipidana penjara karena dipersalahkan melakukan perbuatan pidana, kejahatan dan atau
kesalahan yang bersangkutan dengan kegiatan Rumah Sakit;
e. Adanya kebijakan dari Pemilik Rumah Sakit;
(4) Pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan
secara tertulis oleh Direktur Utama kepada yang bersangkutan;

Pasal 41

Tugas Komite Farmasi dan Terapi

(1) Membantu pimpinan RS X untuk meningkatkan Pengelolan dan penggunaan obat secara
rasional.
(2) Menyusun tata laksana penggunaan formularium sebagai pedoman terapi di RS X
(3) Memantau serta menganalisa kerasionalan penggunaan obat di RS X
(4) Melaksanakan analisa untung rugi dan analisa biaya penggunaan obat di RS X
(5) Memperbaharui isi formularium sesuai dengan kemajuan ilmu kedokteran.
(6) Mengkoordinir pelaksanaan uji klinis.
(7) Mengkoordinir pelaksanaan efek samping obat.
(8) Menjalankan kerjasama dengan komite lain secara horizontal dan vertikal.
(9) Menampung, memberikan saran dan ikut memecahkan masalah lainnya dalam pengelolaan
obat di RS X

Bagian Kelima
Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

Pasal 42

(1) Ketua dan Anggota Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) diangkat dan
diberhentikan oleh Direktur Utama RS X untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.
(2) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
bertanggung jawab langsung kepada Direktur Utama RS X
(3) Ketua dan Anggota Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi dapat diberhentikan
pada masa jabatannya apabila:
a. Tidak melaksanakan tugas dengan baik;
b. Tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Terlibat dalam tindakan yang merugikan Rumah Sakit;
d. Dipidana penjara karena dipersalahkan melakukan perbuatan pidana, kejahatan dan atau
kesalahan yang bersangkutan dengan kegiatan Rumah Sakit;
e. Adanya kebijakan dari Pemilik Rumah Sakit;
(4) Pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan
secara tertulis oleh Direktur Utama kepada yang bersangkutan;

Pasal 43

Tugas Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

(1) Membuat kebijakan PPI Rumah Sakit.


(2) Mensosialisasikan kebijakan PPI Rumah Sakit.
(3) Membuat standar oprasional prosedur.
(4) Menyusun program pelatihan dan pendidikan PPI.
(5) Melakukan investigasi dan penanggulangan masalah/KLB infeksi nosokomial bersama tim
PPI.
(6) Mengusulkan pengadaan alat dan bahan yang sesuai dengan prinsip PPI dan aman.

BABVI

SATUAN PEMERIKSA INTERNAL RUMAH


SAKIT X RUMAH SAKIT X

Pasal 44

(1) Ketua dan Anggota Satuan Pemeriksaan Intern diangkat dan diberhentikan oleh Direktur
Utama RS X untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.
(2) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya Satuan Pemeriksaan Intern bertanggungjawab
langsung kepada Direktur Utama RS X
(3) Ketua dan Anggota Satuan Pemeriksaan Intern dapat diberhentikan pada masa
jabatannya apabila:
a. Tidak melaksanakan tugas dengan baik;
b. Tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Terlibat dalam tindakan yang merugikan Rumah Sakit;
d. Dipidana penjara karena dipersalahkan melakukan perbuatan pidana, kejahatan dan atau
kesalahan yang bersangkutan dengan kegiatan Rumah Sakit;
e. Mempunyai benturan kepentingan dengan penyelenggaraan rumah sakit;
f. Adanya kebijakan dari Pemilik Rumah Sakit.
(4) Pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan
secara tertulis oleh Menteri Kesehatan kepada yang bersangkutan;

Pasal 45

(1) Tugas pokok Satuan Pemeriksaan Intern adalah melaksanakan pemeriksaan dan
penilaian terhadap pelaksanaan kegiatan di Rumah Sakit agar dapat berjalan sesuai
dengan rencana dan ketentuan yang berlaku;
(2) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Satuan
Pemeriksaan Intern berfungsi:
a. Merancang sistem pemeriksaan dan sistem pengendalian intern;
b. Melaksanakan pemeriksaan/audit keuangan dan audit manajemen operasional;
c. Melakukan identifikasi risiko sebagai upaya membantu Direksi mencegah terjadinya
penyimpangan;
d. Memberikan konsultasi dan pembinaan tentang manajemen risiko terkait dengan
pengendalian intern;
e. Melakukan hubungan dengan Eksternal Auditor;
(3) Hasil pelaksanaan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2)
disampaikan dalam bentuk laporan dan rekomendasi kepada Direktur Utama.
BAB VII

STAF MEDIS DI RUMAH


SAKIT X RUMAH SAKIT X

Pasal 46
Nama
(1) Nama kelompok Dokter dan Dokter Spesialis serta Dokter Gigi dan Dokter Gigi Spesialis yang
berhak memberikan pelayanan medik di rumah sakit ini adalah Staf Medik Fungsional (SMF)
Rumah sakit.
(2) Pengelompokan anggota SMF adalah berdasarkan keahlian dan/atau spesialisasi yang ada di
Rumah sakit.
(3) Untuk Kelompok Dokter Umum, masuk dalam SMF Dokter Umum dan untuk Kelompok
Dokter Gigi dan Dokter Gigi Speasialis masuk dalam SMF Gigi dan Mulut.
(4) Untuk Kelompok Dokter Spesialis, masuk dalam SMF sesuai dengan bidang spesialisasinya.
(5) Untuk Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) masuk dalam SMF sesuai dengan
spesialisasi yang sedang diikuti, sebagai anggota tidak tetap.

Pasal 47
Tujuan
Tujuan dan pengorganisasian Staf Medis Fungsional (SMF) adalah agar Staf Medis di Rumah sakit
dapat Iebih menata diri dengan fokus terhadap kebutuhan pasien, sehingga menghasilkan pelayanan
medis yang berkualitas, efisien dan bertanggung jawab.

Pasal 48
Tanggung Jawab
Secara administratif manajerial, Staf Medis Fungsional (SMF) berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Direktur Medik dan Keperawatan.

BAB VIII
PENGORGANISASIAN STAF MEDIS FUNGSIONAL

Pasal 49
Struktur Organisasi
(1) Anggota SMF dikelompokkan ke dalam masing-masing Staf Medik Fungsional (SMF) sesuai
dengan profesi dan keahliannya, minimal dengan 2 (dua) orang anggota.
(2) Kelompok SMF yang ada di Rumah Sakit X , adalah:
a. SMF Bedah;
b. SMF Ilmu Penyakit Dalam;
c. SMF Ilmu Kesehatan Anak;
d. SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan;
e. SMF Mata;
f. SMF THT-KL;
g. SMF Gigi dan Mulut;
h. SMF Saraf ;
i. SMF Jiwa;
j. SMF Kuilt dan Kelamin;
k. SMF Anesthesiologi dan Terapi Intensif;
l. SMF Radiologi;
m. SMF Patologi Kilnik;
n. SMF Kedokteran Forensik;
o. SMF Patologi Anatomi;
p. SMF Mikrobiologi Klinik;
r. SMF Kardiologi & Kedokteran vaskuler;
s. SMF Orthopaedi;
t. SMF Urologi;
u. SMF Bedah Saraf; dan
v. SMF Dokter Umum.
(3) Susunan Kepengurusan Kelompok SMF sekurang-kurangnya terdiri dari :
a. Ketua SMF menangkap anggota;
b. Sekretaris merangkap anggota;
(4) Dalam kepengurusan Kelompok SMF dapat dibentuk:
a. Koordinator Pelayanan merangkap anggota;
b. Koordinator Pendidikan merangkap anggota; dan
c. Koordinator Penelitian dan Pengembangan merangkap anggota.
(5) Masa bakti kepengurusan SMF adalah minimal 3 (tiga) tahun.

Pasal 50
Ketua Staf Medis Fungsional
(1) Pemilihan calon Ketua SMF dilakukan dalam rapat pleno Kelompok SMF.
(2) Ketua SMF dipilih dan ditetapkan oleh Direktur Utama dari 3 (tiga) orang calon yang diajukan
oleh kelompok SMF.
(3) Dalam menentukan pilihan dan penetapan Ketua SMF, Direktur Utama dapat meminta
pendapat dari Komite Medik.
(4) Tugas Ketua SMF adalah mengkoordinasikan semua kegiatan anggota SMF, menyusun uraian
tugas, wewenang dan tata kerja serta jasa pelayanan anggota SMF dengan rincian sebagai
berikut :
a. Menyusun Standar Prosedur Operasional pelayanan medis bidang administrasi/manajerial,
di bawah koordinasi Direktur Medik dan Keperawatan dan bidang keilmuan (Standar
Pelayanan Medis) di bawah koordinasi Komite Medik;
b. Mengevaluasi hasil indikator mutu kilnis;
c. Menyusun uraian tugas dan kewenangan untuk masing-masing anggotanya;

Pasal 51
Sekretaris Staf Medis Fungsional
(1) Sekretaris SMF dipilih oleh Ketua SMF dan anggota tetap SMF.
(2) Sekretaris SMF bertugas membantu Ketua SMF dalam bidang administrasi dan manajerial.

Pasal 52
Koordinator Pelayanan
(1) Koordinator Pelayanan dipilih oleh Ketua SMF dan anggota tetap SMF.
(2) Koordinator Pelayanan SMF bertugas membantu Ketua SMF dalam mengkoordinir kegiatan
pelayanan medis.

Pasal 53
Koordinator Pendidikan
(3) Koordinator Pendidikan dipilih oleh Ketua SMF dan anggota tetap SMF.
(4) Koordinator Pendidikan SMF bertugas membantu Ketua SMF dalam mengkoordinir kegiatan
pendidikan bagi anggota SMF.
Pasal 54
Koordinator Penelitian dan Pengembangan
(1) Koordinator Penelitian dan Pengembangan dipilih oleh Ketua SMF dan anggota tetap SMF.
(2) Koordinator Penelitian dan Pengembangan SMF bertugas membantu Ketua SMF dalam
mengkoordinasikan kegiatan penelitian, pengembangan dan pelatihan anggota SMF.

Pasal 55
Tim Klinis
(1) Tim Klinis Rumah sakit dibentuk untuk menangani kasus-kasus pelayanan medik yang
memerlukan koordinasi lintas profesi.
(2) Tim KIinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari :
a. Pusat Pelayanan Khusus (Pusyansus);
b. Tim Kanker;
c. Tim Penanganan Kasus Luar Biasa;
d. Tim Audit Medik;
e. Tim Kesehatan Penanggulangan Bencana;
f. Tim Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM);
g. Tim Patient Safety;
h. Tim Pemeriksaan Kesehatan.
(3) Jumlah Tim Kilnis dapat ditambah atau dikunangi sesuai dengan kebutuhan.

BAB IX
TUGAS, KEWAJIBAN DAN KEWENANGAN STAF MEDIS FUNGSIONAL

Pasal 56
Tugas Staf Medis Fungsional
(1) Melaksanakan kegiatan profesi yang meliputi prosedur diagosis, pengobatan, pencegahan,
akibat penyakit, peningkatan dan pemulihan kesehatan.
(2) Memberikan pelayanan Medik yang bermutu kepada pasien sesuai dengan Standar Pelayanan
Medik dan Standar Prosedur Operasional yang berlaku di Rumah sakit.
(3) Meningkatkan kemampuan profesinya, melalui program pendidikan/pelatihan berkelanjutan.
(4) Menjaga agar kualitas pelayanan sesuai standar profesi, standar pelayanan medis dan etika
kedokteran yang ditetapkan.
(5) Memberikan pendidikan dan pelatihan kepada peserta didik yang ada dalam program SMF dan
Rumah Sakit.
(6) Menyusun, mengumpulkan, menganalisa dan membuat laporan pemantauan indikator mutu
klinik.

Pasal 57
Kewajiban Staf Medis Fungsional
(1) SMF wajib menyusun Standar Pelayanan Medis yang terdiri dari :
a. Standar Pelayanan Medis bidang keilmuan yang terdiri dari Standar Pelayanan Medis dan
Standar Prosedur Operasional;
b. Standar Prosedur Operasional bidang administrasi/manajerial yang meliputi pengaturan
tugas tenaga medis/dokter dan PPDS di rawat jalan, rawat inap, pengaturan tugas jaga,
rawat intensif, pengaturan tugas di kamar operasi, kamar bersalin, dan lain sebagainya,
pengaturan visite/ronde, pertemuan klinik, presentasi kasus (kasus kematian, kasus langka,
kasus sulit, kasus penyakit tertentu), prosedur konsultasi dan lain lain melalui koordinasi
dengan Kepala Instalasi dan Direktur Medik dan Keperawatan.
(2) SMF wajib menyusun indikator kinerja mutu klinis/mutu pelayanan medis yang meliputi
indikator output atau outcome.
(3) Menjalankan uraian tugas dan kewenangannya sesuai dengan yang telah ditetapkan.
BAB X
KEANGGOTAAN

Pasal 58
Syarat untuk menjadi anggota Staf Medik Fungsional (SMF) :
a. Mempunyai Ijazah dan Fakultas Kedokteran/Kedokteran Gigi Pemerintah/ Swasta yang diakui
Pemerintah dan memilki Surat Penugasan dan/atau Surat Tanda Registrasi (STR) yang masih
berlaku dan Pejabat Yang Berwenang.
b. Memiliki Surat Ijin Praktek (SIP) di Rumah sakit.
c. Telah melalui proses penerimaan calon anggota SMF Rumah sakit yang dilaksanakan oleh
Komite Medik dan Direksi Rumah sakit.
d. Memiliki Surat Penugasan Klinis (Clinical appointment) sebagai anggota SMF, berupa
Kewenangan Klinik (Clinical Privilege) dari Direktur Utama Rumah sakit.
e. Mengikuti program pengenalan tugas (orientasi) di Iingkungan kerja rumah sakit.
f. Mengikuti ketentuan disiplin jam kerja yang berlaku di Rumah sakit.

Pasal 59
(1) Kategori keanggotaan SMF adalah:
a. Anggota tetap SMF, yaitu dokter dan dokter spesialis serta dokter gigi dan dokter gigi
spesialis yang bekerja purna waktu atau paruh waktu di Rumah sakit.
b. Anggota tidak tetap SMF, yaitu dokter dan dokter spesialis serta dokter gigi dan dokter gigi
spesialis yang berstatus sebagai dokter tamu dan dokter magang di Rumah sakit.
(2) Masa berlaku keanggotaan adalah selama 3 (tiga) tahun sejak Surat Penugasan Klinis (Clinical
Appointment) Direktur Utama dikeluarkan dan dapat diperpanjang kembali dengan mengikuti
re-kredensial.

BAB XI
KEWENANGAN KLINIS (CLINICAL PRIVILEGES)

Pasal 60
(1) Kewenangan Klinis adalah kewenangan dari anggota SMF untuk melaksanakan pelayanan
medis sesuai dengan kompetensi profesi dan keahliannya.
(2) Tanpa kewenangan klinis, maka seorang tenaga medis tidak dapat menjadi anggota SMF dan
bekerja di Rumah sakit
(3) Jenis kewenangan klinis yang berlaku di Rumah sakit, meliputi :
a. kewenangan klinis sementara (temporary clinical privilege);
b. kewenangan klinis dalam keadaan darurat (emergency clinical privilege); dan
c. kewenangan klinis bersyarat (provisional clinical privilege).
(4) Lingkup kewenangan klinis (clinical privilege) untuk pelayanan medis tertentu diberikan
dengan berpedoman pada buku putih (white paper) yang disusun oleh mitra bestari (peer
group) profesi bersangkutan.
(5) Kewenangan Klinis diberikan oleh Direktur Utama atas Rekomendasi Komite Medis, setelah
melalui Proses Kredensial yang dilakukan oleh SubKomite Kredensial.
(6) Dalam kondisi tertentu kewenangan klinis dapat di delegasikan kepada dokter spesialis/dokter
gigi spesialis, dokter/dokter gigi, perawat atau bidan sesuai dengan kompetensinya.
(7) Pendelegasian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan melalui usulan Komite Medik.

Pasal 61
(1) Mitra Bestari (peer group) merupakan sekelompok staf medis dengan reputasi dan kompetensi
profesi yang baik untuk menelaah segala hal yang terkait dengan profesi medis termasuk
evaluasi kewenangan klinis.
(2) Staf medis dalam mitra bestari pada ayat (1) tidak terbatas dari staf medis yang ada di rumah
sakit, tetapi dapat juga berasal dari luar rumah sakit yaitu perhimpunan dokter spesialis
(kolegium) atau fakultas kedokteran.
(3) Direktur Utama bersama Komite Medik dapat membentuk panitia adhock yang terdiri dari
mitra bestari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk menjalankan fungsi kredensial,
penjagaan mutu profesi, maupun penegakkan disiplin dan etika profesi di rumah sakit.

BAB XII
DOKTER PENANGGUNG JAWAB PASIEN (DPJP)

Pasal 62
(1) Dokter Penanggung Jawab Pasien merupakan staf medis yang diberikan tugas khusus sebagai
penanggung jawab dalam pelayanan kepada pasien di Rumah sakit.
(2) Staf medis yang dapat menjadi DPJP adalah staf medis dengan kriteria yang ditetapkan oleh
Direktur Medik dan Keperawatan.
(3) DPJP ditentukan berdasarkan diagnosa utama terhadap pasien paling lambat 12 jam sesudah
pasien masuk rawat inap.
(4) DPJP wajib membuat rencana asuhan pelayanan terhadap pasien paling lambat 24 jam sesudah
pasien masuk rawat inap, dengan memperhatikan kendali biaya dan kendali mutu.
(5) DPJP melaksanakan tugas:
a. Melakukan pemeriksaan riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik, diagnose penyakit
dan pemberian terapi dan melakukan evaluasi keberhasilan terapi.
b. Memberikan informasi dan masukan tentang perkembangan kondisi pasien kepada
pasien, keluarga pasien dan tim pelayanan.
c. Memberikan edukasi kepada pasien.
d. Melakukan presentasi kasus medis dihadapan komite medik.
e. Membantu dan memberikan bimbingan kepada mahasiswa kedokteran dalam pendidikan
klinis di Rumah Sakit.
(6) Dalam hal kondisi pasien memerlukan penanganan lebih lanjut di luar kompetensi DPJP, maka
Direktur Medik dan Keperawatan dapat mengalihkan DPJP.
(7) Ketentuan teknis pelaksanaan DPJP ditetapkan oleh Direktur Utama.

BAB XIII
PENUGASAN KLINIS (CLINICAL APPOINTMENT)

Pasal 63
(1) Kewenangan Klinis diberikan oleh Direktur Utama berdasarkan rekomendasi Komite Medik
kepada seorang anggota SMF dengan suatu surat Penugasan Klinis (Clinical Appointment)
yang berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun.
(2) Surat Penugasan Klinis (Clinical Appointment) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperbaharui sesuai dengan kompetensi dari anggota SMF setelah dilakukan kredensial oleh
Komite Medik.
(3) Kewenangan Klinis anggota SMF berstatus dokter tamu dan/atau dokter magang diberikan
dengan suatu surat Penugasan Klinis (Clinical Appointment) yang berlaku untuk jangka waktu
1 (satu) tahun.
(4) Pemberian Penugasan Klinis ulang (Clinical Re-Appointment) dapat diberikan setelah yang
bersangkutan mengikuti prosedur Re-Kredensial dari Komite Medis.
(5) Pencabutan/pembatasan Kewenangan klinis yang tertuang dalam Surat Penugasan Klinis
dilakukan oleh Direktur Utama dengan memperhatikan rekomendasi Komite Medis.

BAB XIV
KOMITE MEDIS

Bagian Pertama
Nama dan Struktur Organisasi

Pasal 64
(1) Komite medik dibentuk dengan tujuan untuk menyelenggarakan tata kelola klinis (clinical
governance) yang baik agar mutu pelayanan medis dan keselamatan pasien lebih terjamin
dan terlindungi.
(2) Komite Medis merupakan organisasi non struktural yang dibentuk dan bertanggung jawab
kepada Direktur Utama Rumah sakit.
(3) Komite Medis melaksanakan tugas penapisan profesionalisme staf medis,
mempertahankan kompetensi dan profesionalisme staf medis, serta menjaga disiplin, etika,
dan perilaku profesi staf medis.
(4) Pelaksanaan tugas-tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
dilakukan oleh SubKomite-SubKomite.

Pasal 65
(1) Susunan organisasi komite medik Rumah sakit terdiri dari:

a. ketua;

b. sekretaris; dan

c. subkomite.

(2) Subkomite di dalam Komite Medis, terdiri atas :

a. Subkomite Kredensial;

b. Subkomite Mutu Profesi; dan

c. Subkomite Etika dan Disiplin Profesi.

(3) Tiap-tiap Subkomite bertanggungjawab kepada Komite Medik mengenai pelaksanaan tugas
dan kewajiban yang dibebankan kepadanya.

(4) Keanggotaan komite medik ditetapkan oleh Direktur Utama rumah sakit dengan
mempertimbangkan sikap profesional, reputasi, dan perilaku.

(4) Jumlah keanggotaan komite medik adalah 20 (dua puluh) orang

(5) Jangka waktu keanggotaan Komite Medis adalah 3 (tiga) tahun.

Bagian Kedua
Ketua Komite Medis

Pasal 66
(1) Ketua Komite Medis ditetapkan oleh Direktur Utama, dengan mempertimbangkan usulan hasil
pleno anggota Komite medis.
(2) Ketua Komite Medis dipilih oleh Direktur Utama dari 3 (tiga) orang calon yang diajukan.
(3) Dalam menentukan Ketua Komite Medis, Direktur Utama dapat meminta pendapat dari Dewan
pengawas.
(4) Sekretaris komite medik dan ketua subkomite ditetapkan oleh Direktur Utama berdasarkan
rekomendasi dari ketua komite medik dengan memperhatikan masukan dari staf medis yang
bekerja di rumah sakit.

Bagian Ketiga
Tugas, Fungsi dan Kewenangan

Pasal 67
(1) Komite medik mempunyai tugas meningkatkan profesionalisme staf medis yang bekerja di
rumah sakit dengan cara:
a. melakukan kredensial bagi seluruh staf medis yang akan melakukan pelayanan medis di
rumah sakit;
b. memelihara mutu profesi staf medis; dan
c. menjaga disiplin, etika, dan perilaku profesi staf medis.
(2) Dalam melaksanakan tugas kredensial komite medik memiliki fungsi sebagai berikut:
a. penyusunan dan pengkompilasian daftar kewenangan klinis sesuai dengan masukan dari
kelompok staf medis berdasarkan norma keprofesian yang berlaku;
b. penyelenggaraan pemeriksaan dan pengkajian:
1. kompetensi;
2. kesehatan fisik dan mental;
3. perilaku;
4. etika profesi.
c. evaluasi data pendidikan profesional kedokteran/kedokteran gigi berkelanjutan;
d. wawancara terhadap pemohon kewenangan klinis;
e. penilaian dan pemutusan kewenangan klinis yang adekuat.
f. pelaporan hasil penilaian kredensial dan menyampaikan rekomendasi kewenangan
klinis kepada komite medik;
g. melakukan proses rekredensial pada saat berakhirnya masa berlaku surat penugasan
klinis dan adanya permintaan dari komite medik; dan
h. rekomendasi kewenangan klinis dan penerbitan surat penugasan klinis.
(3) Dalam melaksanakan tugas memelihara mutu profesi staf medis komite medik memiliki fungsi
sebagai berikut:
a. pelaksanaan audit medis;
b. rekomendasi pertemuan ilmiah internal dalam rangka pendidikan berkelanjutan bagi
staf medis;
c. rekomendasi kegiatan eksternal dalam rangka pendidikan berkelanjutan bagi staf medis
rumah sakit tersebut; dan
d. rekomendasi proses pendampingan (proctoring) bagi staf medis yang membutuhkan.
(4) Dalam melaksanakan tugas menjaga disiplin, etika, dan perilaku profesi staf medis komite
medik memiliki fungsi sebagai berikut:
a. pembinaan etika dan disiplin profesi kedokteran;
b. pemeriksaan staf medis yang diduga melakukan pelanggaran disiplin;
c. rekomendasi pendisiplinan pelaku profesional di rumah sakit; dan
d. pemberian nasehat/pertimbangan dalam pengambilan keputusan etis pada asuhan medis
pasien.

Pasal 68
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya komite medik berwenang:
a. memberikan rekomendasi rincian kewenangan klinis (delineation of clinical privilege);
b. memberikan rekomendasi surat penugasan klinis (clinical appointment);
c. memberikan rekomendasi penolakan kewenangan klinis (clinical privilege) tertentu; dan
d. memberikan rekomendasi perubahan/modifikasi rincian kewenangan klinis (delineation of
clinical privilege);
e. memberikan rekomendasi tindak lanjut audit medis;
f. memberikan rekomendasi pendidikan kedokteran berkelanjutan;
g. memberikan rekomendasi pendampingan (proctoring); dan
h. memberikan rekomendasi pemberian tindakan disiplin;

Bagian Keempat
Panitia Adhoc

Pasal 69
(1) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya komite medik dapat dibantu oleh panitia adhoc yang
dibentuk untuk tugas tertentu dan jangka waktu tertentu.
(2) Panitia adhoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Utama
berdasarkan usulan ketua komite medik.
(3) Panitia adhoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari staf medis yang tergolong
sebagai mitra bestari.
(4) Staf medis yang tergolong sebagai mitra bestari sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
berasal dari rumah sakit lain, perhimpunan dokter spesialis/dokter gigi spesialis, kolegium
dokter/dokter gigi, kolegium dokter spesialis/dokter gigi spesialis, dan/atau institusi
pendidikan kedokteran/kedokteran gigi.
(5) Panitia adhoc bertanggung jawab kepada Direktur Utama melalui Komite Medik.

BAB XV

SUBKOMITE KREDENSIAL

Pasal 70

(1) Subkomite kredensial di rumah sakit terdiri atas 6 (enam) orang staf medis.
(2) Pengorganisasian subkomite kredensial terdiri dari ketua, sekretaris, dan anggota, yang
ditetapkan oleh dan bertanggung jawab kepada ketua komite medis.

Pasal 71

Tugas dan wewenang subkomite kredensial adalah:

a. Menyusun dan mengkompilasi daftar kewenangan klinis sesuai dengan masukan dari kelompok
Staf Medis;
b. Melakukan pemeriksaan dan pengkajian :
1) Kompetensi;
2) Kesehatan fisik dan mental;
3) Perilaku;
4) Etika profesi.
c. Mengevaluasi data pendidikan profesional kedokteran berkelanjutan (P2KB/ P3KGB) tenaga
medis;
d. Mewawancarai pemohon kewenangan klinis;
e. Melaporkan hasil penilaian kredensial dan menyampaikan rekomendasi kewenangan klinis
kepada Komite Medik;
f. Melakukan proses re-kredensial pada saat berakhirnya masa berlaku surat penugasan klinis dan
adanya permintaan dari Komite Medik.
Pasal 72

Proses kredensial yang dilakukan oleh Subkomite Kredensial meliputi elemen:

a. Kompetensi:
1) berbagai area kompetensi sesuai standar kompetensi yang disahkan oleh lembaga
pemerintah yang berwenang untuk itu;
2) kognitif;
3) afektif;
4) psikomotor.
b. Kompetensi fisik;
c. kompetensi mental/perilaku;
d. perilaku etis (ethical standing).

Pasal 73

(1) Proses kredensial dilaksanakan dengan semangat keterbukaan, adil, obyektif, sesuai dengan
prosedur, dan terdokumentasi.
(2) Proses kredensial yang dilakukan oleh Tim Mitra Bestari yang merupakan bentukan dari
Subkomite Kredensial harus mendapatkan persetujuan Direktur Utama.
(3) Setelah dilakukannya proses kredensial maka komite medik akan menerbitkan rekomendasi
kepada Direktur Utama tentang lingkup kewenangan klinis seorang staf medis.
(4) Kewenangan klinis sesuai ayat (3) diatas diberikan dengan memperhatikan derajat kompetensi
dan cakupan praktik.

Pasal 74

(1) Subkomite kredensial melakukan rekredensial bagi setiap staf medis dalam hal:
a. masa berlaku surat penugasan klinis (clinical appointment) yang dimiliki oleh staf medis
telah habis masa berlakunya;
b. staf medis yang bersangkutan diduga melakukan kelalain terkait tugas dan
kewenangannya;
c. staf medis yang bersangkutan diduga terganggu kesehatannya, baik fisik maupun mental.
(2) Dalam proses rekredensial subkomite kredensial dapat memberikan rekomendasi:
a. kewenangan klinis yang bersangkutan dilanjutkan;
b. kewenangan klinis yang bersangkutan ditambah;
c. kewenangan klinis yang bersangkutan dikurangi;
d. kewenangan klinis yang bersangkutan dibekukan untuk waktu tertentu;
e. kewenangan klinis yang bersangkutan diubah/dimodifikasi;
f. kewenangan klinis yang bersangkutan diakhiri.
(3) Subkomite kredensial wajib melakukan pembinaan profesi melalui mekanisme pendampingan
(proctoring) bagi staf medis yang kewenangan klinisnya ditambah atau dikurangi.

BAB XVI

SUBKOMITE MUTU PROFESI

Pasal 75

(1) Subkomite mutu profesi di rumah sakit terdiri atas 6 (enam) orang staf medis.
(2) Pengorganisasian subkomite mutu profesi terdiri dari ketua, sekretaris, dan anggota, yang
ditetapkan oleh dan bertanggung jawab kepada ketua komite medik.

Pasal 76

Tugas dan wewenang subkomite mutu profesi adalah :

a. Menjaga mutu profesi medis dengan memastikan kualitas pelayanan medis yang diberikan oleh
staf medis melalui upaya pemberdayaan, evaluasi kinerja profesi yang berkesinambungan (on-
going professional practice evaluation), maupun evaluasi kinerja profesi yang terfokus (focused
professional practice evaluation), yang dilakukan dengan mengusulkan penetapan Dokter
Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP).
b. Melakukan audit medis;
c. Mengadakan pertemuan ilmiah internal Program Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan/
Program Pendidikan Kedokteran Gigi Berkelanjutan (P2KB/ P2KGB) bagi tenaga medis;
d. Mengadakan kegiatan eksternal Program Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan/ Program
Pendidikan Kedokteran Gigi Berkelanjutan (P2KB/ P2KGB) bagi tenaga medis rumah sakit;
e. Memfasilitasi proses pendampingan (proctoring) bagi tenaga medis yang membutuhkan;
f. Memberikan usulan untuk melengkapi kebutuhan perbekalan kesehatan yang dibutuhkan dalam
rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis.

Pasal 77

(1) Subkomite mutu profesi dalam menjaga mutu profesi medis dilakukan dengan pemantauan
dan pengendalian mutu profesi melalui :
a. memantau kualitas, melalui morning report, kasus sulit, ronde ruangan, kasus kematian
(death case), audit medis, journal reading.
b. tindak lanjut terhadap temuan kualitas, melalui pelatihan singkat (short course), aktivitas
pendidikan berkelanjutan, pendidikan kewenangan tambahan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemantauan dan pengendalian mutu profesi
diatur dalam petunjuk teknis yang ditetapkan oleh Direktur Utama.

BAB XVII

SUBKOMITE ETIKA DAN DISIPLIN PROFESI

Pasal 78

(1) Subkomite etika dan disiplin profesi di rumah sakit terdiri atas 6 (enam) orang staf medis.
(2) Pengorganisasian subkomite etika dan disiplin profesi terdiri dari ketua, sekretaris, dan
anggota, yang ditetapkan oleh dan bertanggung jawab kepada ketua komite medik

Pasal 79

Tugas subkomite etika dan disiplin profesi :

a. Melakukan pembinaan etika dan disiplin profesi kedokteran;


b. Melakukan upaya pendisiplinan pelaku profesional di rumah sakit;
c. Memberikan nasehat dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan etis pada pelayanan
medis pasien.
Pasal 80

Tolok ukur yang menjadi dasar dalam upaya pendisiplinan perilaku profesional staf medis, antara
lain:

a. pedoman pelayanan kedokteran di rumah sakit;


b. prosedur kerja pelayanan di rumah sakit;
c. daftar kewenangan klinis di rumah sakit;
d. standar kompetensi kedokteran;
e. kode etik kedokteran Indonesia;
f. pedoman perilaku profesional kedokteran (buku penyelenggaraan praktik kedokteran yang
baik);
g. pedoman pelanggaran disiplin kedokteran yang berlaku di Indonesia;
h. pedoman pelayanan medik/klinik;
i. standar prosedur operasional pelayanan medis.

Pasal 81

(1) Penegakan disiplin profesi dilakukan oleh sebuah panel yang dibentuk oleh ketua subkomite
etika dan disiplin profesi. Panel terdiri 3 (tiga) orang staf medis atau lebih dalam jumlah ganjil
dengan susunan sebagai berikut:
a. 1 (satu) orang dari subkomite etik dan disiplin profesi yang memiliki disiplin ilmu yang
berbeda dari yang diperiksa;
b. 2 (dua) orang atau lebih staf medis dari disiplin ilmu yang sama dengan yang diperiksa
dapat berasal dari dalam rumah sakit atau luar rumah sakit, baik atas permintaan komite
medik dengan persetujuan kepala/direktur rumah sakit atau kepala/direktur rumah sakit
terlapor.
(2) Panel tersebut dapat juga melibatkan mitra bestari yang berasal dari luar rumah sakit.
(3) Pengikutsertaan mitra bestari yang berasal dari luar rumah sakit mengikuti ketentuan yang
ditetapkan oleh rumah sakit berdasarkan rekomendasi komite medik.

Pasal 82

(1) Pembiayaan yang terkait dengan pelaksanaan tugas Komite Medik dan SubKomite-SubKomite
dibebankan kepada anggaran rumah sakit.
(2) Komite Medik dan SubKomite-SubKomite mendapatkan insentif/honorarium yang
dibebankan kepada anggaran rumah sakit.

BAB XVIII

PEMBINAAN PROFESIONALISME DAN ETIKA

Pasal 83

Pelaksanaan pembinaan profesionalisme kedokteran dapat diselenggarakan dalam bentuk


ceramah, diskusi, simposium, lokakarya, dan kegiatan lain yang dilakukan oleh unit kerja rumah
sakit terkait seperti unit pendidikan dan latihan, komite medik, dan sebagainya.

Pasal 84
(1) Staf medis dapat meminta pertimbangan pengambilan keputusan etis pada suatu kasus
pengobatan di rumah sakit melalui kelompok profesinya kepada komite medik.
(2) Subkomite etika dan disiplin profesi mengadakan pertemuan pembahasan kasus dengan
mengikutsertakan pihak-pihak terkait yang kompeten untuk memberikan pertimbangan
pengambilan keputusan etis.

BAB X IX

AMANDEMEN/PERUBAHAN

Pasal 85
(1) Perubahan terhadap Peraturan Internal Rumah Sakit dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan.
(2) Perubahan dapat dilakukan, apabila ada permohonan secara tertulis dari salah satu Pihak yang
terkait dengan Peraturan Internal Rumah Sakit, yaitu Dewan Pengawas, Direksi dan Komite
Medis.
(3) Usulan untuk merubah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hanya dapat dilaksanakan apabila
ada pemberitahuan tertulis dari salah satu pihak kepada pihak lainnya, yang disampaikan
paling lambat 3 (tiga) minggu sebelumnya.
(4) Perubahan dilakukan dengan melakukan addendum Peraturan Internal Rumah Sakit ini.
(5) Addendum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Internal Rumah Sakit.

BAB XX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 86
(1) Peraturan Internal Rumah Sakit ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
(2) Semua peraturan rumah sakit yang dilaksanakan sebelum berlakunya Peraturan Internal
Rumah Sakit dan Peraturan Internal staf medis ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan Internal rumah sakit/Peraturan Internal Staf medis.

Direktur Utama,

Dr……………………………, MARS

NIP ……………………………..

Anda mungkin juga menyukai